• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE INTERFERENCE OF MORPHOLOGY IN BAHASA OGAN THROUGH BAHASA INDONESIA AT SIXTH GRADE ELEMENTARY SCHOOL

STUDENT SD NEGERI SRIBANDUNG LAMPUNG UTARA

By:

DEWI SRI REZKI

The formulation problem of this study is how morphology interference in Bahasa Ogan through Bahasa Indonesia at sixth grade elementary school student SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara. This study aimed to descibe the form of morphology interference in Bahasa Ogan through Bahasa Indonesia as communication language in school.

The method used in this research is descriptive qualitative method. The data of study is morphology interference Bahasa Ogan through using Bahasa Indonesia. Morphology interference consists of prefix interference, suffix interference, confix interference, and other interference in Bahasa Ogan through using Bahasa Indonesia at sixth grade elementary school student SD Negeri Sribandung Lampung Utara. The data collecting technique used are observation technique, recording and taking note technique, the data analysis is done by interactive analysis, changing and broadening tecnique.

The result shows that there is Bahasa Ogan interference through Bahasa Indonesia. The form of interference consists of morphology interference in Bahasa Ogan that is prefix {bē-}, prefix {tē-}, prefix {ngē-}, prefix {kē-}, prefix {se-}, suffix interference is {-an}, confix interference {kē-/-an}, and other interference is phonem elemination, phonem change, word derivation interference, word relative name interference and phrase interference.

(2)

ABSTRAK

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH

DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh:

DEWI SRI REZKI

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia siswa Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia. Interferensi morfologi berupa, interferensi prefiks, interferensi sufiks, interferensi konfiks dan interferensi lain dalam bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia siswa Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi, teknik rekam, dan catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan model analisis interaktif, teknik ganti dan teknik perluas.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya interferensi bahasa Ogan terhadap bahasa Indonesia. Wujud interferensi meliputi interferensi morfologi bahasa Ogan yaitu prefiks {bē-}, prefiks {tē-}, prefiks {ngē-}, prefiks {kē-}, perfiks {se-}, interferensi sufiks {–an}, interferensi konfiks {kē-/-an} dan interferensi lainnya berupa penghilangan fonem, perubahan fonem, interferensi kata dasar, interferensi sapaan kekerabatan dan interferensi frasa.

(3)

INTERFERENSI MORFOLOGI BAHASA OGAN DALAM PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA MURID SEKOLAH

DASAR KELAS VI SD NEGERI SRIBANDUNG KABUPATEN LAMPUNG UTARA

(Tesis)

Oleh

DEWI SRI REZKI

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(4)
(5)

xiii

DAFTAR SINGKATAN

BI : Bahasa Indonesia BO : Bahasa Ogan BA : Bahasa Asing DN : Data Nomor KD : Kata Dasar

(6)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Interferensi Prefiks {bē- dan tē-} ... 63

Interferensi Prefiks {ngē-} ... 65

Interferensi Prefiks {kē-} ... 68

Interferensi konfiks {kē-/-an} ... 73

Interferensi Penghilangan Fonem ... 77

(7)

Tesis ini penulis persembahkan dan hadiahkan kepada:

1. Orang tua dan mertuaku (Sujasmi Aharisani, Ratna Wati, Sahmin, Yang Ani) 2. Suamiku tersayang (Firmansyah, S.E.)

3. Buah hatiku (Saskiya Eda Tami, Dewansyah Dwi Putra)

(8)

MOTO

Barang siapa keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah. (HR.Turmudzi)

Allah mencintai orang yang bekerja apabila bekerja maka ia selalu memperbaiki prestasi kerja”

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, pada tanggal 2 September 1976. Anak kedua dari empat bersaudara, buah kasih pasangan Sujasmi Aharisani dan Ratna Wati. Pendidikan yang penulis tempuh, yakni SD Negeri 4 Tanjung Aman, Kotabumi, Lampung Utara lulus tahun 1989, SMP Negeri 5 Kotabumi, Lampung Utara lulus tahun 1992, SMA Negeri 2 Kotabumi, Lampung Utara, lulus tahun 1995, D2 PGSD Universitas Lampung, Bandar Lampung lulus tahun 1997, S-1STKIP Muhammadiyah Kotabumi lulus tahun 2002. Pada tahun 2012 penulis tercatat sebagai mahasiswa S-2 Unila pada program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya tesis ini dapat terselesaikan.

Tesis ini berjudul ” Interferensi Morfologi Bahasa Ogan dalam Pemakaian Bahasa

Indonesia Murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan pada program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tesis ini tidak lepas dari bantuan arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada

1. Prof. Dr. Sugeng Hariyanto, M.S., selaku rektor Universitas Lampung;

2. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;

3. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S., selaku direktur pascasarjana Universitas Lampung; 4. Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan

(11)

5. Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A., selaku pembimbing utama yang dengan sabar memberikan motivasi, bimbingan, arahan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini;

6. Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., selaku pembimbing kedua dan selaku ketua program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini;

7. Dr. Wini Tarmini, M.Hum., selaku pembahas pada seminar proposal dan hasil, yang telah memberikan nasihat, saran-saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini;

8. Dr. Karomani, M.Si., selaku pembimbing akademik, yang selalu memberikan motivasi dan dukungan;

9. Bapak dan Ibu dosen Program Pascasarjana Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;

10.Bapak Heriyanto, S.E.,M.M., selaku kepala UPTD Pendidikan Abung Tengah; 11.Bapak Amri Harzon, selaku guru kelas 6 SD Negeri Sribandung, yang telah

memberikan izin penelitian;

12.Orang tua dan mertuaku tercinta yang selalu memberikan motivasi dan doa yang tiada putus untuk keberhasilan penulis;

13.Suami dan anakku (Firmansyah, S.E., Saskiya Eda Tami, dan Dewansyah Dwi Putra) yang senantiasa memberikan motivasi dan doa untuk keberhasilan penulis; 14.Seluruh mahasiswa Program Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

(12)

Akhir kata, penulis menyadari tesis ini masih belum sempurna, untuk itu, kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi kesempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan. Harapan penulis semoga tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandarlampung, Juni 2014 Penulis,

(13)
(14)
(15)
(16)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRACT ... ii

ABSTRAK ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

LEMBAR PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

II. KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Peristiwa Kontak Bahasa ... 11

2.2 Kedwibahasaan... 14

2.3 Masyarakat Tutur ... 15

2.4 Interferensi ... 17

2.5 Bentuk-Bentuk Interferensi ... 24

2.5.1 Interferensi Morfologi ... 27

2.6 Morfologi Bahasa Ogan ... 33

2.6.1 Fonem Vokal ... 33

2.6.2 Fonem Konsonan ... 33

2.6.3 Jenis Morfem ... 34

2.6.4 Proses Morfologis ... 37

(17)

xiv

3.1 Desain Penelitian ... 45

3.2 Data dan Sumber Data... 46

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 47

3.3.1 Pengamatan (Observasi) ... 47

3.3.2 Teknik Rekam ... 48

3.3.3 Catatan Lapangan ... 48

3.4 Keabsahan dan Keajegan Penelitian ... 49

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data ... 52

3.6 Metode Penyajian Data ... 53

3.7 Langkah-Langkah Analisis Data ... 53

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55

4.1 Interferensi Morfologi Bahasa Ogan Berupa Prefiks ... 56

4.1.1 Interferensi Prefiks {bē-} ... 57

4.1.2 Interferensi Prefiks {tē-}... 61

4.1.3 Interferensi Prefiks {ngē-} ... 63

4.1.4 Interferensi Prefiks {kē-} ... 65

4.1.5 Interferensi Perfiks {se-} ... 68

4.2 Interferensi Morfologi Bahasa Ogan Berupa Sufiks ... 69

4.3 Interferensi Morfologi Bahasa Ogan Berupa Konfiks ... 71

4.4 Bentuk Interferensi Bahasa Ogan ... 73

4.4.1 Penghilangan Fonem ... 73

4.4.2 Perubahan Fonem ... 77

4.4.3 Interferensi Kata Dasar ... 80

4.4.4 Interferensi Kata Sapaan Kekerabatan ... 83

4.4.5 Interferensi frasa ... 85

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 86

5.1 Simpulan... 86

5.2 Saran ... 87 DAFTAR PUSTAKA

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, digunakan baik sebagai bahasa pengantar sehari-hari ataupun bahasa pengantar di lingkungan formal seperti bahasa pengantar sekolah, bahasa untuk keperluan administrasi, bahasa untuk keperluan hukum, dan sebagainya. Secara tradisional bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau juga perasaan. Jadi, fungsi bahasa yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi, yakni sebagai alat pergaulan antarsesama dan alat untuk menyampaikan pikiran (Chaer dan Agustina, 1995: 19).

(19)

Kedwibahasaan akan menimbulkan adanya interferensi dan integrasi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran dwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa. Selain kontak bahasa, faktor penyebab timbulnya interferensi adalah tidak cukupnya kosakata suatu bahasa dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, interferensi bisa terjadi karena menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, meningkatnya kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber (Weinrich dalam Sukardi, 1999: 4).

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bilingual atau dwibahasa, yaitu masyarakat yang menggunakan dua bahasa dalam berkomunikasi. Ada juga yang dalam proses komunikasi masyarakat Indonesia menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional selain bahasa daerah masing-masing. Kedua bahasa tersebut kadang digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara bersamaan, baik secara lisan maupun tulis. Situasi semacam ini memungkinkan terjadinya kontak bahasa yang saling mempengaruhi. Saling pengaruh itu dapat dilihat pada pemakaian bahasa Indonesia yang disisipi oleh kosa kata bahasa daerah atau sebaliknya.

(20)

Standar kompetensi SD/MI mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia dengan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) sebesar 60. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek, mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Standar kompetensi berbicara kelas VI Semester I adalah siswa dapat memberikan informasi dan tanggapan secara lisan, dengan kompetensi dasar yaitu (1) menyampaikan pesan/informasi yang diperoleh dari berbagai media dengan bahasa yang runtut, baik dan benar (2) menanggapi (mengkritik/memuji) sesuatu hal disertai alasan dengan menggunakan bahasa yang santun. Semester II adalah mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dengan berpidato, melaporkan isi buku, dan baca puisi dengan kompetensi dasar (1) berpidato atau presentasi untuk berbagai keperluan (acara perpisahan, perayaan ulang tahun, dan lain-lain) dengan lafal, intonasi, dan sikap yang tepat (2) melaporkan isi buku yang dibaca (judul, pengarang, jumlah halaman, dan isi) dengan kalimat yang runtut dan (3) membacakan puisi karya sendiri dengan ekspresi yang tepat.

(21)

pembicaraan, aspek penggunaan bahasa, dan aspek per formansi. Ada dua faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat keterampilan siswa dalam berbicara, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, diantaranya pengaruh penggunaan bahasa Indonesia di lingkungan keluarga dan masyarakat. Dalam proses komunikasi sehari-hari, banyak keluarga yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah) khususnya bahasa Ogan sebagai bahasa percakapan di lingkungan keluarga. Demikian juga halnya dengan penggunaan bahasa Indonesia di tengah-tengah masyarakat maupun di sekolah masih tercampur dengan bahasa ibu yang digunakan sebagai sarana komunikasi. Faktor internal, kurangnya minat maupun usaha siswa belajar berbicara dengan lafal, intonasi, dan pelapalan yang tepat dalam keterampilan ber- bicara.

(22)

Kondisi tersebut berdampak pada komunikasi siswa di sekolah. Siswa lebih banyak menggunakan bahasa Ogan sebagai alat komunikasi atau sebagai bahasa pengantar di sekolah dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia, sehingga siswa kesulitan dalam mengucapkan bahasa Indonesia dengan benar.

Sebagai contoh percakapan Rudi dan Doni.

Rudi berkata, “Don ada kawan mau berkenalan dengan kamu”. Doni menjawab, “budak betino apa jantan”.

Kata yang bercetak miring pada tuturan di atas merupakan istilah bahasa daerah Ogan ke dalam bahasa Indonesia. Arti dari kata budak dalam bahasa Ogan adalah seorang, betino adalah perempuan dan jantan adalah laki-laki. Adanya interferensi pada bidang makna di mana penutur menggunakan potongan istilah-istilah bahasa Ogan yang digunakan secara bersamaan dalam sistem tata bahasa Indonesia. Interferensi semacam ini termasuk dalam interferensi pada leksikal. Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Interferensi dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa nusantara berlaku bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia banyak memasuki bahasa daerah (Suwito, 1983: 59).

(23)

peristiwa persentuhan antar bahasa yang mengakibatkan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur (Suwito, 1983: 26-27).

Interferensi merupakan fenomena penyimpangan kaidah kebahasaan yang terjadi akibat seseorang menguasai dua bahasa atau lebih. Suwito (1983: 54) berpendapat bahwa Interferensi sebagai penyimpangan karena unsur yang diserap oleh sebuah bahasa sudah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Jadi, manifestasi penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan penutur dalam menggunakan bahasa tertentu.

Dari segi kebahasaan, interferensi dapat dibagi menjadi dua, yaitu interferensi bentuk dan interferensi arti. Interferensi bentuk meliputi unsur bahasa dan variasi bahasa, sedangkan interferensi bahasa meliputi interferensi leksikal, morfologi, dan sintaksis (Soepomo, 1982: 27). Pembahasan tentang interferensi sangat luas cakupannya, namun dalam penelitian ini hanya akan dibahas tentang interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia di sekolah.

(24)

Penelitian tentang interferensi morfologi telah banyak dilakukan oleh para peneliti. Suindratini (2013) dalam penelitiannya meneliti tentang interferensi bahasa Bali dan Bahasa Asing dalam Cerita Lisan Bahasa Indonesia. Subjek penelitian adalah Siswa Kelas VII SMP Negeri 10 Denpasar. Hasil penelitian adalah interferensi bahasa Bali terdapat jenis interferensi fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, sedangkan dalam interferensi bahasa asing terdapat interferensi sintaksis dan semantik.

Dari deskripsi di atas menunjukkan bahwa penelitian mengenai interferensi morfologi yang diteliti Suindratini (2013) terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan saat ini. Hal tersebut nampak pada penelitian yang dilakukan peneliti tentang morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar

Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara, yang di dalamnya mendeskripsikan interferensi morfologi bahasa Ogan saja, sedangkan penelitian Suidratini (2013) meneliti tentang interferensi fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik bahasa Bali dan bahasa Asing.

(25)

Penelitian yang khusus menyangkut morfologi dan sintaksis secara mendalam pernah dilakukan oleh R.M. Arif, Sutari, Harifin, Abdulah Madjid, Baharuddin Nur dan Gunawan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1984 tentang Morfologi dan Sintaksis Bahasa Ogan, penelitian ini memberikan gambaran secara jelas morfologi dan sintaksis Bahasa Ogan dengan Subjek masyarakat penutur asli Bahasa Ogan Ilir Kecamatan Tanjungraja, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan sampel 24 Orang yang terletak di 24 dusun.

Meskipun penelitian secara mendalam tentang morfologi dan sintaksis bahasa Ogan pernah dilakukan dan hasilnya memberikan gambaran yang jelas tetapi penelitian secara khusus dengan subjek anak-anak sekolah dasar belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan terencana. Interferensi yang dimaksud adalah bagaimana bentuk interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

(26)

1. Bagaimanakah interferensi morfologi bahasa Ogan berupa prefiks, sufiks, dan konfiks dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.

2. Bagaimanakah interferensi bahasa Ogan berupa penghilangan fonem, perubahan fonem, interferensi kata dasar, interferensi sapaan kekerabatan dan interferensi frasa dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan.

1. Bentuk interferensi morfologi bahasa Ogan berupa prefiks, sufiks, dan konfiks dalam pemakaian bahasa Indonesia murid Sekolah Dasar Kelas VI SD Negeri Sribandung Kabupaten Lampung Utara.

(27)

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang peneliti harapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengembangan pengetahuan tentang pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia khususnya sosiolinguistik dan memberikan landasan bagi para peneliti lain untuk mengadakan penelitian sejenis.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa, guru, maupun sekolah.

a. Bagi siswa, penelitian ini dapat meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran berbicara, sehingga pada nantinya siswa dapat berbicara dengan bahasa Indonesia yang benar.

b. Bagi guru, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan tentang ragam bahasa daerah khususnya sosiolinguistik.

(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk interferensi morfologi bahasa ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah. Penelitian ini mengikuti prinsip-prinsip analisis struktural bahasa dalam kerangka teori linguistik struktural. Metode analisis struktural yaitu analisis sinkronis yang berusaha memberikan gambaran objektif tentang morfologi bahasa Ogan sesuai dengan pemakaian otentik oleh penutur bahasa dalam hal ini siswa Kelas VI SD Sribandung. Sesuai dengan tujuan penelitian data yang hendak dianalisis pada dasarnya adalah ujaran-ujaran yang di pakai dalam percakapan di kalangan siswa.

(29)

Penelitian ini memfokuskan pada interferensi morfologi bahasa Ogan dalam pemakian bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di sekolah. Bentuk interferensi morfologi berupa prefiks, sufiks dan konfiks. Penelitian ini melibatkan siswa sebagai peserta didik dan guru sebagai pendidik.

3.2 Data dan Sumber Data

Data penelitian ini adalah ujaran dalam suatu kalimat bahasa Indonesia yang terinterferensi oleh bahasa Ogan yang mengandung aspek prefiks, sufiks, konfiks dan bentuk interferensi lain dalam bahasa Ogan. Sumber data penelitian ini adalah bersumber dari percakapan siswa SD kelas VI SD Sribandung Kabupaten Lampung Utara. Di samping itu, sumber data penelitian tentang interferensi bahasa ini berasal dari buku, dan karya ilmiah. Buku-buku tersebut antara lain: (1) Kamus Umum Bahasa Indonesia, (2) Morfologi bahasa Ogan.

(30)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah tahap mengumpulkan data. Data yang dimaksud adalah fenomena khusus yang berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pengamatan, teknik rekam, catatan lapangan.

3.3.1 Pengamatan (Observasi)

Penelitian ini dalam pengumpulan data menggunakan teknik pengamatan atau observasi nonpartisipasi. Peneliti hanya menyimak tanpa melibatkan diri selama pembelajaran berlangsung. Observasi nonpartisipasi selama penelitian dilaksanakan waktunya disesuaikan sampai peneliti mendapatkan data yang cukup. Peneliti berada di ruang kelas bersama guru dan siswa ketika pembelajaran berlangsung. Peneliti melaksanakan pengamatan secara intensif agar memperoleh data yang alamiah mengenai kata atau kalimat berbahasa Indonesia yang mengandung interferensi bahasa daerah Ogan.

(31)

penjelasan dan klarifikasi terhadap data yang dikumpulkan, (7) memungkinkan untuk menggali informasi yang lain, yang tidak direncanakan, yang tidak terduga lebih dahulu, atau yang tidak lazim (Rusminto, 2010:11).

3.3.2 Teknik Rekam

Teknik rekam adalah teknik penjaringan data dengan merekam pengamatan bahasa. Teknik rekam merupakan teknik lanjutan yang dilakukan dengan cara merekam tuturan menggunakan tape recorder (Sudaryanto, 1993: 135). Yang perlu diperhatikan adalah dalam proses perekaman harus dilakukan sewajar mungkin sehingga penutur sumber data tidak menyadari bahwa kegiatan percakapan tersebut sedang direkam. Teknik rekam dalam penelitian ini adalah untuk menjaring data interferensi morfologi bahasa Ogan ke dalam bahasa Indonesia. Cara perekaman yaitu siswa diarahkan untuk melakukan percakapan dengan topik yang telah ditentukan. Kemudian siswa berkelompok untuk saling bercerita di dalam kelompok tersebut, lalu peneliti merekam ke dalam alat perekam.

3.3.3 Catatan Lapangan

(32)

Selanjutnya Bogdan dan Biklem dalam Moleong (2011:211) menyatakan bahwa catatan lapangan terdiri atas dua bagian. Pertama bagian deskriptif yang berisi tentang latar pengamatan, orang, tindakan dan pembicaraan. Kedua, bagian reflektif yang berisi kerangka berpikir dan pendapat peneliti, gagasan, dan kepeduliannya.

3.4 Keabsahan dan Keajegan Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif. Yin (2003 : 25) mengajukan empat kriteria keabsahan dan keajegan yang diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut adalah Sebagai berikut :

1. Keabsahan Konstruk (Construct validity)

(33)

a. Triangulasi Teori

Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada bab II untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data tersebut.

b. Triangulasi metode

Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat wawancara dilakukan.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah triangulasi teori dan triangulasi metode. Triangulasi teori digunakan untuk membandingkan hasil penelitian dengan teori yang menjadi acuan penelitian. Triangulasi metode digunakan untuk menemukan gambaran secara menyeluruh dari fakta yang terjadi serta menghasilkan data-data yang lengkap dan efektif dalam menyimpulkan penelitian.

2. Keabsahan Internal (Internal validity)

(34)

dilakukan uji keabsahan internal, tetap ada kemungkinan munculnya kesimpulan lain yang berbeda.

3. Keabsahan Eksternal (Eksternal validity)

Keabsahan ekternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat digeneralisasikan pada penelitian lain. Walaupun dalam penelitian kualitatif memiliki sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, penelitian kualitatif tetapi dapat dikatakan memiliki keabsahan ekternal terhadap penelitian lain selama penelitian tersebut memiliki konteks yang sama.

4. Keajegan (Reabilitas)

Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang sama, sekali lagi.

Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menunjukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan pengolahan data.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

(35)

guna menginterpretasikan dan menarik kesimpulan (Bogdan dan Biklen, 1992:153).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode agih. Istilah lain untuk metode agih adalah metode distribusional (Sudaryanto, 1985). Metode agih ialah metode analisis yang alat penentunya ada di dalam merupakan bagian dari bahasa yang diteliti (Sudaryanto, 1985; 1993:15).

Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik ganti dan teknik perluas. Teknik ganti, yang biasa disebut pula dengan istilah teknik distribusi (Verhaar, 1981:108). Teknik ganti adalah teknik analisis data dengan cara mengganti satuan kebahasaan tertentu di dalam suatu konstruksi dengan satuan kebahasaan yang lain di luar konstruksi yang bersangkutan (Kesuma, 2007 : 58-59). Dengan kata lain, teknik ini dapat digunakan dalam hubungan yang hampir mirip antara proses pembentukan dan makna kata bahasa Indonesia dengan proses pembentukan dan makna kata bahasa daerah. Bahasa daerah tidak mempunyai rumusan atau struktur yang baku seperti halnya bahasa Indonesia.

(36)

3.6 Metode Penyajian Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode informal. Penyajian informal yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:144-159). Alasan digunakannya metode informal dalam penyajian hasil analisis karena penelitian ini bersifat deskriptif. Maksudnya pendeskripsian dari dari gejala atau keadaan yang terjadi pada objek data penelitian. Interferensi diungkapkan secara apa adanya berdasarkan pada data, sehingga hasil penelitian ini benar-benar merupakan suatu fenomena bahasa yang sesungguhnya. Data yang sudah dianalisis kemudian diberi penjelasan di bawahnya mengenai jenis interferensi, analisis dan sumber data.

3.7 Langkah-Langkah Analisis Data

Pelaksanaan analisis data dilakukan dalam dua tahap, yakni (1) analisis selama pengumpulan data dan (2) analisis setelah pengumpulan data. Analisis selama pengumpulan data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Munculnya catatan lapangan (terutama yang reflektif) sudah menunjukkan analisis data. Data yang telah terkumpul dianalisis segera mungkin agar diperoleh informasi yang sebenarnya dan alamiah sesuai kenyataan. Analisis setelah pengumpulan data dilakukan setelah data yang diperlukan terkumpul.

Secara umum, analisis data dalam kajian ini ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Menentukan siswa yang menjadi responden berdasarkan karakteristik sampel. 2. Hasil rekaman pembicaraan siswa yang menggunakan bahasa Indonesia

(37)

3. Hasil pengamatan terhadap siswa yang melakukan komunikasi, tindakan, aktivitas, peristiwa, ekspresi, dan gerakan siswa.

4. Hasil wawancara terhadap siswa.

(38)

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Peristiwa Kontak Bahasa

Hubungan antara bahasa dan masyarakat dapat dikaji dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Bahasa dalam kajian sosiolinguistik dipandang sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor non kebahasaan, misalnya faktor sosial budaya yang meliputi status sosial, umur, tingkat pendidikan dan jenis kelamin (Suwito, 1983: 2).

Chaer dan Agustina (1995: 4) mengatakan sosiolinguistik yaitu pengkajian bahasa (linguistik) sebagaimana bahasa itu berada dan berfungsi dalam masyarakat (sosiologis). Dengan demikian, sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa itu dalam masyarakat.

(39)

“sosiolinguistik berarti studi interdisipliner yang menganggap masalah-masalah

kebahasaaan dalam hubungannya dengan masalah sosial.

Nababan menambahkan bahwa pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh linguistik dan nonlinguistik, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor situasional. Adapun yang termasuk dalam faktor situasional adalah siapa berbicara dengan siapa, tentang apa, dalam situasi yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa dan ragam bahasa mana, atau disingkat SPEAKING (Dell Hymes dalam Nababan, 1984). Adanya faktor situasional dan sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa maka timbullah variasi bahasa.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dikaji dalam sosiolinguistik meliputi:

a. Hubungan antara pembicara dengan pendengar

b. Macam bahasa beserta variasinya yang berkembang dalam masyarakat

c. Penggunaan bahasa sesuai dengan faktor kebahasaan maupun non kebahasaan termasuk kajian tentang kedwibahasaan.

(40)

Apabila ada dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, maka dapat dikatakan bahasa-bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Sebagai contoh, adanya kontak bahasa antara bahasa Ogan dan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penutur bahasa Ogan. Kontak bahasa terjadi dalam diri penutur. Individu tempat terjadinya kontak bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan peristiwa pemakaian dua bahasa atau lebih secara bergantian oleh seseorang disebut kedwibahasaan (Weinreich dalam Suwito, 1983: 39).

Diebold dalam Suwito (1983: 39) menjelaskan bahwa kontak bahasa itu terjadi dalam situasi konteks sosial, yaitu situasi di mana seseorang belajar bahasa kedua dalam masyarakat. Pada situasi seperti itu dapat dibedakan antara situasi belajar bahasa, proses perolehan bahasa dan orang yang belajar bahasa. Dalam situasi belajar bahasa terjadi kontak bahasa, proses pemerolehan bahasa kedua disebut pendwibahasaan (bilingualisasi) serta orang yang belajar bahasa kedua dinamakan dwibahasawan.

(41)

Berdasar beberapa pendapat seperti di atas, maka jelaslah kiranya bahwa pengertian kontak bahasa meliputi segala peristiwa persentuhan antara beberapa bahasa yang mengakibatkan adanya kemungkinan pergantian pemakaian bahasa oleh penutur yang sama dalam konteks sosialnya, atau kontak bahasa terjadi dalam situasi kemasyarakatan, tempat seseorang mempelajari unsur-unsur sistem bahasa yang bukan merupakan bahasanya sendiri.

2.2Kedwibahasaan

Menurut Suwito (1983: 40), pengertian tentang kedwibahasaan atau bilingual sebagai salah satu dari masalah kebahasaan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh, titik pangkal pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga pandangan tentang kedwibahasawan berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Awalnya Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 115) merumuskan kedwibahasaan sebagai “Native like control of two languages”. Maksudnya,

(42)

Mackey (melalui Chaer dan Agustina, 1995: 115) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Untuk dapat menggunakan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa dengan tingkat yang sama, artinya kemampuan penutur dalam penguasaan bahasa keduanya. Sependapat dengan Mackey, Weinreich (1986: 1) memberi pengertian kedwibahasaaan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian.

Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1983: 41) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowledge of two languages). Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan

tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa.

Oksaar (dalam Suwito, 1985: 42) tidak cukup membatasi kedwibahasaan sebagai milik individu. Kedwibahasaan merupakan masalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antarindividu melainkan sebagai alat penghubung antar kelompok. Oleh karena itu, masalah kedwibahasaan bukan masalah perseorangan tetapi masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa.

2.3Masyarakat Tutur

(43)

isyarat yang sama. Namun batasan itu dianggap terlalu sempit, karena masyarakat modern, banyak yang menguasai lebih dari satu bahasa. Sebaliknya, batasan yang diberikan oleh Labov (dalam Chaer dan Agustina, 1995: 48) mengatakan suatu kelompok orang yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa. Pengertian ini dianggap terlalu luas.

Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaanya (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 1995: 47). Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang.

(44)

Bahasa nasional dan bahasa daerah jelas mewakili masyarakat tutur tertentu dalam hubungan dengan variasi kebahasaan. Sebagai contoh adanya masyarakat bahasa di Indonesia.

2.4Interferensi

Hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan interferensi sangat erat terjadi. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan pemakaian bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Situasi kebahasaan masyarakat tutur bahasa Indonesia sekurang-kurangnya ditandai dengan pemakaian dua bahasa, yaitu bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Situasi pemakaian seperti inilah yang dapat memunculkan percampuran antara bahasa nasional dan bahasa Indonesia. Bahasa ibu yang dikuasai pertama, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemakaian bahasa kedua, dan sebaliknya bahasa kedua juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap pemakaian bahasa pertama. Kebiasaan untuk memakai kedua bahasa lebih secara bergantian disebut kedwibahasaan. Peristiwa semacam ini dapat menimbulkan interferensi.

(45)

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1968: 1) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Penutur yang bilingual adalah penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian, sedangkan penutur multilingual merupakan penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Peristiwa interferensi terjadi pada tuturan dwibahasawan sebagai kemampuannya dalam berbahasa lain.

Weinreich (1968: 1) juga mengatakan bahwa interferensi adalah bentuk penyimpangan penggunaan bahasa dari norma-norma yang ada sebagai akibat adanya kontak bahasa karena penutur mengenal lebih dari satu bahasa. Interferensi berupa penggunaan bahasa yang satu dalam bahasa yang lain pada saat berbicara atau menulis. Di dalam proses interferensi, kaidah pemakaian bahasa mengalami penyimpangan karena adanya pengaruh dari bahasa lain. Pengambilan unsur yang terkecil pun dari bahasa pertama ke dalam bahasa kedua dapat menimbulkan interferensi.

(46)

interferensi adalah penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalam suatu bahasa ciri-ciri masih kentara.

Poedjosoedarmo (1989: 53) menyatakan bahwa interferensi dapat terjadi pada segala tingkat kebahasaan, seperti cara mengungkapkan kata dan kalimat, cara membentuk kata dan ungkapan, cara memberikan kata-kata tertentu, dengan kata lain inteferensi adalah pengaturan kembali pola-pola yang disebabkan oleh masuknya elemen-elemen asing dalam bahasa yang berstruktur lebih tinggi, seperti dalam fonemis, sebagian besar morfologis dan sintaksis, serta beberapa perbendaharaan kata (leksikal).

Dalam proses interferensi, terdapat tiga unsur yang mengambil peranan, yaitu: Bahasa sumber atau bahasa donor, bahasa penyerap atau bahasa resipien, dan unsur

serapan atau importasi. Dalam peristiwa kontak bahasa, mungkin sekali pada suatu

peristiwa, suatu bahasa menjadi bahasa donor, sedangkan pada peristiwa yang lain bahasa tersebut menjadi bahasa resipien. Saling serap adalah peristiwa umum dalam kontak bahasa.

(47)

Interferensi yang terjadi antara bahasa Ogan dalam pemakaian bahasa Indonesia disebabkan adanya pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa tersebut. Interferensi ini bisa terjadi pada lafal, pembentukan kata, pembentukan kalimat, dan kosakata.

Menurut (Suwito, 1983: 59) interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa daerah berlaku saling kontak, artinya unsur bahasa daerah bisa memasuki unsur bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya. Namun, untuk bahasa asing interferensi cenderung hanya secara sepihak, maksudnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resipien dan bahasa asing sebagai bahasa donor. Berikut bagan interferensi antara ketiga bahasa tersebut:

Bahasa Asing Bahasa Daerah

Interferensi menurut Jendra (1991: 106-114) dapat dilihat dari berbagai sudut sehingga akan menimbulkan berbagai macam interferensi antara lain:

1. Interferensi ditinjau dari asal unsur serapan

Kontak bahasa bisa terjadi antara bahasa yang masih dalam satu kerabat maupun bahasa yang tidak satu kerabat. Interferensi antarbahasa sekeluarga disebut dengan penyusupan sekeluarga (internal interference) misalnya interferensi bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Sedangkan interferensi antarbahasa yang

D1 D2 D3 Bahasa

Indonesia A1

(48)

tidak sekeluarga disebut penyusupan bukan sekeluarga (external interference) misalnya bahasa interferensi bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia.

2. Interferensi ditinjau dari arah unsur serapan

Komponen interferensi terdiri atas tiga unsur yaitu bahasa sumber, bahasa penyerap, dan bahasa penerima. Setiap bahasa akan sangat mungkin untuk menjadi bahasa sumber maupun bahasa penerima. Interferensi yang timbal balik seperti itu kita sebut dengan interferensi produktif. Di samping itu, ada pula bahasa yang hanya berkedudukan sebagai bahasa sumber terhadap bahasa lain atau interferensi sepihak. Interferensi yang seperti ini disebut interferensi reseptif.

3. Interferensi ditinjau dari segi pelaku

Interferensi ditinjau dari segi pelakunya bersifat perorangan dan dianggap sebagai gejala penyimpangan dalam kehidupan bahasa karena unsur serapan itu sesungguhnya telah ada dalam bahasa penerima. Interferensi produktif atau reseptif pada pelaku bahasa perorangan disebut interferensi perlakuan atau performance interference. Interferensi perlakuan pada awal orang belajar bahasa

asing disebut interferensi perkembangan atau interferensi belajar. 4. Interferensi ditinjau dari segi bidang.

(49)

tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan bisa pula menyusup pada bidang tata makna (semantik).

Ohoiwutun (2007: 72) mengatakan bahwa gejala interferensi dapat dilihat dalam tiga dimensi kejadian. Pertama, dimensi tingkah laku berbahasa dari individu-individu di tengah masyarakat. Kedua, dari dimensi sistem bahasa dari kedua bahasa atau lebih yang berbaur. Ketiga, dimensi pembelajaran bahasa.

Dimensi pertama, menurut Ohuiwutun (2007: 72-73), “Dari dimensi tingkah laku penutur dengan mudah dapat disimak dari berbagai praktik campur kode yang dilakukan penutur yang bersangkutan.” Dimensi pertama ini terjadi karena murni

rancangan atau model buatan penutur itu sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mentransfer satu atau lebih komponen dari bahasa yang satu untuk dirakit dan diramu dalam konteks bahasa yang lain.

(50)

yang sudah disistemikkan tetapi masih menggunakan bahasa asing, leksikal serapan langsung, dan leksikal bahasa asing yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Dimensi ketiga dalam gejala interferensi yang dikemukakan oleh Ohoiwutun (2007: 74-75) biasanya dinamai interferensi karena pendidikan. Di dalam hal ini dikenal transfer positif dan transfer negatif. Transfer positif terjadi apabila pembelajaran menyesuaikan unsur-unsur yang mirip dan sama dari bahasa kedua atau asing dengan bahasa pertamanya dan menggunakan sistem bahasa yang baru tersebut untuk mempermudah pembelajaran. Sebaliknya, dikatakan transfer negatif terjadi apabila bahasa pertama dan bahasa asing sangat berlainan sehingga hampir tidak memiliki komponen yang semirip sehingga proses pembelajaran semakin rumit.

(51)

2.5Bentuk-Bentuk Interferensi

Jendra (1991: 108) membedakan interferensi menjadi lima aspek kebahasaan, antara lain:

1. interferensi pada bidang sistem tata bunyi (fonologi) 2. interferensi pada tata bentukan kata (morfologi) 3. interferensi pada tata kalimat (sintaksis)

4. interferensi pada kosakata (leksikon)

5. interferensi pada bidang tata makna (semantik)

Menurut Jendra (1991: 113) interferensi pada bidang semantik masih dapat dibedakan lagi menjadi tiga bagian, yakni

1. Interferensi semantik perluasan (semantic expansive interference). Istilah ini dipakai apabila terjadi peminjaman konsep budaya dan juga nama unsur bahasa sumber.

2. Interferensi semantik penambahan (semantic aditif interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul bentuk baru berdampingan dengan bentuk lama, tetapi bentuk baru bergeser dari makna semula.

3. Interferensi semantik penggantian (replasive semantic interference). Interferensi ini terjadi apabila muncul makna konsep baru sebagai pengganti konsep lama.

Huda (1981: 17) yang mengacu pada pendapat Weinrich mengidentifikasi interferensi atas empat macam, yaitu

1. mentransfer unsur suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain,

(52)

3. penerapan unsur-unsur bahasa kedua yang berbeda dengan bahasa pertama, 4. kurang diperhatikannya struktur bahasa kedua mengingat tidak ada equivalensi

dalam bahasa pertama.

Ardiana (1990: 14) membagi interferensi menjadi lima macam, yaitu

1. Interferensi kultural dapat tercermin melalui bahasa yang digunakan oleh dwibahasawan. Dalam tuturan dwibahasawan tersebut muncul unsur-unsur asing sebagai akibat usaha penutur untuk menyatakan fenomena atau pengalaman baru. 2. Interferensi semantik adalah interferensi yang terjadi dalam penggunaan kata

yang mempunyai variabel dalam suatu bahasa.

3. Interferensi leksikal, harus dibedakan dengan kata pinjaman. Kata pinjaman atau integrasi telah menyatu dengan bahasa kedua, sedangkan interferensi belum dapat diterima sebagai bagian bahasa kedua. Masuknya unsur leksikal bahasa pertama atau bahasa asing ke dalam bahasa kedua itu bersifat mengganggu.

4. Interferensi fonologis mencakup intonasi, irama penjedaan dan artikulasi.

5. Interferensi gramatikal meliputi interferensi morfologis, fraseologis dan sintaksis.

Weinreich (1968: 7) membagi interferensi berdasarkan bentuknya, yaitu: 1. interferensi bidang bunyi

2. interferensi bidang gramatika

3. interferensi bidang leksikal atau kosakata

(53)

bahasa ke dalam tuturan bahasa lain dan dalam peminjaman itu ada aspek tertentu yang ditransfer. Hubungan antara bahasa yang dipinjam unsur-unsurnya disebut bahasa sumber, sedangkan bahasa penerima disebut bahasa peminjam. Aspek yang ditransfer dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima disebut aspek importasi, (2) penggantian unsur bahasa dengan padanannya ke dalam suatu tuturan bahasa yang lain, Di dalam penggantian ada yang dinamakan dengan substitusi, yakni aspek dari suatu bahasa yang disalin ke bahasa lain, (3) penerapan hubungan ketatabahasaan bahasa A ke dalam morfem bahasa B juga dalam kaitan tuturan bahasa B, atau pengingkaran hubungan ketatabahasaan bahasa B yang tidak ada modelnya dalam bahasa A, dan (4) perubahan fungsi morfem melalui jati diri antara satu morfem bahasa B tertentu dengan morfem bahasa A tertentu, yang menimbulkan perubahan (perluasan maupun pengurangan) fungsi-fungsi morfem bahasa B berdasarkan tata bahasa A.

Irwan (2006: 18), menyatakan dari segi sifatnya interferensi dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) interferensi aktif, (2) interferensi pasif, dan (3) interferensi varisional. Inteferensi aktif adalah adanya kebiasaan dalam berbahasa daerah dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia; yang bersifat pasif adalah penggunaan beberapa bentuk bahasa daerah oleh bahasa Indonesia karena dalam bahasa Indonesia tidak ada; interferensi varisional adalah kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa Indonesia.

(54)

dan (5) interferensi semantik. Peristiwa interferensi dapat terjadi dalam bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata kata, dan tata makna. Macam-rnacam interferensi yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah interferensi morfologi dan interferensi sintaksis.

Suwito (1983: 55) mengemukakan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikal (kosakata).

Selain itu, Poedjosoedarmo (1978: 36) membagi interferensi berdasarkan segi sifatnya, menjadi 3 macam yaitu: interferensi aktif, interferensi pasif, dan interferensi variasional. Interferensi aktif adalah kebiasaan dalam berbahasa daerah dipindahkan ke dalam bahasa Indonesia, interferensi pasif adalah penggunaan beberapa bentuk bahasa dan pola bahasa daerah, sedangkan interferensi variasional adalah kebiasaan menggunakan ragam tertentu ke dalam bahasa Indonesia.

2.5.1 Interferensi Morfologi

Morfologi adalah cabang tata bahasa yang menelaah struktur atau bentuk kata, utamanya melalui penggunaan morfem (Crystal dalam Ba‟dulu, 2004: 1). Morfem

adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna (Chaer, 1994: 146). Contoh kata [berhak], terdiri dari dua morfem [ber] dan [hak].

(55)

mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti kata. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa morfologi mempelajari seluk-beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatik maupun fungsi semantik.

Kata Morfologi berasal dari kata morphologie. Kata morphologie berasal dari bahasaYunani morphe yang digabungkan dengan logos. Morphe berarti bentuk dan dan logos berarti ilmu. Bunyi [o] yang terdapat diantara morphe dan logos ialah bunyi yang biasa muncul diantara dua kata yang digabungkan. Jadi, berdasarkan makna unsur-unsur pembentukannya itu, kata morfologi berarti ilmu tentang bentuk.

Dalam kaitannya dengan kebahasaan, yang dipelajari dalam morfologi ialah bentuk kata. Selain itu, perubahan bentuk kata dan makna (arti) yang muncul serta perubahan kelas kata yang disebabkan perubahan bentuk kata itu, juga menjadi objek pembicaraan dalam morfologi. Dengan kata lain, secara struktural objek pembicaraan dalam morfologi adalah morfem pada tingkat terendah dan kata pada tingkat tertinggi. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa morfologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk kata (struktur kata) serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap makna (arti) dan kelas kata.

(56)

Menurut Suwito (1983: 55) interferensi morfologi dapat terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Afiks suatu bahasa digunakan untuk membentuk kata dalam bahasa lain, Sedangkan afiks adalah morfem imbuhan yang berupa awalan, akhiran, sisipan, serta kombinasi afiks. Dengan kata lain afiks bisa memempati posisi depan, belakang, tengah bahkan di antara morfem dasar (Ramlan, 1985: 63). Dalam bahasa sering terjadi penyerapan afiks ke-, ke-an, misalnya kata ketabrak, kelanggar dsb. Bentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah. Bentukan dengan afiks-afiks seperti ini sebenarnya tidak perlu, sebab dalam bahasa sudah ada padanannya berupa afiks ter-. Persentuhan unsur kedua bahasa itu menyebabkan perubahan sistem bahasa, yaitu perubahan pada struktur kata bahasa yang bersangkutan.

Interferensi morfologis terjadi apabila dalam pembentukan kata, suatu bahasa menyerap afiks bahasa lain (Suwito dalam Harijatiwidjaja, 1995: 10). Dalam bahasa Indonesia, misalnya, sering terjadi penyerapan afiks dari bahasa daerah, seperti kebesaran, kemurahan, sungguhan, kepukul, dihabisin, dan dibayangin.

Pembentukan kata tersebut berasal dari bentuk dasar bahasa Indonesia + afiks bahasa daerah.

(57)

Chaer (1999: 66) Interferensi morfologi merupakan interferensi yang terjadi dalam pembentukan kata, leksikal, dan frase. Pembentukan kata, contohnya, legalisasi, premanisme, pascasunami, dan ekspress. Pembentukan leksikal yaitu penggunaan

kata asing, baik sudah ada padanannya maupun belum ada padanannya. Contohnya internet, florist, mouse, collection, dan fashion. Pembentukan frase sangat sering terjadi dalam penulisan nama badan usaha swasta. Interferensi ini, misalnya, dalam bahasa Indonesia menggunakan struktur DM (Diterangkan Menerangkan) sementara bahasa Inggris menggunakan struktur MD (Menerangkan Diterangkan).

Afiksasi menurut Samsuri (1985: 190), adalah penggabungan akar kata atau pokok

dengan afiks. Afiks ada tiga macam, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Karena letaknya yang selalu di depan bentuk dasar, sebuah afiks disebut awalan atau prefiks.

Afiks disebut sisipan (infiks) karena letaknya di dalam kata, sedangkan akhiran (sufiks)

terletak di akhir kata. Penjabaran dari afiksasi tersebut sebagai berikut.

1. Prefiks (Awalan) a. Prefiks be(R)-

Prefiks be(R)- memiliki beberapa variasi. Be(R)- bisa berubah menjadi be- dan bel-. be(R)- berubah menjadi be- jika

1) kata yang dilekatinya diawali dengan huruf r dan

2) suku kata pertama diakhiri dengan er yang di depannya konsonan. a) be(R)- + renang berenang .

b) be(R)+ ternak — beternak

c) be(R)+kerja -- bekerja

b. Prefiks me (N)-

1) Prefiks me(N)- mempunyai beberapa variasi, yaitu me(N)- yaitu mem-, men-, meny-,meng-, menge-, dan me-. Prefiks me(N)- berubah menjadi mem- jika bergabung dengan kata yang diawali huruf /b/, /f/, /p/, dan /v/, misalnya, me(N)- + baca →membaca,me(N)- + pukul memukul.

(58)

mendata, me(N)- + tulis menulis, me(N)- + jadi menjadi, dan me(N)- + cuci →mencuci.

3) Prefiks me(N)- berubah menjadi meny- jika bergabung dengan kata yang diawali oleh huruf /s/, misalnya, me(N)- + sapu → menyapu.

4) Prefiks me(N)- berubah menjadi meng- jika bergabung dengan kata yang diawali dengan huruf /k/ dan /g/, misalnya, me(N)- + kupas mengupas dan me(N)- + goreng menggoreng.

5) Prefiks me(N)- berubah menjadi menge- jika bergabung dengan kata yang terdiri dari satu suku kata, misalnya, me(N)- + lap → mengelap, me(N)- +

bommengebom, dan me(N)- + bor mengebor.

c. Prefiks pe (R)-

1) Prefiks pe(R)- merupakan nominalisasi dari prefiks be(R). Perhatikan contoh berikut!

a) Berawat→ perawat

b) Bekerja → pekerja.

2) Prefiks pe(R)- mempunyai variasi pe- dan pel-. Prefiks pe(R)- berubah menjadi pe jika bergabung dengan kata yang diawali huruf r dan kata yang suku katanya berakhiran er, misalnya, pe(R)- + rawat perawat dan pe(R)- + kerjapekerja.

3) Prefiks pe(R)- berubah menjadi pel- jika bergabung dengan kata ajar, misalnya, pe(R)- + ajar→ pelajar.

d. Prefiks pe(N)-

1) Prefiks pe(N)- mempunyai beberapa variasi. Prefiks pe-(N)- sejajar dengan prefiks me(N)-. Variasi pe(N)- memiliki variasi pem-, pen-, peny-, peng-, pe-, dan penge-.

(59)

e. Prefiks te(R)-

Prefiks te(R)- mempunyai beberapa variasi, yaitu ter- dan tel-, misalnya, terbaca, ternilai, tertinggi, dan telanjur.

2. Infiks (Sisipan)

Infiks termasuk afiks yang penggunaannya kurang produktif. Infiks dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga macam: -el-, -em-, dan –er-.

a. infiks -el-, misalnya, geletar;

b. infiks -er-, misalnya, gerigi, seruling; dan c. infiks -em-, misalnya, gemuruh, gemetar 3. Sufiks (Akhiran)

Sufiks dalam bahasa Indonesia mendapatkan serapan asing seperti wan, wati, man. Adapun akhiran yang asli terdiri dari –an, -kan, dan –i.

a. sufiks -an, misalnya, dalam ayunan, pegangan, makanan; b. sufiks -i, misalnya, dalam memagari memukuli, meninjui;

c. sufiks -kan, misalnya, dalam memerikan, melemparkan; dan d. sufiks -nya, misalnya, dalam susahnya, berdirinya.

4. Konfiks

Konfiks adalah “gabungan afiks yang berupa prefiks (awalan) dan sufiks

(akhiran) yang merupakan satu afiks yang tidak terpisah-pisah. Artinya, afiks gabungan itu muncul secara serempak pada morfem dasar dan bersama-sama membentuk satu makna gramatikal pada kata bentukan itu” (Keraf, 1984: 115). Berikut ini konfiks yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

a. konfiks pe(R)-an misalnya, dalam perbaikan, perkembangan, b. konfiks pe(N)-an misalnya, dalam penjagaan, pencurian, c. konfiks ke-an misalnya, kedutaan, kesatuan,

(60)

2.6Morfologi Bahasa Ogan

R.M. Arif, Sutari Harifin, Abdul Majid, Baharudin Nur, Gunawan (1984, 12-63) meliputi (1) fonem bahasa Ogan, (2) ejaan yang dipakai, (3) morfem, (4) morf dan alomorf, (5) wujud morfem, (6) jenis morfem, (7) proses morfologis, (8) proses morfofonologis, (9) fungsi dan makna morfem, serta (10) golongan kata. Untuk jelasnya dapat dilihat pada paparan berikut ini.

2.6.1 Fonem Vokal

Fonem vokal bahasa Ogan terdiri dari /i/, /e/, /è/, /ê/, /a/, /u/, /o/, /O/. Fonem-fonem itu tampak dalam distribusi fonem berikut.

Contoh: /i/ ikaq „ini‟ /e/ encer „cair‟ /è/ ènam „enam‟ /ê/ ape „apa‟ /a/ tana „tanah‟ /u/ umban „jatuh‟ /o/ ola „pernah‟ /O/ Ola „kerja‟

2.6.2 Fonem Konsonan

Fonem konsonan bahasa Ogan terdiri dari /p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, /o/, /h/, /s/, /c/, /j/, /r/, /m/, /n/,/ń/, /ŋ/, /l/, /w/, /y/.

1. Fonem konsonan: /p/, /t/, /k/, /s/, /r/, /m/, /n/, /ŋ/, /l/, /w/, /y/ terdapat pada semua kedudukan.

2. Fonem konsonan; /b/, /d/, /g/, /h/, /c/, /j/, /ń/ hanya terdapat pada kedudukan awal dan tengah, dan

(61)

2.6.3 Jenis Morfem

Jenis morfem bahasa Ogan bermacam-macam sesuai dengan dasar pembagiannya. Berdasarkan banyak alomorfnya, morfem dibagi menjadi morfem beralomorf satu dan morfem beralomorf lebih dari satu.

1. Morfem Beralomorf Satu

Yang dimaksud dengan morfem beralomorf satu ialah morfem yang hanya mempunyai satu alomorf. Dengan kata lain, baik morfem maupun alomorf itu mempunyai wujud fonologis yang sama.

Contoh:

di- „di-‟ mempunyai alomorf di- tē- „ter-„ mempunyai alomorf tē- ke- „-kan‟ mempunyai alomorf -kan

2. Morfem Beralomorf Lebih dari Satu

Yang dimaksud dengan morfem beralomorf lebih dari satu ialah morfem yang mempunyai beberpa alomorf.

Contoh:

ngē- „mē-„ mempunyai alomorf n-, ny-, ng-, m-, dan Ø. pē- „pe-‟ mempunyai alomorf pēn-, pēny-, pēng-, dan pēm.

3. Morfem Bebas

Morfem bebas dalam bahasa ogan ialah morfem yang mempunyai kemampuan dapat berdiri sendiri sebagai kata.

Contoh:

uma „rumah‟

(62)

umè „sawah‟

pandak „pendek‟

4. Morfem Terikat Morfologis

Dalam bahasa Ogan, morfem terikat morfologis terdiri dari morfem imbuhan dan morfem perulangan. Morfem imbuhan terbagi menjadi (1) Awalan, (2) sisipan, (3) Akhiran, dan (4) imbuhan terpisah atau konfiks.

(1) Awalan

Awalan bahasa Ogan ada delapan, yaitu bē-, ngē-, pē-, kē-, tē-, sē-, dan ku-

a) bē-, „ber-‟ Contoh:

bēbala „berkelahi‟

bēlinjangan „berpacaran‟ b) ngē-, „me-‟

Contoh:

ngakor „mengukur‟

nyapu „menyapur‟

c) pē-, „pe-‟ contoh:

pēmanceng pengail‟ pēngekes pengikis‟ d) kē-, „ke-‟

contoh:

kētue „ketua‟

kēndak „kehendak‟

e) tē-, „ter‟ Contoh:

tētawe „tertawa‟

tēlio „terlincir‟ f) sē-, „se-„

Contoh:

sēuma „serumah‟

sēsodong „sepondok‟

g) ku-, „ku-„ Contoh:

kucoba „kucoba‟

(63)

(2) Akhiran

Akhiran dalam bahasa Ogan ada empat, yaitu –i, -ke, -an, dan –e. a) –i, „i‟

Contoh:

namèi „namai‟

tolesi „tulisi‟

b) -ke, „kan‟ Contoh:

angkatkè „angkatkan‟ potekè „putihkan‟ c) -an, „an‟

Contoh:

koboran „kuburan‟

atosan „ratusan‟

d) –e, „nya‟ Contoh:

tinggiè „puluhan‟

manesè „manisnya‟

(3) Sisipan

Sisipan dalam bahasa Ogan ada tiga, yaitu –ēl-, -ēr, dan –ēm-. a) -ēl-, „–ēl-„

Contoh:

kēlinyar „pusing selalu‟

tēlenjok „telunjuk‟

b) -ēr, „-ēr‟ Contoh:

gērontom „bunyi berat‟

gērigi „gerigi

c) -ēm- „-ēm-„ Contoh:

gēmoro „gemuruh‟

gēmetar „gemetar‟

(4) Imbuhan Terpisah

Imbuhan terpisah dalam bahasa Ogan ada dua, yaitu ke….an, dan pe….an.

a) ke….an„ke….an‟

Contoh:

(64)

kēangatan „kepanasan‟

kēkēcilan „kekecilan‟

b) pe….an„pe….an‟

Contoh:

pēngabesan „penghabisan‟

pēmancaan „penebasan‟

pēnonoan „pembakaran‟

(5) Perulangan

Morfem terikat morfologis dalam bentuk morfem perulangan dalam bahasa Ogan, misalnya.

wang-wang „orang-orang‟ abes-abes „habis-habis‟

kēlimē-limēnyē„kelima-limanya‟

2.6.4 Proses Morfologis

Proses morfologis dalam bahasa Ogan adalah (1) pengimbuhan, (2) perulangan, dan (3) persenyawaan.

1. Pengimbuhan

Pengimbuhan dalam bahasa Ogan ada empat jenis yaitu (1) awalan, (2) sisipan, (3) akhiran, dan (4) imbuhan terpisah (konfiks).

a. Awalan

1) Awalan be- Contoh:

ijok „ijuk‟  bēijok„berijuk‟

gawè „kerja‟  bēgawè„bekerja‟

racon „racun‟  bēracon„beracun‟

2) Awalan nge- Contoh:

eres „iris‟  ngeres „mengiris‟

bēli „beli‟  mēli „membeli‟

(65)

3) Awalan pe- Contoh:

Ola „olah‟  pēngOla„pengolah‟

bēsO „besar‟  pēmēsO„pembesar‟ jagē „jaga‟  pēnyagē„penjaga‟

4) Awalan di- Contoh:

alau „halau‟  dialau „dihalau‟

ēnjok „beri‟  diēnjok„diberi‟

roro „urus‟  diroro „diurus‟

5) Awalan ke- Contoh:

tue „tua‟  kētuè„ketua‟

ēndak „hendak‟  kèndak „kehendak‟

6) Awalan se- Contoh:

ikOk „ekor‟  sikOk „seekor‟

bapok „bapak‟  sēbapok „sebapak‟

sodong „pondok‟  sēsodong„sepondok‟

7) Awalan tē- Contoh:

isap „hisap‟  tēisap„terhisap‟

enjok „beri‟  tēēnjok„terberi‟

pokal „pukul‟  tēpokol„terpukul‟

8) Awalan ku- Contoh:

baso „cuci‟  kubaso „kucuci‟

pacol „cangkul‟  kupacol „kucangkul‟

bacē „baca‟  kubacē„kubaca‟

b. Akhiran 1) Akhiran -i

Contoh:

kompol „kumpul‟  kompoli „kumpuli‟

jagè „jaga‟  jagèi „jagai‟

(66)

2) Akhiran –an Contoh:

bosek „main‟  bosekan „mainan‟

cēlop „celap‟  celopan „celapan‟

sangkot „sangkut‟  sangkotan „sangkutan‟

3) Akhiran –ke Contoh:

pote „putih‟  potekè „putihkan‟

gunè „guna‟  gunèkè „gunakan‟

rèla „rela‟  relakè „relakan‟

4) Akhiran -e Contoh:

tinggi „tinggi‟  tinggiè „tingginya‟

manes „manis‟  manesè „manisnya‟

sēde „sedih‟  sēdeè „tingginya‟

c. Sisipan

Sisipan dalam bahasa Ogan ada tiga macam, yaitu -ēl, -ēr, dan -ēm, yang ditulis serangkai di tengah bentuk dasar yang menyertainya.

1) Sisipan -ēl Contoh:

kenyar „pening‟  kēlinyar„pening selalu‟ tonjok „tunjuk‟  tēlonjok „telunjuk‟ tapak „tapak‟  tēllapan „telapak‟

2) Sisipan -ēr Contoh:

gigi „gigi‟  gerigi „gerigi‟

godak „goyang‟  gerodak „bunye benda yang bergerak‟

3) Sisipan –ēm Contoh:

goro „guruh‟  gemoro „gemuruh‟

getar „getar‟  gemetar „gemetar‟

gerenceng „suara benda keras bersentuhan‟  gemerenceng

(67)

d. Imbuhan Terpisah (konfiks)

Imbuhan terpisah ditulis secara serentak dengan bentuk dasar yang menyertainya. Beberapa imbuhan terpisah dalam bahasa Ogan yaitu ke...an dan pe...an.

1) Imbuhan terpisah ke...an Contoh:

paet „pahit‟  kepaetan „kepahitan‟ luat „benci‟  keluatan „kebencian‟ pecek „ sempit‟  kepecekan „kesempitan‟ 2) Imbuhan terpisah pe...an

Contoh:

kapo „kapur‟  pengapoan „pengapuran‟ gawe „kerja‟  pegawean „pekerjaan‟ idop „kapur‟  pengidopan „penghidupan‟

2. Perulangan

Perulangan dalam bahasa Ogan terdiri dari perulangan seluruhnya, perulangan yang berkombinasi dengan pengimbuhan, perulangan dengan penggantian fonem. a. Perulangan Seluruhnya

Contoh:

uma „rumah‟  uma-uma „rumah-rumah‟ wang „orang‟  wang-wang „orang-orang‟ tue „tua‟  tue-tue „tua-tua‟

b. Perulangan yang Berkombinasi dengan Pengimbuhan Contoh:

takot „takut‟  nakot-nakoti „menakut-nakuti‟

totoq ‘pukul‟  natoq-natoqke „memukul-mukulkan‟

c. perulangan dengan penggantian fonem Contoh:

(68)

3. Persenyawaan

Persenyawaan atau kata majemuk dalam bahasa Ogan dibagi menurut sifat, makna, dan strukturnya, yaitu kata majemuk sederajat, kata majemuk tidak sederajat, kata majemuk konstuksi morfologis, dan kata majemuk unik.

a. Kata Majemuk Sederajat

1) Kata Majemuk Bertentangan (Perlawanan) contoh:

tue mude „tua muda‟

itam pote „hitam putih‟

2) Kata Majemuk Kumpulan contoh:

adek kakak adik kakak‟

embok bapok „ibu bapak‟

3) Kata Majemuk Setara

lema lembot „lemah lembut‟

budi base „budi bahasa‟

b. Kata Majemuk Tidak Sederajat

1) Kata Majemuk Hubungan Unsurnya Jelas Contoh:

atap daon „atap daun‟

sodong kayu „pondok kayu‟

2) Kata Majemuk yang Luluh Arti Katanya; Contoh:

materai „matahari‟

kaki tangan „mata-mata

mate kaki „mata kaki‟

c. Kata Majemuk Konstuksi Morfologis 1) Kata Majemuk Kata Dasar

Contoh:

bujang tue „bujang tua‟

(69)

2) Kata Majemuk Pengimbuhan Contoh:

melelet pinggang „banyak hutang‟

ngOnOt batangaray „menganak sungai‟

3) Kata Majemuk Perulangan Contoh:

uma-uma soket „rumah-rumah tua‟

mesem-mesem toles „mesin-mesin tulis‟ d. Kata Majemuk Unik

Kata majemuk unik adalah kata majemuk yang salah satu unsurnya terjadi dari morfem yang hanya dapat berhubungan dengan morfem tertentu.

Contoh:

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi pada jaringan IP lebih dikenal dengan nama Voice over Internet Protocol (VoIP) adalah pengembangan dari komunikasi via PTSN ( Public Switch Telephone Network

[r]

Fewer microfungi and fewer fungal species (not sta- tistically significant) were found 2 years after adding pine sawdust to formerly agricultural soil left fallow for 3 and 6 years

Keunt ungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok t ersedia unt uk..

In this paper we report on %G+C profiling and community DNA cross hybridisation to determine the genetic composition of soil microbial communities under upland grasslands

- Kasubbid Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan Daerah - Kasi Pembenihan, Sarana Prasarana

Penulis memiliki minat dibidang hidrodinamika dan operasi struktur lepas pantai sehingga tugas akhir yang diambil berjudul “Analisia Kinerja Floating Crane Vessel saat

Jenis data yang diperlukan untuk menjawab sejauh mana tradisi payango ini berpengaruh terhadap penentuan tata letak pintu utama pada sebuah rumah tinggal