• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA

Oleh

DWI NURAHMAN

Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP menuai banyak kritikan

dari praktisi hukum. Di dalam prakteknya, ternyata pra peradilan kurang

memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya tersangka dalam

proses peradilan pidana. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah

membuat suatu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (RUU KUHAP) yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan

dengan Hakim Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim

Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses

pemidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara

petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Permasalahan dalam penelitian ini

adalah Apakah alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009? Dan Apakah akibat hukum dari

penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka

selama tahap penyidikan dan upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim

Komisaris berhalangan?

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif.

yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah

kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang diatur dalam RUU KUHAP Tahun

2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan. Adapun data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan

pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang

kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu

kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari

penelitian.

(2)

KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia

khususnya bagi terdakwa atau tersangka dalam proses peradilan pidana terhadap

tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari

terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi

yang berbeda. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak tersangka selama tahap

penyidikan sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j)

RUU KUHAP Tahun 2009, maka sebagai akibat hukumnya adalah penyidik dapat

dikenakan sanksi yuridis dan sanksi khusus dari instansinya dan segera

memerintahkan pelepasan tahanan dalam kondisi aman. Upaya khusus yang dapat

dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan hadir atau tidak dapat

menjalankan tugasnya adalah staf ahli yang membantu kinerja Hakim Komisaris

dapat meminta pertimbangan, petunjuk dan konsultasi hukum terhadap perkara

yang akan diputus. Jadi pada dasarnya putusan itu sudah disusun oleh staf ahlinya,

tinggal membaca putusan tersebut. Putusan tersebut dapat dibacakan oleh staf ahli

ataupun oleh wakil ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan dan prosedural

yang berlaku.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum

Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun

pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena

aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan

sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) (Andi Hamzah, 2006: 3).

Sejarah masa lalu Indonesia dalam penyeleggaraan peradilan pidana yang

berbasis pada hukum Eropa Kontinental tersebut berpedoman pada Het Herziene

Inlandsch Reglement (HIR). Dasar hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman

tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan di seluruh

wilayah Republik Indonesia (Andi Hamzah, 2006: 14).

(4)

Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana atau KUHAP (Andi Hamzah, 2006: 22).

Proses pelaksanaan hukum pidana di masa sekarang ini erat hubungannya dengan

masalah peradilan yang dalam pelaksanaannya harus menggunakan hukum acara

pidana, karena hukum acara pidana mengatur hak-hak seseorang serta wewenang

aparat penegak hukum apabila tersangkut dalam perkara pidana seperti

penangkapan, penahanan dan penuntutan.

Sehubungan dengan perkara pidana tersebut, peristiwa penangkapan, penahanan

dan penuntutan adalah suatu peristiwa yang luar biasa, oleh sebab itu setiap

penangkapan, penahanan dan penuntutan harus tunduk kepada perlindungan

hak-hak asasi manusia seperti menghormati harkat dan martabat manusia, hak-hak

kemerdekaan diri, keadilan dan aturan undang-undang. Sehingga masalah hak

asasi manusia yang berhubungan dengan penangkapan, penahanan dan penuntutan

perlu mendapat perhatian kita semua terutama oleh aparat penegak hukum agar

tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan dalam menjalankan

tugasnya.

(5)

mencerminkan penegakan hukum (the rule of law) yang melindungi hak-hak asasi

manusia di Indonesia (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).

KUHAP ini lah yang hadir menggantikan

Het Herziene Inlandsch Reglement

(HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia. Kehadiran KUHAP (Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dimaksudkan oleh pembuat

undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak

sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus

memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela

kepentingannya di dalam proses hukum. Oleh karena itu, hukum acara pidana

nasional, wajib didasarkan pada falsafah / pandangan hidup bangsa dan dasar

negara (pancasila), maka sudah seharusnya diketentuan materi pasal atau ayat

tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara

(Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 3).

Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam

KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk setiap warga negara yang

ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah (cukup) berdasarkan

ketentuan undang-undang.

(6)

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan

dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada

tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat

penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan,

perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari

seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga

menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)

sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa

“Setiap orang yang

disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib

dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan

kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

(7)

peradilan kurang memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya

tersangka dalam proses peradilan pidana (Oemar Seno Adji, 1984: 64).

Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah membuat suatu Rancangan

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)

yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim

Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim Komisaris adalah

untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pemidanan dan

menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik

dari instansi yang berbeda. Pristiwa penangkapan dan penahanan yang tidak sah

merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan

orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik

orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap

ketentraman rumah tempat kediaman orang.

(8)

Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris yang sebagaimana termuat di dalam RUU

KUHAP Tahun 2009 memang mempunyai kewenangan eksekutif. Kebijakan

formulasi Hakim Komisaris itu sendiri adalah sesuatu yang menjadi garis besar

dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang

ditetapakan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu

pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu

permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara. Sedangkan

kewenangan eksekutif dari Hakim Komisaris yaitu melakukan suatu

konsultasi-konsultasi hukum kepada penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya

paksa pada penyidikan dan penuntutan.

Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun

2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim

Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya

bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan

kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya

kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang

berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim

Komisaris didasarkan pada:

a. Sidang pra peradilan dilakukan apabila ada tuntutan dari pihak-pihak yang

berhak. Jadi, tidak ada sidang pra peradilan tanpa adanya tuntutan dari

pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan pra peradilan;

(9)

c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan

rehabilitasi;

d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai

dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU

KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam

waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan;

e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan

atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding

maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra

peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah

Agung (MA) menerima;

f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN)

pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra

peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa

setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris

yang memutus seorang diri dan;

g. Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai

pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama

tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki

tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya

bagi terdakwa atau tersangka. (www.legalitas.org, 02 Desember 2009, 20:30).

Hal-hal tersebut adalah faktor-faktor yang menjadi dasar bahwa pemerintah

mengganti lembaga pra peradilan dengan memunculkan kebijakan formulasi

Hakim Komisaris di RUU KUHAP Tahun 2009 dalam rangka penyempurnaan

Hukum Acara Pidana kita di masa yang akan datang.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji secara yuridis

normatif analisis tentang kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang ada dalam

RUU KUHAP Tahun 2009.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan

penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul

Analisis

Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris Dalam Rancangan Undang-Undang

(10)

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009?

b. Apakah akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang

pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan dan upaya khusus

yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan?

2. Ruang Lingkup

(11)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a.

Untuk mengetahui alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi

Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009.

b.

Untuk mengetahui akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim

Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap

penyidikan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi apabila

Hakim Komisaris berhalangan dalam menyelesaikan suatu perkara.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan

kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

(12)

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penulisan skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat dan bagi

aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum

khususnya ilmu hukum acara pidana dan juga dapat bermanfaat bagi

masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya

untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai

masukan dalam rangka merevisi KUHAP.

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti

(Soerjono Soekanto,1986: 125).

Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori

kebijakan formulasi (formula policy), teori tentang hak asasi manusia, dan teori

aplikasi.

(13)

mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu

negara (Andi Hamzah, 2006: 334).

Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan revisi terhadap

KUHAP adalah merupakan suatu wujud dari penegakan hukum di Indonesia.

Garis besar penegakan hukum adalah terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,

untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup

(Andi Hamzah, 2006: 340).

(14)

Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111 RUU

KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra peradilan.

Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,

penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau penangguhan penahanan,

begitu pula tentang penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang

tidak berdasarkan asas oportunitas, Hakim Komisaris juga memutus atau

menetapkan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi, diatur tentang pembatasan

waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU KUHAP Tahun 2009 bahwa

Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari

terhitung sejak menerima permohonan, ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU

KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak

dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi (Andi Hamzah, 2006: 361).

(15)

perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka

(Andi Hamzah, 2006: 387).

Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia

berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa

kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya

hukum pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan

sebagai pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan

atau penahanan seseorang ternyata salah tangkap atau salah tahan, atau dalam

rangka penyidikan lembaga kejaksaan dalam menahan seseorang kelebihan waktu

penahanan atau mungkin sebagai benteng terakhir lembaga pengadilan salah

dalam memutus perkara (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).

Hak asasi manusia secara teoritis dapat diartikan sebagai seperangkat hak yang

melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang

Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi

dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Andi Hamzah,

2006: 4).

(16)

dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang

diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Ini menjadi hal yang sangat penting sebab apabila setiap tersangka

mengerti akan hak serta kewajiban sebagai subyek hukum maka hal tersebut dapat

memperkecil kemungkinan diri seseorang menjadi korban akibat

keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. Akibat dari

keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum tersebut,

maka untuk memproleh kepastian dan menghindari kesewenang-wenangan aparat

penegak hukum dibuatlah KUHAP. KUHAP mengatur lembaga pra peradilan

yang tujuannya untuk mengawasi apabila terjadi perkosaan terhadap hak-hak asasi

manusia dalam melaksanakan proses hukum, seperti salah tangkap, salah tahan,

penghentian penyidikan dan lain sebagainya (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana,

2005: 70).

(17)

Hal terpenting dari kewenangan Hakim Komisaris dalam kaitannya dengan hak

tersangka yang juga sebagai hak asasi manusia adalah dalam hal Hakim

Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran

terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.

Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan

perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka.

Secara teoritis, aplikasi Hakim Komisaris dapat diartikan sebagai bentuk

penerapan lembaga khusus atau merupakan institusi baru dalam RUU KUHAP

Tahun 2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan di Indonesia guna

mewujudkan pembaharuan dalam hukum acara pidana yang berkeadilan

(T. Gayus Lumbuun, 2007: 2).

Istilah Hakim Komisaris yang diaplikasikan atau diterapkan dalam RUU KUHAP

Tahun 2009 memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk

melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak

secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa,

menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa

antara polisi dan jaksa, serta memiliki wewenang mengambil keputusan atas

keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan

(T. Gayus Lumbuun, 2007: 4).

(18)

serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak

sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan

yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat

kediaman orang. Lembaga Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU

KUHAP Tahun 2009 ini kedudukannya terletak di antara penyidik dan penuntut

umum di satu sisi dan hakim di pihak lain (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana,

2005: 81).

Wewenang Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini terdapat pada

BAB IX Pasal 111 yang isinya:

(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,

atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan

melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat

dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau

ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang

disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi

oleh pengacara;

g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang

tidak sah;

h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak

berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke

pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama

tahap Penyidikan.

(19)

(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf i.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j) tersebut terkait dalam hal

hak-hak tersangka. Hal ini harus diperhatikan pula akibat hukum dalam

wewenangnya menetapkan atau memutuskan pelanggaran terhadap hak-hak

tersangka selama tahap penyidikan. Aplikasi Hakim Komisaris dalam RUU

KUHAP Tahun 2009 ini memiliki wewenang dalam memberikan penetapan atau

putusan mengenai pelanggaran terhadap hak-hak tersangka selama tahap

penyidikan, namun akibat hukum dari wewenang tersebut tidak dijelaskan secara

terperinci.

Berdasarkan ketentuan umum dalam RUU KUHAP Tahun 2009 telah dijelaskan

bahwa Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya

Penyidikan dan Penuntutan, dan wewenang lain yang ditentuan dalam

Undang-Undang (RUU KUHAP Tahun 2009). Melihat tugas dan wewenangnya, Hakim

Komisaris memiliki kewenangan yang cukup luas.

Prosedur beracara diatur dalam ketentuan Pasal 112 sampai Pasal 114 RUU

KUHAP Tahun 2009. Pasal 112 menyatakan bahwa:

(1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua)

hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 111 ayat (2).

(2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil

penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau

catatan lainnya yang relevan.

(20)

(4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah

sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda

proses Penyidikan.

Ketentuan pada Pasal 112 Ayat (1) RUU KUHAP Tahun 2009 tersebut dijelaskan

bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2

(dua) hari terhitung sejak menerima permohonan, hal ini menunjukkan bahwa

waktu dibutuhkan oleh Hakim Komisaris dalam memberikan putusan atau

penetapan relatif sangat singkat, sehingga apabila seorang Hakim Komisaris tidak

dapat menjalankan tugasnya atau berhalangan maka harus dilakukan upaya atau

kebijakan dalam menyelesaikan suatu perkara. Mengenai Hakim Komisaris yang

tidak mampu menjalankan tugasnya atau berhalangan hadir harus dijelaskan lebih

lanjut dalam RUU KUHAP Tahun 2009, namun dalam formulasinya tidak diatur

tentang upaya yang dilakukan jika seorang Hakim Komisaris berhalangan atau

tidak dapat menjalankan tugasnya. Ini merupakan salah satu kelemahan yang

terdapat dalam RUU KUHAP Tahun 2009 yang harus dikaji lebih dalam dan

harus segera diperbaiki.

Pasal 113 menyatakan bahwa:

(1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar

hukum dan alasannya.

(2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak

sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing

harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.

(3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak

sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau

diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak

kecuali terhadap benda yang terlarang.

(21)

(5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan

tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian

dan/atau rehabilitasi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau

rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 114 menyatakan bahwa:

(1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian

atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima

permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;

b. Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, Penyidik, atau

Penuntut Umum;

c. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah

memberikan putusan.

(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan negeri, permohonan ganti

kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.

(22)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan

istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan

analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan

penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh

pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Kebijakan Formulasi

Kebijakan formulasi (formula policy) adalah sesuatu yang menjadi garis besar

dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang

ditetapakan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu

pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu

permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara

(M. Marwan, 2009: 334).

c. Hakim Komisaris

(23)

menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang

ditentukan dalam undang-undang ini (www.legalitas.org/draft RUU KUHAP

2009, 02 Desember 2009, 20:30).

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan

dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika

penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari

uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya,

tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta

menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan

tentang tujuan diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun

2009 sebagai wujud kebijakan pemerintah dalam rangka penegakkan hukum di

Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

(24)

Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP tahun 2009, serta kebijakan formulasi

Hakim Komisaris dalam sistem peradilan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur

pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung

dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk

mengetahui alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009, dan untuk mengetahui upaya yang

dapat dilakukan untuk mengatasi apabila Hakim Komisaris berhalangan dalam

menyelesaikan suatu perkara, serta untuk mengetahui akibat hukum dari

penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka

selama tahap penyidikan.

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa

kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah

dibahas.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno.1984.

Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga.

Jakarta.

Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

Harahap, M.Yahaya. 2002.

Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2

(Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan

Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Lumbuun, T. Gayus. 2007.

Makalah Seminar Nasional Revisi KUHAP Dalam

Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Berkeadilan.

Semnas Hima Pidana. Bandar Lampung.

Marwan, M. 2009.

Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality

Publisher. Surabaya.

Sasangka, Hari. dan Lily Rosita. 2003.

Komentar KUHAP. Mandar Maju.

Bandung.

Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005.

Pembaharuan Hukum Acara Pidana.

Citra Aditya. Bandung.

Tim Penyusun Kamus.

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997.

Kamus

Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU

KUHAP) Tahun 2009.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbandingan Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris

1. Pra Peradilan

Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan

merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana dengan tegas dinyatakan

dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tanggal 12 Desember 1948.

Hak yang demikian juga harus dapat dinikmati oleh setiap orang sekalipun orang

itu baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa ataupun narapidana yang

bertempat tinggal di dalam Negara Republik Indonesia dengan didasari oleh

jaminan hukum yang tegas bagi mereka untuk menikmati haknya tersebut.

(27)

1. Asas equality before the law

Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak

membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama,

golongan, dan sebagainya.

2. Asas legalitas dalam upaya paksa

Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dengan perintah

tertulis oleh pejabat yang berwenang dan dengan cara sebagaimana yang diatur

dalam undang-undang.

3. Asas presumption of innocence

Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dan/atau dituntut dihadapkan di

muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan

pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

tetap.

4. Asas remedy and rehabilitation

Ganti kerugian dan rahabilitasi bagi seseorang yang ditangkap, ditahan,

dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai

orangnya atau hukum yang diterapkan, dan konsekuensi sanksi bagi pejabat

penegak hukum yang dengan sengaja melakukan kelalaian tersebut.

5. Asas fair, impartial, impersonal and objective

Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, serta bebas, jujur dan tidak

memihak.

6. Asas legal assistance

(28)

7. Asas miranda rule

Pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan terhadap terdakwa dan hak-hak

yang dimiliki tersangka/terdakwa.

8. Asas presentasi

Pelaksanaan pengadilan dengan hadirnya terdakwa.

9. Asas keterbukaan

Sidang terbuka untuk umum.

10. Asas pengawasan

Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana (Luhut

M.P. Pangaribuan, 2006:3).

Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyatakan bahwa ”ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti

kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam

undang-undang”. Sebagai wujud nyata dari pasal ini di dalam KUHAP BAB X Bagian

Kesatu telah diatur mengenai Pra Peradilan yang salah satu kewenangannya

menangani masalah ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang dinyatakan

dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

(29)

Lembaga Pra Peradilan merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini

ditegaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang memiliki ketentuan sebagai

berikut:

Pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus

menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah

diantaranya:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan

tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas

permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya

atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP ini berarti bahwa lembaga pra peradilan

dalam dunia penegakan hukum di negara kita selain untuk melindungi hak-hak

asasi manusia khususnya dalam bidang peradilan juga mengadakan pengawasan

terhadap praktek pemeriksaan perkara pidana khususnya pemeriksaan pada

tingkat penyidikan dan penuntutan, yang berarti dapat dilakukan sebelum perkara

pokoknya disidangkan oleh pengadilan negeri.

(30)

dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat

penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pra

peradilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa

pokok perkara.

2. Hakim Komisaris

Menurut Fre Le Poole Griffith dan O. W. Mueller bahwa Amerika Serikat

mempergunakan

Commisioner,

yaitu pejabat pengadilan yang melakukan

pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik

polisi terhadap tersangka. Tugas

Commisioner ini adalah untuk memastikan

apakah sudah cukup syarat untuk memberikan polisi izin hakim untuk melakukan

penahanan atau untuk melakukan penggeledahan.

Hakim

Commisioner inilah yang memberitahukan hak-hak seseorang yang

disangka melakukan kejahatan, seperti haknya untuk diam, haknya untuk

didampingi oleh penasehat hukum dan lain sebagainya. Hakim

Commisioner di

Amerika Serikat melakukan pengawasan dengan mempergunakan dua (2) cara,

yaitu pertama adalah menerapkan hukum pembuktian (exclusionary rule), kedua

adalah menerapkan prinsip

Habeas Corpus (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan,

1984: 103).

(31)

untuk dihadapkan kepada Hakim Komisaris dalam waktu satu hari (24 jam) (Andi

Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 105).

Hakim Komisaris inilah yang memeriksa alat-alat bukti yang telah dikumpulkan

oleh polisi apakah cukup sah untuk menimbulkan dugaan yang keras bahwa telah

terjadi suatu tindak pidana yang menyakinkan hakim si tersangkalah yang

melakukannya (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 111).

Negara Belanda yang menggunakan sitem Eropa ini tidak menimbulkan

kekhawatiran bahwa diskresi yang diberikan kepada penyidik/jaksa untuk

melakukan penahanan berdasarkan rasa kekhawatiran saja karena ada sistem

pengawasan yang ketat oleh Eropa Tengah memberikan peranan

rechter

commissaris suatu posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani

upaya paksa seperti penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan

rumah dan pemeriksaan surat-surat (Oemar Seno Adji, 1984: 88).

Saat ini, pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan dibandingkan

dengan kenyataan bahwa penerapan pra peradilan menimbulkan banyak

ketidakpuasan, seperti:

(32)

b. Sudah bukan rahasia lagi, apabila seorang tersangka dalam tingkat penyidikan

selalu mengalami tindak kekerasan. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi

manusia yaitu hak untuk tidak disiksa. Bahkan, KUHAP menganut asas

presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) yang artinya setiap

orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan diadili wajib dianggap tidak

bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

yang menyatakan kesalahannya. Dengan adanya kekerasan dalam tingkat

penyidikan jelas tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, yang berarti

dengan siksaan tersebut menganggap tersangka sudah bersalah.

c. Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding kecuali mengenai tidak

sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Tetapi dalam prakteknya,

ternyata putusan pra peradilan yang tidak dapat dimintakan banding dapat

diajukan kasasi. Salah satu contohnya adalah pra peradilan dalam kasus

Ginandjar Kartasasmita yang bahkan dalam putusannya Mahkamah Agung

(MA) mengabulkan permohonan kasasi.

d. Pra peradilan tidak menjelaskan apakah LSM atau Organisasi Non Pemerintah

(ORNOP) yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat umum dapat

mengajukan pra peradilan secara

class action, mengingat beberapa waktu yang

lalu

Indonesian Corruption Wacht

(ICW) pernah mengajukan pra peradilan

terhadap Kejaksaan Agung yang menghentikan penyidikan terhadap beberapa

kasus korupsi (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 79).

(33)

peradilan dengan Hakim Komisaris sebagaimana termuat dalam Koran Sindo

(27/11/2009) yang berjudul Lembaga Baru Kontrol Aparat Penegak Hukum yang

berbunyi sebagai berikut:

Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (RUU KUHAP) akan memunculkan satu lembaga baru yang akan

menjadi hakim komisaris. Pembentukan hakim komisaris itu nanti

difungsikan untuk mengontrol aparat penegak hukum dalam melakukan

tugas. ”Pembentukan lembaga hakim komisaris ini untuk menggantikan

lembaga pra peradilan saat ini,”

kata anggota perumus RUU KUHAP yang

juga pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Teuku Nasrullah saat

debat publik RUU KUHAP di Departemen Hukum dan HAM

(Depkumham).Hakim komisaris tersebut nanti yang menentukan apakah

proses yang dilakukan penyidik sudah benar atau belum hingga dapat

diajukan ke persidangan atau tidak. Dengan adanya hakim komisaris

tersebut, diharapkan kinerja aparat penegak hukum akan menjadi lebih

baik. ”Dengan

adanya hakim komisaris, penegak hukum yang melakukan

penyelidikan perkara tidak lagi bisa bekerja seenaknya,”ungkap dia dalam

RUU KUHAP dijelaskan, jabatan hakim komisaris diseleksi di pengadilan

tinggi. Hakim komisaris tersebut nanti dipilih dari hakim pengadilan

negeri di pengadilan tinggi pada wilayah bersangkutan. Hakim komisaris

tersebut bertugas dalam waktu dua tahun. Sesudah dua tahun bertugas,

hakim komisaris akan dikembalikan ke pengadilan negeri tempat dia

bertugas sebelumnya. Menteri hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis

Akbar mengatakan, hasil draf RUU KUHAP Tahun 2009 rencananya akan

diajukan kepada publik agar bisa diperdebatkan dihadapan akademisi atau

praktisi. ”Deb

at kali ini hanya debat awal yang akan berlanjut dengan

debat-debat setelah diuji publik nanti,” ujar dia. Setelah itu, lanjut Patrialis

Akbar, pihak perumus akan mempresentasikan di hadapan kabinet serta di

berikan kepada DPR. Senada dengan Patrialis Akbar, ketua Tim Perumus

RUU KUHAP Andi Hamzah mengatakan, DPR yang nantinya akan

menjadi penentu draf RUU KUHAP tersebut.

(34)

Adapun ketentuan Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:

(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,

atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan

melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat

dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau

ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang

disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi

oleh pengacara;

g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang

tidak sah;

h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak

berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke

pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama

tahap Penyidikan.

(2)

Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh

tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali

ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.

(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf i.

(35)

Mengenai syarat untuk diangkat menjadi Hakim Komisaris diatur dalam BAB IX

Bagian Ketiga Pasal 115. Adapun bunyi Pasal 115 RUU KUHAP Tahun 2009

yaitu:

Untuk dapat diangkat menjadi hakim komisaris, seorang hakim harus memenuhi

syarat :

a. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi;

b. Bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)

tahun;

c. Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya

57 (lima puluh tujuh) tahun; dan

d. Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.

Menurut Andi Hamzah (2009: 5) selaku Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP

Tahun 2009 mengusulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris

bukan saja dari kalangan hakim tetapi juga mengusulkan agar orang yang non

hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa

senior, advokat senior dan dosen hukum pidana senior dapat diangkat menjadi

hakim komisaris. Tentunya hal ini melalui proses tertentu seperti

fit and proper

test. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan

pemberhentian Hakim Komisaris diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP),

sebagaimana

diatur

dalam

Pasal

120

RUU

KUHAP

Tahun

2009

(www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30).

(36)

satu kali masa jabatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 116 RUU KUHAP

Tahun 2009, yaitu:

(1) Hakim komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua

pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi pengadilan negeri

setempat.

(2) Hakim komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun dan dapat

diangkat kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selanjutnya dalam Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009 diatur bahwa:

(1) Hakim komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara.

(2) Hakim komisaris merupakan hakim tunggal, memeriksa, menetapkan, atau

memutus karena jabatannya seorang diri.

(3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim komisaris dibantu oleh seorang panitera

dan beberapa orang staf sekretariat.

(37)

B. Kompetensi Hakim Komisaris

Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP Tahun 2009 memiliki kewenangan

yang lebih luas dari Praperadilan. Menurut Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009

Hakim Komisaris memiliki tugas dan kewenangan untuk menentukan perlu

tidaknya diteruskan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut

Umum, menentukan perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang

dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan perlu tidaknya

pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh

Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan sah atau tidaknya suatu penyitaan,

penggeledahan tempat tinggal atau tempat yang lain yang bukan menjadi milik

Tersangka, memerintahkan Penyidik atau Penuntut Umum membebaskan

tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir masa penahanan tersebut,

jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan atau kekerasan pada tingkat

penyidikan atau penuntutan.

Tugas dan wewenang Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan permohonan

atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya

kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian tindakan Hakim Komisaris di tahap

pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan berfungsi baik sebagai

examinating

judge maupun investigating judge (Luhut M.P Pangaribuan, 2008: 68).

(38)

(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,

atau penyadapan;

b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;

c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan

melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;

d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat

dijadikan alat bukti;

e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau

ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang

disita secara tidak sah;

f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi

oleh pengacara;

g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang

tidak sah;

h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak

berdasarkan asas oportunitas;

i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke

pengadilan.

j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama

tahap Penyidikan.

(2)

Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan

oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali

ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.

(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf i.

Mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris diatur

dalam Pasal 115 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:

(39)

a. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi;

b. Bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)

tahun;

c. Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya

57 (lima puluh tujuh) tahun; dan

d. Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.

Mengenai hal beracara Hakim Komisaris diatur dalam BAB IX Bagin Kedua dari

Pasal 112 sampai Pasal 114 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:

Pasal 112:

(1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua)

hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 111 ayat (2).

(2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil

penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau

catatan lainnya yang relevan.

(3) Hakim Komisaris dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat

hukumnya, penyidik, atau penuntut umum.

(4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah

sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.

(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda

proses Penyidikan.

Pasal 113:

(1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar

hukum dan alasannya.

(2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak

sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing

harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.

(3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak

sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau

diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak

kecuali terhadap benda yang terlarang.

(40)

(5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan

tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian

dan/atau rehabilitasi.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau

rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 114 menyatakan bahwa:

(1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian

atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima

permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;

b. Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, Penyidik, atau

Penuntut Umum;

c. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah

memberikan putusan.

(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan negeri, permohonan ganti

kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.

Menurut Andi Hamzah selaku Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP Tahun 2009

mengusulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris bukan saja

dari kalangan hakim tetapi juga mengusulkan agar orang-orang yang non hakim

tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa senior,

advokat senior dan dosen hukum pidana senior. Selanjutnya, ketentuan mengenai

syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Komisaris diatur

dengan Peraturan Pemerintah (www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30).

Kompetensi lain mengenai Hakim Komisaris ini adalah dalam hal putusan atau

penetapan Hakim Komisaris dipertagas dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun

2009 yang menyatakan bahwa “Penetapan atau putusan Hakim Komisaris tidak

(41)

putusan dalam pra peradilan yang dapat diajukan banding dalam hal penghentian

penyidikan atau penghentian penuntutan.

C. Tujuan Diformulasikannya Hakim Komisaris Dalam RUU KUHAP

Tahun 2009

Keberadaan Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU KUHAP Tahun

2009 tetap diperlukan dan tidak akan menjadi masalah apabila konsep maupun

keberadaannya dibedakan dengan Hakim Komisaris jaman penjajahan belanda

dahulu, dengan alasan sebagai berikut:

1. Lembaga praperadilan yang ada sekarang keberadaannya dibawah pengadilan

negeri, yang mana hakim yang memeriksa dan memutuskannya adalah hakim

yang tidak khusus menangani masalah upaya paksa oleh kepolisian maupun

kejaksaan dimaksud, melainkan hakim umum yang ditugaskan untuk sekedar

menegakan sedikit HAM dan tidak perlu mendalami lebih jauh makna asas

praduga tak bersalah karena hal tersebut dapat di periksa kembali ketika

perkara di ajukan kepengadilan oleh kejaksaan ataupun dengan alasan bahwa

hal tersebut merupakan kewenangan diskresi kepolisian dan kejaksaan;

2. Penyebutan istilah hakim komisaris (hakim pengawas) dalam RUU KUHAP

Tahun 2009 memberikan makna khusus dalam menjalankan tugasnya sebagai

pengawas upaya paksa instansi-instansi penegak hukum tersebut, sehingga

pemeriksaannya lebih serius dan khusus menekankan pada pertanggung

jawaban wewenang diskresi yang harus dipertanggung jawabkan di muka

hukum;

(42)

keberatan atas upaya paksa atau pertanggungjawaban atas kewenangan

diskresi tersebut (Pasif), akan tetapi tidak perlu bertugas secara aktif seperti

tugas komisi khusus (seperti KPK maupun KOMNAS HAM), melainkan aktif

dalam mencari dan menemukan bukti-bukti hukum untuk memutuskan

perkara pengajuan keberatan dimaksud;

4. Istilah Hakim Komisaris tidak harus ditafsirkan menurut penafsiran historis

yang telah ada pada jaman penjajahan belanda dahulu, yang mana istilah

hakim komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini pengertiannya

hendaknya hanya untuk memberikan makna khusus dalam hal pengawasan

yang dilakukan lembaga yudikatif dalam kewenangan diskresi yang dimiliki

oleh kepolisian dan kejaksaan, dan yang mungkin dapat di salah gunakan oleh

oknum para penegak hukum yang tidak bertanggung jawab maupun pihak

berkepentingan lainnya.

Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun

2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim

Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya

bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan

kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya

kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang

berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim

Komisaris didasarkan pada:

(43)

b. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111

RUU KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra

peradilan. Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau

penangguhan penahanan, begitu pula tentang penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;

c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan

rehabilitasi;

d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai

dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU

KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam

waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan;

e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan

atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding

maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra

peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah

Agung (MA) menerima;

f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN)

pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra

peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa

setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris

yang memutus seorang diri dan;

(44)

diberikan wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik

maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan (M. Yahya

Harahap, 2002: 78).

Tujuan pemerintah memunculkan Hakim Komisaris di dalam RUU KUHAP

Tahun 2009 tersebut juga telah dipublikasikan sebagaimana diberitakan dalam

Suara Karya Online (Kamis, 3 Desember 2009) yang berjudul Hakim Komisaris

Menggantikan Pra Peradilan sebagai berikut:

Perubahan penting yang terdapat di dalam Rancangan Undang-Undang

(RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah

diperkenalkannya lembaga baru,

yaitu hakim komisaris untuk

menggantikan praperadilan. Lembaga praperadilan ternyata kurang efektif

karena bersifat pasif menunggu gugatan para pihak. Andi Hamzah

mengatakan, pra peradilan bukan lembaga yang berdiri sendiri tetapi

melekat pada pengadilan negeri. Sebab, ketua pengadilan negerilah yang

menunjuk seorang hakim menjadi hakim praperadilan jika suatu

permohonan masuk ke pengadilan. Ide hakim komisaris berbeda dengan

praperadilan akan tetapi tidak sama dengan rechtercommissaris di Belanda

dan juge d'instruction di Perancis karena hakim komisaris versi RUU

KUHAP sama sekali tidak memimpin penyidikan. "Jadi merupakan

revitalisasi praperadilan yang sudah ada di dalam KUHAP," katanya. Andi

Hamzah mengatakan, hakim komisaris versi RUU KUHAP mirip dengan

lembaga baru di Italia, Giudice per le indagini preliminary (hakim

pemeriksa pendahuluan) yang tugasnya mengawasi jalannya penyidikan

dan penuntutan. Ada sebagian wewenang hakim pengadilan negeri seperti

izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan dan perpanjangan penahanan

berpindah ke hakim komisaris agar proses menjadi cepat, tidak

mengganggu hakim pengadilan negeri yang sibuk menyidangkan perkara

pidana, perdata dan sebagainya. Selain itu, lanjutnya, ada wewenang jaksa

yang berpindah ke hakim komisaris, seperti perpanjangan penahanan 40

hari berpindah ke hakim komisaris menjadi 25 hari. Sementara itu

pengajar program pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia,

Indriyanto Seno Adji mengatakan, berdasarkan Pasal 111 RUU KUHAP

Tahun 2009, hakim komisaris memiliki kewenangan yang cukup luas.

Antara lain dapat menilai perlu atau tidaknya penahanan atau sah tidaknya

penahanan berdasarkan pendekatan obyektif maupun subyektif.

(45)

dan hakim di pihak lain. Diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU

KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia

khususnya bagi terdakwa atau tersangka. Penangkapan dan penahanan yang tidak

sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan

orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik

orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap

ketentraman rumah tempat kediaman orang.

D. Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana

Istilah

criminal justice system

atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan

mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar

pendekatan sistem.

Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang

menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada

penentuan pidana. Sedangkan

Criminal justice system

adalah interkoneksi antar

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana (Anthon

F. Susanto, 2004: 91).

Menurut Mardjono, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan

yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

(46)

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi kembali kejahatannya.

Sistem peradilan pidana tersebut merupakan jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum

pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial.

Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian

hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Berbagai pandangan

mengenai sistem peradilan pidana yang berbeda dengan sudut pandang yang

berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang

menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum,

advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun

dunia (realitas) yang mereka ciptakan (Andi Hamzah, 1984: 121).

(47)

Sehubungan dengan hal tersebut, KUHAP perlu direvisi, terutama yang berkaitan

dengan mekanisme kontrol di antara sesama aparat penegak hukum dan lembaga

dalam subsistem peradilan. Pra peradilan sebagai upaya kontrol perlu diperluas

lingkupnya, misalnya terhadap indikasi adanya upaya mengulur waktu

penyelesaian perkara dapat diajukan pra peradilan. Hal ini terutama untuk perkara

yang menyita perhatian publik dan perkara korupsi (Luhut M.P. Pangaribuan,

2008: 98).

Langkah evaluasi dan reorientasi terhadap KUHAP akan membawa konsekuensi

pada langkah merevisi KUHAP. Berkenaan dengan hal itu, maka berdasarkan

inventarisasi data dan kajian, simpulan khususnya adalah dalam menghadapi

perkembangan dinamika penegakan hukum dan keadilan maka beberapa

ketentuan baru yang perlu diakomodasi oleh KUHAP sebagai

the umbrella rule,

seperti ketentuan yang berkaitan dengan aspek perlindungan hak-hak tersangka

selama tahap penyidikan, ketentuan tentang para publik untuk memonitoring

kinerja dan hasil kerja lembaga penegak hukum dalam proses peradilan pidana,

serta ketentuan yang memberikan kewenangan baru pada pejabat penegak hukum

berkaitan dengan penyelesaian perkara pra peradilan, dalam hal ini adalah

kewenangan Hakim Komisaris sebagai pengganti lembaga pra peradilan.

(48)

dan lembaga kejaksaan dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana

terpadu.

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. Irdan Dahlan. 1984.

Perbandingan KUHAP HIR dan Komentar.

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Harahap, M.Yahaya. 2002.

Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jilid 2

(Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan

Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.

Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.2003.

Kebijakan Reformasi hukum

(Suatu Rekomendasi). Komisi Hukum Nasional. Jakarta.

Loqman, Lobby. 1996. Pra Peradilan Di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Pangaribuan, Luhut M.P. 2008. Pembaharuan Hukum Acara Pidana: Surat-surat

Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Djambatan. Jakarta.

Sasangka, Hari dan Lily Rosita . 2003.

Komentar KUHAP. Mandar Maju.

Bandung.

Susanto, Anthon F. 2004.

Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial Tentang

Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan

Pidana) . Reflika Aditama. Bandung.

Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005.

Pembaharuan Hukum Acara Pidana.

Citra Aditya. Bandung.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU

KUHAP) Tahun 2009.

Koran Sindo (27/11/2009) yang berjudul Lembaga Baru Kontrol Aparat Penegak

Hukum.

(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

secara yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

melihat dan menelaah kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang diatur dalam

RUU KUHAP Tahun 2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan yang

memiliki kewenangan cukup luas. Selain itu juga dengan melihat literatur-literatur

ilmu hukum dan artikel yang berhubungan dengan pokok bahasan.

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum

primer, sekunder dan tersier (Soerjono Soekanto, 1986: 52). Berikut adalah uraian

mengenai bahan hukum tersebut:

1. Bahan Hukum Primer

(51)

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan RUU KUHAP Tahun 2009.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang adalah bahan-bahan yang

memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Di dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum tersier

adalah bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan pra peradilan dan

Hakim Komisaris, Makalah seminar nasional tentang Hakim Komisaris dalam

RUU KUHAP Tahun 2009, buku-buku ilmu hukum, maupun literatur lainnya

serta pencarian data penunjang melalui internet.

C. Penentuan Narasumber

(52)

D. Prosedur Pegumpulan dan Pengolahan Data

1. Pegumpulan Data

Penulisan dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka

dan studi literatur.

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari peraturan

perundang-undangan dan literatur hukum yang berkaitan dengan pra peradilan dan Hakim

Komisaris, khususnya KUHAP, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

tentang pelaksanaan KUHAP dan RUU KUHAP Tahun 2009. Hal ini

Gambar

Tabel 1: Perbandingan kewenangan antara Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris, dapat digambarkan seperti tabel di bawah ini:

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Beck (Davidson dan Neale, 2003) mendefinisikan depresi ke dalam lima gejala yaitu merasa sedih dan menunjukkan suasana hati apatis, memperlihatkan konsep diri

Pertumbuhan miselium pada serbuk gergaji kayu mangium tersebut cenderung lambat dibandingkan dengan pertumbuhan miselium HHBI-333 yang telah merata pada minggu ketiga (17

Persentase pengguna layanan yang merasa puas terhadap pemenuhan sarana dan prasarana BPS Seksi Tata Usaha Survei Kebutuha n Data Survei Kepuasan Konsumen Survei

Namun, tulisan ini tidak melibatkan penyair, sosial, dan budayanya secara khusus, kajian ini hanya terfokus pada aspek tema, seperti tema cita-cita merdeka, keagamaan,

Analisis Koreografi Tari Pakarena Ma’lino Produksi Lembaga Kesenian Batara Gowa Di Makassar, Skripsi Fakultas Seni dan Desain Universitas Negeri Makassar (UNM). Penelitian

The theories underlying the study are language and culture; language function, choice of words, language style in relation with the social context; dialect and

Siswa melakukan percakapan Bahasa Arab menggunakan Wayang dengan mengorganisasikan ide-ide menggunakan pokok-pokok kalimat yang diberikan oleh guru, lalu dirangkai secara bebas