SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 110200455 Ryan Samuel
Departemen Hukum Pidana
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KAJIAN PERBANDINGAN HUKUM ATAS PEMBUKTIAN MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA DENGAN SISTEM
PERADILAN PIDANA DI AMERIKA SERIKAT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara
Oleh :
NIM : 110200455 Ryan Samuel
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP : 19570326198601101 Dr.Muhammad.Hamdan,SH.,M.H.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr.Edi Yunara,SH.,M.Hum. Dr.Mohammad Eka Putra,SH.,M.Hum. NIP : 196012221986031003 NIP : 197110051998011001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat dan rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga
penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan dapat menyusun penulisan skripsi
ini tepat pada waktunya.
Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “KAJIAN
PERBANDINGAN HUKUM ATAS PEMBUKITAN MENURUT SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA DENGAN SISTEM PERADILAN PIDANA DI AMERIKA SERIKAT” yang disusun guna melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas
Sumatera Utara. Dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap
mahasiwa/I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuat suatu
karya ilmiah berupa skripsi.
Penulisan karya ilmiah berupa skripsi ini tidak terlepas dari berbagai
bentuk tantangan yang harus dihadapi dan akhirnya penulis dapat melewatinya
sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis telah mencurahkan segenap hati,
pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Di dalam penulisan skripsi
ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk
itu penulis mengucapkan terima kasi kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Syarifuddin, S.H.,M.H.,D.F.M., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Dr. H. OK Saidin, S.H.,M.Hum., selaku Pembantu Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara
5. Bapak Dr. H Muhammad Hamdan, S.H.,M.H., selaku ketua Departemen
Hukum Pidana
6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekertaris Departemen Hukum
Pidana
7. Bapak Dr. Edi Yunara S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang telah
banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan
arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.
8. Bapak Dr. Mohammad Eka Putra S.H., M.Hum., selaku dosen pembimbing II
yang juga telah banyak meluangkan waktunya dalam meberikan bantuan,
bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.
9. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis
selama menjalani aktivitas perkuliahan.
10. Kepada orangtua yang sangat saya sayangi, Ayahanda Edison Aritonang dan
Ibunda yang sangat penulis sayangi Marjatta yang telah membesarkan,
mendidik dan menempa penulis dengan kasih saying yang tak hentinya
11. Kepada kedua kakak penulis, Debora Aritonang dan Helena Aritonang yang
tidak hentinya menjadi penyemangat penulis dan sangat mendukung dalam
menyelesaikan tugas akhir ini.
12. Kepada para sahabat diruang nostalgia, Raynaldo Napitupulu, Obed
Manurung, Junior Situmorang, Hendra Tarigan, Hendra Fos, Renato
Simanjuntak, Gandhi Malau, Naomi hutabarat, Veby Tarigan, Yessi Sianipar,
Monica Sidabalok, Leona Sinulingga yang senantiasa memberikan semangat
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
13. Kepada bang Marupa Sianturi dan kawan-kawan kelompok kecil yang
membantu pertumbuhan iman penulis dalam Yesus Kristus Sang Juru
Selamat.
14. Kepada sahabat-sahabat penulis di kampus Agus Syahputra, Tohir Pane,
Rifaldi Nasution, John Willy, Nova Sagala, Gennady Siahaan, David
Pasaribu, Bill Clinton, dan banyak lainnya yang tak mungkin disebutkan
satu-persatu.
15. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan,. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan
kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua. Terima kasih
Medan, Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B.Perumusan Masalah ... 6
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D.Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 8
1. Pengertian pembuktian ... 8
2. Sistem pembuktian ... 10
3. Sistem peradilan pidana ... 18
F. Metode Penelitian ... 26
G.Sistematika Penulisan ... 29
BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA .... 31
A.Penerapan Alat Bukti, Barang bukti, dan Kekuatan Pembuktian pada KUHAP ... 31
B.Perluasan Pembuktian Pada Tindak Pidana khusus ... 60
BAB III PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI AMERIKA
SERIKAT ... 71
A.Perapan Alat Bukti (form of evidence) di Amerika Serikat Dalam criminal procedur law ... 71
B.Plea Bargaining ... 83
C.Pengaturan Beban Pembukitan di Amerika Serikat ... 95
BAB IV TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN ALAT BUKTI DAN BEBAN PEMBUKTIAN DI INDONESIA DENGAN DI AMERIKA SERIKAT ... 99
A. Analisis Perbandingan Alat Bukti dan Beban Pembuktian di Indonesia dan di Amerika Serikat ... 99
1. Sistem Peradilan Pidana ... 99
2. Sistem Pembuktian ... 104
3. Beban Pembuktian... 106
4. Plea Guilty dan Keterangan Terdakwa ... 108
B. Keterkaitan Konsep Plea Bargaining dengan RUU KUHAP ... 109
BAB V PENUTUP ... 112
A. Kesimpulan ... 112
B. Saran ... 115
ABSTRAK Ryan Samuel* Edi Yunara** Mohammad Eka Putra***
Pengembangan ilmu hukum pidana dan usaha pembaharuan hukum pidana perlu ditunjang dengan pengkajian yang bersifat komperatif. Studi perbandingan hukum merupakan bagian yang sangat penting dan diperlukan bagi ilmu hukum serta bermanfaat untuk dapat lebih memahami dan mengembangkan hukum
nasional. Hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dari hukum acara pembuktian
proses pembuktian merupakan salah satu proses yang paling penting karena tahap tersebut yang membuktikan apakah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana benar atau tidak melakukan tindak pidana tersebut. maka pengkajian perbandingan hukum atas pembuktian menurut sistem peradilan pidana di Indonesia dengan sistem peradilan pidana di Amerika Serikat diperlukan untuk dapat lebih memahami dan mengembangkan sistem hukum nasional kita.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia, bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Amerika Serikat, dan bagaimana perbandingan penerapan pembuktian di Indonesia dan di Amerika Serikat.
Metode penulisan dari permasalahan yang diajukan yakin dilakukan penelitian yang berbentuk yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual serta pendekatan perbandingan.
Perbandingan mengenai peraturan pembuktian di Indonesia dan di Amerika Serikat dasarnya dibedakan pada sistem pembuktiannya dimana Indonesia menganut sistem pembuktian secara negatif sedangkan Amerika Serikat
menganut sistem pembuktian conviction-in time dalam hal alat bukti yang dapat
dipakai dalam pengadilan, walaupun dalam prakteknya alat-alat bukti yang digunakan dalam pengadilan tidak jauh berbeda. Mengenai beban pembuktian secara umum kedua negara tersebut baik Indonesia maupun Amerika Serikat menganut beban pembuktian biasa, namun untuk perkara-perkara tertentu yang beban pembuktiannya dianggap sulit untuk dibebankan kepada penuntut umum maka beban pembuktiannya diberikan kepada terdakwa dengan tidak mengurangi hak-hak dasarnya sebagai terdakwa. Dalam hal kekuatan pembuktian keterangan terdakwa di Indonesia, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya sedangkan dalam pengaturan di Amerika Serikat, pengakuan
terdakwa atas kesalahannya (plea guilty) sudah cukup untuk menghukumnya dan
tidak perlu memasuki proses peradilan.
Kata Kunci: Perbandingan, Indonesia, Amerika Serikat, Pembuktian
*Mahasiswa
ABSTRAK Ryan Samuel* Edi Yunara** Mohammad Eka Putra***
Pengembangan ilmu hukum pidana dan usaha pembaharuan hukum pidana perlu ditunjang dengan pengkajian yang bersifat komperatif. Studi perbandingan hukum merupakan bagian yang sangat penting dan diperlukan bagi ilmu hukum serta bermanfaat untuk dapat lebih memahami dan mengembangkan hukum
nasional. Hukum pidana di Indonesia tidak terlepas dari hukum acara pembuktian
proses pembuktian merupakan salah satu proses yang paling penting karena tahap tersebut yang membuktikan apakah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana benar atau tidak melakukan tindak pidana tersebut. maka pengkajian perbandingan hukum atas pembuktian menurut sistem peradilan pidana di Indonesia dengan sistem peradilan pidana di Amerika Serikat diperlukan untuk dapat lebih memahami dan mengembangkan sistem hukum nasional kita.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia, bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Amerika Serikat, dan bagaimana perbandingan penerapan pembuktian di Indonesia dan di Amerika Serikat.
Metode penulisan dari permasalahan yang diajukan yakin dilakukan penelitian yang berbentuk yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual serta pendekatan perbandingan.
Perbandingan mengenai peraturan pembuktian di Indonesia dan di Amerika Serikat dasarnya dibedakan pada sistem pembuktiannya dimana Indonesia menganut sistem pembuktian secara negatif sedangkan Amerika Serikat
menganut sistem pembuktian conviction-in time dalam hal alat bukti yang dapat
dipakai dalam pengadilan, walaupun dalam prakteknya alat-alat bukti yang digunakan dalam pengadilan tidak jauh berbeda. Mengenai beban pembuktian secara umum kedua negara tersebut baik Indonesia maupun Amerika Serikat menganut beban pembuktian biasa, namun untuk perkara-perkara tertentu yang beban pembuktiannya dianggap sulit untuk dibebankan kepada penuntut umum maka beban pembuktiannya diberikan kepada terdakwa dengan tidak mengurangi hak-hak dasarnya sebagai terdakwa. Dalam hal kekuatan pembuktian keterangan terdakwa di Indonesia, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahannya sedangkan dalam pengaturan di Amerika Serikat, pengakuan
terdakwa atas kesalahannya (plea guilty) sudah cukup untuk menghukumnya dan
tidak perlu memasuki proses peradilan.
Kata Kunci: Perbandingan, Indonesia, Amerika Serikat, Pembuktian
*Mahasiswa
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaan)
bukan atas kekuasaan (machtstaat), demikianlah penegasan yang terdapat dalam
pasal 1 ayat (2) amandemen ke 4 Undang-Undang Dasar 1945.1
Terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945 mutlak memerlukan perangkat perundang-undangan yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia serta menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya
didalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Demikian pula
dibidang hukum acara pidana sebagai dasar terselenggaranya peradilan pidana
yang adil dan manusiawi dalam Negara hukum, dipandang perlu tersedianya
perangkat perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan Sebagai negara
hukum, negara harus berperan disegala bidang kehidupan, baik dalam kehidupan
bangsa dan negara Republik Indonesia maupun dalam kehidupan warga
negaranya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban, keadilan
dan kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta
menghendaki agar hukum ditegakkan. Artinya hukum harus dihormati dan ditaati
oleh siapapun tanpa terkecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak
hukum, maupun oleh penguasa negara, segala tindakannya harus dilandasi oleh
hukum.
1
hukum(pidana) sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur
penegak hukum kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan
martabat manusia, ketertiban, serta kepastian hukum.2
Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta
tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah
negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan hukum akan
lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari hukum acara pidana (dapat
dibaca pada Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri
Kehakiman) adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya
mendekati kebenaran materil, dimana kebenaran materil adalah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan ujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwa itu dapat dipersalahkan.3
Perkembangannya hukum acara pidana di Indonesia dari dahulu sampai
sekarang ini tidak terlepas dari apa yang disebut pembuktian, apa saja jenis dan
tindak pidananya dapat melewati proses pembuktian. proses pembuktian
merupakan salah satu proses yang paling penting karena tahap tersebut yang
membuktikan apakah seseorang yang diduga melakukan tindak pidana benar atau
tidak melakukan tindak pidana tersebut.
2
Wisnubroto dan widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,2005), Hal 1
3
Perbuatan dapat dipidana bila perbuatan tersebut merupakan tindak pidana
jika perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana atau memenuhi
unsur-unsur di dalam suatu KUHP (asas legalitas). Dapat tidaknya seseorang atau pelaku
kejahatan itu di pidana tergantung dari pembuktian di pengadilan dimana yang
bersangkutan telah dapat dibuktikan bersalah melakukan perbuatan tersebut.
namun hal yang paling mendasar dalam menentukan dapat tidaknya suatu
perbuatan di pidana adalah perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana,
kemudian setelah itu baru diadakan suatu tindakan hukum dari tahap penyelidikan
hingga tahap putusan akhir.
Menarik untuk mengkaji hukum dari perspektif perbandingan
(komperatif), adapun beberapa macam studi komperatif hukum dapat di
kelompokkan kedalam beberapa kategori, dan hug(1922) telah mengusulkan lima
kelompok studi yang mungkin bisa digunakan:4
a. Memperbandingkan sistem asing dengan sistem domestik dalam rangka
menemukan kesamaan dan perbedaan
b. Studi yang menganalisis berbagai solusi secara objektif dan sistematis
yang ditawarkan oleh berbagai sistem untuk suatu masalah hukum tertentu
c. Studi yang menginvestigasi hubungan kausal antara sistem-sistem hukum
berbeda
d. Studi-studi yang membandingkan tahap-tahap dari beberapa sistem
hukum,dan
4
e. Studi yang berusaha menemukan atau mengkaji evolusi hukum secara
umum berdasarkan sistem dan periodenya.
Pengembangan ilmu hukum pidana dan usaha pembaharuan hukum pidana
perlu ditunjang dengan pengkajian yang bersifat komperatif. Rene David dan John
E. Brierley pernah menegaskan, bahwa studi perbandingan hukum merupakan
bagian yang sangat penting dan diperlukan bagi ilmu hukum serta bermanfaat
untuk dapat lebih memahami dan mengembangkan hukum nasional5
Masalah sosial yang dikaji dari berbagai metode faktual (sosiologis,
antropologis, psikologis, komperatif dan historis) dan bahkan dikaji secara
filosofis, pada akhirnya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran-pemikiran dan
kegiatan-kegiatan yang bersifat yuridis-normatif dan sistematis apabila
masalah-masalah sosial yang dikaji itu akan dituangkan dalam bentuk produk legislatif.Di
sinilah arti pentingnya perbandingan normatif6
Arti penting lainnya dari metode komperatif terletak pada apa yang disebut
Yntema sebagai “perbaikan dan perluasan terus-menerus terhadap pengetahuan
hukum kita”, yang membentuk sebuah komponen penting bagi pendidikan
hukum. Yntema yang menyamakan penelitian hukum dengan hukum komperatif
mengatakan bahwa yang belakangan itu hanya nama lain dari ilmu hukum.7
5
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1990), kata pengantar hal V
6
ibid., hal.VII.
7
Peter De Cruz, op. cit ., hal 28
Berdasarkan uraian di atas maka perbandingan hukum juga tidak terlepas
dari politik hukum pada umumnya, maka adapun pengertian dari politik hukum
itu sendiri menurut Sudarto, politik hukum adalah:8
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat ;
2. Kebijakan dari suatu Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengeskpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat
dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Dalam RUU KUHAP tahun 2013 bab XII bagian keenam pada pasal 199,
yang di beri nama Jalur Khusus, diatur mengenai pembuktian keterangan
terdakwa dalam pemeriksaan persidangan yang berbeda dengan tahap pembuktian
pada umumnya. Pada Jalur Khusus ini mengakomodir pengakuan Terdakwa
dalam persidangan dan pengakuan tersebut diberikan pada tahap persidangan
pembacaan surat dakwaan.9
8
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung:Alumni, 1981), Hal 159
9
Pasal 199 (1) RUU KUHAP tahun 2013 dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Ham Republik Indonesia
Masih banyak ketentuan lain tentang Jalur Khusus
yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Jalur Khusus tersebut mirip dengan
konsep Plea Bargaining di Amerika Serikat.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk memperdalam
pengetahuan dan membuat tulisan tentang hukum pembuktian dengan judul
“ Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis jabarkan, maka penulis
menarik beberapa permasalahan yang penulis anggap penting untuk di bahas lebih
lanjut. Adapun masalah-masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya
adalah :
1. Bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di
Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan pidana di Amerika
Serikat?
3. Bagaimana perbandingan penerapan pembuktian di Indonesia dan di
Amerika Serikat ?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan
a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan
pidana di Indonesia
b. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan pembuktian dalam peradilan
pidana di Amerika Serikat
c. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan penerapan pembuktian
peradilan pidana antara Indonesia dan Amerika Serikat
2. Manfaat Penulisan
Dari hasli penulisan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas
Secara teoritis, penulis ini dapat memberikan manfaat untuk
mengembangkan pemikiran pada bidang hukum pidana dan hukum acara pidana
pada umumnya. Hasil penulisan ini juga bermanfaat untuk menambah bahan
literatur bagi dunia akademis
Secara praktis, diharapkan hasi penulisan ini dapat dimanfaatkan oleh para
penegak hukum untuk menerapkan dan menjalankan pembuktian sesuai dengan
Undang-Undang yang ada.
D.Keaslian Penulisan
Berbagai penulisan tentang perbandingan pembuktian pernah dilaksanakan
oleh penulisan terdahulu. Namun mengenai Kajian Perbandingan Hukum Atas
Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem
Peradilan Pidana Di Amerika Serikat sepanjang pengetahuan penulis belum
pernah dilakukan. Dimana dalam proses pembuatan skripsi ini penulis
memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan
perbandingan hukum dan pembuktian baik pembuktian di Indonesia maupun di
Amerika Serikat, kemudian penulis merangkainya sendiri menjadi suatu karya
tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi. Oleh karena itu penulis dapat
E.Tinjauan pustaka 1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan
kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang
boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidanga
pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan
terdakwa.10
Dari uraian singkat diatas arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara
pidana, antara lain :11
a) Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan
mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum. Semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat
bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan
caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mepergunakan alat bukti,
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak boleh
leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggap benar diluar ketentuan yang
telah digariskan undang-undang. Terutama bagi majelis hakim, harus
benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian
yang temukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak
meletakan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan,
10
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.( Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Hal 273.
11
kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan
pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Kalau tidak
demikian, bisa saja orang jahat lepas dan yang tidak bersalah mendapat
ganjaran hukuman.
b) Sehubungan dengan pengertian diatas, majelis hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus
berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara
“limitatif”
Melengkapi uraian pengertian pembuktian, perlu juga dibicarakan
mengenai “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan” yang di
rumuskan dalam pasal 184 ayat (2) KUHAP. Lazimnya bunyi rumusan pasal 184
ayat 2 KUHAP ini selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally
known) yang berarti setiap “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan
dalam pemeriksaan dlaam pemeriksaan sidang pengadilan. Ditinjau dari segi
hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan” atau omstandgheiden atau
circumstance, yakni hal ikwal atau peristiwa yang diketahui umum bhawa hal
ikwal atau peristiwa itu memang sudah demikian hal yang sebenarnya. Atau
“sudah semestinya demikian” halnya. Atau bisa juga berarti berupa perihal
kenyataan dan pengalaman yang selamanya dan selalu akan mengakibatkan
“resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasari dari
peristiwa dan keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang
pasti demikian.12
2. Sistem Pembuktian
a. Teori Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara
meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang diperiksa.
Hasil dan kekuatan pembuktian yang bagaimana yang dapat dianggap cukup
memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Beberapa ajaran yang berhubungan
dengan sistem pembuktian :13
1. Conviction-in Time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim
yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik
dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan, bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat
bukti itu diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan
terdakwa. Sistem pembuktian ini sudah tentu mengandung kelemahan. Hakim
dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas
“dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup.
Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang
dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat
12
Ibid. hal 276
13
bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi,
dalam sistem pembuktian conviction-in time, sekalipun kesalahan terdakwa
sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan
keyakinan hakim. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti”
berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah,
semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. keyakinan hakim yang dominan
atau yang lebih menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa
alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan
hakimlah yang menetukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
ini. Sistem pembuktian ini banyak di pakai oleh Negara-negara yang
menggunakan sistem peradilan juri, misalnya di Inggris dan Amerika serikat.
Juri merupakan orang-orang sipil yang di tunjuk oleh Negara dan mereka
adalah pihak yang netral yang tidak memiliki intrest atapun hubungan
kekeluargaan dengan terdakwa, para juri juga tidak mengetahui sama sekali
latar belakang perkara yang disidangkan. Kedua belah pihak yang berperkara
diperbolehkan untuk mewawancarai dan memilih juri pilihannya. Para juri ini
dipilih dari golongan masyarakat awam, bukanlah dari golongan ahli hukum
ataupun praktisi hukum. Hal ini dikarenakan adanya harapan bahwa para juri
memandang masalah dengan seadil-adilnya. Juri jugalah yang memiliki
wewenang untuk menilai alat bukti yang diajukan dan menentukan salah
(guilty) atau tidaknya (not guilty) seorang terdakwa, dengan kata lain bersalah
hakim hanya berperan sebagai pemimpin sidang dan menjatuhkan vonis
kepada terdakwa.14
2. Conviction-Raisonee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang
peran penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam
sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem
pembuktian conviction-in time peran “keyakinan hakim” leluasa tanpa batas maka
pada sistem conviction raisonee keyakinan hakim harus didukung dengan
alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan-alasan-alasan apa
yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Tegasnya, keyakinan
hakim dalam sistem conviction-raisonee, harus dilandasi reasoning atau
alasan-alasan, dan reasoning itu harus “reasonable”, yakni berdasarkan alasan yang
dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis
dan benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan
yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif
Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan pembuktian
yang bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau
conviction-in time.
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim
tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan
hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya
14
terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti
yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya
terdakwa semata-mata “digantungkan pada alat-alat bukti yang sah”. Asal sudah
dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah
cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim.
apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi
masalah. Apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati
nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini hakim seolah-olah “robot
pelaksana” undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya tidak
ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. sistem ini mempunyai
kebaikan. Sistem ini benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan
kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian
dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula
pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh
faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif
tanpa mencampur aduk hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan
unsur subjektif keyakinannya. Sekali majelis hakim memperoleh hasil pembuktian
yang objektif sesuai dengan cara dan alat bukti yang diatur undang-undang, tidak
perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati
nuraninya.
4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk
Sistem pembukitan menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan
sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim.
Dari keseimbangan tersebut, sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negative “menggabungkan” kedalam dirinya secara terpadu sistem pembuktian
menurut keyakinan dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem dari yang saling bertolak belakang
itu, terwujudlah suatu “sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif”. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh
keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah
menurut undang-undang. Dengan demikian sistem ini memadukan unsur
“objektif” dan “subjektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak
ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. jika salah satu diantara
dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa
misalnya, ditinjau dari sei cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun kesalahan
sudah cukup terbukti, hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. Dalam hal
seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya hakim benar
benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang
didakwakan akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian
undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh
karena itu, diantara dua komponen tersebut harus saling mendukung. Sekalipun
secara teoritis antara kedua komponen itu tidak saling dominan, tapi dalam
praktek secara terselubung unsur keyakinan hakim yang paling menentukan dan
dapat melmparkan secara halus unsur pembuktian yang cukup. Terutama bagi
seorang hakim yang kurang hati-hati, atau hakim yang kurang tangguh banteng
iman dan moralnya, gampang sekali memanfaatkan sistem pembuktian ini dengan
suatu imbalan yang diberikan oleh terdakwa.
b. Sistem Pembuktian Yang Dianut Indonesia
Sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia adalah sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk), hal tersebut dapat
disimpulkan dari pasal 183 KUHAP.
Pasal 183 KUHAP berbunyi:15
Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada
undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184
KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti
tersebut. dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara
negatif ini pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”
15
peraturan undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut
undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumber pada peraturan
perundang-undangan.16
c. Sistem Pembuktian Yang Dianut Amerika Serikat
Di Amerika Serikat setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan yang
diancam dengan hukuman penjara selama lebih dari enam bulan memiliki hak
konstitusional untuk mendapatkan pengadilan oleh juri. Juri di beberapa Negara
bagian dipilih melalui pendaftaran. Sebuah formulir dikirim kejuri calon untuk
melakukan pra-kualifikasi dengan meminta calon untuk menjawab pertanyaan
tentang kewarganegaraan, kemampuna penyandang cacat, pemahaman bahasa
Inggris dan apakah mereka memiliki kondisi atau alasan untuk mereka menjadi
anggota juri. Jika mereka dianggap memenuhi syarat, panggilan akan
dikeluarkan.17
Juri di Amerika Serikat biasanya terdiri dari 12 juri, dan putusan juri
diharapkan untuk mencapai mufakat. Namun, dibanyak yurisdiksi, jumlah juri
seringkali direduksi menjadi jumlah yang lebih kecil (seperti lima atau enam)
berdasarkan ketentuan legislative. Beberapa yurisdiksi juga mengijinkan vonis
harus diputuskan meskipun terdapat perbedaan pendapat satu,dua atau tiga juri.
Selama persidangan, pengacara menentang sisi pernyataan saksi yang dipanggil
untuk memberikan bukti. Para pengacara juga membuat pembukaan dan penutup
16
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara pidana Indonesia,edisi revisi. (Jakarta: Ghalia,1985) Hal 234
pernyataan kepada juri. Pada akhirnya, hakim membuat pernyataan akhir kepada
juri18
Proses pembuktian pada Common Law tidak terbatas hanya kepada yang
disebut didalam undang-undang. Akan tetapi, menggunakan hukum yang berlaku
umum, kebiasaan-kebiasaan yang hidup ditengah-tengah masyarakat, dan adanya
asas the binding of precedent19
Jika diliat dari sistem pembuktian pada tradisi hukum common law, sekilas
akan terlihat bahwa sistem ini telah memenuhi rasa keadilan. Hal ini dapat dilihat
dari adanya badan juri yang terdiri dari orang awam yang tidak paham duduk
perkara dan bukan dari golongan ahli hukum. Sehingga, para juri akan menetukan
salah atau tidaknya terdakwa secara adil. Namun pada prakteknya, sering juri
dimanfaatkan oleh pihak jaksa maupan pengacara. Artinya, kedua pihak memiliki
hak untuk setuju atau tidak setuju dalam memilih juri, sehingga tentunya jaksa
ataupun pengacara harus pandai dalam memilih juri yang kira-kira akan
membantu argumentasi dan pro terhadap mereka. Selain itu, dari pihak juri sendiri
belum tentu juga mereka akan memberikan putusan yang seadil-adilnya, karena
melihat faktor gaji yang mereka peroleh tidaklah memadai dibanding jam kerja
yang tidak jelas, dan dapat disimpulkan seperti kualitas kerja mereka.
. Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai case law,
karena hukum berasal dari kebiasaan-kebiasaan di masyarakat.
20
3. Sistem Peradilan Pidana
18 ibid 19
The binding of precedent adalah keputusan hakim terdahulu yang wajib diikuti oleh
pengadilan dalam kasus yang sama atau hampir sama. Hakim disebut sebagai pencipta hukum, jika terdapat pertentangan antara undang-undang dengan preseden, maka preseden yang dimenangkan
20
Sistem peradilan merupakan sistem penanganan perkara sejak adanya
pihak yang merasa dirugikan atau sejak adanya sangkaan seseorang telah
melakukan perbuatan pidana hingga pelaksanaan putusan hakim. Khusus bagi
sistem peradilan pidana, sebagai suatu jaringan, sistem peradilan pidana
mengoperasionalkan hukum pidana sebagai sarana utama, dan dalam hal ini
berupa hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan
pidana.21
Untuk mendapat gambaran tentang sistem peradilan pidana atau criminal
justice system, berikut akan dijelaskan pengertian sistem peradilan pidana oleh
para sarjana. Istilah criminal justice system menurut Ramington dan Ohlin
sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita adalah sebagai berikut: Criminal
justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu
sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.22
Marjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa sistem peradilan
pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan apa
21
Yesmil Anwar dan Adang, sistem peradilan pidana, (bandung: widya padjajaran, 2009), hal 1
22
yang dikemukakan oleh Marjono tersebut terlihat bahwa komponen atau sub
sistem dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan.23
Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:24
Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan secara konsisten, konsekwen dan
terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem peradilan pidana selain dapat
mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga bermanfaat untuk :
1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
25
3. Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah
dalam kebijakan sosial.
1. Menghasilkan data statistik kriminal secara terpusat melalui satu pintu yaitu
Polisi. Dengan data statistik kriminil tersebut dapat dimanfaatkan sebagai
sarana dalam menyusun kebijakan kriminil secara terpadu untuk
penanggulangan kejahatan.
2. Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub sistem secara terpadu dalam
penanggulangan kejahatan.
23
Ibid. hal 3
24
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan
Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Lembaga Kriminologi UI,1994), hal 84
25
4. Memberikan jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun
masyarakat.
Dalam sistem peradilan banyak berbagai teori yang berkaitan, ada yang
menggunakan pendekatan dikotomi ataupun pendekatan trikotomi.Umumnya
pendekatan dikotomi digunakan oleh teoritis hukum pidana di Amerika Serikat,
yaitu Herbet Packer, seorang ahli hukum dari Universitas Stanford, dengan
pendektan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai praktis dalam melaksanakan
mekanisme proses peradilan pidana.26
Di dalam pendekatan dikotomi terdapat dua model,diantaranya:27
1. Crime control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting
dan harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana. Titik tekan dari
model ini yaitu efektifitas, kecepatan dan kepastian. Pembuktian kesalahan
tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh petugas
Kepolisian. Adapun nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:
a) Tindakan reprensif terhadap suatu tindakan criminal merupakan
fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
b) Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu
penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan
kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam
proses peradilan;
26
diunduh pada tanggal 20 Ferbuari 2015 pukul 21.30
27
c) Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses
penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan
mmerupakan model manajerial;
d) Asas praduga bersalah akan menyebabkan system ini dilaksanakan
secara efisien;
e) Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas
temuan-temuan fakta administrative, oleh karena temuan tersebut
akan membawa kearah:
1) Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau
2) Kesediaan tersangka menyetakan dirinya bersalah.
2. Due process model, model ini menakankan seluruh temuan-temuan fakta dari
suatu kasus yang diperoleh melalui prosedur formal yang sudah ditetapkan
oleh undang-undang. prosedur itu penting dan tidak boleh diabaikan, melalui
suatu tahapan pemeriksaan yang ketat mulai dari penyidikan, penangkapan,
penahanan dan peradilan serta adanya suatu reaksi untuk setiap tahan
pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang tersangka yang nyata-nyata
tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan dari tuduhan melakukan
kejahatan. Adapun nilai-nilai yang terkandung di dalam model ini adalah:
a. Mengutamakan, formal-adjudicative28 dan adversary fact-findings29
28
Formal adjudicative merupakan proses putusan yang melibatkan pendengaran argumentasi
dari pihak-pihak berperkara yang berdasarkan undang-undang
,
pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka
memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya;
b. Menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin
kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
c. Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaanya
sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung
disalahgunakan atau memilih potensi untukk menempatkan individu
pada kekuasaanya yang koersif dari Negara;
d. Memegang tegus doktrin legal audit30
1) Seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya
dilakukan secara procedural dan dilakukkan oleh mereka yang
memilik kewenangan untuk tugas itu; ,yaitu:
2) Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan
memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan
undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan
kesalahn seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang
tidak memihak
e. Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan
f. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.
29
Adversarial fact-findings menyandarkan untuk menemukan kebenaran dengan cara benturan
argumentasi dari pihak yang berperkara di pengadilan dengan bukti-bukti pendukung yang diajukan para pihak tersebut.
30
Legal audit adalah suatu pemeriksaan dan/atau penilaian permasalahan-permasalahan hukum
Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi hukum,
dalam perkara pidana tidak ada seorang pun berada dan menempatkan diri di atas
hukum.
Pendekatan trikotomi, pendekatan ini di bawa oleh Denis Szabok Direktur
the international centre for comparative criminology, the University of Montreal,
Canada dalam Komperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, jepang bulan Desember
1982.
a. Sistem Peradilan Pidana di Amerika Serikat
Sistem hukum yang berlaku di Amerika Serikat, baik materil maupun
formal dikenal sebagai adversary system atau accusatorial system dengan ciri-ciri,
adanya perlindungan terhadap hak asasi seseorang (terdakwa) yang dilandaskan
pada klausula “due process of law31”, klausul tersebut secara tegas dicantumkan
dalam konstitusi Amerika Serikat.32
Sistem hukum acara pidana di Amerika Serikat terdapat beberapa tahap
proses penanganan perkara pidana di mulai dari penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan dalam sidang, penetapan hukuman dan pelaksanaan hukumannya.
Dalam proses sidang, masih diawali dengan arraignment
33
dan preliminary
hearing34
31
Due process of law merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil,logis dan layak
yang harus dijalankan oleh orang berwenang dengan cara tidak bertentangan dengan hukum
32
Romli Atmasasmita, sistem peradilan pidana, perspektif eksistensialisme dan abolisme (Bandung: Binacipta,1996), hal 10
33
Arraignment adalah sidang di depan hakim atau wakilnya yang terjadi beberapa hari setelah
seseorang ditahan, dimana tuduhan terhadap tersangka dibacakan dan tersangka dtanyai sikapnya, apakah bersalah atau tidak
34
Preliminary hearing proses dimana penyidik akan menghadap pengadilan untuk memperoleh
penilaian hakim apakah telah terdapat alasan kuat untuk percaya bahwa tersangka tertentu merupakan pelaku suatu tindak pidana dan mempunyai cukup alasan untuk ditahan.
Dakwaan digelar dalam sidang terbuka dan biasanya diawali dengan membacakan
dakwaan secara resmi dan terdakwa diharuskan untuk mendengar apa yang
didakwakan terhadapnya. Selain itu juga terdakwa diberitahukan atas hak
hukumannya untuk meminta perlindungan hukum dan diminta juga untuk
menjawab atas dakwaan dengan hadir dalam pembelaan.
Pembelaan bisa dilakukan dalam beberapa bentuk. Terdakwa bisa didakwa
bersalah atau dikurangai kesalahannya. Walaupun pembelanya tidak pernah
memberitahukan kliennya bagaimana mengaku, pembela dapat menasehatinya.
Jika terdapat bukti bahwa kasus yang menimpanya begitu kuat terdakwa bersalah,
maka dalam sidang pengadilan tersebut pembela dapat berusaha atas nama
terdakwa tawar-menawar dengan jaksa penuntut umum untuk menerima
pembelaan sebagai pengurangan dakwaan, menghemat waktu dan uang untuk
datang ke pengadilan. Kalau sudah ada kesepakatan tawar-menawar, penuntut,
pembela dan terdakwa akan mengahadapi hakim dan meminta hakim untuk
menerima pengakuan bersalah untuk menurunkan tuntutan. Mereka harus
meyakini hakim bahwa terdakwa mempunyai inisiatif sendiri terhadap
permohonan itu bahwa pengakuan dilakukan secara sukarela sehingga bisa
meringankan hukuman terdakwa daripada mengikuti sidang, kemudian dinyatakan
bersalah. Jika hakim puas bahwa pengakuan itu dilakukan secara sukarela dan atas
keinginan terdakwa, hakim bisa menerima pengakuan tersebut.
Pengakuan bersalah terhadap pidana yang didakwakan disidang terbuka,
tidak perlu diterima hakim jika hakim percaya bahwa terdakwa dipaksa untuk
bersalah. Perlu dikemukakan bahwa berdasarkan atas hukum beberapa negera
bagian, sidang diperlukan dan pengakuan bersalah terhadap kasus besar bisa tidak
diterima. Proses tersebut di atas dikenal dengan nama “plea bargaining system”35
b. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Diberlakukan Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah mengalami perubahan mendasar
baik secara konsepsional maupun secara implementasi terhadap tata cara
penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Tujuan KUHAP untuk memberi
perlindungan kepada hak-hak asasi manusia, yaitu yang diatur dengan KUHAP
meliputi: Hak-hak tersangka/ terdakwa, bantuan hukum pada semua tingkat
pemeriksaan, dasar hukum bagi penangkapan/penahanan dan pembatasan jangka
waktu, ganti kerugian dan rehabilitasi, penggabungan perkara perdata pada
perkara pidana dalam hal ganti rugi, upaya hukum, koneksitas dan pengawasan
pelaksanaan putusan pengadilan.36
Dengan aturan aturan tersebut diatas yang telah di atur dalam KUHAP,
telah membuktikan bahwa criminal justice system di Indonesia berjalan dan terdiri
atas komponen atas sub sistem polisi, jaksa, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat sub sistem tersebut
memiliki hubungan yang sangat erat antara satu sama lain, bahkan dapat
dikatakan saling menetukan. Sistem peradilan pidana yang diatur dalam KUHAP
35
Abdulssalam dan DPM Sitompul op.cit . hal 13-15
36
termasuk adversary system atau due process model atau akusatur atau negative
model.37
F. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan persyaratan yang penting untuk menjawab
permasalahan yang timbul dari latar belakang masalah. Penulisan skripsi ini
memerlukan serangkaian penelitian guna memperoleh jawaban atas pokok
permasalahan yang timbul. Metode penelitian berfungsi untuk mengarahkan
penelitian ini. Sehubungan dengan hal itu penulis menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Peneliti menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif mengenai
teori-teori dasar yang berhubungan dengan penelitian. Bentuk penelitian yuridis
normatif dimana peneliti mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma
tertulis. Penulis meneliti dan mengkaji aspek-aspek yuridis. Menurut ilmu yang
dipergunakan, penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan38
2. Sifat Penelitian
Jika dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah bersifat deskriptif yang
menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematis,
faktual dan akurat. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha
mendeskripsikan dan menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau
hubungan baik yang ada, pendapat yang berkembang, proses yang sedang
37
Ibid , hal 38
38
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau tentang kecenderungan yang
tengah berlangsung.
Penelitian deskriptif juga dirancang untuk memperoleh informasi tentang
status suatu gejala saat penelitian dilakukan dan penelitian deskriptif tidak ada
perlakuan yang diberikan atau dikendalikan serta tidak ada uji hipotesis
sebagaimana yang terdapat dalam penelitian eksperimen.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data
sekunder yang terdiri atas:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan yang mengikat. Meliputi
peraturan perundang-undangan dan yuris prudensi. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan yaitu Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang-Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Undang-Undang transfer Dana serta peraturan
perundang-undangan Negara lain yaitu Amerika Serikat. Peraturan Amerika Serikat
digunakan sebagai alasan dari perbandingan di Indonesia, dimana dalam
hal ini dalam aspek pembuktian berpedoman pada Negara adi daya
tersebut.
2. Bahan hukum sekunder
Merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer berupa rancangan undang-undang, buku-buku, artikel,
3. Bahan hukum tersier
Bahan hukum terseir merupakan bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, meliputi: kamus, bibliografi, buku tahunan, buku petunjuk,
indeks dan lain-lain. Peneliti menggunakan kamus bahasa Indonesia, dan
kamus Bahasa Inggris serta kamus hukum sebagai pedoman penulisan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dan mempergunakan data
sekunder, maka penelitian ini mengacu kepada Library Research (Penelitian
Kepustakaan), yaitu mempelajari serta mengumpulkan data yang diperoleh dari
buku-buku yang menulis tentang pengaturan hukum pembuktian dalam peradilan
pidana di Indonesia dan Amerika Serikat serta buku-buku tentang perbandingan
hukum pidana.
Teknik penelitian pengumpulan data tertulis serta sumber-sumber bacaan
misalnya melalui penelusuran ke perpustakaan, antara lain berupa
peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan buku-buku yang berhubungan dengan
penelitian ini. Selain itu penelitian ini juga merujuk dari bahan-bahan atau artikel
yang diperoleh melalui situs-situs internet.
5. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif, yakni
data yang ada adalah data yang digambarkan dalam kalimat, tidak ada unsur
6. Pendekatan
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif disini akan digunakan
beberapa pendekatan, yaitu :39
a. Pendekatan perundang-undangan
Pendekatan undang- undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani. Bagi penelitain untuk kegiatan akademis peneliti perlu
mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang tersebut. bagi
penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan
membuka kesempatan bagi peneliti untuk mepelajari adalah konsistentis dan
kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau
antara undang dan Undang-Undang Dasar atau regulasi dan
undang-undang.
b. Pendekatan komperatif (perbandingan)
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu
Negara dengan undang-undang dari dari satu atau lebih Negara lain mengenai
hal yang sama. Dapat juga yang diperbandingakan disamping undang-undang
juga putusan pengadilan dibeberapa Negara untuk kasus yang sama. Kegunaan
pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan diantara
undang-undang tersebut.
c. Pendekatan konseptual
39
Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan
doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relvan dengan isu yang dihadapi.
Maka dalam kaitannya dengan penelitian normatif, bentuk laporan ini
menggunakan pendekatan perundang-undangan, perbandingan dan koseptual.
G.Sistematika Penulisan
untuk memudahkan pembahasan di dalam skripsi ini, maka penulisan
skripsi dibagi menjadi lima bab sebagai berikut ini:
Bab 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menjabarkan secara rinci tentang titik tolak dari
penulisan karya tulis ini. Dalam hal ini, bab satu membahas mengenai latar
belakang, pokok permasalahan, tujuan penulisan, defenisi, metode penelitian yang
digunakan, serta uraian mengenai sistematika penulisan skripsi ini
Bab 2 PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA Bab dua ini berisi mengenai hal yang mengatur mengenai pembuktian
secara menyeluruh yang berlaku di Indonesia. Bab dua ini memuat secara detail
mengenai teori pembuktian, beban pembuktian, sistem pembuktian, penerapan
alat bukti, dan kekuatan pembuktian, perluasan pembuktian pada tindak pidana
Bab 3 PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI AMERIKA SERIKAT
Bab tiga membahas bagaimana penerapan alat bukti di Amerika Serikat,
bagaimana pengaturan plea bargaining di Amerika Serikat dan bagaimana beban
pembuktian di Amerika Serikat.
Bab 4 TINJAUAN YURIDIS PERBANDINGAN ALAT BUKTI DAN BEBAN PEMBUKTIAN DI INDONESIA DENGAN DI AMERIKA SERIKAT
Bab empat ini berisi mengenai pemaparan tentang analisis perbandingan
alat bukti dan beban pembuktian dalam peradilan pidana di Indonesia dengan di
Amerika Serikat, selain itu juga bab ini menguraikan bagaimana keterkaitan
konsep plea bargaining dengan RUU KUHAP yang ada di Indonesia.
Bab 5 PENUTUP
bab ini berisi kesimpulan dari pembahasan sebelumnya dan merupakan jawaban
dari pokok permasalahan yang telah disampaikan sebelumnya. Dalam bab ini juga
berisi saran-saran yang penulis rasa dapat bermanfaat bagi setiap pihak untuk
A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP
Pengungkapan suatu perkara pidana, terdapat 3 hal yang tidak dapat
dipisahkan karena menyangkut keabsahan atau kevalidan suatu putusan
pengadilan, antara lain sistem pembuktian yang dianut oleh acara, alat bukti dan
kekuatan pembuktian, serta barang bukti yang akan memperkuat alat bukti yang
dihadirkan dalam persidangan.
1. Alat bukti dan kekuatan pembuktian
Dalam hal ini kita akan melihat perihal keterkaitan alat bukti sebagai dasar
bagi hakim untuk memutuskan suatu perkara dengan barang bukti yang ditemukan
dalam suatu kasus pidana, sehingga hakim akan mampu mengungkap suatu
kebenaran materil, sesuai dengan salah satu asas dalam hukum acara pidana yaitu
asas kebenaran materil, dimana bahwa dalam pemeriksaan pidana lebih
mementingkan pada penemuan kebenaran materil (material warhead), aspek
materil yakni suatu kebenaran yang sungguh-sungguh sesuai dengan
kenyataannya. Berbeda dengan pemeriksaan perkara perdata yang menekankan
pada penemuan kebenaran formil (formale warheid) atau pada aspek formal.40
Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana alat bukti
antar lain:
40
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Pasal 184 juga mengatur tentang hal-hal yang secara umum sudah
diketahui tidak perlu dibuktikan (ayat 2). Hal-hal yang secara umum sudah
diketahui biasanya disebut notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagai
menjadi dua golongan :41
a. Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa suatu atau peristiwa
tersebtu memang sudah demikian halnya yang benarnya atau semestinya
demikian.
Yang dimaksud dengan sesuatu, misalnya Harga emas lebih mahal dari harga
perak, Tanah di kota lebih mahal harganya daripada tanah di desa.
Yang dimaksud dengan peristiwa, misalnya Pada tanggal 17 Agustus diadakan
peringatan hari kemerdekaan Indonesia
b. Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan
demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikan.
Misalnya: Kendaraan yang larinya 100km/jam, maka kendaraan tersebut akan
tidak stabil dan sulit dihentikan seketika, Arak adalah termasuk minuman keras
yang dalam takaran teretentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.
41
Hari sasangka dan Rosita, hukum pembuktian dalam perkara pidana untuk mahasiswa dan
Dibawah ini akan dijelaskan satu persatu, terutama mengenai pengertian,
syarat-syarat, dan hal lainnya yang berhubungan dengan keabsahan alat bukti
tersebut.
a. Keterangan saksi
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling berperan
dalam pemeriksaan perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu berdasarkan pemeriksaan saksi. Menurut pasal 1 butir 27 KUHAP yang
dimaksud keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang
berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar,
lihat dan alami sendiri dengan menyebut alasa dari pengetahuannya tersebut.
mengenai siapa yang disebut sebagai saksi, dalam pasal 1 butir 26 KUHAP
disebutkan, yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar, lihat dan alami sendiri.42
1) Formil
Ditinjau dari nilai dan kekuatan pembuktian alat bukti keterangan saksi,
sehingga dapat diterima didepan sidang pengadilan maka harus dipenuhi syarat :
Keterangan saksi hanya akan dianggap sah apabila diberikan di bahwa
sumpah. Menurut pasal 16 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
sebelum saksi memberikan kesaksianya wajib mengucapkan sumpah atau janji,
adapun sumpah atau janji:
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing;
42
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan
yang sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenar-benarnya.
Dalam pengucapan sumpah atau janji pada prinsipnya wajib diucapkan
sebelum saksi memberikan keterangan, namun dalam hal yang dianggap perlu
oleh pengadilan, sumpah atau janji tersebut dapat diucapkan sesudah saksi
memberikan keterangan. Mengenai saksi yang tidak atau menolak mengucapkan
sumpah atau janji tanpa alasan yang sah maka kepadanya dapat dikenakan
sandera, penyanderaan dilakukan berdasarkan pada “penetapan” hakim ketua
sidang.43
2. Materil
Mengenai sumpah atau janji, di dalam hukum acara pidana dikenal
dengan sumpah promisoris, yaitu sumpah yang dilakukan sejak dulu, kemudian
baru yang bersangkutan memberikan keterangan. Kemudian dikenal juga dengan
sumpah assertoris, yaitu sumpah yang dilakukan setelah saksi memberikan
keterangan, sumpah ini sifatnya menguatkan atau menetapkan pembicaraan yang
telah lalu.
Keterangan yang diberikan oleh saksi, secara substansial harus dapat
memberikan informasi sebanyak mungkin tentang tindak pidana yang dimaksud
oleh suatu peristiwa pidana. Agar keterangan saksi memilik keabsahan maka ada
beberapa syarat antara lain:
a) Seorang saksi adalah seorang yang melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri suatu tindak pidana (pasal 1 butir 26 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana)
43
Yahya Harahap, pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang
b) Seorang saksi harus dapat menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu
(pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
c) Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai
alat pembuktian (unus testis nulus testis)
Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi tidak semua orang
cakap menjadi saksi, sehingga perlu adanya pengecualian, antar lain:
1) Dikecualikan secara absolut
Pengecualian ini bersifat absolut atau mutlak untuk memberikan suatu
keterangan sebagai seorang saksi. Perihal ini tertera pada pasal 171 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimana didalamnya menerangkan bahwa
anak dibawah umur (15 tahun) dan orang yang sakit (ingatan jiwa) dalam suatu
kejiwaan, mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna. Dalam
hal ini mereka tidak dapat diambil sumpahnya ketika sedang memberikan
keterangan yang menyebabkan keterangan mereka hanya sebagai petunjuk saja.
2) Dikecualikan secara relatif
Sesuai dengan pasal 168 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
yaitu:
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam gari lurus keatas atau kebawah sampai
pada derajat ketiga dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa;
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu
atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkwinan
c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau bersama-sama sebagai
terdakwa.
Dalam hal ketiga golongan yang dimaksud oleh pasal ini disebut sebagai
golongan yang relatif tidak berwenang untuk memberikan kesaksian, namun
ketentuan tersebut dapat dikecualikan apabila jaksa terdakwa serta orang-orang
yang termasuk kedalam golongan itu menyetujui maka masih dapat didengar
keterangannya (pasal 169) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Selain
itu dalam hal ketiga golongan tersebut menolak untuk memberikan keterangan,
hakim dapat memerintahkan mereka untuk memberikan keterangannya namun
bukan sebagai alat bukti keterangan saksi melainkan hanya keterangan saja,
karena dalam hal ini mereka tidak di sumpah.44
1. Mereka yang hanya pekerjaan, harkat martabat atau jabatan yang wajib untuk
menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hak yang dapat
dipercayakan terhadap mereka.
selain pasal 168 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ketentuan mengenai larangan yang bersifat relatif
ini diatur pada pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu:
2. Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
pekerjaan atau jabatan yang menentukan kewajiban seseorang untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh undang-undang. Hakim menentukan sah
atau tidaknya permintaan tersebut. mereka tidak dengan sendirinya secara
absolut dikecualikan, mereka dapat dipanggil menghadap ketika pengadilan
44
membutuhkan kehadiran mereka didepan sidang pengadilan. Bila mereka tidak
hadir dipersidangan sementara tidak ada alasan yang logis untuk menolak
memeberikan kesaksian, maka terhadapnya dapat dikenakan ketentuan yang
terdapat didalam pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-Undang Acara Pidana.
Kemudian terdapat hal lain yang dikecualikan, yaitu karena martabatnya dapat
diminta pengunduran diri, antar lain Pastor Katolik. Hal ini dilakukan agar
rahasia di pengakuan dosa dapat terlindungi. Hal itu berlaku terhadap sesuatu
yang dipercayakan oleh seseorang yang menganut agama katolik kepada
pastornya disaat pengakuan dosa. Dan juga oleh beberapa profesi yang
mempunyai kode etik dimana kerahasian dianggap suatu yang wajib dijaga,
sehingga jika para subjek hukum yang mempunyai profesi tersebut dan karena
profesinya menjadi saksi dan berhadapan dengan hukum maka dapat
dikecualikan sebagai saksi.
Terdapat beberapa jenis saksi, yaitu:
1. Saksi a charge
Saksi ini adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih atau diajukan oleh
penuntut umum. Namun pada prakteknya justru merupakan saksi yang
memberatkan terdakwa (pasal 160 ayat 1 KUHAP)
2. Saksi a de charge
Saksi yang meringankan atau a de charge merupakan saksi yang di ajukan oleh
terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan yang ditujukan
pada dirinya. (dilandasi oleh ketentuan pasal 65 KUHAP)
Saksi ini adalah saksi yang menjadi korban dalam tindak pidana atau
mengalami sendiri tindak pidana tersebut.
4. Saksi pelapor
Saksi ini adalah seorang yang melaporkan tentang terjadinya tindak pidana
(pasal 108 KUHAP). Seorang saksi korban dapat menjadi saksi pelapor jika
yang bersangkutan setelah mengalami tindak pidana melaporkan peristiwa
yang menimpanya kepada pihak yang berwajib.
5. Saksi mahkota
Saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi
untuk tersangka/terdakwa lain yang bersam