Lampiran 1.Gambar Instrument Kromatografi Gas
Seperangkat instrument kromatografi gas Shimadzu 2010
Lampiran 2. Gambar Perangkat Pendukung Lainnya
Neraca Analitik Ultra Turax
DAFTAR PUSTAKA
Adnan,M.,1993. TEKNIK KROMATOGRAFI. Yogyakarta :Penerbit AND Agromedia,2011. BERTANAM JERUK DI DALAM POT DAN DI KEBUN. Jakarta : PT Agromedia Pustaka
Baehaki,1993. INSEKTISIDA PENGENDALIAN HAMA TANAMAN. Bandung:Penerbit Angkasa
Djojosumarto,P.,2009. TEKNIK APLIKASI PESTISIDA PERTANIAN. Lampung : Penerbit kanius
Hasibuan, R., 2015. Insektisida Organik Sintetik dan Biorasional. Yogyakarta : Plantaxia
Komisi Pestisida, 2004. PEDOMAN PENGUJIAN RESIDU PESTISIDA DALAM HASIL PERTANIAN. Jakarta : Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan Direktorat Perlindungan Tanaman Rohman, A., 2009. KROATOGRAFI UNTUK ANALISIS OBAT.
Yogyakarta:Graha Ilmu
SNI., 2008. BATAS MAKSIMUM RESIDU PESTISIDA PADA HASIL PERTANIAN. Jakarta : Badan Standarisasi Nasional
Soelarno,B. BUDI DAYA JERUK BEBAS PENYAKIT. Yogyakarta : Penerbit Kansius
Sudarsono, H., 2015. PENGANTAR PENGENDALIAN HAMA TANAMAN. Yogyakarta : Plantaxia
Tetty,y.,2011. BERTANAM JERUK DI DALAM POT DAN DI KEBUN. Jakarta: PT Agromedia Pustaka
BAB 3
METODE PERCOBAAN
3.1 Alat
Nama Alat Merk Alat
1. Kromatografi gas menggunakan detektor Rtx-1 MS Shimadzu
2. Rotary evaporator IKA KV600
3. Ultra turax IKA
4. Neraca analitik Mettler Toledo
5. Mikropipet 100-1000µl Eppendorf
6. Test Tube Iwaki
7. Syringe Hamilton
8. Labu Bulat Pyrex
9. Bulb
10.Pipet Volume Iwaki
11.Alat-alat gelas lain Iwaki
3.2 Bahan-Bahan
1. Profenofos 98,2%
2. Metidation 99,5%
4. Fention 95,5 %
5. Jeruk
6. Aseton
7. Diklorometana
8. Petroleum eter
9. Toluena
10.Air pencuci
3.3Prosedur Penelitian
3.3.1 Pembuatan larutan baku profenofos
1. Ditimbang bahan aktif profenofos sebanyak 32,05 mg
2. Diencerkan profenofos dalam labu takar 25 ml dengan aseton sampai garis
batas,dikocok hingga homogen
3. Diperoleh larutan baku profenofos 1,2590mg/
4. Dilakukan pengenceran kembali dengan isooktana sehingga diperoleh konsentrasi larutan baku profenofos 0,9820
ml
ng/ 3.3.2 Perlakuan terhadap jeruk
µL
1. Sampel buah jeruk dicuci dengan rendaman sabun pencuci buah
- Sebanyak 100 gram sampel dimasukkan kedalam wadah berisi
larutan pencuci buah 1000 ml, kemudian dicuci selama 5 menit
3.3.3 Ekstraksi
1. Dipotong sampel jeruk sampai kecil-kecil
2. Ditimbang sebanyak ±15 gram
5. Ditambahkan masing-masing beaker glass dengan larutan baku profenofos 0,9820 ng/
4. Ditutup dengan aluminium foil dan didiamkan selama ± 1 jam µl
5. Ditambahkan 30 ml aseton,30 ml diklorometana,30 ml petroleum eter
6. Dihaluskan menggunakan alat ultra turax
7. Didiamkan sampai filtrat dan endapan terpisah
8. Dipipet filtrat sebanyak 25 ml,dimasukkan kedalam labu bulat
9. Dipekatkan dengan alat rotary evaporator pada suhu penangas air 50o
10.Dilarutkan residu yang diperoleh dengan 5 ml aseton : toluena (10 : 90) C
sampai hampir kering
11.Diinjeksikan 1µ l kedalam alat kromatografi gas
3.3.4 Analisis kualitatif
Kondisi Kromatografi gas :
- Kromatografi gas : Shimadzu 2010,dilengkapi dengan detektor
penangkap elektron
- Kolom : Rtx 1 MS
- Gas pembawa : Gas Helium dan Nitrogen
- Temperatur injeksi : 230o
- Temperatur kolom : 190 C o
- Temperatur detektor : 230 C o
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil yang diperoleh dari analisis kandungan residu pestisida dalam sampel jeruk
dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel 4.1 Hasil analisa kadar residu pestisida pada Jeruk
Sampel 1
Metidation 0,9939 ng/µ l
Klorporifos 1,0190 ng/µ l Propenofos 0,9820
No Nama/Asal
Fention 1,0244
ng/µ l
Propenofos 0,9820
4.2 Reaksi Percobaan
-
4.3Perhitungan
4.3.1 Pada Bahan Aktif
Rumus Standarisasi Pada Bahan Aktif
STD (mg/ml) = berat sampel (mg )
volume labu takar (ml )x
kemurnian 100
Rumus Pengenceran Larutan Standar :
V1. N1 = V2. N2
4.3.1.1Metidation
99,5% tertimbang 0,0273 g (27,3 mg)
27,3 25 x
99,5
100 = 1,0865 mg/ml→ 1086,5 ng/µl
1. Pengenceran 100 ng/µ l dalam labu takar 25 ml
V1. N1 = V2. N2
V1. 1086,5 = 25.10O
V1 =
2500 1086,5
= 2,3 ml
Maka,
2,3 . 1086,5 = 25. N2
N2 =
= 99,958 ng/µl
2. Pengenceran 10 ng/µ l dalam labu takar 25 ml
V1. N1 = V2. N2
V1. 99,958 = 25.10
V1 =
250 99,958
= 2,5 ml
Maka,
2,5 . 99,958 = 25. N2
N2 =
2,5.99,958 25
= 9,9958 ng/µl
3. Pengenceran 1 ng/µl dalam labu takar 10 ml
V1N1 = V2N2
V1. 9,9958 = 10.1
V1 =
10 9,9958
= 1,0 ml
Maka,
1,0.9,9958 = 10. N2
N2 = 1,0.9,9958 10
= 0,9995 ng/µl
4.3.1.2 Klorpirifos
98,8% tertimbang 0,0268 g (26,8 mg)
26,8 25 x
98,8
100 = 1,0591 mg/ml→ 1059,1 ng/µl
1. Pengenceran 100 ng/µ l dalam labu takar 25 ml
V1. N1 = V2. N2
V1. 1059,1 = 25.100
V1 =
2500
1059,1= 2,3 ml
Maka,
2,3 . 1059,1 = 25. N2
N2 =
2,3.1059,1 25
= 97,4372 ng/µl
2. Pengenceran 10 ng/µ l dalam labu takar 25 ml
V1. 97,4372 = 25.10
V1=
250 97,4372
= 2,5 ml
Maka,
2,5 . 97,4372 = 25. N2
N2 =
2,5.97,4372 25
= 9,7437 ng/µl
3. Pengenceran 1 ng/µl dalam labu takar 10 ml
V1N1 = V2N2
V1. 9,7437 = 10.1
V1 = 10 9,7437
= 1,0 ml
V1N1 = V2N2
1,0.9,7437 = 10. N2
N2 = 1,0.9,7437 10
= 0,9743 ng/µl
4.3.1.3 Propenofos
23,3 25 x
96,9
100 = 0,9031 mg/ml→ 903,1 ng/µl
1. Pengenceran 100 ng/µ l dalam labu takar 25 ml
V1. N1 = V2. N2
2. Pengenceran 10 ng/µ l dalam labu takar 25 ml
V1 = 10 9,7534
= 1,0 ml
Maka,
V1N1 = V2N2
1,0.9,7534 = 10. N2
N2 =1,0.9,7534 10
= 0,9753 ng/µl
4.3.2 Sampel
Rumus Kadar Pestisida Dalam Sampel :
Csampel (mg/kg
) =
Area sampel
Rata−rata area standar x C.Standar (ng⁄µl) x V.Inj (µl) x
FP (µl )
V .Inj Std (µl ) x FK W (gr )
Rumus rata-rata area Standar :
Rata−rata area standar = Area standar (simplo) + Area Standar (duplo) 2
Rumus Rata-rata Kadar Pestisida Dalam Sampel :
Crata−rata(mg/kg) = Csampel (simplo ) + Csampel (duplo ) 2
C.standar = Konsentrasi standar
4.3.2.1 Jeruk manis dari Desa Marubun Kecamatan Purba Kabupaten
Rata−rata area standar = 597776 + 505458
4.3.2.2 Jeruk manis dari Desa Tigarunggu Kecamatan Purba Kabupaten
Simalungun
Csimplo =
Rata – rata area standar = 543751 +592382
4.3. Pembahasan
Dari data Hasil Percobaan diatas diperoleh bahwa jeruk manis dari Desa Marubun
Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun terkandung bahan aktif profenofos
sebanyak 0,476 mg/kg dan jeruk manis dari Desa Tigarunggu kecamatan Purba
Kabupaten Simalungun tewrkandung senyawa klorpiripfos. Dari kedua sampel
yang paling berbahaya itu adalah sampel yang bereasal dari desa Tigarunggu
karena terdeteksi sebanyak empat bahan aktif dan hanya senyawa klorpirifos yang
melampaui batas ambang pemakaian residu.
Hal ini disebabkan oleh pemakaian pestisida dengan dosis tinggi dan
penyemprotan yang terlalu sering yaitu sekali dalam satu minggu. Sementara pada
umumnya pemilik kebun jeruk lainnya di desa tersebut menyemprot jeruk mereka
sebanyak sekali dalam dua minggu.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa jeruk manis tesebut belum
layak konsumsi. Dan jika dikonsumsi ada baiknya dilakukan pencucian terlebih
dahulu dengan air bersih, air mengalir atau dengan menggunakan produk
pembersih buah seperti mama lime. Hal tersebut dapat mengurangi bahkan
menghilangkan residu pestisida yang terkandung pada jeruk manis terebut.
Sehingga dapat mengurangi dampak negatif seperti timbulnya keracunan atau efek
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa jeruk manis dari Desa Marubun Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun terkandung bahan aktif profenofos
sebanyak 0,5187 mg/kg, dan belum melampaui Batas Maksimum Residu (BMR)
pestisida pada jeruk manis yaitu Profenosos 1 mg/kg dan jeruk manis dari desa
Tigarunggu Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun terkandung bahan aktif
Klorfiripos 0,0932 3 mg/kg dan belum melampaui Batas Maksimum Residu
(BMR) pestisida pasa jeruk manis yaitu Klorfiripos 1 mg/kg Sehingga jeruk
manisini masih bisa dikonsumsi karena bahan aktif yang terkandung tidak terlalu
tinggi dan bahan aktif lainnya juga tidak terkandung pada kedua jeruk manis
tersebut. Untuk masing – masing bahan aktif lainnya tidak terdeteksi pada sampel
dan memenuhi batas maksimum residu pestisida yang ditetapkan oleh Departemen
pertanian Republik Indonesia yaitu Metidation 0,12 mg/kg, Klorfiripos 1mg/kg,
Fention 2 mg/kg dan Profenosos 1 mg/kg.
Dengan demikian ini masih layak kosumsi dan tidak akan menimbulkan
efek yang sangat berbahaya jika dikonsumsi akan tetapi akan menimbulkan efek
yang akan menimbulkan penyakit serius di kemudian hari setelah konsumsi jeruk
ini seara berkesinambungan tanpa melakukan proses pencucian atau perendaman
terlebih dahulu dengan air bersih atau dengan menggunakan produk pembersih
5.2 Saran
Untuk memperkecil bahkan menghilangkan kandungan pestisida pada hasil
tanaman diharapkan untuk terlebih dahulu mencucinya dengan menggunakana air
bersih atau produk pencuci buah. Untuk lebih aman lagi carilah produk hasil
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pestisida
Pada umumnya pengertian pestisida sangatlah luas sekali karena meliputi
produk-produk yang digunakan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan,
peternakan/kesehatan hewan, perikanan, dan kesehatan masyarakat. Dalam
pembahasan kali ini akan dijelaskan tentang pestisida yang digunakan dalam
bidang pertanian (termasuk kehutanan dan perkebunan), lebih khusus lagi
pestisida-pestisida yang digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu
tanaman/tumbuhan (OPT).
Pestisida (Inggris: pesticide) secara harfiah pestisida berarti pembunuh
hama (pest: hama; cide: membunuh). Menurut pasal 1 (a) Peraturan Pemerintah
Republik indonesia Nomor 7 tahun 1937 tentang Pengawasan atas Peredaran,
Penyimpanan, dan Penggunaan Pestisida; Pestisida adalah semua zat kimia atau
bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk :
1. Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman,bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman tidak termasuk pupuk
5. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan
6. Memberantas atau mencegah hama-hama air
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang atau jasad-jasad renik
dalam rumah tangga,bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan
8. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan pada tanaman,tanah atau air (Djojosumatro,2000).
Penggunaan racun yang tidak tepat tentu dapat menimbulkan hal – hal yang
tidak diinginkan, seperti seperti jasad pengganggu yang akan diberantas tidak mati
karena salah jenis pestisida yang digunakan. Oleh sebab itu sebelum
menggunakan pestisida, harus dipilih jenis dan merek dagang pestisida yang
sesuai dengan hama dan penyakit tanaman, formulasi yang sesuai dengan
peralatan yang tersedia, alat apa yang digunakan, bagaimana menggunakan
pestisida secara efektif dan efisien, dan bagaimana cara mengaplikasikan
pestisida tersebut untuk memberantas jasad pengganggu.
Memilih bentuk atau formulasi pestisida juga sangat penting dalam
penggunaan pestisida. Formulasi pestisida yang bagaimana yang harus kita pilih,
apakah cairan, butiran, atau bentuk lainnya. Kalau dilihat dari bahaya pelayangan
di udara, pestisida berbentuk butiran paling sedikit kemungkinannya untuk
melayang. Pestisida yang bebentuk cairan, bahaya pelampung. Disamping itu
pertimbangan lain dalam memilih formulasi pestisida adalah alat yang akan
digunakan untuk menyebarkan pestisida tersebut (Widianto,1999)
Penggelompokan pestisida menurut jenis organisme pengganggu tanaman
Tabel 2.1: Penggelompokan Pestisida Menurut Jenis OPT Sasaranya Pestisida OPT sasaran Contoh
Insektisida
Hama : serangga
Hama : tungau
Hama : siput
Hama : tikus
Penyakit : jamur
Penyakit : bakteri
Penyakit: nematoda
Gulma (tumbuhan
Penggangu)
Sumber : Djojosumatro (2000) 2.1.2 Insektisida
Salah satu contoh dar pestisida adalah insektisida, Insektisida juga dapat meracuni
dan membahayakan makhluk hidup lainnya, yang meliputi serangga bermanfaat
(benefical insect), hewan peliharaan dan manusia.
Secara umum, insektisida adalah bahan kimia beracun yang dapat
digunakan untuk mengendalikan dan membasmi serangga hama yang menyerang
Dilihat dari cara kerjanya,insektisida dibedakan atas peracun fisik,
peracun protoplasma,dan peracun pernapasan:
a) Insektisida peracun fisik akan menyebabkan dehidrasi,yaitu keluarnya
cairan tubuh dari dalam tubuh serangga
b) Insektisida peracun protoplasma dapat mengendapkan protein dalam tubuh
serangga
c) Insektisida peracun pernapasan dapat menghambat aktifitas enzim
pernapasan (Wudianto,1997).
Insektisida terdiri dari beberapa golongan yaitu, (1) golongan benzoilurea,
(2) golongan karbamat, (3) golongan organoklorin, (4) golongan organofosfat, dan
(5) golongan piretroid. Sebagian besar golongan benzoilurea merupakan
insektisida dengan atom fluor dan memiliki berat molekul tinggi, contoh:
diflubenzuron, heksabenzuron. Contoh insektisida golongan karbamat adalah
adicarb, karbaril, karbofuran.
Insektisida golongan organoklorin memiliki tiga karakteristik analog DDT,
isomer benzen heksaklorida (BHC), dan ikatan sikodiena, karena presistensi dan
toksisitasnya, sebagian besar organoklorin dilarang penggunaanya, contoh
golongan ini yaitu aldrin, dieldrin, metosiklor. Insektisida golongan organofosfat
adalah senyawa hidrokarbon yang terdiri dari satu atau lebih atom fosfor pada
molekulnya, contoh : diazinon, metidation, profenofos. Dan golongan piretroid
adalah piretrin sintetis, contohnya sipetmetrin, deltametrin, permentrin
2.1.3 Insektisida Organofosfat
Insektisida organofosfat atau lebih dikenal senyawa OP pada saat inii hampir
mencapai lebih dari 50% dari yang terdaftar. OP adalah insektisida penghambat
cholinesterase dan bekerja melalui perut, racun kontak, sistematik atau
fumigasi.Spektrum dari insektisida ini bermacam-macam seperti Parathion dan
TEPP berspektrum luas, sedangkan Malathion dan Ronel merupakan insektisida
selektif. Senyawa OP berupa aril atau alifatik (Baehaki, 1993).
Insektisida organofosfat dikembangkan di jerman pada masa Perang Dunia
II sebagai pengganti insektisida nikotin yang saat itu merupakan insektisida
pertama untuk pengendalian kumbang kentang colorado (leptinotarsa
decemlineata). Penemuan sifat insektisida dari kelompok organofosfat berkaitan
erat dengan penelitian jenis-jenis gas syaraf seperti sarin, soman, dan tabun
(Sudarsono,2015).
Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Insektisida
organofosfat adalah insektisida yang mengandung unsur fosfat, dihasilkan dari
asam fosforik, dikenal sebagai insektisida yang paling toksik diantara jenis
insektisida organik sintetik lainnya dan juga yang paling sering menyebabkan
keracunan pada manusia. Indikator yang digunakan untuk menilai efek peracunan
insektisida adalah nilai LD50 (Lethal Dose) 50% yang menunjukkan banyaknya
binatang-uji. Dalam aplikasinya, nilai LD50 dapat dibagi menjadi : LD50 akut oral
(termakan) dan LD50 akut dermal (terserap kulit). Nilai LD50 yang tinggi (diatas
1000) menunjukkan pestisida bersangkutan tidak begitu berbahaya bagi manusia.
Namun sebaliknya, nilai LD50 yang rendah (dibawah 100) menunjukkan bahwa
(termakan) dan LD50
Tabel 2.2 Toksisitas Insektisida Organofosfat Terhadap (mg/kg of body weight)
Secara Oral Maupun Dermal
akut dermal (terserap kulit) insektisida organophosfat dapat
dilihat pada Tabel 2.2
Nama Umum Rat oral LD 50
(mg/kg of body weight)
Rabbit dermal LD 50
(mg/kg of body weight)
Acephate 1,030 - 1,447 >10,250
Azinphos-methyl 4 150 – 200 (rat)
Chlorpyrifos 96 – 270 2,000
Diazinon 1,250 2,020
Dimethoate 235 400
Disulfoton 2 – 12 3.6 – 15.9
Ethoprop 61.5 2.4
Fenamiphos 10,6 – 24,8 71.5 – 75.7
Malathion 5,500 >2,000
Methamidophos
13 (female only) 25 – 44
122
Methidathion 200
Methyl parathion 6 45
Naled 191 360
Oxydemeton-methyl 50 1,350
Phorate 2 – 4 20 – 30 (guinea pig)
Phosmet 147 – 316 >4,640
Organofosfat dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan tergantung
dari kombinasi unsur oksigen, karbon, sulfur, dan nitrogen. Namun, dalam
perkembangannya dan untuk lebih menyederhanakannya, insektisida organofosfat
dikelompokkan hanya menjadi 3 grup yaitu :
1. Derivat alifatik
2. Derivat fenil
3. Derivat heterosiklik (Hasibuhuan,2015)
2.1.3.1 Profenofos
Profenofos merupakan insektisida yang berspektrum luas sehingga dapat
mengendalikan berbagai jenis hama. Profenofos merupakan insektisida yang
berdaya racun sedang dengan nilai LD50 oral akut 358-502 mg/kg. Profenofos
bersifat insektisida dan akarisida. Insektisida profenofos telah dikembangkan
secara luas dan dipasarkan dengan berbagai merk dagang seperti : Prahar,
Romifos, Sanofos, Polycron, Selecron, cga 15324, Fornofos, Curacon. Rumus
kimia insektisida profenofos tertera pada gambar berikut (Hasibuhuan,2015).
Gambar 1. Rumus struktur Profenofos
Insektisida profenofos ini diaplikasikan pada tanaman kapas, mangga,
manggis, kubis, sayuran buah seperti tomat dan cabai, dan kacang. Di Indonesia,
cabai merah di Indonesia diaplikasikan dengan konsentrasi penyemprotan
0,025-0,15 kg ai/hL dengan waktu aplikasi sesuai kebutuhan (Irie,2007).
Sifat-sifat kimia senyawa profenofos dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut :
Tabel 2.3 Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Profenofos
Kriteria Hasil
Kemurnian Minimum 91,4%
Bentuk Cair
Warna Coklat terang
Bau Bau lemak,seperti bawang yang
dimasak
Kelarutan dalam pelarut organik
pada suhu 25o
n-heksan : larut sempurna
C n-oktanol : larut sempurna
toluena : larut sempurna
etanol : larut sempurna
diklorometana : larut sempur na
etil asetat : larut sempurna
aseton : larut sempurna
metanol : larut sempurna
Sumber : Irie (2007)
2.1.3.2 Khlorpirifos
Bahan aktif khlorpirifos diperdagangkan sebagai Drusban� dan
Gambar 2. Rumus struktur Khlorpirifos
Khlorpirifos berupa kristal putih dikembangkan oleh Dow Chemical
Company 1996. Insektisida ini dipergunakan untuk mengendalikan Atherigona
exigua, spodoptera mauritia, Agromyza phaseoli, Agrotis sp, dan lain lain.
Formulasi yang diperdagangkan yaitu Drusban 20 EC mengandung 200 gr
khlorpirifos/l, Drusban 15/5E mengandung 150 gr khlorpirifos dan 50 gr BPMC/l
dan Basmidan 200EC mengandung 200 gr khlorpirifos/l.
Sifat-sifat fisik dan kimia senyawa khlorpirifos dapat dilihat pada Tabel
2.4 berikut :
Tabel 2.4 Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Klorpirifos
Kriteria Hasil
Kemurnian Minimum 85 %
Bentuk Butiran Kristal
Warna Putih hingga kecoklatan
Bau Merkaptan lembut
Kelarutan dalam pelarut organik dan
anorganik pada suhu 20o
Acetone >400 g/L
C Dichloromethane >400 g/L
Ethyl Acetate >400 g/L Methanol 250 g/100mL Toluene >400 g/L n-Hexane >400 g/L Air 1.05 ppm (w/v)
2.1.3.3 Metidation
Metidation merupakan insektisida dan akarisida OP sebagai racun kntak.
Insektisida ini dikembangkan untuk mengendalikan Parlatoria proteus, aphis
tavaresii, empoasca sp, phaedonia inclusa, setora nitens, coccus viridis,
pseudococcus citri dan lain – lainnya. Formulasi yang diperdagangkan di
Indonesia yaitu Supracide 40EC mengandung 420 gr metidation/l.
Metidation ini berupa Cairan emulsi (emulsifiable concentrates/emulsible
concentrates) Pestisida yang berformulasi cairan emulsi meliputi pestisida yang di
belakang nama dagang diikuti oleb singkatan ES (emulsifiable solution), WSC
(water soluble concentrate). B (emulsifiable) dan S (solution). Biasanya di muka
singkatan tersebut tercantum angka yang menunjukkan besarnya persentase bahan
aktif. Bila angka tersebut lebih dari 90 persen berarti pestisida tersebut tergolong
murni. Komposisi pestisida cair biasanya terdiri dari tiga komponen, yaitu bahan
aktif, pelarut serta bahan perata. Pestisida golongan ini disebut bentuk cairan
emulsi karena berupa cairan pekat yang dapat dicampur dengan air dan akan
membentuk emulsi.
Metidation ini diperdagangkan sebagai Supracide dengan struktur kimia sebagai
berikut :
O
P
S
R= (C
2H
5O)
2Sifat-sifat fisik dan kimia senyawa metidation dapat dilihat pada Tabel 2.5 berikut
ini:
Tabel 2.5 Sifat fisika dan kimia Senyawa Metidation
Kriteria Hasil
Nama kimia O,O-dimetil-S-(2-metoksi-1,3,4- thiadiazol-5(4H)-onyl-(4)-metil)-ditiopospat
Kemurnian minimum 95 % Bentuk Butiran Kristal bubuk
Warna Putih
Bau Merkaptan lembut
Titik lebur 39-400 C
Tekanan uap 1.0 x 10−6
mm Hg pada 200C
Massa jenis 1.495 g/cm3
pada 200C
Kelarutan pada air 240 ppm = 0.024% pada 200
C,tidak larut pada metanol, aseton, benzena
Kestabilan relatif stabil pada pH netral dan unsur yang bersifat Asam lemah, tidak ada perubahan selama 3 hari didalam penyangga pospat atau dalam larutan HCl 0,01 N. Kestabilan pada unsur alkali sangat rendah
Sumber : Irien,2007
2.1.3.4 Fention
Bahan aktif fention diperdagangkan sebagai LebaycidR, Baytex, Entex,
Tiguvon, Mercaptophos, Queletox, dan Baycid. Yang memiliki struktur kimia
sebagai berikut :
Fention adalah fosfat organik insektisida dan akarisida mempunyai aktivitas
residu yang panjang, merupakan racun perut dan racun kontak. Insektisida ini
berupa cairan tidak berwarna, bila digunakan menurut anjuran tidak menimbulkan
fitotoksik, zat ini dikembangkan oleh Bayer A.G. German tahun 1962. Insektisida
fention dapat digunakan untuk mengendalikan Helopeltis sp., plusia chalcites,
empoasca sp, ulat sinanangkeup paralebeda plagifera, dan lain – lain. Formulasi
yang diperdagangkan yaitu Lebaycid 550EC mengandung 540 gr fention/l dan
Lebaycid 1000ULV mengandung 1.011 gr fention/l.
Sifat fisik dan kimia senyawa fention dapat dilihat pada Tabel 2.6 berikut :
Tabel 2.6 Sifat fisik dan kimia fention
Kriteria Hasil
Nama kimia O,O-Dimethyl O
-[3-methyl-4-(methylsulfanyl)phenyl] phosphorothioate Rumus Kimia C10H15O3PS
Kemurnian
2
minimum 95-98%
Bentuk Butiran Kristal bubuk
Warna Putih
Bau Merkaptan lembut
1,25 g/cm³
Titik didih 87 °C (189 °F; 360 K) at 0.01 mmHg
Massa jenis 278.33 g/mol
Kelarutan Kelarutan dalam minyak gliserida, metanol, etanol, eter, aseton, dan sebagian besar pelarut organik, hidrokarbon terutama chlorinated
2.1.4 Residu Pestisida
Masalah residu pestisida pada hasil pertanian merupakan isu penting dan
mendapat perhatian serius baik secara nasional maupun internasional. Bahan
pangan dapat menjadi tidak aman untuk dikonsumsi apabila tercemar oleh
pestisida terutama dengan adanya residu pestisida pada komoditas pangan.
Bahaya residu pestisida yang dapat membahayakan kesehatan konsumen meliputi:
timbulnya reaksi alergis, keracunan dan karsinogenik (Hasibuhuan,2015).
Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang
terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau
tanah (Deptan,2007). Beberapa yang mengidentifikasikan batas residu, digunakan
untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR)
adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan
dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal
pada komoditas makanan dan daging hewan.
Apabila pelaksanaan pengujian residu pestisida mengikuti pedoman
tersebut secara tepat dan cermat, maka hasil pengujian yang diperoleh merupakan
hasil pengujian yang memiliki validitas dan reabilitas yang tinggi. Dengan
demikian keputusan diambil berdasarkan hasil pengujian tersebut akan merupakan
suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga
pelaksanaan SKB (Surat Keputusan Bersama) dari Menteri Kesehatan dan
Menteri Pertanian tersebut dapat berjalan dengan efekktif dan efisien. Data BMR
pestisida berdasarkan FAO dan WHO (2010) dan Deptan dapat dilihat pada Tabel
Tabel 2.7 Batas Maksimum Residu Pestisida golongan organofosfat pada Makanan
No Nama/Jenis Pestisida Komoditas/Bahan
Makanan BMR (mg/kg) 1 Fention Anggur 0,5
Apel 2 Beras 0,1 Jeruk 2 Jus jeruk 0,2 2 Klorporipos Anggur 1
Apel 1 Beras 0,1 Jamur 0,05 Jeruk 1 3 Metidation Advokat 0,2
Anggur 0,2 Apel 0,5 Jagung 0,13 Jeruk 0,12 4 Profenofos Tomat 10
Kentang 0,05 Cabai 5 Manggis 10 Jeruk 1
Sumber : FAO dan WHO (2010); Deptan (2009)
Selain BMR, Acceptable Daily Intake (ADI) atau batas yang dapat
dievaluasi. Berdasarkan FAO dan WHO, ADI untuk profenofos adalah 0-0,03
mg/kg berat badan (FAO dan WHO,2010)
2.1.5 Analisis Residu Pestisida dengan Menggunakan alat Kromatografi Gas
Cair atau Gas Liquid Chromatography (GLC)
Analisis residu pestisida dapat dilakukan dengan berbagai metode dan alat antara
lain Kromatografi Cair, Elektroporesis Kapiler, Metode Bioteknologi, dan
Kromatografi Gas, dimana dari semua metode yang disebutkan Kromatografi Gas
Cairan atau yang sering disebut dengan Gas Liquid Chromatography (GLC)
merupakan teknik penentuan yang paling sering digunakan untuk analisis
pestisida terutama pestisida golongan organofosfat. Dengan menggunakan
kromatografi gas, pestisida dapat dideteksi pada tingkat konsentrasi yang sangat
rendah dengan selektivitas yang tinggi, hal tersebut disebabkan oleh detektor
selektif GC seperti electron-capture detector (ECD), flame photometric detector
(FPD), dan nitrogen phosphorus detector (NPD). Metode ini cepat dan
menyediakan resolusi yang baik untuk penentuan residu multikomponen, dan
penggunaan dengan sensitivitas yang tinggi dan detektor yang spesifik, residu
diukur dengan perbandingan presisi dan akurasi yang tinggi (Mc Nair,1998).
Kromatografi gas (KG) merupakan teknik instrumental yang dikenalkan
pertama kali pada tahun 1950-an. KG merupakan metode yang dinamis untuk
pemisahan dan deteksi senyawa-senyawa organik yang mudah menguap dan
senyawa-senyawa gas anorganik dalam suatu campuran. Perkembangan teknologi
yang signifikan dalam bidang elektronik, komputer, dan kolom telah
menghasilkan batas deteksi yang lebih rendah serta indentifikasi senyawa menjadi
Analisis dengan Kromatografi Gas Cair atau GLC tidak selalu mudah
untuk menghasilkan kromatogram yang baik. Banyak faktor yang harus dipilih
secara tepat, seperti pemilihan ase stasioner, penentuan suhu kolom dan kecepatan
aliran gas pembawa, disamping kecermatan preparasi sampel, pembuatan kolom
dan conditioningnya. Hal – hal yang seterusnya akan diuraikan dalam naskah ini
akan dapat dipakai untuk membantu memecahkan masalah – maslah yang
dihadapi dalam menoperasikan alat GLC.
2.1.6 Susunan Alat dan Cara Operasinya
Keuntungan penggunn GLC selain kecepatan dan variasi penggunaannya yang
luas, juga karena dengan cara ni hanya dibutuhkan jumlah sampel relatif snagat
kecil. Meskipun dengan sampel yang sangat kecil, komponen yang jumlahnya
banyak dalam bentuk kromatogram yang dapat memberikan informasi tidak hanya
kuantitasnya, tetapi jugab identitasnya. Selain berbeda dengan kromatografi lain,
kolom yang digunakan dalam GLC secara kontinyu dapat mengalami regenerasi,
sehingga praktis dapat digunakan dalam waktu yang tidak terbatas asalkan
persyaratan yang diminta selalu dapat dipenuhi.
Tidak seperti pada kromattografi cairan, kromatografi gas cairan
merupakan sistem yang tertutup. Komponen dasarnya terdiri dari tangki gas
pembawa, pengatur tekanan/aliran gas, injektor, kolom, detektor, oven pemanas,
amplifier, dan rekorder. Untuk masing – masing penjelasannya dapat diuraikan
sebagai berikut ini.
1. Gas Pembawa
Gas yang umum digunakan adalah Helium (He), Nitrogen, Hidrogen dan Argon.
berbahaya kecuali gas hidrogen yang mudah terbakar. Oleh karena itu, harus hati
– hati bila menggunakan hidrogen, terutama harus dijagag jangan sampai ada
kebocoran. Karena gas pembawa terssebut tidak reaktif, interaksi antara senyawa
– senyawa dalam sampel denga gas pembawa tidak terjadi.
Gas pembawa yang dipakai harus sesuai dengan jenis detektornya,
misalnya Thermal Conductivity Detector cocok bila digunakan gas Hidrogen dan
Helium. Selain itu gas pembawa juga harus mempunyai kemurnian yang tinggi,
karena kontaminasi dalam jumlah yang kecilpun dapat menyebakan noise pada
signal yang dikirimkan oleh detektor, sehingga dapat memberikan garis dasar
yang tidak baik/tidak lurus.
2. Injektor
Injektor yang digunakan sama seperti pada kromatografi yang lainnya, injektor
tersebut haruslah dipanaskan terlebih dahulu agar sampel yang berupa cairan
dapat menguap. Selain itu desain injektor harus sedemikian, sehingga sampel
yang telah menguap tersebut dapat langsung masuk kolom dengan perantaraan gas
pembawa. Pada beberapa alat, sampel tersebut dapat diinjeksikan langsung ke
dalam kolom (on column injection), terutama untuk menghindari kelemahan tadi.
Hal ini juga lebih disukai khususnya untuk sampel yang titik didihnya tidak terlalu
tinggi.
3. Kolom
Ada dua jenis kolom, yaitu kolom dengan isian (packed column) dan kolom pipa
terbuka (open tubular column). Kolom isian merupakan suatu pipa yang diisi
bahan penyangga padat yang permukaanya dilapisi dengan cairan (fase stasioner)
stasionernya melapisi permukaan dinding kolom. Oleh karena itu gas pembawa
dapat mengalir tanpa terjadi penurunan tekanan dan hal inilah yang
memungkinkan kolom jenis ini dapat dipakai lebih panjang. Panjang kolom isisan
biasanya hanya antara 0,7 sampai 2 m, sedangkan kolom pipa terbuka dapat
bervariasi antara 30 sampai 300 m.
4. Penyangga Padat
Zat padat penyangga (solid support) mempunyai fungsi agar fase cair atau fase
stasioner dapat terdistribusi dengan rata pada permukaan yang luas. Penyangga
padat tersebut harus tidak reaktif agar tidak terjadi adsorbsi pada senyawa –
senyawa yang dipisahkan. Selain itu harus mempunyai ukuran yang seragam,
tidak mudah pecah karena tekanan, tahan terhadap suhu tinggi, dan mempunyai
permukaan yang luas.
Penyangga padat umumnya dibuat dari tanah diatome, yang tersusun dari
senyaw silikat yang porous. Tanah diatome, yang tersusun dari senyaw silikat
yang porous. Penyangga padat yang dihasilkan dengan cara ini disebut
Chromosorb-P, karena warnanya jingga (pink). Bahan tersebut mempunyai
permukaan kira – kira 4 �2/g dan masih aktif pada senyawa polar.
5. Fase Stasioner (Liquid Phase)
Fase cairan (Liquid phase) disebut juga fase stasioner. Pad waktu sekarnag fase
cairan yang terdapat dalam perdagangan banyak sekali. Hal ini menyebabkan
bertambahnya kemampuan GLC sebagai alat pemisah dan alat analisis. Pemisahan
fase caiiran biasanya didasarkna atas pedoman like dissolves like. Hal ini berarti
bahwa fase stasioner yang bersifat polar cocok untuk sampel yang bersifat polar
Pada umumnya fase stasioner yang nonpolar bersifat nonselektif. Hal ini
berarti bahwa bila tidak terdapat daya tarik menarik antara senyawa yang
dainalisis dengan fase stasioner, volatilitas senyawa tersebut terutama akan
ditentukan oleh tekanan uapnya. Sebaliknya dalam fase stasioner yanh bersifat
polar, volatilitasnya sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara senyawa
yang dianalisis dengan fase stasioner.
6. Detektor
Komponen zat – zat yang terrdapat dalam sampel yang telah dipisahkan oleh
kolom harus dapat di deteksi dan akhirnya digambarkan dalam bentuk
kromatogram. Mengingat bahwa masing – masing komponen tersebut dalam
konsentrasi yang sangat rendah dalam gas pembawa, detektor harus mempunyai
kepekaan yang sangat tinggi.
Berdasarkan jenis respon yang diberikan, detektor dapat digolongkan
menjadi detektor integral dan detektor diferensial. Pada detektor integral besarnya
signal bersifat kumulatif, sedangkan pada detektor diferensial besarnya signal
bersifat individual dari masing – masing komponen senyawa yang melalui
detektor tersebut.
Detektor dapat juga dibedakan menjadi detektor yang bersifat destruktif,
bila senyawa yang dideteksi menjadi rusak seperti Flame Ionization Detektor
(FID). Sebaliknya senyawa tersebut tidak rusak pada waktu dideteksi seperrti pada
2.2 Jeruk
Jeruk merupakan buah unggulan yang memiliki berbagai jenis. Di
Indonesia, ada tiga jenis jeruk unggul yang dikomersialkan, yaitu jeruk besar
(citrus maxima Merr), jeruk keprok, dan jeruk siem (Citrus nobilis var
microcarpa). Dari ketiga jenis tersebut telah dihasilkan banyak varietas jeruk
keunggulan yang mampu menyaingi jeruk impor. Hingga kini, ada 41 varietas
jeruk yang sudah dilepas oleh pemerintah melalui Mentri Pertanian
RI.(Agromedia,2011).
2.2.1 Sejarah Perkembangan Jeruk
Tanaman jeruk (Citrus sp. ) adalah tanaman tahunan berasal dari Asia
Tenggara, terutama Cina. Sejak ratusan tahun yang lampau, tanaman ini sudah
terdapat di Indonesia, sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di
pekarangan. Di Indonesia jeruk merupakan komoditas buah-buahan terpenting
ketiga setelah pisang dan mangga bila dilihat dari luas pertanaman dan jumlah
produksi per tahun (Soelarno,1996).
2.2.1.1 Klasifikasi dan Kualitas/Kandungan Gizi
Dalam sistem klasifikasi, tanaman jeruk manis dapat digolongkan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Sub divisio : Angiospermae
Clasis : Dicotyledoneae
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : Citrus sp. (Soelarno,1996)
Varietas jeruk pada umumnya haruslah memiliki standar pemakaian yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Para konsumen pasti akan memilih varietas
buah jeruk yang bebas penyakit dan memiliki kandungan gizi yang baik serta
memiliki harga yang terjangkau.
Kandungan gizi dari varietas jeruk itu sendiri dapat dilihat dari
karakteristik jeruk pada umumnya, yaitu berdasarkan sifat fisik buah (ukuran,
warna dan rasa) dan sifat kimia (kandungan gula total, kandungan asam dan
vitamin C). Beberapa sifat fisik dan sifat kimia dapat dilihat pada Tabel 2.8 dan
tabel 2.9.
Sifat fisik buah varietas jeruk pada saat dipetik sangat erat hubungannya
dengan kualitas buah sementara karakteristik buah varietas jeruk pada saat dipetik
itu sangat erat hubungannya dengan kandungan giji buah. Untuk sifat fisiknya
Tabel 2.8 Sifat fisik buah varietas jeruk pada saat dipetik (physical
characteristic of each variety atticking time).
Varietas Berat /
Sumber : Bambang, 1996
Kandungan gizi dari buah jeruk itu sendiri dapat berupa kandungan vitamin, asam,
dan lainnya yang terdapat pada varietas jeruk yang telah dipetik. Dimana pada
umumnya kandungan gizi dari suatu produk pertanian ini lah yang sering
diperhatikan para konsumen. Kandungan gizi yang tinggi biasanya akan lebih
diminati para konsumen. Kandungan gizi tersebut dapat kita lihat pada tabel
Tabel 2.9 Sifat kimia setiap varietas jeruk saat dipetik (Chemical
Characteristics of each variety at picking time)
Varietas PTT
2.3.Dampak Negatif Pestisida/Insektisida
Secara umum dampak negatif penggunaan insektisida dapat
dikelompokkan ke dalam dua aspek, yaitu aspek kesehatan dan lingkungan hidup
dan aspek pengendalian hama dalam kegiatan usaha tani.
Dampak terhadap lingkungan hidup dan kesehatan :
a) Jika seseorang mendapat kontak secara terus-menerus dengan insektisida apabila keadaan ini berlangsung dalam waktu yang lama. Penyakit kanker, gangguan pernafasan, gangguan saraf, dan kelainan-kelainan lain dapat muncul setelah waktu yang agak lama
b) Jika seseorang memakan hasil-hasil pertanian yang mengandung residu insektisida. Jika tumpukan residu tersebut tersimpan didalam tubuh manusia maka dalam waktu lama pasti akan menimbulkan kelainan didalam tubuh c) Apabila terjadi limpahan insektisida/pestisida ke lingkungan dalam jumlah
besar, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dapat menewaskan penduduk yang berada disekitarnya
Dampak negatif terhadap lingkungan dan pengelolaan hama :
a) Menekan populasi hama sasaran b) Menimbulkan seleksi hama resisten c) Menghancurkan populasi musuh alami
− Menekan populasi musuh alami secara langsung
− Mereduksi populasi inang atau mangsa dari musuh alami
d) Menimbulkan resurjensi dan hama sekunder e) Membunuh serangga penyerbuk
f) Mencemari jaringan makanan g) Menyebabkan ekotoksisitas umum
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Jeruk (Citrus sp.) adalah tanaman tahunan berasal dari Asia Tenggara, terutama
Cina. Sejak ratusan tahun yang lampau, tanaman ini sudah terdapat di Indonesia,
baik sebagai tanaman liar maupun sebagai tanaman di pekarangan. Di Indonesia
jeruk merupakan komoditas buah-buahan terpenting ketiga setelah pisang dan
mangga bila dilihat dari luas pertanaman dan jumlah produksi per tahun
(Soelarno,1996).
Jeruk merupakan buah unggulan yang memiliki berbagai jenis. Di
Indonesia, ada tiga jenis jeruk unggul yang dikomersialkan, yaitu jeruk besar
(citrus maxima Merr), jeruk keprok, dan jeruk siem (Citrus nobilis var
microcarpa). Dari ketiga jenis tersebut telah dihasilkan banyak varietas jeruk
keunggulan yang mampu menyaingi jeruk impor. Hingga kini, ada 41 varietas
jeruk yang sudah dilepas oleh pemerintah melalui Mentri Pertanian RI
(Agromedia,2011).
Produktivitas tanaman jeruk di Indonesia pada tahun 1980 tercatat sebesar
4,4 ton/ha, padahal pada tahun 1983 mencapai 7,6 ton/ha. Keadaan ini sangat jauh
dibandingkan dengan negara-negara maju yang produktivitasnya berkisar antara
40-50 ton/ha. Kemunduran hasil (deklinasi atau degenerasi) tersebut akibat dari
Huang Lung Bin (Degreening) yang menyebabkan kerugian besar dan kematian
sejumlah besar tanaman jeruk. Oleh sebab itu, perlu diadakan upaya rehabilitasi
dan pengembangan jeruk bebas penyakit.
Proyeksi program rehabilitasi jeruk di Indonesia terdiri dari tiga kegiatan
utama, yaitu: (1) penyediaan bibit jeruk bebas penyakit, (2) penyusunan
pengendalian hama dan penyakit, dan (3) peningkatan teknik budidaya pada setiap
agroklimat wilayah pengembangan.
Profenofos merupakan salah satu pestisida-insektisida golongan organofosfat. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tahun 2009 yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian (Deptan), pestisida yang banyak digunakan petani untuk tanaman jeruk adalah pestisida yang berbahan aktif profenofos. Pemakaian pestisida pada sektor pertanian, secara tidak langsung dapat menimbulkan masalah, yaitu dengan adanya residu pestisida pada makanan dan alam sekitarnya, apabila pemakaian tidak mengikuti peraturan yang telah ditetapkan (Syarief dan Hariadi,1993).
Keracunan pestisida organofosfat (OP) dapat terjadi oleh adanya residu yang terdapat pada jeruk. Batas maksimum residu (BMR) yang telah ditetapkan oleh Deptan (2009) untuk pestisida profenofos pada jeruk adalah 5 mg/kg. Keracunan organofosfat terjadi melalui saluran pernafasan, kulit dan saluran pencernaan (Munaf,1997 dan Sartono,2002).
Oleh karena itu untuk mengetahui residu pestisida yang terdapat pada
jeruk terhadap kesehatan konsumen maka dilakukan analisa secara kromatografi
atau tidak. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk
mengangkat masalah ini dalam pembahasan tugas akhir dengan judul “Penentuan
Kandungan Residu Pestisida Organogosfat Pada Jeruk Secara
1.2 Permasalahan
Setiap tanaman pada pertanian biasanya memiliki kandungan pestisida berbahan
aktif yang tinggi seperti golongan organofosfat contohnya yaitu propenofos,
metidation, klorporipos dan fention khususnya pada tanaman jeruk. Setiap
kandungan residu pestisida itu akan mempengaruhi mutu dan kualitas dari jeruk.
Apakah kandungan residu pestisida diatas yang terdapat pada jeruk sudah layak
konsumsi atau tidak.
1.3 Tujuan
Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui kandungan residu pestisida
golongan organofosfat terhadap mutu dan kualitas pada jeruk.
1.4 Manfaat
Dengan diketahuinya hasil dari kandungan residu pestisida golongan organofosfat
pada jeruk secara kromatografi gas, apakah jeruk tersebut layak dikonsumsi atau
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
ABSTRAK
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
ABSTRACT
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
TUGAS AKHIR
ELVI H. DAMANIK 132401069
PROGRAM STUDI D-3 KIMIA DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat memperoleh gelar Ahli Madya
ELVI H. DAMANIK 132401069
PROGRAM STUDI D-3 KIMIA DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul :Penentuan Kandungan Residu Pestisida Organofosfat Pada Jeruk Secara Kromatografi Gas Kategori : Tugas Akhir
Nama : Elvi Hotida Damanik Nomor Induk Mahasiswa : 132401069
Program Studi : Diploma (D3) Kimia Departemen : Kimia
Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Juli 2016
DisetujuiOleh
Program Studi D3 Kimia FMIPA USU Ketua,
Dra. Emma Zaidar Nst, M.Si NIP: 195512181987012001
Pembimbing,
Drs. Johannes H Simorangkir, MS NIP: 195307141980031004
Diketahui Oleh
Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
TUGAS AKHIR
Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil kerja saya sendiri. Kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juli 2016
PENGHARGAAN
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas
akhir ini dari awal hingga akhir dengan judul ” Penentuan Kandungan Residu
Pestisida Organofosfat Pada Jeruk Secara Kromatografi Gas”
Penyusunan Tugas akhir ini merupakan hasil kerja praktik yang
dilaksanakan di Laboratorium Pengujian Mutu Dan Residu Pestisida UPT.
PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN DAN HOLTIKULTURA DINAS
PERTANIAN PROVINSI SUMATERA UTARA. Tugas akhir ini merupakan
salah satu persyaratan akademik mahasiswa/i untuk memperoleh gelar Ahli
Madya Diploma 3 untuk program studi Kimia Industri di Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan praktek kerja lapangan dan penyusunan tugas akhir
ini, penulis tidak lepas dari dukungan dan karena adanya bantuan dan bimbingan
serta kerja sama yang yang telah diberikan dari berbagai pihaK. Untuk itu penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis Bapak Sawadin Damanik dan Ibu Tiomas
Saragih yang selalu memberi motivasi, dukungan baik moral ataupun
materi serta dukungan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
2. Bapak Drs. Johannes H.Simorangkir, M.S. selaku dosen pembimbing
yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan fikiran selama
penyusunan tugas akhir ini.
3. Ibu Dr. Rumondang Bulan, M.S. selaku Ketua Departemen Kimia
FMIPA USU
4. Ibu Dra Emma Zaidar M.Si selaku Koordinatur jurusan Kimia Industri
FMIPA USU yang telah banyak membimbing dan membantu kelancaran
studi kami.
5. Bapak Drs.Kerista Sebayang M.S. selaku Dekan FMIPA USU
6. Bapak/Ibu staff pengajar dan pegawai program studi D3 Kimia FMIPA
USU yang telaj banyak membimbing penulis untuk mengikuti proses
belajar mengajar selama perkuliahan berlangsung.
7. Bapak Rukito, Kakak Yulvi dan staff pegawai lainnya yang berada di
Laboratorium Pengujian Mutu Dan Residu Pestisida UPT.
PERLINDUNGAN TANAMAN PANGAN DAN HOLTIKULTURA
DINAS PERTANIAN PROVINSI SUMATERA UTARA yang telah
membimbing penulis selama kegiatan praktek kerja lapangan.
8. Seluruh teman seperjuangan mahasiswa/i D3 Kimia FMIPA USU
khususnya kelas B.
9. Sahabat - sahabatku Ajeng, Emif, Citra, Dina, Dinda, Ita, Ina Swarna,
Juliana, dan Sariani
10. Abang David Antonius Silalahi, Theresia Silalahi, Tiurmaida Aritonang,
Jefri Anton Saragih dan Enjel F Sitio yang telah memberikan semangat,
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir ini masih banyak
kekurangan. Maka dari itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun, agar dapat digunakan untuk menambah
pengetahuan dan perbaikan atas kekurangan dalam penulisan tugas akhir ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis berharap semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya pada penulis sendiri.
Medan, Juli 2016
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
ABSTRAK
PENENTUAN KANDUNGAN RESIDU PESTISIDA
ORGANOFOSFAT PADA JERUK SECARA
KROMATOGRAFI GAS
ABSTRACT
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan i
Pernyataan ii
Penghargaan iii
BAB 2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pestisida 5
2.1.1 Pengertian Pestisida 5 2.1.2 Insektisida 7 2.1.3 Insektisida Organofosfat 8 2.1.3.1 Profenofos 10 2.1.3.2 Khlorpirifos 12 2.1.3.3 Metidation 13 2.1.3.4 Fention 14 2.1.4 Residu Pestisida 16 2.1.5 Analisis Residu Pestisida 17
2.2 Jeruk 19
2.2.1 Sejarah Perkembangan jeruk 19 2.2.1.1 Klasifikasi dan Kandungan Gizi 21 2.3 Dampak Negatif Pestisida/Insektisida 22
BAB 3. Metode Penelitian
3.1 Alat 24
3.2 Bahan-bahan 24 3.3 Prosedur Penelitian 25 3.3.1 Pembuatan Larutan Baku Profenofos 25 3.3.2 Perlakuan Terhadap jeruk 25 3.3.3 Ekstraksi 25 3.3.4 Analisis Kualitatif 26
4.1 Hasil 27
4.2 Reaksi 29
4.3 Perhitungan 29
4.4 Pembahasan 39
BAB 5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan 40
5.2 Saran 41
DAFTAR PUSTAKA 42
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel
2.1 Pengelompokan Pestisida Menurut Jenis OPT Sasaranya 6 2.2 Toksisitas Insektisida Organofosfat Terhadap (mg/kg of
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman Gambar