FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 28 September 2016
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP SIKAP ILMIAH SISWA PADA MATERI LARUTAN ELEKTROLIT DAN
NONELEKTROLIT
Ipa Ida Rosita1, Evi Sapinatul Bahriah2
Program Studi Pendidikan Kimia, FITKUIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email koresponden: 1ipidros16@gmail.com, 2evi@uinjkt.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis masalah terhadap sikap ilmiah siswa pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu dengan desain randomized postest-only. Sampel penelitian ini adalah kelas X.1 (Kelas Ekserimen) dan X.2 (Kelas Kontrol) SMA Darussalam Ciputat Semester 2 tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah angket yang disusun berdasarkan skala Likert. Data sikap ilmiah peserta didik yang diperoleh dihitung persentasenya dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas eksperimen sebesar 83,85% termasuk kategori sangat tinggi, sedangkan di kelas kontrol hanya diperoleh sebesar 56,85% dan termasuk kategori cukup. Hal ini menyimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada materi elektrolit dan nonelektrolit berpengaruh terhadap peningkatan sikap ilmiah siswa.
Kata Kunci: model pembelajaran berbasis masalah; sikap ilmiah siswa
Abstract
This study aimed to determine the effect of problem-based learning model to the scientific attitude of students on the concept electrolyte and non-electrolytes solution. The method used in this study is a quasi-experimental method with randomized posttest-only design. The sample was X.1 class (experiment class) and X.2 (control class) at SMA Darussalam Ciputatin the second semester of the academic year 2015/2016. This research was conducted in May 2015. The instrument used in this study was a questionnaire compiled by Likert scale. Data scientific attitude of learners who obtained percentages are calculated and analyzed descriptively. The results showed that the average percentage of achievement of the scientific attitude of students in the experiment class amounted to 83.85% are very high, whereas in the control class is only obtained for 56.85% and includes category enough. It is concluded that the problem-based learning on the concept electrolytes and non-electrolytes affect the increased scientific attitude of students.
Keywords: problem based learning model; scientific attitude students
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu bentuk
perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan berkembang. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan merupakan hal yang seharusnya sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan. Pendidikan yang
mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan
memecahkan problema kehidupan yang
dihadapinya (Trianto, 2010).
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional
menyebutkan, bahwa pendidikan nasional
membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Sisdiknas, 2003).
Hal ini sejalan dengan Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Pembelajaran yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan
dasar dan menengah haruslah interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Depdiknas, 2006). Tujuan-tujuan tersebut dapat diartikan bahwa
proses pembelajaran dalam pendidikan
diantaranya menekankan pada dua aspek, yakni aspek penguasaan keilmuan dan pengetahuan serta aspek sikap dari peserta didik. Slameto (1991) mengatakan bahwa proses belajar mengajar merupakan suatu bentuk komunikasi, yaitu komunikasi antara guru dan siswa.
Didalam komunikasi tersebut terdapat
pembentukan dan pengalihan pengetahuan, keterampilan ataupun sikap dan nilai dari guru kepada peserta didik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, dalam proses belajar mengajar di kelas,guru sebagai fasilitator dan mediator dalam pendidikan perlu menerapkan suatu strategi belajar yang dapat membantu peserta didik untuk memahami materi ajar dan aplikasi serta relevansinya dalam kehidupan sehari-hari. Dimana peserta didik berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri. Sehingga memberikan suatu pengalaman yang
dapat memberikan makna tersendiri bagi peserta didik, seperti pada materi pelajaran sains.
Sains merupakan rangkaian konsep dan skema konseptual yang saling berhubungan dan dikembangkan dari hasil eksperimental atau observasi yang sesuai untuk eksperimental atau observasi berikutnya. Implementasi hakikat sains ini diwujudkan dalam pembelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) yang disusun melalui suatu kurikulum. Proses pembelajaran IPA
menekankan pada pemberian pengalaman
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah (Alit, 1999; Jennins& Whitefield, 1974; Conant, 1975; Zulfiani, 2009). Depdiknas (2006) menyatakan terdapat tiga kemampuan dalam IPA yaitu kemampuan untuk mengetahui
apa yang diamati, kemampuan untuk
memprediksi apa yang belum terjadi, dan kemampuan untuk menguji tindak lanjut hasil
eksperimen, serta dikembangkannya sikap
ilmiah. Selama ini ada kecenderungan guru memandang pembelajaran IPA hanya sebagai kumpulan produk saja dan melupakan aspek lainnya, salah satunya aspek sikap ilmiah. Padahal, dalam proses belajar mengajar IPA, pengembangan konsep tidak bisa dipisahkan dari pengembangan sikap ilmiah. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya pembelajaran IPA dibangun atas dasar produk ilmiah, proses imiah dan sikap ilmiah (Trianto, 2009). Sehingga pembentukan sikap ilmiah merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran IPA.
Sikap ilmiah adalah cara berfikir logis dan jernih tanpa adanya gangguan, artinya bahwa sikap ilmiah ini tidak menerima apapun kenyataan yang tidak memiliki bukti yang relevan (Candrasekaran, 2014). Sikap ilmiah juga diartikan sebagai suatu kecenderungan,
kesiapan, kesediaan, seseorang untuk
memberikan respon/tindakan/tingkah laku secara ilmu pengetahuan dan memenuhi syarat (hukum)
kebenarannya. Sikap ilmiah merupakan
pendekatan tertentu untuk memecahkan
masalah, menilai ide atau informasi untuk membuat keputusan (Damanik dkk., 2013 dalam Bahriah, 2016).Menurut Harlen (2000), sikap
ilmiah memiliki lima dimensi sikap,
yaitu:curiosity (sikap ingin tahu), respect for
evidence (respek terhadap data atau akta),
flexibility in ways of thinking (fleksibel dalam
berpikir), criticalreflection (berpikir kritis),
dansensitivity in investigating the environment
(sikap peka terhadap lingkungan sekitar).
Dalam IPA, sikap ilmiah penting karena tiga faktor utama, yaitu: (1) Sikap peserta didik membawa kondisi mental kesiapan terhadap matapelajaran IPA. Dengan sikap positif, anak akan melihat objek ilmu, topik, kegiatan, dan orang-orang secara positif. Seorang anak yang belum siap atau ragu-ragu, karena alasan apapun, akan kurang bersedia untuk berinteraksi dengan orang-orang dan hal-hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan. (2) Sikap bukanlah perilaku bawaan atau keturunan. Sikap seorang peserta didik dapat diubah melalui pengalaman. Guru dan orang tua memiliki pengaruh besar pada sikap peserta didik terhadap IPA. (3) Ketiga, sikap bersifat dinamis berdasarkan hasil pengalaman yang bertindak sebagai faktor pengarah ketika seorang peserta didik memasuki pengalaman baru. Keputusan dan evaluasi peserta didik dapat menyebabkan pergeseran prioritas dan kesukaan. Dalam pembelajaran IPA, sikap dan nilai-nilai peserta didik yang negatif terhadap IPA seharusnya dapat digeser, dari negatif ke netral atau bahkan ke sudut pandang positif. Seiring dengan waktu, dan
dengan pengalaman positif lanjutan dan
penyesuaian dalam sikap, peserta didik mungkin
menjadi lebih terbuka terhadap ilmu
pengetahuan, berpikir secara berbeda, dan mengumpulkan ide-ide yang lebih bermanfaat (Widodo, dkk., 2014 dalam Bahriah, 2016). Berdasarkan hal tersebut, maka peserta didik
mampu menunjukkan sikap ilmiahnya. Oleh karena itu, sikap ilmiah ini perlu diterapkan dalam proses pembelajaran sains terutama pada mata pelajaran kimia.
Namun pada kenyataanya, guru belum
menerapkan sikap ilmiah dalam proses
pembelajaran, sehingga menyebabkan sikap ilmiah peserta didik rendah. Pada penelitian yang dilakukan oleh Triyas, dkk., (2014) menyatakan bahwa rendahnya sikap ilmiah
peserta didik disebabkan oleh kurang
menariknya penyampaian guru sehingga peserta didik kurang termotivasi untuk belajar, sehingga menyebabkan peserta didik kurang terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi hasil belajar
dikarenakan peserta didik kurang bisa
memantapkan atau mempertahankan ilmu yang telah diajarkan serta malas berpartisipasi selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan suatu strategi pembelajaran yang menarik, aktif,
kreatif, dan inovatif. Beberapa model
pembelajaran yang dapat mendukung hal
tersebut, salah satunya adalah model
pembelajaran berbasis masalah (Problem Based
Learning, PBL)dimana masalah dapat diperoleh dari lapangan atau pengalaman dari siswa.
Menurut Arends (2012), pembelajaran
berdasarkan masalah merupakan suatu
pendekatan pembelajaran dimana peserta didik
mengerjakan permasalahan yang autentik
dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan
keterampilan berpikir tingkat tinggi,
mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Strategi pembelajaran berbasis masalah
tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran dan yang menemukan sendiri
suatu konsep dari suatu pembelajaran
berdasarkan pemecahan masalah yang
dihadapinya, sehingga peserta didik akan lebih aktif dan kreatif.
Model pembelajaran berbasis masalah pada umumnya berbentuk suatu projek untuk diselesaikan oleh sekelompok peserta didik
dengan kerjasama. Pada umumnya guru
menerapkan model ini lebih menjurus pada pemecahan suatu masalah kehidupan nyata yang dihadapi peserta didik sehari-hari dengan
menggunakan keterampilan problem solving
(Riyanto, 2009). Berdasarkan hal tersebut materi kimia yang cocok untuk digunakan adalah larutan elektrolit dan non elektrolit, karena jika dilihat dari kompetensi dasarnya, yaitu kompetensi dasar (3.5) Memahami sifat-sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit dan
kompetensi dasar (4.6) Merancang dan
melakukan percobaan untuk mengetahui sifat larutan non-elektrolit dan elektrolit (Silabus kurikulum 2013). Oleh karena itu, peserta didik dituntut untuk lebih aktif dan kreatif dalam memecahkan suatu permasalahan dan lebih kreatif dalam mengetahui sifat-sifat dari larutan elektrolit maupun non elektrolit.
Melalui model pembelajaran berbasis masalah sikap ilmiah peserta didik dapat terlihat dan dapat meningkat, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2014)
mengatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah dapat mempengaruhi hasil belajar dan sikap ilmiah peserta didik. Selain itu, Kristiani, dkk., (2015) mengatakan bahwa kontribusi keterampilan metakognitif dan sikap ilmiah secara simultan terhadap prestasi akademik
dalam pelaksanaan strategi pembelajaran
terintegrasi dengan penyelidikan belajar sangat tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, model
pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan sebagai strategi pembelajaran yang cocok untuk diterapkan dalam proses pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan sikap ilmiah. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut tentang “Pengaruh Model
Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap Ilmiah Siswa pada Materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit”.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode eksperimen semu (quasi
experimental) (Sukmadinata, 2010), yaitu metode penelitian yang tidak memungkinkan peneliti melakukan pengontrolan secara penuh terhadap kondisi kelas dan lingkungan belajar kelas eksperimen. Terdapat beberapa bentuk desain eksperimen yang dapat digunakan, salah satunya yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah Randomized Postest-Only. Dalam
desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol memiliki karakteristik yang homogen, karena diambil atau dibentuk secara acak (random) dari populasi yang homogen pula (Ruseffendi, 1998). Artinya tidak ada kelas unggulan serta kurikulum yang diberikan juga sama. Rancangan desain dapat dilihat pada tabel 1. berikut.
Tabel 1. Rancangan Desain Penelitian Kelompok Pengambilan Perlakuan Post
test
Eksperimen R X1 O
Kontrol R X2 O
Ket:
X1 = Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah
X2 = Pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran konvensional
R = Pemilihan sampel secara random
O = Post test pada kelompok eksperimen dan kontrol.
sedangkan sampel yang digunakan adalah kelas X.1 dan X.2 Semester 2 tahun pelajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik proposive
sampling yang merupkan teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012). Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015.
Instrumen yang digunakan pada penelitian
ini adalah angket. Angket berisikan pernyataan –
pernyataan yang menunjukkan sikap ilmiah peserta didik menurut Herlen (2000) yaitu sikap ingin tahu, berfikir kritis, respek terhadap data, peka terhadap lingkungan, dan fleksibel dalam
berfikir. Bentuk angket yang dibuat
menggunakan skala likert.
[image:5.595.314.556.418.522.2]Data sikap ilmiah peserta didik yang diperoleh dihitung persentasenya dan dianalisis secara deskriptif. Persentase sikap ilmiah peserta didik dianalisis dan dikategorikan dengan mengacu kepada kategori yang dikemukakan oleh Riduwan (2012) berikut ini.
Tabel 2. Interval Skor
Interval Skor (%) Kategori
81 – 100 Sangat Baik
61 – 80 Baik
41 – 60 Cukup
21 – 40 Kurang
0 – 20 Sangat Kurang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penelitian ini bertujuan untuk melihat
pengaruh pembelajaran berbasis masalah
terhadap sikap ilmiah siswa pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Berdasarkan data angket diperolehlah data sikap ilmiah siswa. Berikut tabel 3. tentang data sikap ilmiah siswa di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Tabel 3. Persentase Rata-rata Ketercapaian Sikap Ilmiah Siswa di Kelas Eksperimen dan Kontrol
Kelas Persentase Kategori
Ketercapaian (%)
Eksperimen 83,85 Sangat Baik
Kontrol 56,85 Cukup
Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas eksperimen sebesar 83,85% termasuk kategori sangat tinggi, sedangkan di kelas kontrol hanya diperoleh sebesar 56,85 dan termasuk kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah pada materi elektrolit dan nonelektrolit dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa.
Disamping dilakukan analisis data sikap ilmiah secara keseluruhan, juga dilakukan analisis data sikap ilmiah berdasarkan indikator. Hal ini dilakukan untuk mengetahui indikator mana yang ketercapaiannya tertinggi dan terendah baik pada kelas eksperimen maupun pada kelas kontrol. Data persentase sikap ilmiah siswa untuk tiap indikator di kelas ekperimen dapat dilihat pada gambar 1 berikut.
Gambar 1. Data Persentase Sikap Ilmiah Siswa Untuk Tiap Indikator Pada Kelas Ekperimen
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas eksperimen pada indikator sikap keingintahuan siswa diperoleh sebesar 78,46% (kategori baik), indikator respek terhadap fakta sebesar85% (kategori sangat
baik), indikator fleksibel dalam
berfikirsebesar85,62% (kategori sangat baik), indikator merepleksi secara kritis sebesar89,72% (kategori sangat baik), danpada indikator peka
terhadap lingkungansebesar80,4% (kategori
bahwa persentase ketercapaian sikap ilmiah tertinggi diperoleh pada indikator merefleksikan secara kritis, sedangkan persentase ketercapaian sikap ilmiah terendah diperoleh pada indikator sikap keingintahuan.
Adapun data persentase sikap ilmiah siswa untuk tiap indikator di kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Gambar 2. Data Persentase Sikap Ilmiah Siswa Untuk Tiap Indikator Pada Kelas Kontrol
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa persentase rata-rata ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas kontrol pada indikator sikap keingintahuan sebesar 61,15% (kategori baik),indikator respek terhadap fakta sebesar 60% (kategori cukup), indikator fleksibel dalam berfikir sebesar 59,17% (kategori cukup), indikator merefleksi secara kritis sebesar 73,75% (kategori baik),dan pada indikator peka terhadap lingkungan sebesar 30,2% (kategori kurang). Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa persentase ketercapaian sikap ilmiah tertinggi diperoleh pada indikator merefleksikan secara kritis, sedangkan persentase ketercapaian sikap ilmiah terendah diperoleh pada indikator peka terhadap lingkungan.
Pembahasan
Dari data hasil penelitian, peningkatan sikap ilmiah siswa pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan sikap ilmiah siswa pada kelas kontrol. Hal ini menunjukkan model pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan pada kelas eksperimen berpengaruh signifikan
terhadap sikap ilmiah siswa. Hal ini dikarenakan model pembelajaran berbasis masalah memiliki keunggulan yaitu pada perencanaan masalah dan cara penyelesaiannya.
Hal ini sesuai dengan Akinoglu & Tandogan (2007, dalam Bahriah, 2014) yang
menyatakan bahwa pembelajaran berbasis
masalah berpusat kepada siswa, dapat
mengembangkan pengendalian diri peserta
didik, mengajarkan pembuatan rencana,
menghadapi kenyataan, dan mengekspresikan emosi, serta mengembangkan kemampuan peserta didik untuk melihat sesuatu secara multidimensi dan pemahaman yang lebih dalam, mengembangkan keterampilan peserta didik dalam memecahkan masalah; mendorong peserta didik untuk mempelajari materi dan konsep baru ketika memecahkan masalah; mengembangkan sikap sosial dan keahlian berkomunikasi peserta dalam belajar dan bekerja dalam kelompok; mengembangkan berpikir tingkat tinggi/berpikir kritis, dan keterampilan berpikir ilmiah.
Pemilihan masalah yang disajikan
disesuaikan dengan materi yang cocok untuk dikaji oleh siswa. Materi yang dikaji dalam penelitian ini adalah larutan elektrolit dan non elektrolit. Pada penyampaian materi larutan elektrolit dan non elektrolit, pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih efektif dibandingkan penyampaian pelajaran dengan metode ceramah maupun tanya jawab. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan & Moedjiono (2009), yang menyatakan bahwa metode ceramah dan tanya jawab kurang tepat untuk pembelajaran yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada dalam
kehidupan sekitar siswa, karena
penyampaiannya yang mengutamakan
Adapun pembahasan penelitian ini disusun
berdasarkan tahapan model pembelajaran
berbasis masalah berikut ini.
1. Tahap Mengorientasi Siswa pada Masalah
Pada tahap mengorientasi siswa pada masalah, guru memberi masalah yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari berupa lembar kerja siswa (LKS) dan siswa mengidentifikasi permasalahan yang diberikan guru. Hal ini dilakukan untuk melatih siswa untuk berpikir lebih kritis dan memiliki sikap keingintahuan yang tinggi. Pada tahap ini pada kelas eksperimen memiliki sikap keingintahuan yang tinggi sebesar 78,46% (kategori baik) sedangkan pada kelas kontrol sikap keingintahuan yang muncul sebesar 61,15% (kategori baik). Jika
dibandingkan dengan kelas eksperimen,
persentase sikap ilmiah pada kelas kontrol lebih kecil.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen yang diberikan perlakuan dengan model pembelajaran berbasis masalah, sikap keingintahuan siswa terlihat lebih baik dibandingkan dengan kelas kontrol yang
diberikan perlakuan dengan metode
konvensional (ceramah). Sejalan dengan
pendapat Jamaludin (2013) yang menyatakan
bahwa dengan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa, khususnya sikap bertanggung jawab, kerjasama dan mampu menumbuhkan rasa ingin tahu siswa.
2. Tahap Mengorganisasi Siswa dalam Belajar
Pada tahap mengorganisasi siswa dalam
belajar, siswa dikelompokkan secara heterogen
dengan jumlah anggota 5-6 siswa. Siswa memulai mencari permasalahan yang terdapat pada lembar kerja siswa (LKS) dari berbagai sumber seperti buku, internet, dan guru. Pada tahap ini dilakukan dengan memancing sikap
keingintahuan siswa, yaitu guru dan siswa melakukan tanya jawab mengenai permasalahan yang disajikan sehingga terjadi interaksi yang baik dalam pembelajaran. Melalui tanya jawab ini, guru dapat menggali pengetahuan yang
dimiliki siswa mengenai masalah yang
diberikan. Dari sini siswa merasa lebih mendapat perhatian dan lebih aktif karena diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya. Dengan perlakuan seperti itu maka sikap ilmiah yang muncul adalah sikap keingintahuan siswa terhadap masalah yang diberikan guru pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Sama halnya seperti pada tahap orientasi siswa pada masalah, dimana pada kelas eksperimen memiliki sikap keingintahuan yang
tinggi sebesar 78,46% (kategori baik).
Sedangkan pada kelas kontrol sikap
keingintahuan sebesar 61,15% (kategori baik).
Menurut Arnas (2012, dalam Sanjaya 2008), model pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa karena model pembelajaran berbasis masalah ini memberikan kesempatan pada siswa
untuk bereksplorasi, mengumpulkan, dan
menganalisis data secara lengkap untuk
memecahkan masalah yang dihadapi melalui tahap-tahap metode ilmiah. Sehingga diharapkan siswa memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
dengan adanya perlakuan dengan model
pembelajaran berbasis masalah sikap
keingintahuan siswa akan terlihat lebih baik pula.
3. Tahap Membimbing Penyelidikan Mandiri
dan Kelompok
materi larutan elektrolit dan non elektrolit dengan menggali informasi dari berbagai sumber belajar yang ada di sekitar siswa. Adapun sikap ilmiah yang muncul pada tahap ini diantaranya:
a. Respek terhadap fakta, artinya siswa
memiliki rasa keinginan untuk menunjukkan kebenaran dari hasil jawaban sementara yang terdapat pada LKS yang dilakukan pada tahap pengorganisasian siswa dalam masalah dengan cara melakukan praktikum uji larutan elektrolit dan non elektrolit. Sikap ilmiah pada indikator respek terhadap fakta di kelas eksperimen termasuksangat baik (85%), sedangkan di kelas kontrol termasuk cukup (60%).
b. Fleksibel dalam berfikir, artinya siswa
mampu mempertimbangkan pendapatnya terhadap jawaban pada masalah yang terdapat pada LKS sebelum menentukan hasil kesimpulan yang sebenarnya pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Persentase ketercapaian sikap ilmiah pada indikator fleksibel dalam berfikir di kelas
eksperimen diperoleh sebesar85,62%
(kategori sangat baik), sedangkan di kelas kontrol sebesar59,17% (kategori cukup).
c. Peka terhadap lingkungan, artinya pada
pembelajaran ini siswa melakukan
praktikum untuk membuktikan kebenaran jawaban permasalahn yang terdapat pada LKS, siswa harus memiliki rasa peka terhadap lingkungan seperti bertanggung jawab dalam menggunakan alat dan bahan ketika melakukan praktikum uji larutan elektrolit dan non elektrolit. Persentase ketercapaian sikap ilmiah pada indikator
peka terhadap lingkungan di kelas
eksperimen diperoleh sebesar80,4%
(kategori sangat baik), sedangkan di kelas kontrol sebesar30,2% (kategori kurang).
Dari beberapa indikator sikap ilmiah yang muncul, kelas eksperimen memilikisikap ilmiah
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
kontrol.Hal ini terjadi akibat proses
pembelajaran di kelas kontrol yang hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab, sehingga tidak tersedia wadah untuk siswa untuk
mengeksplorasi kemampuan kreatif yang
dimiliki selama pembelajaran berlangsung. Sesuai yang dikemukakan oleh Arnas (2012, dalam Sanjaya (2008), bahwa dalam model pembelajaran berbasis masalah perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada aspek kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan psikomotor.
Tujuan yang ingin dicapai oleh model
pembelajaran berbasis masalah diantaranya adalah kemampuan siswa untuk berpikir kritis, analis, sistematis, dan logis dalam menemukan alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan
sikap ilmiah. Oleh karena itu, dengan
pembelajaran berbasis masalah sikap ilmiah yang muncul lebih terlihat dibandingkan dengan metode ceramah dan tanya jawab.
4. Tahap Mengembangkan dan
Mempresentasikan Hasil Karya
Dalam tahap ini siswa berlatih untuk mengembangkan dan mempresentasikan hasil karya dari jawaban pemecahan masalah yang ditemukan berdasarkan pengetahuan siswa di depan kelompok lain. Sikap ilmiah siswa yang muncul adalah merefleksi secara kritis, artinya siswa dituntut untuk mendengarkan hasil laporan dari tiap kelompok sebagai penentuan jawaban yang benar pada pemecahan masalah yang ada di LKS dan mampu mempertimbangkan atas jawaban dari hasil laporan dari tiap kelompok. Sikap ilmiah pada aspek merefleksi secara kritis yang muncul di kelas eksperimen sebesar 89,72% (kategori sangat baik), sedangkan di kelas kontrol sebesar 73,75% (kategori baik).
masalah sesuai dengan tahapan pada model pembelajaran berbasis masalah. Sedangkan pada
kelas kontrol siswa mampu menjawab
permasalahan tersebut berasal dari guru, karena metode pembelajaran yang diberikan metode ceramah dan tanya jawab, sehingga sikap ilmiah yang muncul lebih rendah jika dibadingkan dengan kelas eksperimen. Hal ini menunjukan bahwa dengan adanya penerapan pembelajaran berbasis masalah maka sikap ilmiah siswa akan meningkat.
5. Tahap Menganalisis dan Mengevaluasi
Proses Pemecahan Masalah
Pada tahap ini, siswa menganalisis dan mengevaluasi dari hasil penyelidikan mereka terhadap pemecahan masalahan di LKS dengan penjelasan yang guru berikan sebagai refleksi atas jawab siswa yang telah dilaporkan. Selain
itu, siswa diberi kesempatan untuk
mengemukakan pendapat ataupun bertanya kepada guru mengenai materi yang belum dimengerti. Sikap ilmiah yang muncul yaitu fleksibel dalam berpikir dan merefleksi secara
kritis, artinya dapat merubah atau
mempertimbangkan kebenaran jawaban dari guru. Sikap ilmiah pada indikator merefleksi secara kritis yang muncul di kelas eksperimen
sebesar 89,72% (kategori sangat baik),
sedangkan di kelas kontrol sebesar 73,75% (kategori baik). Sikap ilmiah pada indikator fleksibel dalam berpikir kelas eksperimen
sebesar 85,62% (kategori sangat baik),
sedangkan kelas kontrol sebesar 59,17% (kategori cukup). Pada tahap ini sama halnya seperti pada tahap sebelumnya, namun siswa
lebih ditekankan untuk merefleksi atas
kesesuaian kebenaran jawaban yang dijelaskan oleh guru dan siswa lebih aktif untuk bertanya atau mencari sumber yang lebih relevan lagi
untuk disamakan dengan jawaban yang
diberikan oleh guru. Sehingga pada tahap akhir
ini siswa mampu menyimpulkan sendiri pada materi yang dipelajari.
Jadi secara umum pembelajaran dengan
menggungan model pembelajan berbasis
masalah dapat meningkatkan sikap ilmiah siswa. Hal ini ditunjukkan dari nilai rata-rata kelas eksperimen sebesar 83,85% (kategori sangat baik) dan kelas kontrol sebesar 56,85% (kategori cukup). Hal ini dikarenakan model pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model pembelajaran yang memiliki kelebian, seperti: 1) Teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran; 2) Menantang kemampuan siswa serta
memberikan kepuasan untuk menentukan
pengetahuan baru bagi siswa; 3) Meningkatkan aktivitas pembelajaran siswa; 4) Membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata; dan 5) Mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir (Suyanti, 2010).
Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran kimia juga dapat
memberi ruang kepada siswa untuk
mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki serta meningkatkan sikap ilmiah siswa, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Putri (2014) bahwa
pembelajaran berbasis masalah dapat
mempengaruhi sikap ilmiah siswa. Berdasarkan indikator-indikator sikap ilmiah siswa kelompok eksperimen menunjukkan hasil yang lebih baik yaitu sebagian besar siswa sudah aktif bertanya, berani menanggapi pernyataan teman dan guru, dapat bekerja sama dengan baik dalam kelompok, dan percaya diri mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas, sehingga sikap ilmiah siswa yang muncul secara umum dikategorikan sangat baik. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahriah (2014), yang menyatakan bahwa model pembelajaran
dapat meningkatkan literasi sains calon guru kimia pada materi kinetika kimia.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat
disimpulkan bahwapersentase rata-rata
ketercapaian sikap ilmiah siswa di kelas eksperimen sebesar 83,85% termasuk kategori sangat tinggi, sedangkan di kelas kontrol hanya diperoleh sebesar 56,85% dan termasuk kategori
cukup. Hal ini menunjukkan bahwa
pembelajaran berbasis masalah pada materi elektrolit dan nonelektrolit berpengaruh terhadap peningkatan sikap ilmiah siswa.
SARAN
Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian, maka dapat dikemukakan beberapa saran, diantaranya: 1) Pihak sekolah hendaknya meningkatkan sarana dan prasarana untuk menunjang aktivitas belajar siswa. 2) Guru
Bidang Studi kimia hendaknya dapat
menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa dan membuat materi kimia yang kompleks dan abstrak dapat menyenangkan bagi siswa. 3) Siswa hendaknya mampu menciptakan kondisi belajar yang kondusif agar tercapai suasana belajar yang baik dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2012. Learning to Teach. New
York: McGraw-Hill.
Bahriah, E.S. 2016. Peningkatan Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah Mahasiswa
Melalui Pendekatan Saintifik. Prosiding
Seminar Nasional IPA VII ISBN 978-602-70197-2-0 h. 832-841.
Bahriah, E.S. 2014. Pengembangan Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) untuk Meningkatkan
Literasi Sains Calon Guru Kimia. Laporan
Penelitian: Tidak Diterbitkan.
Candrasekaran. 2014. Developing scientific attitude, critical thinking and creative intelligence of higher secondary school biology students by applying synectics
techniques. International Journal of
Humanities and Social Science Invention, 31 (6), 2319 – 7714.
Depdiknas. 2006. Kriteria dan indikator
keberhasilan pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Herlen, W. 2000. Teaching, learning &
assessing science 5 - 12 3rd edition.
London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Hasibuan dan Moedjiono. 2009. Peran Guru
dalam Interaksi Belajar Mengajar. Bandung : Bintang Karya Mandiri.
Jamaludin, D.N. 2013. Pengaruh Project Based
Learning Terhadap Berpikir Kritis, Berpikir Kreatif Dan Sikap Ilmiah Pada Materi Tumbuhan Biji. Tesis Magister SPS UPI Bandung : tidak diterbitkan.
Kristiani, N., Susilo, H., Rohman, F., dan Aloysius, D.C., 2015. The contribution of students’ metacognitive skills and scientific attitude towards their academic
achievements in biology learning
implementing thinking empowerment by questioning (TEQ) learning integrated
with inquiry learning (TEQI).International
Journal of Educational Policy Research and Review, 2 (9), 113-120.
Putri, M.D. (2014.Pengaruh penerapan model
pembelajaran berbasis masalah (problem
based learning) terhadap hasil belajar fisika dan sikap ilmiah siswa di SMPN 11
kota bengkulu. e-Journal Program
Riduwan. 2012. Pengantar statistika untuk penelitian pendidikan, sosial, ekonomi komunikasi dan bisnis. Bandung: CV. Alfabeta.
Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma baru
pembelajaran: sebagai referensi bagi berkualitas. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ruseffendi. 1998. Statistika Dasar untuk
Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press.
Sanjaya, W. 2008. Strategi pembelajaran
berorientasi standar proses pendidikan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Slameto. 1991. Belajar dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Jakarta: Rineka cipta.
Sugiyono. 2012. Metode penelitian kuantitatif
kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suyanti, R.D. 2010. Strategi pembelajaran
kimia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sukmadinata, N.S. 2010. Metode Penelitian dan
Pendidikan. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya.
Silabus kurikulum 2013. Diakses dari
https://awan965.wordpress.com/2013/06/3 0/silabus-kurikulum-2013-untuk-sma.
Trianto. 2009. Mendesai model pembelajaran
inovatif-progresif. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Trianto. 2010. Pengantar penelitian pendidikan
bagi pengembangan profesi pendidikan tenaga kependidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Triyas, I.A., Hidayat., dan Pathoni, H. 2014.
Artikel ilmiah upaya meningkatkan sikap ilmiah dan hasil belajar dengan menggunakan model pembelajaran problem based learning di kelas SMA Negeri 8 Kota Jambi. Diakses dari http://e-campus.fkip.unja.ac.id/eskripsi/data/pdf/ju rnal_mhs/artikel/RRA1C309021.pdf.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasioanl. Diakses dari http://kemenag.go.id/file/dokumen/UU200 3.pdf.
Zulfiani., Feronika, T., dan Suartini, K. 2009.