• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Sistem Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak (Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

YANG MENUNGGAK PAJAK

(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

O l e h :

YASMINE A. NST 030200174

Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

YANG MENUNGGAK PAJAK

(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

S K R I P S I

O l e h :

YASMINE A. NST 030200174

Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM

PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

YANG MENUNGGAK PAJAK

(Studi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan Timur)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi persyaratan Untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

O l e h :

YASMINE A. NST 030200174

Bagian Hukum Keperdataan Program Kekhususan Hukum Dagang

Disahkan Oleh

Ketua Bagian Hukum Keperdataan

Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS.

NIP. 1310764 556

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

M. Hayat, SH Megarita, SH, CN, M.Hum

(4)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Allah SWT, sehingga skripsi

ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu. Penulis bersyukur kepada Allah SWT

karena telah memberikan banyak nikmat termasuk nikmat kesehatan sehingga

penyusunan skripsi ini tidak menemui kendala yang berarti.

Skripsi yang berjudul: “Fungsi Lembaga Penyanderaan Dalam Proses

Penagihan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Menunggak Pajak” ini merupakan

kewajiban Penulis guna melengkapi tugas akhir Penulis dalam memperoleh gelar

kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun demikian,

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi

kesempurnaan skipsi ini.

Selama dalam penulisan skripsi ini, Penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan

waktu dan dukungannya hingga selesainya penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam

kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, Medan..

2. Bapak Prof Dr. Tan Kamello, S.H, M.S, selaku Ketua Jurusan Departemen

Hukum Perdata Dagang.

3. Bapak M.Hayat, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

(5)

4. Ibu Megarita, S.H., C.N, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan yang sangat

Penulis butuhkan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah banyak

membantu Penulis dalam masa perkuliahan

6. Ibu Rafiqah S.H. M.Hum., Bapak Dedi Harianto S.H. M.Hum., dan seluruh

dosen serta staf pengajar lainnya yang telah memberikan bimbingan dan

pengajarannya selama penulis dalam masa perkuliahan sehingga kelak ilmu

tersebut dapat berguna bagi Penulis untuk menjalankan kehidupan nantinya.

7. Ayah dan bundaku tersayang (Drs. H. Zachruddin Nst dan Hj. Wartawani Lbs)

atas kasih sayang dan perhatiannya yang tak terhingga yang takkan bisa

Penulis balas dengan apapun juga.

8. Gadiz Ganksta a.k.a Dogerz (Esther Patricia Juniarti Simamora a.k.a ndut

cayank, Reny Aswita Sianturi a.k.a Bamba, Dewi Novita Tarigan a.k.a Ophey,

Margaretta Silvia Rosa Silitonga a.k.a Comel, Dwinda Asterita Permanasari

Sembiring a.k.a Dida, and last but not least Anju Ciptani Putri Manik a.k.a

Jupek). Friendship is one of the hardest things to keep coz somewhere in the

middle, new friend may come but I hope you still keep me in your heart even

if someone new come along.

9. QFC (Risa Tresna Mukti, Novi Herwina Nst, Fauriza Wildhani Dalimunthe,

Neni Azrina, Athiah Ramadhani Siregar, dan Tri Ramadhani).

Medan, Agustus 2007

(6)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAKSI ... v

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Kepustakaan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK ... 18

A. Pengertian dan Sejarah Pajak ... 18

B. Subjek dan Objek Pajak ... 27

C. Penggolongan Jenis Pajak ... 37

D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak ... 40

(7)

BAB III. PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK ... 47

A. Timbulnya dan Hapusnya Hutang Pajak ... 48

B. Yurisdiksi Penagihan Pajak ... 54

C. Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak ... 56

D. Hak dan Kewajiban Wajib Pajak ... 69

E. Pengertian dan Sanksi bagi Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ... 78

BAB IV. FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN ... 88

A. Pengertian Penyanderaan ... 89

B. Kriteria Wajib Pajak yang Dapat Dikenakan Penyanderaan . 92 C. Contoh Kasus Wajib Pajak yang Menunggak Pajak ... 96

D. Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan Penyanderaan ... 99

E. Prosedur Penghentian Penyanderaan ... 110

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 119

(8)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

ABSTRAKSI

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, maka negara mencari pembiayaannya melalui berbagai sektor, khususnya melalui sektor pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esssensial. Tanpa pemungutan pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Karena Pajak merupakan pungutan yang bersifat politis dan strategis, yaitu untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan. Untuk kepentingan tersebut, maka dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan lainnya yang mengatur mengenai pelaksanaan pemungutan pajak tersebut. Dalam hal ini akan dititikberatkan pada penagihan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penagihan pajak dilaksanakan berdasarkan UU No. 19 tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No. 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa. Surat paksa tersebut memiliki kekuatan eksekutorial dan sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Surat paksa tersebut antara lain memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk melakukan penyanderaan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai tunggakan pajak. Penyanderaan (Gijzeling) adalah merupakan suatu paksaan untuk dilakukannya sita badan terhadap Wajib Pajak yang telah melalaikan kewajibannya sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi pihak pemerintah. Dalam hal ini pemerintah harus melakukannya secara selektif dan hati-hati karena ini menyangkut Hak Asasi Manusia. Dan pelaksanaannya pun hanya dapat dilakukan setelah melalui rangkaian kegiatan penagihan pajak lainnya.

Seperti yang telah dikemukakan diatas maka yang menimbulkan permasalahan dalam masyarakat adalah hal-hal mengenai bagaimana masyarakat dalam hal ini adalah Wajib Pajak dapat dikenakan penyanderaan, bagaimana proses pemberlakuan dan penghentian proses penyanderaan itu serta bagaimanakah fungsi dan peran lembaga penyanderaaan sehingga dapat mendorong pencairan tunggakan pajak dari Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya tersebut.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tugas suatu negara pada prinsipnya adalah berusaha dan bertujuan untuk

menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah sebabnya maka negara harus

tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan

masyarakat, terutama di bidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan

masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan biaya-biaya yang

cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, negara mencari pembiayaannya dengan

cara menarik pajak. Penarikan atau pemungutan pajak adalah suatu fungsi yang

harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi essensial. Tanpa pemungutan

pajak sudah bisa dipastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh terlebih-lebih

bagi negara yang sedang membangun seperti Indonesia. Sebab pajak merupakan

pemasukan yang utama bagi negara disamping pemasukan-pemasukan dari sektor

lainnya seperti : devisa sebagai hasil ekspor negara, laba dari perusahaan negara,

kredit dari luar negeri, pencetakan uang oleh pemerintah melalui bank sentral,

uang administrasi, denda, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang telah

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, bahwa pajak merupakan

pungutan yang bersifat politis dan strategis. Bersifat politis karena pemungutan

pajak adalah perintah konstitusi, dan bersifat srategis karena pajak merupakan

tumpuan utama bagi negara dalam membiayai kegiatan pemerintahan dan

pembiayaan bagi kelangsungan pembangunan baik untuk masa sekarang maupun

(10)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

itu perlu adanya pemahaman dari anggota masyarakat khususnya bagi wajib pajak

mengenai seluk-beluk perpajakan yang begitu kompleks dan rumit. Oleh karena

itu dengan adanya perkembangan masyarakat yang semakin pesat dan dengan

dilandasi oleh unsur keadilan dalam pemungutan dan atau penagihan pajak, maka

dibuatlah ketentuan berupa undang-undang maupun berbagai peraturan yang

mengatur mengenai siapa saja yang menjadi subjek dan objek pajak, bagaimana

pelaksanaan penagihan pajak terhadap Wajib Pajak, jenis-jenis pajak apa saja

yang harus dipungut, berapa besarnya pajak yang harus dibayar serta sanksi apa

saja yang dapat dikenakan apabila Wajib Pajak ternyata melalaikan kewajibannya

dalam membayar pajak

Adanya berbagai undang-undang maupun peraturan yang telah

dikeluarkan untuk mengatur perpajakan di negara kita tetap saja tidak dapat

mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti banyaknya Wajib Pajak

yang enggan melaksanakan kewajibannya sehingga timbul tunggakan pajak yang

tidak sedikit jumlahnya dan hal tersebut mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal

ini dapat terjadi dalam masyarakat kita sekarang karena disebabkan oleh banyak

faktor, salah satunya adalah karena Wajib Pajak dengan itikad buruk sengaja

melalaikan kewajibannya untuk membayar pajak.

Apabila dikaitkan dengan hukum yang berlaku di negara kita ini maka

pajak dapat dikaitkan dengan hukum perdata dan hukum pidana. Dikatakan

berkaitan dengan hukum perdata adalah karena pihak Wajib Pajak yang belum

membayar atau melunasi pajaknya maka ia dikatakan mempunyai hutang kepada

(11)

(berpiutang) menagih hutang kepada pihak Wajib Pajak sebagai seorang yang

berhutang (debitur).

Seorang Wajib Pajak yang tidak membayar pajak atau membayar tidak

menurut ketentuan yang berlaku maka dikatakan telah melakukan wanprestasi,

yang dalam hal itu negara tetap menuntut pada pihak debiturnya (si berutang).

Kaitan lainnya adalah hukum pajak mencari dasar kemungkinan pemungutan

pajak berdasarkan perbuatan Hukum Perdata misalnya berupa

perjanjian-perjanjian, hal pendapatan, kekayaan, warisan. Seseorang yang melakukan

perjanjian membeli suatu barang, merupakan dasar bagi hukum pajak untuk

melakukan pemungutan pajak. Sedangkan dalam hal pengertian atau terminologi

seperti pengertian Wajib Pajak yang dalam hukum perdata sering disebut subjek

hukum, walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas daripada

pengertian Wajib Pajak.

Sedangkan kaitan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana adalah karena

terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajibannya membayar pajak,

baik dengan memalsukan jumlah perhitungan kekayaan dan laba perusahaan,

penipuan atau berbohong atau dengan menyuap petugas-petugas pajak maka

perbuatan seperti itu merupakan delik tindak pidana yang mana dapat dituntut

berdasarkan hukum acara pidana.

Menurut Pasal 103 KUHPidana, yang menegaskan bahwa ketentuan

pidana yang terdapat pada KUHPidana berlaku juga untuk tindak pidana yang

terdapat dalam undang-undang lainnya. Ketentuan ini juga berlaku bagi Hukum

(12)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

pun yang dapat dihukum selain atas ketentuan pidana yang terdapat dalam

undang-undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu. Kemudian dapat

dilihat dari ketentuan yang diatur dalam pasal 38 dan pasal 39 UU No.6 Tahun

1983 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.16 Tahun 2000 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (untuk selanjutnya disebut KUP)

yang dengan jelas sekali menyebutkan adanya sanksi pidana (berupa kealpaan dan

kesengajaan) terhadap Wajib Pajak yang melanggar ketentuan di bidang

perpajakan.

Pada tahun 2000 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) telah mengeluarkan UU No.19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU

No.19 tahun 1997 yakni tentang penagihan pajak dengan surat paksa, yang

kemudian dipertegas dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia (PERMA-RI) No.1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa

Badan, dimana dalam hal Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya sehingga

mengakibatkan tunggakan pajak yang menimbulkan kerugian bagi negara maka

sebagai upaya terakhir dari penagihan pajak yaitu dengan memberlakukan

penyanderaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana yang terdapat dalam UU No.19

Tahun 2000.

Sesuai dengan peraturan dalam perpajakan, bahwa tindakan penagihan

merupakan salah satu bagian dalam kerangka sistem pelaksanaan undang-undang

di bidang perpajakan agar tujuan penerimaan negara dari sektor pajak dapat

berjalan dengan baik. Karena seperti yang kita ketahui bahwa pajak merupakan

(13)

resources) sesuai dengan perkembangan ekonomi yang nantinya akan

dikembalikan kepada masyarakat luas. Oleh karena itu setiap anggota masyarakat

wajib berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya, sesuai

dengan sistem self assessment yang dianut sejak reformasi di bidang

Undang-Undang Perpajakan pada tahun 1983.

Walaupun pada tahun 1975 telah dikeluarkan SEMA No.04 Tahun 1975

tanggal 1 Desember 1975 jo.SEMA No.02 Tahun 1964 tanggal 22 Desember

1964 yang pada dasarnya melarang penggunaan lembaga penyanderaan seperti

yang tercantum dalam Undang-Undang No.19 Tahun 1959 yang diatur dalam bab

III, Pasal 15 sampai dengan Pasal 23 dikarenakan alasan perikemanusiaan

menurut dasar negara kita yaitu Pancasila sehingga dalam perkembangannya

sekarang ini banyak mengakibatkan kerugian bagi negara. Hal ini yang kemudian

menjadi pemicu untuk menghidupkan kembali Lembaga Penyanderaan (Gijzeling)

di negara kita ini. Namun penyanderaan ini bersifat untuk kepentingan negara dan

bukan untuk kepentingan pribadi.

Walaupun pada prakteknya penerapan lembaga penyanderaan (Gijzeling)

ini tentu saja hanya akan dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati. Melihat

pentingnya lembaga penyanderaan ini tetap dipertahankan, maka ditindaklanjuti

dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.137 Tahun 2000 tentang

Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak

dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Secara psikologis dengan tetap dipertahankannya lembaga penyanderaan ini

(14)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

penanggung pajak menjadi malu jika sampai terkena sandera hanya karena

menunggak pajak.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah merupakan persoalan atau persyaratan tentang

sesuatu yang harus dicari pemecahannya. Dalam permasalahan sudah seharusnya

dapat menemukan pemecahan atau jawaban. Untuk dapat menjawab segala

permasalahan yang timbul dalam penulisan ini maka diusahakanlah untuk

mendapatkan literatur yang memadai untuk membahas permasalahan tersebut.

Maka untuk lebih memahami pembahasan skripsi ini perlu kiranya penulis

mengemukakan beberapa permasalahan yang timbul mengenai keberadaan dan

fungsi lembaga penyanderaan tersebut dalam sistem penagihan pajak.

Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut :

1. Mengapa Wajib Pajak cenderung enggan dalam melaksanakan

kewajibannya untuk membayar pajak. Serta bagaimanakah rangkaian

penagihan pajak terhadap Wajib Pajak hingga sampai kepada tahap

penyanderaan.

2. Bagaimana kriteria Wajib Pajak sehingga dapat dikenakan penyanderaan.

3. Bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan penyanderaan.

(15)

5. Bagaimana peranan lembaga penyanderaan sehingga dapat membantu

usaha pejabat fiskus dalam upaya pencairan pajak terhadap Wajib Pajak

yang menunggak pajak.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Subyektif

Untuk mendapatkan data dan bahan-bahan yang lengkap dan akurat yang

diperlukan dalam penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

2. Tujuan Obyektif

Untuk mengetahui fungsi dari lembaga penyanderaan dalam proses

penagihan pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan

kewajibannya dalam membayar pajak.

Didalam penulisan ini ada beberapa manfaat yang dapat kita peroleh

antara lain :

a. Penulisan ini berguna karena dengan mengetahui alasan Wajib Pajak

sehingga enggan memenuhi kewajibannya membayar pajak kita akan

dapat memberikan masukan kepada pemerintah agar tidak terjadi lagi

tunggakan pajak dengan meminimalisasi kemungkinan terjadinya

(16)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

b. Menambah pengetahuan di bidang perpajakan yakni tentang beberapa

kriteria Wajib Pajak yang dapat dikenakan penyanderaan.

c. Penulisan ini juga berguna karena dapat menambah pengetahuan

dalam hal bagaimana tata cara dan prosedur pelaksanaan

penyanderaan.

d. Menambah pengetahuan mengenai prosedur penghentian

penyanderaan.

e. Penulisan ini juga berguna untuk menambah pengetahuan dalam hal

keefektifan dari lembaga penyanderaan tersebut dalam rangka

mendorong pencairan tunggakan pajak.

D. Keaslian Penulisan

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, permasalahan mengenai

sandera (gijzeling) di bidang perpajakan telah ada sejak UU No.19 Tahun 1959

dikeluarkan, namun pelaksanaannya telah ditiadakan disebabkan karena tidak

sesuai dengan perikemanusiaan menurut dasar negara.

Namun pada Tahun 2000 yang lalu pemerintah telah dengan tegas

menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak yang melalaikan kewajibannya dengan

disengaja sehingga menyebabkan kerugian yang akan berpengaruh terhadap

pembangunan negara, maka olehnya akan dikenakan sandera (Gijzeling). Adapun

pemberlakuan tesebut tetap dilakukan dengan sangat selektif dan hati-hati

sehingga dapat menghukum Wajib Pajak yang benar-benar sudah memenuhi

(17)

Karya penulisan mengenai hukum pajak menurut sumber dari jurusan

Keperdataan Dagang Fakultas Hukum USU memang telah ada yang

mengangkatnya sebagai skripsi, namun penulisan mengenai fungsi lembaga

penyanderaan dalam mendorong pencairan tunggakan pajak ini belum pernah

diangkat dalam skripsi. Dengan demikian dalam penulisan karya ilmiah ini

menganggap bahwa perlu kiranya untuk mengangkat pembahasan mengenai

fungsi lembaga penyanderaan ini dan mengupasnya lebih lanjut dalam penulisan

skripsi ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isi dari tulisan ini tidak

sama dengan karya penulisan lainnya yang telah ada selama ini.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam pokok pembahasan ini akan diuraikan beberapa hal yang berkaitan

dengan pajak.

“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.”1

Menurut PJA Adriani pengertian pajak adalah “iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang dan wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”2

1

H. Bohari, 2006, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, hal 24

Sebagai sesuatu yang ada di masyarakat, pajak dapat ditinjau dari berbagai

(18)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

H. Rochmat Soemitro, mengatakan bahwa pajak dilihat dari segi hukum dapat didefenisikan sebagai perikatan yang timbul karena undang-undang (jadi dengan sendirinya) yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat (tatbestand) yang ditentukan dalam undang-undang, untuk membayar sesuatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.”3

“Dalam peninjauan hukum kita tidak cukup mengetahui penerapannya saja, tetapi harus juga menilai peraturan yang menjadi dasarnya kalau kita bandingkan perikatan yang berupa utang pajak dengan perikatan dalam hukum perdata, maka tampak sekali perbedaannya. Perikatan dalam hukum pajak terjadi hanya karena undang-undang dan tidak mungkin terjadi karena perjanjian”4

a. Sejarah Pajak

Hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur

hubungan antara penguasa sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai

pembayar pajak (Wajib Pajak).

Peraturan perundang-undangan tentang pajak banyak mengalami

perubahan, karena seiring perkembangan masyarakat dan juga untuk memenuhi

rasa keadilan bagi Wajib Pajak yang hak dan kewajibannya tidak dapat dianggap

sebagai sesuatu yang mudah, sebab bagaimanapun Wajib Pajak akan selalu

menuntut ketentuan yang jelas dan suatu kepastian hukum yang jelas pula.

1. Sejarah dan Perkembangan Pajak

Masyarakat mengenal istilah pajak sudah sejak zaman penjajahan dahulu,

dan bahkan sebagian besar telah melaksanakannya.

3

H. Bohari op.cit. hal 25

4

(19)

Kerajaan-kerajaan di Jawa sekitar abad XIX juga melakukan hal semacam

itu. Baru setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan

antara rumah tangga negara dengan rumah tangga pribadi raja pada akhir abad

pertengahan mendapat tempat yang lebih mantap diantara pendapatan negara.

Perpajakan di Indonesia pada mulanya mengikuti undang-undang peninggalan

pemerintah Hindia Belanda, namun terjadi perubahan sedikit demi sedikit

memakai peraturan yang memuat ketentuan hukum adat dan sesuai dengan

kepribadian bangsa Indonesia.

“Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, banyak sekali undang-undang

mengenai pembayaran pajak, sehingga mengakibatkan masyarakat mengalami

kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari, dan undang-undang itu hanya untuk

kepentingan penjajah(pemerintah Hindia Belanda).”5

1) Masa Tahun 1950

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tercapai, ada empat langkah

perubahan yang sangat berarti yaitu :

2) Masa Tahun 1983

3) Masa Tahun 1997

4) Masa Tahun 2000 sampai dengan sekarang

Adanya perubahan-perubahan itu sendiri adalah karena perkembangan ekonomi

dan masyarakat yang begitu cepat disamping tuntutan rasa keadilan dan adanya

reformasi huku m.

(20)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

b. Perkembangan Pajak

Pembaharuan peraturan perundang-undangan pajak dilakukan karena

pemerintah menganggap bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat itu (1983

dan sebelumnya) adalah peninggalan kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan masyarakat sekarang ini, tidak sesuai dengan struktur

dan organisasi pemerintah tidak berdasarkan pancasila, dan tidak lagi sesuai

dengan perkembangan sosial dan ekonomi yang terjadi di Indonesia.

2. Jenis-Jenis Pungutan

Selain pajak yang dipungut oleh pemerintah, maka ada dua jenis pungutan

lainnya yaitu retribusi dan sumbangan.

a. Retribusi

Pungutan retribusi di Indonesia didasarkan pada Undang-Undang No.34

tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Pasal 1 angka (26)

disebutkan retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau

pemberian izin kepentingan orang pribadi atau badan.

“Retribusi pada umumnya mempunyai hubungan langsung dengan

kembalinya prestasi karena pembayaran tersebut ditujukan semata-mata untuk

mendapatkan prestasi dari pemerintah, misalnya pembayaran uang kuliah, karcis

masuk terminal, dan kartu langganan.”6

1) Retribusi Jasa Umum

Retribusi terbagi atas tiga jenis yaitu :

2) Retribusi Jasa Usaha

6

(21)

3) Retribusi Perizinan Tertentu.

b. Sumbangan

Apabila pajak dan rertribusi pungutannya harus berdasarkan

undang-undang maka dalam sumbangan pungutannya tidak berdasarkan undang-undang-undang-undang,

tetapi lebih bersifat pada gotong-royong masyarakat setempat. Pada sumbangan

tidak ada sifat paksaan tetapi suka rela, si pemberi sumbangan dapat merasakan

imbalan langsung atas hasil sumbangannya.

“Pada sumbangan seseorang yang mendapatkan prestasi justru tidak dapat

ditunjuk, tetapi golongan tertentu yang dapat menikmati kontra prestasi sebagai

contoh sumbangan bencana alam.”7

c. Bea dan Cukai

Merupakan pajak tidak langsung yang dipungut atas kewenangan

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Departemen Keuangan. Bea merupakan tariff

yang sudah ditentukan atas suatu barang. Sedangkan Cukai adalah pungutan yang

dikenakan atas barang-barang tertentu seperti : rokok, minuman keras dan

lain-lain.

d. Iuran

Iuran adalah merupakan pungutan yang dilakukan terhadap masyarakat

tertentu, dilakukan oleh pemerintah atas dasar Wajib pajak telah menerima

sesuatu jasa dari pemerintah.

3. Penggolongan Jenis Pajak

(22)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

a.”Menurut sifatnya, pajak terbagi dua yaitu :

1) Pajak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara periodik

(berulang-ulang) missalnya pajak penghasilan.

2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang dikenakan secara insidental

(pada saat tertentu) misalnya, Pajak Pertambahan Nilai.8 b. “Menurut objeknya, pajak terbagi dua yaitu :

1) Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan kepada keadaan pribadi

Wajib Pajak (subjeknya), misalnya Pajak Penghasilan.

2) Pajak Objektif, adalah pajak yang menghubungkan wajib pajak dengan

keadaan perbuatan yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.9

c. “Menurut lembaga pemungutnya pajak terbagi dua yaitu :

1) Pajak Pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, terdiri

dari pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan, pajak/bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea materai.

2) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah,

misalnya retribusi.10 4. Sistem Pemungut an Pajak

Sistem pemungutan pajak yang digunakan di Negara Republik Indonesia

sejak tahun 1984 ditetapkan sistem self assessment secara penuh dalam sistem

pemungutan, sesuai dengan diundangkannya Undang-Undang No.6 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2000 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

5. Fungsi Pemungutan Pajak

Terdapat dua fungsi pemungutan pajak yaitu :

a. Fungsi Budgetair, yaitu memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam

kas negara.11

(23)

b. Fungsi Regulerend, yaitu fungsi mengatur. Hal ini berarti bahwa pajak

sebagai alat pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu baik dalam

bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural, maupun dalam bidang politik.

F. Metode Penelitian

Suatu kebenaran dan suatu pengetahuan yang objektif yang dapat

dipercaya harus didukung oleh dalil-dalil, fakta-fakta atau data-data yang empiris

yang diperoleh dari penelitian secara ilmiah. Karena itu suatu karya ilmiah harus

didasarkan pada fakta-fakta atau data-data yang objektif agar dapat

dipertanggungjawabkan dan diuji kebenarannya.

Untuk memperoleh data-data dalam menyusun skripsi ini, maka Penulis

melakukan metode sebagai berikut :

1 Library Research (Studi Kepustakaan)

Yaitu dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,

majalah-majalah, peraturan perundangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan

dengan materi yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya bahan

rujukan yang dikumpul itu dipelajari, dipahami dan dianalisa secara sistematis

serta memilih hal-hal yang dijadikan dasar guna menghasilkan pemikiran yang

tertuang dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal pengumpulan data melalui library

research ini diharapkan dapat memenuhi hal-hal yang akan dibahas dalam

(24)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib 2 Field Research (Penelitian Lapangan)

Yaitu dengan cara melakukan interview atau wawancara langsung dengan

informan yaitu staf pada Kantor Pelayanan Pajak Medan Timur, yang berkantor di

Jl. Diponegoro No. 30 A.

Melalui metode diatas maka data-data tersebut diolah dan selanjutnya akan

disesuaikan dengan sistematika pembahasan penulisan skripsi ini. Berdasarkan hal

tersebut diterapkan konklusi berupa kesimpulan dan saran yang diharapkan

berguna bagi perkembangan hukum khususnya dalam hukum pajak.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika atau gambaran isi dari penulisan skripsi ini dibagi dalam

beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub-bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika terssebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan suatu pengantar dari pembahasan selanjutnya yang

terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Rumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK

Bab ini terdiri dari 5 (lima ) sub bab yang akan menguraikan

Pengertian tentang pajak dan Sejarah hukum pajak, mengenai Subjek

(25)

Pajak, serta akan dijelaskan Peranan Pajak Sebagai Sumber

Penerimaan Negara.

BAB III : PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK

Dalam bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab yang akan membahas

mengenai Timbul dan Hapusnya Hutang Pajak, Dasar Teori dan

Yurisdiksi Penagihan Pajak, Rangkaian Kegiatan Penagihan Pajak,

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, serta Pengertian dan Sanksi Bagi

Wajib Pajak yang Menunggak Pajak.

BAB IV : FUNGSI LEMBAGA PENYANDERAAN DALAM SISTEM PENAGIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MENUNGGAK PAJAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai beberapa kriteria Wajib

Pajak yang dapat dikenakan penyanderaaan, Contoh kasus Wajib

Pajak yang menunggak Pajak, Tata Cara dan Prosedur Pelaksanaan

Penyanderaan, serta bagaimana Prosedur Penghentian Penyanderaan.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan penutup yang berisikan tentang pokok-pokok

kesimpilan terhadap pembahasan permasalahan serta saran-saran

yang mungkin akan bermanfaat di masa yang akan datang bagi kita

(26)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PAJAK

A. Pengertian dan Sejarah Pajak

1. Pengertian Pajak

Di dalam tiap-tiap masyarakat, di mana ada hubungan antara manusia

dengan manusia, maka selalu ada peraturan yang mengikatnya yakni “hukum”.

Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hal ini tidak saja berlaku

dalam lingkup hukum publik. Demikian juga dengan pajak. Hak untuk mencari

dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa suatu kewajiban

untuk menyerahkan sebagian kekayaan tersebut kepada negara dalam bentuk

“pajak”. Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar pajak, maka

haruslah dipahami terlebih dahulu pengertian dari pajak itu sendiri. Seperti

diketahui bahwa negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai

kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang

kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal

tersebut sesuai dengan tujuan negara kita, sebagaimana yang tercantum dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea keempat yang berbunyi :

“..melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial”.

Dari uraian diatas, nampak bahwa untuk menyelenggarakan kepentingan

rakyatnya, maka negara memerlukan dana yang tidak sedikit jumlahnya untuk

(27)

didapat dari rakyat melalui pemungutan yang disebut dengan “pajak”.

Pemungutan pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyatnya, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan agar setiap pajak

yang akan dipungut haruslah berdasarkan undang-undang. Pemungutan pajak

yang harus berlandaskan undang-undang ini berarti bahwa pemungutan pajak

tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya pada

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang biasa disebut “berasaskan yuridis.”

Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak

negara untuk memungut pajak.

Untuk mengetahui apa arti pajak, berikut akan dikemukakan beberapa

pendapat dari para ahli hukum yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.,

“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan

Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa-timbal

(kontra –prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat

digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.12

b. Menurut R. Santoso Brotodiharjo, S.H.,

“Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.13

12

Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Penerbit Eresco, Bandung, hal 19

13

(28)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

c. Menurut Prof. Dr. M.J.H Smeets

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui

norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa ada kontra-prestasi

yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah

untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.14

d. Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja

“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh

penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi

barang-barang dan jasa-jasa secara kolektif dalam mencapai kesejahteraan

umum”.15

14

H. Bohari, op.cit. hal 23

15

R. Santoso Brotodiharjo, op.cit. hal 5

Pada pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Rochmat

Soemitro, dijelaskan bahwa unsur “dapat dipaksakan” artinya bahwa bila utang

pajak tidak dibayar, maka utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan

kekerasan seperti dengan mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan

bahkan bisa dengan melakukan penyanderaan, sedangkan terhadap pembayaran

pajak tersebut tidak dapat ditunjukkan jasa timbal-balik tertentu, seperti halnya

dengan retribusi.

Dari beberapa pengertian pajak yang telah dikemukakan diatas, dapat

disimpulkan bahwa ada 5 (lima) unsur yang melekat dalam pengertian pajak,

(29)

1) Bahwa pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian

kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah

menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.

2) Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti

bahwa apabila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat

dipaksakan.

3) Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat

oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak

didasarkan pada undang-undang atau peraturan maka ini tidaklah sah dan

dianggap sebagai perampasan hak.

4) Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa

antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan

langsung. Prestasi dari negara tersebut antara lain seperti : Hak untuk mendapat

perlindungan dari alat-alat negara, hak menggunakan jalan umum, hak untuk

mendapatkan pengairan, dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan

secara langsung kepada individu si pembayar pajak, tetapi ditujukan secara

kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan.

5) Uang yang dikumpulkan oleh negara tersebut digunakan untuk membiayai

pengeluaran umum yang berguna untuk kepentingan masyarakat.

Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan seabagaimana telah

dijelaskan sebelumnya, dapatlah kita artikan bahwa uang yang dikumpulkan dari

pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta

(30)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

pengumpulannya, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah

menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan ini berarti apabila

Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, maka

pemerintah mempunyai kewenangan untuk melakukan upaya paksa antara lain

dengan mengeluarkan surat paksa, sita bahkan juga dapat melakukan

penyanderaaan sebagai upaya terakhir yang dapat dilakukan agar Wajib Pajak

mau melunasi utang pajaknya.

2. Sejarah Perpajakan

Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara

cuma-cuma), namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang

harus dilaksanakan oleh rakyat kepada seorang raja atau penguasa. Rakyat ketika

itu memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi,

ternak, atau hasil tanaman lainnya. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu

digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja, sedangkan imbalan atau

prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada oleh karena sifatnya memang

hanya untuk kepentingan sepihak dan solah-olah ada tekanan secara psikologis

karena kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.

Namun, dalam perkembangannya kemudian sifat upeti yang diberikan oleh

rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada

kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian yang dilakukan oleh rakyat

tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan

rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air serta berbagai kepentingan

(31)

Dengan adanya perkembangan suatu masyarakat, maka sifat upeti

(pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut,

selanjutnya dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang

memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Guna untuk

memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat

aturan-aturan dalam pemungutan pajak. Maka untuk itu dibuatlah suatu ketentuan

berupa undang-undang yang mengatur mengenai bagaimana tata cara pemungutan

pajak, jenis-jenis pajak apa saja yang dipungut, siapa saja yang harus membayar

pajak dan berbagai aturan lainnya.

Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup

banyak undang-undang yang mengatur tentang pembayaran pajak, yaitu sebagai

berikut :

a. Ordonansi Rumah Tangga (Stbl 1908 No.13)

b. Aturan Bea Materai (Stbl 1921 No. 498)

c. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl 1924 No.291)

d. Ordonansi Pajak kekayaan (Stbl 1932 No.405)

e. Orodonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl 1934 no.718)

f. Ordonanasi Pajak Upah (Stbl 1934 No. 611)

g. Ordonansi Pajak Potong (Stbl 1936 No.671)

h. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl 1944 No.17)

i. Undang-Undang Pajak Radio (UU No.12 Tahun 1947)

j. Undang-Undang Pajak Pembangunan I (UU No.14 Tahun 1947)

(32)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Kemudian dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, diundangkan

lagi beberapa Undang-Undang, antara lain :

a. Undang Pajak Penjualan Tahun 1951 yang dirubah dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968;

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1967 tentang pajak atas bunga,

dividen dan royalti;

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara

dengan Surat Paksa;

d. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak bangsa asing;

e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd,

PKK, dan PPs.

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan

masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaan sehari-hari. Selain itu,

beberapa undang-undang diatas ternyata dalam perkembangannya tidak

memenuhi rasa keadilan terlebih-lebih undang-undang dimaksud masih dibuat

oleh dan untuk kepentingan penjajah Belanda.

Menyadari kondisi diatas maka, pada tahun 1983 pemerintah

bersama-sama dengan DPR sepakat melakukan reformasi Undang-Undang Perpajakan

yang ada dan mengundangkan lima paket undang-undang perpajakan yang

sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktekkan serta tidak menimbulkan

duplikasi dalam hal pemungutan pajaknya dan unsur keadilan lebih diutamakan.

(33)

a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan (KUP)

b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas

Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ;

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB);

e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.

Dengan diberlakukannya kelima undang-undang tersebut diatas, semua

lapisan masyarakat tentunya diharapkan turut berpartisipasi dan dapat mengerti

akan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan sistem self assessment

yang berlaku sejak tahun 1983.

Selanjutnya pada tahun1997 pemerintah kembali mengadakan perubahan

atas undang-undang perpajakan yang ada dan membuat beberapa undang-undang

yang berkaitan dengan masalah perpajakan , yaitu :

a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak;

b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah;

c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat

Paksa;

d. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan

(34)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

e. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan.

Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan

dalam rangka memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak, pada tahun 2000

kembali pemerintah mengadakan perubahan terhadap undang-undang perpajakan

yang dibuat pada tahun 1983, yang selengkapnya seperti dibawah ini :

a. Undang Nomor 16 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan (KUP) sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor

9 tahun 1994;

b. Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana

telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994;

c. Undang Nomor 18 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang

dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah dirubah

dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994;

d. Undang Nomor 19 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;

e. Undang Nomor 21 Tahun 2000 mengenai Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

(35)

B. Subjek Pajak dan Objek Pajak

1. Subjek Pajak

Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan

Tata Cara Perpajakan, tidak menjelaskan tentang subjek pajak dan hanya

menyebutkan Wajib Pajak, namun jika bertolak pada prinsip “Self Assessment”

dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan subjek pajak adalah orang

pribadi dari badan yang menurut Undang-Undang Perpajakan dinyatakan sebagai

subjek hukum yang dapat dikenakan pajak.

Dalam bab ini akan diuraikan tentang siapa saja yang menjadi subjek pajak

tersebut, antara lain :

a. Subjek Pajak Penghasilan

Subjek pajak penghasilan menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 2 ayat 1,

disebutkan bahwa yang menjadi subjek adalah :

1) Orang Pribadi;

2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

3) Badan. Pengertian badan disini adalah modal yang merupakan kesatuan, baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi :

a) Perseroan Terbatas (PT)

b) Perseroan Komanditer (CV)

c) Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk

(36)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

d) Firma

e) Kongsi

f) Koperasi

g) Dana Pensiun

h) Yayasan

i) Dan bentuk-bentuk badan lainnya.16

4) Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dimaksud dengan BUT adalah bentuk usaha

yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di

Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka

waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di

Indonesia, yang dapat berupa : Tempat kedudukan manajemen, Cabang

perusahaan, Kantor perwakilan, Gedung kantor, Pabrik, Bengkel,

Pertambangan dan penggalian sumber alam wilayah kerja pengeboran yang

digunakan untuk eksploitasi pertambangan, Perikanan, peternakan, pertanian,

perkebunan, kehutanan, Proyek konstruksi instalasi atau proyek perakitan,

Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas,

serta agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan

tidak berkedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau

menanggung resiko di Indonesia.

Subjek pajak terdiri dari :

16

Penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Undang- Undang Perpajakan Tahun 2000, Penerbit Citra Umbara, Bandung, hal 95

(37)

1) Subjek Pajak Dalam Negeri, dan

2) Subjek Pajak Luar Negeri.

Subjek pajak dalam negeri terdiri dari ;

a) Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;

b) Badan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia;

c) Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan yang menggantikan

yang berhak.

Subjek pajak luar negeri terdiri dari :

a) Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan

badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia

yang menjalankan bentuk usaha tetap di Indonesia.

b) Orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam

jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak berkedudukan di Indonesia

yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Bagi mereka yang bertempat tinggal di luar Indonesia, baru menjadi

subjek pajak di Indonesia apabila mereka menerima atau memperoleh penghasilan

dari Indonesia, misalnya penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal

Undang-Undang No.17 Tahun 2000. Penghasilan yang dimaksudkan dalam pasal

26 ini adalah :

1) Dividen;

2) Bunga, royalty, sewa;

(38)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

4) Imbalan sehubungan dengan penggunaan jasa, pekerjaan dan kegiatan;

5) Hadiah dan penghargaan; dan

6) Pensiunan dan pembayaran berkala lainnya.

Sedangkan yang tidak termasuk pada subjek pajak penghasilan adalah

sebagai berikut:

1) Badan Perwakilan Negara Asing;

2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan consular;

3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan

Menteri Keuangan.

b. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN)

Subjek pajak dari pajak pertambahan nilai 1984 yang telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan

perusahaan atau pekerjaannya :

1) Menghasilkan barang, pengusahanya disebut pabrikan atau produsen;

2) Mengimpor barang, pengusahanya disebut eksportir;

3) Melakukan usaha perdagangan, pengusahanya disebut pedagang; dan

4) Melakukan usaha jasa, pengusahanya disebut pengusaha jasa.

Pengusaha menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No.18

Tahun 2000 wajib melaporkan usahanya kepada pejabat pajak di tempat

pengusaha itu bertempat tinggal atau tempat kedudukan usaha itu, dalam jangka

(39)

Pajak (PKP). Pengertian sejak usaha itu dilakukan adalah sejak saat pendirian atau

sejak diperolehnya izin usaha atau sejak usahanya nyata-nyata dimulai.

c. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Subjek pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah orang atau

badan yang:

1) Memiliki, menguasai;

2) memperoleh manfaat atas bumi, dan /atau;

3) memperoleh manfaat atas bangunan;

Subjek pajak diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak, menjadi

wajib pajak. Orang-orang atau badan yang mempunyai hak memiliki, menguasai

dan memperoleh manfaat atas tanah di bangunan menurut pasal 3

Undang-Undang No.12 Tahun 1994 dimana Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan

bangunan tersebut kurang atau tidak melebihi Rp. 8000.000,- bukan merupakan

wajib pajak. Artinya seseorang yang memiliki tanah dan bangunan yang nilai jual

objek pajak nya hanya Rp. 8.000.000,- maka mereka dibebaskan dari pengenaan

pajak dari pajak bumi dan bangunan.

2. Objek Pajak

Yang dimaksud dengan objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak.

Mengingat penting dan strategisnya objek pajak tersebut berikut ini akan

(40)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

a. Objek Pajak Penghasilan (PPh)

Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah penghasilan. Yang dimaksud

penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau

diperoleh baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang digunakan baik

untuk investasi maupun konsumsi. Objek PPh terbagi atas:

1) Objek PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut :

a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang

pension bulanan, upah, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang

sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak,

tunjangan kehamilan, tunjangan jabatan, tunjangan transport, tunjangan

pajak, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, hadiah, dan penghasilan

teratur lainnya dengan nama apapun;

b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur;

c) Upah harian ,upah mingguan, upah satuan dan upah borongan;

d) Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua atau Tunjangan Hari Tua

(THT), uang pesangon, dan pembayaran lainnya yang sejenis;

e) Honorarium, uang saku atau penghargaan dengan nama apapun;

f) Gaji dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima

oleh Pejabat Negara, serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain

yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan

termasuk janda atau duda dan anak-anaknya.

2) Objek PPh Pasal 22, adalah sebagai berikut :

(41)

b) Kegiatan impor ke dalam daerah pabean.

Sedangkan yang bukan objek PPh Pasal 22 adalah :

a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan

perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.

b) Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain :

(1) Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang

bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;

(2) Barang untuk keperluan Badan Internasional beserta pejabatnya yang

bertugas di Indonesia;

(3) Buku ilmu pengetahuan;

(4) Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,

atau kebudayaan;

(5) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lain

semacam itu yang terbuka untuk umum;

(6) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan;

(7) Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang

cacat lainnya;

3) Objek PPh pasal 23 adalah sebagai berikut :

Pasal 23 Undang-Undang PPh mengatur mengenai pemotongan pajak atas

penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib pajak dalam negeri dan BUT

yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan yang

(42)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri

lainnya. Objek yang dimaksud antara lain :

a) Dividen

b) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan

jaminan pengembalian hutang

c) Royalti

d) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

e) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen,jasa konstruksi

dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

4) Objek PPh pasal 26

Pasal 26 UU PPh mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang

bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri

dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23, hanya

saja dalam PPh pasal 26 yang menerima penghasilan tersebut adalah Wajib Pajak

luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan adalah

Wajib Pajak dalam negeri. Selain itu sifat pemotongan PPh pasal 26 adalah

bersifat final (tidak dapat dikreditkan), sedangkan pemotongan PPh pasal 23

sifatnya tidak final.

b. Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Objek dalam PPN adalah penyerahan atau kegiatan yang dilakukan oleh

pengusaha kena pajak. Ada 6 kegiatan yang ditegaskan UU PPN sebagai objek

(43)

1) Penyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh

pengusaha;

2) Impor barang kena pajak;

3) Penyerahan jasa kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean oleh

pengusaha;

4) Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di

dalam daerah pabean;

5) Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;

6) Ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

c. Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah benda tidak bergerak yaitu

berupa bumi dan bangunan. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi

dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan bangunan adalah suatu

konstruksi tehnik yang ditanam atau dilihatkan secara tetap pada tanah dan atau

perairan.Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1) Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seprti hotel,

pabrik dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan bangunan

kompleks tersebut;

2) Jalan tol;

3) Kolam renang;

4) Tempat Olahraga;

5) Taman mewah;

(44)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

7) Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

d. Objek Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Objek dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah

perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dapat berupa tanah, tanah dan

bangunan, atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut

meliputi hal-hal seperti:

1) Pemindahan hak

2) Pemberian hak baru

e. Objek Bea Materai

Objek bea materai adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang

berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan

atau kenyataan bagi sesorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa

dokumen yang wajib dikenakan bea materai, adalah sebagai berikut :

1) Dokumen yang telah disebutkan dalam Undang-Undang, seperti : surat

perjanjian, akta-akta notaris termasuk salinannya, akta-akta yang dibuat oleh

Pejabat Pembuat Akta Tanah, surat berharga seperti wesel, promes dan

lain-lain.

2) Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan,

seperti : surat-surat biasa dan surat –surat kerumahtanggaan serta surat-surat

yang semula tidak digunakan Bea Materai berdasarkan tujuannya, jika

digunakan untuk tujuan lain , lain dari maksud semula, contoh surat

(45)

C. Penggolongan Jenis Pajak

Jenis-jenis pajak yang dapat dikenakan terhadap Wajib Pajak dapat

digolongkan dalam 3 golongan yaitu:

1. Berdasarkan sifatnya

Jenis-jenis pajak menurut sifatnya dapat dibagi dua, yaitu :

a. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri

oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta

dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya

pajak penghasilan.

b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan

kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau

peritiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.

2. Menurut Sasaran/ Objeknya

Menurut sasaran atau objeknya, pajak dapat dibagi atas dua golongan yaitu :

a. Pajak Subjektif adalah pajak yang dikenakan dengan pertama-tama

memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak (subjeknya). Setelah

diketahui keadaan subjektifnya barulah diperhatikan keadaan objektifnya

sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak, misalnya Pajak

Penghasilan.

b. Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama

memperhatikan / melihat objeknya baik berupa keadaan perbuatan atau

peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.

(46)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui, misalnya Pajak

Pertambahan Nilai, bea masuk, cukai tembakau, bensin dan lain

sebagainya. Pajak ini tidak menghiraukan keadaan Wajib Pajak, dimana

lazimnya tidak dipungut tersendiri melainkan dimasukkan kedalam harga

barang sehingga sering kali orang tidak menyadari bahwa dalam harga itu

sudah termasuk pajak. Maka oleh sebab itu pemungutan pajak objektif

yang tidak langsung ini sangat mudah sekali.

Negara yang sedang berkembang sering memungut pajak objektif ini,

bahkan lazimnya hasil pajak objektif ini lebih besar daripada hasil pajak

langsung. Ditinjau dari segi keadilan dan dari segi kekuatan pikul, pajak

ini kurang memenuhi rasa keadilan. Tetapi karena cara pemungutannya

sangat mudah, maka oleh negara-negara baik Negara berkembang maupun

Negara industri kehadirannya dalam penghasilan negara belum dapat

dihilangkan sama sekali.

3. Menurut Lembaga Pemungutannya

Menurut lembaga pemungutannya, jenis pajak dapat dibagi dua yaitu jenis

pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan jenis pajak yang dipungut

oleh Pemerintah Daerah.

a. Pajak pusat adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang

dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan Direktorat

Jenderal Pajak. Hasil dari pemungutan pajak pusat dikumpulkan dan

dimasukkan sebgai bagian dari penerimaan APBN (Anggaran Pendapatan

(47)

Jenis Pajak Pusat yang dikelola oleh Departemen Keuangan adalah sebagai

berikut :

1) Pajak Penghasilan

2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

3) Pajak Bumi dan Bangunan

4) Pajak/ Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

5) Bea Materai.

b. Pajak Daerah adalah jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah

yang dalam pelaksanaannya sehari-hari dilakukan oleh Dinas Pendapatan

Daerah (Dispenda). Hasil pemungutan pajak daerah dikumpulkan dan

dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD (Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah). Sesuai Undang –Undang Nomor 18

Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, jenis pajak yang

dikelola oleh Dispenda adalah:

1) Pajak Daerah TK I terdiri dari : Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

2) Pajak Daerah TK II terdiri dari : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Hiburan,

Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan dan

Pengolahan Bahan Galian Golongan C, serta Pajak Pemanfaatan Air

(48)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

D. Jenis-Jenis Ketetapan Pajak

Berbagai produk hukum yang dapat diterbitkan oleh Direktorat jenderal

Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi

dan Bangunan (KPP/ KPPBB) untuk mengetahui adanya kewajiban atau hak

Wajib Pajak adalah berupa surat ketetapan pajak yang terdiri dari 6 (enam)

macam, yaitu sebagai berikut :

1. Surat Tagihan Pajak (STP)

STP adalah surat yang diterbitkan untuk melakukan tagihan pajak dan atau

sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STP diatur dalam pasal 14

Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata

Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2000. STP dapat diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Apabila pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;

b. Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan

pembayaran pajak akibat salah tulis dan atau salah hitung;

c. Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau

bunga;

d. Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang

PPN dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk

dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP);

e. Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak

(49)

f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak

membuat atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak

mengisi selengkapnya Faktur Pajak tersebut.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan

besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan

pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang

masih harus dibayar.

SKPKB diatur dalam pasal 13 UU KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka

waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak,

bagian tahun pajak, atau tahun pajak yaitu dalam hal-hal sebagai berikut :

a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang

terutang tidak atau kurang bayar;

b. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang

telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga

seperti ditentukan dalam surat teguran;

c. Apabila berdasakan hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM ternyata

tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak

seharusnya dikenakan tarif 0 %;

d. Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak

memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak sehingga tidak dapat

(50)

Yasmine A. Nst : Fungsi Lembaga Penyanderaan D alam Sis tem Penagihan Pajak T erhadap W ajib

Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa

denda ataupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 %

sebulan, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Wajib Pajak

tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan

tambahan atas jumlah pajak yang ditetapkan dalam SKPKB. SKPKBT diatur

dalm pasal 15 UU KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa

kemungkinan yang terjadi seperti :

a. Adanya SKPKB yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah daripada

perhitungan yang sebenarnya;

b. Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB

yang seharusnya tidak dilakukan; dan

c. Adanya pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) yang

ditetapkan ternyata lebih rendah.

4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan

jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar

daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur

dalam pasal 17 UU KUP yang diterbitkan untuk hal-hal sebagai berikut :

a. Untuk Pajak Penghasilan (untuk selanjutnya disebut PPh), jumlah kredit

pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

“Tujuan pengendalian biaya adalah untuk memperoleh jumlah produksi atau hasil yang sebesar-besarnya dengan kualitas yang dikehendaki, dari pemakai sejumlah

Akhirnya, terima kasih yang terbesar dan penghargaan yang paling mulia saya berikan kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat saya yang setia, yang dalam kasih

Buku nyanyian ibadah GKT edisi revisi 1997 dengan salah satu contoh nyanyian di dalamnya yang tidak lagi memakai teks bahasa Tionghoa.... Buku nyanyian GKT edisi 1966 dengan contoh

Two analytical tasks are: (1) to use factor analysis and cluster analysis of forest owners’ responses to questions regarding their reasons for owning forest land to classify owners

Penentuan nilai pakai aset tak berwujud membutuhkan estimasi arus kas yang diharapkan akan dihasilkan dari pemakaian berkelanjutan dan pelepasan akhir atas aset tersebut

[r]

TES has nine activities as follows: (1) Strengthening the manufacture of evacuation planning in the area including the tsunami hazard map or tsunami risk map which more detailed

bukti empiris apakah dengan teori yang sama tetapi populasi, waktu dan tempat yang berbeda akan menunjukkan hasil yang sama. Dalam penelitian ini sampel diambil dari karyawan bagian