PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN TERHADAP PENINGKATAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DENGAN
PENAGIHAN PAJAK SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong)
Disusun Oleh: Tri Suryanti NIM: 108082000015
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
iii
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Tri Suryanti
2. Tempat & Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Agustus 1990
3. Alamat : Jl.Prof Dr.Hamka RT.002/RW.010
No.27 Kel.Gaga Kec.Larangan
KotaTangerang
4. Telpon : 085697999080
5. E-mail : triesur@yahoo.com
II. PENDIDIKAN
1. SD (1996-2002) : SDN 09 Larangan Utara
2. SMP (2002-2005) : SMP Negeri 11 Tangerang
3. SMA (2005-2008) : SMA Negeri 101 Jakarta Barat
4. S1 (2008-2013) : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
III. PENGALAMAN ORGANISASI 1. Pramuka (1999-2001)
2. Keputrian (2005-2006)
vii
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Tukiman
2. Tempat, Tanggal Lahir : Gunung Kidul, 18 Juni 1957
3. Ibu : Aminah
4. Tempat, Tanggal Lahir : Solo, 19 Mei 1961
5. Alamat : Jl.Prof Dr.Hamka RT.002/RW.010
No.27 Kel.Gaga Kec.Larangan
KotaTangerang
viii
INFLUENCE OF THE LEVEL OF INSTITUTION OF THE TAX
COMPLIANCE TO THE INCREASE OF TAX REVENUE WITH TAX COLLECTION AS MODERATING VARIABLE
ABSTRACT
This study examined the influence of the level of institution of the tax compliance to increase of the tax revenue with tax collection as moderating variable. The population in this study were of the intitutions the tax that listened in the Tax Office Pratama Serpong. Samples in this study are taken from 2008-2011. The method of determining the sample was judgement sampling method, while the data processing methods used by researcher was moderate regresion analysis.
The result shows that the level of institutian of the tax compliance significantly influence the increase of the tax revenue, and tax collection can not be a moderating variable for level of institution of the tax compliance.
ix
PENGARUH TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN TERHADAP PENINGKATAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DENGAN
PENAGIHAN PAJAK SEBAGAI VARIABEL MODERATING
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak badan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan dengan penagihan pajak sebagai variabel moderating. Populasi dalam penelitian ini adalah wajib pajak badan yang terdaftrar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong. Sampel yang digunakan adalah sampel dari tahun 2008-2011. Metode penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah judgement sampling, sedangkan metode pengolahan data yang digunakan peneliti adalah analisis regresi moderate. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak badan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan dan penagihan pajak tidak bisa menjadi variabel moderating bagi tingkat kepatuhan wajib pajak badan tersebut.
x
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim.
Assalammualaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan PenerimaanPajak Penghasilan Dengan
Penagihan Pajak SebagaiVariabel Moderating Pada Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Di Tangerang”. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, juga kepada keluarga, sahabat dan ummatnya yang senantiasa
mengikuti jejak dan langkah beliau sampai hari akhir nanti, amiin.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Kedua orang tuaku tercinta yang telah dan selalu memberikan dukungan tiada
henti, baik berupa doa maupun finansial serta kasih sayang yang berlimpah
kepada penulis untuk terus tetap semangat.
2. Kakak dan kakak iparku, Listyowati, Abdi Surono, Muhammad Reza, dan
Destia Dwiyanti. Terima kasih atas segala pelajaran, motivasi, serta cinta dan
kasih sayangnya kepada penulis.
3. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Dr. Rini, SE., Ak., M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Hepi Prayudiawan, SE., Ak., MM selaku Sekretaris Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Bapak Dr. Amilin, SE., Ak., M. Si, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan banyak masukan,
xi
7. Bapak Afif Sulfa, SE.,Ak.,M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah
bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan banyak
masukan kepada penulis selama menyusun skripsi.
8. Seluruh staf pengajar yang telah memberikan ilmunya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak/Ibu.
9. Seluruh jajaran karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, terimakasih atas
bantuan, perhatian dan pelayanan yang diberikan.
10. Ibu Widiastiwi selaku Kepala Sub Bagian Umum KPP Pratama Serpong yang
telah memberikan izin penelitian, sehingga peneliti bisa melaksanakan
penelitian di kantor tersebut.
11. Bapak Zamroni selaku Staff Fungsional Pengolahan Data dan Informasi
(PDI), serta Bapak Yogi dan Bapak Elon selaku Staff Penagihan Pajak KPP
Pratama Serpong yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan
data.
12. Mudhaffar, terimakasih selama ini telah memberikan dukungan, perhatian
dan kasih sayang penuh kepada penulis.
13. Sahabatku Mumun Mulyani dan Listyana. Terimakasih atas doa serta
dukungan yang telah tercurahkan kepada penulis.
14. Sahabat seperjuanganku “The U”; Siti Zakiah, Tania Kautsarrahmelia, Tisha Kartika Fitriyani, Yulfa Zailia, dan Yuni Ersa Syaiful. Terimakasih atas
dukungan dan segala canda tawa dalam suka maupun duka yang telah kalian
bagi selama ini.
15. Teman-teman seperjuanganku Akuntansi Perpajakan, Audit dan Manajemen
khususnya Akuntansi A. Terimakasih atas kebersamaan yang menyenangkan
dan kekeluargaan yang terjalin.
16. Serta semua teman-teman penulis yang belum disebutkan diatas, terimakasih
xii
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak.
Jakarta, 23 Juli 2013
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJI KOMPREHENSIF ... iii
LEMBAR PENGESAHAN UJI SKRIPSI ... iv
SURAT PERNYATAAN ... v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
ABSTRACT ... viii
ABSTRAK ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Perumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1. Tujuan Penelitian ………... 8
xiv
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Tinjauan Literatur... ... 10
1. Definisi Pajak ... 10
2. Jenis-jenis Pajak ……… 12
3. Cara Pemungutan Pajak ……… 14
4. Sistem Pemungutan Pajak ………. 15
5. Pajak Penghasilan ……….. 16
6. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak ... 22
7. Penagihan Pajak ... 29
8. Peningkatan Penerimaan Pajak ... 37
B. Penelitian Sebelumnya ... 38
C. Kerangka Berpikir ... 42
D. Hipotesis ... 44
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47
A. Ruang Lingkup Penelitian ... 47
B. Metode Penentuan Sampel ... 47
C. Metode Pengumpulan Data ... 48
D. Metode Analisis Data ... 49
1. Statistik Deskriptif ……….. 49
2. Uji Asumsi Klasik ………... 49
xv
E. Operasionalisasi Variabel dan Pengukurannya ... 53
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
A. Sekilas Gambaran Umum Objek Penelitian ... 56
1. Sejarah Singkat & Perkembangan KPP Pratama Serpong .. 56
2. Visi dan Misi KPP Pratama Serpong ... 57
3. Tugas Pokok dan Fungsi KPP Pratama Serpong ... 58
4. Struktur Organisasi KPP Pratama Serpong ... 59
B. Hasil Analisis dan Pembahasan ... 62
1. Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 62
2. Hasil Uji Asumsi Klasik ... 63
a. Uji Normalitas ... 63
b. Uji Multikolonieritas ... 64
c. Uji Autokorelasi ... 65
d. Uji Heteroskedastisitas ... 66
3. Hasil Uji Hipotesis ... 67
a. Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 67
b. Hasil Uji Statistik t ... 68
4. Interpretasi Hasil ………...……….. 69
BAB V PENUTUP……….... 72
A. Kesimpulan ... 72
xvi
C. Keterbatasan ……….. 74
D. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76
xvii
DAFTAR TABEL
No Keterangan Halaman
2.1 Penelitian Terdahulu ... 38
3.1 Operasional Variabel Penelitian ... 54
4.1 Hasil Uji Statistik Deskriptif ... 61
4.2 Hasil Uji Multikolonieritas ... 63
4.3 Hasil Uji Autokorelasi ... 64
4.4 Hasil Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 66
xviii
DAFTAR GAMBAR
No Keterangan Halaman
1.1 Kerangka Pemikiran ... 44
1.1 Struktur Organisasi KPP Pratama Serpong ... 58
1.2 Hasil Uji Normalitas Menggunakan Grafik P-Plot ... 62
xix
DAFTAR LAMPIRAN
No Keterangan Halaman
1. Surat Penelitian Skripsi…... 80
2. Surat Keterangan Hasil Penelitian ... 83
3. Data Olahan ………... 85
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Peran penerimaan pajak sangat penting bagi pembangunan, karena
pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang paling utama dari
dalam negeri untuk mendanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Dimana dalam APBN 2012, target penerimaan Negara diputuskan
naik menjadi Rp 1.032,6 triliun atau naik Rp 2 triliun dibandingkan dengan
RAPBN 2012 yang sebesar Rp 1.019,3 triliun. Target penerimaan pajak
tersebut juga naik 17,51% dibandingkan dengan APBN-Perubahan 2011 yang
sebesar Rp 878,7 triliun (Malik, 2011: Indonesia Finance Today). Untuk
menjamin hal tersebut, kepatuhan wajib pajak merupakan salah satu kunci
keberhasilan Pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak di Indonesia.
Namun, dalam rangka mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak tersebut
maka, harus dilakukan suatu tindakan yang tegas dari pihak Pemerintah salah
satunya yaitu meningkatkan pula pelaksanaan penagihan pajak.
Dalam APBN pemerintah memenuhi kebutuhan dana dengan
mengandalkan dua sumber pokok, yaitu sumber dana luar negeri dan sumber
dana dalam negeri. Sumber dana luar negeri misalnya pinjaman luar negeri
dan hibah (grant), sedangkan sumber dana dalam negeri misalnya penjualan
migas dan non migas serta pajak. Untuk menjadi bangsa yang mandiri,
2 perkembangannya pajak merupakan komponen utama penerimaan dalam
negeri. Hal ini nampak dari terus meningkatnya proporsi penerimaan pajak
terhadap total APBN. Pajak memberikan kontribusi sebesar 80 persen dari
seluruh penerimaan negara (Agusti dan Herawaty, 2009:2).
Sistem pemungutan pajak yang pernah dilaksanakan di Indonesia ada 3
(tiga) yaitu Official Assessment System, Self Assessment System dan With
Holding System. Dari ketiga sistem tersebut mempunyai ciri dan karakteristik
yang berbeda-beda. Dimana Official Assessment System lebih menekankan
inisiatif pihak fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang, Self
Assessment System lebih memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk
melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya sendiri, sedangkan With
Holding System lebih menekankan kepada pihak ketiga selain fiskus dan wajib
pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang.
Sejak tahun 1984 telah diberlakukan sistem self assessment system
dalam perpajakan Indonesia, yang memberikan kepercayaan penuh kepada
wajib pajak (WP) untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan
melaporkan sendiri atas kewajiban pajaknya. Sistem perpajakan ini sangat
memerlukan kejujuran dari WP dalam menghitung pajak terutang dan dibayar
melalui pengisisan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Dalam pelaksanaan
undang-undang perpajakan, fungsi pengawasan sekaligus pembinaan
merupakan konsekuensi dari pemberian kepercayaan kepada wajib pajak
tersebut. Selain itu Direktorat Jenderal Pajak juga melakukan upaya
3 perpajakan. Sebagai perwujudan bentuk pengawasan dan pembinaan,
kegiatan pemeriksaan pajak dilaksanakan dari waktu ke waktu dan
berkesinambungan (Salip dan Tendy Wato, 2006:2).
Dalam sistem yang menekankan keaktifan wajib pajak ini memerlukan
tax compliance (kepatuhan perpajakan). Tax compliance tersebut sangat
dibutuhkan untuk mengoptimalkan penerimaan pajak di Indonesia. Namun,
lebih dari itu tax compliance dapat dikatakan sebagai tulang punggung self
assessment system dimana dibutuhkan suatu kerelaan dari wajib pajak itu
sendiri untuk melaksanakan kewajibannya sehingga sistem tersebut dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (Dahliana Hasan, 2008:1).
Dalam Dahliana Hasan (2008:2) dikatakan bahwa masalah kepatuhan
dalam perpajakan terutama dalam sistem self assessment ini sangatlah
penting. Hal ini dikarenakan sistem tersebut juga membuka peluang
dilakukannya kecurangan-kecurangan oleh para wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajaknnya. Kecurangan tersebut dapat dikategorikan menjadi
dua yaitu perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Perlawanan tersebut timbul
karena pada dasarnya tidak ada orang yang rela membayar pajak. Bahkan
dalam suatu artikel dikatakan bahwa pajak di Indonesia masih dianggap
momok meskipun telah dilakukannya reformasi perpajakan sejak tahun 1983.
Padahal dengan adanya sistem yang baru, kesadaran untuk memenuhi
kewajiban perpajakannya seharusnya sudah menginternalize dalam diri wajib
pajak.
Dalam kondisi tersebut keberadaan self assessment system
memungkinkan Wajib Pajak untuk melakukan kecurangan pajak. Tanpa
4 instansi pajak, maka ketidakpatuhan Wajib Pajak tersebut dapat berkembang
sedemikian rupa sehingga bisa mencapai suatu tingkat dimana sistem
perpajakan akan menjadi lumpuh (Agusti, et al. 2009:2).
Sistem self assessment tersebut membutuhkan kepatuhan sukarela dari
Wajib Pajak yang diwujudkan jika terpenuhinya unsur kesadaran perpajakan
dan unsur tindakan penegakan hukum. Namun melihat kurangnya kesadaran
bahwa dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, terkadang Wajib Pajak
memiliki suatu utang pajak yang belum dibayar. Untuk mengatasi hal
tersebut maka Direktorat Jenderal Pajak melakukan upaya penagihan pajak.
Sebagai contoh, kasus mengenai 100 penunggak pajak terbesar pada
tahun 2010. Pemberitaan mengenai para penunggak pajak ini dimulai ketika
DPR melakukan rapat dengar pendapat dengan Ditjen pajak yang membahas
mengenai penerimaan pajak dan tunggakan pajak. Tidak lama setelah rapat
dengar pendapat tersebut DPR melakukan konferensi pers terkait rapat
tersebut. Dalam konferensi pers tersebut akhirnya salah satu data yang
dikeluarkan oleh DPR adalah data 100 penunggak pajak yang diperoleh oleh
DPR dari Ditjen Pajak. Kontroversi data 100 penunggak pajak bukanlah data
sembarangan. Data 100 penunggak pajak dengan nilai total tunggakan
hampir 17.5 trilyun tentu bukanlah angka yang kecil, jauh lebih besar dari
nilai kasus bank Century. Tentu saja angka ini cukup menghenyakkan dan
menyadarkan banyak pihak, ternyata banyak perusahaan-perusahaan yang
5 Kontroversi mengenai publikasi penunggak pajak terbesar ini harus
diperhatikan agar tidak salah memahami kasus penunggak pajak ini.
Banyaknya perusahaan-perusahaan yang menyatakan bahwa mereka tidak
mempunyai tunggakan sebenarnya tidak salah juga. Ternyata memang
beberapa perusahaan yang masuk dalam daftar 100 penunggak pajak itu
masih dalam dalam proses hukum. Proses hukum bisa berupa keberatan,
banding, ataupun peninjauan kembali. Perusahaan menganggap bahwa atas
utang pajak mereka yang sedang diajukan upaya hukum bukan merupakan
utang pajak karena belum mempunyai ketetapan hukum yang kuat. Berbeda
dengan penafsiran perusahaan, pajak mempunyai aturan tersendiri mengenai
definisi utang pajak. Di dalam undang-undang formal pajak yaitu KUP
(ketentuan umum dan tatacara perpajakan), atas surat ketetapan pajak (SKP)
apabila dalam jangka waktu 30 hari tidak dilunasi maka sudah merupakan
utang pajak, dan bisa dilakukan tindakan penagihan.
Melihat kenyataan tersebut dimana banyak perusahaan yang masih
menunggak pajaknya, itu berarti bahwa masih rendahnya tingkat kesadaran
Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Dengan demikian
adanya tindakan penegakan hukum dengan dilaksanakannya tindakan
penagihan pajak sangatlah diperlukan agar mengurangi penunggak pajak,
sehingga kepatuhan Wajib Pajak dapat meningkat.
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan, upaya penagihan
dilakukan dengan memperhatikan optimalisasi jumlah wajib pajak yang
6 penerimaan pajak dan juga mempertimbangkan segi keadilan dalam
memperlakukan wajib pajak. Oleh sebab itu, diupayakan agar setiap wajib
pajak akan mendapatkan giliran untuk diperiksa dalam rangka menguji
pemenuhan kewajiban perpajakannya (Syahab dan Gisijanto, 2008:3).
Kewajiban-kewajiban yang timbul dalam pajak harus dipenuhi oleh
keharusan membayar pajak, namun pembuat undang-undang pajak harus
memperhatikan kemungkinan yang mana tidak semua kewajiban-kewajiban
tersebut akan dipenuhi oleh wajib pajak yang bersangkutan dengan sukarela.
Untuk itu, agar dipatuhinya undang-undang yang telah ditetapkan, maka
diperlukan tindakan penegakan hukum sehingga dapat memberikan keadilan
dan kepastian hukum agar Wajib Pajak taat, patuh dan disiplin dalam
membayar pajak.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti termotivasi untuk melakukan
penelitian ini karena pertama, dalam meningkatkan penerimaan pajak
diperlukan tingkat kepatuhan dari masing-masing wajib pajak. Mengingat
kapatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan
penerimaan pajak, maka perlu upaya penagihan pajak agar wajib pajak dapat
mematuhi kewajibannya. Hal ini diharapkan dapat menambah dan
mendorong sumber-sumber penerimaan dari dalam negeri terutama dari
sektor pajak untuk membantu kelancaran dalam hal pembangunan. Kedua,
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan perpajakan, upaya penagihan pajak
sangatlah penting dilakukan dengan memperlihatkan optimalisasi jumlah
wajib pajak tertagih. Untuk itu peneliti menaruh perhatiannya pada
7 pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang
berjudul “Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap
Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Dengan Penagihan Pajak Sebagai Variabel Moderating”.
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya,
yaitu penelitian yang dilakukan oleh Euphrasia Susy Suhendra (2010).
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai
berikut:
1. Variabel yang digunakan peneliti terdahulu adalah kepatuhan wajib pajak,
dan penerimaan pajak. Sedangkan, dalam penelitian ini, peneliti
menambahkan satu variabel moderating yaitu penagihan pajak.
2. Objek dalam penelitian ini adalah wajib pajak (perusahaan) yang terdaftar
pada KPP Pratama Serpong untuk tahun pajak 2008, 2009, 2010 dan
2011. Sedangkan, objek penelitian sebelumnya yaitu perusahaan yang
terdaftar pada KPP di wilayah DKI Jakarta dengan data tahun pajak 2003,
2004, 2005, 2006, 2007, dan 2008.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka masalah dalam
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan berpengaruh signifikan
terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan pada Kantor
8 2. Apakah interaksi antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan dengan
penagihan pajak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan
penerimaan pajak penghasilan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Serpong?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan
untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut:
a. Menganalisis pengaruh tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap
peningkatan penerimaan pajak penghasilan pada Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Serpong.
b. Menganalisis pengaruh interaksi antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak
Badan dengan penagihan pajak terhadap peningkatan penerimaan pajak
penghasilan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong.
2. Manfaat Penelitian a. Kontribusi Teoritis
1) Mahasiswa jurusan Akuntansi, penelitian ini bermanfaat sebagai
bahan referensi penelitian selanjutnya dan pembanding untuk
9 2) Masyarakat, Untuk menambah pengetahuan akuntansi khususnya
perpajakan di Indonesia dan sebagai sarana informasi tentang
kepatuhan wajib pajak, penagihan pajak dan penerimaan pajak.
3) Wajib Pajak, sebagai bahan informasi tentang tingkat kepatuhan
wajib pajak, penagihan pajak dan peningkatan penerimaan pajak
pada Kantor Pelayanan Pajak.
4) Peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang
akan melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai topik ini.
5) Penulis, sebagai sarana untuk memperluas wawasan dan
mendapatkan pengetahuan praktis sebagai hasil pengamatan
langsung serta dapat menerapkan teori yang telah diperoleh.
b. Kontribusi Praktis
1) Direktorat Jenderal Pajak, diharapkan dapat memberikan
konstribusi positif sehingga dapat dijadikan dasar pertimbangan
dalam pembuatan keputusan sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan wajib pajaknya dalam hal membayar pajak.
2) Kantok Pelayanan Pajak (KPP), sebagai tinjauan yang diharapkan
dapat dijadikan informasi untuk meningkatkan penerimaan pajak
dalam hal-hal yang menyangkut kepatuhan wajib pajak dan
penagihan pajaknya dalam rangka memenuhi kewajiban
10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur 1. Definisi Pajak
Definisi pajak menurut para ahli seperti yang diungkapkan oleh
Waluyo (2010:2) di antaranya sebagai berikut:
Menurut Edwin R. A. Seligman
“Tax is compulsary contribution from the person, to government to depray the expenses incurred in the common interestof all, without reference to special benefit conferred”. Dari definisi di atas terlihat adanya kontribusi seseorang yang ditunjukkan kepada negara tanpa adanya manfaat yang ditunjukkan secara khusus kepada seseorang, memang demikian halnya bahwa bagaimanapun juga pajak itu ditujukan manfaatnya kepada masyarakat.
Menurut N. J. Feldman
“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada
penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontrapretasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.
Menurut M. J. H. Smeets
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma -norma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontrapretasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, maksudnya adalah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah”.
Menurut Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang, yang dipungut penguasa
11 Menurut Rochmat Soemitro
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra-pretasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum”.
Sedangkan definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2007 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakkan Nomor 6 Tahun 1983 adalah
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dari definisi tersebut, terdapat empat unsur yang melekat pada pajak,
diantaranya adalah:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya yang sifanya dapat dipaksa
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah
c. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun daerah
d. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur
Pada dasarnya setiap definisi pajak yang dikemukakan para ahli
memuat empat unsur di atas. Adanya keempat unsur tersebut menjadikan
pajak mempunyai kekuatan hukum yang kuat, untuk itu apabila wajib
pajak atau masyarakat tidak melakukan kewajiban perpajakannya sesuai
dengan Undang-Undang yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi yang
12 2. Jenis-Jenis Pajak
Dalam Resmi (2009:7) pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga,
yaitu pengelompokan berdasarkan golongannya, lembaga pemungutnya,
maupun sifatnya, adapun penjelasanya antara lain:
a. Pajak berdasarkan golongannya dapat dibagi menjadi dua yaitu pajak
langsung dan pajak tidak langsung.
1) Pajak Langsung, yaitu pajak yang bebannya harus ditanggung
sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain. Contohnya Pajak Penghasilan (PPh)
2) Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang bebannya dapat dialihkan
kepada pihak lain. Contohnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
b. Berdasarkan lembaga pemungutnya, pajak dapat dibagi menjadi dua,
yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah.
1) Pajak Pusat, yaitu pajak yang wewenang pemengutannya ada pada
pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen
Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Contohnya, Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Materai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB).
2) Pajak Daerah, yaitu pajak yang wewenang pemungutannya ada
13 Pendapatan Daerah diatur dalam undang-undang dan hasilnya akan
masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Contohnya
Pajak Hiburan, Pajak Reklame, dan Pajak Kendaraan Bermotor.
c. Berdasarkan sifatnya, pajak dikelompokan menjadi pajak subjektif dan
pajak objektif.
1) Pajak subjektif, yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan
keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang melihat
subjeknya. Contohnya Pajak Penghasilan
2) Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya memperhatikan
objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa
yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa
memperhatikan keadaan pribadi subjek pajak maupun tempat
tinggalnya. Contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).
Dengan adanya pembagian pajak berdasarkan golongan, lembaga
pemungut dan sifatnya di atas, maka dapat diketahui secara jelas
macam-macam pajak serta bagaimana pajak tersebut seharusnya dibayar,
pihak-pihak yang berhak melaksanakan pemungutan pajak tersebut serta dasar
14 3. Cara Pemungutan Pajak
Waluyo (2010:16) menyebutkan bahwa cara pemungutan pajak
dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu stelsel nyata, stelsel anggapan,
dan stelsel campuran, dimana penjelasanya adalah sebagai berikut:
a. Stelsel Nyata
Pengenaan pajak didasarkan objek (penghasilan) yang nyata, sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni
setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui.
Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis.
Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode
(setelah penghasilan rill diketahui).
b. Stelsel Anggapan
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
Undang-Undang, sebagai contoh: penghasilan suatu tahun dianggap
sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah
dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak
berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun
pajak berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya
adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang
sesungguhnya.
c. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
15 anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan
dengan keadaan yang sebenarnya. Apabila besarnya pajak menurut
kenyataan lebih besar dari pada pajak menurut anggapan, maka wajib
pajak harus menambah kekurangannya. Demikian pula sebaliknya,
apabila lebih kecil, maka kelebihannya dapat diminta kembali.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia
menganut stelsel campuran, dimana pada awal tahun pajak terdapat
angsuran pajak berdasarkan besarnya pajak yang terutang. Sehingga pada
akhir tahun dihitung kembali berdasarkan penghasilan yang diperoleh pada
tahun yang bersangkutan. Jika terdapat kekurangan, maka wajib pajak
harus melunasi kekurangan pembayaran pajak dalam jangka waktu yang
telah ditentukan.
4. Sistem Pemungutan Pajak
Dalam memungut pajak dikenal beberapa sistem pemungutan, yaitu
Official Assessment System, Self Assessment System, Withholding System
(Resmi, 2009:11). Adapun penjelasannya sebagai berikut:
a. Official Assessment System
Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada fiskus atau aparat pajak untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang perpajakan yang berlaku.
b. SelfAssessment System
16 wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak
yang harus dibayar.
c. Withholding System
Sistem ini merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Saat ini di Indonesia menerapkan sistem Self Assessment System,
dimana wajib pajak dianggap mampu menghitung pajak terutang, paham
akan peraturan yang berlaku dan mempunyai kejujuran yang tinggi serta
menyadari akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, berhasil
atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak semacam ini sangat
tergantung pada wajib pajak itu sendiri (peran dominan ada pada wajib
pajak).
5. Pajak Penghasilan
Pengertian Pajak Penghasilan dalam pasal 1 Undang-Undang No.7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 adalah Pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Ini mengandung pengertian bahwa subjek pajak baru
dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Waluyo (2010:89) mengartikan bahwa subjek pajak sebagai
17 a. Subjek Pajak Penghasilan
1) Orang pribadi
2) Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak
3) Badan
4) Bentuk Usaha Tetap
b. Bukan Subjek Pajak Penghasilan 1) Badan perwakilan negara asing
2) Pejabat-pejbat perwakilan diplomatik, konsulat atau pejbat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama
mereka
3) Organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan
4) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi ntenasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
c. Objek Pajak Penghasilan
Yang menjadi objek pajak penghasilan adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam
18 1) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh.
2) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
3) Laba usaha.
4) Keuntungan karena penjualan atau karena penagihan aktiva.
5) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebnkan
sebagai biaya.
6) Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan kerja karena
jaminan pengembalian hutang.
7) dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian
sisa hasil usaha koperasi;
8) royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
9) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
11) keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
12) keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14) premi asuransi;
15) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya
yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
19 16) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
17) penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara
perpajakan; dan
19) surplus Bank Indonesia.
d. Bukan Objek Pajak Penghasilan
1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah; dan
2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur
20 tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
3) warisan;
4) harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang
diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan
pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15;
6) pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
7) dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan
terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha
milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat:
21 9) bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha
milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh
lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
10) iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi
kerja maupun pegawai;
11) penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
12) bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
13) dihapus;
14) penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia,
dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
15) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
22 17) beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
18) sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian
dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana
dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun
sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan
19) bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
6. Kepatuhan Wajib Pajak
Berikut ini adalah beberapa pengertian mengenai kepatuhan wajib
pajak menurut beberapa ahli yaitu: (Rahayu, 2010:138)
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan adalah:
23 Safri Nurmantu berpendapat:
“Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya".
Norman D. Nowak, mengartikan Kepatuhan Wajib Pajak sebagai:
“Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan,
tercermin dalam situasi dimana:
a. Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya
Sedangkan merujuk pada kriteria Wajib Pajak Patuh menurut
Keputusan Menteri Keuangan No.554/KMK.04/2000, bahwa kriteria
kepatuhan Wajib Pajak apabila memenuhi semua syarat sebagai berikut
(Rahayu, 2010:139):
a. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam
2 (dua) tahun terakhir
b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di
24 d. Dalam waktu 2 (dua) tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan
dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi
pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang
terutang paling banyak 5%
e. Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 (dua) tahun terakhir
diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian
atau pendapat wajar dengan pengecualian tidak mempengaruhi laba rugi
fiskal.
Jadi bisa disimpulkan bahwa kepatuhan Wajib Pajak adalah suatu
keadaan dimana Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku
tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan
ataupun ancaman dan penerapan sanksi hukum maupun administrasi.
a. Wajib Pajak
Pengertian Wajib Pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
adalah:
“Wajib Pajak Adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Pengertian tersebut menjelaskan bahwa setiap wajib pajak yang
25 ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib
mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan
mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
Tahun 1984 dan perubahannya. Sedangkan persyaratan objektif adalah
persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-89/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Non Efektif,
Wajib Pajak yang terdaftar dapat di administrasikan ke dalam dua
jenis wajib pajak, yaitu:
1) Wajib Pajak Efektif yaitu Wajib Pajak yang melakukan pemenuhan
kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun
penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan/atau Tambahan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
2) Wajib Pajak Non Efektif adalah Wajib Pajak yang tidak melakukan
pemenuhan kewajiban baik berupa pembayaran pajak maupun
penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan/atau Tambahan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang
nantinya dapat diaktifkan kembali.
Wajib Pajak dinyatakan sebagai Wjib Pajak Non Efektif apabila
26 (a) Selama 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak pernah melakukan
kewajiban perpajakan baik berupa pembayaran pajak maupun
penyampaian SPT Masa dan/atau Tahunan.
(b) Tidak diketahui/ditemukan lagi alamatnya
(c) Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah meninggal dunia tetapi
belum diterima pemberitahuan tertulis secara resmi dari ahli
warisnya atau belum mengajukan penghapusan NPWP
(d) Secara nyata tidak menunjukkan adanya kegiatan usaha
(e) Bendahara tidak melakukan pembayaran lagi
(f) Wajib Pajak Badan yang telah bubar tetapi belum ada akte
pembubarannya atau belum ada penyelesaian likuidasi (bagi
badan yang sudah mendapat pengesahan dari instansi yang
berwenang)
(g) Wajib Pajak Orang Pribadi yang bertempat tinggal atau berada
atau bekerja di luar negeri lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan.
Dalam hal perubahan status Wajib Pajak Efektif menjadi Non
Efektif atau sebaliknya, Direktorat bagian Informasi Perpajakan harus
melakukan pemantauan terhadap perubahan status wajib pajak yang
27 b. Surat Pemberitahuan (SPT)
1) Pengertian SPT
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan
perpajakan.
2) Fungsi SPT
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
(a) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak
lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak
(b) Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan
objek pajak
(c) Harta dan kewajiban
(d) Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang
28 lain dalam satu masa pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan
(SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
(a) Pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
(b) Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan
sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak
lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sedangkan bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi
surat pembeitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut
dan disetorkan.
3) Jenis SPT
Secara garis besar Surat Pemberitahuan (SPT) dibedakan
menjadi dua, yaitu SPT Masa dan SPT Tahunan, dimana
penjelasannya sebagai berikut:
(a) SPT Masa adalah SPT yang digunakan untuk melakukan
pelaporan atas pembayaran pajak yang terutang dalam suatu
29 PPN, dan SPT Masa PPN untuk Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
(b) SPT Tahunan adalah SPT yang digunakan untuk melakukan
pelaporan atas pembayaran pajak yang terutang dalam satu
tahun pajak atau bagian tahun pajak. SPT Tahunan ini hanya
ada untuk Pajak penghasilan saja.
4) Batas Waktu Penyampaian SPT
Batas waktu penyampaian SPT Tahunan, ada dua kategori,
yaitu:
(a) SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi,
paling lama 3 bulan setelah akhir tahun pajak
(b) SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling
lama 4 bulan setelah akhir tahun pajak.
Sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa Pajak
Penghasilan terdapat beberapa kategori, dimana rata-rata
penyampaiannya dilakukan paling lambat 20 hari setelah Masa
Pajak berakhir.
7. Penagihan Pajak
Berikut ini adalah beberapa pengertian mengenai penagihan pajak
menurut beberapa ahli yang diungkap oleh Rahayu (2010:138), yaitu:
Menurut Rachmat Soemitro
30 Menurut pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang
penagihan pajak dengan surat paksa
“Penagihan pajak adalah serangkaian tidakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita”
Menurut Moeljohadi
“Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan dari aparatur jenderal, berhubungan wajib pajak tidak melunasi baik sebagian/seluruhan kewajiban perpajakan yang menurut undang-undang perpajakan yang
berlaku”
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut, terdapat empat unsur
pengertian penagihan, diantaranya yaitu:
a. Serangkaian tindakan, bahwa penagihan dilakukan berurutan dari
diterbitkannya Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah melakukan
penyitaan, Pengumuman lelang serta pelelangan
b. Aparatur Direktur Jenderal Pajak, juru sita pajak negara yang telah
memenuhi syarat-syarat khusus, diangkat dan telah disumpah
c. Wajib Pajak tidak melunasi sebagian/seluruhnya kewajiban perpajakan
yaitu utang pajak yang tercantum dalam SPT, SKPKB, SKPKBT, SK
Pembetulan, SK Keberatan atau Putusan Banding yang menambah
pajak terutang.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Penagihan pajak
adalah suatu tindakan penagihan yang dilaksanakan oleh fiskus atau juru
31 menunggu jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari
semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.
a. Dasar Penagihan Pajak
Dalam penagihan pajak perlu diketahui terlebih dahulu dasar yang
digunakan dalam penagihan pajak. Sesuai dengan pasal 18
Undang-Undang KUP bahwa dasar penagihan pajak yang digunakan yaitu
(Waluyo, 2009:57):
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3) Surat Keputusan Pembetulan
4) Surat Keputusan Keberatan, Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Dasar hukum yang digunakan dalam penagihan pajak yaitu
Undang-Undang no.19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa. Sebagai pelaksana eksekusi dari putusan yang sama
kedudukanya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dilaksanakan oleh juru sita. Juru sita diangkat
dan diberhentikan oleh pejabat yang bertugas (Waluyo, 2009:58):
1) Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus
2) Memberitahukan Surat Paksa
3) Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasar
32 4) Melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah
penyanderaan.
b. Bentuk Penagihan Pajak
Penagihan pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penagihan
pasif dan penagihan aktif, adapun penjelasanya adalah sebagai berikut
(Suandi, 2008:174):
1) Penagihan Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan surat
tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan
pajak kurang bayar tambahan, surat keputusan pembetulan yang
menyebabkan pajak terutang lebih besar, surat keputusan keberatan
yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, surat
keputusan banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi
lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi, maka
7 hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak
secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran.
2) Penagihan Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan
pajak pasif, dimana dalam upaya penagihan ini fiskus berperan
aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat
ketetapan pajak tetap, akan diikuti dengan tindakan sita, dan
dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang. Adapun penjelasannya
33 (a) Surat Teguran
Apabila utang pajak yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan, tidak dilunasi sampai
melewati 7 (tujuh) hari dari batas waktu jatuh tempo (satu
bulan sejak tanggal diterbitkannya).
(b) Surat Paksa
Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah 21 (dua puluh satu)
hari dari tanggal surat teguran maka akan diterbitkan Surat
Paksa yang disampaikan oleh Juru Sita Pajak Negara dengan
dibebani biaya penagihan paksa sebesar Rp 50.000,00 (lima
puluh ribu rupiah), utang pajak harus dilunasi dalam waktu 2 x
24 jam.
(c) Juru Sita
Apabila utang pajak belum juga dilunasi dalam waktu 2 x 24
jam dapat dilakukan tindakan penyitaan atas barang-barang
WP, dengan dibebani biaya pelaksanaan sita sebesar Rp
100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(d) Lelang
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan,
utang pajak belum dilunasi maka akan dilanjutkan dengan
tindakan pelelangan melalui Kantor Lelang Negara. Dalam hal
34 dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya
iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabardan biaya
lelang pada saat pelelangan.
c. Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, berdasarkan STP,
SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding,
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh penanggung
pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dilaksanakan
penagihan pajak.
Adapun jadwal atau jangka waktu penagihan pajak adalah sebagai
berikut (Rahayu, 2010:198):
1) Tanggal jatuh tempo tidak dibayar
2) 7 hari tanggal jatuh tempo diterbitkan Surat Teguran
3) 21 hari dari tanggal Surat Teguran diterbitkan Surat Paksa
4) 2x24 jam dari tanggal Surat Paksa diterbitkan Surat Perintah
Melakukan Penyitaan (SPMP)
5) 14 hari dari tanggal SPMP pemerintah jadwal waktu pelelangan ke
kantor negara
6) 14 hari pengumuman lelang, pelaksanaan lelang.
Dan apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban membayar
35 penagihan selanjutnya dilakukan oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN)
dengan menerbitkan Surat Paksa.
1) Pemberitahuan Surat Paksa
Surat Paksa diberitahukan oleh JSPN dengan pernyataan dan
penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
Pemberitahuan ini dituangkan dalam Berita Acara yang
sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa,
nama JSPN, nama yang menerima dan tempat pemberitahuan Surat
Paksa.
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Juru
Sita Pajak kepada:
(a) Penanggung Pajak
(b) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja
di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak
yang bersangkutan tidak dapat dijumpai.
(c) Salah satu ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang
mengurus harta peninggalannya apabila Wajib Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi.
(d) Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan
harta warisan telah di bagi.
Sedangkan Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh
36 (a) Pengurus, kepada perwakilan, kepala cabang, penanggung
jawab, pemilik modal.
(b) Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan,
apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana dimaksud dalam huruf I.
2) Isi Surat Paksa
Surat Paksa diantaranya berisi sebagai berikut:
(a) Berkepala kata “Atas nama keadilan” sesuai UU No. 14
Tahun 1970, sesuai UU PPSP diganti menjadi “Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
(b) Nama Wajib Pajak dan keterangan cukup tentang alasan yang
menjadi dasar penagihan, perintah membayar (dalam waktu 2
x 24 jam)
(c) Ditandatangani oleh pejabat yang berwenang ditunjuk Menteri
Keuangan atau kepala daerah.
3) Karakter Surat Paksa
Karakter surat paksa yang lain, disamping seperti yang telah
disebutkan di atas:
a. Mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan grosse
putusan dalam perkara perdata yang tidak dapat diminta
banding lagi pada hakim atasannya.
37 c. Dapat dilanjutkan dengan tindak penyitaan atau
penyanderaaan/pencegahan.
8. Penerimaan Pajak
Realisasi penerimaan pajak adalah penerimaan pajak yang berasal
dari Wajib Pajak yang berhasil dihimpun oleh KPP. Pemungutan pajak
merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta wajib
pajak yang secara langsung dan bersamasama melaksanakan kewajiban
perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan
nasional.
Menurut Waluyo dan Wirawan (2002:5) dari sudut pandang
ekonomi, pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Pajak sebagai
motor penggerak kehidupan ekonomi masyarakat.
Sedangkan dari sudut pandang keuangan, pajak juga dipandang
sebagai bagian yang sangat penting dalam penerimaan negara. Jika dilihat
dari penerimaan negara, kondisi keuangan negara tidak lagi semata-mata
dari penerimaan negara berupa minyak dan gas bumi, tetapi lebih
berupaya untuk menjadikan pajak sebagai primadona penerimaan negara.
Upaya memaksimalkan penghimpunan pajak negara dapat
dilakukan melalui program ekstensifikasi dan intensifikasi di bidang
perpajakan. Ekstensifikasi merupakan upaya untuk menambah atau
memperluas subyek pajak maupun obyek pajak. Indikatornya adalah
38 jumlah Wajib Pajak. Intensifikasi dilakukan dengan upaya meningkatkan
terhimpunnya pajak dari subyek pajak dan obyek pajak yang telah ada.
Indikatornya adalah peningkatan nominal rupiah penerimaan pajak tanpa
selalu diikuti penambahan jumlah subyek atau obyek pajak.
B. Penelitian Sebelumnya
Adapun hasil-hasil sebelumnya dari penelitian-penelitian terdahulu
mengenai topik yang berkaitan dengan penelitian ini dapat dilihat dalam tabel
39
Metode Penelitian Hasil Penelitian
40
Metode Penelitian Hasil Penelitian
41
Metode Penelitian Hasil Penelitian
Persamaan Perbedaan
42 C. Kerangka Berpikir
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam
gambar 2.1.
Bersambung ke halaman berikutnya:
Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Dengan Penagihan Pajak Sebagai Variabel Moderating
Fenomena-fenomena Peningkatan Penerimaan Pajak
Basis Teori Perpajakan
Variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Moderating
Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan
(Y) Tingkat Kepatuhan Wajib
Pajak Badan (X)
Penagihan Pajak (Z)
Uji Statistik Deskriptif
46 Gambar 2.1 (Lanjutan)
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pemikiran Uji Asumsi Klasik
Uji Hipotesis
Hasil Pengujian dan Pembahasan
46 D. Hipotesis
1. Kepatuhan wajib pajak badan terhadap penerimaan pajak penghasilan
Suhendra (2010) melakukan penelitian mengenai pengaruh tingkat
kepatuhan wajib pajak badan dengan peningkatan penerimaan pajak
penghasilan badan pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Jakarta
menunjukkan secara parsial antara tingkat kepatuhan wajib pajak badan
terdapat pengaruh positif terhadap peningkatan penerimaan pajak
penghasilan badan pada kantor pelayanan pajak. Jadi semakin semakin
patuh wajib pajak badan dalam melaporkan dan me-lunasi kewajiban
perpajakannya maka akan semakin meningkatkan penerimaan pajak pada
kantor pelayanan pajak.
Penelitian lain dilakukan oleh Agusti dan Herawaty (2009) terdapat
pengaruh positif antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak terhadap
peningkatan penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Jakarta Grogol Petamburan. Maka semakin patuh Wajib Pajak Badan
melaporkan dan melunasi kewajiban perpajakannya maka akan semakin
meningkatkan penerimaan pajak pada KPP akan meningkat.
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang dilakukan tersebut,
maka diduga tingkat kepatuhan wajib pajak badan berpengaruh terhadap
peningkatan penerimaan pajak penghasilan pada wajib pajak badan.
46 Ha1: Tingkat kepatuhan wajib pajak badan berpengaruh signifikan
terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan.
2. Interaksi antara kepatuhan wajib pajak badan dengan penagihan pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan
Penagihan pajak adalah suatu tindakan penagihan yang
dilaksanakan oleh fiskus atau juru sita pajak kepada penanggung pajak
agar dapat melunasi utang pajak tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran
yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan
tahun pajak.
Kondisi penagihan pajak ini dihitung berdasarkan perbandingan
jumlah koreksi fiskal dengan jumlah PPh terutang menurut SPT PPh badan
dan hasilnya bahwa penagihan pajak di setiap KPP secara umum sudah
dilakukan sesuai dengan prosedur dan tata cara tindakan penagihan yang
rata-rata pelaksanaannya mencapai 191% (Syahab dan Gisijanto,
2008:142).
Penelitian yang dilakukan oleh Syahab dan Gisijanto (2008),
mengenai pengaruh penagihan pajak dan surat paksa pajak terhadap
penerimaan pajak penghasilan badan dengan sampel yang diambil dari
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kanwil DJP Jakarta Pusat dari tahun
2003-2007, yang hasilnya menunjukkan bahwa penagihan pajak dan surat
paksa pajak berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Pajak
46 Berdasarkan penelitian yang dilakukan tersebut, maka diduga
tindakan penagihan pajak dapat mempengaruhi interaksi antara tingkat
kepatuhan wajib pajak badan terhadap peningkatan penerimaan pajak
penghasilan. Oleh karena itu hipotesis dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
Ha2: Interaksi antara kepatuhan wajib pajak badan dengan penagihan pajak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan
47 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kausalitas, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menjelaskan pengaruh variabel independen, yaitu kepatuhan
wajib pajak terhadap variabel dependen, yaitu penerimaan pajak dengan
penagihan pajak sebagai variabel moderating. Populasi dari penelitian ini
adalah wajib pajak badan (perusahaan) yang terdaftar pada Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama Serpong.
B. Metode Penentuan Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah wajib pajak badan (perusahaan)
yang terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong. Metode yang
digunakan peneliti dalam pemilihan sampel penelitian adalah pemilihan
sampel bertujuan (purposive sampling), dengan teknik berdasarkan
pertimbangan (judgement sampling) yang merupakan tipe pemilihan sampel
secara tidak acak yang informasinya diperoleh dengan menggunakan
pertimbangan tertentu, umumnya disesuaikan dengan tujuan atau masalah
penelitian (Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, 2002:131). Berdasarkan
metode judgement sampling tersebut, maka sampel yanng digunakan dalam