• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi Kadar Homosistein Paternal dan Fragmentasi DNA Sperma pada Pasangan dengan Keguguran Berulang Idiopatik Dini

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Korelasi Kadar Homosistein Paternal dan Fragmentasi DNA Sperma pada Pasangan dengan Keguguran Berulang Idiopatik Dini"

Copied!
168
0
0

Teks penuh

(1)

DENGAN KEGUGURAN BERULANG IDIOPATIK DINI

DISERTASI

BINARWAN HALIM NIM: 078102015

PROGRAM DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012

(2)

DISERTASI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Ilmu Kedokteran pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

di bawah Pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K)

untuk dipertahankan di Hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

BINARWAN HALIM NIM: 078102015

PROGRAM DOKTOR (S-3) ILMU KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

PROMOTOR

Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, Sp.OG(K) Guru Besar Tetap Ilmu Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan

KO-PROMOTOR

Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, Sp.OG(K) Kepala Departemen Obstetri & Ginekologi Guru Besar Tetap Ilmu Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan

KO-PROMOTOR

DR. Ethiraj Balaji Prasath, MSc, Ph. D Kepala Lab. Andrologi dan Embriologi KKIVF

KK Women’s & Children’s Hospital Singapore

(4)
(5)

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, Sp.OG(K) Anggota : 1. Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, Sp.OG(K)

2. DR. Ethiraj Balaji Prasath, MSc, Ph. D 3. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp. PD-KGH 4. Prof. dr. K. M. Arsyad, DABK, Sp. And 5. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH 6. dr. Gino Tann, Ph. D, Sp. PK

(6)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI

Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp. PD-KGH

Prof. dr. K. M. Arsyad, DABK, Sp. And

Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH

dr. Gino Tann, Ph. D, Sp. PK(K)

(7)

i

Maha Esa kepada saya sehingga hari ini pendidikan program S3 Ilmu Kedokteran dapat diselesaikan melalui perjalanan panjang penuh makna dengan semangat dan tekad yang tidak pernah pudar. Dengan segala ketulusan dan kerendahan hati perkenankan saya menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

Prof. DR. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dengan tulus hati saya sampaikan ucapan terima kasih atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti pendidikan S3 di Universitas Sumatera Utara.

Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD-KGEH selaku Dekan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya untuk mengikuti pendidikan ini.

Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Ketua Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan mantan Rektor dan Prof. DR. dr. Delfitri Munir, Sp.THT-KL(K) selaku Sekretaris Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia menerima dan memberikan kesempatan dalam menjalani pendidikan ini.

Kepada promotor saya Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, Sp.OG(K) yang dengan penuh keikhlasan telah mendorong saya untuk mengikuti pendidikan ini dan telah bersedia meluangkan waktu membimbing, membantu segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kelancaran studi, dalam penelitian dan penulisan disertasi ini, kepada ko-promotor, Prof. dr. Delfi Lutan, MSc, Sp.OG(K) yang juga selaku Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah mendorong saya untuk menjalani pendidkan ini dan di tengah kesibukan telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan masukan masukan sampai diselesaikannya penelitian ini dan selaku guru saya telah banyak mendidik dan memberikan pengarahan dan nasehat

(8)

ii

dengan sebaik mungkin, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga semua kebaikan yang telah diberikan kepada saya mendapat limpahan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa, selalu sehat dan bahagia.

Kepada para penguji yang juga memberikan bimbingan, masukan semangat, maupun saran: Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH yang juga selaku mantan ketua Program Studi S3 Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. K. M. Arsyad, DABK, Sp.And, dr. Gino Tann, Ph.D, Sp.PK(K) dan Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH, saya ucapkan terimakasih dan penghargaan saya atas masukan masukan yang sangat bernilai dan telah bersedia meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk membimbing saya dalam menyelesaikan disertasi ini.

Kepada seluruh bapak dan ibu dosen yang pernah mengajar saya di program S3 ini, sejawat peserta program S3 yang menjadi teman diskusi dan pemberi semangat satu dan lainnya, baik dalam suka maupun duka.

Kepada seluruh Guru Besar Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara : Prof. dr. M. Jusuf Hanafiah, SpOG(K), Prof. dr. Herbet Hutabarat, SpOG(Alm), Dr. Erdjan Albar, SpOG(Alm), Prof. dr. Rustam Mochtar, SpOG(Alm), Prof. Pandapotan Simanjuntak, MPH, SpOG(K)(Alm), Prof. dr. Djafar Siddik, SpOG(K), Prof. DR. dr. M. Thamrin Tanjung, SpOG(K), Prof. dr. Hamonangan Hutapea, SpOG(K), Prof. dr. R. Haryono Roeshadi, SpOG(K), Prof. dr. Daulat Sibuea, SpOG(K), Prof. dr. M. Fauzie Sahil, SpOG(K), Prof. dr. Budi R. Hadibroto, SpOG(K), dan seluruh supervisor dan sejawat di Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, saya ucapkan terima kasih yang sebesarnya atas didikan, bimbingan dan dukungan selama ini.

(9)

iii

Kepada staf Laboratorium Bayi Tabung HFC, Rudiyanto, S.Si, Adelina Hutasuhut, S.Si, dr.Venny, Berlina Tosabella, terima kasih saya ucapkan atas bantuan selama menjalankan peneilitian S3 ini.

Kepada dr. Surya Dharma, M.Kes yang telah membantu dalam proses analisa statistik dalam penyelesaian penelitian ini, terima kasih saya ucapkan atas bantuannya.

Sembah sujud dan rasa terima kasih yang tidak terhingga saya sampaikan kepada kedua orangtua saya, bapak Abdul Halim dan ibu Sutianiwaty Wiratna atas segala jasanya yang telah membesarkan saya dengan susah payah, mengajari saya untuk hidup bersabar dan gigih dalam menjalani hidup, dan senantiasa mendukung saya dan mendoakan saya untuk berhasil. yang pernah diperbuat baik sengaja maupun tidak sengaja. Mudah-mudahan disertasi ini dapat memberikan sumbangan yang berharga dan bermanfaat bagi ilmu Kedokteran pada umumnya dan ilmu kedokteran Obstetri dan Ginekologi pada khususnya.

Medan, Mei 2012

Binarwan Halim

(10)

iv

Bab2 Tinjauan pustaka ... 8

2.1 Keguguran berulang ... 8

2.1.1 Konsepsi dan pertumbuhan ... 8

2.1.2 Klasifikasi ... 10

2.1.8 Pengelolan keguguran berulang ... 22

2.2 Faktor pria dan keguguran berulang ... 25

2.3 Fragmentasi DNA sperma ... 26

2.3.1 Struktur kromatin dan DNA sperma manusia ... 26

2.3.2 Etiologi kerusakan DNA sperma ... 27

(11)

v

2.4 Hiperhomosisteinemia ... 31

2.4.1 Metabolisme homosistein ... 31

2.4.2 Kadar homosistein plasma ... 33

2.4.3 Hiperhomosisteinemia ... 34

2.4.4 Resiko hiperhomosisteinemia ... 35

2.5 Hiperhomosisteinemia and fragmentasi DNA ... 36

2.5.1 Hiperhomosisteinemia and kerusakan DNA ... 36

2.5.2 Hiperhomosissteinemia maternal dan luaran reproduksi ... 36

2.5.3 Hiperhomosisteinemia paternal dan luaran reproduksi ... 37

2.6 Kadar homosistein dalam cairan semen ... 38

2.7 Penanganan hiperhomosisteinemia ... 39

BAB 3 Subjek dan Metode ... 40

3.1 Tempat dan periode penelitian ... 40

3.1.1 Tempat penelitian ... 40

3.1.2 Periode penelitian... 40

3.2 Desain penelitian ... 40

3.3 Populasi dan sampel penelitian ... 40

3.3.1 Populasi target ... 40

3.3.2 Populasi penelitian ... 40

3.3.3 Sampel ... 40

3.3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi ... 41

3.3.5 Tehnik sampling ... 43

3.3.6 Jumlah sampel ... 43

3.4 Variabel penelitian ... 43

3.4.1 Variabel Independen ... 43

3.4.2 Variabel dependen ... 43

3.5 Definisi operasional ... 44

3.5.1 Kehamilan ... 44

3.5.2 Keguguran spontan ... 44

3.5.3 Keguguran berulang ... 44

3.5.4 Keguguran berulang dini ... 44

(12)

vi

3.5.8 Laki laki dewasa normal ... 46

3.5.9 Index massa tubuh ... 46

3.5.10 Demam ... 46

3.5.11 Varikokel ... 46

3.5.12 Kriptorkismus ... 46

3.5.13 Kanker testis ... 46

3.5.14 Disfungsi seksual ... 46

3.5.15 Analisa semen ... 47

3.6 Metode dan prosedur laboratorium ... 47

3.6.1 Pengumpulan sampel ... 47

3.6.1.1 Pengumpulan data ... 47

3.6.1.2 Metode pengambilamn sperma dan prosedur laboratorioum fragmentasi DNA sperma ... 47

3.6.1.3 Methode dan prosedur laboratorium pemeriksaan kadar Homosistein plasma seminal paternal ... 51

3.6.1.4 Methode dan prosedur laboratorium pemeriksaan kadar Homosistein plasma paternal ... 53

3.7 Analisa data ... 54

3.8 Persetujuan etik penelitian dan informed consent ... 54

Bab 4 hasil penelitian ... 55

4.1 Karakteristik dan distribusi data demografis ... 55

4.2 Faktor determinant keguguran berulang idiopatik dini ... 60

4.3 Korelasi DFI dan semen analysis, homosistein serum Dan homosistein semen ... 61

4.4 Korelasi antara fragmentasi DNA sperma yang tinggi dengan kejadian keguguran berulang idiopatik dini ... 62

4.5 korelasi hiperhomosisteinemia and keguguran berulang idiopatik dini ... 62

4.6 Korelasi hiperhomosisteinemia dan fragmentasi DNA sperma Yang tinggi ... 63

(13)

vii

berulang idiopatik dini ... 66

5.3 Homosistein paternal dan fragmentasi DNA sperma dengan kejadian keguguran berulang idiopatik dini ... 68

5.4 Homosistein seminal dan fragmentasi DNA sperma ... 71

5.5 Penanganan hiperhomosisteinemia dan fragmentasi DNA sperma yang tinggi di masa mendatang untuk mencegah kejadian keguguran berulang idiopatik dini ... 73

5.6 Keterbatasan dan kekuatan penelitian serta saran untuk penelitian selanjutnya ... 74

Bab 6 Kesimpulan dan saran ... 76

6.1 Kesimpulan ... 76

6.2 Saran ... 76

Daftar Pustaka ... 77

Lampiran Lampiran 1 ... 97

Lampiran 2 ... 100

Lampiran 3 ... 110

Lampiran 4 ... 112

(14)

viii

Tabel 2 Resiko keguguran dini pada wanita usia muda ... 11 Tabel 3 Rujukan nilai rentang homosistein ... 34 Tabel 4 Variabel independen dan dependen ... 44 Tabel 5 Distribusi data karakteristik dan demografik pada kelompok control dan kasus ... 56 Tabel 6 Analisa reliabilitas interobserver index fragmentasi DNA sperma ... 57 Tabel 7 Distribusi hasil analisa semen,fragmentasi DNA sperma ,homosistein serum dan homosistein seminal pada kedua kelompok ... 58 Tabel 8 Perbandingan karakteristik dan hasil analisa semen, DFI, homosistein

serum, homosistein seminal pada kelompok kasus dan kontrol ………59 Tabel 9 Hasil akhir uji regresi logistik untuk mengidentifikasi faktor determinan

terhadap kejadian keguguran berulang idiopatik dini ... 61 Tabel 10 Korelasi DFI dengan hasil tes lainnya ... 61 Tabel 11 Korelasi antara DFI yang tinggi dengan kejadian keguguran berulang

idiopatik dini ... 62 Tabel 12 Korelasi Hiperhomosisteinemia (HCY ≥12μmol/L) dengan kejadian

keguguran berulang idiopatik dini ... 62 Tabel 13 Korelasi Hiperhomosisteinemia dengan fragmentasi DNA sperma yang

tinggi ... 63

(15)

ix

Gambar 2 Pemeriksaan pada kematian janin ... 21

Gambar 3 Penanganan keguguran berulang ... 24

Gambar 4 Metabolisme homosistein ... 32

Gambar 5 Halosperm ... 50

Gambar 6 sperma normal dan yang fragmentasi ... 50

Gambar 7 Gambaran umum lapangan dengan berbagai tipe spermatozoa... 51

(16)

x BHMT = Betaine-Homocysteine Methyltransferase

BMI = Body Mass Index dUTP = Deoxyuridine Triphosphate FHR = Fetal Heart Rate

FISH = Fluorescence In Situ Hybridization FSH = Follicle Stimulating Hormone

IUI = Intra Uterine Insemination IVF = In-Vitro Fertilization

LAC = Lupus Anticoagulant

LH = Luteinizing Hormone

(17)

xi

NADPH = Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate NK Cell = Natural Killer cell

O&G = Obstetrics & Gynaecology PARP = Poly ADP-Ribose Polymerase PBS = Phosphate Buffered Saline PCOS = Polycystic Ovary Syndrome PJT = Pertumbuhan janin terhambat PN = Pronuclear

RNA = Ribonucleic Acid

ROS = Reactive Oxygen Species SAM = S-Adenosyl-Methionine SAH = S-Adenosylhomocysteine SCD = Sperm Chromatin Dispersion SCSA = Sperm Chromatin Structure Assay

TORCH = Toxoplasmosis - Rubella - Cytomegalovirus - Herpes

TUNEL = Terminal Deoxynucleotidyl Transferase Mediated dUTP Nick End Labeling

USG = Ultrasonography

(18)
(19)

xiii

Fluorescence In Situ Hybridization (FISH)

(20)

xiv

(21)

xv

(22)

xvi

(23)

xvii

(24)

xviii

Uterus septum Uterus unicornis Varicocele

Venous thrombosis Wild type MTHFR Wright stain Zinc insufficiency

(25)

xix

ABSTRACT

Background: Recurrent pregnancy loss is the most traumatic event for couple in the effort to obtain offspring. Various etiologies from women side have been extensively studied, but more than half of them still remain unknown. Embryo as the result of unification of sperm and oocyte, and any defect in spermatogenesis will also influence the quality of embryo which will determine the fate of the pregnancy. Routine semen analysis failed to support the evidence of influence of defective sperm in recurrent pregnancy loss. Currently, examination of sperm DNA fragmentation has been added to evaluate the quality of sperm beside the routine semen analysis. We hipothesized that high sperm DNA fragmentation play a role in incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss. Beside that the cause of sperm DNA fragmentation are numerous and remain controversial. We would like to know whether paternal hyperhomocysteinemia has impact to high sperm DNA fragmentation and incidence of idiophatic recurrent early pregnancy loss.

Objectives: To find the correlation of paternal homocysteine level with sperm DNA fragmentation in couple with recurrent pregnancy loss.

Methods: An observational prospective analysis study has been conducted by recruiting 40 cases of idiopathic recurrent early pregnancy loss and 40 cases of control from normal fertile population who attended to HFC, Fertility Clinic, Division of Reproductive Endocrinology and Fertility, Department of Obstetric & Gyneacology, Medical School, USU, H.Adam Malik Hospital according to inclusion and exclusion criteria.

Blood and semen sample were collected for routine semen analysis, sperm DNA fragmentation, serum and seminal homocysteine.

The results were analyzed to find the correlation between sperm DNA fragmentation, serum homocysteine, seminal homocysteine and the incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss.

Result: There was a significant correlation between incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss with sperm DNA fragmentation (p<0.05) and

(26)

xx

Conclusion: Paternal serum homocysteine and high sperm DNA fragmentation significantly correlate with the incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss.

Keywords : hyperhomocysteinemia, DFI, idiopathic recurrent early pregnancy loss

(27)

xxi

ABSTRAK

Latar belakang: Keguguran berulang adalah kejadian yang paling traumatis bagi pasangan dalam upaya untuk mendapatkan keturunan. Berbagai etiologi dari sisi perempuan telah dipelajari secara ekstensif, tetapi lebih dari separuhnya tetap tidak diketahui penyebabnya. Embryo sebagai hasil penyatuan sperma dan oosit, dan gangguan dalam spermatogenesis akan mempengaruhi kualitas embrio dan yang akan menentukan nasib luaran kehamilan. Pemeriksaan analisa semen rutin tidak mampu untuk membuktikan adanya pengaruh faktor pria pada keguguran berulang. Saat ini, pemeriksaan fragmentasi DNA sperma disamping analisa semen, telah ditambahkan untuk mengevaluasi kualitas dari sperma. Kami menghipotesa bahwa fragmentasi DNA sperma yang tinggi memainkan peran dalam kejadian keguguran berulang idiopatik dini. Teori penyebab terjadinya fragmentasi DNA sperma beragam dan masih kontroversial. Disini ingin diketahui apakah hiperhomosisteinemia pada pria menyebabkan fragmentasi DNA sperma yang tinggi dan kejadian keguguran berulang idiopatik dini.

Tujuan: Untuk menemukan korelasi homosistein pria dengan kerusakan sperma DNA pada pasangan dengan keguguran berulang.

Metode: Sebuah studi analisis observasional prospektif telah dilakukan dengan merekrut 40 kasus keguguran berulang idiopatik dini dan 40 kasus kontrol dari populasi subur normal yang mengunjungi HFC, Klinik Fertilitas HFC, Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran, USU, RSUP H. Adam Malik Medan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Darah dan sampel semen dikumpulkan untuk analisis semen rutin, fragmentasi DNA sperma, homosistein serum dan homosistein semen.

Hasilnya kemudian dianalisis untuk menemukan korelasi antara fragmentasi DNA sperma, homosistein serum, homosistein semen dan kejadian keguguran berulang idiopatik dini.

Hasil: Ada korelasi yang signifikan antara kejadian keguguran berulang idiopatik dini dengan fragmentasi DNA sperma dan homosistein serum

(28)

xxii

Kesimpulan: Homosistein serum pria dan fragmentasi DNA sperma tinggi secara signifikan berkorelasi dengan kejadian keguguran berulang idiopatik dini.

Kata kunci: hiperhomosisteinemia, DFI, Keguguran berulang idiopatik

(29)

xix

ABSTRACT

Background: Recurrent pregnancy loss is the most traumatic event for couple in the effort to obtain offspring. Various etiologies from women side have been extensively studied, but more than half of them still remain unknown. Embryo as the result of unification of sperm and oocyte, and any defect in spermatogenesis will also influence the quality of embryo which will determine the fate of the pregnancy. Routine semen analysis failed to support the evidence of influence of defective sperm in recurrent pregnancy loss. Currently, examination of sperm DNA fragmentation has been added to evaluate the quality of sperm beside the routine semen analysis. We hipothesized that high sperm DNA fragmentation play a role in incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss. Beside that the cause of sperm DNA fragmentation are numerous and remain controversial. We would like to know whether paternal hyperhomocysteinemia has impact to high sperm DNA fragmentation and incidence of idiophatic recurrent early pregnancy loss.

Objectives: To find the correlation of paternal homocysteine level with sperm DNA fragmentation in couple with recurrent pregnancy loss.

Methods: An observational prospective analysis study has been conducted by recruiting 40 cases of idiopathic recurrent early pregnancy loss and 40 cases of control from normal fertile population who attended to HFC, Fertility Clinic, Division of Reproductive Endocrinology and Fertility, Department of Obstetric & Gyneacology, Medical School, USU, H.Adam Malik Hospital according to inclusion and exclusion criteria.

Blood and semen sample were collected for routine semen analysis, sperm DNA fragmentation, serum and seminal homocysteine.

The results were analyzed to find the correlation between sperm DNA fragmentation, serum homocysteine, seminal homocysteine and the incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss.

Result: There was a significant correlation between incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss with sperm DNA fragmentation (p<0.05) and

(30)

xx

Conclusion: Paternal serum homocysteine and high sperm DNA fragmentation significantly correlate with the incidence of idiopathic recurrent early pregnancy loss.

Keywords : hyperhomocysteinemia, DFI, idiopathic recurrent early pregnancy loss

(31)

xxi

ABSTRAK

Latar belakang: Keguguran berulang adalah kejadian yang paling traumatis bagi pasangan dalam upaya untuk mendapatkan keturunan. Berbagai etiologi dari sisi perempuan telah dipelajari secara ekstensif, tetapi lebih dari separuhnya tetap tidak diketahui penyebabnya. Embryo sebagai hasil penyatuan sperma dan oosit, dan gangguan dalam spermatogenesis akan mempengaruhi kualitas embrio dan yang akan menentukan nasib luaran kehamilan. Pemeriksaan analisa semen rutin tidak mampu untuk membuktikan adanya pengaruh faktor pria pada keguguran berulang. Saat ini, pemeriksaan fragmentasi DNA sperma disamping analisa semen, telah ditambahkan untuk mengevaluasi kualitas dari sperma. Kami menghipotesa bahwa fragmentasi DNA sperma yang tinggi memainkan peran dalam kejadian keguguran berulang idiopatik dini. Teori penyebab terjadinya fragmentasi DNA sperma beragam dan masih kontroversial. Disini ingin diketahui apakah hiperhomosisteinemia pada pria menyebabkan fragmentasi DNA sperma yang tinggi dan kejadian keguguran berulang idiopatik dini.

Tujuan: Untuk menemukan korelasi homosistein pria dengan kerusakan sperma DNA pada pasangan dengan keguguran berulang.

Metode: Sebuah studi analisis observasional prospektif telah dilakukan dengan merekrut 40 kasus keguguran berulang idiopatik dini dan 40 kasus kontrol dari populasi subur normal yang mengunjungi HFC, Klinik Fertilitas HFC, Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran, USU, RSUP H. Adam Malik Medan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Darah dan sampel semen dikumpulkan untuk analisis semen rutin, fragmentasi DNA sperma, homosistein serum dan homosistein semen.

Hasilnya kemudian dianalisis untuk menemukan korelasi antara fragmentasi DNA sperma, homosistein serum, homosistein semen dan kejadian keguguran berulang idiopatik dini.

Hasil: Ada korelasi yang signifikan antara kejadian keguguran berulang idiopatik dini dengan fragmentasi DNA sperma dan homosistein serum

(32)

xxii

Kesimpulan: Homosistein serum pria dan fragmentasi DNA sperma tinggi secara signifikan berkorelasi dengan kejadian keguguran berulang idiopatik dini.

Kata kunci: hiperhomosisteinemia, DFI, Keguguran berulang idiopatik

(33)

1 1.1 Latar Belakang

Keguguran berulang adalah suatu kondisi yang berbeda dengan infertilitas yang didefinisikan sebagai dua atau lebih kegagalan kehamilan (ASRM, 2008). Dari semua kehamilan klinis yang terdeteksi, 12-15% dari mereka akan berakhir dengan keguguran, tapi hanya kurang dari 5% wanita akan mengalami dua keguguran berturut-turut, dan kurang dari 1% mengalami tiga atau lebih keguguran berturut turut (Fritz dan Speroff, 2005; Rai dan Regan, 2006). Bila etiologinya tidak dapat diketahui, maka setiap keguguran memerlukan perhatian evaluasi yang sistematis untuk menentukan apakah investigasi khusus diperlukan. Keguguran lebih dari dua kali sudah dapat dipastikan membutuhkan evaluasi menyeluruh. Keguguran berulang membawa stress psikologis yang sangat besar dan kesedihan bagi pasangan dan keinginan untuk memiliki keturunan adalah kebutuhan utama, khususnya dalam budaya timur kita dan kondisi ini akan membawa masalah bagi keluarga. Sekumpulan pemeriksaan medis menyeluruh dan dukungan psikologis akan memberikan manfaat bagi pasangan yang mengalami keguguran berulang.

Keguguran berulang dikaitkan dengan beberapa penyebab, seperti kelainan kromosom, sindrom antifosfolipid, gangguan metabolisme, gangguan hormonal, kelainan rahim, disfungsi kekebalan tubuh ibu, trombofilia, infeksi, faktor lingkungan dan perilaku (Branch dan Heuser, 2010; Cristiansen et al, 2005). Namun lebih dari setengah dari penyebabnya tidak dapat dijelaskan dan sebagian besar pendekatan terapi masih kontroversial (Brigham et al, 1999).

Seberapa besar pengaruh sperma abnormal berkontribusi terhadap terjadinya keguguran berulang belum diketahui secara pasti dan hubungan antara parameter analisa semen standar dan keguguran berulang masih menjadi masalah yang kontroversial (Homonnai et al, 1980). Suami dari wanita dengan keguguran berulang menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam aneuploidi sperma kromosom, kondensasi kromatin yang abnormal, fragmentasi DNA sperma, peningkatan apoptosis dan morfologi sperma yang abnormal dibandingkan dengan pria fertil (Gill Villa et al, 2007).

(34)

kebanyakan adalah multi-faktorial dan mungkin disebabkan karena faktor intrinsik atau ekstrinsik. Faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerusakan DNA sperma antara lain defisiensi protamin (Cho et al, 2003), mutasi yang mempengaruhi kompaksitas DNA (Zini et al, 2001) atau kerusakan proses penggabungan DNA sperma lainnya (Sharma et al, 2004). Selain itu, usia paternal telah dikaitkan dengan kerusakan DNA sperma (Singh et al, 2003). Sampai dengan 75% spermatozoa potensial menyelesaikan proses kematian sel terprogram (apoptosis) selama spermatogenesis (Hikim et al, 1999). Spermatozoa yang mulai mengalami proses apoptosis tetapi kemudian terbebas dari proses (apoptosis gagal) juga mungkin menderita peningkatan kerusakan DNA (Sakkas et al, 2003).

Kadar Reactive Oxygen Species (ROS) yang tinggi terdeteksi dalam cairan semen 25% pria yang subur dan kerusakan DNA sperma telah dikaitkan dengan kadar ROS tinggi pada cairan semen (Zini et al, 1993). Faktor eksternal seperti panas (Bank et al, 2005), agen kemoterapi (Hales et al, 2005), radiasi (Brinkworth dan Nieschlag, 2000) dan gonadotoksin lainnya (Bian et al, 2004) berhubungan dengan peningkatan persentase ejakulasi spermatozoa dengan kerusakan DNA. Meskipun mekanisme yang tepat yang terlibat belum digambarkan, merokok (Kunzle et al, 2003), peradangan saluran genital (Kessopoulou et al, 1992), varikokel (Saleh et al, 2003) dan kekurangan hormon (Xing et al, 2003) semua telah dikaitkan dengan kerusakan DNA meningkat baik dalam binatang percobaan atau manusia.

Kerusakan DNA sperma dapat diukur dan dinyatakan sebagai Indeks Fragmentasi DNA sperma (DFI) dengan menghitung jumlah sperma yang mengalami DNA fragmentasi dan dibandingkan dengan total sperma yang dihitung. Ambang batas DFI untuk manusia pertama kali dibuat menggunakan data 200 pasangan usia subur diduga berusaha untuk hamil secara alami dalam "Studi Faktor Infertilitas Pria Georgetown". Data Kesuburan dari studi ini digunakan untuk menetapkan ambang statistik DFI > 30% untuk 'desiensi signifikan', DFI 15-30% untuk 'ambang batas' dan DFI < 15% untuk 'status kesuburan tinggi' (Evenson et al, 2006).

(35)

membentuk sistein atau metionin yang diblokir, maka homosistein dapat ditingkatkan (Champe dan Harvey et al, 2008).

Beberapa kondisi seperti defisiensi asam folat, piridoksin dan sianokobalamin dan mutasi Synthase Beta Cystathionine (CBS) atau Methylenetetrahydrofolate Reduktase (MTHFR) mungkin menghambat sintesis sistein dan metionin dari homosistein (Selhub, 1999). Kondisi dengan peningkatan kadar homosistein dalam darah yang dikenal sebagai hiperhomosisteinemia. Ada banyak nilai acuan yang berbeda untuk hiperhomosisteinemia. Kami merujuk pada ambang di atas 12μmol/L sebagai definisi untuk hiperhomosisteinemia (Malinow, 1993). Peningkatan kadar homosistein telah dilaporkan menyebabkan masalah tulang, mata (Kang et al, 1992), retardasi mental, keterlambatan perkembangan, dan proses trombosis (Wilcken dan Dudman, 1989).

Peningkatan kadar homosistein mernyebabkan peningkatan kerusakan DNA pada sel saraf (Inna et al, 2000) dan sel hati (Liu et al, 2009) dan meningkatkan kadar ROS. Hubungan antara kerusakan DNA sperma dengan kadar homosistein cairan semen belum diidentifikasi, apakah ini penyebab sebenarnya, bila kemudian hal ini benar maka akan dapat dikoreksi dengan penambahan vitamin.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, kami mengusulkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Dapatkah fragmentasi DNA sperma menyebabkan keguguran berulang idiopatik dini?

2. Apakah ada hubungan antara kadar homosistein paternal dengan fragmentasi DNA sperma?

(36)

HOMOSISTEIN - KURANG OLAHRAGA - KEGANASAN

- USIA >60 TAHUN

(37)

1.4.1 Tujuan umum

Untuk melihat adanya korelasi kadar homosistein paternal dan fragmentasi DNA sperma pada pasangan dengan keguguran berulang idiopatik dini .

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Untuk menyelidiki korelasi fragmentasi DNA sperma dan keguguran berulang idiopatik dini.

b. Untuk menemukan korelasi kadar homosistein paternal dalam serum dan cairan semen dengan fragmentasi DNA sperma sebagai penyebab keguguran berulang idiopatik dini.

(38)

Laki-laki dari pasangan dengan keguguran berulang idiopatik dini diambil secara berurutan dari pasien yang mengunjungi klinik untuk pengobatan infertilitas dilakukan pengujian DNA fragmentasi sperma untuk mengidentifikasi kelompok dengan DFI tinggi dan DFI normal. Dari kelompok ini, kita lebih lanjut menguji homosistein untuk mengidentifikasi kelompok yang memiliki tingkat homosistein tinggi dan kelompok mana yang normal. Dari kelompok pria dengan keguguran berulang idiopatik, kita akan mengidentifikasi berapa banyak dari mereka yang termasuk kedalam kelompok dengan DFI tinggi. Selanjutnya, kita akan mencari kelompok dengan DFI normal atau DFI tinggi yang mana yang mempunyai kadar tinggi dari kadar homosistein.

Pasangan dengan keguguran berulang idiopatik

dini

Pemeriksaan DNA Fragmentation Index

(DFI) Sperma

DFI tinggi DFI normal

Kadar homosistein

Kadar homosistein

Normal Meningkat Normal Meningkat

(39)

Kadar homosistein paternal mempengaruhi terjadinya fragmentasi DNA sperma sebagai penyebab keguguran berulang.

1.7 Manfaat Penelitian

1.7.1 Kontribusi ilmu pengetahuan

Hasil penelitian lebih lanjut akan meningkatkan pemahaman kita tentang hubungan etiologi fragmentasi DNA sperma dengan keguguran berulang.

1.7.2 Menyediakan wawasan manajemen terapi yang potensial pada pasien.

Sebagian besar, penyelidikan keguguran berulang telah dilakukan pada wanita tetapi sedikit pada pria. Penelitian seperti investigasi kerusakan sperma sebagai penyebab keguguran berulang dapat membuka manajemen terapi baru untuk mengurangi angka kejadian keguguran berulang.

1.7.3 Mengarah ke manajemen terapi baru yang dapat menyebabkan penurunan tingkat keguguran dan meningkatkan kesempatan untuk kelahiran hidup.

(40)

8

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keguguran berulang

Keguguran berulang secara tradisional didefinisikan sebagai tiga atau lebih berturut-turut keguguran yang terjadi sebelum kehamilan 20 minggu paska menstruasi (Bricker dan Farquharsson, 2002). Tapi wawasan baru telah dimasukkan untuk mendefinisikan kembali keguguran berulang sebagai dua atau lebih keguguran karena alasan seperti di bawah ini.

1. Resiko keguguran berulang setelah 2 kali keguguran adalah tinggi sekitar 26% (Roman, 1984).

2. Dorongan dan tuntutan yang kuat dari pasangan untuk mencari penyebab lebih lanjut dan pengobatan.

3. Dalam era modern ini sebagian besar pasangan menikah pada usia lanjut.

Oleh karena itu, mereka tidak ingin menunggu sampai keguguran yang ketiga untuk mencari bantuan pengobatan.

Keguguran berulang dapat menyebabkan perasaan frustasi dan kecewa bagi kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien. Berbagai tes diagnostik dan pengobatan telah direkomendasikan dan dipublikasikan secara luas baik dalam literatur medis maupun literatur awam. Namun, hanya sedikit yang telah cukup diuji dengan penelitian yang dirancang tepat. ASRM telah merevisi definisi keguguran berulang dengan mengacu sebagai dua atau lebih keguguran (ASRM, 2008).

2.1.1 Konsepsi dan Pertumbuhan

Memahami pertumbuhan konsepsi dan proses perkembangan kehamilan adalah sangat penting untuk mempelajari teori etiologi dan keguguran.

Ada tiga tahap pertumbuhan konsepsi sebagai berikut (Branch dan Heuser, 2010).

1. Tahap Preembrionik, dimulai dari hari pertama haid dan berlangsung sampai minggu ke-4 kehamilan. Oosit tumbuh menjadi oosit metafase 2 dan berovulasi kemudian dibuahi oleh sperma dan menjadi morulla. Selanjutnya mengalami proses blastulasi berubah menjadi blastokista dan berimplantasi

(41)

pada endometrium. Pra-embrio tumbuh menjadi lempeng bilaminar dan kemudian menjadi lempeng trilaminar.

2. Tahap embrio, dimulai dari minggu 5 sampai 10 minggu kehamilan. Selama tahap ini, lempeng trilaminar berubah menjadi bentuk silinder untuk membentuk kepala dan ekor. Semua proses organogenesis terjadi pada tahap ini.

3. Tahap janin mulai dari minggu 10 kehamilan sampai melahirkan. Tahap ini ditandai dengan pertumbuhan dan diferensiasi semua organ terbentuk pada tahap embrio.

Ada juga dua tahap yang berbeda dalam perkembangan plasenta dan sirkulasi janin ibu. Pada kehamilan normal, ditandai oleh invasi sel trofoblas oleh obstruksi arteri uteroplasenta. Pada 10 minggu pertama kehamilan, hal ini ditandai dengan aliran darah yang sangat terbatas ibu ke dalam jaringan intervili dan ruang intervili diisi dengan cairan acellular dan dalam keadaan hipoksia (Burton et al, 2002). Pada periode ini, oksigenasi ke jaringan embrionik sebagian besar terjadi melalui proses difusi antara jaringan yang berdekatan daripada melalui sistem peredaran darah (Jauniaux et al, 2006). Setelah 10 minggu kehamilan, regresi trofoblas dan dislokasi colokan arteriol dimulai dan memungkinkan inisiasi aliran darah intervili yang sebenarnya dan pada saat yang bersamaan terjadi peningkatan dalam tegangan oksigen intervili (Toth et al, 2010). Konsep dari sirkulasi plasenta dan plasentasi ini adalah penting dan relevan dengan keguguran berulang, yang mana menggarisbawahi kerentanan yang berbeda dari konseptus pada tahap yang berbeda dari konsepsi dan ditandai dengan perbedaan dua diagnosis yang berbeda: keguguran berulang dini (< 10 minggu) dan keguguran berulang lanjut (> 10 minggu). Terminologi lain sebagai keguguran preembrionik atau embrionik dan kematian janin (Harlap et al, 1980). Keguguran embrionik lebih umum daripada kematian janin (Bricker dan Farquharsson, 2002). Perbedaan ini telah menjadi isu penting karena etiologi dan tingkat rekurensi yang berbeda.

(42)

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi keguguran menurut usia kehamilan acara adalah sebagai berikut: 1. Keguguran Preembrionik (keguguran biokimia) dengan usia kehamilan

0-4 minggu

2. Keguguran Embrionik (keguguran dini) dengan usia kehamilan 4-10 minggu

3. Kematian Janin (keguguran lanjut) dengan usia kehamilan 10-20 minggu

Tabel 1 Klasifikasi keguguran berulang sesuai dengan usia kehamilan (Direproduksi dari Baziad et al., 2010)

Keguguran

< 6(0-6) Tidak ada Tidak dapat diidentifikasi +

(43)

Klasifikasi keguguran sesuai dengan urutan kejadian adalah sebagai berikut: 1. Abortus Primer adalah kondisi dengan 2 atau lebih keguguran berturut-turut 2. Abortus sekunder adalah kondisi dengan 2 atau lebih keguguran

berturut-turut setelah riwayat kehamilan dengan usia kehamilan di atas 20 minggu 3. Abortus Tersier adalah kondisi dengan keguguran sebelumnya diikuti oleh

kehamilan dengan usia kehamilan di atas 20 minggu dan kemudian diikuti dengan keguguran 2 atau lebih berturut-turut.

Resiko keguguran berturut-turut akan meningkat setelah ada riwayat keguguran sebelumnya. Ini adalah alasan mengapa kita perlu menggali lebih dalam etiologi keguguran berulang karena tingkat kekambuhannya yang tinggi.

Tabel 2 Resiko keguguran dini pada wanita muda (Roma, 1984) Kelompok Jumlah keguguran % Resiko Abortus Primer 2 atau lebih 40-45

2.1.3 Insiden

Insidensi dua kali keguguran adalah sekitar 5% dan hanya 1% mengalami tiga atau lebih keguguran dari semua kehamilan (Rai dan Regan, 2006). Angka keguguran spontan di Indonesia adalah 10-15% dan ada sekitar 5 juta kehamilan per tahun di Indonesia yang mengalami keguguran spontan dan diperkirakan sekitar 500.000-7.500.000 per tahun (Azhari, 2002; Baziad et al, 2010). Angka keguguran per tahun adalah sekitar 37 per 1000 wanita usia reproduksi di Indonesia, angka ini cukup tinggi dibandingkan dengan Negara Negara lain di Asia secara keseluruhan: regional sekitar 29 per 1000 wanita usia reproduksi (Guttmacher, 2008). Keguguran berulang adalah sekitar 3-5% di Indonesia (Harijanto, 2010). Di RS Dr.Hasan Sadikin Bandung, kejadian 2 kali keguguran adalah 1,79% (Ningrum et al, 2004).

(44)

Sementara itu di HFC Medan, jumlah kasus keguguran berulang adalah 123 pasien dari seluruh 2876 pasien infertilitas yang berobat, diperkirakan sekitar 4,28% (HFC, 2011).

2.1.4 Etiologi

Banyak etiologi telah dipostulasikan terhadap keguguran berulang, namun kebanyakan masih tetap kontroversial dan diklasifikasikan sebagai idiopatik, di mana tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi pada pasangan. Secara umum diketahui bahwa dalam kelompok idiopatik masih terdapat heterogenitas yang cukup besar dan bahwa tidak mungkin hanya satu mekanisme patologis tunggal yang menyebabkan terjadinya keguguran berulang (Stirrat, 1990). Selain itu, ada perdebatan tentang penyebab dan asosiasi, sebagai mekanisme patofisiologi yang tepat dari etiologi kebanyakan dikenal belum tepat dijelaskan. Penelitian saat ini diarahkan pada teori tentang kegagalan dalam kontrol alamiah terhadap kualitas gamet, implantasi, invasi trofoblastik dan plasentasi, serta faktor-faktor lain yang mungkin seperti embriopatik (Brigham et al, 1999). Kebanyakan wanita, dengan keguguran berulang mungkin memiliki beberapa faktor risiko untuk keguguran (Jauniaux et al, 2006).

Walaupun manfaatnya telah dilaporkan untuk berbagai pengobatan endokrinologik dan imunologik, banyak pendekatan terapi masih kontroversial. Penelitian acak terkontrol terbaru dan meta-analisis yang baru-baru ini diterbitkan dalam literatur internasional menunjukkan beberapa faktor etiologi berdasarkan kedokteran berbasis bukti.

a. Genetik / kromosom penyebab.

(45)

diwariskan, banyak keguguran terjadi karena kelainan kromosom acak pada embrio (Franssen et al, 2005). Bahkan, 50-75% atau lebih dari keguguran dini disebabkan oleh kelainan kromosom secara acak, kelainan kromosom ini biasanya numerik (Fritz dan Speroff, 2005).

b. Usia ibu yang lanjut.

Pada usia 40, lebih dari sepertiga dari seluruh kehamilan, pada usia 43, setengah dari seluruh kehamilan dan setelah usia 45, hampir semua kehamilan akan mengalami keguguran. Sebagian besar embrio memiliki jumlah abnormal kromosom (Fritz dan Speroff, 2005; ASRM 2008).

c. Kelainan hormonal.

Progesteron diperlukan untuk kehamilan agar dapat berlanjut (Pritts dan Atwood, 2002). Masih ada kontroversi mengenai kondisi yang disebut dengan defek fase luteal dimana kadar progesteron rendah selama kehamilan dan ini dinyatakan dapat menyebabkan keguguran (Erdem et al, 2009).

d. Kelainan metabolik.

Diabetes yang tidak terkontrol meningkatkan risiko keguguran pada wanita. Obesitas (Clark et al, 1998) dan Sindrom Ovarium polikistik (PCOS), memiliki resiko yang lebih tinggi terjadinya keguguran karena adanya resistensi insulin (Wang et al, 2001) atau karena meningkatnya kadar androgen dan LH (Clifford, 1996). Pasien dengan gangguan tiroid yang tidak diobati juga dapat mengakibatkan keguguran berulang (Abalovich et al, 2002).

e. Kelainan uterus.

Distorsi rongga rahim dapat ditemukan pada sekitar 10% sampai 15% dari wanita dengan keguguran berulang. Kelainan bawaan seperti uterus didelphys, bicornis, unicornis, septum uterus, sedangkan sindrom ashermann, fibroid dan polip rahim yang merupakan kelainan yang didapat juga menyebabkan keguguran berulang (Salim et al, 2003).

f. Sindrom antifosfolipid.

Tes darah untuk antibodi anticardiolipin, β2 glicoprotein dan lupus antikoagulan dapat mengidentifikasi wanita dengan sindrom antifosfolipid, yang menyebabkan trombosis pasokan darah ke konsepsi. Sekitar 3% sampai 15% dari keguguran berulang disebabkan oleh kondisi ini (Empson, 2002).

(46)

Kelainan bawaan yang meningkatkan risiko pembekuan darah yang serius (trombosis) juga dapat meningkatkan risiko kematian janin pada semester kedua kehamilan. Namun, tidak ada manfaat yang terbukti untuk pemeriksaan atau pengobatan dengan trombofilia pada keguguran berulang semester pertama kehamilan (Mico dan D'uva, 2009).

h. Rhesus tidak cocok.

Sekarang diketahui bahwa tanpa profilaksis, ada kemungkinan 15% dari imunisasi rhesus menyebabkan konsekuensi bencana keguguran pada kehamilan berikutnya untuk wanita Rhesus negatif dengan suami Rhesus positif (ACOG, 1996).

i. Tidak diketahui

Pada 50-70% pasangan dengan keguguran berulang umumnya tidak diketahui penyebabnya (ASRM, 2008).

j. Infeksi bakteri, virus dan parasit semua bisa mengganggu perkembangan awal kehamilan, tetapi tidak ada yang tampaknya menjadi penyebab signifikan keguguran berulang. Penapisan Toksoplasmosis - Rubella - Cytomegalovirus - Herpes (TORCH) oleh karenanya mempunyai nilai terbatas dalam penyelidikan keguguran berulang, di luar sebuah episode infeksi akut (Charles dan Larsen, 1990).

k. Lingkungan yang mengandung racun seperti pestisida, logam berat seperti air raksa dan timah, pelarut organik, dan konsumsi alkohol yang berlebihan, radiasi pengion (Korrick et al, 2001). Perokok berat, kafein, dan hipertermi juga diduga menyebabkan keguguran berulang (Gardella dan Hill, 2000). l. Faktor laki-laki.

Ada penemuan dari studi yang kontroversial bahwa kerusakan DNA sperma dapat mempengaruhi perkembangan embrio dan kemungkinan dapat menyebabkan keguguran. Namun, data ini masih awal dan tidak diketahui seberapa sering cacat sperma berkontribusi pada keguguran berulang (Hankel et al, 2004).

(47)

2.1.5 Pemeriksaan

Berdasarkan Evidence Based Medicine maka pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasangan dengan keguguran berulang adalah berikut:

a. Pemeriksaan status Koagulasi darah.

Wanita dengan riwayat tiga atau lebih keguguran sebelum 10 minggu, atau kematian janin ≥ 10 minggu yang tidak dapat dijelaskan dengan janin morfologis normal, atau lahir prematur ≤ 34 minggu dengan preeklamsia berat atau insufisiensi plasenta, harus ditawarkan tes Lupus Antikoagulan, antibodi anticardiolipin, antibodi ß2 glycoprotein-1 untuk memastikan diagnosa sindroma antifosfolipid (Micco and D’uva ,2009; Empson et al, 2002) . Hubungan wanita yang mengalami keguguran <10 minggu dengan trombofilia yang diturunkan, termasuk Faktor V Leiden, defisiensi resistensi protein C teraktivasi, prothrombin G20210A dan defisiensi protein S masih simpang siur. Studi epidemiologi yang lebih besar jelas diperlukan untuk membenarkan pengujian penapisan trombofilia diwariskan dalam praktek klinis rutin (Dawood et al 2003; Bohlmann et al, 2004).

b. Pemeriksaan endokrinologis.

Data-data epidemiologi awal telah menunjukkan hubungan antara keguguran berulang dengan hipotiroidisme atau diabetes mellitus. Meskipun bukti saat ini menunjukkan bahwa hipotiroidisme dan diabetes yang terkendali tidak berkaitan dengan keguguran berulang, tes fungsi tiroid dan pengukuran HbA1c yang akurat dan murah masih dapat dianggap sebagai bagian dari evaluasi keguguran berulang (Mills, dkk, 1994; Abalovich et al, 2002). Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko yang signifikan secara statistik dengan keguguran berulang semester pertama. Hubungan Sindrom Ovarium Polikistik (PCOS) dan keguguran berulang telah ditunjukkan, dan dapat merupakan akibat dari hubungan antara obesitas dan keguguran (Clark et al, 1998). Gangguan endokrinologi lainnya seperti hipersekresi LH (Regan et al, 1990), resistensi insulin tinggi, hiperandrogenemia (Rai et al, 2000), hiperprolaktinemia (Hukum, 2005) dan defek fase luteal telah dikaitkan dengan keguguran berulang (Karamadian dan Grimes, 1994).

(48)

c. Pemeriksaan imunologis .

Respon imun yang berlebihan terhadap antigen ayah sehingga menghasilkan sel-sel imun yang abnormal dan produksi sitokin telah dan masih dianggap sebagai salah satu penyebab keguguran berulang. Secara khusus, perhatian saat ini difokuskan pada hubungan antara keguguran berulang dan sel Natural Killer (NK). Meskipun banyak bukti-bukti yang bertentangan, studi ini menunjukkan perbedaan kadar darah perifer-sel NK pada wanita dengan keguguran berulang (Tang et al, 2011). Perbedaan fenotipik dan fungsional antara sel-sel darah perifer NK, dan tes untuk mengukur sel-sel NK dalam darah perifer tidak memberikan informasi yang berguna mengenai jumlah sel NK uterus . Dalam konteks ini, pengujian sel darah perifer NK tidak boleh dilakukan secara rutin dalam evaluasi keguguran pada keguguran spontan secara umum dan keguguran berulang pada khususnya (Jauniaux et al, 2006). Keseimbangan antara sitokin Th1 dan sitokin Th2 adalah penting untuk menunjang berlanjutnya kehamilan. Sitokin Th1 membantu penolakan allograft dan sitokin Th2 menghambat respon Th1 (Piccinni, 2006).

d. Pemeriksaan sitogenetika orang tua.

Insiden kelainan struktur kromosom, biasanya berupa translokasi seimbang meningkat pada pasangan dengan keguguran berulang. Semua empat faktor, yaitu usia ibu muda pada keguguran kedua, riwayat tiga atau lebih keguguran, riwayat dari dua atau lebih keguguran pada seorang saudara atau saudari, dan sejarah dari dua atau lebih keguguran pada orangtua pasangan baik dari istri maupun suami akan meningkatkan probabilitas status karier bila ada empat faktor yang digabungkan. Setelah satu keguguran, secara umum masih dapat diterima untuk menahan diri dari pemeriksaan analisa kromosom. Insiden status karier setelah satu keguguran adalah 2,2%. Dengan demikian disarankan untuk merujuk untuk kariotipe orangtua hanya bila probabilitas status carrier ≥ 2,2% (Franssen et al, 2005).

e. Pemeriksaan histopatologi dan sitogenetika.

(49)

jaringan plasenta dan / atau janin pada kasus keguguran berulang untuk kepentingan penanganan kehamilan di masa yang akan datang masih harus dipelajari . Secara keseluruhan, tidak tepatnya dalam laporan morfologi vili dan keterbatasan klinis yang bermakna dari temuan tentang adanya aneuploidi pada keguguran sporadis telah membuat banyak penulis menyimpulkan bahwa klasifikasi histologis adalah pemeriksaan klinis yang tidak berharga (Fox et al, 1993).

f. Pemeriksaan kelainan anatomi.

Prevalensi dan dampak malformasi uterus terhadap fungsi reproduksi pada populasi umum belum jelas dapat dipastikan. Secara tradisional, laparoskopi, Histerosalpingografi (HSG) dan / atau histeroskopi telah digunakan untuk mendiagnosa malformasi uterus pada wanita dengan keguguran berulang. USG, USG 3D khususnya, cukup akurat,hasilnya terpercaya , non-invasif, dengan basis rawat jalan untuk diagnosis kelainan kongenital rahim. Telah dilaporkan bahwa wanita dengan rahim ber septum memiliki insiden yang lebih tinggi keguguran trimester pertama, sedangkan wanita dengan rahim arkuata lebih sering terjadi keguguran pada trimester kedua dan kelahiran prematur (Salim et al, 2003).

g. Pemeriksaan infeksi.

Sangat kecil kemungkinan infeksi pada ibu dapat menyebabkan keguguran berulang. Tidak ada hasil positif dan korelasi keguguran berulang dengan TORCH (Toxoplasmosis - Rubella - Cytomegolavirus - Herpes) dan pemeriksaan klamidia. Di Inggris, sebagian besar unit di rumah sakit telah berhenti melakukan tes ini (Li et al, 2002).

Vaginosis bakterial adalah infeksi vagina yang dapat menyebabkan kelahiran prematur dan kematian janin tetapi tidak terkait dengan keguguran dini (Hay et al, 1994; Trabert dan Misra, 2007; Waters et al, 2008).

2.1.6 Pemeriksaan keguguran berulang dini

Yang diusulkan pemeriksaan untuk keguguran berulang dini untuk menemukan penyebabnya adalah sebagai berikut:

a. Pemeriksaan sitogenetika orangtua

(50)

keguguran pada seorang saudara atau saudari, dan sejarah dari dua atau lebih keguguran pada orangtua dari istri maupun suami dapat meningkatkan kemungkinan status karier yang diperoleh saat ini bila empat faktor digabungkan. Setelah satu keguguran, secara umum diterima untuk menahan diri dari pemeriksaan analisa kromosom. Insiden status karier setelah satu keguguran adalah 2,2%. Dengan demikian disarankan untuk melakukan pemeriksaan untuk kariotipe orangtua hanya bila probabilitas status carrier ≥ 2,2% (Franssen et al, 2005).

b. Gangguan metabolik

Hanya diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan keguguran berulang. Kadar gula darah puasa atau HBA1c cukup untuk penapisan diabetes (Mills et al,1994)

Hipotiroidisme sebagai penyebab keguguran dapat disaring dengan pengujian kadar TSH (Abalovich et al, 2002).

c. Gangguan endokrin reproduksi

Beberapa gangguan endokrin reproduksi adalah:

1. PCOS dapat didiagnosis dari kriteria Rotterdam yang memenuhi setidaknya 2 dari berikut: oligo / anovulasi, tanda biokimia dan / atau klinis hiperandrogenisme; ovarium Polikistik setelah eksklusi gangguan terkait (Wang et al, 2001).

2. Hiperprolakinemia dapat didiagnosis dari tes kadar prolaktin jika> 25 mIU / Ml diidentifikasi sebagai hiperprolaktinemia (UU, 2005).

3. Defek Fase luteal ini dapat didiagnosis dari riwayat menstruasi yang singkat di mana periode menstruasi kurang dari 26 hari atau dengan uji progesteron mid luteal yang <10 ng / dl dianggap sebagai tanda defek fase luteal (Karamadian dan Grimes, 1994).

d. Gangguan imunologi

(51)

e. Idiopatik

Ketika semua pemeriksaan di atas dinyatakan normal.

Gambar 1 Bagan pemeriksaan Keguguran berulang dini (Dimodifikasi dan direproduksi dari Baziad et al, 2010)

Keguguran berulang

Analisa

Kromosomal

Hormonal

Metabolik

Tiroid DM

Reproduktif

PCOS

Hiperprolaktinemia Defek Fase

Luteal

Imunologi

LINGKUNGAN

- Pestisida

- Logam berat - Suhu

- Radiasi

LIFESTYLE

- Alkohol - Kopi - Merokok

(52)

2.1.7 Pemeriksaan pada kematian janin

Pemeriksaan pada kematian janin meliputi seluruh pemeriksaan pada keguguran berulang dini ditambah dengan pemeriksaan tambahan sebagai berikut:

1 Gangguan hematologi

a. Wanita dengan keturunan trombofilia, termasuk Factor V Leiden defisiensi, resistensi protein C teraktivasi, prothrombin G20210A, dan defisiensi protein S dapat diselidiki dengan pemeriksaan waktu prothrombin, activated prothrombin time (aPTT), protein C, protein S, resitensi protein C teraktivasi, fungsi trombosit (Dawood et al, 2003; Bohlmann et al, 2004). b. Ketidakcocokan rhesus akan menyebabkan keguguran setelah kehamilan

berikutnya dari ibu dengan golongan darah rhesus negatif yang mengandung bayi dari suami dengan golongan darah rhesus positif dengan kemungkinan sebanyak 15% (ACOG, 1996).

2. Kelainan Anatomi

a. Kelainan kongenital rahim seperti rahim unikornuat, septum, didelfis, bikornuat, dan arkuata.

b. Kelainan rahim yang didapat seperti mioma, polip, dan Sindrom Ashermann itu.

c. Serviks inkompeten (Salim et al, 2003).

3. Infeksi cervicitis dan vaginitis yang disebabkan oleh vaginosis bakterial (Waters et al, 2008).

(53)
(54)

2.1.8 Pengelolaan keguguran berulang

Manajemen keguguran berulang berdasarkan pada etiologi nya (Baziad et al, 2010):

A. Kelainan kromosom

Pasien harus diberitahu dan ditawarkan untuk skrining prenatal. Tidak ada pengobatan khusus untuk kelainan genetik yang diturunkan kecuali dengan donor embrio atau sel gamet.

a. Gangguan metabolik

1. Diabetes mellitus, gula darah harus dikontrol dengan menggunakan obat antidiabetik oral seperti kelompok sulfonilurea atau metformin.

2. Hipotiroidisme dapat diobati dengan suplemen tiroksin. b. Gangguan endokrin reproduksi

1. PCOS dan defek fase luteal dapat diobati dengan induksi ovulasi dan obat penyokong fase luteal.

2. Hiperprolaktinemia dapat diobati dengan dopamine agonis seperti bromokriptin.

c. Gangguan imunologi

Sindrom antifosfolipid dapat diobati dengan kombinasi antikoagulan seperti heparin dan agen anti trombotik seperti aspirin dosis rendah.

d. Gangguan hematologi

Trombofilia dapat diobati dengan antikoagulan seperti heparin. e. Kelainan Anatomi

Kelainan rahim dapat dikelola dengan operasi khusus seperti septum dapat diobati dengan reseksi histeroskopi.rahim bikornuat dapat diobati dengan metroplasti. Mioma dapat diobati dengan miomektomi, Sindrom Ashermann bisa diobati dengan histeroskopi adhesiolisis.

Serviks inkompeten dapat dikelola dengan circlage serviks

(55)

kopi yang berlebihan harus mengurangi atau berhenti dari kebiasaan itu. Bagi mereka yang bekerja dengan pestisida, logam berat atau lingkungan panas

yang berlebihan harus diubah dan menghindari lingkungan seperti itu. i. Idiopathik

Tidak ada pengobatan spesifik.

(56)
(57)

2.2 Faktor Pria faktor dan keguguran berulang

Banyak aspek wanita telah diteliti untuk mencari berbagai faktor penyebab terjadinya keguguran berulang, tetapi sangat sedikit yang dilakukan terhadap faktor laki-laki. Gamet jantan memberikan kontribusi 50% dari bahan genom untuk embrio dan berkontribusi untuk perkembangan plasenta dan embrio (Sutovsky et al, 2000). Perubahan genetik dan epigenetik sperma oleh karena itu mungkin memiliki konsekuensi penting pada awal kehamilan. Perubahan epigenetik dalam sperma, seperti pengepakan kromatin yang berubah, kesalahan pencetakan, ketiadaan atau perubahan pemendekan, Sentrosom telomer, dan tidak adanya RNA sperma, dapat mempengaruhi beberapa karakteristik fungsional yang menyebabkan keguguran embrio dini(Gill Villa dkk, 2007 ).

Ada standar penilaian faktor pria dengan menggunakan analisis semen standar untuk menilai jumlah, motilitas dan indeks morfologi sperma. Tidak ada asosiasi yang kuat antara keberhasilan fertilisasi dan pembelahan embrio pada program fertilisasi in vitro dengan morfologi sperma berdasarkan Kriteria Kruger, yang menunjukkan bila sperma dengan morfologi yang abnormal akan menghasilkan embrio kualitas buruk . Embrio dengan kualitas yang jelek ini kemudian mungkin akan menyebabkan keguguran berulang, tetapi korelasi keguguran berulang dengan indeks morfologi sperma yang buruk masih belum signifikan (Kazerooni et al, 2009). Semua parameter dalam analisis semen gagal tampil sebagai faktor etiologi yang penting dalam keguguran (Hommonai et al, 1980; Sbracia et al, 1996). Tes fungsi sperma lain seperti uji Hypoosmotik (HOS) , status acrosomal dan dekondensasi kromatin nukleus juga diselidiki dalam kaitan dengan keguguran, tetapi hasilnya masih kontroversial (Saxena et al, 2008; Gill Villa et al, 2010).

(58)

fragmentasi DNA sperma dapat mengungkapkan kelainan tersembunyi dalam DNA sperma pada pria tidak subur yang saat ini diklasifikasikan sebagai kelainan yang mana tidak dapat dijelaskan dengan parameter sperma normal standar (Irvine et al, 2000). Pria infertil dengan karakteristik analisa sperma yang abnormal menunjukkan peningkatan kadar kerusakan DNA pada sperma mereka. Sperma dari pria infertil dengan sperma yang kelihatan normal dapat terlihat level kerusakan DNA sebanding dengan laki-laki infertil dengan parameter sperma yang abnormal. Data menunjukkan bahwa tes abnormal lebih mungkin terjadi dalam kasus-kasus parameter sperma abnormal. Dengan demikian, uji ini idealnya cocok untuk klinik kesuburan untuk menilai integritas DNA sperma laki-laki dalam kaitannya dengan potensi kesuburan dan perkembangan embrio serta efek dari bahan beracun reproduktif (Saleh et al, 2002).

Fertilisasi dan perkembangan embrio mamalia selanjutnya tergantung sebagian pada integritas yang melekat pada DNA sperma (Ahmadi dan Ng, 1999). Memang, tampaknya ada batas ambang kerusakan DNA sperma (fragmentasi DNA, kemasan kromatin yang abnormal, dan defisiensi protamine) yang mana bila dilewati akan timbul gangguan perkembangan dan kehamilan (Cho et al, 2003). Uji integritas DNA telah dikembangkan dan diterapkan dalam praktek klinis. Namun, data dari studi untuk mengevaluasi pengaruh integritas DNA sperma pada luaran reproduksi belum pernah dianalisis secara sistematis.

2.3 Fragmentasi DNA Sperma

2.3.1 DNA sperma Manusia dan struktur kromatin

(59)

integritas genom ayah selama transportasi melalui saluran reproduksi laki-laki dan perempuan dan menjamin DNA ayah disalurkan kedalam proses penyatuan dari dua genom gamet dan mewariskan informasi genetik kepada embrio yang telah terbentuk (Ward dan Zalensky, 1996). Disulfida cross-link inter dan intramolekular antara protamin memungkinkan pemadatan lebih lanjut dan stabilisasi inti sperma, melindungi DNA sperma dari stres eksternal dan kerusakan DNA berikutnya. Kurangnya protamin yang kaya sistein akan menyebabkan instabilisasi DNA sperma. Ada 3 jenis protamin pada manusia. Protein ini kecil, hanya berukuran setengah dari histon dan sangat basa, 55% - 70% mengandung arginin (Cho et al, 2003).

Pria subur dengan parameter semen normal hampir semua memiliki tingkat kerusakan DNA yang rendah, sedangkan laki-laki tidak subur, terutama mereka dengan parameter sperma yang abnormal mempunyai derajat kerusakan DNA yang lebih tinggi. Selain itu, sampai dengan 8% dari pria subur akan memiliki integritas DNA yang abnormal meskipun parameter semen normal (konsentrasi, motilitas, dan morfologi) (Spano et al, 2000).

2.3.2 Etiologi kerusakan DNA sperma

Etiologi kerusakan DNA sperma sama seperti etiologi infertilitas pria, tampaknya multifaktorial dan berupa faktor intrinsik atau eksternal dan sampai sekarang tidak sepenuhnya dipahami.

Gangguan intrinsik yang dapat mempengaruhi kerusakan DNA sperma meliputi: 1. Defisiensi protamin, yang mungkin menyebabkan masalah dalam

pemadatan DNA dan stabilisasi, di mana jika longgar, DNA akan mudah terfragmentasi (Cho et al, 2003; Oliva, 2006).

2. Mutasi yang mempengaruhi merusak proses pemadatan DNA (Gatewood et al, 1990).

3. Defek proses pengemasan DNA. Selama tahap akhir pematangan sperma, untai DNA dipecahkan oleh topoisomerase secara temporer dan ditemukan pada spermatid bulat dan lonjong, sementara itu inti histon dalam spermatid dihancurkan dan digantikan oleh protamin untuk proses pengemasan kromatin ulang. Jika pemecahan sementara DNA tidak diperbaiki karena berlebihan topoisomerase atau kekurangan topisomerase inhibitor maka fragmentasi DNA akan terjadi (Balhorn, 1982; Sharma et al, 2004).

(60)

4. Apoptosis abortif. Sampai dengan 75% spermatozoa potensial menyelesaikan proses kematian sel terprogram (apoptosis) selama spermatogenesis (Hikim et al, 1999). Proses ini bertujuan untuk membatasi garis sel germinal supaya sebanding dengan jumlah sel Sertoli yang mendukung mereka. Spermatozoa yang mulai menjalani apoptosis tetapi kemudian terhindar dari proses ("apoptosis abortif") akan menderita peningkatan kerusakan DNA (Sakkas et al, 2003). Teori ini didukung dengan ditemukannya Fas spermatozoa pada ejakulasi, spermatozoa yang mengandung banyak mitokondria yang apoptotik (Donnelly et al, 2000) dan adanya kehadiran aktivitas endonuklease, salah satu mediator potensial dalam apoptosis (Spadofora, 1998).

5. Tingginya kadar Reactive Oxygen Species (ROS) yang terdeteksi dalam cairan semen 25% dari pria infertil (Agarwal et al, 1994), dan kerusakan DNA sperma telah dikaitkan dengan kadar yang tinggi ROS dalam semen (Zini dan Lamirande, 1993). Sumber utama ROS dalam semen berasal dari leukosit (Ozgocmen et al, 2003) dan morfologi sperma dengan bentuk abnormal (Aitken dan Barat, 1990). Dalam keadaan normal, ROS berguna untuk meningkatkan fungsi sperma untuk kapasitasi, reaksi akrosom dan fusi sperma ke dalam oosist (Gagnon et al, 1991). Jumlah ROS juga dikendalikan oleh antioksidan semen. Ketika ROS berlebihan dibanding jumlah antioksidan semen ,keadaan ini disebut sebagai stres oksidatif (Aitken dan Fisher, 1994), ini akan mengoksidasi asam lemak tak jenuh ganda pada membran sperma dan selanjutnya akan terjadi kerusakan DNA (Lopes et al, 1998).

6. Usia ayah yang lanjut telah dikaitkan dengan kerusakan DNA sperma yang mungkin karena disebabkan proses mutasi dan apoptosis (Singh et al, 2003).

(61)

kriptorkismus dan kanker semua telah dikaitkan dengan peningkatan kerusakan DNA pada model binatang atau manusia (Evenson et al, 2006). Kurangnya stimulasi FSH juga akan meningkatkan fragmentasi DNA (Hikim et al, 1999). Akhirnya, tehnik preparasi sperma dengan menggunakan sentrifugasi kecepatan tinggi dan isolasi sperma dari cairan semen, yang mengandung antioksidan yang bersifat protektif , dapat berkontribusi terhadap kerusakan DNA sperma (Donnelly et al, 2000; Younglai et al, 2001).

2.3.3 Konsekuensi kerusakan DNA sperma

Sperma dengan fragmentasi DNA yang tinggi akan kehilangan kemampuannya untuk membuahi sel telur (Ahmadi dan Ng, 1999). Sampai tingkat tertentu kerusakan DNA sperma, oosit memiliki kemampuan untuk memperbaiki kerusakan DNA sperma dan telah dibuktikan dalam telur hamster (Genesca dan Caballin, 1992). Jika sel telur dibuahi dan menjadi embrio, kemungkinan menjadi cacat akan lebih tinggi. Hasil kehamilan dapat berakhir dengan keguguran atau keturunan dengan kelainan genetik (Crow, 1997). 2.3.4 Interpretasi hasil indeks fragmentasi sperma

Kerusakan DNA sperma dapat diukur dan dinyatakan sebagai Indeks Fragmentasi DNA sperma (DFI) dengan menghitung jumlah sperma dengan DNA terfragmentasi dan bandingkan dengan total sperma dihitung. Ambang batas DFI untuk manusia pertama kali dibuat menggunakan data-data dari 200 pasangan usia subur diduga berusaha untuk hamil secara alami dalam "Studi Faktor Infertilitas Pria Georgetown". Data-data dari studi ini digunakan untuk menetapkan ambang statistik DFI> 30% untuk 'lag signifikan', DFI 15-30% untuk 'batas ambang' dan DFI <15% untuk 'status kesuburan tinggi' (Evenson et al, 2006 ).

(62)

signifikan memprediksi keberhasilan kehamilan yang rendah dengan menggunakan in-vivo, IUI, dan IVF dan tingkat fertilisasi yang lebih rendah dengan ICSI (Morris et al, 2002). Data ini jelas menunjukkan bahwa DFI merupakan komponen penting dari pemeriksaan infertilitas dan menyarankan bahwa jika seorang pria memiliki DFI dari> 30% bahwa IUI seharusnya tidak dipertimbangkan dan bahwa langkah untuk pasangan ini adalah lebih tepat IVF atau ICSI (Bungum et al, 2004 ).

2.3.5 Metode untuk penilaian fragmentasi DNA sperma

Ada beberapa metode dalam penilaian fragmentasi DNA sperma:

a. Pewarnaan Asam anilin biru, dengan mendeteksi histon kaya lisin dan dan dan protamin kaya arginin. Histon akan menyerap warna biru dan protamin tidak akan menyerap warna biru (Hammadeh et al, 2001).

b. Acridine orange Test (AOT), dengan mendeteksi kerusakan DNA sperma menggunakan flow cytometer . Sperma yang dipanaskan sampai 100 ° C selama 5 menit untuk denaturasi DNA dan diikuti dengan pewarnaan dengan acridine Orange (AO), AO interkalasi ke dalam DNA asli dan berfluoresensi hijau bila terkena cahaya biru dan berfluoresensi merah bila dikaitkan dengan DNA beruntai tunggal (Agarwal et al, 2008).

c. Dalam uji in situ nick translation incorporation of biotinylated deoxyuridine trifosfat (dUTP) pada rantai tunggal DNA yang pecah dalam reaksi yang dikatalisis oleh enzim yang dependen DNA polimerase I. Secara khusus sperma yang mengandung cukup banyak kerusakan DNA endogen akan terwarnai (Manicardi et al, 1998).

d. Terminal Deoxynucleotidyl Mediated dUTP transferase Nick end labeling assay (Tunel), esensi dari tes adalah untuk mentransfer nukleotida berlabel ke 3 ° OH dari untai DNA yang pecah dengan menggunakan terminal deoxynucleotidyl transferase. Intensiatas Fluoresens dari masing-masing diperiksa sperma ditentukan sebagai ya atau tidak untuk sperma pada slide mikroskop cahaya fluoresence atau dengan saluran intensitas fluoresen dalam alat flow cytometer (Sailer et al, 1995).

Gambar

Tabel 1 Klasifikasi keguguran berulang sesuai dengan usia kehamilan
Tabel 2 Resiko keguguran dini  pada wanita muda (Roma, 1984)
Gambar 1 Bagan pemeriksaan Keguguran berulang dini  (Dimodifikasi dan
Gambar 4 Metabolisme  homositein direproduksi dari Malinow et al, 1999  gambar di atas, mereka menghasilkan  pembentukan sistein dan metionin, yang dapat lebih digunakan oleh tubuh
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 1: Ompung yang akan diberikan tungkot dan sulang-sulang dari pahompu. sebelum mandi dan diusei (diganti pakaiannya dengan

Selanjutnya, dalam buku pedoman pelatihan “Peningkatan Kompetensi Kepala Sekolah dalam Mengelola Implementasi Kurikulum: Evaluasi Diri Sekolah” dikemukakan bahwa EDS

Kategori verba kejadian dalam kajian ini diilustrasikan dengan komponen semantis ‘sesuatu terjadi pada sesuatu/seseorang karena seseorang yang lain melakukan sesuatu’.. Verba

Abstrak: Penelitian kualitatif ini mendeskripsikan metakognisi mahasiswa perempuan dengan gaya kognitif reflektif dan impulsif dalam menyelesaikan masalah bangun datar. Subjek

Hasil penelitian yang dilakukan pada PT.Citra Raja Ampat Canning Sorong pada bagian gudang jadi ,dengan menggunakan lembar cheeck sheet didapat 30 sampel basket produk

The guidelines of this research were: the integrated use between scanner-laser data and digital photogrammetry; the management of the points cloud as first 3d discrete model and its

Sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2006 Bab III Pasal 7, pengumpulan ZIS dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a) melalui petugas operasional;

Dalam proses pendekatan konsep dengan analisis tapak, dipilih lokasi lapangan Rampal Kota Malang, karena selain lokasinya yang sering digunakan sebagai acara musik, lokasi