• Tidak ada hasil yang ditemukan

THE SOCIETY COMPREHENSION TO THE TEXT ABOUT DIVORCE IN ISLAMIC LAW ( A Case Study Alumni To A.P.I Islamic Boarding House Margodadi Sumberejo Tanggamus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "THE SOCIETY COMPREHENSION TO THE TEXT ABOUT DIVORCE IN ISLAMIC LAW ( A Case Study Alumni To A.P.I Islamic Boarding House Margodadi Sumberejo Tanggamus)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACK

THE SOCIETY COMPREHENSION TO THE TEXT ABOUT DIVORCE IN ISLAMIC LAW

( A Case Study Alumni To A.P.I Islamic Boarding House Margodadi Sumberejo Tanggamus)

By Rifah Laaliyah

Divorce as a sacred thing, becomes common phenomenon in our society. Some problems occurred in family are easily solved by divorce. Even though divorce is legal in Islam but it’s the hateful thing by Allah SWT. Divorce is the final solution, if the relationship between husband and wife can not be maintained. There is a rule in Islamic law to make divorce process run well so it will not hurt a couple.

The objective of the research is to find out the society comprehension to the text about divorce in Islamic law by conducting descriptive method and interview the respondent are taken from Alumni of A.P.I Islamic boarding house that has stayed 5 years minimally. The location of the research is in Margodadi village Sumberejo Tanggamus by interview and documentation technique Based on the research conducted, the writer concludes:

1. The societies know that divorce is legal but it’s hateful in Islam.

2. The society don’t know that divorce consists of Talaq, Khulu’ and Fasakh. They only understand about the definition of Talaq.

3. Generally the societies know is a solution of divorce so that a husband divorces a wife at their prescribed period. But society don’t know the steps should be done by a husband to divorce the wife based on Surah An-Nisa’: 34, the lack of comprehension to Surah An-Nisa’: 34 a husband is easily divorce the wife.

Key Word: Society comprehension, Divorce in Islamic law

(2)

PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP TEKS TENTANG PERCERAIAN DALAM FIQIH ISLAM

(Studi Terhadap Alumni Pondok Pesantren A.P.I Margodadi Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus)

Oleh Rifah Laaliyah

Perceraian sebagai sesuatu yang sakral, kini menjadi fenomena yang biasa dalam masyarakat. Permasalahan dalam keluarga begitu mudahnya diselesaikan dengan jalan perceraian. Meskipun cerai ini diperbolehkan dalam Islam, tetapi cerai adalah perkara yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Perceraian merupakan jalan terakhir apabila sebuah keluarga yang telah dibina akan semakin memburuk jika tetap dilanjutkan. Ada kaidah dan peraturan hukum yang telah diatur dalam Islam, supaya proses perceraian itu berjalan dengan cara yang baik

(ma’ruf) supaya tidak semakin menyakiti (mendzalimi) salah satu pihak.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana pemahaman masyarakat terhadap teks tentang perceraian dalam fiqih Islam, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif melalui wawancara. Dengan pemilihan informannya yang pernah tinggal dipon-pes minimal 5 tahun. Lokasi penelitian di desa Margodadi kecamatan Sumberejo kabupaten Tanggamus, dengan teknik wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian disimpulkan : (1) Masyarakat memahami bahwa cerai adalah sesuatu yang halal tetapi dibenci dalam Islam. (2) Pemutusan ikatan perkawinan dalam Islam yang meliputi talak, khuluk dan fasakh, masyarakat tidak mengetahuinya. Pemahaman dan pengetahuan itu sebatas pada pengertian talak. (3) Perceraian yang diatur dalam surat ath-Tholaq ayat 1, sebagian besar masyarakat mengetahui dan memahami bahwa ayat tersebut mengatur supaya suami menceraikan istri dengan baik supaya dapat dihitung masa ‘iddahnya. Akan tetapi, pemahaman masyarakat terhadap surat An-Nisa’ ayat 34, masyarakat tidak mengetahui tahapan yang mesti dilakukan oleh suami terhadap istri sebelum memutuskan untuk bercerai. Karena kekurang fahaman terhadap teks surat An-Nisa’ ayat 34 ini, maka hal yang wajar jika pasangan (suami) mudah sekali menceraikan istrinya.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam suatu masyarakat yang terdiri dari ayah atau suami, istri atau ibu, dan anak-anak. Hubungan antar individu di dalam keluarga umumnya didasarkan atas hubungan darah dan perkawinan. Hubungan antar anggota dijiwai oleh suasana kasih sayang dan tanggung jawab. Keluarga mempunyai fungsi merawat, memelihara serta melindungi anak-anaknya dalam rangka sosialisasinya dengan masyarakat yang lebih luas.

Keluarga merupakan sebuah institusi sosial yang memainkan peranan yang besar dalam pewarisan nilai-nilai sosial dari satu individu kepada individu yang lain. Keluarga merupakan institusi sosial pertama dan utama yang akan melahirkan satu generasi yang baru sebagai penerus generasi sebelumnya.

(4)

Sedangkan wanita lemah lembut, sehingga wajar apabila ia melakukan pekerjaan di dalam rumah untuk mengasuh anak, mengurus rumah dan mengurus suami. Perbedaan antara laki-laki dan wanita secara emosional dan biologis memang mempengaruhi peranannya dalam kehidupan masyarakat. Menurut William J. Goode (1985:239) perbedaan itu adalah peranan suami atau ayah sebagai instrument dimana kegiatannya dititik beratkan pada dunia luar rumah, sedangkan peranan istri disebut sebagai peranan ekspresif karena dititik beratkan pada kegiatan rumah tangga dan mereka bertanggungjawab atas kualitas hubungan keluarga.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka peranan antara seorang suami dengan seoranng istri adalah saling berkaitan dan tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, maka keduanya akan menjadi titik tolak bagi berkelangsungan hidup rumah tangga dalam keluarga. Oleh karena itu, manusia pada hakikatnya tidak dapat hidup secara terpisah atau menyendiri, melainkan selalu ingin hidup bersama dan bergaul satu sama lainnya. Kehidupan dalam suatu rumah tangga tidak selamanya mulus tanpa gangguan dan rintangan. Ada keluarga yang berhasil mengatasi rintangan-rintangan tersebut, tetapi ada juga keluarga yang mesti memutuskan ikatan perkawinan antara suami dan istri akibat tidak terselesaikannya rintangan dalam perjalanan rumah tangga.

(5)

3 seperti nikah mut’ah, nikah muhallil, nikah muwaqqat, dan sebagainya. ( Muchtar,

1974 : 157 ) dari pernikahan tersebut terjadi sebuah keluarga yang baru.

Dalam sebuah perkawinan akan terjalin hubungan kerja sama yang baik untuk mencapai tujuan hidup dan kebutuhan hidup yang diinginkan oleh kedua pasangan suami istri. Hal ini selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Kastasapoetra dan L. J. B. Krimers (1987:76) bahwa perkawinan pada hakikatnya merupakan suatu bentuk kerja sama antar pria dan wanita dalam masyarakat di bawah suatu peraturan khusus dan keduanya berada dalam satu ikatan yang sah.

Sebagaimana pengertian perkawinan yang tercantum di dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 1 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Oleh karena itu seorang suami dan seorang istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiaanya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

(6)

Namun demikian, perkawinan yang selalu diharapkan oleh kedua pasangan suami istri agar dapat berlangsung mulus dan kekal belum dapat berhasil seluruhnya, karena kenyataan tidak sedikit perkawinan yang mengalami kegagalan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gunarsah (1984 : 28) bahwa sepasang suami istri telah bertekad untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia. Namun dalam perkembangannya perkawinan tersebut mengalami pertentangan dan perselisihan faham sehingga terasa tidak ada keutuhan antara suami dan istri, serta tidak ada ikatan keluarga seperti yang diidam-idamkan pada awal perkawinan mereka.

Dalam menjalankan kehidupan suami istri kemungkinan terjadi kesalahfahaman antara suami istri. Salah seorang atau kedua-duanya tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, tidak percaya-mempercayai, dan sebagainya. Keadaan tersebut adakalanya dapat diatasi dan diselesaikan, dan adakalanya tidak dapat diselesaikan, didamaikan bahkan kadang-kadang menimbulkan kebencian dan pertengkaran yang terus menerus antara suami dan istri. Apabila dalam kondisi tersebut perkawinan tetap dipertahankan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan perceraian dan perusuhan diantara anggota keluarga lainnya.

(7)

5 Sedangkan keadaan keluarga yang demikian menurut syariat Islam memberikan kemungkinan bagi kedua pasangan untuk melaksanakan perceraian dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

Dengan demikian, apabila perkawinan seperti itu dilanjutkan, maka pembentukan rumah tangga yang damai dan tentram seperti yang disyariatkan oleh agama tidak tercapai, walaupun usaha-usaha untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut telah dilaksanakan semaksimal mungkin.

Menurut Thoha (1987:84) menyatakan tentang adanya kemungkinan terjadinya perceraian antara suami istri, bahwa suami istri tidak sebapak dan seibu tentu ada perbedaan darah, karakter dan pendidikan serta terdapat pertentangan yang sangat prinsip. Kalau pertentangan itu sudah memuncak dan merubah rumah menjadi neraka, maka menurut syariat Islam memungkinkan cerai antara suami dan istri sebagai jalan terakhir untuk menjamin perikemanusiaan dan kemurnian jiwa.

Dengan demikian, agama Islam mensyariatkan perceraian sebagai jalan keluar bagi suami istri yang telah gagal membina bahtera keluarga. Sehingga dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya, antara famili dengan famili, dan dengan masyarakat sekeliling tetap berjalan dengan baik.

(8)

(http://www.cyberman.cbn.net. Diakses Rabo 7 Juni 2009). Menurutnya, penyebab perceraian tersebut antara lain karena ketidakharmonisan rumah tangga mencapai 46. 723 kasus, faktor ekonomi 24.252 kasus, krisis keluarga 4.916 kasus, cemburu 4.708 kasus, poligami 879 kasus, kawin paksa 1.692 kasus, kawin bawah umur 284 kasus, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 916 kasus.

Menurut data Departemen agama, kasus perceraian yang meningkat tersebut karena suami atau isteri dihukum lalu kawin lagi 153 kasus, cacat biologis (tidak bisa memenuhi biologis) 581 kasus, perbedaan politik 157 kasus, gangguan pihak keluarga 9.071 kasus, dan tidak ada lagi kecocokan (selingkuh) sebanyak 54.138 kasus.

Meskipun Islam mensyariatkan perceraian, bukan berarti bahwa agama Islam menyukai perceraian atau pasif terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadi perceraian dari suatu perkawinan, atau boleh dilakukan setiap saat yang dikehendaki, tetapi agama Islam memandangnya sebagai sesuatu yang Musykil, yaitu sesuatu yang bertentangan dengan asas dari suatu peraturan atau pokok dasar dari undang-undang.

Sesuatu yang tidak diinginkan terjadi karena bertentangan dengan asas-asas hukum Islam, sebagaimana pernyataan Rasullullah saw :

يلص ينلا نع ه يضر رمع نبا نع

قاطلا ّلجو ّزع ه يا لاحا ضغبأ :لاق ملس و هيلع ه

(ميكحلا حيحص ابيح نب ا دوو ا د ب ا هاو )

(9)

7 (H.R. Abu Daud, dan dinyatakan shohih oleh Al-Hakim) (Muhtar,

1974:158)

Sementara itu Prof. H. Mukhtar Yahya (1961:3-4) menyatakan:

“…..Jadi thalaq itu disyariatkan bukan sebagaimana yang terfaham oleh kebanyakan kaum Muslimin. Dia disyariatkan sebagai obat, dan sebagai jalan keluar bagi suatu kesulitan yang tidak dapat dipecahkan lagi; atau sebagai obat bagi suatu penyakit parah yang tidak ada obatnya lagi. Dalam pada itu biarpun keadaan sudah sampai kepada sedemikian namun talaq itu masih dibenci Tuhan.

Menurut George Levingen (dalam Ihromi 1999:153-154) pada tahun 1966 menyusun 12 kategori keluhan yang diajukan untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya perceraian, yaitu:

1. Karena pasangan sering mengabaikan kewajiban terhadap rumah tangga dan anak. Seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian untuk berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan.

2. Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga)

3. Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan

4. Pasangan sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan.

5. Tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain.

6. Ketidakcocokan dalam masalah hubungan seksual dengan pasangan seperti adanya keengganan atau sering menolak melakukan senggama dan tidak bisa memberikan kepuasan.

7. Sering mabuk

8. Adanya keterlibatan atau campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangan.

9. Sering muncul kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangan.

10.Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatiaan dan kebersamaan diantara pasangan.

11.Adanya tuntutan yang dianggap terlalu berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu menguasai.

(10)

Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa apabila dalam keluarga sudah tidak ada lagi kesatuan antara seorang suami dan seorang istri, maka diantara keduanya dapat melakukan perceraian. Namun, meskipun pintu perceraian dibuka, banyak aturan-aturan yang mesti difahami oleh masing-masing pihak yang akan bercerai.

Islam sangat berkeinginan agar kehidupan berumah tangga itu tenteram dan terhindar dari keretakan, bahkan diharapkan dapat mencapai suasana pergaulan yang baik dan saling mencintai. Karenanya dalam Islam banyak hukum yang mengatur dalam masalah rumah tangga termasuk masalah perceraian atau talak. Pemegangan pada hak talak ada pada pihak laki-laki. Akan tetapi perempuan (istri) dapat menuntut cerai dari suaminya (dalam Islam dikenal dengan istilah khulu’) apabila suami adalah seorang tukang mabuk, mencuri, lacur, penipu,

(11)

9 Wewenang ini adalah karena :

a. Akad nikah dipegang oleh suami.

Suami menerima ijab dari pihak isteri diwaktu dilaksanakannya akad nikah Sabda Rasul saw :

كلما اميف قاط او كلم ا اميف قاتع او كلما اميف رذن ا

( م تو دوواد بأ هاو )

“ Tidak ada (kewajiban membayar) nadzar bagi yang tidak memilikinya, dan tidak memerdekakan (budak) bagi yang tidak memilikinya dan tidak pula (hak menjatuhkan) talak bagi yang tidak memilikinya”.

b. Suami membayar mahar kepada isterinya diwaktu akad, dan dianjurkan membayar mut’ah kepada bekas isterinya yang telah diceraikannya.

c. Suami membayar nafkah Isterinya (di masa perkawinan, masa iddah) d. Perintah menthalaq dalam Al-Qur’an dan Hadist banyak ditunjukan

kepada suami-suami (Al-Baqoroh ayat 227, 229, 230, 231, 232). e. Laki-laki lebih menggunakan pikiran dibanding perempuan.

Syekh Ali akhmad Al- Jarjani berkata:

“Ketahui bahwa wanita itu lemah irodahnya, tidak dapat menggunakan pikirannya dalam masalah yang pelik, Apabila ia dalam keadaan benci dan marah; ia akan gembira dan sedih karena keadaan yang sedikit. Lain halnya laki-laki ia sanggup tabah dan sabar menanggung kesukaran; ia tidak menetapkan dan memutuskan sesuatu urusan, kecuali setelah memikirkan urusan tersebut. Karena Allah menentapkan talak ditangan laki-laki adalah untuk menjamin kekalnya perkawinan dan memelihara keperluan kehidupan.”

(12)

Selama ini, alumni dari pondok pesantren diharapkan menguasai mendalam dan memahami pengetahuan tentang agama Islam. Tidak hanya sekadar tahu dan menguasai, tetapi dituntut untuk dapat mengaplikasikan ilmunya dalam masyarkat. Seperti hal perceraian yang sebisa mungkin untuk dihindari. Berdasarkan informasi awal dan pengamatan penulis, ada suami yang dengan mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya. Tetapi tidak terjadi cerai diantara pasangan suami istri tersebut. Menurut Abu Dzar R.A (dalam Ibrahim Muhammad Al-Jamal : 394) bahwa barang siapa mentalak (istrinya) dengan main-main, maka talaknya itu jadi.

Oleh karena itu, untuk mengetahui permasalahan yang menarik ini, peneliti mengambil lokasi di Desa Margodadi Kecamatan Sumberejo Kabupaten Tanggamus.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pemahaman masyarakat tentang konsep perceraian dalam Islam?”

C. Tujuan Penelitian

(13)

11 D. Kegunaan Penelitian

1. Akademisi

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan sosial yang bertema sama khususnya dalam masalah fiqih Islam.

2. Praktis

(14)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari pemahaman masyarakat terhadap konsep cerai adalah lepasnya ikatan pernikahan atau sudah tidak ada ikatan pernikahan antara suami istri. Perbedaan konsep cerai secara umum dengan konsep cerai secara Islam menurut masyarakat pada saat awal kata cerai tersebut diucapkan oleh suami. Menurut hukum asalnya cerai adalah makruh, tetapi cerai adalah perkara yang sangat dibenci dalam Islam. Hanya satu informan yang memahami konsep cerai dalam Islam yang tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 34, yaitu tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh seorang suami. Pelepasan ikatan perkawinan yang ada dalam Islam yamg meliputi talak, khuluk dan fasakh, juga hanya satu informan. Informan lainnya faham sebatas talak dan khuluk, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali.

Dari pemahaman terhadap teks tentang perceraian seperti dalam surat At-Tholaq ayat 1 yang berkaitan dengan masalah ‘iddah yaitu menceraikan istri dalam keadaan dimana ‘iddah tersebut dapat dihitung secara wajar. Maksudnya supaya

seorang istri tidak menderita karena terlalu lama menunggu masa nya habis. Pemahaman informan terhadap teks yang tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 34

(15)

72 tahapan dalam menceraikan istrinya, tetapi informan menganggap tidak perlu menerapkannya. Menurutnya jika istri sudah nusyuz dinasehati, jika dinasehati tidak mengindahkan menurutnya boleh langsung menceraikan, tidak perlu pisah ranjang. Karena menurutnya, pisah ranjang bisa dipahami sebagai sudah cerai. Maka, hal yang wajar jika perceraian juga terjadi di kalangan masyarakat Margodadi. Meskipun hafal dalil/teks tentang cerai, tetapi kurang memahami konsep cerai dan kurang faham terhadap teks tentang cerai.

B. Saran

Saran yang penulis sampaikan kepada departemen Agama Islam, khususnya kepada Kantor Urusan Agama agar kepada masyarakat yang hendak melakukan pernikahan diberikan materi dan pengarahan secara mendetail bagaimana cara yang dapat dilakukan dalam membina kehidupan berumah tangga. Dengan cara seperti ini diharapkan dapat lebih memahami tujuan sebuah pernikahan, sehingga dapat menekan angka perceraian.

Kepada pengasuh pondok pesantren dan kepala pendidikan madrasah sebagai lembaga pendidikan agama Islam, agar memberikan materi talak lebih terperinci dalam memberikan kurikulum, sehingga lulusan dari pesantren lebih memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam, khusunya tentang fiqih talak. Terutama pada pemahaman terhadap dalil dan teks yang berkaitan dengan masalah cerai.

Referensi

Dokumen terkait

Inovasi tersebut ditujukan kepada masyarakat (umum dan pelajar) Kota Semarang, serta menarik bagi yang masih menggunakan transportasi umum yang menurut data literature

Perjalanan Dinas Dalam dan Luar Daerah Kegiatan Identifikasi Blok Penghasil Tinggi (BPT), Pengawasan Waralaba, Penyusunan RDKK Pupuk dan Inventarisasi Plasma Nutfah. 40

PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR MELALUI PEMBELAJARAN EKSPLORATIF.. Universitas Pendidikan Indonesia

Standar Akuntansi Islam (Syari’ah) menawarkan sistem ini untuk menghindari kenyataan sejarah perekonomian dalam kegoncangan fluktuasi nilai uang yang tidak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh atribut produk terhadap kepuasan konsumen pengguna smartphone Samsung Galaxy Series.. Subjek yang digunakan dalam

difokuskan pada masalah sosiologi tokoh dalam novel Grotesque, yang. digambarkan melalui dua tokoh utamanya yaitu, Kazue

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 9 menunjukkan bahwa kemampuan pengajaran mendapat skor 4,12 dengan kategori kompeten yang tergambar dari menyusun

terhadap daerah mereka. Setelah disurvey di lapangan pun, rata-rata dari mereka adalah pemilik warung dan bukanlah petani yang bekerja di ladang. Kalaupun mereka petani,