• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh

MAYA SARI HASIBUAN 071201044

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN

LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI

SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh

MAYA SARI HASIBUAN

071201044/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara

Nama : Maya Sari Hasibuan

NIM : 071201044

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D Riswan, S.Hut

NIP. 19710416 200112 2 001 NIP. 152315039

Mengetahui

Ketua Departemen Kehutanan

(4)

ABSTRACT

MAYA SARI HASIBUAN. Mapping of Danger Area to Forest and Land Fires on

Toba Samosir District, North Sumatera Province. Guided by SITI LATIFAH,

S.Hut, M.Si, Ph.D dan RISWAN, S.Hut.

Forest fires often occurs on most recently in Indonesia, especially in Sumatera and Kalimantan. Forest fires in the area of Lake Toba (Toba Samosir) is one of the main factors that cause the degradation of land in the region. Almost every year of forest fire occurred in this region with an average of about 113 Ha. Information of danger area to forest fires is very important information and is required by fire managers in forest and land fires control activity. This research aims to analyze the forest and land fires factors in the district Toba Samosir, to map danger area to forest fires and land in the district Toba Samosir, and measuring the area of forest and land fires in the district Toba Samosir. The research was conducted in the district Toba Samosir on May 2011 to July 2011. This research uses Geographic Information System (GIS) to map danger area to forest and land fires in the district and to know the extent Toba Samosir.

Throught this research it is known that the Toba Samosir is dominated by class of danger to forest and land fires “middle” with and area 131.303, 18 Ha. Forest and land fires factors that could potentially cause forest and land fires are land cover, climate and elevation. Danger area to forest and land fires that most potential to occur in district with large Borbor 20. 637,29 Ha. While danger area to forest and land fires that occurred in the smallest district with an area of 22,24 Ha Lumbanjulu.

(5)

ABSTRAK

MAYA SARI HASIBUAN. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh

SITI LATIFAH, S.Hut, M.Si, Ph.D dan RISWAN, S.Hut.

Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan di wilayah Danau Toba (Kabupaten Toba Samosir) merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab dalam degradasi lahan di wilayah tersebut. Hampir setiap tahun, kebakaran hutan terjadi di wilayah ini dengan rata-rata luasan sekitar 113 Ha. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran merupakan informasi yang sangat penting dan diperlukan oleh fire manager dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir, memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir, menghitung luas daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Toba Samosir pada bulan Mei 2011 sampai Juli 2011. Penelitian ini menggunakan GIS untuk memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir serta mengetahui luasnya.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Maya Sari Hasibuan, dilahirkan di Medan pada tanggal 04 Desember 1989 dari Ayahanda Minsyachri Hasibuan dan Ibunda Almh. Asnawati. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal pertama Penulis dimulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) Aisyiah Medan tahun 1995, kemudian melanjutkan pendidikan di SDN. 064955 Medan sampai tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 15 Medan sampai tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan pendidikan di SMA Swasta ERIA sampai tahun 2007. Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Kehutanan Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten Praktikum Inventarisasi Hutan tahun 2010 dan asisten Pemanenan Hasil Hutan tahun 2011. Selain itu penulis juga merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan anggota Keputrian Badan Kemakmuran Mushalla (BKM) Baitul Asyjar.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan draft proposal penelitian ini.

Adapun skripsi ini berjudul Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh untuk gelar sarjana.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis dibimbing oleh Siti Latifah, S.Hut, M.Si, Ph.D sebagai ketua komisi pembimbing dan Riswan, S.Hut sebagai anggota komisi pembimbing.

Skripsi penelitian ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2011

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan penelitian ... 4

Manfaat penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan ... 6

Proses Kebakaran ... 6

Faktor-faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan ... 7

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan ... 14

Titik Panas (Hotspot) ... 16

Aplikasi SIG pada Kebakaran Hutan dan Lahan ... 18

Monitoring Kebakaran Hutan ... 23

Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 25

Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Keadaan Geografis ... 27

Iklim ... 28

Kependudukan ... 28

Struktur Ekonomi ... 28

METODOLOGI Waktu dan Tempat... 30

Bahan dan Alat... 30

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data ... 31

Pengolahan Data ... 31

Penentuan Skoring ... 32

Analisis Tumpang Susun ... 35

(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir

Tutupan Lahan (Vegetasi) ... 38

Topografi ... 41

Iklim ... 44

Jarak dari Pemukiman ... 52

Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir ... 55

Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Masing-Masing Faktor Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir Tutupan Lahan ... 59

Topografi ... 61

Iklim ... 63

Jarak Pemukiman ... 67

Evaluasi/verifikasi ... 69

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 70

Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA

GLOSARIUM

LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

1. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera dan

Kalimantan Tahun 2006 ... 6

2. Tipe Vegetasi atau Penutupan Lahan dan Pembobotannya ... 32

3. Klasifikasi Ketinggian Tempat dan Pembobotannya ... 33

4. Klasifikasi Curah Hujan Bulanan dan Pembobotannya ... 33

5. Klasifikasi Suhu Udara Bulanan dan Pembobotannya ... 34

6. Klasifikasi Kecepatan Angin Bulanan dan Pembobotannya ... 34

7. Klasifikasi Jarak dari Pemukiman dan Pembobotannya ... 35

8. Klasifikasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan ... 36

9. Tutupan Lahan di Kabupaten Toba Samosir ... 40

10. Ketinggian Tempat (Elevasi) di Kabupaten Toba Samosir ... 43

11. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan Tahun 2010 di Kabupaten Toba Samosir ... 44

12. Rata-Rata Suhu Udara Bulanan Tahun 2010 di Kabupaten Toba Samosir ... 47

13. Rata-Rata Kecepatan Angin Bulanan Tahun 2010 di Kabupaten Toba Samosir ... 51

14. Jarak Lokasi Pemukiman Terhadap Tutupan Lahan ... 52

15. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Kelas Rawan Menurut Luasan ... 55

16. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Jenis Tutupan Lahan Menurut Luasan ... 59

17. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Ketinggian Tempat Menurut Luasan ... 61

(11)

19. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Rata-Rata Suhu Udara Bulanan Tahun 2010 Menurut Luasan ... 64 20. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Rata-Rata

Kecepatan Angin Bulanan Tahun 2010 Menurut Luasan ... 66 21. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Jarak Lokasi

(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran ... 5

2. Prinsip Segitiga Api ... 7

3. Peta Tutupan Lahan Kabupaten Toba Samosir ... 39

4. Lokasi Bekas Kebakaran di Lereng Curam di Kecamatan Balige ... 41

5. Peta Ketinggian Tempat (Elevasi) Kabupaten Toba Samosir ... 42

6. Peta Rata-Rata Curah Hujan Bulanan Kabupaten Toba Samosir ... 45

7. Peta Rata-Rata Suhu Udara Bulanan Kabupaten Toba Samosir ... 48

8. Peta Rata-Rata Kecepatan Angin Bulanan Kabupaten Toba Samosir ... 50

9. Peta Lokasi Pemukiman Kabupaten Toba Samosir ... 54

(13)

ABSTRACT

MAYA SARI HASIBUAN. Mapping of Danger Area to Forest and Land Fires on

Toba Samosir District, North Sumatera Province. Guided by SITI LATIFAH,

S.Hut, M.Si, Ph.D dan RISWAN, S.Hut.

Forest fires often occurs on most recently in Indonesia, especially in Sumatera and Kalimantan. Forest fires in the area of Lake Toba (Toba Samosir) is one of the main factors that cause the degradation of land in the region. Almost every year of forest fire occurred in this region with an average of about 113 Ha. Information of danger area to forest fires is very important information and is required by fire managers in forest and land fires control activity. This research aims to analyze the forest and land fires factors in the district Toba Samosir, to map danger area to forest fires and land in the district Toba Samosir, and measuring the area of forest and land fires in the district Toba Samosir. The research was conducted in the district Toba Samosir on May 2011 to July 2011. This research uses Geographic Information System (GIS) to map danger area to forest and land fires in the district and to know the extent Toba Samosir.

Throught this research it is known that the Toba Samosir is dominated by class of danger to forest and land fires “middle” with and area 131.303, 18 Ha. Forest and land fires factors that could potentially cause forest and land fires are land cover, climate and elevation. Danger area to forest and land fires that most potential to occur in district with large Borbor 20. 637,29 Ha. While danger area to forest and land fires that occurred in the smallest district with an area of 22,24 Ha Lumbanjulu.

(14)

ABSTRAK

MAYA SARI HASIBUAN. Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh

SITI LATIFAH, S.Hut, M.Si, Ph.D dan RISWAN, S.Hut.

Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan di wilayah Danau Toba (Kabupaten Toba Samosir) merupakan salah satu faktor utama yang menjadi penyebab dalam degradasi lahan di wilayah tersebut. Hampir setiap tahun, kebakaran hutan terjadi di wilayah ini dengan rata-rata luasan sekitar 113 Ha. Informasi mengenai daerah rawan kebakaran merupakan informasi yang sangat penting dan diperlukan oleh fire manager dalam kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir, memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir, menghitung luas daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Toba Samosir pada bulan Mei 2011 sampai Juli 2011. Penelitian ini menggunakan GIS untuk memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir serta mengetahui luasnya.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun terakhir terjadi pada tahun 2006. Jumlah hotspot pada tahun tersebut sebesar 146.264 titik dengan luas kebakaran hutan 32.198,58 Ha dan lahan seluas 23.735,67 Ha. Mengingat pentingnya sumberdaya hutan dalam menambah devisa negara, agar tidak terjadi penurunan, maka upaya perlindungan hutan dari gangguan luar terutama dari kebakaran hutan perlu

diusahakan semaksimal mungkin (Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, 2010).

Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas PB), selama tahun 2006 kebakaran hutan dan lahan mencapai luas 65.167,1 Ha, yang tersebar di Provinsi Jambi (3.797 Ha), Sumatera Selatan (58.805 Ha), Lampung (700 Ha), dan Kalimantan Tengah (1.865,10 Ha). Beberapa Taman Nasional (TN) yang terbakar dalam tahun 2006 meliputi Taman Nasional Tesso Nilo (2.500 Ha, Riau), Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Taman Nasional Ciremai (1.328 Ha, Jawa Barat), Taman Nasional Sebangau (Kalimantan Tengah), dan TN Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) (Fire Bulletin, 2007).

(16)

tempat/elevasi). Seluruh komponen penyusun hutan pada dasarnya dapat merupakan bahan bakar untuk kebakaran hutan. Pohon – pohon penyusun hutan merupakan bagian terbesar dari komponen hutan yang dapat berperan sebagai bahan bakar mempunyai potensi dan kemudahan yang sangat bervariasi. Perbedaan kemudahan terbakar tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis atau komposisi jenis tanaman. Jenis pohon – pohon berdaun lebar lebih sulit terbakar dibanding pohon – pohon berdaun jarum yang banyak mengandung resin (Sumardi dan Widyastuti, 2004).

Kebakaran hutan dan lahan bisa terjadi baik disengaja maupun tanpa disengaja. Dengan kata lain, terjadinya kebakaran hutan dan lahan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), HTI, penyiapan lahan untuk ternak dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini banyak disebabkan karena faktor ini. Kebakaran hutan juga bisa disebabkan oleh faktor tidak disengaja, yang disebabkan oleh faktor alami ataupun karena kelalaian manusia (Purbowaseso, 2004).

(17)

Untuk menganalisa suatu peristiwa kebakaran, diperlukan data kondisi klimatologi, penutupan lahan/hutan yang mengindikasikan bahan bakar, dan topografi, yang ketiganya biasa disebut “fire environment triangle”. Secara fisik, DTA Danau Toba memiliki iklim tipe B berdasarkan Schmidt Fergusson, yaitu kondisi iklim yang selalu basah tanpa musim kering yang jelas. Berdasarkan pada analisa data klimatologi selama 11 tahun (1985-1995), curah hujan per tahun untuk area DTA Danau Toba adalah 1.525,22 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 206,95 hari/tahun, rata-rata suhu 18,27ºC -21ºC, dan rata-rata kelembaban sebesar 85,60% (Syaufina dan Sukmana, 2008).

Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan – kemungkinan terjadinya kebakaran hutan. Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam

pencegahan kebakaran hutan yaitu pembuatan peta rawan kebakaran (Purbowaseso, 2004).

(18)

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Menganalisa faktor-faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir.

2. Memetakan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir.

3. Menghitung luas daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah

1. Menganalisa data dan informasi yang digunakan sebagai sistem peringatan dini terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan.

2. Sebagai bahan rujukan untuk pengambilan keputusan dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan bagi pihak terkait, khususnya di Kabupaten Toba Samosir.

(19)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Kebakaran hutan dan lahan

Penurunan fungsi hutan dan lahan

Perubahan kondisi biofisik

Ketinggian tempat Tutupan

lahan

Curah hujan

Pemetaan Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

Peta Daerah Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan

Rekomendasi untuk pihak pengelola hutan sebagai informasi peringatan dini.

Suhu udara

Kecepatan angin

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Kebakaran Hutan dan Lahan

Kebakaran hutan dibedakan pengertiannya dengan kebakaran lahan, dimana perbedaannya terletak pada lokasi kejadiannya. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran yang terjadi diluar kawasan hutan (Pubowaseso, 2004).

Dibawah ini dapat dilihat data kebakaran hutan dan lahan tahun 2006 yang terjadi di Provinsi Sumatera dan Kalimantan.

Tabel 1. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera dan Kalimantan

No

Proses pembakaran/kebakaran adalah proses kimia-fisika yang merupakan kebalikan dari reaksi fotosintesa yaitu :

C6H12O6 + O2 + Sumber Panas CO2 + H2O+ Panas

(21)
(22)

karena waktu sangat terkait dengan kondisi cuaca yang menyertainya. Waktu dipisahkan atas waktu siang dan malam hari. Terdapat hubungan antara waktu dengan kondisi kebakaran hutan dan lahan. Masing-masing faktor tersebut sangat mempengaruhi perilaku api kebakaran hutan dan lahan (Pubowaseso, 2004).

Karakteristik Bahan Bakar

1. Kadar Air Bahan Bakar

Kadar air bahan bakar berpengaruh sangat nyata dalam menentukan perilaku api pada kebakaran hutan. Kadar air menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran. Api sulit untuk memulai menyala pada kadar air bahan bakar di atas 12% untuk jenis rumput-rumputan dan di atas 20% untuk bahan bakar hutan. Agar bahan bakar terbakar, suhu bahan bakar harus naik sampai mencapai titik bakar. Pada kertas kering, terbakar pada suhu 130oC,

serasah hutan pada suhu 300oC dan batang pohon sekitar 600oC (Sagala, 1988 dalam Darwo, 2009). Apabila sudah menyala, api dapat bergerak

dengan cepat jika ada angin bertiup (Artur, 1986 dalam Darwo, 2009). Batas aman kadar air bahan bakar adalah 30%. Untuk memahami sifat kemudahan terbakar suatu bahan bakar diperlukan pengetahuan mengenai kadar air seperti curah hujan, kelembaban relatif, dan suhu. Bila kelembaban tinggi, maka dibutuhkan energi yang besar untuk terjadinya pembakaran. Bila kelembaban rendah, maka bahan bakar cepat terbakar (Suratmo, 1985 dalam Darwo, 2009). 2. Ukuran Bahan Bakar

(23)

lingkungan sekitar, mudah mengering tetapi mudah pula menyerap air. Karena sifatnya yang cepat mengering, maka apabila terbakar akan cepat meluas namun cepat pula padam. Bahan bakar halus ini terdiri dari daun, serasah, rumput dan cabang kecil. Bahan bakar sedang meliputi tumbuhan bawah, savana dan padang alang-alang. Pada bahan bakar kasar, kadar air yang terkandung lebih stabil, tidak cepat mengering sehingga sulit terbakar. Namun apabila terbakar, maka akan memberikan penyalaan yang lebih lama. Bahan bakar kasar meliputi pohon, log kayu dan pohon-pohon mati yang masih berdiri (snog) (Darwo, 2009).

3. Susunan Bahan Bakar

Susunan bahan bakar tersebut dibagi menjadi 2 yaitu susunan vertikal dan susunan horizontal. Susunan secara vertikal merupakan bahan bakar yang bertingkat dan berkesinambungan ke arah atas. Hal ini memungkinkan api mencapai tajuk dalam waktu yang singkat. Susunan secara horizontal merupakan bahan bakar yang menyebar dan berkesinambungan secara mendatar di lantai hutan dan akan mempengaruhi penjalaran kebakaran (Darwo, 2009).

Jenis Bahan Bakar

Jenis bahan bakar dapat digolongkan menjadi:

 Jenis pohon

(24)

m/jam, hal ini karena pada P. merkusii terdapat zat ekstraktif berupa resin (Saharjo, 2003 dalam Darwo, 2009).

 Semak dan anakan

Jika dalam keadaan tumbuhan sehat, maka sukar terbakar namun apabila dalam keadaan mati sangat mudah untuk terbakar. Serasah dan lapisan humus yang belum hancur merupakan lapisan bahan organik yang sudah mati terdiri dari daun-daun, cabang-cabang pohon yang mati. Serasah mudah dikeringkan oleh udara sehingga mudah terbakar. Cabang-cabang pohon yang mati dan pohon yang masih berdiri di hutan merupakan bahan bakar yang mudah menyala dan bila terbakar api dapat berkobar tinggi. Sisa penebangan misalnya penebangan dalam penjarangan yang banyak meninggalkan sisa-sisa kayu, cabang dan daun-daun (Saharjo, 2003).

Kondisi Bahan Bakar

Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya bahan bakar terbakar. Salah satu kondisi bahan bakar yang penting adalah kadar air bahan bakar dan jumlah bahan bakar di hutan. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung terjadinya kebakaran. Kandungan kadar air bahan bakar dari tanaman A. mangium 28,60%, sedangkan tanaman P. merkusii 30,96% (Saharjo, 2003 dalam Darwo, 2009).

Kerapatan Bahan Bakar

(25)

yang lama jika kerapatan partikelnya tinggi dan akan berhenti terbakar jika kerapatan partikelnya rendah (Darwo, 2009).

Kondisi Cuaca

1. Suhu

Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar (Chandler et. al. 1983). Temperatur udara bergantung pada intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah-daerah dengan temperatur tinggi akan menyebabkan percepatan pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu udara merupakan faktor cuaca penting yang menyebabkan kebakaran. Suhu udara secara konstan merupakan faktor yang berpengaruh pada suhu bahan bakar dan kemudahan bahan bakar untuk terbakar (Dirjen PHPA, 1994).

Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memprakirakan dan menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi. Dengan demikian adalah penting untuk mengetahui bagaimana menentukan besarnya suhu udara (Purbowaseso, 2004).

(26)

2. Kelembaban Udara dan Curah Hujan

Kelembaban udara dan curah hujan berhubungan erat dengan musim kebakaran karena berkaitannya dengan kemudahan terbakar dari bahan bakar dan berhubungannya dengan faktor cuaca lainnya. Pada bahan bakar mati seperti serasah, kadar airnya sangat ditentukan oleh kondisi kelembaban udara disekitarnya. Bahan bakar akan menyerap air dari udara yang lembab dan melepaskan uap air ke udara yang kering. Selama musim kemarau, kelembaban udara yang rendah juga mempengaruhi kadar air bahan bakar hidup. Uap air yang akhirnya turun sebagai hujan akan meningkatkan kadar air dari bahan bakar mati (Darwo, 2009).

3. Iklim Mikro dalam Hutan

Hamzah dan Wibowo (1985) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa walaupun Indonesia dalam kawasan tropis dengan curah hujan tinggi, namun hutan-hutannya tidak luput dari ancaman kebakaran. Salah satu penyebab utamanya adalah adanya musim hujan dan musim kemarau. Pada musim kemarau, curah hujan dalam sebulan sering kurang dari 60 mm terlebih lagi pada daerah bertipe iklim C dan D, maka bahaya kebakaran hutan akan makin besar. Karena adanya siklus tahunan dalam curah hujan dan pertumbuhan vegetasi maka setiap daerah memiliki musim kebakaran yang tegas. Lamanya musim kebakaran ini berbeda-beda, ada yang setahun dua kali dan adakalanya sepanjang tahun.

4. Angin

(27)

besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan.

Angin menentukan arah menjalarnya api, menurut Suratmo (1985) dalam Darwo (2009) angin juga mempengaruhi kecepatan dan percepatan terjadinya kebakaran hutan. Angin menentukan arah dari menjalarnya api dan berkorelasi positif dengan menjalarnya api, selain itu api juga dapat mengurangi kadar air bahan bakar. Clar dan Chatten (1954) dalam Darwo (2009) menyatakan bahwa dengan adanya angin maka persediaan oksigen tercukupi dan memberikan tekanan untuk memindahkan panas dan api serta mengeringkan bahan bakar melalui penguapan.

Akibat dari semua mekanisme ini, akan membuat kebakaran kecil menjadi kebakaran besar, menyebabkan api bergerak tidak terduga serta membahayakan dan menyulitkan usaha pemadaman.

5. Topografi

Kemiringan lereng dan ketinggian lokasi di atas permukaan laut menentukan cepat lambatnya api bereaksi, yaitu berpengaruh pada penjalaran dan kecepatan pembakaran. Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya dan api akan menjalar lebih cepat kearah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar ke bawah lereng akan padam jika melalui daerah lembab yang memiliki kadar air tinggi (Clar dan Chatten, 1994).

(28)

6. Jarak dari Pemukiman

Jarak dari jaringan jalan, pemukiman penduduk memiliki kategori sangat penting sehingga peubah jalan dan pemukiman penduduk digunakan sebagai peubah penyebab kebakaran untuk menentukan pengaruh aktivitas manusia. Semakin jauh lokasi hutan terhadap pemukiman penduduk, jalan, dan sungai maka hutan semakin terhindar dari kebakaran (Arianti, 2006).

Aktivitas masyarakat sekitar hutan demi memperoleh penghidupan cenderung meningkat pada musim kemarau. Hal ini dikarenakan lahan bercocok tanam di wilayah sekitar hutan menjadi tidak produktif karena kekeringan. Pembuatan arang kayu di hutan misalnya dapat mengakibatkan bahaya kebakaran (Qodariah dan Wijanarko, 2008).

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan

Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan dan lahan diantaranya :

a. Dampak Terhadap Bio-fisik

(29)

kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta menggangu habitat satwa liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai taraf pembentukan tegakan tersebut.

Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan. Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi dan tingkat air tanah menurun. Kebakaran yang berulang-ulang dikawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.

Dampak lainnya dari kebakaran hutan adalah rusaknya permukaan tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang terbakar di lereng-lereng di daerah hulu DAS cenderung menurukan kapasitas penyimpanan air di daerah-daerah dibawahnya. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan mutu kawasan karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan erosi tanah dan banjir, yang menimbulkan dampak lanjutan berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai, danau dan bendungan.

b. Dampak Terhadap Sosial Ekonomi

(30)

perindustrian, perdagangan, jasa wisata dan lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.

c. Dampak Terhadap Lingkungan

Selain dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1994 dan tahun 1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terperangkap di bawah suatu lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga, menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus pandang) sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut dan udara.

Titik Panas (Hotspot)

Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik koordinat. Pada kenyataannya, tidak semua hotspot mengindikasikan terjadinya kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara khusus digunakan untuk mengindikasikan titik terjadinya kebakaran. Namun istilah hotspot lebih umum digunakan. Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire (FFPMP2, 2007).

(31)

Titik panas (hotspot) adalah penamaan yang diberikan terhadap produk pencitraan satelit NOAA. Satelit ini mengelilingi bumi setiap 100 menit di ruang angkasa sejauh 850 km. Data dari NOAA dapat diterima hampir setiap hari. Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla), disetiap propinsi mempunyai akses langsung terhadap stasiun satelit yang berada di Jakarta tersebut. Sedangkan untuk kebutuhan umum, data baru akan diterima dua hari setelah kebakaran terjadi. NOAA dilengkapi dengan sensor AVHHR (Advanced Very High Resolution Radiometer). AVHHR akan mendeteksi suhu permukaan tanah menggunakan sinar infra merah pendek utama. Titik panas (hotspot) adalah terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Ukuran satu pixel ini setara dengan 1,2 km dikalikan dengan 1,1 km dan titik panas di permukaan bumi yang dapat ditangkap oleh sinar infra merah adalah 315○K (42○C) pada siang hari dan 310○K (37○C) pada malam hari. Dalam keadaan berawan, deteksi titik panas ini tidak dapat dilakukan. Derajat panas senilai 42○C pada siang hari di satu kawasan mustahil ditemukan pada daerah yang tidak memiliki titik api. Refleksi panas pada sebuah atap seng pada pabrik yang luas hanya mampu memproduksi panas tidak lebih dari 257○C. Dengan menggunakan angka ini, total luas hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar dalam enam tahun terakhir mencapai 27,612 juta Ha. Rata-rata setiap tahunnya, hutan dan lahan seluas 5 juta Ha (WALHI, 2007).

(32)

(47.810) dan Oktober (35.829). Berdasarkan penyebarannya, titik panas ini sebagian besar berada di Kalimantan dan Sumatera. Dalam periode tersebut, titik panas terbanyak terdapat di Kalimantan Tengah (46.285), yang diikuti oleh Kalimantan Barat (28.061), Sumatera Selatan (21.030) dan Riau (10.784) (Fire Bulletin, 2007).

Dengan mengambil sampel Kalimantan Barat dan Riau, analisis titik panas menunjukkan sebaran titik panas sebagai berikut : konsesi perkebunan sawit (23,37%), Hutan Tanaman Industri (16,16%), Hak Pengusahaan Hutan (1,88%), dan areal penggunaan lain/APL (58,59%). APL ini dapat berupa lahan masyarakat, lahan terlantar, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi (Fire Bulletin, 2007).

Aplikasi SIG pada Kebakaran Hutan dan Lahan

1. Teknologi Pengindraan Jauh

(33)

dengan memanfaatkan satelit NOAA yang memiliki teknologi AVHRR (LAPAN, 2004).

Penelitian untuk melihat keakuratan data hotspot dengan kejadian kebakaran dilakukan oleh Thoha (2006) menyatakan bahwa akurasi berdasarkan jumlah desa yang terpantau hotspot dengan sumber data dari ASMC memiliki persentase tertinggi yaitu sebesar 60%. Sedangkan untuk JICA dan LAPAN masing-masing adalah 47% dan 40%. Untuk akurasi berdasarkan jarak terdekat, sumber data dari JICA memiliki akurasi tertinggi yaitu 17,5 km dibandingkan ASMC sebesar 4,46 km dan LAPAN sebesar 3,70 km.

Terdapat beberapa kelemahan pada satelit NOAA yang berfungsi sebagai pemantau titik panas yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan aerosol sehingga memungkinkan jumlah hotspot yang terdeteksi pada saat kebakaran jauh lebih rendah daripada seharusnya. Sifat sensor yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah menyebabkan kemungkinan terjadinya salah perkiraan hotspot, misalnya cerobong api dari tambang minyak dan gas sering kali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Oleh karena itu, diperlukan analisa lebih lanjut dengan melakukan overlay (penggabungan) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau peta penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan (ground surveying) (Adinugroho, et al, 2005).

(34)

sesungguhnya. Kebakaran atau beberapa kebakaran dapat terletak dalam radius 500 meter dari koordinat titik tengah tersebut. Lebih jauh lagi, sangatlah sulit untuk menjamin registrasi yang baik dari citra NOAA-AVHRR secara berturut-turut. Kekeliruan registrasi tergantung pada keakuratan operator ketika menumpangsusunkan garis pantai dalam proses georeferensi (Hoffman, 2000). 2. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu kumpulan terorganisasi yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis. Lebih lanjut Arronof (1989) juga mengatakan SIG sebagai sebuah sistem komputerisasi yang memfasilitasi fase entri data, analisis data dan presentasi data yang terutama berkenaan dengan data yang memiliki georeferensi.

Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data secara otomatis, analisis data dan referensi pada bagian bidang terkait seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil, geografi, studi matematika dan variasi spasial, ilmu tanah, survey dan fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility network, dan pengindraan jauh serta analisis citra (Burrough, 1986).

(35)

dengan pengukuran lapangan dan metoda dengan helikopter. Penggunaan teknologi SIG mempermudah deliniasi dan pemetaan daerah kebakaran secara lebih tepat.

Penggunaan SIG dalam model kerawanan hutan telah mempertimbangkan sejumlah faktor penyebab kebakaran, tergantung pada karakteristik dari kejadian kebakaran pada tempat yang berbeda. Variabel spasial yang digunakan untuk membangun kerawanan kebakaran hutan, yaitu topografi (elevasi, slope, dan aspek), vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban), pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi), aksesibilitas terhadap jalan, tipe kepemilikan lahan, jarak dari kota, tanah dan bahan bawah tanah, sejarah kebakaran dan ketersediaan air (Chuvieco dan Salas, 1996).

Peta Rawan Kebakaran merupakan model spasial yang digunakan untuk mempresentasikan kondisi di lapangan terkait dengan resiko terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Model ini dibuat dengan menggunakan aplikasi GIS untuk memudahkan proses overlay antar faktor-faktor penyebab kebakaran. Oleh karena itu, memahami faktor-faktor penyebab dan perilaku kebakaran merupakan hal yang sangat utama di dalam melakukan permodelan ini (Solichin, dkk, 2007).

(36)

Rawan Kebakaran = {40% * (Penutupan Lahan)} + {30% * (Lahan Gambut)} + {30% * (Zona Iklim/Elevasi)}

(Solichin, dkk, 2007).

Jaya (2002) menyatakan bahwa analisis spasial yang juga disebut dengan pemodelan adalah suatu proses untuk mendapatkan atau mengekstraksi dan membentuk informasi baru dari data (feature) geografis. Analisis spasial mencakup proses pemodelan, pengujian model dan interpretasi hasil model. Analisis spasial sangat bermanfaat untuk prediksi suatu kejadian melalui proses simulasi data geografis.

(37)

Monitoring Kebakaran Hutan

Monitoring kebakaran hutan bisa mencakup pemantauan lokasi kejadian kebakaran, perkiraan luas dan dampak kebakaran pada hutan dan lahan, perkiraan resiko kebakaran dan intensitas kerusakan akibat kebakaran hutan. Dengan SIG, maka dapat dibangun sebuah model statistik ke dalam model prediksi spasial. Persamaan statistik diperoleh dari analisis statistik yang diaplikasikan pada software GIS (Geographical Information System) untuk menghasilkan sebuah peta (Thoha, 2008).

Identifikasi lokasi rawan kebakaran hutan berguna untuk kegiatan monitoring sebagai upaya pencegahan dini. Lokasi rawan kebakaran memiliki kriteria sebagai berikut :

1. Merupakan lokasi-lokasi yang berdasarkan laporan tahun lalu telah sering

terjadi kebakaran.

2. Lokasi hutan yang dekat dengan pemukiman/aktifitas masyarakat.

3. Lokasi yang berdekatan dengan sarana/prasarana atau aksesibilitasnya tinggi

(dekat dengan jalan atau alur) sehingga sering dilewati oleh masyarakat. 4. Lokasi-lokasi yang berbatasan atau berada pada kegiatan persiapan lapangan.

5. Lokasi yang tumbuhan bawahnya di dominasi oleh kirinyuh (Eupatorium

odoratum) dan alang-alang (Imperata cilindrica)

6. Lokasi tanaman (1-3 tahun) terutama dengan sistem banjarharian

(38)

 Topografi

Topografi lapangan sangat menentukan kemudahan api menyebar serta menjadi pertimbangan pada saat pemadaman api. Lokasi yang miring akan memiliki karakteristik api lebih mudah menyebar ke lokasi yang lebih tinggi dengan bantuan angin dengan adanya api loncat dibandingkan lokasi yang datar.

 Bahan bakar/material berpotensi mudah terbakar

Keberadaan tumbuhan bawah terutama yang didominasi oleh ilalang dan kirinyuh akan lebih berpotensi terbakar dibandingkan semak belukar/tumbuhan bawah lainnya. Selain itu keberadaan serasah daun jati yang meranggas pada saat musim kemarau merupakan potensi bahan bakar yang tinggi, selain pohon, ranting, batang yang kering.

 Keberadaan sumber air/perairan

Keberadaan sumber air/perairan seperti sungai, selokan, irigasi, embung, mata air atau bendungan terdekat sangat diperlukan pada saat upaya pemadaman. Jika wilayah perairan terdekat sudah teridentifikasi, maka tindakan pemadaman api akan menjadi lebih mudah.

 Aksesibilitas

Aksesibilitas menuju lokasi rawan kebakaran perlu diidentifikasi, letak jalan, alur serta kondisi terkininya akan sangat membantu dalam mengatur tim pemadam, meletakkan sarana pemadam (mobil tanki, dll), mobilisasi masyarakat serta jalur penyelamatan.

(39)

Teknik Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan

Pencegahan merupakan upaya yang dilakukan pada fase sebelum kejadian berlangsung. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pencegahan kebakaran hutan meliputi pembuatan peta rawan kebakaran, memantau gejala rawan kebakaran, penyiapan regu pemadam kebakaran, membangun menara pengawas, membuat jalur sekat bakar, dan penyuluhan (Purbowaseso, 2004).

1. Peta Rawan Kebakaran

Peta rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan menumpang susunkan peta dari parameter-perameter yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan metode skoring. Selain itu, peta rawan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan bantuan citra satelit yang memanfaatkan saluran thermal, seperti citra NOAA.

2. Memantau Cuaca, Akumulasi Bahan Bakar dan Gejala Rawan Kebakaran Kegiatan yang dimaksud adalah yang dikaitkan untuk memantau tingkat kerawanan api. Api ditentukan oleh kondisi bahan bakar (kandungan air, struktur dan susunannya), angin dan topografi. Oleh karena kandungan air bahan bakar tergantung hujan, suhu dan kelembaban, maka sebenarnya kerawanan api akan juga tergantung pada factor hujan, suhu, kelembaban, struktur bahan bakar, susunan bahan bakar, angin dan topografi (Purbowaseso, 2004).

3. Penyiapan Regu Pemadam Kebakaran

(40)

dengan membawa peralatan pemukul api memerlukan ruang gerak 5 meter, maka untuk satu regu wilayah yang bisa dijangkau adalah sepanjang 5 x 20 = 100 meter (Purbowaseso, 2004).

4. Membangun Menara Pengawas

Perlengkapan yang diperlukan dalam pengawasan ini adalah alat komunikasi dan lokasi pengawasan. Bahan yang digunakan untuk membuat menara api dapat berasal dari besi ataupun kayu. Sesuai SK Dirjen PHPA nomor 248/Kpts/DJ-VI/1994 mensyaratkan bahwa tinggi menara pengawas api berkisar antara 12-18 m.

Lokasi penempatan menara pengawas api harus diletakkan pada tempat yang strategis artinya pada tempat yang paling tinggi di wilayah tersebut dan mudah didatangi. Menara pengawas api dengan tinggi 13 m yang diletakkan di puncak bukit kecil mampu mengawasi wilayah 3-5 km (Purbowaseso, 2004). 5. Membuat Jalur Sekat Bakar

Biasanya sekat bakar dipisahkan atas 2 yakni jalur kuning dan jalur hijau. Jalur kuning adalah sekat yang dibuat dengan lebar tertentu (umumnya 12-20 m) dan mengelilingi areal sampai ketemu gelang serta sekat dalam kondisi bersih dari bahan bakar. Jalur hijau dibedakan dengan jalur kuning terletak pada penanaman pohon yang tahan api pada jalur hijau. Pembuatan jalur kuning biasanya juga dikombinasikan dengan jalan, baik jalan utama maupun jalan cabang.

(41)

Jalur hijau lebih tepat dibuat pada areal yang menghubungkan antara kegiatan sebagai sumber penyebab kebakaran hutan seperti pemukiman, ladang, kegiatan HTI, PIR, transmigrasi dengan kawasan yang dilindungi yang berada di sekitarnya. Jalur hijau dicirikan dengan penanaman pohon-pohonan yang tahan api artinya jenis pohon yang survival setelah terbakar (Purbowaseso, 2004).

6. Penyuluhan

Penyuluhan merupakan kegiatan penting dalam rangka menyadarkan seluruh pihak yang terkait dengan pembakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, agar penyuluhan dapat efektif, maka orang yang disuluh sebagai obyek harus tepat. Materi yang disampaikan harus dalam bahasa yang mudah diterima oleh peserta penyuluhan (Purbowaseso, 2004).

Kondisi Umum Lokasi Penenlitian

Lokasi dan Keadaan Geografis

Kabupaten Toba Samosir berada pada 2○03’ - 2○40’ Lintang Utara dan 98○56’ - 99○40’ Bujur Timur dengan luas wilayah yaitu 2.021,8 Km2. Kabupaten Toba Samosir berada diantara lima kabupaten yaitu:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, - Sebelah Timur berbatasan dengan Labuhan Batu dan Asahan, - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Samosir.

(42)

Iklim

Sesuai dengan letaknya yang berada di garis khatulistiwa, Kabupaten Toba Samosir tergolong ke dalam daerah beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170C - 290C dan rata-rata kelembaban udara 85,04 persen. Rata-rata tinggi curah hujan yang terjadi di Kabupaten Toba Samosir per bulan tahun 2007 berdasarkan data pada 3 stasiun pengamatan sebesar 155 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 14 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan April dengan 260 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 6 hari. Sedangkan pada bulan Pebruari curah hujan yang turun sangat rendah sekitar 85 mm, dengan jumlah hari hujan 4 hari. Berdasarkan stasiun pengamatan, Kecamatan Habinsaran merupakan daerah dengan curah hujan yang tertinggi, yaitu 200 mm.

Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Toba Samosir pada tahun 2009 adalah 175.325 jiwa, dengan jumlah rumah tangga (RT) 39.339 RT, dengan luas wilayah daratan 2.021,8 Km², tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Toba Samosir tahun 2009 sebesar 86,7 jiwa/km². Kecamatan Balige yang merupakan ibukota kabupaten, pusat perdagangan dan pusat pemerintahan adalah kecamatan dengan tingkat kepadatan yang tertinggi, yaitu sebesar 487,52 jiwa/km², kemudian Kecamatan Porsea dengan tingkat kepadatan sebesar 351,64 jiwa/km². Sedangkan Nassau merupakan kecamatan dengan tingkat kepadatan yang terkecil, yaitu hanya 18,80 jiwa/km².

Struktur Ekonomi

(43)
(44)

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Studi kasus dalam penelitian ini adalah Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Analisis data akan dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai Juli 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

 Peta digital administrasi Kabupaten Toba Samosir tahun 2010 dari Dinas Kehutanan Toba Samosir

 Peta digital penutupan lahan tahun 2010 dari BPKH

 Peta lokasi pemukiman dari BPKH, bersumber dari peta RBI skala 1 : 50.000 Bakosurtanal

 Peta elevasi hasil derivasi DEM resolusi 25 meter bersumber dari peta RBI skala 1 : 50.000 Bakosurtanal yang diperoleh dari BPKH

 Data curah hujan, suhu udara dan kecepatan angin bulanan tahun 2010 dari BMKG

 Data sebaran hotspot tahun 2006 – 2010 dari BBKSDA, bersumber dari pemantauan satelit NOAA melalui website www.Noaa.gov.sg.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

Personal Computer (PC) dan Software pengolah data GIS yaitu Arc View 3.3

Global Positioning System (GPS)

(45)

Prosedur Penelitian

1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer untuk mewakili data yang terkait dengan penutupan lahan, ketinggian lahan/hutan, curah hujan, suhu udara, kecepatan angin dan lokasi pemukiman yang dilakukan dengan pengambilan titik langsung ke lapangan dengan menggunakan GPS sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data sekunder yang diperlukan terdiri dari peta digital administrasi Kabupaten Toba Samosir, peta digital penutupan lahan dan lokasi pemukiman, peta digital elevasi atau ketinggian, data curah hujan, suhu udara dan kecepatan angin, serta data sebaran hotspot.

2. Pengolahan Data

Identifikasi/analisis zona bahaya kebakaran hutan dan lahan yang didasarkan faktor penentunya dengan tingkat kerawanan yaitu sangat rendah, rendah, sedang/menengah, tinggi, dan sangat tinggi dengan nilai skoring yang telah ditetapkan. Untuk melakukan proses overlay pada peta, peta yang disintesis yaitu:

a. Peta tipe vegetasi/penggunaan lahan dalam bentuk shapefile.

b. Peta elevasi hasil derivasi DEM resolusi 25 meter meliputi wilayah Toba Samosir diolah dengan menggunakan menggunakan Arc View melalui menu surface, create TIN from feature, convert to grid (pengklasifikasian) dan convert to shp.

(46)

d. Peta lokasi pemukiman diperoleh dengan cara membuffer peta lokasi pemukiman yang ada di kabupaten Toba Samosir.

e. Peta titik panas (hotspot)

Selanjutnya peta-peta tersebut diatas di skoring dan dioverlaykan untuk mendapatkan peta rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir.

3. Penentuan Skoring

Penutupan Lahan

Untuk tipe vegetasi atau penutupan lahan pemberian bobot dilakukan dengan berdasarkan kepada kepekaan tipe vegetasi yang bersangkutan terhadap terjadinya kebakaran. Nilai bobot 1 diberikan kepada tipe vegetasi yang sangat peka yaitu yang sangat mudah terbakar, sampai nilai 7 untuk sulit terbakar. Di sini pembobotan mengacu pada klasifikasi dan pembobotan yang dilakukan oleh Ruecker (2002), Hoffman (2000) serta Barus dan Gandasasmita (1996).

Tabel 2. Tipe vegetasi atau penutupan lahan dan pembobotannya

Tipe Vegetasi atau Penutupan Lahan Kelas/Bobot

Belukar Belukar rawa

Hutan mangrove primer Hutan mangrove sekunder Hutan lahan kering primer Hutan lahan kering sekunder Hutan Tanaman Industri Hutan rawa sekunder Hutan rawa primer Perkebunan

Pertanian lahan kering

(47)

Ketinggian Tempat (mdpl)

Ketinggian tempat dari permukaan laut diperoleh dari hasil derivasi DEM resolusi 25 meter. Ketinggian tempat di atas permukaan laut diklasifikasikan dan diberi nilai bobot. Pada tempat-tempat yang rendah dikatakan mempunyai potensi yang tinggi untuk mudah terbakar dan diberi nilai bobot 1, seterusnya pada tempat yang lebih tinggi akan lebih sulit terbakar, sampai pada tempat tertinggi diberi nilai bobot 6. Untuk klasifikasi ketinggian tempat dan nilai bobotnya dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Klasifikasi ketinggian tempat dan pembobotannya

Ketinggian Tempat (mdpl) Kelas/bobot

< 40 Sumber: Sumaryono, dkk. 2005

Curah Hujan

Klasifikasi curah hujan dilakukan berdasarkan tipe iklim di daerah kabupaten Toba Samosir. Untuk wilayah yang paling kering akan lebih sensitif untuk terbakar, khususnya pada waktu musim kemarau dan diberi nilai bobot 1, sedangkan wilayah yang paling basah tidak akan mudah terbakar walaupun mengalami musim kemarau yang panjang. Hasil klasifikasi dan pembobotan curah hujan dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4. Klasifikasi curah hujan bulanan dan pembobotannya

Curah Hujan Bulanan (mm) Kelas/bobot

(48)

Suhu Udara

Suhu mempengaruhi besarnya curah hujan, laju evaporasi dan transpirasi. Suhu juga dianggap sebagai salah satu faktor yang dapat memprakirakan dan menjelaskan kejadian dan penyebaran air di muka bumi. Dengan demikian adalah penting untuk mengetahui bagaimana menentukan besarnya suhu udara. Untuk klasifikasi dan pembobotan suhu udara dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Klasifikasi suhu udara bulanan dan pembobotannya

Suhu Udara Bulanan(ₒC) Kelas/bobot

≥ 21 – 22

Sumber: Pengkelasan menurut Sturges dalam Mangkuatmodjo (1997) dan modifikasi

Kecepatan Angin

Parameter tentang angin yang biasanya di kaji adalah kecepatan angin. Kecepatan angin penting karena dapat menentukan besarnya kehilangan air melalui proses evapotranspirasi dan mempengaruhi kejadian-kejadian hujan. Untuk klasifikasi dan pembobotan kecepatan angin dapat dilihat pada tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Klasifikasi kecepatan angin dan pembobotannya

Kecepatan Angin (Knot) Kelas/bobot

> 0 – 1

(49)

Jarak dari Pemukiman

Peta jarak diperoleh dari proses buffering data lokasi pemukiman dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. Peta batas pemukiman dalam bentuk shapefile diolah dengan menggunakan fitur create buffer pada menu theme, sehingga diperoleh peta jarak dari pemukiman (Nuarsa, 2005).

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penelitian Arianti (2006), jarak tempuh terjauh yang dapat dicapai oleh manusia adalah ± 4 km. Informasi ini dijadikan sebagai dasar untuk membagi kelas jarak dari pemukiman.

Tabel 7. Klasifikasi jarak dari pemukiman dan pembobotannya

Jarak dari Pemukiman (m) Kelas/bobot

0 – 1000 Sumber : Arianti (2006) dan modifikasi

4. Analisis Tumpang Susun

Untuk menghasilkan peta zona-zona (daerah) bahaya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Toba Samosir, dari berbagai peta yang tersedia dan menunjang dilakukan sintesis yang berkaitan dalam suatu analisis tumpang susun dengan penilaian zona-zona bahaya kebakaran.

(50)

Potensi penyulutan juga dikembangkan sebagai salah satu komponen di dalam Sistem Analisa Ancaman Kebakaran (Ruecker, 2007) yang dikembangkan oleh SSFFMP dan modifikasi.

Rawan Kebakaran = {40% * (Penutupan Lahan)} + {30% * (Iklim)} + {20% * (Elevasi)} + {10% * (Jarak Pemukiman)}

Kelas bahaya kebakaran hutan dan lahan ditentukan oleh penjumlahan dari semua nilai/bobot faktor-faktor (elemen) dalam suatu analisis tumpang susun. Penentuan banyaknya kelas dan interval kelas untuk menetukan kelas rawan digunakan rumus Sturges di bawah ini.

Banyak kelas = 1 + 3,3 log n Interval kelas = Range

Banyak kelas Keterangan : n = banyak data

Range = kelas tertinggi dikurangi kelas terendah

Penyusunan dengan kisaran tingkat bahaya kebakarannya adalah sebagai berikut: Tabel 8. Klasifikasi tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan

Tingkat Kerawanan Kelas/bobot

Sangat Tinggi Tinggi Sedang/Menengah Rendah

Sangat Rendah

(51)

Evaluasi/Verifikasi

Zona-zona rawan kebakaran dari peta hasil analisis tumpang susun (overlay) kemudian dievaluasi atau verifikasi. Verifikasi dilakukan dengan cara pengambilan titik ke lapangan (ground check) dan membandingkan data titik tersebut dengan hasil overlay penyebaran hotspot yang sebenarnya di peta.

Penentuan nilai akurasi hasil ground check digunakan rumus ; Jumlah Titik yang Benar di Lapangan x 100% Jumlah Titik yang Diambil

Menurut Nugroho (2010) nilai akurasi yang mempunyai tingkat ketelitian ≥ 80% sudah dianggap baik/mewakili.

(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi apabila terdapat 3 komponen penyebab kebakaran yang biasa disebut dengan segitiga api. Komponen-komponen yang terdapat pada segitiga api tersebut yaitu bahan bakar, oksigen (udara) dan panas. Apabila ketiga komponen tersebut berada pada tempat yang sama dan kondisi yang mendukung faktor satu dengan lainnya maka kebakaran akan terjadi.

Faktor-faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir

Ada beberapa faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kabupaten Toba Samosir yaitu :

1. Tutupan Lahan (Vegetasi)

(53)
(54)

Tabel 9. Tutupan Lahan di Kabupaten Toba Samosir

Tutupan Lahan Luas (Ha) Luas (%)

Hutan Lahan Kering Sekuder 64.186,03 30,94

Hutan Tanaman 10.042,68 4,84

Lahan Terbuka 4.446,68 2,14

Pemukiman 503,92 0,24

Perkebunan 286,23 0,14

Pertanian Lahan Kering 79.422,50 38,29

Sawah 12.985,15 6,26

Semak Belukar 35.188,54 16,96

Tubuh Air 380,18 0,18

Luas Total (Ha) 207.441,92 100,00

Tutupan vegetasi di Kabupaten Toba Samosir didominasi oleh hutan pertanian lahan kering dengan luas 79.422,50 Ha, sedangkan tutupan lahan yang lain yaitu hutan lahan kering sekunder seluas 64.186,03 Ha, semak belukar dengan luas 35.188,54 Ha, sawah seluas 12.985,15 Ha, hutan tanaman seluas 10.042,68 Ha, lahan terbuka 4.446,68 Ha, pemukiman seluas 503,92 Ha, tubuh air seluas 380,18 Ha dan perkebunan seluas 286,23 Ha.

(55)
(56)

G

(57)

Tabel 10. Ketinggian Tempat (Elevasi) di Kabupaten Toba Samosir

Elevasi (mdpl) Luas (Ha) Luas (%)

> 40 – 90 55,33 0,03

> 90 – 130 545,45 0,26

> 130 – 220 4.029,28 1,94

> 220 – 500 20.891,26 10,07

> 500 181.888,49 87,70

Luas Total (Ha) 207.409,81 100,00

Luas daerah Kabupaten Toba Samosir yang memiliki elevasi > 40-90 mdpl yaitu 55,33 Ha, elevasi > 90-130 mdpl seluas 545,45 Ha, elevasi > 130-220 mdpl seluas 4.029,28 Ha, > 220-500 mdpl seluas 20.891,26 Ha, dan daerah yang memiliki elevasi > 500 mdpl seluas 181.888,49 Ha. Berdasarkan data tersebut daerah yang paling luas adalah daerah yang memiliki elevasi > 500 mdpl.

Wilayah Kabupaten Toba Samosir didominasi oleh ketinggian tempat (elevasi) > 500 mdpl. Elevasi > 500 mdpl terdapat diseluruh kecamatan di Toba Samosir, sedangkan untuk elevasi > 40-90 mdpl, elevasi > 90-130 mdpl, dan elevasi > 130-220 mdpl hanya terdapat di Kecamatan Pintu Pohan Meranti dan Nassau. Daerah yang memiliki elevasi > 130-220 mdpl paling banyak ditemukan di Kecamatan Pintu Pohan Meranti. Elevasi > 220-500 mdpl terdapat di Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Habinsaran dan Nassau, akan tetapi yang paling banyak terdapat di Kecamatan Nassau. Hampir sebahagian wilayah di Kecamatan Nassau memiliki ketinggian tempat (elevasi) > 220-500 mdpl.

(58)

Iklim

Ada beberapa komponen iklim yang menjadi faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah curah hujan, suhu udara, dan kecepatan angin.

Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan. Curah hujan mempengaruhi suhu dan kelembaban suatu tempat dan juga berpengaruh terhadap pengeringan bahan bakar yang menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan pada suatu daerah. Curah hujan pada suatu daerah berbeda dengan curah hujan di daerah lain. Curah hujan yang rendah merupakan faktor terjadinya kebakaran karena pada saat tersebut keadaan suhu udara berarti tinggi dan dalam kondisi yang kering (kelembaban rendah).

Stasiun curah hujan yang termasuk dalam kabupaten Toba samosir terdiri dari 4 stasiun yang terletak di Kecamatan Borbor, Silaen, Sigumpar, dan Balige. Rata-rata curah hujan bulanan tahun 2010 di kabupaten Toba Samosir pada masing-masing stasiun yaitu Borbor (172 mm), Silaen (150 mm), Sigumpar (133 mm), dan Balige (164 mm). Fluktuasi curah hujan di Kabupaten Toba Samosir setiap tahun berubah, akan tetapi perubahan curah hujan tersebut tidak jauh berbeda setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel curah hujan di bawah ini.

Tabel 11. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan Tahun 2010 di Kabupaten Toba Samosir

Curah Hujan (mm) Luas (Ha) Luas (%)

97 – 162 103.621,40 49,95

163 – 228 103.820,52 50,05

(59)
(60)

Berdasarkan tabel curah hujan bulanan di Kabupaten Toba Samosir, diketahui bahwa rata-rata curah hujan bulanan di Kabupaten Toba Samosir terbagi menjadi 2 kelas yaitu rata-rata 97-162 mm dan 163-228 mm. Rata-rata curah hujan bulanan sebesar 97-162 mm terdapat di Kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi, Porsea, Uluan, Parmaksian, Siantar Narumonda, Silaen, Sigumpar, Laguboti, Habinsaran, Pintu Pohan Meranti dan sebagian kecil di Nassau dengan luas total daerah yang memiliki rata-rata curah hujan bulanan 97-162 mm seluas 103.621,40 Ha. Sementara itu, rata-rata curah hujan bulanan sebesar 163-228 mm terdapat di Kecamatan Ajibata, Lumban Julu, Uluan, Laguboti, Balige, Tampahan, Habinsaran, Borbor dan Nassau dengan luas total daerah pada curah hujan tersebut seluas 103.820,52 Ha. Luas daerah yang memiliki rata-rata curah hujan bulanan sebesar 163-228 mm lebih besar (50,05%) dibanding daerah yang memiliki rata-rata curah hujan bulanan sebesar 97-162 mm yang hanya (45,95 %) sehingga dapat disimpulkan bahwa Kabupaten Toba Samosir didominasi oleh rata-rata curah hujan bulanan sebesar 163-228 mm.

Suhu Udara

Suhu udara merupakan salah satu unsur iklim yang menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Suhu udara sebagai faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan berperan dalam mempercepat pengeringan bahan bakar sehingga bahan bakar akan lebih mudah untuk terbakar karena telah memiliki kadar air yang rendah. Apabila suhu udara tinggi maka proses pengeringan bahan bakar akan semakin cepat dan sebaliknya.

(61)

pada masing-masing stasiun yaitu Sibolga (26,32○C), Aek Godang (26,25○C), dan Parapat (21,79○C). Setelah dilakukan pemetaan suhu udara maka Kabupaten Toba Samosir hanya memiliki 2 kelas rata-rata suhu udara bulanan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 12. Rata-Rata Suhu Udara Bulanan Tahun 2010 di Kabupaten Toba Samosir

Suhu Udara (oC) Luas (Ha) Luas (%)

≥ 21 – 22 193.567,96 93,31

> 26 – 27 13.873,96 6,69

Luas Total (Ha) 207.441,92 100,00

Berdasarkan tabel di atas, Kabupaten Toba Samosir terbagi dalam 2 kelas rata-rata suhu udara yaitu rata-rata suhu udara bulanan ≥ 21-22oC dan > 26-27oC. Rata-rata suhu udara bulanan ≥ 21-22oC terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Toba Samosir yaitu Kecamatan Ajibata, Lumban Julu, Laguboti, Uluan, Silaen, Tampahan, Siantar Narumonda, Parmaksian, Porsea, Pintu Pohan Meranti, Habinsaran, Balige, Sigumpar, Borbor, dan Nassau, akan tetapi pada Kecamatan Borbor dan Nassau hanya sebahagian daerah saja yang memiliki rata-rata suhu udara bulanan ≥ 21-22 oC. Sementara itu, rata-rata suhu udara bulanan > 26-27 oC hanya terdapat di sebahagian daerah pada Kecamatan Borbor dan Nassau.

(62)
(63)

Kecepatan Angin

Selain curah hujan dan suhu udara, kecepatan angin juga mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Suhu merupakan faktor penyebab terjadinya kebakaran karena suhu mempengaruhi pengeringan bahan bakar yang merupakan komponen utama segitiga api. Apabila suhunya tinggi maka bahan bakar akan sangat cepat mengering sehingga mudah terbakar. Begitu pula dengan kecepatan angin, faktor ini juga mempengaruhi pengeringan bahan bakar. Semakin tinggi kecepatan angin maka semakin cepat bahan bakar mengering dan sebaliknya semakin rendah kecepatan angin maka semakin lambat bahan bakar mengering (mengurangi kadar airnya).

Stasiun pengukuran kecepatan angin di daerah kabupaten Toba Samosir terletak pada 3 stasiun. Stasiun pengukuran kecepatan angin tersebut sama seperti stasiun pengukuran suhu udara yaitu terletak di kecamatan Sibolga, Aek Godang, dan Parapat. Berdasarkan data yang diperoleh dari BMKG, rata-rata kecepatan angin bulanan di stasiun Sibolga (6 Knot), Aek Godang (5 Knot), dan Parapat (1 Knot). Satuan kecepatan angin yang digunakan adalah Knot, dimana 1 Knot sama dengan 1,8 km/jam. Setelah dilakukan pemetaan kecepatan angin, wilayah kabupaten Toba Samosir hanya memiliki kecepatan angin sebesar 1 dan 5 Knot saja.

(64)
(65)

Tabel 13. Rata-Rata Kecepatan Angin Bulanan Tahun 2010 di Kabupaten Toba Samosir

Kecepatan Angin (Knot) Luas (Ha) Luas (%)

> 0 -1 193.567,96 93,31

> 4 – 5 13.873,96 6,69

Luas Total (Ha) 207.441,92 100,00

Berdasarkan tabel di atas, Kabupaten Toba Samosir terbagi dalam 2 kelas rata-rata kecepatan angin yaitu rata-rata kecepatan angin bulanan > 0-1 knot dan > 4-5 knot. Rata-rata kecepatan angin bulanan > 0-1 knot terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Toba Samosir yaitu Kecamatan Ajibata, Lumban Julu, Laguboti, Uluan, Silaen, Tampahan, Siantar Narumonda, Parmaksian, Porsea, Pintu Pohan Meranti, Habinsaran, Balige, Sigumpar, Borbor, dan Nassau, akan tetapi pada Kecamatan Borbor dan Nassau hanya sebahagian daerah saja yang memiliki rata-rata suhu udara bulanan > 0-1 knot. Sementara itu, rata-rata kecepatan angin bulanan > 4-5 knot hanya terdapat di sebahagian daerah pada Kecamatan Borbor dan Nassau.

(66)

Jarak dari Pemukiman

Kabupaten Toba Samosir memiliki cukup banyak lokasi pemukiman (desa). Desa di kabupaten ini tersebar diseluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Toba Samosir (Gambar 9. Peta Lokasi Pemukiman di Kabupaten Toba Samosir). Jarak lokasi pemukiman merupakan faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari aktivitas manusia yang selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Semakin dekat lokasi pemukiman dengan hutan atau tutupan lahan lainnya yang dapat menjadi faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan maka akan semakin besar pula kemungkinan kebakaran hutan dan lahan akan terjadi. Akan tetapi, sebaliknya apabila jarak lokasi pemukiman jauh dari hutan atau tutupan lahan lainnya yang dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan maka semakin kecil pula kemungkinan untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan karena apabila hutan jauh dari lokasi pemukiman maka akan semakin sedikit pula aktivitas manusia yang berinteraksi langsung dengan hutan.

Jarak lokasi pemukiman di Kabupaten Toba Samosir dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 14. Jarak Lokasi Pemukiman Terhadap Tutupan Lahan di Kabupaten Toba Samosir

Jarak Pemukiman (m) Luas (Ha) Luas (%)

0 – 1000 61.303,63 29,55

> 1000 – 2000 47.937,06 23,11

> 2000 – 3000 32.702,94 15,76

> 3000 – 4000 21.109,80 10,18

> 4000 44.388,50 21,40

(67)

Berdasarkan tabel di atas, pada jarak lokasi pemukiman 0-1000 m merupakan jarak lokasi pemukiman terhadap hutan lahan kering sekunder, pertanian lahan kering, lahan terbuka, hutan tanaman, semak belukar, sawah, hutan tanaman, dan pemukiman. Lokasi pemukiman tersebut berada di seluruh kecamatan di Kabupaten Toba Samosir yaitu Kecamatan Ajibata, Lumban Julu, Porsea, Nassau, Borbor, Parmaksian dan kecamatan lainnya dengan luasan 61.303,63 Ha. Jarak lokasi pemukiman > 1000-2000 m terhadap hutan lahan kering sekunder, pertanian lahan kering, semak belukar, lahan terbuka, hutan tanaman dan sawah juga terdapat di seluruh kecamatan di Kabupaten Toba Samosir dengan luasan 47.937,06 Ha.

Jarak lokasi pemukiman > 2000-3000 m merupakan jarak lokasi pemukiman terhadap hutan lahan kering sekunder, semak belukar, dan pertanian lahan kering. Lokasi ini di temukan di Kecamatan Ajibata, Lumban Julu, Pintu Pohan Meranti, Silaen, Habinsaran, Borbor dan Nassau dengan luasan 32.702,94 Ha. Jarak lokasi pemukiman > 3000-4000 m terhadap hutan lahan kering sekunder, semak belukar, dan pertanian lahan kering terdapat di kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi, Habinsaran, Pintu Pohan Meranti, Borbor, dan Nassau dengan luasan 21.109,80 Ha.

Jarak Lokasi pemukiman > 4000 m terhadap terhadap hutan lahan kering sekunder, semak belukar, dan pertanian lahan kering terdapat di kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi, Habinsaran, Pintu Pohan Meranti, Borbor, dan Nassau dengan luasan 44.388,50 Ha. Di bawah ini dapat dilihat peta lokasi pemukiman di Kabupaten Toba Samosir.

(68)
(69)

Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Toba Samosir

Berdasarkan hasil pemetaan, Kabupaten Toba Samosir merupakan wilayah yang didominasi oleh tingkat bahaya kebakaran kelas kerawanan sedang dengan luas 131.303,18 Ha, sedangkan kelas kerawanan tinggi seluas 27.581,85 Ha, kelas kerawanan rendah seluas 44.609,77 Ha, dan kelas kerawanan sangat rendah seluas 30.888,77 Ha. Sementara itu kelas kerawanan sangat tinggi tidak ditemukan pada wilayah ini. Hal ini dapat dilihat pada peta rawan kebakaran hutan dan lahan (Gambar 10) dan luasnya dapat dilihat pada tabel 15 dibawah ini.

Tabel 15. Nilai Rawan Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Kelas Rawan Menurut Luasannya

Kecamatan

Luas Kebakaran Hutan dan Lahan

Berdasarkan Kelas Rawan Kebakaran (Ha) Luas

Total Borbor 2.032,11 8.202,00 17.579,55 20.637,28 48.450,93 20,67 Habinsaran 1.964,21 7.707,84 23.661,65 − 33.333,70 14,22 Laguboti 3.340,29 15,65 4.727,41 − 8.083,34 3,45 Lumbanjulu 22,24 4.772,49 8.585,40 − 13.380,13 5,71

Nassau 184,97 12.028,80 14.065,28 6.944,57 33.223,62 14,17

Parmaksian 995,39 − 1.771,29 − 2.766,67 1,18

Luas Total (Ha) 30.888,77 44.609,77 131.303,18 27.581,85 234.383,56 100,00

(70)
(71)

Berdasarkan hasil pemetaan, secara umum sebaran hotspot umumnya terjadi pada wilayah atau zona dengan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan sedang/menengah, sedangkan pada zona tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan sangat rendah hanya ditemukan satu hotspot saja. Hal ini menunjukkan bahwa zona bahaya kebakaran hutan dan lahan yang dibuat mempunyai hubungan yang positif atau cukup erat dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan tabel di atas, kebakaran hutan dan lahan yang paling berpotensi terdapat di Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba Samosir. Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah hotspot yang ditemukan di kecamatan tersebut. Luasan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kecamatan Borbor ini seluas 20.637,28 Ha. Kecamatan Borbor memiliki kelas kerawanan tinggi kebakaran hutan dan lahan karena daerah ini memiliki suhu udara yang tinggi, kecepatan angin yang tinggi, tutupan lahannya berupa semak belukar, hutan lahan kering sekunder dan pertanian lahan kering serta lokasinya dekat dengan pemukiman. Apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan di kabupaten ini maka kebakaran tersebut akan sulit dipadamkan karena akses untuk memasuki daerah pada Kecamatan Borbor ini sangat sulit karena topografinya terjal.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 1. Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Sumatera dan Kalimantan
Tabel 2.  Tipe vegetasi atau penutupan lahan dan pembobotannya
Tabel 5. Klasifikasi suhu udara bulanan dan pembobotannya ₒ
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang berjudul Hubungan Curah Hujan dengan Kejadian Kebakaran di Provinsi Sumatera Selatan ini dapat disimpulkan bahwa musim kemarau di Sumatera

Variabel yang digunakan dalam memetakan kerawanan kebakaran di Taman Nasional Alas Purwo adalah jarak jalan, jarak desa, suhu, NDVI, NDVI, tutupan lahan, dan kelerengan.

Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah Mengetahui karakteristik curah hujan, suhu dan kelembaban udara lokasi terjadinya kebakaran hutan serta volume dan

Kebakaran hutan dan lahan akan terjadi jika 3 kondisi sebagai syarat terjadinya kebakaran tersedia yaitu bahan bakar (biomass), dryness (kekeringan) dan faktor pemicunya.

Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran dan kondisi bahan bakar.. Dalam kaitannya

Penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan pada Kecamatan Gambut didasarkan dari hasil pemetaan parameter aksesibilitas aktivitas penduduk (buffer jalan

Berdasarkan hasil overlay dengan perkalian antar parameter yaitu peta kemiringan lereng, curah hujan, tutupan lahan, dan jenis tanah, maka diperoleh klasifikasi

Berdasarkan dari peta rawan erosi daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi dan kemiringan lereng yang sangat curam, curam atau berbukit dengan tutupan lahan