PENGGUNAAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) UNTUK MENGENDALIKAN Fusarium oxysporum f.sp. cubense DAN NEMATODA
Radopholus similis PADA TANAMAN PISANG BARANGAN
(Musa paradisiaca) DI RUMAH KACA
SKRIPSI
Oleh:
RINI AMBARWULAN 080302038
HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGGUNAAN CENDAWAN MIKORIZA ARBUSKULA (CMA) UNTUK MENGENDALIKAN Fusarium oxysporum f.sp. cubense DAN NEMATODA
Radopholus similis PADA TANAMAN PISANG BARANGAN
(Musa paradisiaca) DI RUMAH KACA
SKRIPSI
OLEH :
RINI AMBARWULAN 080302038
HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian di Departemen Agroekoteknologi Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
(Dr. Lisnawita, SP. MSi.) (Ir. Lahmuddin Lubis, MP.) NIP.
19691005 199403 2 001 NIP. 19541121 198103 1 002
DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2013
Rini Ambarwulan. 2013. The use of Mycorrhizal Arbuscula Fungi (MAF) to Control the Fusarium oxysporum f.sp. cubense and Radopholus similis at Barangan Banana (Musa paradisiaca) in Glasshouse, under supervised by Lisnawita and Lahmuddin Lubis. This research was to study the effectivity use of MAF in controling
Fusarium wilt and R. similis at Barangan Banana. This research was carried out in glasshouse of Agriculture Faculty, University of Sumatera Utara, Medan since May until December 2012. The method of this research was Randomized Complete Design Non Factorial with nine treatment and three replication, namely control, inoculation of MAF, inoculation of R. similis, inoculation F. oxysporum f.sp cubense, inoculation of mycorrhizal, R. similis & Foc, inoculation of Foc one week later MAF and R. similis, inoculation of R. similis one week later CMA dan Foc, inoculation of MAF one week later Foc one week later R. similis, inoculation of MAF one week later R. similis one week later Foc.
The result showed that fastest incubation period in the treatment inoculation of
Foc are 11 days and the lowest in the treatment inoculation of MAF at once week are 20 days. The highest disease severity (35.56%) in the treatment Foc and the lowest (8.89%) in the treatment inoculation of MAF, one week later R. similis one week later Foc. The highest population of nematodes (2641) in the treatment inoculation of R. similis and the lowest (164) in the tretament inoculation of MAF one week later Foc one week later R. similis. The highest percentage infection of MAF (100%) in the treatment inoculation of MAF and the lowest (93.33%) in the treatment inoculation of Foc next week mycorrhizal and R. similis.
Keywords: Mycorrhizal Arbuscula Fungi, Fusarium oxysporum f.sp. cubense,
Radopholus similis, banana
ABSTRAK
Rini Ambarwulan. 2013. Penggunaan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) untuk Mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp. cubense dan Nematoda Radopholus similis pada Tanaman Pisang Barangan (Musa paradisiaca) di Rumah Kaca, di bawah bimbingan Lisnawita dan Lahmuddin Lubis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan CMA dalam mengendalikan layu fusarium dan
2012. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial, dengan sembilan perlakuan dan tiga ulangan yaitu kontrol, inokulasi CMA, inokulasi
R. similis, inokulasi F. oxysporum f.sp cubense (Foc), inokulasi CMA, R. similis, & Foc
bersamaan, inokulasi Foc satu minggu kemudian diinokulasikan CMA dan R. similis; inokulasi R. similis satu minggu kemudian CMA dan Foc, inokulasi CMA satu minggu kemudian Foc satu minggu kemudian R. similis, inokulasi CMA satu minggu kemudian
R. similis satu minggu kemudian Foc.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat terdapat pada perlakuan inokulasi Foc yaitu 11 hari dan terlama pada perlakuan inokulasi CMA pada minggu pertama yaitu pada 20 hari. Keparahan penyakit tertinggi (35,56%) pada perlakuan inokulasi Foc dan terendah (8,89%) pada perlakuan inokulasi CMA 1 minggu kemudian
R. similis 1 minggu kemudian Foc. Populasi akhir R. similis tertinggi (2641) pada perlakuan inokulasi R. similis dan terendah (164) pada perlakuan inokulasi CMA 1 minggu kemudian Foc 1 minggu kemudian R. similis.Persentase infeksi CMA tertinggi (100%) pada perlakuan inokulasi CMA dan terendah (93,33%) pada perlakuan inokulasi
Foc 1 minggu kemudian CMA dan R. similis.
Kata Kunci: Cendawan Mikoriza Arbuskula, Fusarium oxysporum f.sp cubense,
Radopholus similis, pisang
RIWAYAT HIDUP
Rini Ambarwulan, lahir tanggal 24 Maret 1990 di Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Ramli dan ibu Sukasni.
Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah:
- SD Negeri 091250 di Pematangsiantar Lulus Tahun 2002
- MTs Swasta Khoirotul Islamiyah di Pematangsiantar Lulus Tahun 2005
- SMA Negeri 3 di Pematangsiantar Lulus Tahun 2008
- Tahun 2008 Lulus Seleksi Masuk Universitas Sumatera Utara melalui
jalur SNMPTN di Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
Pendidikan informal:
- Tahun 2008-2012 sebagai anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa
Pelindung Tanaman), Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
- Tahun 2008-2012 sebagai anggota dan pengurus KOMUS (Komunikasi
Muslim) Hama dan Penyakit Tumbuhan , Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.
- Tahun 2010 mengikuti Seminar Pertanian dengan tema “Meningkatkan
Ketahanan Pangan Nasional” yang dilaksanakan oleh Syngenta Group.
- Tahun 2011 melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Pusat
Penelitian Kelapa Sawit Unit Marihat Pematangsiantar.
- Tahun 2012 mengikuti seminar Nasional dan Rapat Tahunan BKS-PTN
Wilayah Barat bidang ilmu pertanian dengan tema “Pertanian Presisi
Menuju Pertanian Berkelanjutan.
- Tahun 2012 sebagai asisten Laboratorium Nematologi dan Virologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
- Tahun 2012 melaksanakan penelitian di Laboratorium Penyakit Tumbuhan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul ”Penggunaan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) untuk Mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp. cubense dan Nematoda Radopholus similis pada Tanaman Pisang Barangan (Musa acuminata Colla) di Rumah Kaca” merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Komisi
Pembimbing Dr. Lisnawita, SP. MSi selaku ketua Ir. Lahmuddin Lubis, MP.
selaku anggota, yang telah memberikan saran dan kritik kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kesalahan dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI
ABSTRACT ... i
ABSTRAK ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN Latar belakang ... 1
Tujuan penelitian ... 3
Hipotesis penelitian ... 4
Kegunaan penulisan ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Fusarium oxysporum f.sp. cubense.. ... 5
Biologi ... 5
Gejala serangan ... 6
Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit ... 8
Radopholus similis Cobb. ... 8
Klasifikasi ... 8
Morfologi ... 8
Biologi dan siklus hidup ... 9
Gejala serangan ... 11
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) ... 12
Manfaat CMA ... 13
BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian ... 15
Bahan dan alat ... 15
Metode penelitian ... 15
Pelaksanaan penelitian ... 17
Isolasi CMA ... 17
Perbanyakan CMA ... 18
Isolasi R. similis ... 18
Perbanyakan R. similis ... 18
Isolasi F. oxysporum f.sp. cubense ... 19
Perbanyakan F. oxysporum f.sp. cubense ... 19
Penyediaan tanaman ... 19
Aplikasi perlakuan ... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Periode inkubasi F. oxysporum f.sp. cubense (hari) ... 24
Kejadian penyakit F. oxysporum f.sp. cubense (%) ... 26
Keparahan penyakit F. oxysporum f.sp. cubense (%) ... 28
Berat basah akar (g) ... 30
Populasi akhir R. similis ... 32
Populasi spora CMA ... 34
Persentase infeksi CMA (%) ... 35
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 39
Saran ... 40 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Uraian Halaman
1. Periode inkubasi F. oxysporum f.sp cubense (hsi) ... 24
2. Kejadian penyakit F. oxysporum f.sp cubense (%) ... 26
3. Keparahan penyakit F. oxysporum f.sp cubense (%) ... 28
4. Pengaruh pemberian CMA terhadap berat basah akar (g) ... 30
5. Pengaruh pemberian CMA terhadap populasi akhir R. similis ... 32
6. Pengaruh waktu aplikasi terhadap populasi spora CMA ... 34
7. Pengaruh waktu aplikasi cma terhadap persentase infeksi CMA (%) ... 36
DAFTAR GAMBAR
No. Uraian Halaman 1. Koloni F. oxysporum f.sp cubense: a. mikrokonidia,
b. Makrokonidia ... 6
2. Gejala serangan layu Fusarium pisang: a. gejala luar,
b. irisan batang melintang, c. Irisan batang membujur ... 7
3. Gejala serangan R. similis pada tanaman pisang:
a. Gejala luar, b. Gejala pada akar ... 10
4. Spora CMA: a. Spora CMA dengan germ tube,
b. Spora CMA yang dipecah ... 13
5. Gambar mikroskopis CMA dalam jaringan akar dengan
spora (s) dan hifa internal (h) ... 14
6. Tanaman pisang: a. Tanaman yang diinokulasikan F. oxysporum f.sp
cubense tanpa CMA; b. Tanaman yang diinokulasikan CMA ... 25
7. Spora CMA: a. Spora CMA yang utuh, b. Spora CMA
yang dipecahkan ... 35
8. CMA pada jaringan akar; (s) spora CMA ... 37
DAFTAR LAMPIRAN
No. Uraian Halaman
1. Bagan Penelitian ... 46
2. Data kejadian penyakit (%)F. oxysporum f.sp cubense ... 47
3. Data keparahan penyakit F. oxysporum f.sp cubense (%) ... 55
4. Data berat basah akar (g) ... 63
5. Data populasi akhir R. similis ... 71
6. Data jumlah spora CMA ... 79
7. Data persentase infeksi CMA (%) ... 87
8. Cara Menghitung Persentase CMA Pada Akar ... 95
Rini Ambarwulan. 2013. The use of Mycorrhizal Arbuscula Fungi (MAF) to Control the Fusarium oxysporum f.sp. cubense and Radopholus similis at Barangan Banana (Musa paradisiaca) in Glasshouse, under supervised by Lisnawita and Lahmuddin Lubis. This research was to study the effectivity use of MAF in controling
Fusarium wilt and R. similis at Barangan Banana. This research was carried out in glasshouse of Agriculture Faculty, University of Sumatera Utara, Medan since May until December 2012. The method of this research was Randomized Complete Design Non Factorial with nine treatment and three replication, namely control, inoculation of MAF, inoculation of R. similis, inoculation F. oxysporum f.sp cubense, inoculation of mycorrhizal, R. similis & Foc, inoculation of Foc one week later MAF and R. similis, inoculation of R. similis one week later CMA dan Foc, inoculation of MAF one week later Foc one week later R. similis, inoculation of MAF one week later R. similis one week later Foc.
The result showed that fastest incubation period in the treatment inoculation of
Foc are 11 days and the lowest in the treatment inoculation of MAF at once week are 20 days. The highest disease severity (35.56%) in the treatment Foc and the lowest (8.89%) in the treatment inoculation of MAF, one week later R. similis one week later Foc. The highest population of nematodes (2641) in the treatment inoculation of R. similis and the lowest (164) in the tretament inoculation of MAF one week later Foc one week later R. similis. The highest percentage infection of MAF (100%) in the treatment inoculation of MAF and the lowest (93.33%) in the treatment inoculation of Foc next week mycorrhizal and R. similis.
Keywords: Mycorrhizal Arbuscula Fungi, Fusarium oxysporum f.sp. cubense,
Radopholus similis, banana
ABSTRAK
Rini Ambarwulan. 2013. Penggunaan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) untuk Mengendalikan Fusarium oxysporum f.sp. cubense dan Nematoda Radopholus similis pada Tanaman Pisang Barangan (Musa paradisiaca) di Rumah Kaca, di bawah bimbingan Lisnawita dan Lahmuddin Lubis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan CMA dalam mengendalikan layu fusarium dan
2012. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non Faktorial, dengan sembilan perlakuan dan tiga ulangan yaitu kontrol, inokulasi CMA, inokulasi
R. similis, inokulasi F. oxysporum f.sp cubense (Foc), inokulasi CMA, R. similis, & Foc
bersamaan, inokulasi Foc satu minggu kemudian diinokulasikan CMA dan R. similis; inokulasi R. similis satu minggu kemudian CMA dan Foc, inokulasi CMA satu minggu kemudian Foc satu minggu kemudian R. similis, inokulasi CMA satu minggu kemudian
R. similis satu minggu kemudian Foc.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa periode inkubasi tercepat terdapat pada perlakuan inokulasi Foc yaitu 11 hari dan terlama pada perlakuan inokulasi CMA pada minggu pertama yaitu pada 20 hari. Keparahan penyakit tertinggi (35,56%) pada perlakuan inokulasi Foc dan terendah (8,89%) pada perlakuan inokulasi CMA 1 minggu kemudian
R. similis 1 minggu kemudian Foc. Populasi akhir R. similis tertinggi (2641) pada perlakuan inokulasi R. similis dan terendah (164) pada perlakuan inokulasi CMA 1 minggu kemudian Foc 1 minggu kemudian R. similis.Persentase infeksi CMA tertinggi (100%) pada perlakuan inokulasi CMA dan terendah (93,33%) pada perlakuan inokulasi
Foc 1 minggu kemudian CMA dan R. similis.
Kata Kunci: Cendawan Mikoriza Arbuskula, Fusarium oxysporum f.sp cubense,
Radopholus similis, pisang
RIWAYAT HIDUP
Rini Ambarwulan, lahir tanggal 24 Maret 1990 di Pematangsiantar, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Ramli dan ibu Sukasni.
Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah:
- SD Negeri 091250 di Pematangsiantar Lulus Tahun 2002
- MTs Swasta Khoirotul Islamiyah di Pematangsiantar Lulus Tahun 2005
- SMA Negeri 3 di Pematangsiantar Lulus Tahun 2008
- Tahun 2008 Lulus Seleksi Masuk Universitas Sumatera Utara melalui
jalur SNMPTN di Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pisang Barangan (Musa paradisiaca) merupakan salah satu varietas pisang
yang telah dibudidayakan di Indonesia. Tanaman pisang Barangan termasuk
tanaman yang tidak sulit dibudidayakan, walaupun demikian ia tetap
membutuhkan perawatan untuk pertumbuhannya agar mendapatkan hasil yang
optimal (Djaenuddin et al. 2012).
Pengembangan pisang Barangan di Indonesia mengalami hambatan yaitu
adanya serangan hama dan penyakit. Salah satu penyakit penting dan utama pada
tanaman pisang (Barangan) di Indonesia adalah penyakit layu fusarium yang
disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp cubense (Foc). Penyakit ini
dapat menurunkan produktivitas pisang Barangan, bahkan pada serangan yang
berat dapat mematikan (Djaenuddin et al. 2012).
Layu fusarium pada pisang yang sering juga disebut penyakit panama,
dianggap sebagai penyakit yang paling penting diseluruh dunia. Penyakit ini
pertama kali ditemukan di Amerika Tropika menjelang berakhirnya abad ke-19
tetapi kerugian karena layu fusarium baru terasa pada tahun 1910an, pada waktu
pisang jenis Gros Michael (pisang Ambon) diperkebunkan secara besar-besaran di
sana. Di Amerika Tengah dan Selatan dalam jangka waktu 50 tahun lebih dari
50.000 ha kebun pisang telah binasa dan terpaksa ditinggalkan (Semangun, 1996).
Di sekitar perakaran tanaman pisang yang terinfeksi layu fusarium sering
ditemukan nematoda parasit. Salah satunya adalah Radopholus similis.
Radopholus similis merupakan spesies nematoda utama pada tanaman pisang
dibeberapa sentra produksi pisang. Serangan nematoda ini berpotensi sebagai
salah satu faktor pembatas produksi pisang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
nematoda ini telah menyebar ke beberapa sentra produksi pisang di Sumatera
Barat dengan rerata prevalensi 51,71% (Jumjunidang, 2009).
Keberadaan R. similis dan F. oxysporum f.sp. cubense secara
bersama-sama pada sistem perakaran tanaman pisang menyebabkan tingkat keparahan dan
kejadian penyakit lebih berat dibandingkan jika masing-masing patogen
menyerang secara tunggal. Kombinasi keduanya berpotensi menyebabkan
hubungan yang sinergisme dengan respon linier terhadap tingkat keparahan dan
kejadian penyakit layu pada tanaman pisang (Lisnawita, 1998).
Pengendalian patogen di dalam tanah secara kimia terbukti tidak efektif,
oleh karena itu perlu dicari cara lain agar perkembangan patogen dapat ditekan
dan mudah dilakukan petani, antara lain dengan pemupukan kalium, penanaman
varietas toleran, dan pengendalian hayati. Pengendalian hayati patogen tular tanah
merupakan pendekatan alternatif yang perlu dikembangkan, sebab relatif murah
dan mudah dilakukan, serta bersifat ramah lingkungan (Saragih dan Silalahi,
2006).
Salah satu agens pengendalian hayati adalah CMA. Pemanfaatan CMA
bertujuan untuk meningkatkan daya tumbuh dan survival tanaman, baik dalam
serapan hara maupun dari serangan penyakit. Beberapa hasil penelitian
menggunakan CMA Glomus fasciculatum menampakan kecenderungan tanaman
pisang toleran terhadap serangan penyakit layu Fusarium (Nasir et al. 2004).
Menurut hasil penelitian Jumjunidang (2009) CMA mampu menekan
perkembangan atau faktor reproduksi nematoda parasit akar R. similis pada
CMA merupakan bentuk hubungan simbiosis mutualisme antara fungi
dengan perakaran tanaman tingkat tinggi. CMA menguntungkan tanaman dalam
banyak hal seperti suplai nutrien mineral inorganik, meningkatkan toleransi
tanaman terhadap kekeringan, memberikan perlindungan terhadap patogen primer
yang menyerang akar tanaman, memperbaiki kondisi-kondisi tanah yang buruk,
mengatasi logam-logam berat yang berlebihan dengan immobilisasi logam dalam
hifa jamur dan melindungi beberapa tanaman halofitik terhadap kehilangan hasil
pada tanah yang salin (Dell, 2006).
Di lapangan sering ditemukan CMA yang berasosiasi dengan perakaran
tanaman pisang. CMA juga dapat melindungi tanaman dari serangan patogen tular
tanah, termasuk nematoda parasit sehingga tanaman yang bermikoriza tumbuh
lebih baik dibanding dengan tanaman tanpa CMA pada tanah yang teinfeksi
nematoda (Jumjunidang, 2009).
Berdasarkan uraian di atas dan masih terbatasnya informasi tentang
penggunaan CMA dalam mengendalikan layu fusarium dan R. similis pada
tanaman pisang maka perlu dilakukan penelitian ini.
Tujuan penelitian
Untuk mengetahui efektivitas penggunaan CMA dalam mengendalikan
layu fusarium dan R. similis pada tanaman pisang Barangan.
Hipotesis penelitian
CMA mampu mengendalikan F. oxysporum f.sp. cubense dan
Kegunaan penulisan
1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat melakukan penelitian di Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
TINJAUAN PUSTAKA
Fusarium oxysporum f.sp. cubense
Jamur Fusarium oxysporum Schlecht f.sp. cubense (Foc) (E. F. Smith)
Snyder dan Hansen ialah organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang sangat
berbahaya dan berpengaruh pada industri pisang dunia. Di Indonesia, penyakit
tersebut dilaporkan telah menyebar hampir di seluruh daerah penanaman pisang
(Jumjunidang et al. 2009).
Biologi
Menurut Alexopoulus and Mims (1979) jamur Fusarium diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisio : Eumycota
Sub divisio : Deuteromycotina
Class : Deuteromycetes
Ordo : Moniliales
Family : Tuberculariaceae
Genus : Fusarium
Species : F. oxysporum f.sp. cubense (E.F. Smith) Snyder, Hansen
Di dalam kultur, koloni berwarna putih hingga berwarna krem atau ungu
terang. Mikrokonidia berukuran 5-12 x 2,2-3,5 µm, biasanya tidak bersekat,
hialin, lonjong, atau agak memanjang (Gambar 1a). Makrokonidia berukuran
27-60 x 3-5 µm, berdinding tipis, berbentuk sabit dengan tangkai kecil pada kedua
makrokonidium (Gambar 1b). Klamidiosfor dibentuk tunggal atau berpasangan
(Ploetz, 1996 dalam Lisnawita, 1998).
Gambar 1 : Koloni F. oxysporum f.sp cubense: a. mikrokonidia, b. Makrokonidia Sumber: Fourie et al (2011)
F. oxysporum f.sp. cubense memiliki karakter biologis yang sangat
spesifik dan beragam. Hal ini dapat dilihat dari sifat ras dan strainnya yang
bervariasi, tingkat virulensi antara ras yang berbeda, serta kemampuan patogen
bertahan dalam tanah tanpa inang utama (tanaman pisang) hingga 40 tahun
(Ploetz, 1990 dalam Jumjunidang et al. 2011).
Gejala serangan
Perkembangan gejala dimulai dengan terjadinya perubahan warna yaitu
menguningnya bagian pinggir daun bawah. Perubahan warna dimulai dari pinggir
dan menyebar keseluruh permukaan daun kemudian menjadi coklat kekuningan
(Frohlich and Rodewaid, 1970; Fauzi, 2010). Gejala yang paling khas adalah
gejala dalam. Jika pangkal batang dibelah membujur, terlihat garis-garis coklat
atau hitam menuju ke semua arah. Dari batang (bonggol) ke atas melalui jaringan
pembuluh ke pangkal daun dan tangkai. Perubahan warna pada berkas pembuluh
paling jelas tampak pada batang. Berkas pembuluh akar biasanya tidak berubah
warna, namun sering sekali akar tanaman sakit berwarna hitam dan membusuk
Gejala penyakit layu fusarium ditemukan pada pisang Susu (Rajasere).
Tanaman yang terserang menjadi layu dan mati. Seluruh tanaman dalam satu
rumpun mati, termasuk anakan yang ada. Informasi dari petani di Desa Labuan
Pandan – Lombok Timur bahwa serangan penyakit ini terjadi sejak tahun 2007.
Infeksi penyakit layu fusarium terjadi bila patogen melakukan penetrasi pada akar
tanaman pisang. Jamur kemudian menyerang xilem sehingga menyebabkan
penutupan pembuluh. Gejala internal diawali dengan penguningan jaringan
pembuluh di akar dan bonggol yang selanjutnya berubah warna menjadi merah
atau coklat pada pembuluh vaskular pada pseudostem dan kadang-kadang pada
tangkai tandan. Pada saat tanaman mati, jamur akan tumbuh menyebar dari xilem
ke jaringan sekitarnya, membentuk klamidospore (spora istirahat) yang mampu
bertahan dalam perakaran tanaman inang alternatif sampai 30 tahun (Gambar 2).
Kerusakan terutama terjadi pada kelompok pisang Cavendish (Ambon Hijau),
Rajasere (pisang Susu), dan Ambon Kuning (Hermanto et al. 2010).
a
b
c
Gambar 2 : Gejala serangan layu Fusarium pisang: a. gejala luar, b. irisan batang melintang, c. irisan batang membujur Sumber: Hermanto et al. 2010
Terbentuknya diameter zone penghambatan yang lebih besar pada ekstrak
akar daripada ekstrak batang menunjukkan bahwa stress yang dialami tanaman
pisang uji lebih besar terjadi pada daerah perakaran dibandingkan pada bagian
yang terakumulasi pada daerah akar untuk menghambat invasi jamur patogen
pada sistem perakarannya. Senyawa antimikrobia yang dibentuk tanaman sebagai
reaksi terhadap aksi patogen di dalam jaringan tanaman dapat berupa fitoaleksin
atau senyawa antimikrobia lainnya (Widono et al. 2003).
Faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit
Penyakit layu Fusarium lebih merugikan pada tanah aluvial yang asam.
Pada umumnya di tanah geluh yang bertekstur ringan atau tanah geluh berpasir
penyakit dapat meluas dengan lebih cepat. Jenis jenis pisang mempunyai
ketahanan yang berbeda. Di Amerika tengah penyakit menjadi sangat cepat
merusak setelah jenis Gros Michael yang sangat rentan dibudidayakan secara
besar-besaran tetapi berkurang setelah diganti dengan jenis Cavendish yang tahan.
Di Taiwan jenis Cavendish sangat rentan terhadap ras 4. Di Jawa Timur penyakit
lebih benyak terdapat pada jenis Ambon, Raja dan Agung (Semangun, 1996).
Radopholus similis Cobb. Klasifikasi
Menurut Agrios (1997) nematoda Radopholus similis termasuk ordo
Tylenchida, sub ordo Tylenchina, super famili Tylenchoidea, famili
Pratylenchidae, dan genus Radopholus.
Morfologi
Radopholus similis memiliki sifat sexual dimorphism pada bagian anterior
tubuhnya sehingga R. similis jantan dan R. similis betina mudah dibedakan.
Nematoda betina panjang tubuhnya 0,51-0,88 mm, bagian ujung kepala lebih
rendah, membulat, lurus atau sedikit berlekuk dengan garis kontur tubuh.
Esofagusnya tumbuh sempurna, kepala mengalami sklerotisasi dan stilet
tindih dengan usus pada bagian dorsal. Gonad anterior dan gonad posterior
bertemu di sekitar vulva (Dropkin, 1992). Vulva terletak di bagian pertengahan
panjang tubuh sekitar 55-65% dan memiliki ekor yang memanjang berbentuk
kerucut dengan panjang sekitar 60 µm (Siddiqi, 1986).
Sedangkan kepala nematoda R. similis jantan lebih tinggi, membulat,
menyerupai knop dan lebih melekuk. Kerangka kepala mengalami sedikit
sklerotisasi, stilet dan esofagusnya tidak berkembang sempurna dan tidak bersifat
parasit (Siddiqi, 1986). Panjang tubuhnya 0,5-0,7 mm. Mempunyai testis tunggal
dan bursa meluas sampai dua per tiga ekor (Dropkin, 1992).
Biologi dan siklus hidup
Radopholus similis
Radopholus similis merupakan parasit migratori, endoparasit polifag yang
berada di dalam akar dan umbi pada umumnya di jaringan korteks. Nematoda ini
berbentuk benang di seluruh hidupnya. Nematoda ini merupakan patogen yang
agresif. Seperti nematoda peluka akar lainnya, nematoda pelubang akar ini
aktivitas makannya mengakibatkan luka nekrotik pada jaringan akar inangnya.
Seluruh stadia hidupnya merupakan parasit dan bereproduksi secara seksual. Telur
diletakkan di dalam jaringan akar dan perkembangan embrionik berlangsung
beberapa hari. Seluruh siklus hidup diselesaikan dalam 3 minggu pada kondisi
optimal dengan suhu 24–27
atau nematoda pelubang akar diketahui sebagai
endoparasit migratori pada berbagai jenis tanaman. Nematoda ini merusak atau
makan bagian korteks akar sehingga terjadi lubang-lubang pada akar tersebut.
Semua stadia dapat dijumpai pada di dalam akar dan tanah. Jantan bersifat
nonparasit, sedangkan stadia lainnya bersifat parasit pada tanaman
(Mustika, 2003).
0
Lama waktu yang dibutuhkan R. similis dalam memasuki akar adalah
24-72 jam, bahkan kadangkala hingga 5-6 hari. Penetrasi meninggalkan bekas
berupa lubang berdiameter sedikit lebih besar daripada diameter tubuh R. similis.
Setelah memasuki akar, R. similis merusak dinding sel-sel parenkim kortikal,
memakan isinya dan terus bergerak sepanjang akar sehingga terjadi rongga dalam
akar. Di dalam rongga tersebut R. similis betina mencapai kematangan seksual,
lalu mulai bereproduksi dan jika R. similis hidup lebih dari 3 minggu dalam
bagian yang sama dalam akar, maka rongga-rongga yang telah terbentuk akan
tergabung membentuk suatu lorong yang di dalamnya dapat berisi nematoda
dalam jumlah besar (Du Charme, 1959 dalam Budiawan, 2001).
Kelangsungan hidup R. similis dalam akar tergantung pada keefektifan
penghancuran akan dan perpindahan infeksi pada akar, sedang perpindahan dan
peletakan telur ditentukan oleh faktor makanan, yaitu nematoda betina bergerak
atau berpindah mencari jaringan sehat. Di dalam jaringan yang terinfeksi
nematoda meletakkan rata-rata 4-5 telur tiap hari selama dua minggu. Daur hidup
dari telur ke generasi berikutnya membutuhkan waktu 20-25 hari di dalam
jaringan akar dan bonggol dan pada suhu 24-32 0C, telur menetas 8-10 hari dan
stadium juvenil menjaddi dewasa dalam 10-13 hari. reproduksi yang optimum
terjadi pada suhu 30 0C, dan reproduksi tidak dapat terjadi pada suhu di bawah
16-17 0C dan di atas 33 0C (Loos, 1962 dalam Jumjunidang, 2001).
Gejala serangan
Radopholus similis disebut nematoda penggugus sehubungan dengan
prilakunya di dalam akar. Di akar masuk kedalam parenkim korteks tempat
nematoda bergerak aktif dan merusak sel-sel sambil makan. Rongga makin
berwarna coklat merah pada seluruh korteks. Pangkal akar tanaman pisang rusak
dan tanaman mudah roboh, terutama apabila sedang berbuah (Gambar 3a)
(Dropkin, 1992).
Gejala awal akar tanaman pisang yang terserang R. similis yaitu berupa
bintik-bintik cokelat kemerah-merahan pada bagian luar akar sampai jaringan
korteks, memanjang sejajar dengan silinder pusat (stele) (Gambar 3b). Pergerakan
aktif nematoda pada jaringan akar menyebabkan terbentuknya rongga-rongga.
Gejala ini akan bergabung dan berubah menjadi bercak cokelat kemerah-merahan,
pada seranga berat luka akan melingkari seeluruh permukaan akar. Kondisi ini
menyebabkan kemampuan akar dalam menyerap air dan hara menjadi terganggu.
Hasil akhir akibat serangan nematoda dapat dilihat dengan terjadinya klorosis
daun, pemanjangan siklus vegetatif serta berkurangnya ukuran dan berat tandan
(Gowen & Queneherve, 1990).
a b
Gambar 3 : Gejala serangan R. similis pada tanaman pisang: a. Gejala luar, b. Gejala pada akar
Sumber: Hasna, 2011
Setelah masuk ke dalam akar, R. similis menempati ruang interseluler
parenkim korteks, nematoda memakan sitoplasma dari sel-sel terdekat, sehingga
menimbulkan rongga-rongga di dalam jaringan tersebut. Gejala yang terlihat ialah
berupa bercak nekrotik berwarna hitam kemerahan. R. similis tidak pernah
menembus endodermis yang telah berkembang dengan bagian daging yang telah
mengeras (Jumjunidang et al. 2009).
Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA)
Istilah CMA diambil dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti jamur
(mykes = miko) dan akar (rhiza). Istilah ini diusulkan pertama kali oleh Frank
pada tahun 1885 untuk menjelaskan bentuk simbiosa mutualisme antara jamur dan
akar tanaman tingkat tinggi. Jamur memperoleh karbohidrat dalam bentuk gula
sederhana (glukosa) dari tanaman untuk kelangsungan hidupnya, sebaliknya
menyalurkan air dan hara tanah khususnya N dan P untuk tanaman
(Kartika, 2002).
Mikoriza (Gambar 4) merupakan sekutu simbiosis diantara akar tumbuhan
dengan hifa jamur. Hifa mikoriza memperbaiki pengambilan nutrien untuk
tumbuhan, melindungi akar tumbuhan daripada patogen dan meghasilkan hormon
pertumbuhan tumbuhan. Sebagai imbalan, jamur memperoleh karbohidrat dari
tumbuhan (Mader, 1995).
a b
Gambar 4 : Spora CMA: a. Spora CMA dengan germ tube, b. Spora CMA yang dipecah
Manfaat CMA
Peranan langsung CMA adalah membantu akar dalam meningkatkan
penyerapan air karena hifa cendawan masih mampu menyerap air dari pori-pori
tanah pada saat akar tanaman sudah mengalami kesulitan mengabsorbsi air. Hal
ini dikarenakan hifa utama cendawan CMA di luar akar membentuk percabangan
hifa yang lebih kecil dan halus dari rambut akar dengan diameter kira-kira 2 μm
(Sasli, 2004). CMA juga dapat melindungi tanaman dari serangan patogen tular
tanah, termasuk nematoda parasit. Semua isolat CMA yang diaplikasikan
berpengaruh nyata dalam menekan perkembangan dan menghambat serangan
nematoda R. similis pada pisang Ambon Hijau (Jumjunidang, 2009).
Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) melakukan penetrasi ke akar dan
membentuk struktur arbuskula dan atau vesikula (Gambar 5). Melalui arbuskula
inilah terjadi perpindahan unsur hara ke sel tumbuhan (Setya et al. 1995).
Keberadaan fungi CMA di alam bersifat kosmopolitan, artinya fungi CMA
hampir pasti ada dalam kondisi tanah apapun, seperti di hutan pantai yang berpasir
fungi CMA masih dapat tumbuh.
h
s
Gambar 5 : Gambar mikroskopis CMA dalam jaringan akar dengan spora (s) dan hifa internal (h)
Peningkatan ketahanan tanaman terhadap patogen juga dipengaruhi oleh
adanya beberapa jamur CMA yang dapat menghasilkan antibiotik, misalnya fenol,
quinine dan berbagai phytoalexine. Tanaman yang terinfeksi jamur CMA dapat
memproduksi bahan astiri yang bersifat fungistatik jauh lebih banyak dibanding
dengan yang tidak terinfeksi CMA. Juga mengandung asam amino 3-10 kali lebih
banyak dibanding tanaman yang tidak terinfeksi CMA. Hal ini dapat
menyebabkan peningkatan ketahanan melalui eksudat akar yang terinfeksi jamur
CMA. Perubahan eksudat akar sangat mempengaruhi mikroorganisme dalam
rizosfer dan bentuk perubahannya dapat mengakibatkan peningkatan ketahanan
tanaman, sehingga dapat menguntungkan tanaman karena tanaman dapat terhindar
BAHAN DAN METODE
Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan
Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan dan Rumah Kasa Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan ketinggian ± 25 m dpl. Penelitian ini
dilaksanakan mulai Mei 2012 sampai Desember 2012.
Bahan dan alat
Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : cendawan
CMA arbuskula indigenus, F. oxysporum f.sp. cubense isolat 7 (koleksi
Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara), media beras steril, bibit pisang Barangan, R. similis, media PDA, wortel
steril, tanah steril, natrium hipoklorit, KOH 10%, HCl 10%, Trypan Blue, asam
laktat, gliserol 50%, akuades, HgCl 0.01%, streptomicin sulfat 0.1%, pasir pantai
dan lain-lain.
Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : pot plastik, jarum
ose, cawan petri, pisau, alat tulis, mikroskop stereo, mikroskop compound, gelas
ukur, pipet tetes, plastik tahan panas, erlenmeyer, timbangan, botol selai, alat-alat
untuk modifikasi corong Baermann, pinset, cup aqua, autoklaf, jarum pancing
nematoda dan saringan bertingkat.
Metode penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) non faktorial dengan 9 perlakuan sebagai berikut:
M1R0F0 : CMA
M0R1F0 : R. similis
M0R0F1 : F. oxysporum f.sp. cubense
M1R1F1 : Inokulasi CMA, F. oxysporum f.sp. cubense dan R. similis
diinokulasi secara bersamaan
M2R1F2 : Inokulasi R. similis, 1 minggu kemudian diinokulasi dengan
F. oxysporum f.sp. cubense dan CMA
M2R2F1 : Inokulasi F. oxysporum f.sp. cubense, 1 minggu kemudian
diinokulasi dengan R. similis dan CMA
M1R3F2 : Inokulasi CMA, 1 minggu kemudian diinokulasi dengan
F. oxysporum f.sp. cubense dan 1 minggu kemudian diinokulasi
dengan R. similis
M1R2F3 : Inokulasi CMA, 1 minggu kemudian diinokulasi dengan
R. similis dan 1 minggu kemudian diinokulasi dengan
F. oxysporum f.sp. cubense
Jumlah perlakuan (t) : 9
Jumlah ulangan (r) : 3
Untuk menentukan banyaknya ulangan ditentukan dengan rumus:
(t-1) (r-1) ≥ 15
(9-1) (r-1) ≥ 15
8r - 8 ≥ 15
8r ≥ 23
r ≥ 2,86 3
Jumlah tanaman setiap perlakuan : 4 tanaman
Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + αi+ εij
Dimana:
Yij : data pengamatan yang disebabkan pengaruh perlakuan ke-i dan
ulangan ke j
µ : rerataan umum
αi : efek dari perlakuan ke-i pada ulangan kr-j
εij : efek error dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Pelaksanaan penelitian Isolasi CMA
CMA diisolasi dari tanah di sekitar perakaran pisang Barangan yang sehat di
lapang. Isolasi spora dari contoh tanah dilakukan dengan metode tuang saring
Pacioni (1992), yaitu dengan mencampurkan mikofer sampel sebanyak 10 gr
dengan 1000 ml air dan diaduk hingga homogen. Selanjutnya disaring dalam satu
set saringan dengan ukuran 710 µm, 425 µm, 106 µm dan 53 µm secara berurutan
dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas disemprot dengan air kran untuk
memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian saringan paling atas dilepas dan
saringan kedua kembali disemprot dengan air kran. Setelah saringan kedua dilepas
sejumlah mikofer sisa yang tertinggal pada saringan 106 µm dan 53 µm yang
digunakan. Hasil saringan diberi air sedikit dan airnya dituang ke cawan petri
dengan hati-hati sehingga partikel-partikel tanah tidak tebawa. Selanjutnya
dilakukan penghitungan di bawah mikroskop stereo terhadap spora yang
diperoleh.
Media perbanyakan CMA yang digunakan adalah pasir pantai. Pasir dicuci
sampai tidak tercampur dengan bahan-bahan lain. Setelah dicuci, pasir
dikeringanginkan. Media perbanyakan dimasukkan ke dalam pot-pot plastik,
media perbanyakan siap untuk digunakan. Benih jagung ditanam dengan membuat
lubang tanam kira-kira 2-3 cm pada media perbanyakan. Setelah itu dimasukkan
stater CMA, yaitu media tanam berupa pasir pantai yang sudah mengandung
CMA sebanyak 0,5-1 g pada tiap lubang tanam ditaburkan sekitar 10 spora CMA.
Jagung dipelihara selama masa vegetatif dengan memberikan pupuk Hyponex
merah (N 25%; P 5%; K 20%; unsur lain B, Fe, Zn, Ca, Co, Cu, Mg, Mn, Mo dan
S) 1 gr/l satu minggu sekali. Penyiraman tanaman hanya dilakukan saat tanah
mengering/ butuh air.
Isolasi R. similis
lnokulum R. similis yang diisolasi dari sampel akar tanaman pisang
Barangan yang bergejala di lapang. Akar dipotong keci-kecil dan ekstrasi
nematoda menggunakan modifikasi corong Baermann (Southey, 1985) selama
2 x 24 jam.
Perbanyakan R. similis
Perbanyakan inokulum R. similis diperbanyak dengan metode Huettel
(1985) menggunakan media wortel steril. Wortel segar dibersihkan kulitnya
dengan air mengalir dan disikat sampai bersih dengan menggunakan NaOCl
5,25%. Setelah itu wortel dibilas dengan air mengalir. Wortel dipotong-potong
sepanjang ± 5 cm. Wortel direndam dalam NaOCl 1,5% selama 15 menit.
Kemudian wortel dibilas dengan air steril sebanyak dua kali. Wortel
Radopholus similis dikumpulkan dari hasil ekstraksi akar pisang. Sepuluh
populasi R. similis yang terdiri dari juvenil, jantan dan betina dikumpulkan pada
counter disc dengan menggunakan pipet tetes. Selanjutya nematoda disterilisasi
dengan HgCl2
Isolasi F. oxysporum f.sp. cubense
0,01% selama 1-2 detik, kemudian ditetesi dengan streptomisin
sulfat 0,1% sebanyak 1-2 tetes. Selanjutnya nematoda yang telah disterilkan
diambil dengan pipet steril dan ditempatkan pada potongan wortel. Biakan
diinkubasikan selama lebih kurang 1,5 bulan pada temperatur ruang.
Fusarium oxysporum f.sp. cubense isolat 7 (Foc 7) diperoleh dari koleksi
Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Perbanyakan F. oxysporum f.sp. cubense
F. oxysporum f.sp. cubense yang berasal dari spora tunggal diperbanyak
pada media beras dengan cara beras dicuci sampai bersih dan direndam selama 24
jam. Kemudian beras dimasukkan ke dalam plastik tahan panas lalu disterilkan
dengan autoklaf. Media beras didinginkan dan diinokulasi jamur Foc ke dalam
media tanam yang ditanamkan pada media. Biakan digunakan sebagai sumber
inokulum.
Penyediaan tanaman
Tanaman yang digunakan adalah kultivar pisang Barangan hasil kultur
jaringan berumur 2 bulan setelah aklimatisasi. Bibit ditanam serentak di dalam pot
plastik berdiameter 30 cm yang berisi 5 kg media steril (tanah dan pasir 1 : 1).
Ditempatkan di rumah kaca sesuai dengan perlakuan.
CMA diaplikasikan pada tanaman pisang berumur ± 2 bulan hasil kultur
jaringan. CMA yang diaplikasikan adalah sebanyak 40 gr/ pot.
2. Aplikasi F. oxysporum f.sp. cubense
Aplikasi F. oxysporum f.sp. cubense yang telah dipebanyak pada media
beras dengan menginfestasikan 10 g biakan Foc (106
3. Aplikasi R. similis
) di sekeliling batang
tanaman dengan jarak sekitar 5 cm dari batang tanaman dan kedalaman
7 cm (Maimunah, 1999).
Radopholus similis dari biakan persediaan (stock culture) pada media
wortel diekstraksi sesuai dengan keperluan. Biakan diekstraksi dengan
metode pengabutan (Southey, 1985). Nematoda yang diperoleh
dimasukkan dalam akuades steril dan digunakan sebagai inokulum. Cara
inokulasi yang dilakukan adalah seperti yang dilakukan oleh Venkitesan
dan Setty (1977), yaitu dengan menuangkan suspensi R. similis di
sekeliling batang tanaman pisang. Untuk 300 populasi R. similis (jantan,
betina, juvenil) diaplikasikan selama 3 hari berturut-turut.
Aplikasi dilakukan sesuai dengan perakuan.
Parameter pengamatan
1. Periode inkubasi layu Fusarium
Data yang diamati adalah waktu munculnya gejala pada masing-masing
perlakuan. Pengamatan dilakukan sejak saat inokulasi sampai munculnya
gejala pertama layu Fusarium pada tanaman uji.
2. Persentase kejadian penyakit layu Fusarium
Persentase kejadian penyakit diamati pada 15, 30, 45, dan 60 hsi dengan
cubense. Persentase kejadian penyakit dapat dihitung dengan
menggunakan metode Abbot (1925) dengan rumus sebagai berikut:
% Kejadian Penyakit = ∑ tanaman terserang pada tiap perlakuan
∑ tanaman yang diamati x 100%
3. Keparahan penyakit F. oxysporum f.sp cubense
Keparahan penyakit diamati pada 15, 30, 45, dan 60 hsi dengan
mengamati diskolorisasi yang terdapat pada bonggol tanaman pisang
secara internal dengan menggunakan metode Townsend dan Hueberger
(1948), dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
I = Tingkat keparahan penyakit (%)
ni
v
= Jumlah berkas pembuluh yang terserang pada setiap kategori
i
Z = Nilai numerik kategori serangan tertinggi = Nilai numerik masing-masing kategori serangan
N = Jumlah berkas pembuluh yang diamati
Nilai skala diskolorisasi setiap kategori serangan yang digunakan adalah
(INIBAP, 1994), sebagai berikut:
0 : tidak ada diskolorisasi pada berkas pembuluh
1 : ada sedikit diskolorisasi
2 : diskolorisasi sampai 1/3 berkas pembuluh
3 : diskolorisasi 1/3 – 2/3
4 : diskolorisasi > 2/3
4. Berat basah akar
Dilakukan pada 15, 30, 45 dan 60 hsi dengan cara memotong akar tanaman
pisang lalu ditimbang.
5. Populasi akhir R. similis
Populasi R. similis dihitung pada 15, 30, 45 dan 60 hsi. Populasi R. similis
dapat dihitung dengan cara mengeekstraksi akar, bonggol dan tanah 10 gr
yang dilakukan dengan metode modifikasi corong Baermann
(Southney, 1985). Total populasi akhir R. similis adalah jumlah populasi
nematoda pada akar, bonggol, dan tanah. Laju pertambahan populasi
nematoda dihitung dengan membandingkan antara total populasi akhir
dengan populasi awal (Pf/Pi) (Pinochet, 1992).
6. Jumlah spora cendawan mikoriza arbuskula (CMA)
Spora CMA dihitung pada 15, 30, 45 dan 60 hsi. Spora CMA dapat
dihitung dengan mengekstraksi tanah menggunakan saringan bertingkat.
Hasil ekstraksi dikumpulkan dalam suspensi. Diambil 1 ml suspensi dan
dihitung jumlah spora dengan mikroskop stereo. Diulang sebanyak 3 kali
dan diambil rata-ratanya. Setelah itu hasil rata-rata dikonversikan dengan
volume suspensi.
7. Persentase infeksi CMA pada akar
Pengamatan persentase infeksi CMA pada akar (Lampiran 8) dilakukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Periode Inkubasi F. oxysporum f.sp cubense (hari)
Hasil pengamatan periode inkubasi F. oxysporum f.sp cubense
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Periode inkubasi F. oxysporum f.sp cubense (hsi)
Perlakuan Periode inkubasi (hari)
M0R0F0 -
M1R0F0 -
M0R1F0 -
M0R0F1 11
M1R1F1 15
M2R1F2 16
M2R2F1 16
M1R3F2 20
M1R2F3 20
Keterangan: - gejala tidak muncul
Dari Tabel 1 terlihat periode inkubasi tercepat adalah pada perlakuan
M0R0F1 (hanya diinokulasikan F. oxysporum f.sp cubense), yaitu pada 11 hsi.
Sedangkan periode inkubasi terlama adalah pada perlakuan yang diaplikasikan
mikoriza pada minggu pertama yaitu pada 20 hsi. Dari hasil pengamatan
memperlihatkan gejala serangan F. oxysporum f.sp cubense pada tanaman pisang
yaitu terlihat pada daun-daun bawah yang menguning (Gambar 6a), kemudian
menjadi cokelat dan mengering. Warna kekuningan akan dimulai dari tepi daun
dan berkembang ke arah tulang daun. Apabila bonggol tanaman pisang dibelah,
maka akan terlihat diskolorisasi yang berwarna cokelat. Sedangkan pada
perlakuan yang diberi CMA tanaman lebih lama terserang patogen, sehingga
[image:37.595.133.491.85.288.2]
a b
Gambar 6: Tanaman pisang: a.. Tanaman yang diinokulasikan F. oxysporum f.sp cubense tanpa CMA; b. Tanaman yang diinokulasikan CMA.
Dari Tabel 1 juga dapat dilihat pada perlakuan yang hanya diinokulasikan
F. oxysporum f.sp cubense lebih cepat terserang dibanding dengan perlakuan
CMA. Hal ini disebabkan CMA dapat melindungi tanaman serta dapat
menghambat pertumbuhan F. oxysporum f.sp cubense. Pfleger dan Linderman
(2000) dalam Suharti et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu mikroorganisme
yang dapat berperan sebagai agensia pengendali hayati yang potensial untuk
dikembangkan adalah CMA. Imas et al. (1989) dalam Nildayanti (2011)
mengemukakan bahwa CMA dapat berfungsi sebagai pelindung terhadap infeksi
patogen akar dengan mekanisme sebagai berikut: (1) adanya selaput hifa (mantel)
dapat berfungsi sebagai barier masuknya patogen, (2) CMA menggunakan hampir
semua kelebihan karbohidrat dan eksudat lainnya, sehingga tercipta lingkungan
yang tidak cocok untuk patogen, (3) akar tanaman yang sudah diinfeksi fungi
CMA, tidak dapat diinfeksi oleh fungi patogen yang menunjukkan adanya
2. Kejadian penyakit F. oxysporum f.sp cubense (%)
Data kejadian penyakit F. oxysporum f.sp cubense berdasarkan analisis
[image:38.595.122.502.196.350.2]sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2. Kejadian penyakit (%) F. oxysporum f.sp cubense
Perlakuan Tingkat kejadian penyakit (%)
15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsi
M0R0F0 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)d M1R0F0 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)d M0R1F0 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)d M0R0F1 33,33(5,82)a 55,56(7,40)a 55,56(7,40)a 88,89(9,42)a M1R1F1 0,00(0,71)c 33,33(5,82)a 33,33(5,82)a 55,56(7,40)b M2R1F2 11,11(2,41)b 12,22(2,83)b 22,22(4,11)b 66,67(8,20)a M2R2F1 22,22(4,11)b 22,22(4,11)b 22,22(4,11)b 55,56(7,40)b M1R3F2 0,00(0,71)c 11,11(2,41)b 11,11(2,41)b 33,33(5,82)b M1R2F3 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 11,11(2,41)b 22,22(4,11)c
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan. (Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi ��+ 0,5).
Data analisa sidik ragam (Tabel 2) dapat dilihat pada 15 hsi sudah
ditemukan gejala layu Fusarium pada perlakuan M0R0F1 (hanya diinokulasikan
F. oxysporum f.sp cubense), M2R1F2 (inokulasi R. similis pada minggu pertama
dan 1 minggu kemudian diinokulasikan CMA dan F. oxysporum f.sp cubense) dan
M2R2F1 (inokulasi F. oxysporum f.sp cubense pada minggu pertama dan 1
minggu kemudian diinokulasikan CMA dan R. similis) masing-masing sebesar
33,33%, 11,11% dan 22,22%. Sedangkan perlakuan M1R3F2 (inokulasi CMA
pada minggu pertama, 1 minggu kemudian diinokulasikan F. oxysporum f.sp
cubense dan 1 minggu kemudian diaplikasikan R. similis) gejala baru terlihat pada
30 hsi dan M1R2F3 (inokulasi CMA pada minggu pertama, 1 minggu kemudian
diinokulasikan R. similis dan 1 minggu kemudian diaplikasikan F. oxysporum f.sp
cubense) gejala terlihat pada 45 hsi. Pengamatan pada 60 hsi pada semua
perlakuan yang diinokulasikan F. oxysporum f.sp cubense sudah terlihat gejala
sebesar 33,33%, kemudian meningkat menjadi 55,56% pada 30 hsi dan 45 hsi,
sedangkan pada 60 hsi kejadian penyakit meningkat menjadi 88,89%. Hal ini
terjadi karena M0R0F1 tidak diberikan CMA sebagai agens pengendali hayati
yang dapat melindungi tanaman dari serangan patogen F. oxysporum f.sp cubense.
Suswati (2005) menyatakan bahwa pemanfaatan fungi CMA arbuskular (FMA)
indigenus dari rizosfir pisang merupakan solusi potensial untuk mengendalikan
patogen tular tanah dan mampu meningkatkan ketahanan pisang terhadap berbagai
jenis patogen.
Dari Tabel 2 dapat dilihat pada perlakuan yang diberi CMA masih terdapat
tanaman pisang yang menunjukkan gejala layu, walaupun persentase kejadian
penyakit lebih rendah dibanding tanaman yang tidak diberi mikoriza. Persentase
kejadian penyakit pada perlakuan pemberian F. oxysporum f.sp. cubense saja
sebesar 88,89%, pada perlakuan pemberian F. oxysporum f.sp. cubense, R. similis
dan CMA secara bersamaan sebesar 55,56%, pada perlakuan F. oxysporum f.sp.
cubense pada minggu pertama 55,56%, pada perlakuan R. similis pada minggu
pertama 66,67%, pada perlakuan CMA pada minggu pertama 33,33%. Dari hasil
di atas dapat diketahui bahwa mikoriza yang diberikan pada minggu pertama
mempunyai persentase kejadian penyakit yang rendah.
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa waktu inokulasi CMA mempengaruhi
lamanya kejadian penyakit. Keberhasilan introduksi CMA dalam penekanan
penyakit akan ditentukan berbagai faktor diantaranya oleh jenis CMA, tingkat
kolonisasi CMA, urutan introduksi, fase pertumbuhan tanaman dan jenis tanaman
inang. Pada perlakuan M2R1F2 dan M2R2F1 kejadian penyakit sudah muncul
pada 15 hsi, dimana CMA diaplikasikan pada minggu ke dua. Sedangakan CMA
M1R2F2 baru muncul pada 30 hsi dan 45 hsi. Menurut Dell (2006) hal ini terjadi
karena CMA mampu memberikan perlindungan terhadap patogen primer seperti
F. oxysporum f.sp. cubense dan R. similis yang menyerang akar tanaman. Abbot
dan Robson (1984) menyatakan bahwa CMA menggunakan semua kelebihan
karbohidrat dan eksudat akar lainnya yang menyebabkan terciptanya lingkungan
yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan patogen. Sharda dan Rodrigues (2009) mengemukakan bahwa tanaman yang bermikoriza, mengandung
isoflavonoid lebih tinggi sehingga tanaman lebih tahan terhadap serangan patogen
karena senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan patogen tanah.
3. Keparahan penyakit F. oxysporum f.sp cubense (%)
Data analisa sidik ragam keparahan penyakit F. oxysporum f.sp cubense
[image:40.595.113.519.446.601.2]dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3. Keparahan penyakit (%) F. oxysporum f.sp cubense
Perlakuan Tingkat keparahan penyakit (%)
15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsi
M0R0F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c M1R0F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c M0R1F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c 0,00(0,71)c M0R0F1 8,89(2,71) 17,78(4,22)a 26,67(5,21)a 35,56(5,92)a M1R1F1 0,00(0,71) 13,33(3,72)a 13,33(3,72)a 13,33(3,72)b M2R1F2 8,89(2,71) 13,33(3,72)a 13,33(3,72)b 13,33(3,72)b M2R2F1 4,44(1,71) 8,89(2,71)b 8,89(2,71)b 8,89(2,71)b M1R3F2 4,44(1,71) 4,44(1,71)b 8,89(2,71)b 8,89(2,71)b M1R2F3 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 8,89(2,71)b 8,89(2,71)b Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan. (Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi ��+ 0,5).
Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa keparahan penyakit sudah terlihat
15 hsi yaitu pada perlakuan M0R0F1 (hanya diinokulasikan F. oxysporum f.sp
cubense) sebesar 8,89%, M2R2F1 (inokulasi F. oxysporum f.sp cubense pada
minggu pertama dan 1 minggu kemudian diinokulasikan CMA dan R. similis)
kemudian diinokulasikan CMA dan F. oxysporum f.sp cubense) sebesar 8,89%
dan pada M1R3F2 (inokulasi CMA pada minggu pertama, 1 minggu kemudian
diinokulasikan F. oxysporum f.sp cubense dan 1 minggu kemudian diaplikasikan
R. similis) sebesar 4,44%. Sedangkan pada perlakuan M1R1F1 (inokulasi CMA,
R. simillis dan F. oxysporum f.sp cubense) baru terlihat pada 30 hsi sebesar
13,33%, dan pada perlakuan M1R2F3 (inokulasi CMA pada minggu pertama, 1
minggu kemudian diinokulasikan R. similis dan 1 minggu kemudian diaplikasikan
F. oxysporum f.sp cubense) baru terlihat pada 45 hsi sebesar 8,89%.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa tingkat keparahan penyakit
F. oxysporum fsp. cubense tertinggi adalah pada perlakuan M0R0F1. Hal ini
disebabkan karena pada perlakuan tersebut hanya diinokulasikan F. oxysporum
fsp. cubense tanpa disertakan CMA sebagai agens pengendali hayati yang dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangan patogen. Kondisi ini menyebabkan
tingkat keparahan penyakit menjadi lebih besar dibanding dengan perlakuan yang
menggunakan CMA yang mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
patogen. Menurut Soenartiningsih dan Talancea (1997) CMA dapat menghasilkan
antibiotik, misalnya fenol, quinine dan berbagai phytoalexine yang berperan
dalam penghambatan perkembangan patogen tanaman.
Pada Tabel 3 terlihat pemberian mikoriza dapat menekan keparahan
penyakit, yaitu persentase keparahan penyakit tidak lagi meningkat sampai akhir
penelitian. Misalnya pada M1F1R1 dan M2R1F2 persentase keparahan penyakit
tetap 13,33% sampai 60 hsi. Pada M2R2F1, M1R3F2 dan M1R2F3 persentase
keparahan penyakit tetap 8,89% sampai 60 hsi. Hal ini menunjukkan bahwa CMA
mampu menekan perkembangan penyakit F. oxysporum fsp. cubense. Kobayashi
CMA dalam mengendalikan berbagai jenis patogen dapat terjadi secara langsung
berupa kompetisi dan antibiosis dan secara tidak langsung melalui induksi
ketahanan. Menurut (Pfleger & Linderman, 2000 dalam Suharti et al. 2011),
mekanisme secara langsung disebabkan pertumbuhan propagul infektif dari CMA
yang dapat menghalangi patogen pada akar tanaman. Mekanisme tidak langsung
adalah melalui respon fisiologis dan biokimia dengan terjadinya perubahan
aktivitas enzim dan peningkatan senyawa kimia yang menghambat perkembangan
patogen.
4. Berat basah akar (g)
Data berat basah akar berdasarkan analisis sidik ragam dapat dilihat pada
[image:42.595.113.513.417.573.2]Tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Pengaruh pemberian CMA terhadap berat basah akar (g)
Perlakuan Berat basah akar (g)
15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsi
M0R0F0 13,58(3,67) 16,51(4,12) 17,76(4,23) 25,45(5,09)a M1R0F0 22,54(4,75) 12,30(3,54) 12,99(3,59) 26,60(5,20)a M0R1F0 8,47(2,80) 10,58(3,30) 12,91(3,57) 15,89(3,97)b M0R0F1 6,70(2,64) 10,98(3,27) 5,92(2,51) 16,94(4,17)b M1R1F1 13,09(3,45) 7,98(2,80) 8,20(2,90) 17,92(4,19)b M2R1F2 10,97(3,19) 11,52(3,31) 17,90(4,11) 18,15(4,28)a M2R2F1 8,11(2,92) 11,40(3,42) 13,26(3,61) 19,48(4,47)a M1R3F2 9,94(3,22) 15,72(3,93) 6,38(2,59) 21,52(4,69)a M1R2F3 13,78(3,62) 13,82(3,74) 13,18(3,66) 26,45(5,18)a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan. (Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi ��+ 0,5).
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa pemberian CMA dapat meningkatkan
berat basah akar pada tanaman pisang barangan. Berat basah akar yang diberikan
CMA berbeda nyata dengan berat basah akar yang hanya diinokulasikan
F. oxysporum fsp. cubense (M0R0F1) dan R. similis (M0R1F0) masing-masing
sebesar 16,94 g dan 15,89 g dibanding dengan M1R0F0 dan M1R2F3
menyatakan bahwa CMA mampu meningkatkan penyerapan P, Zn, Cu, NH4, K,
Ca yang selanjutnya dimanfaatkan oleh tanaman melalui proses metabolisme yang
memungkinkan peningkatan biomassa bibit dan tanaman. Akar yang bermikoriza
mempunyai kandungan auksin yang lebih tinggi yang memungkinkan peningkatan
pertumbuhan akar.
Selanjutnya terjadinya penambahan berat basah akar menurut Harran dan
Ansori (1993) karena secara tidak langsung CMA dapat meningkatkan
pembentukan dan penyebaran akar tanaman melalui hifa eksternal yang
mengakibatkan meningkatnya serapan unsur hara oleh tanaman. Selain itu, apabila
CMA menginfeksi jaringan akar tanaman maka CMA akan ada selama tanaman
tersebut hidup. Kerusakan akar akibat luka pada jaringan akar adalah akibat
proses infeksi dan parasitasi nematoda yang mengakibatkan berat basah akar
menjadi berkurang. Semakin tinggi populasi nematoda dalam akar menyebabkan
nekrosis akar juga semakin banyak. Blake (1961) dalam Jumjunidang et al.
(2009) menyatakan bahwa nematoda tidak akan keluar dari akar selama nematoda
tersebut masih dapar menyerang dan makan pada bagian akar yang masih sehat.
5. Populasi akhir R. similis
Data populasi akhir R. similis berdasarkan analisis sidik ragam dapat
Tabel 5. Pengaruh pemberian CMA terhadap populasi akhir R. similis pada 60 hsi
Perlakuan Jumlah Populasi Akhir Nematoda Pf/Pi (Akar, Bonggol, Tanah)
M0R0F0 0,00e 0,00e
M1R0F0 0,00e 0,00e
M0R1F0 2641,00a 8,80a
M0R0F1 0,00e 0,00e
M1R1F1 681,00b 2,27b
M2R1F2 759,00b 2,53b
M2R2F1 512,00c 1,71c
M1R3F2 164,00d 0,55d
M1R2F3 181,00d 0,60d
Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan. (Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi ��+ 0,5). Pf/Pi = laju pertambahan populasi nematoda, dimana Pf adalah populasi akhir dan Pi adalah populasi awal.
Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa populasi akhir R. similis pada setiap
pengamatan menunjukkan bahwa pemberian CMA berpengaruh nyata dibanding
perlakuan yang tidak diberi CMA. Populasi akhir R. similis tertinggi adalah pada
perlakuan M0R1F0 (hanya diinokulasikan R. similis) sebesar 2641 dan jumlah
populasi akhir R. similis terendah adalah pada perlakuan M1R3F2 (inokulasi
CMA, 1 minggu kemudian diinokulasi dengan F. oxysporum f.sp. cubense dan 1
minggu kemudian diinokulasi dengan R. similis) sebesar 164. Hal ini
menunjukkan bahwa CMA yang diaplikasikan mampu menekan faktor reproduksi
nematoda dengan tingkat penekanan yang bervariasi, sehingga mempengaruhi
jumlah populasi akhir nematoda. Menurut Linderman (1994) dalam Jumjunidang
(2009) yang menyatakan bahwa terjadinya penekanan tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti peningkatan status nutrisi tanaman, perubahan mikroba
pada rizosfir, kompetisi nutrisi dan tempat penetrasi serta perubahan anatomi dan
biokimia dalam akar akibat infeksi CMA. Kondisi ini membuat lingkungan yang
tidak cocok untuk kehidupan nematoda seperti perubahan biokimia sel akar.
akibat infeksi CMA adalah meningkatnya enzim kitinase, peroksidae, asam
amino, dan senyawa fitoaleksin/fenol, serta terjadinya lignifikasi pada sel
endodermis akar. Fenol diketahui sebagai senyawa aktif yang memegang peranan
penting terhadap penekanan mikroba, termasuk nematoda yang menyerang
jaringan tanaman (Forgain dan Gowen, 1996 ; Jumjunidang, 2009). Senyawa
fenol dapat membuat suatu lingkungan yang toksik untuk perkembangbiakan
nematoda yang dibuktikan dengan menurunnya jumlah telur dan individu yang
terbentuk di dalam akar pada tanaman yang mengandung senyawa fenol lebih
tinggi (Valette et al. 1998; Jumjunidang, 2009).
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perbedaan waktu pemberian CMA
mempengaruhi faktor reproduksi R. similis. Faktor reproduksi pada M1R1F1
M2R1F2 dan M2R2F1 masing-masing adalah 2,27, 2,53 dan 1,71 berbeda nyata
dengan perlakuan M1R3F2 dan M1R2F3 yaitu masing-masing 0,55 dan 0,60.
Dari hasil ini terlihat bila inokulasi R. similis pada minggu pertama, nematoda
telah menginfeksi tanaman. Dapat dilihat pada Tabel 5 bahwa CMA yang
diaplikasikan pada minggu kedua masih mampu berpenetrasi ke dalam jaringan
akar dan dapat menekan faktor reproduksi nematoda R. similis yang terdapat pada
perlakuan M2R1F2 sebesar 2,27. Selain waktu menginokulasikan, perbedaan
kemampuan masing-masing CMA juga mempengaruhi perkembangan nematoda.
Hal ini dapat dikarenakan isolat yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
isolat campuran dikarenakan dalam penelitian tidak dilakukan identifikasi genus
CMA. Hal ini memungkinkan terdapatnya perbedaan spesies dari CMA dan
jumlah spora yang terkandung di dalam isolat. Setiap jenis CMA mempunyai
tingkat kolonisasi yang berbeda pada akar tanaman inang, yang selanjutnya
sesuai untuk perkembangan R. similis, seperti produksi senyawa fenol, lignifikasi
dinding sel, serta kondisi lain yang bersifat menghambat (Khalil et al. 1999;
Jumjunidang, 2009).
6. Populasi spora CMA
Data populasi spora CMA berdasarkan analisis sidik ragam dapat dilihat
[image:46.595.108.517.267.494.2]pada Tabel 6 berikut ini:
Tabel 6. Pengaruh waktu aplikasi terhadap populasi spora CMA
Perlakuan Populasi CMA
15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsi
M0R0F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)d 0,00(0,71)c M1R0F0 642,00(24,98) 1094,67(33,03)b 2879,67(53,66)a 4644,00(68,12)b M0R1F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)d 0,00(0,71)c M0R0F1 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)d 0,00(0,71)c M1R1F1 353,33(18,73) 1165,00(34,07)b 2630,00(51,25)a 5113,33(71,47)a M2R1F2 496,33(22,11) 1018,00(31,86)b 2105,33(45,88)c 4727,67(68,74)b M2R2F1 620,00(24,88) 966,33(31,39)b 2109,00(45,88)c 4855,00(69,68)a M1R3F2 706,00(26,50) 802,67(28,12)b 2067,00(45,36)c 4477,33(66,90)b M1R2F3 720,67(26,71) 4658,67(58,99)a 2539,33(50,39)b 5420,67(72,86)a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan. (Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi ��+ 0,5).
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa spora CMA sudah terbentuk pada
15 hsi. Suswati (2004) menyatakan bahwa spora terbentuk pada ujung hifa
eksternal yang berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis
cendawannya. Irawati (2004) menyebutkan bahwa Vesicular-arbuscular
mycorrhiza (VAM), yaitu CMA yang dalam asosiasinya dengan perakaran
tanaman dengan membentuk vesikel dan arbuskula. Jamur yang tergolong dalam
CMA dengan tipe ini biasanya berasal dari kelompok Zygomycetes, yaitu
Gambar 7: Spora CMA
Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa jumlah spora CMA berbeda setiap
perlakuan dan peningkatan jumlah spora berbeda pada setiap pengamatan. Jumlah
spora terendah adalah pada perlakuan M1R1F1 (inokulasi CMA, R. simillis dan
F. oxysporum f.sp cubense) sebesar 353,33 pada 15 hsi dan jumlah spora CMA
tertinggi pada perlakuan M1R2F3 (inokulasi CMA, 1 minggu kemudian
diinokulasi dengan R. similis dan 1 minggu kemudian diinokulasi dengan
F. oxysporum f.sp. cubense) sebesar 5420,67 pada 60 hsi. Menurut Suswati (2004)
hal ini terjadi karena walaupun semua isolat memiliki kemampuan kolonisasi
tinggi, tetapi tidak semua isolat tersebut juga memiliki kemampuan sporulasi yang
tinggi. Pada waktu pengamatan bahwa pada umumnya CMA yang ditemukan
adalah genus Glomus (Gambar 7). Suswati (2004) menyatakan bahwa spora
Glomus sp berwarna kuning, kuning kecoklatan, coklat, coklat tua dan coklat
7. Persentase infeksi CMA (%)
Data persentase infeksi CMA berdasarkan analisis sidik ragam dapat
[image:48.595.112.510.196.352.2]dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
Tabel 7. Pengaruh waktu aplikasi CMA terhadap persentase infeksi CMA (%)
Perlakuan Persentase infeksi CMA (%)
15 hsi 30 hsi 45 hsi 60 hsi
M0R0F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)b 0,00(0,71)c M1R0F0 86,67(9,28) 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a M0R1F0 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)b 0,00(0,71)c M0R0F1 0,00(0,71) 0,00(0,71)c 0,00(0,71)b 0,00(0,71)c M1R1F1 60,00(7,70) 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a M2R1F2 33,33(5,75) 80,00(8,93)b 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a M2R2F1 40,00(6,36) 80,00(8,93)b 93,33(9,67)a 93,33(9,67)b M1R3F2 53,33(7,31) 80,00(8,93)b 93,33(9,67)a 100,00(10,02)a M1R2F3 46,67(6,84) 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a 100,00(10,02)a Keterangan: Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf 5% berdasarkan uji jarak Duncan. (Angka di dalam kurung adalah hasil Transformasi ��+ 0,5).
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan ada peningkatan
persentase infeksi akar pisang pada setiap pengamatan. Semua perlakuan yang
diberi mikoriza terlihat persentase infeksi mencapai 100% pada 60 hsi kecuali
pada M2R2F1 yang hanya mencapai 93,33%. Persentase infeksi CMA pada
jaringan akar semakin bertambah seiring dengan pertambahan umur tanaman.
Isolat CMA memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengkolonisasi akar
tanaman pisang. Hal ini sesuai dengan kriteria persentase kolonisasi akar Setiadi
et al. (1992): skala 1 : 0-5 % (sangat rendah), skala 2 : 6-26 % (rendah), skala