• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembinaan Anak Jalanan Melalui Lembaga Sosial (Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembinaan Anak Jalanan Melalui Lembaga Sosial (Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBINAAN ANAK JALANAN MELALUI

LEMBAGA SOSIAL

(Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh : KURNIYADI 108032200028

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas tentang pembinaan anak jalanan melalui lembaga sosial, studi kasus pembinaan anak jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Keberadaan anak jalanan di negara ini menjadi permasalahan yang komplek. Jumlahnya yang setiap tahun mengalami peningkatan, patut mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Sebagai salah satu bentuk perhatian terhadap anak jalanan ini adalah dengan membawa mereka ke lembaga-lembaga sosial, sebagai upaya pembinaan. Salah satunya adalah keberadaan Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi yang berada di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini. Kehadiran lembaga ini untuk memberikan pembinaan-pembinaan terhadap anak jalanan. Kegiatan pembinaan-pembinaan yang dilakukan adalah dengan memberikan fasilitas-fasilitas untuk anak jalanan agar mereka tetap belajar. Sehingga kebutuhan untuk pendidikan mereka tetap terpenuhi.

Dalam penelitian ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu : (1). Bagaimana pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ? (2). Apa saja bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan ? (3). Bagaimanakah kontribusi pembinaan anak jalanan yang dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap perilaku anak jalanan ?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan 15 informan penelitian, di antaranya: pimpinan Yayasaan Bina Anak Pertiwi, pendamping/guru, anak jalanan, dan masyarakat. Pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Dan proses pengambilan data dilakukan sejak bulan April – Mei 2013 dengan metode pengumpulan data, wawancara terstruktur, observasi, dan dokumentasi.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan nikmat-Nya, sehingga kita bisa beraktifitas dan bertatap muka dengan semangat penuh gelora dalam keadaan sehat walafiyat. Allah Tuhan Semesta Alam telah memberikan kita nikmat iman dan Islam, yang merupakan hal paling sempurna bagi seorang muslim. Atas nikmat dan karunia-Nya pula peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini, “Pembinaan Anak Jalanan Melalui Lembaga Sosial (Studi Kasus Pembinaan Anak Jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan)”, dengan lancar.

Shalawat dan salam semoga selalu tetap tercurahkan kepada sang tauladan kita, Nabi besar Muhammad SAW. Yang senantiasa mencintai ummatnya hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan skripsi ini, peneliti mengalami berbagai hambatan. Namun semua hambatan tersebut dapat teratasi karena adanya bantuan, bimbingan, arahan, dukungan dan kontribusi dari dan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya pada pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan moriil dan bantuan penyusunan skripsi ini. Hingga akhirnya penelitian skripsi ini telah selesai tepat pada waktunya. Ucapan terikma kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, peneliti sampaikan kepada:

(7)

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Nur Kafid, MA selaku dosen pembimbing dengan sabar dan tiada henti hentinya memberikan semangat, saran-saran, kritik kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Zulkifly, MA selaku Kepala Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Iim Halimatus’adiyah, MA selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen dan staf pada program studi Sosiologi atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan dan pengalaman yang diberikan. 7. Keluargaku tercinta, (Ayahandaku ‘Marhasan’ dan Ibundaku tersayang

‘Hossirah’), terima kasih atas segala pengorbanan dan segala doanya yang

terus mereka panjatkan untuk peneliti, agar peneliti sukses dan berhasil dalam penelitian skripsi ini dengan nilai yang baik.

8. Pimpinan Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi, pengurus Yayasan, dan masyarakat sekitar, yang telah membantu dalam melakukan penelitian dan data-data yang dibutuhkan.

(8)

kawan-kawan satu kosan (bang Amir dan Eenk), terima kasih atas saran dan kebersamaannya selama ini.

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaiaan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Peneliti menyadari akan segala keterbatasan yang ada pada peneliti secara personal dengan hasil penelitiannya, sehingga peneliti yakin dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik konstruktif pembaca sangat peneliti harapkan untuk perbaikan di masa mendatang demi terwujudnya insan akdemis yang mumpuni dan bertanggung jawab.

Jakarta, 10 April 2014

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI………i

KATA PENGANTAR………ii

DAFTAR ISI………...v

BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah………...1

B. Pertanyaan Penelitian………...4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...4

D. Tinjauan Pustaka………..5

E. Definisi Konsep………...8

A. Anak Jalanan………..8

1. Definisi Anak Jalanan………...8

2. Munculnya Anak Jalanan………...10

3. Kehidupan Anak Jalanan………13

B. Pendidikan………16

1. Definisi Pendidikan………...16

2. Tujuan Pendidikan……….19

F. Kerangka Teori 1. Pendidikan Demokratis………...………...22

2. Pendidikan Hadap Masalah (problem posing)…………...28

G. Metodologi Penelitian………....31

(10)

BAB II PROFIL YAYASAN BINA ANAK PERTIWI

A. Sejarah Berdirinya………..38 B. Visi, Misi, dan Tujuan………42 C. Struktur Yayasan Bina Anak Pertiwi……….………...44

BAB III TEMUAN HASIL PENELITIAN

A. Pola Pembinaan Anak Jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi…..46 B. Bentuk-bentuk Pembinaan di Yayasan Bina Anak Pertiwi………55 C. Kontribusi Pembinaan Terhadap Perilaku Anak Jalanan………...65

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………. 70 B. Saran-Saran………...72

DAFTAR PUSTAKA………...74

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Penelitian ini akan menganalisa tentang pembinaan anak jalanan melalui lembaga sosial dengan studi kasus pembinaan anak jalanan di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Di Jakarta, masih banyak sekali kita temukan anak jalanan di mana-mana. Kehidupan mereka pun sangat menghawatirkan. Keberadaan mereka merupakan satu masalah yang harus ditangani oleh Pemerintah. Kehidupan mereka yang tidak terkontrol sering kali menyebabkan tindakan-tindakan yang menyimpang, baik secara hukum atau agama.

(12)

(Widiantoro, 2011). Padahal, dalam usia mereka yang masih anak-anak, pendidikan merupakan hal yang harus mereka dapatkan.

Akan tetapi realitasnya, pendidikan di Indonesia yang terus berbenah tampaknya belum bisa menyentuh semua elemen masyarakat, khususnya anak-anak kurang mampu. Hal ini kemudian yang menjadi salah satu faktor munculnya para pekerja anak yang merupakan generasi putus sekolah (Afifah, 2012). Sehingga, bagi kalangan anak jalanan yang sama sekali tidak pernah mencicipi dunia pendidikan, sikap, dan perilakunya terkadang menyimpang dari norma-norma yang ada. Seperti, mencopet, minum-minuman keras, pergaulan bebas, pengguna narkoba, mengganggu ketenangan umum, dan lain-lain. Padahal, memperoleh pendidikan yang layak merupakan hal sangat penting bagi generasi masa depan di Indonesia, termasuk anak-anak jalanan. Adalah hak konstitusional setiap anak untuk berada di sekolah (Aprianita, 2010).

Secara umum, pendidikan merupakan serangkaian kegiatan komunikasi antara manusia dewasa dengan si anak didik, secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya, dalam artian supaya dapat mengembangkan potensinya semaksimal mungkin agar menjadi manusia dewasa yang bertanggungjawab. Potensi di sini ialah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral, pengetahuan dan keterampilan (Idris, 1981: 11).

(13)

kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya (Ekosusilo & Kasihadi, 1999: 14).

Dari beberapa definisi di atas, terlihat bahwa pendidikan itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini, khususnya dalam membentuk karakter dan perilaku seseorang. Pendidikan juga menjadi tujuan dari negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sejalan dengan itu, pasal 28 ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia. Amanat tersebut dipertegas oleh pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (Nandika, 2007: 3).

(14)

B. Pertanyaan Penelitian

Terkait dengan uraian pernyataan masalah di atas, maka rumusan pertanyaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ?

2. Apa saja bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan ?

3. Bagaimanakah kontribusi pembinaan anak jalanan yang dilakukan Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap perilaku anak jalanan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan pola pembinaan anak jalanan yang diberikan di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

2. Untuk menjelaskan bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

3. Untuk mengidentifikasi sejauhmana kontribusi pembinaan terhadap perilaku anak jalanan.

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(15)

pembinaan yang diberikan di Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan. Dan mengetahui bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait yang membutuhkan, sekaligus untuk mengetahui pembinaan yang diberikan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan, sehingga dapat ditindak lanjuti di masa yang akan datang. Serta diharapkan dapat memberikan motivasi bagi anak jalanan untuk dapat mengikuti pendidikan dan pembinaan sebaik-baiknya di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

D. Tinjauan Pustaka

(16)

Kota adalah karyawisata. Metode ini memiliki unsur hiburan, bermain, dan berpetualangan. Metode ini sangat menarik bagi anak-anak, tetapi penggunaannya sangat berkaitan dengan besarnya biaya yang harus disediakan dan juga membutuhkan persiapan yang matang.

Terkait dengan anak jalanan, tesis yang berjudul “Anak Jalanan Dan Model Penanganannya (Studi Kualitif Tentang Anak Jalanan Yang Dibina Oleh Yayasan Dian Mitra, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Dan Yayasan Amalia Di Jakarta)”, yang ditulis oleh Tuti Kartika di Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Sosiologi tahun 1997. Studi ini menemukan beberapa faktor yang mendukung anak jalanan berperilaku negatif atau melakukan tindakan kriminal. Pertama, pola hubungan sosial. Anak jalanan dalam berhubungan sosial dengan tokoh jalanan mempelajari cara melarikan diri dari situasi krisis. Kedua, Stigma masyarakat, di mana masyarakat telah memberikan stigma bahwa anak jalanan sebagai anak kriminal. Sehingga keberadaan anak jalanan selalu dicurigai. Ketiga, Sebagai protes, dalam usianya yang relatif masih anak-anak, anak jalanan tidak mampu melawan orang dewasa yang mengancam kehidupannya.

(17)

diberikan mengakibatkan terjadinya proses penanganan tidak tepat sasaran. Selain itu, program rumah singgah yang dilakukan tidak menginventaris data anak yang berada di jalan, sehingga program yang diberikan tidak dapat mencapai tujuan program yang sebenarnya. Selanjutnya, implementasi program pemberdayaan anak jalanan ini bersifat rehabilitatif. Program rumah singgah tidak mendapat dukungan dari masyarakat sekitar rumah singgah.

Hampir sama dengan kajian di atas, tesis yang ditulis oleh Ridha Haykal Amal dengan judul “Program Pemberdayaan Anak Jalanan Melalui Rumah Singgah (Studi Kasus 5 Anak Jalanan Di Rumah Singgah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia)”, ditulis oleh Ridha Haykal Amal pada tahun 2002, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Menemukan bahwa, strategi yang digunakan rumah singgah Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia yaitu menggunakan pendekatan centre based program dengan fungsi intervensi rehabilitatif, yaitu berusaha melepaskan anak jalanan. Meskipun demikian rumah singgah juga menggunakan pendekatan community based dan street based yang tercermin dalam beberapa program dan kegiatannya.

(18)

masyarakat yang produktif dan berguna, sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan ketahanan wilayah DKI Jakarta.

Dari beberapa penelitian terdahulu terkait dengan anak jalanan, belum ada penelitian yang memfokuskan pada pola pembinaan dan kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan. Walaupun ada penelitian yang sudah disebutkan di atas, tetapi itu hanya lebih pada pembinaan anak jalanan secara umum saja. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkap perbedaan dalam penelitian sebelumnya, yaitu dengan menganalisa tentang bagaimana pola pembianaan dan kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan dengan mengambil lokasi di Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi.

E. Definisi Konsep A. Anak Jalanan

1. Definisi Anak Jalanan

Sampai saat ini, pengertian tentang anak jalanan belum bisa ditemukan secara kongkrit, dan belum ada keseragaman pendapat. Banyak istilah atau sebutan yang ditujukan kepada mereka, seperti anak pasar, anak tukang semir, anak lampu merah, peminta-minta, anak gelandangan, anak pengamen, dan lain sebagainya (Setiawan, 2007: 45).

(19)

jalanan maupun tempat-tempat umum (Suradi, 2011: 316). Di jalanan memang ada anak usia 5 tahun ke bawah, tetapi merekan biasanya dibawa orang tua atau disewakan untuk mengemis. Memasuki usia 6 tahun biasanya dilepas atau mengikuti temannya. Anak-anak yang berusia 18 sampai 21 tahun dianggap sudah mampu bekerja atau mengontrak rumah sendiri bersama teman-temannya (Setiawan, 2007: 45).

Selanjutnya, Lusk mendefinisikan anak jalanan adalah “any girl or boy…for whom the street (in the widest sense of the word, including unoccupied

dwellings, wasteland, including unoccuplieed dwellings, wasteland, etc) has become his or her habitual abode and/or source of livelihood; and who is inadequately protected, supervised, or directed by responsible adults [setiap anak perempuan atau laki-laki yang memanfaatkan jalanan (dalam pandangan yang luas ditulis, meliputi tidak punya tempat tinggal, tinggal di tanah kosong, dan lain sebagainya) menjadi tempat tinggal sementara dan atau sumber kehidupan, dan tidak dilindungi, diawasi atau diatur oleh orang dewasa yang bertanggung jawab] (Setiawan, 2007: 45).

Sementara, Sunusi membedakan anak jalanan ke dalam tiga kategori, yang didasarkan pada pekerjaannya, waktu dan hubungan dengan orang tuanya (Suradi, 2011: 316-317), sebagaimana di bawah ini :

a. Children of the Street

(20)

Secara total mereka hidup mandiri, untuk perjuangan hidup secara fisik maupun secara psikologis.

b. Children on the Street

Anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan atau tempat-tempat umum lainya, untuk bekerja dan penghasilanya digunakan untuk membantu kehidupan keluarga.

c. Vulnerable to be Street Children

Anak jalanan yang tinggal dengan orang tua atau keluarganya, tetapi bekerja di jalanan. Pada kelompok ini faktor ekonomi keluarga menjadi faktor dominan yang mendorong mereka memasuki kegiatan ekonomi jalanan.

2. Munculnya Anak Jalanan

Anak jalanan pada umumnya, menjadi masalah sosial di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Banyak kita saksikan keberadaan anak jalanan di sekitar perempatan lampu merah, di bus-bus kota, di depan pertokoan, dan di kolong jembatan. Hal ini menjadi masalah sosial bangsa yang harus segera diselesaikan.

(21)

Untuk itu, anak-anak melakukan upaya mencari pemenuhan kebutuhan fisik, psikis, sosial, dan spiritualnya dengan turun ke jalan, menjadi anak jalanan (Mujiyadi, dkk, 2011: 3). Artinya, yang menjadi faktor utama dalam munculnya anak jalanan adalah aspek ekonomi.

Namun demikian, keberadaan anak jalanan di kota besar pada umumnya, lebih banyak diwarnai oleh kehadiran anak jalanan pendatang. Artinya, lebih banyak anak jalanan kategori pendatang daripada anak jalanan yang terlahir di kotanya sendiri. Demikian pula keberadaan orang tuanya, yang lebih banyak sebagai pendatang di kota (Mujiyadi, dkk, 2011: 12). Dengan kata lain, ada proses urbanisasi di sini. Mereka pindah ke kota tidak lebih untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan ekonominya. Karena kota dinilai menjadi tempat yang mudah untuk mendapatkan uang.

Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi keluarga, perlu diketahui aspek pendukungnya. Aspek sosial ekonomi yang dimaksud di sini adalah pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (ekonomi), juga tradisi (Suyanto, 2010: 198), sebagaimana diuraikan di bawah ini :

a. Pendidikan

(22)

Pada dasarnya, pendidikan merupakan hal sangat penting dalam kehidupan manusia, baik dari individu maupun dalam masyarakat. Karena pendidikan merupakan syarat untuk menjadi manusia berkualitas. Selain itu dengan memiliki pendidikan, masyarakat secara individu bisa meningkatkan status sosial ekonomi masyarakat.

Pada umumnya, keluarga anak jalanan juga tidak mendapatkan pendidikan secara layak. Kebanyakan mereka berpendidikan rendah, bahkan ada yang tidak pernah bersekolah.

b. Ekonomi

Kehidupan keluarga yang serba kekurangan, mendorong anak turun ke jalan untuk bekerja dan mencari uang, baik untuk diri sendiri maupun untuk kebutuhan keluarga. Alasan ekonomi menjadi penyebab utama dari sekian banyak anak jalanan. Mereka terdorong keinginan untuk membantu ekonomi keluarga, sehingga mereka terpaksa turun ke jalan.

(23)

sosialisasi, fungsi ini menunjuk peranan keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui interaksi sosial didalam keluarga itu, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat (Yusuf, 2008: 45-46).

c. Tradisi

Tradisi sering digunakan untuk menjelaskan keberadaan pekerja anak atau munculnya anak di jalanan. Anak-anak dari keluarga miskin, umumnya tidak memiliki alternatif lain dalam hal pekerjaan. Sehingga sudah menjadi semacam aksioma kultural bagi banyak kalangan, terutama di negara berkembang.

3. Kehidupan Anak Jalanan

Pada umumnya, anak jalanan merupakan bagian dari kehidupan di perkotaan. Di antara mereka, ada yang bekerja dan ada yang tidak bekerja. Mereka cenderung melaksanakan aktivitasnya di luar rumah, seperti di jalan raya, pasar, mall, tempat rekreasi, pelabuhan, terminal, dan tempat pembuangan sampah akhir. Sebagian besar dari mereka melakukan aktivitas tersebut untuk mendapatkan uang.

(24)

yang mengontrak kamar dengan sesama anak jalanan, biasanya merasa lebih bebas untuk melakukan apa saja dan cuek kepada tetangga. Makin lama anak berada di jalanan dan menginternalisasi nilai-nilai jalanan, akan mempunyai anggapan bahwa siapa yang kuat dialah yang menang. Sehingga, mereka yang tidak berkelompok, lebih sering mendapatkan penganiayaan. Dan yang berkelompok cenderung akan diperbudak oleh yang kuat (Suyanto, 2010: 176).

Terdapat berbagai macam-macam bentuk pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan. Data dari Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan pada tahun 2011-2012, menunjukkan bahwa pekerjaan yang dilakukan anak jalanan dapat digolongkan sebagai berikut :

Tabel 1.

Golongan Pekerjaan Anak Jalanan Menurut Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan

Tahun 2011-2012

Bulan Pengamen Asongan Pengelap Mobil Pengemis

Januari 33 8 - 19

Februari 21 1 - 15

Maret 19 8 10 -

April 11 - - 25

Mei 1 5 - 24

Juni 4 1 - 24

Juli 2 4 8 51

Agustus 1 1 - 76

(25)

Oktober 4 1 - 13

November - - - -

Desember - - - -

Jumlah 98 29 18 267

Sumber : Data dari Dinas Sosial Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2011-2012

Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa anak jalanan yang bekerja sebagai pengemis merupakan yang tertinggi. Disusul oleh pengamen, asongan, dan pengelap mobil. Data ini juga menunjukkan bahwa keberadaan anak jalanan, khususnya di Jakarta Selatan masih sangat tinggi.

Pada dasarnya mereka bekerja seperti itu tidak lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kebutuhan yang harus mereka penuhi (Suradi, 2011: 319-320), yaitu :

a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar.

Anak Jalanan tidak mampu memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan tempat tinggal yang layak dan manusiawi. Pada umumnya, makanan mereka tergolong kurang sehat karena hanya dua kali sehari dengan menu nasi, sayur atau lauk, serta jarang ada makanan tambahan. Di antara mereka ada yang makan dari sisa-sisa makanan yang dibuang di tempat sampah, seperti sayuran, buah-buahan, nasi, dan sebagainya.

b. Kondisi sosial, mental, dan spiritual.

(26)

relatif tertutup dari komunitas luar. Di dalam komunitas itu, anak jalanan bersosialisasi dan mengembangkan pola relasi sosial berdasarkan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam komunitas mereka.

Sebagian anak jalanan yang perempuan sudah menyalahgunakan Napza atau ngelem, berpotensi menjadi wanita tuna susila, dan bahkan ditemukan kasus sudah menjadi penjaja seks. Hal ini menggambarkan, betapa rapuhnya mental spiritual anak jalanan, baik karena tekanan ekonomi maupun hubungan sosial yang buruk di lingkungan keluarga maupun di dalam komunitas mereka (Suradi, 2011: 321).

B. Pendidikan

1. Definisi Pendidikan

Dalam definisi umum, pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya, dalam membimbing, melatih, mengajar, dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan hakikat dan ciri kemanusiaannya (Munawwaroh & Tanenji, 2003: 5).

Menurut Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/1973, pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup (Sabri, 2005: 7).

(27)

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Sabri, 2005: 7).

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan dengan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak. Artinya, pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setingi-tingginya (Zurinal & Sayuti, 2006: 2-3).

Sedangkan Emile Durkheim, mendefinisikan pendidikan sebagai proses di mana individu mendapat alat-alat fisik, intelektual, dan moral yang diperlakukan agar dapat berperan dalam masyarakat. Ia berpendapat, bahwa pendidikan akan menolong anak-anak mengembangkan sikap moral terhadap masyarakat. Baginya, pendidikan anak memberi individu disiplin-disiplin yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka. Dan pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moralnya di dalam diri para murid. Dia percaya, bahwa sekolah secara praktis adalah satu-satunya institusi yang akan memberikan landasan sosial bagi moralitas modern (Ritzer & Goodman, 2009: 115).

(28)

memproduksi semua elemen moralitas. Pertama, pendidikan akan memberikan individu disiplin-disiplin yang mereka butuhkan untuk mengendalikan nafsu yang mengancam mereka. Kedua, pendidikan bisa mengembangkan suatu rasa pengabdian terhadap masyarakat dan sistem moralnya di dalam para murid (Ritzer & Goodman, 2009: 115).

Dengan teori-teori pendidikannya, Durkheim (1858-1017) memandang pendidikan sebagai suatu “social thing”. Dia mengatakan, bahwa masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya jika terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai warganya. Keseragaman esensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan diperkekal dan diperkuat penanamannya sejak dini pada anak-anak. Tetapi dibalik itu, suatu kerja sama apa pun tentu tidak mungkin tanpa adanya keanekaragaman, yaitu upaya pendidikan dijamin dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam jenjang dan spesialisasi (Idi, 2011: 10-11).

Bertolak dari pandangannya tentang pendidikan sebagai “social thing", akhirnya Emile Durkheim berpendapat bahwa, pendidikan bukanlah hanya satu bentuk, dalam artian ideal dan aktual, tetapi bermacam-macam. Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan khususnya, akan menentukan tipe-tipe yang diselenggarakan (Idi, 2011: 11).

(29)

melibatkan orang dewasa dan peserta didik dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya dan norma yang berkembang di masyarakat.

2. Tujuan Pendidikan

Pada hakikatnya, pendidikan itu bertujuan untuk merubah kelakuan anak didik menjadi lebih baik. Pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan keterampilan, dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia menurut apa yang diharapkan oleh masyarakat (Nasution, 1995: 10).

Tujuan pandidikan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dan dijadikan sasaran oleh setiap pendidik yang melaksanakan kegiatan pendidikan. Mengingat, apa yang telah dijelaskan pada bab pendahuluan bahwa pendidikan itu menjadi tujuan dari negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Nandika, 2007: 3).

(30)

mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa (Sabri, 2005: 45).

Menurut Langeveld, tujuan pendidikan adalah terbentuknya kehidupan sebagai insan kamil, suatu kehidupan di mana ketiga hakikat manusia baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk susila atau religius dapat terwujud secara harmonis (Sabri, 2005: 43).

Dari beberapa tujuan pendidikan di atas, terdapat kesamaan yaitu untuk mencerdaskan bangsa dan menjadi manusia yang utuh dengan menunjukkan akhlak yang baik, memiliki pengetahuan dan keterampilan, serta bertanggung jawab terhadap masyarakat.

Saat ini, terlihat pendidikan dan penanaman nilai-nilai hanya pada persoalan knowledge saja, tetapi persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai tersebut dapat diimplementasikan dalam cara berfikir, merasa, dan bertindak seseorang. Dalam kaitannya dengan itu, ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai pengetahuan (Muzakkar, 2007: 24-25), yaitu :

a. Learning by doing and exposure

(31)

b. Learning by experiencing

Peserta didik dilibatkan dalam berbagai kegiatan, baik lomba-lomba, kegiatan sosial, dan kegiatan kerohanian. Bagaimana peserta didik dapat memahami dan menghayati arti toleransi antar umat beragama bila mereka pernah berinteraksi, mengalami, dan merasakan perjumpaan dengan orang yang berbeda agama dan keyakinan.

c. Learning by exploring and appreciating

Melalui media film dan karya seni lainnya, para peserta didik dapat melihat nila-nilai apa yang dapat dipelajari dan reaksi apa yang muncul pada saat mereka melihat situasi yang ditayangkan di dalam film tersebut. Pada saat melihat adegan kekerasan terhadap orang tidak bersalah misalnya, apakah diri mereka muncul kemarahan moral atau bersikap indefferent. Rasa kemanusiaan dapat diasah melalui analisis film atau karya seni lainnya.

d. Learning by living in

Peserta didik diajak untuk tinggal beberapa lama di suatu daerah atau lingkungan untuk mengamati, mengalami, dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Dari situ, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang berlaku, apakah ada sesuatu yang menggetarkan kesadaran dan nuraninya saat tinggal dan berinteraksi dengan dunia luar.

e. Problem solving method

(32)

tersebut, menganalisanya dengan tujuan untuk menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atau jalan keluar yang ditawarkan dan mengujinya ketingkat praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi atau tidak. Melalui metode pemecahan masalah, para peserta didik dipicu kreasi dan imajinasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoaalan yang dihadapinya.

f. Case study method

Melalui metode studi kasus, peserta didik dilatih melihat persoalan-persoaalan hidup dari berbagai sudut pandang. Melalui metode ini, peserta didik diajak untuk bekerja sama dan berintrakasi dalam upaya mencari pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Sehingga peserta didik tidak hanya mengetahui dan memahami berbagai teori, tapi juga mahir dalam menggunakan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis hidup yang kongkrit.

F.Kerangka Teoritis 1. Pendidikan Demokratis

(33)

keterikatan manusia dalam proses pengembangan kemanusiaannya. Realisasinya kemanusiaan makhluk manusia merupakan suatu proses pembebasan. Itulah makna pendidikan bagi manusia (Tilar, 2005: 110).

Hakikat pendidikan itu sendiri adalah proses memanusiakan anak manusia yaitu manyadari akan manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka adalah manusia yang kreatif yang terwujud di dalam budayanya. Manusia dibesarkan di dalam budayanya, serta menciptakan atau merekstruksikan budayanya itu sendiri (Tilar, 2005: 112). Artinya, setiap manusia wajib mendapatkan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia bebas dan merdeka.

(34)

semuanya memperoleh perlakuan sama, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberikan pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolah (Rosyada, 2004: 17-18).

Lebih lanjut, James A. Beane dan Michael W. Apple juga menjelaskan berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis (Rosyada, 2004: 16), yaitu :

1. Keterbukaan seluruh ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.

2. Meberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.

3. Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.

4. Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.

(35)

6. Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia.

7. Terdapat sebuah institusi yang dapat terus menerus mempromosikan dan mengmbangkan cara-cara hidup demokratis.

Jadi, inti dari teori James A. Baene dan Michael W. Apple di atas, bahwa sekolah demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stakeholder sekolah, sehingga semua unsur tersebut memahami arah pengembangan sekolah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang akan ditempuh.

Demokrasi pendidikan pada dasarnya dapat dilihat dalam dua sudut pandang. pertama, demokrasi secara horizontal, bahwa setiap anak harus mendapat kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan di sekolah. Di Indonesia ha ini jelas sekali tercermin pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 “setiap warga negara mendapat pengajaran”. Kedua, demokrasi secara vertical, bahwa

setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat pendidikan sekolah setinggi-tingginya, sesuai dengan kemampuannya (Freire & Mangunwijaya, 2004: 93).

(36)

sehingga semua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama atau warna kulit (Rosyada, 2004: 17).

Selanjutnya, keunggulan dari model sekolah demokratis, ini sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W. Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang, dalam kerangka penguatan model sekolah demokratis (Rosyada, 2004: 20), antara lain adalah :

1. Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggungjawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.

2. Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara invidual. Berbagai kesulitan siswa akan manjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitan. 3. Keterlibatan masyarakat dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis,

(37)

karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakat, keputusan pimpinan sekolah juga akan manjadi keputusan bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakat, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sistem penyelenggaraan sekolah tersebut.

Selanjutnya, dalam proses mengajar seorang guru itu harus memenuhi dua kategori yaitu memiliki capability dan loyality. Artinya seorang guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi, dan memiliki loyalitas keguruan. Gilbert H. Hunt dalam bukunya effective teaching menyatakan bahwa guru yang baik harus memenuhi tujuh kriteria (Rosyada, 2004: 113-114), yaitu :

1. Sifat, guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong siswa untuk maju, hangat, toleran, sopan, dan bijaksana, bisa dipercaya, demokratis, penuh harapan bagi siswa, mampu mengatasi stereotipe siswa, bertanggung jawab terhadap kegiatan belajar siswa. 2. Pengetahuan, guru yang baik juga mampu memiliki pengetahuan yang

memadai dalam mata pelajaran yang diampunya, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang ilmunya.

3. Apa yang disampaikan, guru yang baik juga mampu memberikan jaminan bahwa materi yang disampaikannya mencakup semua unit bahasa yang diharapkan siswa secara maksimal.

(38)

menciptakan dan memelihara momentum, mendorong siswa untuk berpartisipasi.

5. Harapan, guru yang baik mampu memberikan harapan pada siswa, mampu membuat siswa akuntibel, dan mendorong partisipasi orang tua dalam mamajukan kemampuan akademik siswanya.

6. Reaksi guru terhadap siswa, guru yang baik bisa menerima berbagai masukan, resiko, dan tantangan, selalu memberikan dukungan pada siswa. 7. Management, guru yang baik juga harus mampu menunjukkan keahlian

dalam perencanaan, memiliki kemampuan mengorganisasi kelas sejak hari pertama dia bertugas, cepet memulai kelas, melewati masa transisi dengan baik.

Menurut John Dewey, bahwa kualitas proses pembelajaran yang meningkat, secara otomatis akan meningkatkan pula kualitas hasil belajar siswa. Belajar dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dengannya organisme memperoleh bentuk-bentuk perubahan perilaku yang cenderung terus mempengaruhi model perilaku umum menuju pada sebuah peningkatan. Perubahan perilaku tersebut terdiri dari berbagai proses modifikasi menuju bentuk permanen, dan terjadi dalam aspek perbuatan, berpikir, sikap, dan perasaan (Rosyada, 2004: 98).

2. Pendidikan Hadap Masalah (problem posing)

(39)

diredusir sebagai usaha untuk menjinakkan manusia. Dalam pendidikan hadap masalah ini manusia diberikan ruang bebas dalam menikmati pendidikan.

Menurut Paulo Freire dan Mangunwijaya, pendidikan hadap masalah merupakan pendidikan yang memberikan kebebasan penuh kepada masyarakat atau siswa untuk merefleksikan masalah, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau melakukan emansipasi memalui metode pendidikan. Pendidikan hadap masalah merupakan pendidikan kritis diaologis yang menempatkan manusia sebagai subjek bagi dirinya sendiri (Freire & Mangunwijaya, 2004: 117).

Selanjutnya, Jonh Dewey juga menekankan bahwa siswa-siswi harus dilatih untuk berfikir rekleftif, yakni mencoba melatih mereka untuk mengaplikasikan teori pada kasus dan situasi yang baru (Rosyada, 2004, 42).

Pola hadap masalah yang dibangun oleh Mangunwijaya adalah mengikutsertakan masyarakat serta siswa-siswi untuk tahu terhadap masalah dan berusaha memecahkan masalah. Emansipasi dalam pendidikan menurut Mangunwijaya penting, dan merupakan kunci utama bagi pemecahan masalah, terutama sekali dalam mengmbalikan cita-cita masyarakat yang selama ini merasa dibodohi, ditindas, dan dieksploitasi agar bisa bangkit untuk membangun masa depan yang baru (Freire & Mangunwijaya, 2004: 121).

(40)

pemilik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri. Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus-menerus memperbarui refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar dan penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialog dengan guru. Guru mengkaji plajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji kembali pemikirannya yang terdahulu ketika murid menemukan hasil pemikiran sendiri (Freire, 2008: 65).

Adapun pembinaan anak jalanan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi disini merupakan usaha untuk mengubah kehidupan anak jalanan menjadi lebih baik. Pembinaan yang diberikan oleh lembaga ini salah salah satunya adalah dengan melalui program pendidikan dan bimbingan-bimbingan. Karena tidak sedikit dari mereka yang masih membutuhkan bimbingan-bimbingan tersebut. Seperti, dengan melihat banyak dari mereka yang perilakunya masih tidak baik.

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

(41)

tingkah laku, juga tentang fungsionalisasi organisasi, pergerakan-pergerakan sosial atau hubungan kekerabatan (Strauss & Corbin, 2007: 11).

Bogdan dan Taylor, mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 2005: 4). Indikasi dari model penelitian ini yang membedakannya dengan penelitian jenis lainnya, antara lain: (1) adanya latar alamiah; (2) manusia sebagai alat atau instrumen; (3) metode kualitatif; (4) analisis data secara induktif; (5) teori dari dasar (grounded theory); (6) deskriptif; (7) lebih mementingkan proses daripada hasil; (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus; (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data; (10) desain yang bersifat sementara; (11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2005: 8-13).

Adapun penentuan informan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling (sampel purposif), yaitu penentuan yang ditetapkan secara sengaja oleh peneliti dengan didasarkan atas kriteria atau pertimbangan tertentu (Salam & Arifin, 2006: 54-55). Jumlah informan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tabel berikut ini :

Tabel 2.

Daftar Nama Informan Penelitian di Yayasan Bina Anak Peritiwi

No Nama

Informan Status Umur

Jenis

(42)

4 Ibu Teti Warga 42 P 27-09-2013 Asli

5 Moh. Nasir RT/Warga 26 L 27-09-2013 Asli

6 Dede Saputra Children on the street 18 L 6-04-2013 Asli 7 Riski Saputra Children of the street 18 L 8-04-2013 Asli 8 Faisal Saputra Children of the street 18 L 8-04-2013 Asli 9 Gifli Children of the street 18 L 12-04-2013 Pendatang 10 Riski Apriani Children of the street 15 P 16-04-2013 Asli 11 Maria Gureti Vulnerable to be street children 17 P 16-04-2013 Asli 12 Indri Vulnerable to be street children 15 P 16-04-2013 Asli 13 Dia Nurlela Vulnerable to be street children 13 P 17-04-2013 Asli 14 Maryam Vulnerable to be street children 16 P 20-04-2013 Asli 15 Dewi Apriani Vulnerable to be street children 15 P 20-04-2013 Asli

Sumber : Hasil Observasi

(43)

2. Metode Pengumpulan Data a. Wawancara

Wawancara ialah usaha untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Lexy J. Moeleng mendefinisikan wawancara sebagai percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) dan yang diwawancarai (interviewee) (Moleong, 2005: 135).

Dalam penelitian ini, wawancara di lakukan untuk menggali informasi tentang pola pembinaan anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi. Mendalami informasi tentang bentuk-bentuk pembinaan dan bagaimana kontribusinya terhadap perilaku anak jalanan. Wawancara ini dilakukan dengan dilengkapi rekaman supaya dapat mengetahui informasi secara mendalam dari informan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Wawancara juga dibantu dengan sebuah interview quide (panduan wawancara), yaitu panduan wawancara yang didalamya berisi beberapa pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.

b. Observasi

(44)

foto-foto kegiatan yang dilakukan anak jalanan di yayasan, fasilitas yang diberikan, dan lain sebagainya.

c. Sumber dan jenis Data

Menurut Lofland (1984: 47) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Basrowi & Suwardi, 2008: 169).Sumber data adalah subyek dimana data dapat diperoleh, subyek dalam penelitian ini berjumlah dua pihak, diantaranya: pimpinan atau pengurus Yayasan Bina Anak Pertiwi dan anak jalanan seprti yang sudah dijelaskan di atas. Alasan peneliti memilih mereka sebagai subyek untuk memudahkan peniliti mendapatkan data dan informasi yang diperlukan.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri dari dua sumber yaitu data primer dan sekunder. Data primer (sumber data utama) adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya (subyek penelitian), diamati dan dicatat, yang untuk pertama kalinya dilakukan melalui observasi (pengamatan) dan wawancara. Sedangkan data sekunder adalah pendukung atau pelengkap, seperti buku, majalah ilmiah, arsip, dokumentasi pribadi dan resmi dan sebagainya (Moleong, 2002: 56), yang berkaitan dengan masalah pembinaan moral di Yayasan Bina Anak Pertiwi.

3. Analisa Data Penelitian

(45)

memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting, terhadap data yang terkait dengan objek penelitian. Kedua, Penyajian Data (display data), dengan mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami objek penelitian berdasarkan apa yang telah dipahami. Ketiga, Penarikan Kesimpulan (Conclusion drawing/verification) dengan menyimpulkan terhadap data tentang objek penelitian, dan mengaitkan dengan kerangka teori.

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini yaitu di Yayasan Bina Anak Pertiwi yang berada di Jalan Bacang No. 46, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemilihan tempat ini didasarkan oleh dua pertimbangan. Pertama, Pasar Minggu merupakan kantung anak jalanan yang merupakan lokasi pengedaran narkoba terbesar setelah Tanah Abang. Kedua, lokasi Yayasan Bina Anak Pertiwi sangat strategis sehingga mudah dijangkau oleh anak jalanan. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat merangkul banyak anak jalanan. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ini yaitu mulai dari tanggal 01 April 2013 - 30 Mei 2013.

H. Sistematika Penulisan

Laporan hasil penelitian ini akan dituangkan dalam bentuk karya tulis skripsi dengan sistematika penulisan seperti dibawah ini :

(46)

pustaka, definisi konsep, kerangka teoritis, metedologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II : Gambaran umum Yayasan Bina Anak Pertiwi yang menjelaskan sejarah berdirinya, visi, misi, dan tujuan, profil anak jalanan. Bab III : Temuan hasil penelitian. Dalam bab ini berisi pola pembinaan

anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi, bentuk-bentuk pembinaan di Yayasan Bina Anak Pertiwi, dan kontribusi pembinaan terhadap perilaku anak jalanan.

(47)

BAB II

PROFIL YAYASAN BINA ANAK PERTIWI

Rumah Singgah Bina Anak Pertiwi, berada di Jalan Bacang No. 46, Kelurahan Jati Padang, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemilihan tempat ini didasarkan oleh dua pertimbangan; pertama, Pasar Minggu merupakan kantung anak jalanan yang merupakan lokasi pengedaran narkoba terbesar setelah Tanah Abang. Kedua, yaitu lokasi rumah singgah sangat strategis, sehingga mudah dijangkau oleh anak jalanan. Pemilihan lokasi ini diharapkan dapat merangkul banyak anak jalanan (Wawancara dengan Pengurus Yayasan Bina Anak Pertiwi, pada tanggal 20 Desember 2012).

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak RT setempat pada tanggal 20 Maret 2013, bahwa Kelurahan Jati Padang adalah salah satu bagian wilayah Kecamatan Pasar Minggu yang mempunyai luas 249,77 Ha. Kelurahan ini terbagi atas 10 Rukum Warga (RW) dan 10 Rukun Tetangga (RT) dengan batas wilayah sebagai berikut:

1. Utara : Jalan Pejaten Raya, berbatasan dengan Kelurahan Pejaten Barat.

2. Timur : Jalan Salihara dan Jalan Holtikultura, berbatasan dengan Kelurahan Pasar Minggu.

(48)

4. Barat : Jalan Margasatwa dan Jalan Buncit Raya, berbatasan dengan Kelurahan Ragunan.

Selanjutnya, dari hasil pengamatan penulis pada tanggal 20 Maret 2013 bahwa terdapat banyak tempat umum di Jati Padang dan daerah sekitarnya yang menjadi tempat perkumpulan anak jalanan, seperti: perempatan jalan dan pasar. Persimpangan jalan yang sering terdapat anak jalanan adalah pertigaan jalan, antara Jalan Raya Ragunan dan Jalan Warung Jati Barat. Perempatan jalan antara Jalan Warung Jati Barat, Jalan Pejaten Barat, dan Jalan Pejaten Raya yang biasa disebut “Repul”, merupakan tempat mengamen dan nongkrong anak jalanan. Tidak jauh dari Repul, terdapat sebuah jembatan di mana di kolong jembatan tersebut dimanfaatkan oleh banyak anak jalanan untuk tempat tinggal. Tempat umum lain di sekitar daerah Jati Padang yang menjadi kantung jalanan adalah Pasar Minggu. Banyak anak jalanan yang tinggal dan bekerja di pasar tersebut.

A. Sejarah Berdirinya

(49)

demonstrasi yang selalu mengusung jargon “reformasi’, yang dinilainya kurang lagi menyuarakan kepentingan lapisan masyarakat bawah.

Forum tersebut beranggotakan mahasiswa-mahasiswa lintas perguruan tinggi, yang terdiri dari mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK) Darul Qalam, dan Bina Sarana Informatika (BSI). Forum ini sepakat untuk menampilkan sebuah “reformasi gaya baru”, yang bersentuhan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat secara langsung. Karena itu, dirumuskanlah sebuah agenda aksi sosial dengan mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang sekiranya dapat dilakukan. Maka, kelompok masyarakat anak jalanan menjadi prioritas utama, mengingat kelompok masyarakat ini tergolong rawan sosial dan masalahnya kompleks sekali.

Aksi sosial yang dilakukan adalah berupa kepedulian terhadap nasib pendidikan, kesehatan, kesejahteraan anak jalanan/terlantar yang kemudian diwujudkan dalam bentuk pendidikan luar sekolah paket A setara SD, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kegiatan pembelajaran tersebut awalnya dilaksanakan di Masjid Pasar Kebayoran Lama, tepatnya bulan Juni 1997, dengan warga belajar umumnya anak jalanan dan anak pemulung berjumlah 73 anak. Saat itu, proses kegiatan pembelajaran bernaung di bawah sebuah Yayasan Sosial.

(50)

Sekelompok mahasiswa tersebut tidak patah arang dan ingin tetap berbagi dengan sesama. Tepatnya awal bulan Juni 1998, pasca reformasi bergulir, dengan tekad yang bulat dan dibarengi oleh kejenuhan berdemonstrasi, mereka kembali turun gelanggang melakukan aksi sosial di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang kemudian berubah nama menjadi “Pusat Pembinaan dan Pemberdayaan Anak Jalanan (P3A)”. Nama ini lebih spesifik dan mencerminkan sebuah wadah pembinaan terhadap anak jalanan.

Awalnya, kegiatan ini hanyalah kegiatan kemahasiswaan biasa. Namun dalam perjalanananya, kegiatan tersebut mendapatkan dukungan luas dari berbagai kalangan, baik pemerintah maupun masyarakat. Dari pihak pemerintah, dukungan datang secara langsung dari Dirjen Dikluspora Depdiknas RI, waktu itu, Bapak Prof. Dr. Sudijarto. Bahkan Dharma Wanita Dikluspora dan Depdiknas RI adalah salah satu donatur kegiatan tersebut. Kemudian kegiatan pembelajaran tersebut diresmikan langsung oleh Ibu Soerono (Kasi Dikmenti DKI Jakarta) pada bulan Juni 1998, bertempat di Masjid Al-Aww abin, Polsek Pasar Minggu. Dari kelompok masyarakat, kegiatan tersebut mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok pengajian serta perorangan, bahkan ada dari kalangan pengusaha. Seperti Pengajian Jenggala Cipete Selatan, Yayasan RAHMA (yang menyediakan nasi murah/cepek), Pengajian Keluarga Sakinah, dan lain-lain.

(51)

untuk mendukung kelangsungan serta keberhasilan proses belajar mengajar tersebut.

Maka, muncullah beberapa nama tokoh nasional seperti Hj. Anniswati M. Kamaluddin (Ketua Presidium Majlis Nasional KAHMI), DR. Hj. Marwah Daud Ibrahim (anggota DPR RI), Prof. DR. Ir. H. Fachrudin (Mantan Rektor Universitas Hasanuddin Ujung Pandang yang juga anggota DPR RI), H. Houtman Z. Arifin (seorang Bankir dan Mantan Vice President Citibank), Hj. Yufimar Ali, SH (keluarga pengusaha dan anggota Dewan Pakar ICMI KORWIL DKI Jakarta). Di samping mereka terlibat sebagai anggota badan pendiri, sekaligus juga sebagai dewan pembina lembaga, yang kemudian dibakukan dengan akte notaris No. 2, tanggal 3 November 1998 dengan nama Yayasan Bina Anak Pertiwi, Pusat

Pembinaan dan Rumah Belajar Anak Jalanan/Terlantar.

Yayasan Bina Anak Pertiwi, sebagai Pusat Pembinaan dan Rumah Belajar Anak Jalanan/Terlantar, dalam menjalankan aktivitasnya selalu bersama-sama masyarakat. Adanya pengakuan masyarakat serta rasa memiliki yang sangat tinggi terhadap lembaga, merupakan modal utama keberhasilan dan kelangsungan program. Menciptakan rasa saling ketergantungan antara masyarakat dengan lembaga, demikian juga sebaliknya adalah merupakan suatu hal yang niscaya.

(52)

lembaga merupakan cerminan dari suatu kebutuhan murni serta harapan segmen-segmen masyarakat tertentu yang akan diberdayakannya.

Untuk itulah, Yayasan Bina Anak Pertiwi, dengan motto, ”bersama untuk

bangsa”, telah melaksanakan berbagai program riil di masyarakat, seperti, Bimbingan Agama dan Etika Bermasyarakat, Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan Kerja, Pengembangan Seni Budaya (Minat dan Bakat), Pelayanan Kesehatan dan Kesejahteraan, Pengembangan Usaha Mandiri, serta Penempatan Kerja.

B.Visi, Misi, dan Tujuan

Adapun Visi, misi, dan tujuan Yayasan Bina Anak Pertiwi adalah sebagai berikut (Company profile Yayasan Bina Anak Pertiwi, dibuat pada tanggal 08 September 2007) :

Visi Yayasan Bina Anak Pertiwi adalah meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan sosial masyarakat fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan/terlantar serta anak kurang mampu menjadi anak bangsa yang konstruktif dan bermartabat sejalan dengan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan masa depan bangsa yang lebih berkualitas.

(53)

memberdayakan fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan /terlantar, dan anak kurang mampu.

Tujuan yang ingin dicapai dari rumah singgah adalah: (1) mengembangkan sikap mental positif, (2) membangun akhlak al-karimah, (3) menggali serta memberdayakan potensi yang dimiliki warga belajar dan (4) Memberikan gambaran akan kepastian masa depan dengan berbekal berbagai keterampilan kerja dan pengembangan usaha mandiri, serta penempatan kerja.

(54)

C. Struktur Organisasi

Struktur organisasi Yayasan Bina Anak Pertiwi terdiri dari seorang pimpinan yaitu Abdus Saleh dibawah binaan Ahmad Zayadi. Terdapat seorang tenaga administrasi (Ali Muhtar), dua pendamping anak jalanan (Ali Santso dan Ari M Riski), dua staff (Siti Wahdah Zaini dan Suliyati Sanaf) dan dua Sakti Peksos (Siti Maryam, Novita Dewi, Agus) (Company profile Yayasan Bina Anak Pertiwi, dibuat pada tanggal 08 September 2007).

Hubungan antara pimpinan dan beberapa pengelola yayasan dengan anak binaan sangat dekat bahkan seluruh anak binaan menganggap ia sebagai keluarganya sendiri. Menurut anak binaan, pimpinan dianggap sebagai orangtua dan kakaknya. Perhatian yang diberikannya kepada anak binaan membuat anak binaan merasa dianggap sebagai anggota dari sebuah keluarga. Namun terdapat pula beberapa pengelola yang memiliki hubungan yang tidak begitu dekat dengan anak binaan, karena dalam melakukan pembinaan kepada anak binaan terdapat jarak di antara mereka.

(55)
(56)

BAB III

TEMUAN DAN ANALISIS PENELITIAN

Bab ini membahas tentang hasil atau temuan-temuan penelitian di lapangan. Pembahasan meliputi pola pembinaan anak jalanan, bentuk-bentuk pembinaan anak jalanan, dan kontribusi pembinaan terhadap perilaku anak jalanan.

A. Pola Pembinaan Anak Jalanan

Pada dasarnya anak merupakan Karunia Ilahi dan amanah yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak juga merupakan potensi sumber daya insani bagi pembangunan nasional, karena itu pembinaan dan pemberdayaannya harus dimulai sedini mungkin agar dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Begitupun dengan anak jalanan, mereka adalah generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan pula. Selama ini, anak jalanan hanya dipandang sebelah mata karena kekurangannya, dan bahkan mereka mendapat pencitraan negatif dari sebagian besar masyarakat.

(57)

harmonisan rumah tangga orang tua, dan masalah khusus menyangkut hubungan anak dengan orang tua (Suyanto, 2010: 196). Tetapi bagaimanapun itu, anak jalanan telah menjadi fenomena yang menuntut perhatian kita semua. Mereka memerlukan perhatian khusus untuk diberikan pengarahan, pelatihan, dan pembinaan terhadap perilaku mereka selama ini yang diidentik sebagai pembuat kerusuhan, suka mencuri, dan amoral.

Pada awalnya, kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi adalah dengan menfasilitasi anak-anak untuk tetap belajar, meskipun mereka masih ada yang mengamen, jual kantong plastik, jual koran, dan semir sepatu. Sebagai lembaga sosial yang berbasis Islam, pembinaan di Yayasan Bina Anak Pertiwi ini tentu saja berbasis agama Islam. Program-program yang dilakasanakan, seperti sholat berjemaah, dan pembinaan keagamaan mendasar bagi anak-anak. Misalnya cara berwudhu’, cara sholat, mengaji, dan segala macamnya. Tujuannya adalah agar anak-anak itu mengerti budi pekerti yang baik, bersikap baik di masyarakat, bisa menghormati orang tua, dan supaya anak ini tetap berpegang teguh kepada prinsip keagamaan mereka. (Wawancara dengan Abdus Saleh, pada tanggal 28 April 2013).

(58)

Kebutuhan pendidikan merupakan suatu berkah dari Maha Pencipta terhadap ciptaan-nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan bukanlah merupakan ikatan terhadap manusia itu justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas dan berakal budi. Sebagai makhluk alamiah yang dilahirkan di dalam lingkungan alamiahnya manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri posisinya di dalam dalam lingkungan alamiahnya itu. Di sinilah terletak kebebasan dan keterikatan manusia dalam proses pengembangan kemanusiaannya. Realisasinya kemanusiaan makhluk manusia merupakan suatu proses pembebasan. Itulah makna pendidikan bagi manusia (Tilar, 2005: 110).

Selanjutnya, suatu kegiatan pendidikan tidak akan berlangsung secara efektif ketika sebuah lembaga tidak memiki seorang guru sebagai tenaga pengajar. Di Lembaga Yayasan Bina Anak Pertiwi ini terdapat beberapa seorang pendamping, yang tugasnya mendampingi dan juga sebagai guru pengajar anak jalanan pada lembaga itu.

(59)

maksimal, bagaimana mengajar, harapan, reaksi guru terhadap siswa, dan management (Rosyada, 2004: 113-114).

Dari hasil wawancara penulis di lapangan terlihat, bahwa kesediaan mereka sebagai pendamping/guru di lembaga itu berdasarkan atas kemauannya sendiri. Artinya, tidak ada proses pengangkatan secara khusus yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Selain itu, mereka mau menjadi pendamping/guru karena merasa telah dibesarkan oleh lembaga. Mereka pada umumnya juga merupakan mantan anak jalanan yang diasuh, dan disekolahkan oleh lembaga. Dari situ mereka merasa terpanggil untuk membantu lembaga tersebut dalam mendampingi anak jalanan. Sebagai pendamping/guru mereka memiliki tugas yang berbeda-beda. Sebagimana yang diungkapkan oleh Ari M Rifki, salah satu pendamping/guru di bawah ini :

Saya sebagai pendamping ya tugasnya mungkin sebagai guru, mendidik anak-anak dengan mengajarkan sopan santun, mungkin ya moralnya di sini, etikanya, terus menangani proses hukum, mendampingi, memberikan pelatihan keterampilan, ngajak jalan-jalan ke luar mungkin atau rekreasi anak-anak. Ya kita sebagai pendamping harus ikut berperan aktif lah mendampingi anak-anak (Wawancara dengan Ari M Rifki, pada tanggal 16 April 2013).

Hal senada juga diungkapkan oleh Ali Santoso, pendamping/guru yang lain, sebagai berikut :

(60)

Sebagai pendamping/guru tugasnya adalah mendidik dan membimbing para anak jalanan. Pendidikan yang mereka berikan, seperti mengajarkan sopan santun, moral, etika, dan keterampilan. Selain itu, tugas sebagai pendamping/guru juga untuk menangani permasalahan hukum yang terjadi pada mereka. Karena tidak sedikit dari mereka yang sering berhubungan dengan proses hukum. Tetapi dari para pendamping tersebut, sudah memiliki tugas masing-masing dalam menganani hal itu.

Adapun, pola pembinaan yang diberikan oleh Lembaga Yayasan Bina Anak Pertiwi terhadap anak jalanan yaitu: pertama, melalui pendekatan kekeluargaan. Artinya seorang pengurus/pendamping harus bersikap bahwa anak-anak ini tidak ada bedanya dengan anak-anak-anak-anak sendiri, tidak bedanya dengan adik-adik sendiri, dan tidak bedanya dengan saudara sendiri. Pembina, pengurus, serta guru yang ada di lembaga bersifat multifungsi. Artinya, pembina harus bisa menjadi orang tua, menjadi kakak, menjadi teman dekat yang bisa anak-anak itu secara terbuka untuk curhat, mengadu, berkeluh kesah, atau bahkan bermanja-manja. Karena pengurus itu sendiri merupakan bagian terdekat atau keluarga baru anak-anak jalanan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bapak Abadus Saleh, sebagai Pimpinan Yayasan Bina Anak Pertiwi :

(61)

kita sebagai Pembina harus bisa menjadi teman dekat yang bisa anak-anak ini secara terbuka untuk curhat, mengadu, berkeluh kesah atau bahkan bermanja-manja terhadap kita karena kita bagian terdekat atau keluarga mereka. Dari situlah proses pembinaan keagamaan bisa dicapai dengan baik (Wawancara dengan bapak Abdus Saleh, pada tanggal 28 April 2013).

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis selama di Yayasan Bina Anak Pertiwi, memang terlihat bahwa hubungan diantara mereka sudah seperti keluarga sendiri. Seperti ketika mereka masak bersama, makan barsama, tidur bersama, ngobrol bareng, dan bercanda tawa.

Dari sini terlihat bahwa lembaga ini telah menjadi keluarga baru bagi anak jalanan. Sehingga anak-anak merasa bahwa lembaga adalah rumah sendiri, dan tinggal bersama saudara sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat ST. Vembriarto, bahwa selain fungsi biologik, keluarga juga memiliki fungsi lain. Pertama, fungsi afeksi, terjadinya hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan, cinta kasih, yang pada akhirnya menumbuhkan hubungan persaudaraan, persahabatan, kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan tentang nilai-nilai. Kedua, fungsi sosialisasi, yang merujuk pada peran pembentukan kepribadian anak. Di sinilah, anak mempelajari pola-pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai dalam masyarakat (Yusuf, 2008: 45-46).

(62)

menangkal pengaruh-pengaruh negatif dan membekali anak jalanan dengan nilai-nilai atau wawasan positif.

Ketiga, melalui pembinaan kelompok. Pembinaan kelompok dilaksanakan dengan cara mengumpulkan anak jalanan serta pendampingan pekerja sosial untuk mengkaji permasalahan yang sama. Pembinaan dilaksanakan dalam bentuk permainan yang di dalamnya terdapat konsep pengubahan sikap dan perilaku anak.

Adapun proses pembinaan dilakukan secara formal dan non-formal. Secara formal dilakukan dengan program pendidikan kejar paket. Seperti, dengan memberikan mereka pendidikan paket A, B, dan C. Sedangkan yang non-formal dilakukan di sela-sela waktu pembelajaran, dengan memberikan mereka pengetahuan tentang moral. Misalnya, pada waktu-waktu tertentu dengan cara berkumpul bersama dan sharing tentang permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.

Dalam proses pengajaran di lembaga itu tidak dilakukan setiap hari karena melihat juga aktifitas yang dilakukan anak jalanan masih banyak yang ngamen, ngernet angkot, nyetir metro mini, dan lain-lain. Biasanya pembelajaran itu dilakukan disela-sela waktu mereka kosong atau ketika mereka lagi berada di Yayasan. Dan dalam seminggu kegiatan belajar anak jalanan ini biasanya hanya berlangsung 2 sampai 3 kali. Hal ini seperti yang disampaikan Ari M Rifki sebagai pendamping/guru di sana :

(63)

salah satunya tentang pendidikan moral lah. Tapi itu sifatnya gak formal ya. Karena mereka belajarnya di sini di yayasan (Wawancara dengan Ari M Rifki, pada tanggal16 April 2013).

Hal senada juga disampaikan oleh Ali Santoso yang juga sebagai pemdamping/guru di sana :

Klo seminggu tergantung, kadang saya mengajar dua atau tiga hari, disini kan tidak hanya ada satu atau dua pelajaran, juga timnya tidak hanya dua atau tiga orang, disini mungkin ada enam orang. Ya saya hanya mengajar dua atau tiga hari saja (Wawancara dengan Ali Santoso, pada tanggal 17 April 2013).

Secara umum, dalam kegiatan pembelajaran di sekolah biasanya menggunakan panduan khusus sebagai acuan dalam memberikan materi pelajaran. Akan tetapi, di Yayasan Bina Anak Pertiwi ini tidak ada panduan khusus yang dipakai dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Hanya saja para pendamping/guru memberikan pembinaan cukup dengan pengalaman yang didapat dari luar. Jadi, kalau secara khusus mereka tidak menggunakan panduan dalam memberikan pembinaan terhadap anak jalanan.

(64)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ari M Rifki, bisa disimpulkan bahwa metode-metode yang dipakai dalam membina anak jalanan adalah sebagai berikut :

1. Metode pendekatan-pendekatan. Metode pendekatan di sini dilakukan dengan cara sharing atau musyawarah dengan mengikuti semua kemauan anak dulu. Seperti yang awalnya mereka seorang pecandu, maka akan dijauhkan dengan dikasih rokok sebagai penggantinya. Proses seperti itu sangat membutuhkan waktu yang lama untuk mengembalikan mereka menjadi orang yang normal atau seperti orang yang semestinya.

2. Metode memecahkan masalah (Problem solving method) yaitu supaya mereka bisa memahami persoalan-persoalan di luar. Melalui metode ini mereka dilatih untuk menyadari bahwa ada persoalan, lalu mengidentifikasi dan memahami persoalan tersebut, menganalisanya dengan tujuan untuk menggali akar penyebabnya, membuat hipotesis atau jalan keluar yang ditawarkan dan mengujinya ketingkat praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasinya sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi atau tidak. Melalui metode pemecahan masalah, mereka dipicu kreasi dan imajenasinya untuk menemukan jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya.

Gambar

Tabel 1.  Golongan Pekerjaan Anak Jalanan Menurut
Tabel 2.
Gambar 1 : Gedung Lembaga Sosial Yayasan Bina Anak Pertiwi
Gambar 3 : Suasana kebersamaan para anak jalanan di Yayasan Bina Anak Pertiwi
+2

Referensi

Dokumen terkait

Data yang dibutuhkan menguji hipotesis 2 untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi penawaran keranjang anyaman bambu di Kelurahan Jati Utomo adalah harga beli

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) kebijakan dividen (DPR) berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan

Jika wasit melihat ada perbedaan antara gerakan yang dilakukan pesenam dengan gambar atau keterangannya, maka wasit harus memotong sesuai dengan ketentuan yang

Stres kerja adalah suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit,. tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau

[r]

Luas CA Situ Patengan yang hanya 21,18 ha dan letaknya yang berbatasan dengan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi Perum Perhutani, dapat menjadi ancaman bagi

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS, dapat dijadikan dasar untuk menjawab hipotesis yang diajukan

Dari hal diatas penulis mencoba memanfatkannya dengan menyajikan suatu aplikasi sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran sewa kost. Aplikasi ini akan