• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS (Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS (Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

ABTSRAK

PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS

(Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Oleh

ARY REZA PRATAMA

Anggota kepolisian dalam menyelesaikan perkara tindak pidana lalu lintas dapat menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya, namun demikian pelaksanaan diskresi harus dilakukan secara profesional dan sesuai dengan kode etik kepolisian sebagai keharusan bagi anggota kepolisian, mengingat kekuasaan diskresi tanpa disertai pembatasan dapat berpotensi penyalahgunaan kewenangan. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris, dengan responden penelitian yaitu anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

(2)

Ary Reza Pratama

hukum dan menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia; faktor penegak hukum, yaitu adanya profesionalisme kerja polisi. Polisi dalam hal ini mempunyai kedudukan sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional terutama dalam mempergunakan wewenang diskresi yang dimilikinya; faktor masyarakat, yaitu masyarakat menyadari bahwa pelanggaran lalu lintas adalah suatu kejadian di luar kehendak dan sama sekali tidak diinginkan sehinggga mereka menghendaki adanya perdamaian di luar pengadilan dan pihak kepolisian dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya menjadi mediator dalam perdamaian tersebut; faktor kebudayaan, yaitu adanya nilai-nilai budaya di Indonesia yang mengedepankan prinsip kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga dalam konteks kecelakaan lalu lintas, faktor budaya ini berpengaruh besar, di mana masyarakat menggunakan nilai-nilai kebudayaan berupa kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perkara lalu lintas.

Saran dalam penelitian ini adalah Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung disarankan untuk lebih cermat dalam mengklasifikasikan perkara pidana lalu lintas yang dapat diselesaikan melalui kewenangan diskresi. Hal ini penting dilakukan agar kepolisian tidak melampaui kewenangan diskresi yang dimilikinya dan untuk meningkatkan profesionalisme Kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dalam proses mediasi penal disarankan untuk secara proporsional menempatkan diri sebagai pihak yang netral, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya pemihakan terhadap salah satu pihak. Hal ini penting dilakukan agar proses perdamaian yang terjadi antara kedua belah pihak benar-benar dilandasi oleh maksud yang baik dan keinginan yang tulus dari kedua belah pihak, serta tetap berlandaskan pada rasa keadilan bagi masyarakat.

(3)

PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS

(Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Oleh

ARY REZA PRATAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS

(Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

(Skripsi)

Oleh

ARY REZA PRATAMA

NPM. 0912011110

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 16

A. Pengertian Diskresi Kepolisian ... 16

B. Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 23

C. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana ... 29

D. Tindak Pidana Lalu Lintas ... 31

III METODE PENELITIAN ... 34

A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber dan Jenis Data ... 34

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

E. Analisis Data ... 38

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Karakteristik Responden ... 39

B. Pelaksanaan Diskresi Kepolisian dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas ... 40

(6)

V PENUTUP ... 74 A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 76

(7)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Abdussalam, H. R.. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta. 2009.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. Faal, M. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Pradnya

Paramita. Jakarta. 1991.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1995.

Hamzah, Andi. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Jakarta. 1998

Kelana, Momo. Hukum Kepolisian. PTIK. Jakarta. 1981.

Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996.

Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 1992.

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. 1993.

Muladi. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit UNDIP. Semarang. 1997.

(8)

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983

_______________. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung. 1986.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003, Tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

(9)

MOTTO

Hidup tidak menghadiahkan barang sesuatupun pada manusia tanpa berkerja keras

(Erdit Tri Jaya)

Kemarin adalah kemarin besok adalah perubahan

(Mario Teguh)

Berusahalah dengan keras bukan untuk menjadi sukses, tapi untuk menjadi lebih berharga.

(10)
(11)

Judul Skripsi : PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN

DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS(Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

Nama Mahasiswa : ARY REZA PRATAMA No. Pokok Mahasiswa : 0912011110

Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003

Rini Fathonah, S.H., M.H. NIP. 19790711 200812 2 001

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

(12)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota : Rini Fathonah, S.H., M.H. ………

Penguji Utama : Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003

(13)

PERSEMBAHAN

Teriring do’a dan rasa syukur kehadirat Allah SWT

atas rahmat dan hidayah-Nya serta junjungan tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayah dan Ibu,

sebagai orang tua tercinta penulis yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu memberikan kasih

sayang yang tulus dan do’a yang tak pernah putus

untuk setiap langkah yang penulis lewati serta yang tidak pernah meninggalkan penulis

dalam keadaan penulis terpuruk sekalipun

Adik tercinta Rico Nandra Pratama,

yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju memikirkan masa depan untuk menjadi jauh lebih baik lagi

dari sekarang.

(14)
(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Metro pada tanggal 16 April 1991, merupakan putra pertama dari dua bersaudara, pasangan Bapak Yusrip Surapati dan Ibu Berty Agustiana.

(16)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul: Pelaksanaan Diskresi Kepolisian dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas (Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Pembimbing I Skripsi, yang memberikan saran dan kritik dalam penulisan Skripsi ini

(17)

4. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II atas kesediaannya memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini

5. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku Pembahas I, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

6. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H, selaku Pembahas II, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

9. Kepala Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung beserta segenap jajarannya yang telah memberikan izin penelitian serta bantuan kepada penulis selama proses penelitian.

10.Keluarga Besar di Metro Alm sidi, Alm mbah, Uwak Kanjeng, Ayah, Papa suar, Ayeng, Ngah eva, ngah Maramis dan Esu, yang selalu mendoakan kelancaran dalam pengerjaan skripsi ini

11.Keluar Besar di Jakarta Alm kakek, Nenek, Tante Ely, Maksak Fery, Ngah Marta, Pakci Yudi dan Tante Yanti, yang selalu mensupport penulis dalam mengerjakan skripsi ini

12.Sepupu Tercinta Abang Ipan, Gusti, Atu uly, Eky, Ridho, Rizky, Ridha, Raihan, Fadel, Rachel, Rafles, Richard ,Junior, Sifa, dan Arkan

13.Calon Pasangan Hidup Marlina Zulkarnain yang selalu mendoakan dan membantu serta memberikan semangat dalam pengerjaan skripsi ini

(18)

15.Teman-teman akrab seperjuanganku tercinta, Angga Uclok, Tahta, Andri, Rizki, Yoma, Anand, Zepi, Eddo, Iwan Doger, Panjul, Dimas, Acong, Giant dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu

16.Keluarga Bapak Haryono, Pak Har, Tante Kartini, Mba Intan dan Reza, yang sudah seperti keluarga sendiri

17.Teman-teman KKN Tematik Unila 2009 Desa Wonosari Kecamatan Mesuji Timur Kabupaten Mesuji: Rama, Pongky, Vipoy, Iqbal, Mbak Iva, Lazuardy, dan Catur.

18.Seluruh teman-teman angkatan 2009, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2009 atat bantuan, dukungan dan kerjasamanya

19.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya. 20.Almamater tercinta Universitas Lampung

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2013 Penulis

(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

(20)

Apabila antara alat transportasi dengan sarana dan prasarana transportasi tidak berjalan seimbang akan menimbulkan dampak yang tidak baik, misalnya kemacetan lalu lintas, terlebih lagi jika disertai dengan kurangnya kesadaran masyarakat sebagai pengguna jalan raya akan menimbulkan banyak pelanggaran lalu lintas kecelakaan yang sering terjadi di jalan banyak diartikan sebagai suatu penderitaan yang menimpa diri seseorang secara mendadak dan keras yang datang dari luar. Akibat hukum terhadap pelanggaran lalu lintas adalah sanksi yang harus diterapkan terhadap pelaku pelanggaran, terutama yang mengakibatkan korban harta benda dan manusia berupa cacat tetap, bahkan meninggal dunia.

Saat ini lalu lintas yang macet merupakan suatu kejadian yang biasa kita lihat baik di pagi hari, sore hari maupun di malam hari. Masalah ini terjadi karena pertambahan jumlah kendaraan dengan pertumbuhan jalan tidak seimbang sehingga selain menyebabkan kemacetan juga dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Masalah lalu lintas tidak hanya karena kemacetan melainkan karena terjadinya kecelakaan baik kecelakaan ringan maupun kecelakaan berat yang mengakibatkan meninggalnya seseorang. Kecelakaan lalu lintas bisa terjadi akibat kelalaian seseorang atau akibat ketidakpatuhan seseorang terhadap rambu dan marka lalu lintas. Kecelakaan adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh siapa pun kecuali memang ada niat untuk melakukan sesuatu yang direncanakan untuk melukai seseorang.1

1

(21)

Kecelakaan lalu lintas yang terjadi karena faktor pengemudi diantaranya adalah pengemudi yang dengan sengaja melanggar rambu lalu lintas atau mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi, sehingga membahayakan dirinya maupun orang lain.

Akibat hukum dari kecelakaan lalu lintas adalah adanya pidana bagi si pembuat atau penyebab terjadinya peristiwa itu dan dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material yang ditimbulkan. Hal ini sesuai dengan konsep bahwa dalam berbagai macam kesalahan, di mana orang yang berbuat salah menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia harus membayar ganti kerugian.

Perkara kecelakaan lalu lintas dapat diselesaiakan oleh kepolisian dengan berdamai atau secara kekeluargaan karena kedua belah pihak masih dibutuhkan kehadirannya ditengah-tengah keluarga mereka karena adanya tangggungjawab yang diemban masing-masing pihak keluarga, di samping itu pula lamanya dalam proses peradilan atau persidangan dan menyita waktu yang panjang maka kedua belah pihak memutuskan atau bersepekat menyelesaikan perkara tersebut dengan berdamai, dan hasil perdamaian ini disampaikan kepada pihak kepolisian yang bertindak selaku penyidik. Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak tersebut kemudian pihak kepolisian diminta untuk menghentikan penyidikan karena kedua belah pihak telah sepakat untuk berdamai dan tidak saling menuntut.

(22)

Yamaha Vega R Nopol BE 8791 CU. Kecelakaan terjadi pada Hari Jum'at, Tanggal 06 April 2012, pukul 21.00 wib di Jl. Soekarno Hatta Simpang Gg. Sawah Baru By Pass Raya Rajabasa Bandar Lampung. Kedua belah pihak mengalami kerugian berupa kerusakan pada kendaraan dan mengalami luka-luka, namun keduanya sepakat untuk menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan. Dalam konteks ini Kepolisian menggunakan kewenangan diskresi yang dimilikinya dengan menjadi fasilitator untuk mengupayakan perdamaian. 2

Terkait dengan perkara pidana lalu lintas tersebut, kepolisian memiliki peranan penting sebagai agen penegak hukum (law enforcement agency) dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (order maintenance officer). Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tujuannya adalah untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, pelayanan kepada masyarakat dan terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah sebagai alat negara yang melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; menyelenggarakan segala kegiatan

2

(23)

dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan dan membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat dan ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan, serta memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Wewenang kepolisian dalam pelaksanaan tugas kepolisian menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah mengadakan tindakan menurut hukum yang bertanggung jawab dan dilaksanakan dengan syarat yaitu: tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan menghormati Hak Asasi Manusia.

Eksistensi hukum dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, karena hukum tidak hanya sebagai parameter keadilan, keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya kepastian hukum. Pada tataran selanjutnya, hukum semakin diarahkan sebagai sarana kemajuan dan kesejahteraan masyarakat melalui sistem peradilan pidana.

(24)

melakukan tindakan tertentu dalam batas kewenangannya atau dikenal dengan istilah diskresi.

Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Diskresi yaitu suatu wewenang yang menyangkut kebijaksanaan untuk pengambilan suatu keputusan pada situasi dan kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota polisi. Manfaat diskresi dalam penanganan tindak pidana atau kejahatan adalah sebagai salah satu cara untuk membangun moral petugas kepolisian dan meningkatkan profesionalitas dan intelektualitas anggota polisi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara proporsional dan memenuhi rasa keadilan, serta bukan atas dasar kesewenang-wenangan. 3

Pelaksananaan diskresi oleh anggota kepolisian memiliki dasar hukum sebagaimana terdapat pada Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia bahwa untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Dalam hal ini Polri sebagai ujung tombak sistem peradilan pidana, memiliki tugas dan wewenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemberantasan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi dan sistematis di seluruh Indonesia sesuai dengan wilayah hukum satuan organisasi kepolisian, baik di tingkat pusat (Markas Besar Polri), Provinsi (Kepolisian Daerah), kabupaten/kota (Kepolisian Wilayah dan Kepolisian Resor) sampai tingkat kecamatan (Kepolisian Sektor).

3

(25)

Anggota Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung memiliki kewenangan diskresi dalam melaksanakan tugasnya sebagai aparat penegak hukum serta penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Diskresi tersebut dapat diterapkan dalam penanganan perkara pidana lalu lintas yang terjadi. Hal ini semakin menegaskan pentingnya peranan kepolisian dalam menangani setiap tindak pidana yang terjadi demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Pelaksanaan diskresi secara profesional dan sesuai dengan kode etik kepolisian menjadi suatu keharusan bagi anggota kepolisian, mengingat kekuasaan diskresi tanpa disertai pembatasan kode etik dapat berpotensi pada penyalah gunaan. Hal ini tentunya tidak dibenarkan dalam tatanan hukum itu sendiri, sebab kekuasaan diskresi yang begitu luas dan tanpa batas akan menimbulkan permasalahan terutama apabila dikaitkan dengan asas kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia.

Diskresi sebagai kebebasan anggota kepolisian dalam mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama di dalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri.

(26)

Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas (Studi pada Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung?

b. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung?

2. Ruang Lingkup Penelitian

(27)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperkaya kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang terkait pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan faktor-faktor penghambatnya.

b. Kegunaan Praktis

(28)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Diskresi Kepolisian

Diskresi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa pelaksanaan ketentuan tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(29)

Penggunaan diskresi kepolisian harus dibatasi agar tidak menimbulkan penyalah gunaan atas kesewenang-wenangan. Diskresi kepolisian menurut H.R. Abdussalam4, dibatasi oleh beberapa asas yaitu sebagai berikut:

1) Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan. 2) Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian. 3) Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu

gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran pada akibat yang lebih besar. 4) Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan

keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya obyek yang harus ditindak

Sementara itu menurut Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip penggunaan kekuatan sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah:

1) Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku

2) Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi

3) Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/ penderitaan yang berlebihan

4

(30)

4) Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri diberi kewenangan untuk bertindak atai tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum

5) Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan 6) Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan

mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan pada petugas atau bahaya terhadap masyarakat.

b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, menurut Soerjono Soekanto5, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.

2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan

5

(31)

hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya. Apabila peraturan-peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum.

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan-pertimbangan hukum.6

b. Kepolisian adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya

6

(32)

keamanan dalam negeri (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku7

d. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum8

e. Perkara pidana lalu lintas adalah jenis perkara yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan untuk mengemudikan kendaraaan oleh pengemudi, pelanggaran terhadap ketentuan peraturan lalu lintas maupun yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang berakibat pada timbulnya korban baik luka-luka maupun meninggal dunia. 9

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

7

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.

PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23

8

Satjipto Rahardjo. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 44

9

(33)

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu diskresi, kepolisian Negara Republik Indonesia, Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana dan Tindak Pidana Lalu Lintas.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(34)

V PENUTUP

(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Diskresi Kepolisian

Diskresi adalah suatu kekuasaan atau wewenang yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan-pertimbangan hukum.1

Diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Diskresi kepolisian adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang anggota kepolisian.2

Kekuasaan diskresi yang dimiliki polisi menunjukkan polisi memiliki kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil keputusan di mana keputusannya bisa di luar ketentuan perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa satu hal yang dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh

1

M. Faal. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian). Pradnya Paramita. Jakarta. 1991. hlm. 23.

2

(36)

hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas sendiri.

Pelaksanaan diskresi oleh polisi tampak terkesan melawan hukum, namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada polisi guna memberikan efisiensi dan efektifitas demi kepentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau organisasi tersebut. Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi. Persoalannya, keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka pintu lebar-lebar bagi pengambilan diskresi3

1. Batas Diskresi Kepolisian

Diskresi meskipun dapat dikatakan suatu kebebasan dalam mengambil keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Diskresi itu disamakan begitu saja dengan kesewenang-wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi. Menurut H.R. Abdussalam4, tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada prinsip moral dan prinsip kelembagaan, sebagai berikut:

3

Ibid. hlm. 17

4

(37)

a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan kejahatan.

b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.

Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang polisi itu sangat luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki oleh petugas, terutama di dalam menilai suatu perkara. Hal ini diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi sendiri. Sebagai contoh di dalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau arogansi petugas yang didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif. Menurut Satjipto Raharjo5, tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:

a. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar-benar diperlukan. b. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian. c. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu

gangguan atau tidak terjadinya kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar.

d. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan

keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

5

(38)

Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu biasanya sudah banyak dimengerti oleh komponen-komponen fungsi di dalam sistem peradilan pidana. terutama oleh jaksa. Menurut M. Faal6, langkah kebijaksanaan yang diambil oleh polisi itu. Biasanya dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih efektif dibanding dengan hukum positif yang berlaku.

b. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.

c. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat dari pada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada.

d. Atas kehendak mereka sendiri.

e. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum

Adanya diskresi kepolisian akan mempermudah polisi di dalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat penyidikan di dalam menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.

Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip penggunaan kekuatan sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah: a. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan

hukum yang berlaku

b. Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi

c. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon

6

(39)

anggota polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/ penderitaan yang berlebihan

d. Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri diberi kewenangan untuk bertindak atai tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum

e. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan f. Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan

mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahaya terhadap masyarakat.

(40)

2. Perlindungan, Bantuan Hukum dan Pertanggungjawaban Diskresi Kepolisian

Perlindungan dan bantuan dalam diskresi kepolisian terdapat pada Pasal 12 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang menyatakan bahwa anggota Polri yang menggunakan kekuatan dalam pelaksanaan tindakan kepolisian sesuai dengan prosedur yang berlaku berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum oleh Polri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 ayat (2) menyatakan bahwa hak anggota Polri tersebut wajib diberikan oleh institusi Polri.

Pertanggung jawaban dalam diskresi kepolisian terdapat pada Pasal 13, yaitu sebagai berikut:

1) Setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya.

2) Dalam hal pelaksanaan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian yang didasarkan pada perintah atasan/pimpinan, anggota Polri yang menerima perintah tersebut dibenarkan untuk tidak melaksanakan perintah, bila perintah atasan/pimpinan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

3) Penolakan pelaksanaan perintah atasan/pimpinan untuk menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus dapat dipertanggungjawabkan dengan alasan yang masuk akal.

(41)

bertanggung jawab atas resiko/akibat yang terjadi sepanjang tindakan anggota tersebut tidak menyimpang dari perintah atau arahan yang diberikan.

5) Pertanggungjawaban atas resiko yang terjadi akibat keputusan yang diambil oleh anggota Polri ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan/penyidikan terhadap peristiwa yang terjadi oleh Tim Investigasi.

6) Tim Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibentuk sesuai ketentuan yang berlaku.

Pengawasan dan pengendalian dalam diskresi kepolisian terdapat pada Pasal 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yaitu:

1) Setiap pimpinan sebelum menugaskan anggota yang diperkirakan akan menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memberikan arahan kepada anggota yang ditugaskan mengenai penggunaan kekuatan.

2) Setiap anggota yang menggunakan kekuatan dalam tindakan kepolisian wajib memperhatikan arahan pimpinan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (1) dan menjadikannya sebagai pertimbangan dalam menerapkan diskresi kepolisian 3) Setiap pelaksanaan tindakan kepolisian yang menggunakan kekuatan, anggota

Polri yang melaksanakan penggunaan kekuatan kekuatan wajib secara segera melaporkan pelaksanaannya kepada atasan langsung secara tertulis dalam bentuk formulir penggunaan kekuatan

(42)

sehingga memerlukan tindakan kepolisian; (c) alasan/pertimbangan penggunaan kakuatan; (d) evaluasi hasil penggunaan kekuatan; (e) akibat dan permasalahan yang ditimbulkan oleh penggunaan kekuatan tersebut.

5) Informasi yang dimuat dalam laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk: (a) bahan laporan penggunaan kekuatan; (b) mengetahui tahapan penggunaan kekuatan yang telah digunakan; (c) mengetahui hal-hal yang terkait dengan keselamatan anggota Polri dan/atau masyarakat; (d) bahan analisa dan evaluasi dalam rangka pengembangan dan peningkatan kemampuan professional anggota Polri secara berkesinambungan; (e) bahan pertanggungjawaban hukum penerapan penggunaan kekuatan; (f) bahan pembelaan hukum dalam hal terjadi gugatan pidana/perdata terkait penggunaan kekuatan yang dilakukan oleh anggota Polri yang bersangkutan.

B. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

(43)

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa kepolisian merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:

1) Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

2) Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.

(44)

2) Menegakkan hukumdan

3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, memiliki fungsi yaitu:

1) Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan

2) Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan

3) Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan

4) Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

5) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

6) Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa 7) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai

dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya

8) Melaksanakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian

(45)

10)Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

11)Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian

12)Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, wewenang Kepolisian adalah: 1) Menerima laporan dan/atau pengaduan

2) Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum

3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakatantara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar.

4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsaAliran yang dimaksud adalah semua atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.

5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian

6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan

(46)

8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang 9) Mencari keterangan dan barang bukti

10)Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

11)Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

12)Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat

13)Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang:

1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya

2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor 3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor

4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik

5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam

6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan

(47)

8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional

9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait

10)Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional

11)Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Penyelenggaraan tugas sebagaimana telah disebutkan di atas, dalam proses pidana diatur dalam Pasal 16, di mana Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk:

1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan

2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan

3) Membawa dan menghadapkan orang pada penyidik dalam rangka penyidikan 4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda

pengenal diri

5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat

6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi 7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara

8) Mengadakan penghentian penyidikan

(48)

10)Mengajukan permintaan secara langsung pada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana

11)Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Pegawai Negeri Sipil serta menerima hasil penyidikan dari penyidik Pegawai Negeri Sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum

12)Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Tindakan lain tersebut adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat yaitu tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum, slaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa serta menghormati Hak Asasi Manusia.

C. Pengertian dan Jenis Tindak Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan7

7

(49)

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 8

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, menurut Andi Hamzah9 adalah sebagai berikut:

1) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana

3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16.

9

(50)

4) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

Unsur-unsur tindak pidana menurut Andi Hamzah10 adalah sebagai berikut: a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subyektif.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

10

(51)

D. Tindak Pidana Lalu Lintas

Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang sangat sulit di prediksi kapan dan dimana terjadinya. Kecelakaan tidak hanya mengakibatkan trauma, cidera, ataupun kecacatan tetapi dapat mengakibatkan kematian. Kasus kecelakaan sulit diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan11

Berdasarkan defenisi tentang kecelakaan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan kejadian yang tidak disangka-sangka atau diduga dan tidak diinginkan disebabkan oleh kenderaan bermotor, terjadi di jalan raya, atau tempat terbuka yang dijadikan sebagai sarana lalu lintas seerta mengakibatkan kerusakan, luka-luka, kematian manusia dan kerugian harta benda.

Karakteristik kecelakaan lalu lintas menurut jumlah kenderaan yang terlibat digolongkan menjadi12 :

a. Kecelakaan tunggal, yaitu kecelakaan yang hanya melibatkan satu kenderaan bermotor dan tidak melibatkan pemakai jalan lain, contohnya seperti menabrak pohon, kenderaan tergelcincir, dan terguling akibat ban pecah.

11

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya .Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 1995. hlm 35.

12Ibid

(52)

b. Kecelakaan ganda, yaitu yaitu kecelakaan yang melibatkan lebih dari satu kenderaan bermotor atau dengan pejalan kaki yang mengalami kecelakaan di waktu dan tempat yang bersamaan.

Karakteristik kecelakaan menurut jenis tabrakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut13:

a. Angle (RA), tabrakan antara kenderaan yang bergerak pada arah yang berbeda namun bukan dari arah yang berlawanan.

b. Rear-End (RE), kenderaan yang menabrak kenderaan lain yang bergerak searah.

c. Sideswipe (Ss), kenderaan yang bergerak yang menabrak kenderaan lain dari samping ketika kenderaan berjalan pada arah yang sama atau pada arah yang berlainan.

d. Head-On (Ho), kenderaan yang bertabrakan dari arah yang berlawanan namun bukan Sideswipe, hal ini sering disebut masyarakat luas suatu tabrakan dengan istilah adu kambing.

e. Backing, tabrakan yang terjadi pada saat kenderaan mundur dan menabrak kenderaan lain ataupun sesuatu yang mengakbiatkan kerugian.

Dampak yang ditimbulkan akibat kecelakaan lalu lintas dapat menimpa sekaligus atau hanya beberapa hanya diantaranya. Berikut kondisi yang digunakan untuk mengklasifikasikan korban lalu lintas yaitu: 14

a. Meninggal dunia adalah korban kecelakaan lalu lintas yang dipastikan meninggal dunia akibat kecelakaan laulintas dalam jangka paling lama 30 hari stelah kecelakaan tersebut.

b. Luka berat adalah korban kecelakaan yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat di inap di rumah sakit dalam jangka lebih dari 30 hari sejak terjadi kecelakaan. Suatu kejadian digolongkan cacat tetap jika sesuatu anggota badan hilang atau tidak dapat digunakan sama sekali dan tidak dapat pulih kembali untuk selama-lamanya (cacat permanen/seumur hidup).

c. Luka ringan adalah korban yang mengalami luka-luka yang tidak memerlukan rawat inap atau harus diinap lebih dari 30 hari.

13Ibid

. hlm 37.

14Ibid

(53)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan pendekatan empiris, sebagai berikut: 1

1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.

2. Pendekatan yuridis empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian.

1

(54)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersumber dari:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

(3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari:

(55)

(2) Keputusan Kapolri Nomor 01/VII/2003 tentang Naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

(3) Surat Edaran Kapolri Nomor: Pol.B/3022/ XII/2009/sdeops Tanggal 14 Desember 2009 tentang penanganan kasus melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR).

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari internet.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek yang memiliki karakteristik tertentu dan ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Sampel

(56)

berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam penelitian ini adalah:

1). Anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung = 2 orang 2). Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang +

Jumlah = 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

(57)

Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.

b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk dianalisis lebih lanjut.

c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

(58)

BAB V P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(59)

pidana terhadap pelaku apabila perkara pidana lalu lintas diselesaikan melalui peradilan pidana.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas, adalah sebagai berikut:

a. Faktor perundang-undangan (substansi hukum), yaitu adanya dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada anggota kepolisian untuk melakukan tindakan diskresi sehingga pelaksanaan tugas di lapangan disesuaikan dengan kewajiban hukum dan menghormati/menjunjung tinggi hak asasi manusia. b. Faktor penegak hukum, yaitu adanya profesionalisme kerja polisi. Polisi

dalam hal ini mempunyai kedudukan sebagai aparat penegak hukum dituntut untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara profesional terutama dalam mempergunakan wewenang diskresi yang dimilikinya.

c. Faktor masyarakat, yaitu masyarakat menyadari bahwa pelanggaran lalu lintas adalah suatu kejadian di luar kehendak dan sama sekali tidak diinginkan sehinggga mereka menghendaki adanya perdamaian di luar pengadilan dan pihak kepolisian dengan kewenangan diskresi yang dimilikinya menjadi mediator dalam perdamaian tersebut.

(60)

nilai-nilai kebudayaan berupa kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan perkara lalu lintas.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian maka beberapa saran yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung disarankan untuk lebih cermat dalam mengklasifikasikan perkara pidana lalu lintas yang dapat diselesaikan melalui kewenangan diskresi. Hal ini penting dilakukan agar kepolisian tidak melampaui kewenangan diskresi yang dimilikinya dan untuk meningkatkan profesionalisme Kepolisian dalam penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut di atas dapat dirumuskan, apakah penggunaan media pembe lajaran kartu gambar dapat meningkatkan penguasaan

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan nilai- nilai dan filosofi yang ada pada rumah tradisional masyarakat dusun Sade sangt kental dengan kehidupan masyarakt

membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap materi suhu dan kalor, 68.57% siswa menyatakan langkah kegiatan pembelajaran dalam modul mudah diikuti,

Jabelina Frans salah seorang informan dalam FGD dengan masyarakat menyampaikan: “Kalau mau dipikir disini yang banyak masyarakatnya, dan yang kerja-kerja di cottage disini

Salah satu rezeki yang Allah berikan kepada manusia adalah .... Ketika mendapat rezeki berlimpah dari Allah kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI... PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN

Steinberg juga menyatakan tujuan dari public relations, seperti yang dikutip oleh Neni Yulianita dalam bukunya Dasar-Dasar Public Relations, : “Menciptakan opini

Levene's Test of Equality of Error Vari ances a. Dependent Variable: