• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) Dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks Dan Kayu"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

SELEKSI DINI POHON INDUK TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN RRIM 600 X PN 1546 BERDASARKAN

PRODUKSI LATEKS DAN KAYU

KOKO MARDIANTO 070307020

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SELEKSI DINI POHON INDUK TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN RRIM 600 X PN 1546 BERDASARKAN

PRODUKSI LATEKS DAN KAYU

SKRIPSI

Oleh :

KOKO MARDIANTO

070307020

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

SELEKSI DINI POHON INDUK TANAMAN KARET (Hevea brasiliensis Muell Arg.) DARI HASIL PERSILANGAN RRIM 600 X PN 1546 BERDASARKAN

PRODUKSI LATEKS DAN KAYU

SKRIPSI

Oleh :

KOKO MARDIANTO

070307020 / PEMULIAAN TANAMAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul Penelitian : Seleksi dini pohon induk tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) dari hasil persilangan RRIM 600 X PN 1546 berdasarkan produksi lateks dan kayu

Nama : Koko Mardianto

NIM : 070307020

Departemen : Budidaya Pertanian Program Studi : Pemuliaan Tanaman

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing :

Ir. Yusuf Husni Prof. Dr. Ir. Rosmayati, MS Dra. Sekar Woelan, MP Ketua Anggota Anggota

Mengetahui,

Ir. T. Sabrina, M.Agr.Sc, PhD Ketua Departemen Agroekoteknologi

(5)

ABSTRAK

KOKO MARDIANTO: Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea

brasiliensis Muell Arg.) dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546

Berdasarkan Produksi Lateks dan Kayu, dibimbing oleh Ir. Yusuf Husni, Prof. DR. Ir. Rosmayati, MS dan Dra. Sekar Woelan, MP.

Perbaikan potensi genetik merupakan faktor yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas karet. Kemajuan pemuliaan karet sangat tergantung kepada potensi dan ketersediaan sumber keragaman genetik, yang diperoleh melalui kegiatan persilangan antara tetua yang memiliki hubungan kekerabatan jauh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genotipe, fenotipe, heritabilitas, dan kemajuan seleksi yang ditimbulkan dari hasil persilangan intraspesifik antara RRIM 600 x PN 1546 dan mendapatkan genotipe-genotipe yang berpotensi sebagai penghasil lateks dan kayu. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan tanaman F1 hasil okulasi (turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian Sungei Putih - Pusat Penelitian Karet, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang-Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ± 54 m dpl pada bulan Januari 2011 sampai dengan Maret 2011 menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial yang terdiri dari 25 genotipe dan 2 tetua, yaitu RRIM 600 dan PN 1546. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang primer, tinggi cabang pertama, lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, produksi karet kering dan produksi kayu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman, lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, produksi karet kering dan produksi kayu. Koefisien keragaman genetik (KKG) dan heritabilitas (h2) dari genotipe yang diteliti cukup tinggi untuk rata-rata produksi karet kering, tinggi tanaman, lilit batang, tebal kulit dan jumlah pembuluh lateks, dengan nilai KKG 7,84 - 40,49% dan nilai h2 antara 0,672 – 0,819 dan seleksi atas dasar karakter ini memberikan kemajuan genetik sebesar 0,542 – 6,355. Terdapat tiga genotipe yang memiliki potensi sebagai penghasil lateks yaitu genotipe no. 19, 37 dan 40, dan tiga genotipe yang memiliki potensi sebagai penghasil kayu yaitu genotipe no. 14, 16 dan 28.

(6)

ABSTRACT

KOKO MARDIANTO: Early Selection Mother Plant of Rubber (Hevea brasiliensis Muell Arg.) from the Result of RRIM 600 X PN 1546 Crossing Based on Latex and Timber Yield, supervised by Ir. Yusuf Husni, Prof. DR. Ir. Rosmayati, MS and Dra. Sekar Woelan, MP.

Improvement of genetic potential is an important factor in improving yield. Progress of rubber breeding is dependent on the potency and availability of sources of genetic diversity, which is obtained through crossing between parent who have distant relationship. This objective of reasearch to determine the diversity of genotype, phenotype, heritability, and selection progress arising from the results of intraspecific crosses between RRIM 600 x PN 1546 and obtain genotypes that have the potential as a producer of latex and timber. The research was conducted at the Experimental Garden results of grafting F1 plants (derived) from intraspecific crosses RRIM 600 x PN 1546 in Sungei Putih Research Center for Indonesian Rubber Research, Galang, Deli Serdang, North Sumatera, with ± 54 m altitude above sea level in January 2011 to March 2011. The design using non-factorial randomized block design consisting of 25 genotypes and 2 parents, namely RRIM 600 and PN 1546. The parameters observed were plant height, number of primary branches, first branch height, girth, bark thickness, number of latex vessels, diameter of latex vessel, dry rubber content and timber yield.

The results showed that genotype significantly increased the parameters plant height, girth, bark thickness, number of latex vessels, dry rubber content and timber yield. The coefficient of genetic variability (CGV) and heritability (h2) of the genotype is high for the average dry rubber content, plant height, girth, bark thickness and number of latex vessels, with CVG value from 7,84 to 40,49% and h2 values between 0,672 to 0,819 and selection on the basis of these characters provide the genetic progress of 0,542 to 6,355. There are three genotypes which have potential as a producer of latex were genotype No. 19, 37 and 40, and three genotypes that have potential as a producer of wood that is genotype No. 14, 16 and 28.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 20 Maret 1989 dari ayah Ir. Usul

dan ibu Supiatmi. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara.

Tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 4, Medan dan pada tahun yang

sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur ujian tertulis Seleksi

Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih program studi Pemuliaan

Tanaman, Departemen Budidaya Pertanian.

Penulis melaksakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Balai Penelitian

Sungei Putih - Pusat Penelitian Karet, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat

dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

”Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) dari

Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546 Berdasarkan Produksi Lateks dan

Kayu”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada ayahanda Ir. Usul dan Ibunda Supiatmi yang telah memberikan kasih

sayang dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima

kasih dan doa untuk Bapak Alm. Prof. DR. Ir. T.M. Hanafiah Oeliem, DAA

selaku ex. ketua komisi pembimbing, serta ucapan terima kasih kepada bapak

Ir. Yusuf Husni selaku ketua komisi pembimbing, ibu Prof. DR. Ir. Rosmayati, MS dan

ibu Dra. Sekar Woelan, MP selaku anggota komisi pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan masukan berharga kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih kepada abangku Eka Bobby Febrianto serta adik-adikku

Indra Wahyu Wibawa dan Annisa Mardianti (Ubiet) yang telah menjadi

penyemangat selama masa perkuliahan. Terima kasih kepada sahabat terbaikku

Suci Apriani Harahap, Satriya, Bayu, Gusman, Ucup, Babenk, Baron, Adnan,

Budi, Ade, Ferdy, Nida, Fina, Nadya, Roza, dan seluruh teman-teman BDP 2007

serta pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam melaksanakan

(9)

Afrizal A.R. beserta keluarga dan Bang Sayurandi yang telah banyak memberikan

bantuan, para teknisi Pak Adi Mulyono, Bang Indra, Bang Adi, Kak Fina, Bang

Sahrul, Pak Surip dan Pak Zaiman yang membantu penulis di lapangan maupun di

laboratorium selama penelitian berlangsung, serta karyawan/i dan seluruh

keluarga besar Balai Penelitian Sungei Putih yang telah banyak membantu dan

memberikan dukungan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

kesempurnan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang

memerlukan.

Medan, Juni 2011

(10)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Botani Tanaman ... 5

Syarat Tumbuh ... 8

Iklim ... 8

Tanah ... 9

Peningkatan Produktivitas Melalui Pemuliaan Tanaman Karet ... 10

Keragaman Genotipe dan Fenotipe... 15

Heritabilitas ... 16

Kemajuan Genetik ... 18

METODE PENELITIAN ... 20

Tempat dan Waktu ... 20

Bahan dan Alat ... 20

Metode Penelitian ... 21

PELAKSANAAN PENELITIAN ... 25

Persiapan Areal ... 25

Sensus Tanaman ... 25

Membuat Batas Tinggi Penyadapan ... 25

Menyiapkan Penampungan Lateks ... 25

Penyadapan ... 25

Pengamatan Parameter ... 26

Tinggi Tanaman (m) ... 26

Jumlah Cabang Primer (cabang) ... 26

Tinggi Cabang Pertama (m) ... 26

Lilit Batang (cm) ... 26

Tebal Kulit (mm)... 26

Jumlah dan Diameter Pembuluh Lateks ... 27

(11)

Produksi Kayu (cm3/pohon)... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

Hasil ... 30

Tinggi Tanaman (cm) ... 30

Jumlah Cabang Primer (cabang) ... 31

Tinggi Cabang Pertama (m) ... 31

Lilit Batang (cm) ... 32

Tebal Kulit (mm)... 33

Jumlah Pembuluh Lateks ... 34

Diameter Pembuluh Lateks (mµ) ... 35

Produksi Karet Kering (g/p/s) ... 36

Produksi Kayu (cm3/pohon)... 37

Pendugaan Parameter Genetik ... 38

Hubungan Karakter Agronomi Terhadap Produksi Karet Kering ... 39

Hubungan Karakter Agronomi Terhadap Produksi Kayu ... 40

Seleksi Genotipe Berdasarkan Potensi Produksi Karet Kering dan Kayu .... 40

Pembahasan ... 41

KESIMPULAN ... 46

Kesimpulan ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(12)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Analisis ragam dan pendugaan komponen ragam ... 22

2. Rataan tinggi tanaman dari 25 genotipe dan tetua ... 30

3. Rataan jumlah cabang primer dari 25 genotipe dan tetua ... 31

4. Rataan tinggi cabang pertama dari 25 genotipe dan tetua ... 32

5. Rataan lilit batang dari 25 genotipe dan tetua ... 33

6. Rataan tebal kulit dari 25 genotipe dan tetua ... 34

7. Rataan jumlah pembuluh lateks dari 25 genotipe dan tetua ... 35

8. Rataan diameter pembuluh lateks dari 25 genotipe dan tetua ... 36

9. Rataan produksi karet kering dari 25 genotipe dan tetua ... 37

10. Rataan produksi kayu dari 25 genotipe dan tetua ... 38

11. Nilai pendugaan komponen ragam genotipe (σ2g), ragam fenotipe (σ2p), koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipe (KKF), heritabilitas (h2) dan harapan kemajuan genetik (HKG) ... 39

12. Matriks korelasi karakter agronomi terhadap produksi karet kering ... 39

13. Matriks korelasi karakter agronomi terhadap produksi kayu ... 40

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Deskripsi tetua karet... 51

2. Bagan penelitian ... 53

3. Jadwal kegiatan ... 54

4. Data pengamatan tinggi tanaman (m) ... 55

5. Daftar sidik ragam tinggi tanaman ... 55

6. Data pengamatan jumlah cabang primer (cabang) ... 56

7. Daftar sidik ragam jumlah cabang primer ... 56

8. Data pengamatan tinggi cabang pertama (m) ... 57

9. Daftar sidik ragam tinggi cabang pertama ... 57

10. Data pengamatan lilit batang (cm) ... 58

11. Daftar sidik ragam lilit batang ... 58

12. Data pengamatan tebal kulit (mm) ... 59

13. Daftar sidik ragam tebal kulit ... 59

14. Data pengamatan jumlah pembuluh lateks ... 60

15. Daftar sidik ragam jumlah pembuluh lateks ... 60

16. Data pengamatan diameter pembuluh lateks (mµ) ... 61

17. Daftar sidik ragam diameter pembuluh lateks ... 61

18. Data pengamatan produksi karet kering (g/p/s) ... 62

19. Daftar sidik ragam produksi karet kering ... 62

20. Data pengamatan produksi kayu (cm3/pohon)... 63

(14)

22. Nilai pendugaan komponen ragam genotipe (σ2g), ragam fenotipe (σ2p),

koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipe (KKF),

heritabilitas (h2) dan harapan kemajuan genetik (HKG) ... 64

23. Matriks korelasi karakter agronomi terhadap produksi karet kering ... 64

(15)

ABSTRAK

KOKO MARDIANTO: Seleksi Dini Pohon Induk Tanaman Karet (Hevea

brasiliensis Muell Arg.) dari Hasil Persilangan RRIM 600 X PN 1546

Berdasarkan Produksi Lateks dan Kayu, dibimbing oleh Ir. Yusuf Husni, Prof. DR. Ir. Rosmayati, MS dan Dra. Sekar Woelan, MP.

Perbaikan potensi genetik merupakan faktor yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas karet. Kemajuan pemuliaan karet sangat tergantung kepada potensi dan ketersediaan sumber keragaman genetik, yang diperoleh melalui kegiatan persilangan antara tetua yang memiliki hubungan kekerabatan jauh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman genotipe, fenotipe, heritabilitas, dan kemajuan seleksi yang ditimbulkan dari hasil persilangan intraspesifik antara RRIM 600 x PN 1546 dan mendapatkan genotipe-genotipe yang berpotensi sebagai penghasil lateks dan kayu. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan tanaman F1 hasil okulasi (turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian Sungei Putih - Pusat Penelitian Karet, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang-Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ± 54 m dpl pada bulan Januari 2011 sampai dengan Maret 2011 menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial yang terdiri dari 25 genotipe dan 2 tetua, yaitu RRIM 600 dan PN 1546. Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang primer, tinggi cabang pertama, lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks, produksi karet kering dan produksi kayu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap parameter tinggi tanaman, lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks, produksi karet kering dan produksi kayu. Koefisien keragaman genetik (KKG) dan heritabilitas (h2) dari genotipe yang diteliti cukup tinggi untuk rata-rata produksi karet kering, tinggi tanaman, lilit batang, tebal kulit dan jumlah pembuluh lateks, dengan nilai KKG 7,84 - 40,49% dan nilai h2 antara 0,672 – 0,819 dan seleksi atas dasar karakter ini memberikan kemajuan genetik sebesar 0,542 – 6,355. Terdapat tiga genotipe yang memiliki potensi sebagai penghasil lateks yaitu genotipe no. 19, 37 dan 40, dan tiga genotipe yang memiliki potensi sebagai penghasil kayu yaitu genotipe no. 14, 16 dan 28.

(16)

ABSTRACT

KOKO MARDIANTO: Early Selection Mother Plant of Rubber (Hevea brasiliensis Muell Arg.) from the Result of RRIM 600 X PN 1546 Crossing Based on Latex and Timber Yield, supervised by Ir. Yusuf Husni, Prof. DR. Ir. Rosmayati, MS and Dra. Sekar Woelan, MP.

Improvement of genetic potential is an important factor in improving yield. Progress of rubber breeding is dependent on the potency and availability of sources of genetic diversity, which is obtained through crossing between parent who have distant relationship. This objective of reasearch to determine the diversity of genotype, phenotype, heritability, and selection progress arising from the results of intraspecific crosses between RRIM 600 x PN 1546 and obtain genotypes that have the potential as a producer of latex and timber. The research was conducted at the Experimental Garden results of grafting F1 plants (derived) from intraspecific crosses RRIM 600 x PN 1546 in Sungei Putih Research Center for Indonesian Rubber Research, Galang, Deli Serdang, North Sumatera, with ± 54 m altitude above sea level in January 2011 to March 2011. The design using non-factorial randomized block design consisting of 25 genotypes and 2 parents, namely RRIM 600 and PN 1546. The parameters observed were plant height, number of primary branches, first branch height, girth, bark thickness, number of latex vessels, diameter of latex vessel, dry rubber content and timber yield.

The results showed that genotype significantly increased the parameters plant height, girth, bark thickness, number of latex vessels, dry rubber content and timber yield. The coefficient of genetic variability (CGV) and heritability (h2) of the genotype is high for the average dry rubber content, plant height, girth, bark thickness and number of latex vessels, with CVG value from 7,84 to 40,49% and h2 values between 0,672 to 0,819 and selection on the basis of these characters provide the genetic progress of 0,542 to 6,355. There are three genotypes which have potential as a producer of latex were genotype No. 19, 37 and 40, and three genotypes that have potential as a producer of wood that is genotype No. 14, 16 and 28.

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perekonomian di Indonesia salah satunya dihasilkan dari pengembangan

kebun karet. Fungsi dari perkebunan karet tidak hanya sebagai sumber devisa,

sumber bahan baku industri, sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

tetapi sekaligus berperan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Selama tiga dekade ini pengembangan karet di Indonesia mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat. Di awal tahun 1968, luas areal karet baru 2,2 juta

ha dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 3,2 juta ha atau meningkat menjadi

sekitar 50%. Hampir 85% pengusahaan karet diusahakan oleh rakyat dan sisanya

oleh perkebunan besar. Produksi yang dihasilkan dari luasan tersebut mencapai

sebesar 2,2 juta ton dengan produktivitas rata-rata sebesar 840 kg/ha/tahun

(Dirjenbun, 2006).

Tanaman karet dikenal mempunyai daya adaptasi yang cukup luas.

Tanaman ini mampu tumbuh pada berbagai jenis tanah dan kondisi iklim. Tetapi

walaupun demikian keunggulan yang dimiliki akan terealisasi secara maksimal

apabila ditanam pada kondisi agroekosistem yang sesuai.

Kemajuan produktivitas yang telah dicapai selama 10 tahun penyadapan

dari generasi-1 ke generasi-4 adalah sebagai berikut: rata-rata produktivitas dari

seedling terseleksi pada generasi-1 adalah 20,9 g/p/s, dan klon primer dihasilkan

pada generasi-2 sekitar 35,6 g/p/s (70% lebih baik dari generasi-1). Adapun klon

(18)

produktivitas sebesar 44,9 g/p/s (26% lebih baik dari generasi-2). Peningkatan

produktivitas pada generasi-3 agak lambat dibanding peningkatan produktivitas

pada generasi-1. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sempitnya keragaman

genetik dari turunan Wickham 1876. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa

peningkatan produktivitas masih dapat dicapai, karena karet bersifat heterozygous

(Liu, 1998; Aidi-Daslin, et al., 2000).

Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk memperbesar keragaman

genetik tanaman karet di Indonesia yaitu dengan memanfaatkan plasma nutfah

yang telah dikonservasi sejak tahun 1984-1989. Plasma nutfah tanaman karet

merupakan hasil ekspedisi IRRDB pada tahun 1981 di Lembah Amazone, Brazil.

Peluang untuk mendapatkan genotipe unggul baru akan lebih besar apabila

dilakukan penggabungan genetik antara Wickham 1876 x Plasma Nutfah IRRDB 1981.

Evaluasi terhadap potensi produksi awal dapat dilakukan lebih awal

dengan menggunakan penyadapan testateks pada saat tanaman berumur 1,5 tahun

sebagai seleksi awal (dini). Penyadapan dilakukan dengan menggunakan alat

ciptaan Cramer yang berbentuk huruf V. Jarak antara pisau masing-masing 2 cm.

Pisau ini ditekan ke kulit batang tanaman pada ketinggian 50 cm di atas

permukaan tanah dan lateks akan mengalir keluar dari luka (Danimihardja, 1986).

Karakter agronomi suatu tanaman merupakan komponen yang menentukan

besarnya produksi, sehingga perlu dikaji hubungan antar beberapa karakter

dengan produksinya. Khusus untuk tanaman karet, pemuliaan tanaman tidak

hanya bertujuan menghasilkan klon penghasil lateks saja tetapi juga diharapkan

menghasilkan kayu yang tinggi. Sehingga pengkajian terhadap karakter agronomi

(19)

pembuluh lateks, diameter pembuluh lateks), fisiologi lateks, dan hasil lateks

perlu dikaji, sebab korelasi diantara karakter tanaman merupakan dasar dalam

program dan perencanaan pemuliaan yang lebih efisien. Hal ini menunjukkan

bahwa antara sifat-sifat tersebut terdapat hubungan, baik secara positif maupun

negatif. Berdasarkan beberapa hasil percobaan dengan melihat komponen hasil

tidak ada varietas yang superior dalam semua sifat. Keunggulan yang dihasilkan

merupakan hasil gabungan antara berbagai komponen hasil yang dapat diperoleh

melalui persilangan dan setiap komponen hasil bersifat poligenik dalam

keturunannya (Lasminingsih, 1993).

Paradigma baru bahwa tanaman karet tidak hanya menghasilkan lateks

tetapi juga diharapkan kayu karetnya, maka seleksi juga diarahkan kepada

klon-klon yang berpotensi sebagai penghasil kayu. Sejak dari tahap awal seleksi sampai

dengan pengujian klon, kedua peubah tersebut terus dievaluasi. Pada seleksi F1

yang merupakan tahap awal di dalam siklus pemuliaan tanaman karet, potensi

genotipe penghasil lateks dan kayu menjadi fokus seleksi (Suhendry, 2002).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka diperlukan suatu pengkajian

terhadap keragaman hasil persilangan intraspesifik antara klon RRIM 600 x PN

1546.

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui keragaman genotipe, fenotipe, heritabilitas, dan

kemajuan seleksi yang ditimbulkan dari hasil persilangan intraspesifik antara

RRIM 600 x PN 1546 dan mendapatkan genotipe-genotipe yang berpotensi

(20)

Hipotesis Penelitian

1. Adanya keragaman genotipe, fenotipe, heritabilitas, dan kemajuan genetik dari

hasil persilangan intraspesifik antara RRIM 600 x PN 1546.

2. Adanya genotipe yang terseleksi sebagai penghasil lateks dan kayu.

Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,

Medan.

(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Menurut (Kartasapoetra, 1988) tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell

Arg.) memiliki sistematika sebagai berikut:

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Euphorbiales

Family : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Species : Hevea brasiliensis Muell Arg.

Tanaman karet adalah anggota famili Euphorbiaceae. Berbentuk pohon,

tinggi 10-20 m, bercabang dan mengandung banyak getah susu. Daun

berselang-seling, tangkai daun panjang, 3 anak daun yang licin bertangkai, petiola pendek,

hijau dan memiliki panjang 3,5-30,0 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek

dan berbentuk elips atau bulat telur, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing,

sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar

2,5-12,5 cm (Sianturi, 1996).

Daun karet berwarna hijau dan terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai

anak daun. Tanaman karet adalah tanaman berumah satu. Pada satu tangkai bunga

yang terbentuk bunga majemuk terdapat bunga betina dan bunga jantan

(22)

Buah tanaman ini beruang tiga dan jarang beruang empat atau enam,

diameter buah 3-5 cm dan terpisah 3, 4 dan 6 cocci berkatup dua. Pericarp

berbatok dan endocarp berkayu (Sianturi, 1996).

Buah jadi (fruit set) merupakan produk dari keberhasilan pesilangan secara

alami maupun secara buatan. Satu buah karet biasanya mengandung tiga butir biji

tetapi kadang-kadang ada yang empat biji. Biji karet dilindungi oleh epicarp

(lapisan luar) dan endocarp (lapisan dalam). Epicarp berwarna hijau muda

sedangkan endocarp berwarna putih pudar dan apabila buah telah masak fisiologis

epicarp akan berwarna hijau tua dan endocarp akan mengeras dan mengayu. Jika

epicarp kering buah akan pecah dan melepaskan biji (Dijkman, 1951).

Proses pemasakan buah berlangsung selama 5-6 bulan. Musim panen biji

berlangsung pendek, hanya sekitar 1,5 bulan. Sedangkan daya kecambah biji

sangat cepat berkurang, terutama bila penanganannya kurang baik

(Setyamidjadja, 1993).

Biji karet memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi bergantung pada

masing-masing tetua. Biasanya biji berbentuk bulat lonjong (ellips), panjang

14-25 mm dan berat rata-rata 3,5 gram sampai 6 gram. Bentuk permukaan perut

(ventral) biji agak rata dan punggung (dorsal) agak menonjol. Kulit biji biasanya

keras, berkilat, dan berwarna cokelat atau cokelat keabu-abuan dengan banyak

batik (mosaik) pada permukaan punggung tetapi sedikit atau tidak ada pada bagian

perut (Webster dan Baulkwill, 1989).

Tanaman karet merupakan tanaman berumah satu (monoceous) yang

bersifat unisexual yaitu, pada satu tanaman terdapat bunga betina (femineus) dan

(23)

Bunga karet termasuk bunga majemuk tidak terbatas yang berbentuk

rangkaian (inflorecentia) yang tangkai utamanya (pedenculus) bercabang terdiri

dari atas beberapa malai (panicula) yang berbentuk piramida atau kerucut

(Dijkman, 1951; Darjanto dan Satifah, 1982).

Bunga betina tumbuh diujung tangkai dan cabangnya. Sedangkan bunga

jantan tumbuh disetiap tangkai bunga yang tersusun atas tiga bunga (trifolia).

Kedua bunga ini memiliki tangkai pendek, berbau harum, berwarna kuning untuk

bunga jantan, dan kuning kehijauan untuk bunga betina. Ukuran bunga betina 8

mm dan umumnya lebih besar dari bunga jantan yang ukurannya sekitar 5-6 mm.

Bunga betina terdiri atas dasar bunga, tenda bunga dan bakal buah. Dasar bunga

berwarna hijau, tenda bunga terdiri atas lima helai daun bunga yang saling

berlekatan pada bagian bawah dan terbelah, sedangkan pada bagian ujung

membelah. Bunga jantan terdiri atas tangkai sari (filamen) dan kepala sari

(anther). Kepala sari melekat pada tangkai sari tersusun dalam dua lingkaran yang

masing-masing terdiri atas lima kepala sari (Dijkman, 1951).

Karakteristik bunga betina pada beberapa tetua karet bervariasi antara 5-16

bunga per tangkai dengan rata-rata 11 bunga per tangkai dan 49-130 bunga per

karangan dengan rata-rata 98 bunga per karangan. Ukuran rata-rata bunga betina

adalah 8-9 mm dengan rata-rata panjang tangkai putik 3,5 mm. Pembuahan dan

pembentukan biji yang terbaik diperoleh apabila bunga memiliki tangkai putik

yang pendek (Syarifah dan Woelan, 2007; Darjanto dan Satifah, 1982).

Karakteristik bunga jantan pada beberapa tetua karet cukup bervariasi,

yaitu 295-500 bunga per tangkai dengan rata-rata 383,4 per tangkai dan

(24)

Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh di setiap tangkai utama dan

cabang-cabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan (trifolia)

yang berwarna kuning (Syarifah dan Woelan, 2007).

Syarat Tumbuh Iklim

Tanaman karet tumbuh di dataran rendah, yang paling ideal adalah pada

ketinggian 0-200 m dari permukaan laut. Pada ketinggian lebih dari 200 m dpl

rataan pertumbuhan batang lebih lambat, penyebaran perkebunan karet di

Indonesia terbanyak adalah hingga tinggi 400 m dpl. Pada ketinggian 400-600 m

masih mungkin mengusahakan tanaman karet, lebih dari 600 m tidak dianjurkan

untuk ditanami karet (Dijkman, 1951; Sianturi, 1996 ).

Tanaman karet adalah tanaman tropis, kebanyakan perkebunan karet

diusahakan pada kawasan dengan letak lintang antara 150 LU hingga 100 LS.

Vegetasi yang sesuai untuk kondisi lintang tersebut adalah hutan hujan tropis

yang disertai dengan suhu panas dan kelembaban tinggi. Sekalipun demikian,

pada umumnya produksi maksimum lateks dapat tercapai apabila ditanam pada

lokasi yang semakin mendekati garis khatulistiwa (5-60 LU - LS)

(Syamsulbahri, 1996).

Lama penyinaran dan intensitas cahaya matahari sangat menentukan

produktivitas tanaman. Di dataran yang kurang air hujan menjadi faktor pembatas

adalah kurang air, sebaliknya di daerah yang terlampau banyak hujan, cahaya

menjadi faktor pembatas (Sianturi, 1996).

Tanaman karet tumbuh baik di daerah yang mempunyai curah hujan

(25)

mungkin ditanam dengan karet, asal curah hujan turun merata sepanjang tahun.

Pada daerah yang mempunyai curah hujan 5000-6000 mm tanaman karet dapat

tumbuh baik, tetapi hari hujan yang terlalu banyak menyulitkan dalam

pelaksanaan penyadapan dan pencucian tanah sangat efektif, akibatnya akan

menyulitkan pengelolaan produksi pertumbuhan dan banyak kehilangan produksi.

Rata-rata jumlah hari hujan yang diperlukan adalah 100-150 hari hujan per tahun

(Sianturi, 1996).

Tanaman karet dapat tumbuh pada suhu di antara 250C hingga 350C. Suhu

sangat erat kaitannya dengan tinggi tempat. Setiap naik 100 m tinggi tempat dari

permukaan laut maka suhu akan turun 0,50C. Rata-rata suhu di dataran rendah

sekitar 280C, kondisi suhu yang demikian terbaik untuk pertumbuhan tanaman

karet. Dengan penurunan suhu 10C menyebabkan tanaman karet lebih lambat

disadap 3 sampai dengan 6 bulan.

Tanah

Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah

vulkanis muda maupun vulkanis tua. Jenis tanah alluvial adalah jenis tanah yang

cukup baik untuk pertumbuhan tanaman karet atau juga tanah gambut.

Tanah-tanah alluvial umumnya memiliki sifat kimia yang cukup baik, tetapi sifat fisisnya

terutama airase dan drainasenya kurang baik, pembuatan saluran drainase akan

menolong perbaikan tanah ini. Begitu juga dengan tanah vulkanis mempunyai

sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, solum, kedalaman air

tanah, airase dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik

(26)

Sebagian besar perkebunan karet di pulau Jawa terletak pada ketinggian

sekitar 400 m dan di luar pulau Jawa, sebagian besar perkebunan karet pada

ketinggian 0-400 m di atas permukaan laut (Dijkman, 1951).

Menurut Setyamidjaja (1993) sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman

karet sebagai berkut:

- Solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, tidak terdapat batu-batuan.

- Airase dan drainase baik

- Remah, porus dan dapat menyimpan air

- Tekstur tanah terdiri dari atas 35 % liat dan 30 % pasir

- Tidak bergambut, dan jika ada tidak lebih tebal dari 20 cm

- Kandungan unsur hara N, P dan K cukup dan tidak berkurang unsur mikro

- pH 4,5-6,5

- kemiringan tidak lebih dari 16 %

Peningkatan Produktivitas Melalui Pemuliaan Tanaman Karet

Tahapan awal pada pemuliaan tanaman karet adalah memilih tanaman

terbaik di pembibitan atau Seedling Evaluation Trial (SET). Seleksi dilakukan

terhadap peubah amatan yang utama yaitu potensi produksi (lateks dan kayu) dan

pertumbuhan seperti lilit batang, tinggi tanaman, jumlah payung, tebal kulit,

anatomi kulit (jumlah dan diameter pembuluh lateks), indeks penyumbatan, dan

DRC (Woelan dan Azwar, 1990; Annamma Varghese, et al., 1993). Tinggi

tanaman, diameter batang, jumlah payung daun, dan jumlah tangkai daun pada

umumnya diamati sampai dengan umur 2 tahun. Lilit batang dan hasil lateks

(dengan metode testateks) yang pengamatannya dilakukan pada umur 2 s/d 5

(27)

tanaman berumur 5 tahun. Peubah amatan untuk pertumbuhan umumnya kurang

berkorelasi positif dengan hasil lateks, pengamatan pertumbuhan pada umumnya

dilakukan untuk menentukan lamanya masa Tanaman Belum Menghasilkan

(TBM). Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa karakter

jumlah dan diameter pembuluh lateks, indeks penyumbatan, kadar sukrosa lateks

dan kadar tiol merupakan peubah yang berhubungan erat dengan potensi produksi

lateks (Gomez et al., 1972; Ho, 1976; Millford et al., 1969; Premakumari et al.,

1996).

Genotipe yang terseleksi diperbanyak secara vegetatif dan kemudian

dievaluasi pada beberapa tahapan yaitu: pengujian pendahuluan, pengujian

lanjutan, dan pengujian adaptasi. Dengan demikian, sebagai tahapan dari kegiatan

pemuliaan maka kegiatan pengujian potensi produksi sejak awal pengujian sampai

pengujian adaptasi klon harapan perlu dilakukan secara sistematis dan

berkesinambungan (Tan, 1987; Simmonds, 1989).

Berdasarkan aktivitas pemuliaan dan seleksi tanaman karet, maka klon

unggul yang telah dihasilkan dibagi menjadi empat generasi, yaitu:

- Generasi-1 (1910-1935) : Seedling Selected

- Generasi-2 (1935-1960) : Tjir 1, PR 107, GT 1, AVROS 2037

- Generasi-3 (1960-1985) : BPM 1, BPM 107, PR 255, TM 2

- Generasi-4 (1985-2010) : IRR 104, IRR 112, IRR 118, IRR 208, IRR 220

Lamanya siklus pemuliaan tanaman karet yang mencapai 25-30 tahun

merupakan suatu kendala yang secara terus-menerus dihadapi. Beberapa peneliti

mencoba untuk memanfaatkan teknologi baru seperti pengujian plot promosi

(28)

memperpendek siklus seleksi tanaman karet terus dilakukan yaitu dengan mencari

beberapa komponen produksi yang berkaitan dengan produksi lateks. Menurut

Narayanan, et al., (1973) bahwa pembuluh lateks, tebal kulit batang, dan lingkar

batang saling berhubungan dan mempunyai peranan yang besar terhadap

pendugaan produksi.

Pemuliaan, seleksi, dan perbanyakan klon dari tanaman unggul merupakan

tahapan awal yang sangat penting yang digunakan untuk mengestimasi beberapa

perbaikan karakter seperti pertumbuhan, produksi dan sifat-sifat sekunder

(Simmonds, 1989). Produksi merupakan objek paling dominan dalam program

perbaikan genetik melalui persilangan. Produksi diukur sebagai berat kadar karet

per unit area per satuan waktu (Simmonds, 1989). Sedangkan karakteristik

pertumbuhan yang dapat mendukung produksi diantaranya kejaguran yang

hubungannya terhadap ketahanan terhadap angin, morfologi kulit, jumlah

pembuluh lateks, dan ketahanan terhadap penyakit. Keempat karakter

pertumbuhan tersebut mempunyai peranan yang sangat besar sekali terhadap

produksi suatu klon (Simmonds, 1989).

Tetua unggul adalah tetua atau kultivar terbaik yang dianjurkan memiliki

produksi tinggi dan sifat sekunder yang lebih baik. Namun keungulan tetua karet

terbukti sering tidak berlaku umum pada semua lokasi atau lingkungan. Karakter

produksi dipengaruhi oleh sifat genetik dan juga oleh adanya interaksi lingkungan

(Sumarmadji, et al., 2005).

Pemanfaatan tetua unggul sebagai komponen teknologi, memberikan

proporsi yang besar dalam upaya meningkatkan efisiensi melalui peningkatan

(29)

produktifitas kebun dapat mencapai 1400-2000 kg/ha/th dibanding tanaman asal

biji (semaian) yang hanya 400-500 kg/ha/th. Kendala yang dihadapi bahwa

optimasi potensi produksi tetua di pertanaman komersial dapat sangat bervariasi.

Yang disebabkan produksi tetua unggul per satuan luas sangat tergantung kepada

faktor lingkungan yaitu lingkungan fisik, biologi maupun manajemen kebun.

Karena itu penanaman tetua yang sesuai dengan lingkungan tumbuhnya serta

dengan manajemen yang tepat, akan menghasilkan produktifitas yang optimal

(Aidi-Daslin, et al., 1995).

Paradigma baru yang telah disepakati bersama dalam pembangunan kebun

karet ialah menanam karet tidak hanya untuk menghasilkan lateks, tetapi juga

kayu yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan

pendapatan, dan pada gilirannya meningkatkan daya saing. Optimalisasi hasil

lateks dan kayu karet, dapat dilakukan terhadap perbaikan teknik budidayanya

yaitu melalui sistem tanam dengan meningkatkan populasi tanaman per hektar dan

jenis tetua. Volume kayu karet yang diperoleh pada saat peremajaan, dengan

populasi awal ± 500 ph/ha yaitu sebesar 180-200 m3/ha. volume kayu masih dapat

ditingkatkan sampai menjadi ± 350 m3/ha tanpa mengurangi hasil lateks dengan

pengaturan sistem tanam, mempertinggi populasi awal, dan dengan menggunakan

tetua anjuran lateks kayu (Siagian dan Aidi-Daslin, 2003).

Selama tiga generasi pemuliaan karet (1910-1985) telah dihasilkan

sejumlah tetua unggul yang memiliki potensi karet kering dari mulai rata-rata 500

kg/ha/th menjadi 2500 kg/ha/th. Pada saat ini, paradigma berkebun karet telah

berubah dari menghasilkan lateks menjadi menghasilkan lateks-kayu, karena kayu

(30)

Karena itu sasaran program pemuliaan pada generasi keempat (1985-2010)

yang sedang berjalan sampai saat ini, selain bertujuan untuk menghasilkan

tetua-tetua unggul sebagai penghasil lateks juga lateks-kayu

(Aidi-Daslin dan Lasminingsih, 2001).

Tetua IRR 5, IRR 21, IRR 32, IRR 39, IRR 42 dan IRR 118 merupakan

tetua karet unggul terbaru seri IRR sebagai penghasil lateks dan kayu untuk

anjuran penanaman komersial. Tetua-tetua tersebut di atas memiliki pertumbuhan

awal yang cepat, sehingga dengan tingkat rata-rata pertumbuhan yang normal

dapat disadap pada umur kurang dari 5 tahun (Siagian dan Aidi-Daslin, 2003).

Tetua penghasil lateks dikategorikan sebagai tetua penghasil awal cepat

(quick starter) dengan pola produksi awal tinggi dan rataan pertumbuhan batang

sedang, baik pada masa TBM maupun TM. Tetua tipe ini umumnya kurang

respons terhadap stimulan dan pada umumnya agak rentan terhadap kepatahan

batang (Azwar dan Suhendry, 1998).

Volume kayu karet sangat ditentukan oleh besaran lilit batang dan tinggi

tanaman maka volume kayu karet yang dihasilkan semakin besar dan sebaliknya

semakin kecil lilit batang dan ketinggian tanaman maka volume kayu yang

dihasilkan semakin kecil. Demikian halnya dengan semakin tinggi cabang primer

dan tebal kulit maka kayu log yang dihasilkan semakin besar (Wan Razali Mohd

et al, 1983).

Tetua penghasil lateks-kayu dikategorikan sebagai tetua penghasil awal

yang moderat dengan pola produksi lanjutan mendatar atau meninggi, dan dengan

pertumbuhan yang sedang, tipe tetua ini memiliki produksi kayu yang tidak terlalu

(31)

yang rendah (slow starter) dengan pola produksi lanjutan rendah sampai sedang,

tetapi tetua tipe ini memiliki rataan pertumbuhan yang cepat baik pada masa TBM

dan TM sehingga volume kayu yang dihasilkan pada saat peremajaan cukup tinggi

(Aidi-Daslin, 2005).

Keragaman Genotipe dan Fenotipe

Perbedaan kondisi lingkungan memberikan kemungkinan munculnya

variasi yang akan menentukan penampilan akhir tanaman tersebut. Bila ada

variasi yang timbul atau tampak pada populasi tanaman yang ditanam pada

kondisi lingkungan yang sama maka variasi tersebut merupakan variasi atau

perbedaan yang berasal dari genotip individu anggota populasi

(Mangoendidjojo, 2003).

Keragaman yang sering ditunjukkan oleh tanaman sering dikaitkan dengan

aspek negatif. Hal ini sering tidak diperhatikan oleh peneliti yang menganggap

bahwa susunan genetik dari bahan tanaman digunakan adalah sama karena berasal

dari varietas yang sama. Keragaman penampilan tanaman akibat perbedaan

susunan genetik selalu mungkin terjadi sekalipun bahan tanaman yang digunakan

berasal dari jenis tanaman yang sama. Jika ada dua jenis tanaman yang sama

ditanam pada lingkungan yang berbeda, dan timbul variasi yang sama dari kedua

tanaman tersebut maka hal ini dapat disebabkan oleh genetik dari tanaman yang

bersangkutan (Sitompul dan Guritno, 1995).

Keragaman genetik alami merupakan sumber bagi setiap program

pemuliaan tanaman. Variasi ini dapat dimanfaatkan, seperti semula dilakukan

manusia, dengan cara melakukan introduksi sederhana dan tehnik seleksi atau

(32)

kombinasi genetik yang baru. Jika perbedaan dua individu yang mempunyai

faktor lingkungan yang sama dapat diukur, maka perbedaan ini berasal dari

genotipe kedua tanaman tersebut. Keragaman genetik menjadi perhatian utama

para pemulia tanaman, karena melalui pengelolaan yang tepat dapat menghasilkan

varietas baru yang lebih baik (Welsh, 2005).

Gen-gen tidak dapat menyebabkan berkembangnya karakter terkecuali jika

mereka berada lingkungan yang sesuai, dan sebaliknya tidak ada pengaruh

terhadap perkembangnya karakteristik dengan mengubah tingkat keadaan

lingkungan terkecuali jika gen yang diperlukan ada. Namun, harus disadari bahwa

keragaman yang diamati terhadap sifat-sifat yang terutama disebabkan oleh

perbedaan gen yang dibawa oleh individu yang berlainan dan terhadap variabilitas

di dalam sifat yang lain, pertama-tama disebabkan oleh perbedaan lingkungan

dimana individu berada (Allard, 2005).

Variasi yang ditimbulkan ada yang dapat langsung dilihat, misalnya

adanya perbedaan warna bunga, daun dan bentuk biji (ada yang berkerut, ada

yang tidak), ini yang disebut variasi sifat yang kualitatif. Namun ada pula variasi

yang memerlukan pengamatan dengan pengukuran, misal tingkat produksi,

jumlah anakan, tinggi tanaman, dan lainnya (Mangoendidjojo, 2003).

Heritabilitas

Heritabilitas adalah salah satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien

yang dapat menggambarkan efektivitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan

fenotipenya. Nilai heritabilitas yang tinggi untuk suatu karakter menggambarkan

karakter tersebut lebih ditentukan oleh faktor genetik, karakter yang demikian

(33)

korelasi antar karakter fenotipe diperlukan dalam seleksi tanaman, untuk

mengetahui karakter yang dapat dijadikan petunjuk seleksi terhadap produktivitas

yang tinggi (Suharsono et al., 2006; Wirnas et al., 2006).

Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam

fenotipenya. Hubungan ini menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak

merupakan refleksi dari genotipe. Pada dasarnya seleksi terhadap populasi

bersegregasi dilakukan melalui nilai-nilai besaran karakter fenotipenya. Dalam

kaitan ini, penting diketahui peluang terseleksinya individu yang secara fenotipe

menghasilkan turunan yang sama miripnya dengan individu terseleksi tadi.

Misalkan dalam suatu populasi dijumpai ragam genetik tinggi untuk suatu

karakter dan ragam fenotipenya rendah, maka dapat diramalkan bahwa turunan

individu terseleksi akan mirip dengan dirinya untuk karakter tersebut; dan

sebaliknya. Heritabilitas biasanya dinyatakan dalam persen (%). Heritabilitas

dikatakan tinggi bila nilai H > 50%, sedang apabila nilai H terletak antara

20%-50% dan dikatakan rendah bila nilai H < 20% (Mangoendidjojo, 2003).

Variasi keseluruhan dalam suatu populasi merupakan hasil kombinasi

genotipe dan pengaruh lingkungan. Proporsi variasi merupakan sumber yang

penting dalam program pemuliaan karena dari jumlah variasi genetik ini

diharapkan terjadi kombinasi genetik yang baru. Proporsi dari seluruh variasi yang

disebabkan oleh perubahan genetik disebut heritabilitas. Heritabilitas dalam arti

yang luas adalah semua aksi gen termasuk sifat dominan, aditif, dan epistasis.

Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari 0 sampai 1. Nilai 0 ialah bila seluruh

(34)

seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian nilai heritabilitas

akan terletak antara kedua nilai ekstrim tersebut (Welsh, 2005).

Variasi genetik akan membantu dalam mengefisienkan kegiatan seleksi.

Apabila variasi genetik dalam suatu populasi besar, ini menunjukkan individu

dalam populasi beragam sehingga peluang untuk memperoleh genotip yang

diharapkan akan besar (Bahar dan Zein, 1993). Sedangkan pendugaan nilai

heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor pengaruh genetik lebih besar

terhadap penampilan fenotip bila dibandingkan dengan lingkungan. Untuk itu

informasi sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetik atau faktor

lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan

pada generasi berikutnya.

Dalam Hanson (1963) menyatakan nilai heritabilitas dalam arti luas

menunjukkan genetik total dalam kaitannya keragaman genotip, sedangkan

menurut Poespodarsono (1988), bahwa makin tinggi nilai heritabilitas satu sifat

makin besar pengaruh genetiknya dibanding lingkungan.

Kemajuan Genetik

Selain menggunakan nilai heritabilitas yang tinggi, juga menggunakan

parameter yang lainnya, yaitu nilai duga kemajuan genetik yang tinggi, sebab nilai

heritabilitas itu sendiri kurang memberikan gambaran sebenarnya mengenai

kemajuan yang diharapkan terhadap genetik. Dengan nilai heritabilitas dan

kemajuan genetik akan didapatkan gambaran terbaik mengenai kemajuan yang

diharapkan dari seleksi (Rachmadi, dkk, 1990).

Menurut Dudley and Moll (1976), nilai heritabilitas dapat memberikan

(35)

suatu populasi, sehingga apabila nilai heritabilitas dipadukan dengan nilai

kemajuan genetik dari seleksi maka akan lebih bermanfaat dalam meramalkan

hasil akhir untuk melakukan seleksi sifat individu yang baik.

Seleksi akan menunjukkan kemajuan genetik yang tinggi jika sifat yang

dilibatkan dalam seleksi mempunyai variasi genetik dan heritabilitas yang tinggi.

Jika nilai heritabilitas tinggi, sebagian besar variasi fenotipe disebabkan oleh

variasi genetik, maka seleksi akan memperoleh kemajuan genetik (Zen, 1995).

Dalam Knight (1979) menyatakan informasi mengenai variasi genetik dan

heritabilitas berguna untuk menentukan kemajuan genetik yang diperoleh dari

seleksi. Hayward (1990) menyatakan bahwa sifat-sifat yang dikendalikan oleh

gen-gen bukan aditif menyebabkan kemajuan genetik yang rendah. Hal ini

disebabkan pengaruh tindak gen bukan aditif tidak diwariskan dan akan lenyap

semasa seleksi (Suprapto dan Kairuddin, 2007).

Menurut Burton (1952) menyatakan bahwa pemulia lebih banyak

mempertimbangkan dugaan kemajuan genetik dalam persen di atas nilai rata-rata

populasi. Oleh karena itu sesuai rumus yang disajikan Singh and Chaudhary

(1977) tergambar bahwa KG (%) merupakan produk dari nilai-nilai diferensial

seleksi, heritabilitas yang menentukan efisiensi sistem seleksi sehingga seleksi

akan efektif bila nilai kemajuan genetik tinggi ditunjang oleh salah satu nilai KVG

(36)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan tanaman F1 hasil okulasi

(turunan) dari persilangan intraspesifik RRIM 600 x PN 1546 di Balai Penelitian

Sungei Putih-Pusat Penelitian Karet, Kecamatan Galang, Kabupaten Deli

Serdang-Sumatera Utara, dengan ketinggian tempat ± 54 meter di atas permukaan

laut. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2011 sampai dengan

Maret 2011.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan adalah genotipe (tanaman F1) hasil

persilangan intraspesifik dari klon RRIM 600 x PN 1546 sebanyak 25 genotipe

dan 2 tetua (RRIM 600 sebagai tetua betina dan PN 1546 sebagai tetua jantan).

Genotipe yang digunakan tersebut ditanam pada tahun 2008 dan ditanam dengan

jarak 5 m x 4 m. Bahan kimia alkohol, sudan III, FAA (Formalin Acetic Acid),

KOH 15%, HNO3, kertas saring serta bahan-bahan lain yang mendukung

penelitian ini.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : meteran kain, alat ukur

tinggi tanaman, scliper, alat bor kulit, timbangan analitik, pisau silet, mikroskop,

deck glass, cover glass, gelas ukur, tabung gelas, sendok, stirer, oven, dan alat-alat

(37)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) nonfaktorial

yang terdiri dari 25 genotipe dan 2 tetua.

Jumlah blok (ulangan) = 3 blok

Jumlah plot / blok = 27 plot

Jumlah tanaman per plot = 5 tanaman

Jumlah sampel per plot = 5 tanaman

Jumlah tanaman sampel = 405 tanaman

Jumlah tanaman seluruhnya = 405 tanaman

Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linier

sebagai berikut:

Yij = µ+ ρi+ δj + εij

Dimana:

Yij : nilai pengamatan pada blok ke-i dalam genotipe ke-j

µ : nilai tengah (nilai rata-rata umum)

ρi : pengaruh blok ke-i

δj : pengaruh genotipe ke-j

εij : pengaruh galat terhadap blok ke-i pada genotipe ke-j

Data hasil penelitian pada genotipe yang berbeda nyata dilanjutkan dengan

uji beda rataan menurut Uji Jarak Berganda Duncan atau duncan multiple range

(38)

Tabel 1. Analisis Ragam dan Pendugaan Komponen Ragam

1. Keragaman Genotipe dan Fenotipe

Keragaman sifat dihitung melalui analisis sidik ragam yang dikemukakan

oleh Singh and Chaudary (1977) dalam Tempake dan Luntungan (2002) adalah

sebagai berikut :

x = Rataan populasi

KKG = Koefisien Keragaman Genetik KKF = Koefisien Keragaman Fenotipe

(39)

Kriteria keragaman menurut Murdaningsih, dkk (1990) dalam Tempake

dan Luntungan (2002) adalah :

Rendah = 0 – 25% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi

Sedang = 25 – 50% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi

Tinggi = 50 – 75% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi

Sangat Tinggi = 75 – 100% dari Koefisien Keragaman Genetik (KKG) tertinggi

2. Heritabilitas

Heritabilitas dari seluruh sampel dihitung dengan rumus :

e

Menurut Stansfield (1991) kriteria heritabilitas adalah sebagai berikut :

Heritabilitas tinggi > 0,5

Heritabilitas sedang = 0,2 – 0,5

Heritabilitas rendah < 0,2

3. Kemajuan Genetik

Harapan Kemajuan Genetik (HKG) dapat dihitung dan diduga menurut

cara sebagai berikut :

)

K = Konstanta 2,06 untuk intensitas seleksi 0,05

(40)

4. Seleksi Genotipe Berdasarkan Produksi Lateks dan Kayu

Secara umum telah diketahui bahwa populasi semaian F1 menyebar secara

normal, sehingga intensitas seleksi yang dipergunakan adalah areal yang terletak

pada 10% dan 1% di sebelah kanan kurva normal. Pendugaan tersebut dilakukan

dengan memanfaatkan rumus sebaran Z sebagai berikut:

SD X Z = −µ

Keterangan:

Z = konstanta 1,32 untuk seleksi 10% dan 2,48 untuk seleksi 1% pada 25 genotipe yang akan diseleksi

X = nilai minimum untuk parameter seleksi µ = nilai rata-rata populasi

SD = simpangan baku

Hasil seleksi 10% genotipe terbaik akan masuk dalam Pengujian

Pendahuluan dan 1% genotipe terbaik masuk dalam Pengujian Plot Promosi.

5. Analisis Korelasi Antar Peubah Amatan Terhadap Produksi

Nilai korelasi (rij) dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

Penafsiran nilai rij dapat juga dilakukan dengan menggunakan program

(41)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Persiapan Areal

Membersihkan areal pertanaman dari gulma-gulma agar mudah melakukan

kegiatan penelitian. Bagan penelitian terlampir pada lampiran 2.

Sensus Tanaman

Untuk mengetahui jumlah dan kondisi seluruh populasi tanaman di

lapangan, dilakukan sensus tanaman dengan cara menomori masing-masing

tanaman.

Membuat Batas Tinggi Penyadapan

Untuk menentukan batas tinggi penyadapan, terlebih dahulu dibuat batas

tinggi penyadapan dengan melingkari batang tanaman pada ketinggian 50 cm dari

permukaan tanah. Penandaan ini dibuat dengan menggunakan spidol atau cat.

Menyiapkan Penampungan Lateks

Penampungan lateks dibuat dengan kertas saring yang berukuran 7,5 cm x

10 cm yang direkatkan dengan lakban (selotip) pada batang tanaman dengan

ketinggian 50 cm dari permukaan tanah (sesuai ketinggian penyadapan).

Penyadapan

Penyadapan dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00 - 11.00) dengan

metode testateks yang menggunakan pisau penusuk kulit yang dibuat mirip

dengan alat ciptaan Cramer. Jarak antara pisau masing-masing 2 cm. Pisau ini

ditekan ke kulit batang tanaman sehingga lateks akan mengalir keluar dari luka.

Lateks ditampung kemudian dibawa ke laboratorium untuk ditimbang berat

(42)

Pengamatan Parameter Tinggi Tanaman (m)

Tinggi tanaman diukur dengan menggunakan alat ukur berskala yang

diukur dari permukaan tanah sampai ke titik tumbuh ujung tanaman. Pengamatan

dilakukan 1 kali selama penelitian.

Jumlah Cabang Primer (cabang)

Jumlah cabang primer dihitung pada batang utama untuk setiap tanaman.

Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian.

Tinggi Cabang Pertama (m)

Tinggi cabang pertama diukur dengan menggunakan alat ukur berskala

yang diukur dari permukaan tanah sampai ke titik pangkal cabang pertama

tanaman. Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian.

Lilit Batang (cm)

Lilit batang diukur pada ketinggian 50 cm di atas permukaan tanah

menggunakan meteran kain (ukuran 100 cm). Semua genotipe F1 hasil okulasi

(turunan) hasil persilangan RRIM 600 x PN 1546 diukur untuk mengetahui

besaran lilit batang yang dimiliki. Pengamatan dilakukan 1 kali selama penelitian.

Tebal Kulit (mm)

Kulit diambil dengan menggunakan alat pelubang kulit yang terbuat dari

besi dengan diameter 1 cm. Sedangkan alat yang digunakan untuk mengukur

ketebalan kulit adalah scliper. Contoh kulit diambil 5 cm di atas batas bidang

penyadapan. Untuk menghitung tebal kulit yang sebenarnya, skala yang

(43)

yang diambil untuk masing-masing genotipe berasal dari 2 tanaman sampel yang

dipilih berdasarkan kondisi fisik (fenotipik) tanaman.

Jumlah dan Diameter Pembuluh Lateks

Untuk menghitung jumlah dan diameter pembuluh lateks dilakukan

menurut metode Gomez et al. (1972). Pembuatan preparat pembuluh lateks

dilakukan dilaboratorium Fisiologi dan Penyakit Balai Penelitian Sungei Putih.

Contoh kulit yang telah diambil untuk pengukuran tebal kulit sekaligus digunakan

untuk pengukuran jumlah dan diameter pembuluh lateks. Contoh kulit yang

diambil langsung dari lapangan difiksasi dalam larutan FAA (Formalin Acetic

Acid) yang ditempatkan pada botol plastik atau pirex. Contoh kulit yang diambil

diberi tanda dengan pensil 2B sesuai nomor masing-masing genotipe. Larutan

FAA merupakan campuran dari 10 ml formalin 40%, 5 ml asam asetat glasial, 70

ml alkohol absolut (95%) dan 15 ml aquades. Selanjutnya kulit dibawa ke

laboratorium untuk langsung dibuat preparat atau disimpan terlebih dahulu.

Pembuatan preparat semi permanen, kulit yang telah difiksasi dipindahkan

dan dimasukkan ke dalam larutan KOH 15% selama 1 jam, kemudian dibilas

dengan aquades atau air mengalir selama 5 menit dan dikeringkan dengan kertas

tisue. Selanjutnya direndam ke dalam larutan HNO3 selama 2 jam dan dibilas lagi

dengan aquades atau air mengalir selama 5 menit dan dikeringkan dengan kertas

tisue. Untuk tahapan berikutnya atau proses selanjutnya direndam dalam larutan

alkohol 70% selama 15 menit, dibilas kembali dengan aquades atau air mengalir

dan dikeringkan dengan dihisap menggunakan kertas tisue agar tidak ada

kandungan airnya, dan terakhir untuk dapat dilihat di bawah mikroskop diberikan

(44)

campuran 15 gram KOH ditambahkan 85 ml aquades. Sedangkan untuk larutan

HNO3, dibuat perbandingan volume antara HNO3 pekat dan aquades 1:2 dan

larutan alkohol 70% adalah campuran dari 70 ml alkohol absolut dan 30 ml

aquades. Setelah itu dilakukan pewarnaan, kemudian preparat diiris dengan

menggunakan pisau silet yang tajam secara membujur untuk melihat jumlah

pembuluh, sedangkan untuk melihat diameter pembuluh kulit dipotong melintang.

Masing-masing irisan tipis dari pereparat tersebut di letakkan di gelas objek dan

ditutup dengan gelas penutup (cover glass) yang sebelumnya diberikan gliserin

untuk menjaga peraparat itu tidak mengering. Setelah itu dilakukan pengamatan

dibawah mikroskop dan diamati dengan pembesaran 10 x. Dengan pemberian

warna Sudan III, maka jaringan pembuluh lateks akan berwarna merah cerah yang

dapat dilihat perbedaan dengan jaringan lain yang tidak mengalami perubahan

warna. Pengamatan terhadap jumlah dan diameter pembuluh lateks dilakukan

secara bersamaan. Diameter pembuluh lateks diukur dengan menggunakan skala

okuler. Besaran skala diukur mulai dari nol sampai dengan skala yang berimpit

dan satu ukuran skala di mikroskop setara dengan satu mikron, dengan demikian

ukuran diameter pembuluh lateks dapat diketahui. Perbesaran yang digunakan

adalah 40 x.

Produksi Karet Kering (g/p/s)

Produksi karet kering diukur dengan cara menimbang berat kering lateks

yang telah ditampung pada kertas saring. Berat kering lateks ditimbang setelah

lateks dikeringkan di dalam oven pada suhu 700C selama 24 jam.

(45)

Produksi kayu diukur dengan menggunakan rumus yang dikembangkan

oleh Wan Razali Mohd et al, (1983) yaitu sebagai berikut:

(

)

{

LB

}

TT

Vp =0,0435485+ 0,00005031× /π 2 ×

Keterangan:

Vp = volume pohon LB = lilit batang TT = tinggi tanaman

(46)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Tinggi Tanaman (m)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam tinggi tanaman dapat

dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam

tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap tinggi tanaman.

Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap tinggi tanaman dapat

dilihat pada Tabel 2 di bawah ini .

Tabel 2. Rataan Tinggi Tanaman dari 25 Genotipe dan Tetua No.

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Dari tabel di atas terlihat bahwa tanaman paling tinggi terdapat pada klon

primer PN 1546 yaitu 8,60 m yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 5, 13, 15,

18, 25, 30, 31, 33, dan 39, dan tanaman terendah terdapat pada genotipe no. 25

(47)

Jumlah Cabang Primer (cabang)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam jumlah cabang primer

dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7. Hasil analisis statistika dengan metode sidik

ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe tidak berbeda nyata terhadap jumlah

cabang primer.

Rataan 25 genotipe dan tetua terhadap jumlah cabang primer dapat dilihat

pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Rataan Jumlah Cabang Primer dari 25 Genotipe dan Tetua No.

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa genotipe yang memiliki jumlah cabang

primer tertinggi pada genotipe no. 20 yaitu 5,47 cabang dan terendah pada

genotipe no. 29 yaitu 2,4 cabang.

Tinggi Cabang Pertama (m)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam tinggi cabang pertama

(48)

ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe tidak berbeda nyata terhadap tinggi

cabang pertama.

Rataan 25 genotipe dan tetua terhadap tinggi cabang pertama dapat dilihat

pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Rataan Tinggi Cabang Pertama dari 25 Genotipe dan Tetua No.

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa tinggi cabang pertama tertinggi terdapat

pada genotipe no. 28 yaitu 3,3 m dan terendah terdapat pada genotipe no. 5 yaitu

2,35 m.

Lilit Batang (cm)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam lilit batang dapat dilihat

pada Lampiran 10 dan 11. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam

tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap lilit batang.

Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap lilit batang dapat

(49)

Tabel 5. Rataan Lilit Batang dari 25 Genotipe dan Tetua

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa lilit batang tertinggi terdapat pada

genotipe no. 28 yaitu 35,56 cm yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 11,

13, 15, 17, 18, 24, 25, 27, 30, 33, 36, 37 dan 39, dan lilit batang terendah terdapat

pada genotipe no. 25 yaitu 16,38 cm yang berbeda nyata terhadap genotipe

lainnya.

Tebal Kulit (mm)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam tebal kulit dapat dilihat

pada Lampiran 12 dan 13. Hasil analisis statistika dengan metode sidik ragam

tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap tebal kulit.

Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap tebal kulit dapat

(50)

Tabel 6. Rataan Tebal Kulit dari 25 Genotipe dan Tetua

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Dari tabel di atas terlihat bahwa tebal kulit tertinggi terdapat pada genotipe

no. 14 yaitu 3,83 mm yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 15, 17, 18,

25, 27, 29, 31, 37, 39, klon RRIM 600 dan PN 1546, dan tebal kulit terendah

terdapat pada genotipe no. 25 yaitu 1,92 mm yang berbeda nyata terhadap

genotipe lainnya.

Jumlah Pembuluh Lateks

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam jumlah pembuluh lateks

dapat dilihat pada Lampiran 14 dan 15. Hasil analisis statistika dengan metode

sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap jumlah

pembuluh lateks.

Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap jumlah pembuluh

(51)

Tabel 7. Rataan Jumlah Pembuluh Lateks dari 25 Genotipe dan Tetua No.

Genotipe

Rataan Jumlah Pembuluh Lateks

No. Genotipe

Rataan Jumlah Pembuluh Lateks

2 2,50 ef 25 3,08 cdef

5 2,17 f 27 3,83 bcde

11 4,08 abcd 28 5,17 a

12 3,67 bcdef 29 4,92 ab

13 3,50 cdef 30 3,42 cdef

14 4,42 abc 31 5,00 ab

15 3,42 abc 33 2,75 def

16 3,83 bcde 36 3,08 cdef

17 4,33 abc 37 4,00 abcde

18 3,00 def 39 4,08 abcd

19 4,50 abc 40 4,50 abc

20 3,83 bcde RRIM 600 3,50 cdef

23 4,33 abc PN 1546 2,17 f

24 4,08 abcd

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Gambar 1. Sayatan Longitudinal Pembuluh Lateks

Dari tabel 7 dapat dilihat bahwa jumlah pembuluh lateks tertinggi terdapat

pada genotipe no. 28 yaitu 5,17 yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 2, 5, 12,

13, 16, 18, 20, 25, 27, 30, 33, 36, klon RRIM 600 dan PN 1546, dan jumlah

(52)

2,17 yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 11, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 23, 24,

27, 28, 29, 31, 37, 39 dan 40.

Gambar 2. Sayatan Transversal Pembuluh Lateks

Diameter Pembuluh Lateks (mµ)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam diameter pembuluh

lateks dapat dilihat pada Lampiran 16 dan 17. Hasil analisis statistika dengan

metode sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe tidak berbeda nyata

terhadap diameter pembuluh lateks.

Rataan 25 genotipe dan tetua terhadap diameter pembuluh lateks dapat

(53)

Tabel 8. Rataan Diameter Pembuluh Lateks dari 25 Genotipe dan Tetua

Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa diameter pembuluh lateks tertinggi

terdapat pada genotipe no. 31 dan klon RRIM 600 yaitu 18,75 mµ dan terendah

terdapat pada genotipe no. 12 dan klon PN 1546 yaitu 17,25 mµ.

Produksi Karet Kering (g/p/s)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam produksi karet kering

dapat dilihat pada Lampiran 18 dan 19. Hasil analisis statistika dengan metode

sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap

produksi karet kering.

Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap produksi karet kering

(54)

Tabel 9. Rataan Produksi Karet Kering dari 25 Genotipe dan Tetua

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa produksi karet kering tertinggi terdapat

pada genotipe no. 40 yaitu 0,409 g/p/s yang berbeda nyata terhadap genotipe no.

2, 5, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 33 dan klon PN 1546,

dan produksi karet kering terendah terdapat pada klon PN 1546 yaitu 0,068 g/p/s

yang berbeda nyata terhadap genotipe no. 13, 14, 19, 20, 23, 27, 28, 29, 31, 36,

37, 39, 40 dan klon RRIM 600.

Produksi Kayu (cm3/pohon)

Data pengamatan serta daftar analisis sidik ragam produksi karet kering

dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Hasil analisis statistika dengan metode

sidik ragam tersebut menunjukkan bahwa genotipe berbeda nyata terhadap

produksi kayu.

Hasil uji beda rataan 25 genotipe dan tetua terhadap produksi kayu dapat

(55)

Tabel 10. Rataan Produksi Kayu dari 25 Genotipe dan Tetua

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh notasi yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa produksi kayu tertinggi terdapat pada

genotipe no. 28 yaitu 0,04380571 cm3/pohon yang berbeda nyata terhadap

genotipe no. 2, 5, 11, 13, 15, 17, 18, 19, 20, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 31, 33, 36, 37,

39 dan klon RRIM 600 dan produksi kayu terendah terdapat pada genotipe no. 25

yaitu 0,04358837 cm3/pohon yang berbeda nyata terhadap genotipe lainnya.

Pendugaan Parameter Genetik

Hasil perhitungan nilai pendugaan komponen ragam genotipe (σ2g) dan

ragam fenotipe (σ2p), koefisien keragaman genetik (KKG), heritabilitas (h2) serta

nilai harapan kemajuan genetik (HKG) disajikan pada Tabel 11. Pentingnya nilai

komponen ragam genotipe adalah untuk menunjukkan tingkat penampilan

genotipe/klon tanaman dan besarnya akan mempengaruhi KKG maupun nilai h2.

Nilai KKG berkisar antara 1,33% - 40,49%, nilai KKF 2,47% - 44,74%

(56)

Tabel 11. Nilai pendugaan komponen ragam genotipe (σ2g), ragam fenotipe (σ2p), koefisien keragaman genetik (KKG), koefisien keragaman fenotipe (KKF), heritabilitas (h2) dan harapan kemajuan genetik (HKG)

Karakter σ2g σ2p KKG (%) KKF (%) h2 HKG

Tabel 11 menunjukkan nilai duga heritabilitas berkisar antara 0,230 –

0,819. Berdasarkan kriteria heritabilitas diperoleh dua parameter yang mempunyai

nilai duga heritabilitas sedang yaitu pada parameter tinggi cabang pertama (0,23)

dan diameter pembuluh lateks (0,291), enam parameter mempunyai nilai duga

heritabilitas tinggi yaitu pada parameter produksi karet kering (0,819), tinggi

tanaman (0,687), lilit batang (0,751), tebal kulit (0,672), jumlah pembuluh lateks

(0,682) dan produksi kayu (0,675).

Hubungan Karakter Agronomi Terhadap Produksi Karet Kering

Tabel 12. Matriks Korelasi Karakter Agronomi Terhadap Produksi Karet Kering

Karakter Lilit

Gambar

Tabel 1. Analisis Ragam dan Pendugaan Komponen Ragam Sumber Jumlah Kuadrat
Tabel 2. Rataan Tinggi Tanaman dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Tinggi No.
Tabel 3. Rataan Jumlah Cabang Primer dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Jumlah Cabang No
Tabel 4. Rataan Tinggi Cabang Pertama dari 25 Genotipe dan Tetua No. Rataan Tinggi Cabang No
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penclitian yang dilakukan Wahyuni (2004) tentang kemampuan adesi Streptococcus agalactiae dari susu sapi perah mastitis subklinis pada sel epitel ambing,

[r]

Karena pada pelaksanaan siklus II mengalami peningkatan rata – rata nilai hingga mencapai 80% maka , penelitian tindakan kelas yang berjudul peningkatan hasil

Plotnik(1996) menyatakan bahawa sikap ialah segala kepercayaan ataupun pandangan yang mengandungi penilaian positif dan negative mengenai suatu

alami  pada  mallusia  dan  bila  dikelola  dengan  baik  emosi 

Maka, Pokja ULPD Propinsi Kepulauan Riau menyatakan PELELANGAN GAGAL atas pekerjaan Pembangunan Dock Kering Speed Boat Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau

calon peserta lelang yang masih membutuhkan n diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanya Kementerian Keuangan www.lpse.depkeu.go.id selama waktu. Senin tanggal 09

Skenario pendanaan pendidikan dalam kurun waktu 2010--2014 mengacu pada amanat UUD RI 1945 dan UU Sisdiknas serta melanjutkan fungsi dan tujuan pendidikan yang ditetapkan