FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM
PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
YANG MENUNGGAK PAJAK
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)
S K R I P S I
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
O l e h :
YASMINE A. NST 030200174
Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM
PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
YANG MENUNGGAK PAJAK
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)
S K R I P S I
O l e h :
YASMINE A. NST 030200174
Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM
PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
YANG MENUNGGAK PAJAK
(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum
O l e h :
YASMINE A. NST 030200174
Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang
Disahkan Oleh
Ketua Bagian Hukum Keperdataan
Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS.
NIP. 1310764 556
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
M. Hayat, SH Megarita, SH, CN, M.Hum
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT, sehingga skripsi
ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penulis bersyukur kepada Allah SWT
karena telah memberikan banyak nikmat termasuk nikmat kesehatan sehingga
penyusunan skripsi ini tidak menemui kendala yang berarti.
Skripsi yang berjudul: “Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Proses
Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak” ini merupakan
kewajiban Penulis guna melengkapi tugas akhir Penulis dalam memperoleh gelar
kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun demikian,
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan skipsi ini.
Selama dalam penulisan skripsi ini, Penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan
waktu dan dukungannya hingga selesainya penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam
kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, Medan..
2. Bapak Prof Dr. Tan Kamello, S.H, M.S, selaku Ketua Jurusan Departemen
Hukum Perdata Dagang.
3. Bapak M.Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak
4. Ibu Megarita, S.H., C.N, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan yang sangat
Penulis butuhkan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah banyak
membantu Penulis dalam masa perkuliahan
6. Ibu Rafiqah S.H. M.Hum., Bapak Dedi Harianto S.H. M.Hum., dan seluruh
dosen serta staf pengajar lainnya yang telah memberikan bimbingan dan
pengajarannya selama penulis dalam masa perkuliahan sehingga kelak ilmu
tersebut dapat berguna bagi Penulis untuk menjalankan kehidupan nantinya.
7. Ayah dan bundaku tersayang (Drs. H. Zachruddin Nst dan Hj. Wartawani Lbs)
atas kasih sayang dan perhatiannya yang tak terhingga yang takkan bisa
Penulis balas dengan apapun juga.
8. Gadiz Ganksta a.k.a Dogerz (Esther Patricia Juniarti Simamora a.k.a ndut
cayank, Reny Aswita Sianturi a.k.a Bamba, Dewi Novita Tarigan a.k.a Ophey,
Margaretta Silvia Rosa Silitonga a.k.a Comel, Dwinda Asterita Permanasari
Sembiring a.k.a Dida, and last but not least Anju Ciptani Putri Manik a.k.a
Jupek). Friendship is one of the hardest things to keep coz somewhere in the
middle, new friend may come but I hope you still keep me in your heart even
if someone new come along.
9. QFC (Risa Tresna Mukti, Novi Herwina Nst, Fauriza Wildhani Dalimunthe,
Neni Azrina, Athiah Ramadhani Siregar, dan Tri Ramadhani).
Medan, Agustus 2007
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
ABSTRAKSI ... v
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Kepustakaan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode Penelitian ... 15
G. Sistematika Penulisan ... 16
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK ... 18
A. Pengertian dan Sejarah Pajak ... 18
B. Subjek dan Objek Pajak ... 27
C. Penggolongan Jenis Pajak ... 37
D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak ... 40
BAB III. PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK ... 47
A. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak ... 48
B. Yurisdiksi Penagihan Pajak ... 54
C. Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak ... 56
D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ... 69
E. Pengertian dan Sanksi bagi Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ... 78
BAB IV. FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN ... 88
A. Pengertian Penyanderaan ... 89
B. Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Dikenakan Penyanderaan . 92 C. Contoh Kasus Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ... 96
D. Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penyanderaan ... 99
E. Prosedur Penghentian Penyanderaan ... 110
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116
A. Kesimpulan ... 116
B. Saran ... 119
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
ABSTRAKSI
Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, maka negara mencari pembiayaannya melalui berbagai sektor, khususnya melalui sektor pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esssensial. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Karena Pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis, yaitu untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan. Untuk kepentingan tersebut, maka dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan lainnya yang mengatur mengenai pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. Dalam hal ini akan dititikberatkan pada penagihan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penagihan pajak dilaksanakan berdasarkan UU No. 19 tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Surat paksa tersebut memiliki kekuatan eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat paksa tersebut antara lain memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penyanderaan (Gijzeling) adalah merupakan suatu paksaan untuk dilakukannya sita badan terhadap Wajib Pajak yang telah melalaikan kewajibannya sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi pihak pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus melakukannya secara selektif dan hati-hati karena ini menyangkut Hak Asasi Manusia. Dan pelaksanaannya pun hanya dapat dilakukan setelah melalui rangkaian kegiatan penagihan pajak lainnya.
Seperti yang telah dikemukakan diatas maka yang menimbulkan permasalahan dalam masyarakat adalah hal-hal mengenai bagaimana masyarakat dalam hal ini adalah Wajib Pajak dapat dikenakan penyanderaan, bagaimana proses pemberlakuan dan penghentian proses penyanderaan itu serta bagaimanakah fungsi dan peran lembaga penyanderaaan sehingga dapat mendorong pencairan tunggakan pajak dari Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya tersebut.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas suatu negara pada prinsipnya adalah berusaha dan bertujuan untuk
menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus
tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan
masyarakat, terutama di bidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan biaya-biaya yang
cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan
cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang
harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Tanpa pemungutan
pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih
bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Sebab pajak merupakan
pemasukan yang utama bagi negara disamping pemasukan-pemasukan dari sektor
lainnya seperti : devisa sebagai hasil ekspor negara, laba dari perusahaan negara,
kredit dari luar negeri, pencetakan uang oleh pemerintah melalui bank sentral,
uang administrasi, denda, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pajak merupakan
pungutan yang bersifat politis dan strategis. Bersifat politis karena pemungutan
pajak adalah perintah konstitusi, dan bersifat srategis karena pajak merupakan
tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
itu perlu adanya pemahaman dari anggota masyarakat khususnya bagi wajib pajak
mengenai seluk-beluk perpajakan yang begitu kompleks dan rumit. Oleh karena
itu dengan adanya perkembangan masyarakat yang semakin pesat dan dengan
dilandasi oleh unsur keadilan dalam pemungutan dan atau penagihan pajak, maka
dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan yang
mengatur mengenai siapa saja yang menjadi subjek dan objek pajak, bagaimana
pelaksanaan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak, jenis-jenis pajak apa saja
yang harus dipungut, berapa besarnya pajak yang harus dibayar serta sanksi apa
saja yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak ternyata melalaikan kewajibannya
dalam membayar pajak
Adanya berbagai undang-undang maupun peraturan yang telah
dikeluarkan untuk mengatur perpajakan di negara kita tetap saja tidak dapat
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyaknya Wajib Pajak
yang enggan melaksanakan kewajibannya sehingga timbul tunggakan pajak yang
tidak sedikit jumlahnya dan hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal
ini dapat terjadi dalam masyarakat kita sekarang karena disebabkan oleh banyak
faktor, salah satunya adalah karena Wajib Pajak dengan itikad buruk sengaja
melalaikan kewajibannya untuk membayar pajak.
Apabila dikaitkan dengan hukum yang berlaku di negara kita ini maka
pajak dapat dikaitkan dengan hukum perdata dan hukum pidana. Dikatakan
berkaitan dengan hukum perdata adalah karena pihak Wajib Pajak yang belum
membayar atau melunasi pajaknya maka ia dikatakan mempunyai hutang kepada
(berpiutang) menagih hutang kepada pihak Wajib Pajak sebagai seorang yang
berhutang (debitur).
Seorang Wajib Pajak yang tidak membayar pajak atau membayar tidak
menurut ketentuan yang berlaku maka dikatakan telah melakukan wanprestasi,
yang dalam hal itu negara tetap menuntut pada pihak debiturnya (si berutang).
Kaitan lainnya adalah hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan
pajak berdasarkan perbuatan Hukum Perdata misalnya berupa
perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan, warisan. Seseorang yang melakukan
perjanjian membeli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk
melakukan pemungutan pajak. Sedangkan dalam hal pengertian atau terminologi
seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut subjek
hukum, walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada
pengertian Wajib Pajak.
Sedangkan kaitan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana adalah karena
terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak,
baik dengan memalsukan jumlah perhitungan kekayaan dan laba perusahaan,
penipuan atau berbohong atau dengan menyuap petugas-petugas pajak maka
perbuatan seperti itu merupakan delik tindak pidana yang mana dapat dituntut
berdasarkan hukum acara pidana.
Menurut Pasal 103 KUHPidana, yang menegaskan bahwa ketentuan
pidana yang terdapat pada KUHPidana berlaku juga untuk tindak pidana yang
terdapat dalam undang-undang lainnya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Hukum
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
pun yang dapat dihukum selain atas ketentuan pidana yang terdapat dalam
undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Kemudian dapat
dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 38 dan pasal 39 UU No.6 Tahun
1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut KUP)
yang dengan jelas sekali menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan
kesengajaan) terhadap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan di bidang
perpajakan.
Pada tahun 2000 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) telah mengeluarkan UU No.19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU
No.19 tahun 1997 yakni tentang penagihan pajak dengan surat paksa, yang
kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (PERMA-RI) No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa
Badan, dimana dalam hal Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya sehingga
mengakibatkan tunggakan pajak yang menimbulkan kerugian bagi negara maka
sebagai upaya terakhir dari penagihan pajak yaitu dengan memberlakukan
penyanderaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana yang terdapat dalam UU No.19
Tahun 2000.
Sesuai dengan peraturan dalam perpajakan, bahwa tindakan penagihan
merupakan salah satu bagian dalam kerangka sistem pelaksanaan undang-undang
di bidang perpajakan agar tujuan penerimaan negara dari sektor pajak dapat
berjalan dengan baik. Karena seperti yang kita ketahui bahwa pajak merupakan
resources) sesuai dengan perkembangan ekonomi yang nantinya akan
dikembalikan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu setiap anggota masyarakat
wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya, sesuai
dengan sistem self assessment yang dianut sejak reformasi di bidang
Undang-Undang Perpajakan pada tahun 1983.
Walaupun pada tahun 1975 telah dikeluarkan SEMA No.04 Tahun 1975
tanggal 1 Desember 1975 jo.SEMA No.02 Tahun 1964 tanggal 22 Desember
1964 yang pada dasarnya melarang penggunaan lembaga penyanderaan seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1959 yang diatur dalam bab
III, Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 dikarenakan alasan perikemanusiaan
menurut dasar negara kita yaitu Pancasila sehingga dalam perkembangannya
sekarang ini banyak mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal ini yang kemudian
menjadi pemicu untuk menghidupkan kembali Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)
di negara kita ini. Namun penyanderaan ini bersifat untuk kepentingan negara dan
bukan untuk kepentingan pribadi.
Walaupun pada prakteknya penerapan lembaga penyanderaan (Gijzeling)
ini tentu saja hanya akan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati. Melihat
pentingnya lembaga penyanderaan ini tetap dipertahankan, maka ditindaklanjuti
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.137 Tahun 2000 tentang
Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak
dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Secara psikologis dengan tetap dipertahankannya lembaga penyanderaan ini
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
penanggung pajak menjadi malu jika sampai terkena sandera hanya karena
menunggak pajak.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan persoalan atau persyaratan tentang
sesuatu yang harus dicari pemecahannya. Dalam permasalahan sudah seharusnya
dapat menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk dapat menjawab segala
permasalahan yang timbul dalam penulisan ini maka diusahakanlah untuk
mendapatkan literatur yang memadai untuk membahas permasalahan tersebut.
Maka untuk lebih memahami pembahasan skripsi ini perlu kiranya penulis
mengemukakan beberapa permasalahan yang timbul mengenai keberadaan dan
fungsi lembaga penyanderaan tersebut dalam sistem penagihan pajak.
Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengapa Wajib Pajak cenderung enggan dalam melaksanakan
kewajibannya untuk membayar pajak. Serta bagaimanakah rangkaian
penagihan pajak terhadap Wajib Pajak hingga sampai kepada tahap
penyanderaan.
2. Bagaimana kriteria Wajib Pajak sehingga dapat dikenakan penyanderaan.
3. Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan penyanderaan.
5. Bagaimana peranan lembaga penyanderaan sehingga dapat membantu
usaha pejabat fiskus dalam upaya pencairan pajak terhadap Wajib Pajak
yang menunggak pajak.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Subyektif
Untuk mendapatkan data dan bahan-bahan yang lengkap dan akurat yang
diperlukan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
2. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui fungsi dari lembaga penyanderaan dalam proses
penagihan pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan
kewajibannya dalam membayar pajak.
Didalam penulisan ini ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh
antara lain :
a. Penulisan ini berguna karena dengan mengetahui alasan Wajib Pajak
sehingga enggan memenuhi kewajibannya membayar pajak kita akan
dapat memberikan masukan kepada pemerintah agar tidak terjadi lagi
tunggakan pajak dengan meminimalisasi kemungkinan terjadinya
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
b. Menambah pengetahuan di bidang perpajakan yakni tentang beberapa
kriteria Wajib Pajak yang dapat dikenakan penyanderaan.
c. Penulisan ini juga berguna karena dapat menambah pengetahuan
dalam hal bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan
penyanderaan.
d. Menambah pengetahuan mengenai prosedur penghentian
penyanderaan.
e. Penulisan ini juga berguna untuk menambah pengetahuan dalam hal
keefektifan dari lembaga penyanderaan tersebut dalam rangka
mendorong pencairan tunggakan pajak.
D. Keaslian Penulisan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan mengenai
sandera (gijzeling) di bidang perpajakan telah ada sejak UU No.19 Tahun 1959
dikeluarkan, namun pelaksanaannya telah ditiadakan disebabkan karena tidak
sesuai dengan perikemanusiaan menurut dasar negara.
Namun pada Tahun 2000 yang lalu pemerintah telah dengan tegas
menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya dengan
disengaja sehingga menyebabkan kerugian yang akan berpengaruh terhadap
pembangunan negara, maka olehnya akan dikenakan sandera (Gijzeling). Adapun
pemberlakuan tesebut tetap dilakukan dengan sangat selektif dan hati-hati
sehingga dapat menghukum Wajib Pajak yang benar-benar sudah memenuhi
Karya penulisan mengenai hukum pajak menurut sumber dari jurusan
Keperdataan Dagang Fakultas Hukum USU memang telah ada yang
mengangkatnya sebagai skripsi, namun penulisan mengenai fungsi lembaga
penyanderaan dalam mendorong pencairan tunggakan pajak ini belum pernah
diangkat dalam skripsi. Dengan demikian dalam penulisan karya ilmiah ini
menganggap bahwa perlu kiranya untuk mengangkat pembahasan mengenai
fungsi lembaga penyanderaan ini dan mengupasnya lebih lanjut dalam penulisan
skripsi ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isi dari tulisan ini tidak
sama dengan karya penulisan lainnya yang telah ada selama ini.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam pokok pembahasan ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan
dengan pajak.
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”1
Menurut PJA Adriani pengertian pajak adalah “iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang dan wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”2
1
H. Bohari, 2006, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, hal 24
Sebagai sesuatu yang ada di masyarakat, pajak dapat ditinjau dari berbagai
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
H. Rochmat Soemitro, mengatakan bahwa pajak dilihat dari segi hukum dapat didefenisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar sesuatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.”3
“Dalam peninjauan hukum kita tidak cukup mengetahui penerapannya saja, tetapi harus juga menilai peraturan yang menjadi dasarnya kalau kita bandingkan perikatan yang berupa utang pajak dengan perikatan dalam hukum perdata, maka tampak sekali perbedaannya. Perikatan dalam hukum pajak terjadi hanya karena undang-undang dan tidak mungkin terjadi karena perjanjian”4
a. Sejarah Pajak
Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur
hubungan antara penguasa sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai
pembayar pajak (Wajib Pajak).
Peraturan perundang-undangan tentang pajak banyak mengalami
perubahan, karena seiring perkembangan masyarakat dan juga untuk memenuhi
rasa keadilan bagi Wajib Pajak yang hak dan kewajibannya tidak dapat dianggap
sebagai sesuatu yang mudah, sebab bagaimanapun Wajib Pajak akan selalu
menuntut ketentuan yang jelas dan suatu kepastian hukum yang jelas pula.
1. Sejarah dan Perkembangan Pajak
Masyarakat mengenal istilah pajak sudah sejak zaman penjajahan dahulu,
dan bahkan sebagian besar telah melaksanakannya.
3
H. Bohari op.cit. hal 25
4
Kerajaan-kerajaan di Jawa sekitar abad XIX juga melakukan hal semacam
itu. Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan
antara rumah tangga negara dengan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad
pertengahan mendapat tempat yang lebih mantap diantara pendapatan negara.
Perpajakan di Indonesia pada mulanya mengikuti undang-undang peninggalan
pemerintah Hindia Belanda, namun terjadi perubahan sedikit demi sedikit
memakai peraturan yang memuat ketentuan hukum adat dan sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.
“Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, banyak sekali undang-undang
mengenai pembayaran pajak, sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari, dan undang-undang itu hanya untuk
kepentingan penjajah(pemerintah Hindia Belanda).”5
1) Masa Tahun 1950
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tercapai, ada empat langkah
perubahan yang sangat berarti yaitu :
2) Masa Tahun 1983
3) Masa Tahun 1997
4) Masa Tahun 2000 sampai dengan sekarang
Adanya perubahan-perubahan itu sendiri adalah karena perkembangan ekonomi
dan masyarakat yang begitu cepat disamping tuntutan rasa keadilan dan adanya
reformasi huku m.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
b. Perkembangan Pajak
Pembaharuan peraturan perundang-undangan pajak dilakukan karena
pemerintah menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983
dan sebelumnya) adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat sekarang ini, tidak sesuai dengan struktur
dan organisasi pemerintah tidak berdasarkan pancasila, dan tidak lagi sesuai
dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
2. Jenis-Jenis Pungutan
Selain pajak yang dipungut oleh pemerintah, maka ada dua jenis pungutan
lainnya yaitu retribusi dan sumbangan.
a. Retribusi
Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No.34
tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Pasal 1 angka (26)
disebutkan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin kepentingan orang pribadi atau badan.
“Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan
kembalinya prestasi karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk
mendapatkan prestasi dari pemerintah, misalnya pembayaran uang kuliah, karcis
masuk terminal, dan kartu langganan.”6
1) Retribusi Jasa Umum
Retribusi terbagi atas tiga jenis yaitu :
2) Retribusi Jasa Usaha
6
3) Retribusi Perizinan Tertentu.
b. Sumbangan
Apabila pajak dan rertribusi pungutannya harus berdasarkan
undang-undang maka dalam sumbangan pungutannya tidak berdasarkan undang-undang-undang-undang,
tetapi lebih bersifat pada gotong-royong masyarakat setempat. Pada sumbangan
tidak ada sifat paksaan tetapi suka rela, si pemberi sumbangan dapat merasakan
imbalan langsung atas hasil sumbangannya.
“Pada sumbangan seseorang yang mendapatkan prestasi justru tidak dapat
ditunjuk, tetapi golongan tertentu yang dapat menikmati kontra prestasi sebagai
contoh sumbangan bencana alam.”7
c. Bea dan Cukai
Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut atas kewenangan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan. Bea merupakan tariff
yang sudah ditentukan atas suatu barang. Sedangkan Cukai adalah pungutan yang
dikenakan atas barang-barang tertentu seperti : rokok, minuman keras dan
lain-lain.
d. Iuran
Iuran adalah merupakan pungutan yang dilakukan terhadap masyarakat
tertentu, dilakukan oleh pemerintah atas dasar Wajib pajak telah menerima
sesuatu jasa dari pemerintah.
3. Penggolongan Jenis Pajak
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
a.”Menurut sifatnya, pajak terbagi dua yaitu :
1) Pajak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara periodik
(berulang-ulang) missalnya pajak penghasilan.
2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara insidental
(pada saat tertentu) misalnya, Pajak Pertambahan Nilai.8 b. “Menurut objeknya, pajak terbagi dua yaitu :
1) Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan kepada keadaan pribadi
Wajib Pajak (subjeknya), misalnya Pajak Penghasilan.
2) Pajak Objektif, adalah pajak yang menghubungkan wajib pajak dengan
keadaan perbuatan yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.9
c. “Menurut lembaga pemungutnya pajak terbagi dua yaitu :
1) Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, terdiri
dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak/bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea materai.
2) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,
misalnya retribusi.10 4. Sistem Pemungut an Pajak
Sistem pemungutan pajak yang digunakan di Negara Republik Indonesia
sejak tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem
pemungutan, sesuai dengan diundangkannya Undang-Undang No.6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
5. Fungsi Pemungutan Pajak
Terdapat dua fungsi pemungutan pajak yaitu :
a. Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam
kas negara.11
b. Fungsi Regulerend, yaitu fungsi mengatur. Hal ini berarti bahwa pajak
sebagai alat pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik dalam
bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural, maupun dalam bidang politik.
F. Metode Penelitian
Suatu kebenaran dan suatu pengetahuan yang objektif yang dapat
dipercaya harus didukung oleh dalil-dalil, fakta-fakta atau data-data yang empiris
yang diperoleh dari penelitian secara ilmiah. Karena itu suatu karya ilmiah harus
didasarkan pada fakta-fakta atau data-data yang objektif agar dapat
dipertanggungjawabkan dan diuji kebenarannya.
Untuk memperoleh data-data dalam menyusun skripsi ini, maka Penulis
melakukan metode sebagai berikut :
1 Library Research (Studi Kepustakaan)
Yaitu dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,
majalah-majalah, peraturan perundangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan
dengan materi yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya bahan
rujukan yang dikumpul itu dipelajari, dipahami dan dianalisa secara sistematis
serta memilih hal-hal yang dijadikan dasar guna menghasilkan pemikiran yang
tertuang dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal pengumpulan data melalui library
research ini diharapkan dapat memenuhi hal-hal yang akan dibahas dalam
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib 2 Field Research (Penelitian Lapangan)
Yaitu dengan cara melakukan interview atau wawancara langsung dengan
informan yaitu staf pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, yang berkantor di
Jl. Diponegoro No. 30 A.
Melalui metode diatas maka data-data tersebut diolah dan selanjutnya akan
disesuaikan dengan sistematika pembahasan penulisan skripsi ini. Berdasarkan hal
tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan
berguna bagi perkembangan hukum khususnya dalam hukum pajak.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika atau gambaran isi dari penulisan skripsi ini dibagi dalam
beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-bab.
Adapun gambaran isi atau sistematika terssebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan suatu pengantar dari pembahasan selanjutnya yang
terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK
Bab ini terdiri dari 5 (lima ) sub bab yang akan menguraikan
Pengertian tentang pajak dan Sejarah hukum pajak, mengenai Subjek
Pajak, serta akan dijelaskan Peranan Pajak Sebagai Sumber
Penerimaan Negara.
BAB III : PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK
Dalam bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab yang akan membahas
mengenai Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak, Dasar Teori dan
Yurisdiksi Penagihan Pajak, Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak,
Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, serta Pengertian dan Sanksi Bagi
Wajib Pajak yang Menunggak Pajak.
BAB IV : FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai beberapa kriteria Wajib
Pajak yang dapat dikenakan penyanderaaan, Contoh kasus Wajib
Pajak yang menunggak Pajak, Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan
Penyanderaan, serta bagaimana Prosedur Penghentian Penyanderaan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang pokok-pokok
kesimpilan terhadap pembahasan permasalahan serta saran-saran
yang mungkin akan bermanfaat di masa yang akan datang bagi kita
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK
A. Pengertian dan Sejarah Pajak
1. Pengertian Pajak
Di dalam tiap-tiap masyarakat, di mana ada hubungan antara manusia
dengan manusia, maka selalu ada peraturan yang mengikatnya yakni “hukum”.
Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hal ini tidak saja berlaku
dalam lingkup hukum publik. Demikian juga dengan pajak. Hak untuk mencari
dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa suatu kewajiban
untuk menyerahkan sebagian kekayaan tersebut kepada negara dalam bentuk
“pajak”. Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar pajak, maka
haruslah dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri. Seperti
diketahui bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai
kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang
kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal
tersebut sesuai dengan tujuan negara kita, sebagaimana yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yang berbunyi :
“..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.
Dari uraian diatas, nampak bahwa untuk menyelenggarakan kepentingan
rakyatnya, maka negara memerlukan dana yang tidak sedikit jumlahnya untuk
didapat dari rakyat melalui pemungutan yang disebut dengan “pajak”.
Pemungutan pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap pajak
yang akan dipungut haruslah berdasarkan undang-undang. Pemungutan pajak
yang harus berlandaskan undang-undang ini berarti bahwa pemungutan pajak
tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya pada
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang biasa disebut “berasaskan yuridis.”
Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak
negara untuk memungut pajak.
Untuk mengetahui apa arti pajak, berikut akan dikemukakan beberapa
pendapat dari para ahli hukum yang diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.,
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal
(kontra –prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat
digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.12
b. Menurut R. Santoso Brotodiharjo, S.H.,
“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.13
12
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Penerbit Eresco, Bandung, hal 19
13
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
c. Menurut Prof. Dr. M.J.H Smeets
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui
norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa ada kontra-prestasi
yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.14
d. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa secara kolektif dalam mencapai kesejahteraan
umum”.15
14
H. Bohari, op.cit. hal 23
15
R. Santoso Brotodiharjo, op.cit. hal 5
Pada pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat
Soemitro, dijelaskan bahwa unsur “dapat dipaksakan” artinya bahwa bila utang
pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan
kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan
bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan, sedangkan terhadap pembayaran
pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu, seperti halnya
dengan retribusi.
Dari beberapa pengertian pajak yang telah dikemukakan diatas, dapat
disimpulkan bahwa ada 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak,
1) Bahwa pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian
kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah
menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
2) Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti
bahwa apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat
dipaksakan.
3) Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat
oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak
didasarkan pada undang-undang atau peraturan maka ini tidaklah sah dan
dianggap sebagai perampasan hak.
4) Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa
antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan
langsung. Prestasi dari negara tersebut antara lain seperti : Hak untuk mendapat
perlindungan dari alat-alat negara, hak menggunakan jalan umum, hak untuk
mendapatkan pengairan, dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan
secara langsung kepada individu si pembayar pajak, tetapi ditujukan secara
kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.
5) Uang yang dikumpulkan oleh negara tersebut digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan seabagaimana telah
dijelaskan sebelumnya, dapatlah kita artikan bahwa uang yang dikumpulkan dari
pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
pengumpulannya, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah
menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan ini berarti apabila
Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka
pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa antara lain
dengan mengeluarkan surat paksa, sita bahkan juga dapat melakukan
penyanderaaan sebagai upaya terakhir yang dapat dilakukan agar Wajib Pajak
mau melunasi utang pajaknya.
2. Sejarah Perpajakan
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara
cuma-cuma), namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang
harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Rakyat ketika
itu memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi,
ternak, atau hasil tanaman lainnya. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu
digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja, sedangkan imbalan atau
prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada oleh karena sifatnya memang
hanya untuk kepentingan sepihak dan solah-olah ada tekanan secara psikologis
karena kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.
Namun, dalam perkembangannya kemudian sifat upeti yang diberikan oleh
rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada
kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian yang dilakukan oleh rakyat
tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan
rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air serta berbagai kepentingan
Dengan adanya perkembangan suatu masyarakat, maka sifat upeti
(pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut,
selanjutnya dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang
memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Guna untuk
memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat
aturan-aturan dalam pemungutan pajak. Maka untuk itu dibuatlah suatu ketentuan
berupa undang-undang yang mengatur mengenai bagaimana tata cara pemungutan
pajak, jenis-jenis pajak apa saja yang dipungut, siapa saja yang harus membayar
pajak dan berbagai aturan lainnya.
Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup
banyak undang-undang yang mengatur tentang pembayaran pajak, yaitu sebagai
berikut :
a. Ordonansi Rumah Tangga (Stbl 1908 No.13)
b. Aturan Bea Materai (Stbl 1921 No. 498)
c. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl 1924 No.291)
d. Ordonansi Pajak kekayaan (Stbl 1932 No.405)
e. Orodonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl 1934 no.718)
f. Ordonanasi Pajak Upah (Stbl 1934 No. 611)
g. Ordonansi Pajak Potong (Stbl 1936 No.671)
h. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl 1944 No.17)
i. Undang-Undang Pajak Radio (UU No.12 Tahun 1947)
j. Undang-Undang Pajak Pembangunan I (UU No.14 Tahun 1947)
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
Kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, diundangkan
lagi beberapa Undang-Undang, antara lain :
a. Undang Pajak Penjualan Tahun 1951 yang dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968;
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang pajak atas bunga,
dividen dan royalti;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara
dengan Surat Paksa;
d. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak bangsa asing;
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd,
PKK, dan PPs.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan
masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari. Selain itu,
beberapa undang-undang diatas ternyata dalam perkembangannya tidak
memenuhi rasa keadilan terlebih-lebih undang-undang dimaksud masih dibuat
oleh dan untuk kepentingan penjajah Belanda.
Menyadari kondisi diatas maka, pada tahun 1983 pemerintah
bersama-sama dengan DPR sepakat melakukan reformasi Undang-Undang Perpajakan
yang ada dan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan yang
sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan serta tidak menimbulkan
duplikasi dalam hal pemungutan pajaknya dan unsur keadilan lebih diutamakan.
a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP)
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ;
d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB);
e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Dengan diberlakukannya kelima undang-undang tersebut diatas, semua
lapisan masyarakat tentunya diharapkan turut berpartisipasi dan dapat mengerti
akan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan sistem self assessment
yang berlaku sejak tahun 1983.
Selanjutnya pada tahun1997 pemerintah kembali mengadakan perubahan
atas undang-undang perpajakan yang ada dan membuat beberapa undang-undang
yang berkaitan dengan masalah perpajakan , yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak;
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa;
d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan
dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak, pada tahun 2000
kembali pemerintah mengadakan perubahan terhadap undang-undang perpajakan
yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini :
a. Undang Nomor 16 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor
9 tahun 1994;
b. Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana
telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994;
c. Undang Nomor 18 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994;
d. Undang Nomor 19 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
e. Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
B. Subjek Pajak dan Objek Pajak
1. Subjek Pajak
Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, tidak menjelaskan tentang subjek pajak dan hanya
menyebutkan Wajib Pajak, namun jika bertolak pada prinsip “Self Assessment”
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak adalah orang
pribadi dari badan yang menurut Undang-Undang Perpajakan dinyatakan sebagai
subjek hukum yang dapat dikenakan pajak.
Dalam bab ini akan diuraikan tentang siapa saja yang menjadi subjek pajak
tersebut, antara lain :
a. Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 2 ayat 1,
disebutkan bahwa yang menjadi subjek adalah :
1) Orang Pribadi;
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3) Badan. Pengertian badan disini adalah modal yang merupakan kesatuan, baik
yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi :
a) Perseroan Terbatas (PT)
b) Perseroan Komanditer (CV)
c) Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
d) Firma
e) Kongsi
f) Koperasi
g) Dana Pensiun
h) Yayasan
i) Dan bentuk-bentuk badan lainnya.16
4) Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dimaksud dengan BUT adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa : Tempat kedudukan manajemen, Cabang
perusahaan, Kantor perwakilan, Gedung kantor, Pabrik, Bengkel,
Pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran yang
digunakan untuk eksploitasi pertambangan, Perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, Proyek konstruksi instalasi atau proyek perakitan,
Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas,
serta agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia.
Subjek pajak terdiri dari :
16
Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Undang- Undang Perpajakan Tahun 2000, Penerbit Citra Umbara, Bandung, hal 95
1) Subjek Pajak Dalam Negeri, dan
2) Subjek Pajak Luar Negeri.
Subjek pajak dalam negeri terdiri dari ;
a) Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
b) Badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;
c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan yang menggantikan
yang berhak.
Subjek pajak luar negeri terdiri dari :
a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
yang menjalankan bentuk usaha tetap di Indonesia.
b) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak berkedudukan di Indonesia
yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi
subjek pajak di Indonesia apabila mereka menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia, misalnya penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
Undang-Undang No.17 Tahun 2000. Penghasilan yang dimaksudkan dalam pasal
26 ini adalah :
1) Dividen;
2) Bunga, royalty, sewa;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
4) Imbalan sehubungan dengan penggunaan jasa, pekerjaan dan kegiatan;
5) Hadiah dan penghargaan; dan
6) Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya.
Sedangkan yang tidak termasuk pada subjek pajak penghasilan adalah
sebagai berikut:
1) Badan Perwakilan Negara Asing;
2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan consular;
3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)
Subjek pajak dari pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya :
1) Menghasilkan barang, pengusahanya disebut pabrikan atau produsen;
2) Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir;
3) Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut pedagang; dan
4) Melakukan usaha jasa, pengusahanya disebut pengusaha jasa.
Pengusaha menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No.18
Tahun 2000 wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat
pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka
Pajak (PKP). Pengertian sejak usaha itu dilakukan adalah sejak saat pendirian atau
sejak diperolehnya izin usaha atau sejak usahanya nyata-nyata dimulai.
c. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Subjek pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau
badan yang:
1) Memiliki, menguasai;
2) memperoleh manfaat atas bumi, dan /atau;
3) memperoleh manfaat atas bangunan;
Subjek pajak diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak, menjadi
wajib pajak. Orang-orang atau badan yang mempunyai hak memiliki, menguasai
dan memperoleh manfaat atas tanah di bangunan menurut pasal 3
Undang-Undang No.12 Tahun 1994 dimana Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan
bangunan tersebut kurang atau tidak melebihi Rp. 8000.000,- bukan merupakan
wajib pajak. Artinya seseorang yang memiliki tanah dan bangunan yang nilai jual
objek pajak nya hanya Rp. 8.000.000,- maka mereka dibebaskan dari pengenaan
pajak dari pajak bumi dan bangunan.
2. Objek Pajak
Yang dimaksud dengan objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak.
Mengingat penting dan strategisnya objek pajak tersebut berikut ini akan
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
a. Objek Pajak Penghasilan (PPh)
Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan. Yang dimaksud
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik
untuk investasi maupun konsumsi. Objek PPh terbagi atas:
1) Objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :
a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang
pension bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang
sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak,
tunjangan kehamilan, tunjangan jabatan, tunjangan transport, tunjangan
pajak, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, dan penghasilan
teratur lainnya dengan nama apapun;
b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur;
c) Upah harian ,upah mingguan, upah satuan dan upah borongan;
d) Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau Tunjangan Hari Tua
(THT), uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis;
e) Honorarium, uang saku atau penghargaan dengan nama apapun;
f) Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima
oleh Pejabat Negara, serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain
yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan
termasuk janda atau duda dan anak-anaknya.
2) Objek PPh Pasal 22, adalah sebagai berikut :
b) Kegiatan impor ke dalam daerah pabean.
Sedangkan yang bukan objek PPh Pasal 22 adalah :
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan
perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.
b) Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain :
(1) Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang
bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
(2) Barang untuk keperluan Badan Internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia;
(3) Buku ilmu pengetahuan;
(4) Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
atau kebudayaan;
(5) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain
semacam itu yang terbuka untuk umum;
(6) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan;
(7) Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang
cacat lainnya;
3) Objek PPh pasal 23 adalah sebagai berikut :
Pasal 23 Undang-Undang PPh mengatur mengenai pemotongan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak dalam negeri dan BUT
yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan yang
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya. Objek yang dimaksud antara lain :
a) Dividen
b) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian hutang
c) Royalti
d) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
e) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,jasa konstruksi
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.
4) Objek PPh pasal 26
Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri
dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23, hanya
saja dalam PPh pasal 26 yang menerima penghasilan tersebut adalah Wajib Pajak
luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan adalah
Wajib Pajak dalam negeri. Selain itu sifat pemotongan PPh pasal 26 adalah
bersifat final (tidak dapat dikreditkan), sedangkan pemotongan PPh pasal 23
sifatnya tidak final.
b. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh
pengusaha kena pajak. Ada 6 kegiatan yang ditegaskan UU PPN sebagai objek
1) Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh
pengusaha;
2) Impor barang kena pajak;
3) Penyerahan jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean oleh
pengusaha;
4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean;
5) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
6) Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.
c. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah benda tidak bergerak yaitu
berupa bumi dan bangunan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi
dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah suatu
konstruksi tehnik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada tanah dan atau
perairan.Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seprti hotel,
pabrik dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan
kompleks tersebut;
2) Jalan tol;
3) Kolam renang;
4) Tempat Olahraga;
5) Taman mewah;
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
7) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
d. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah, tanah dan
bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut
meliputi hal-hal seperti:
1) Pemindahan hak
2) Pemberian hak baru
e. Objek Bea Materai
Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang
berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan
atau kenyataan bagi sesorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa
dokumen yang wajib dikenakan bea materai, adalah sebagai berikut :
1) Dokumen yang telah disebutkan dalam Undang-Undang, seperti : surat
perjanjian, akta-akta notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah, surat berharga seperti wesel, promes dan
lain-lain.
2) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan,
seperti : surat-surat biasa dan surat –surat kerumahtanggaan serta surat-surat
yang semula tidak digunakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, jika
digunakan untuk tujuan lain , lain dari maksud semula, contoh surat
C. Penggolongan Jenis Pajak
Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan terhadap Wajib Pajak dapat
digolongkan dalam 3 golongan yaitu:
1. Berdasarkan sifatnya
Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua, yaitu :
a. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri
oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta
dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya
pajak penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan
kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau
peritiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
2. Menurut Sasaran/ Objeknya
Menurut sasaran atau objeknya, pajak dapat dibagi atas dua golongan yaitu :
a. Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah
diketahui keadaan subjektifnya barulah diperhatikan keadaan objektifnya
sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya Pajak
Penghasilan.
b. Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan / melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau
peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak
Pertambahan Nilai, bea masuk, cukai tembakau, bensin dan lain
sebagainya. Pajak ini tidak menghiraukan keadaan Wajib Pajak, dimana
lazimnya tidak dipungut tersendiri melainkan dimasukkan kedalam harga
barang sehingga sering kali orang tidak menyadari bahwa dalam harga itu
sudah termasuk pajak. Maka oleh sebab itu pemungutan pajak objektif
yang tidak langsung ini sangat mudah sekali.
Negara yang sedang berkembang sering memungut pajak objektif ini,
bahkan lazimnya hasil pajak objektif ini lebih besar daripada hasil pajak
langsung. Ditinjau dari segi keadilan dan dari segi kekuatan pikul, pajak
ini kurang memenuhi rasa keadilan. Tetapi karena cara pemungutannya
sangat mudah, maka oleh negara-negara baik Negara berkembang maupun
Negara industri kehadirannya dalam penghasilan negara belum dapat
dihilangkan sama sekali.
3. Menurut Lembaga Pemungutannya
Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak dapat dibagi dua yaitu jenis
pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan jenis pajak yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah.
a. Pajak pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang
dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan Direktorat
Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan
dimasukkan sebgai bagian dari penerimaan APBN (Anggaran Pendapatan
Jenis Pajak Pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan adalah sebagai
berikut :
1) Pajak Penghasilan
2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
3) Pajak Bumi dan Bangunan
4) Pajak/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
5) Bea Materai.
b. Pajak Daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan
Daerah (Dispenda). Hasil pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan
dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah). Sesuai Undang –Undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang
dikelola oleh Dispenda adalah:
1) Pajak Daerah TK I terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2) Pajak Daerah TK II terdiri dari : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan,
Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Bahan Galian Golongan C, serta Pajak Pemanfaatan Air
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak
Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat jenderal
Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan Bangunan (KPP/ KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak
Wajib Pajak adalah berupa surat ketetapan pajak yang terdiri dari 6 (enam)
macam, yaitu sebagai berikut :
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
STP adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan atau
sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STP diatur dalam pasal 14
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2000. STP dapat diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan
pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau
bunga;
d. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang
PPN dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP);
e. Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak
membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak
mengisi selengkapnya Faktur Pajak tersebut.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan
pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang
masih harus dibayar.
SKPKB diatur dalam pasal 13 UU KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka
waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,
bagian tahun pajak, atau tahun pajak yaitu dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang
terutang tidak atau kurang bayar;
b. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga
seperti ditentukan dalam surat teguran;
c. Apabila berdasakan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata
tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak
seharusnya dikenakan tarif 0 %;
d. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak
memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak sehingga tidak dapat
Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib
Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa
denda ataupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 %
sebulan, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak
tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan dalam SKPKB. SKPKBT diatur
dalm pasal 15 UU KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa
kemungkinan yang terjadi seperti :
a. Adanya SKPKB yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada
perhitungan yang sebenarnya;
b. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB
yang seharusnya tidak dilakukan; dan
c. Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang
ditetapkan ternyata lebih rendah.
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur
dalam pasal 17 UU KUP yang diterbitkan untuk hal-hal sebagai berikut :
a. Untuk Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut PPh), jumlah kredit
pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan