ABSTRAK
ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI HAKIM KOMISARIS DALAM
RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA
Oleh
DWI NURAHMAN
Pra peradilan yang selama ini telah diatur dalam KUHAP menuai banyak kritikan
dari praktisi hukum. Di dalam prakteknya, ternyata pra peradilan kurang
memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya tersangka dalam
proses peradilan pidana. Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah
membuat suatu Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU KUHAP) yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan
dengan Hakim Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim
Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses
pemidanan dan menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara
petugas penyidik dari instansi yang berbeda. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah Apakah alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009? Dan Apakah akibat hukum dari
penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka
selama tahap penyidikan dan upaya khusus yang dapat dilakukan apabila Hakim
Komisaris berhalangan?
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif.
yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara melihat dan menelaah
kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang diatur dalam RUU KUHAP Tahun
2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan. Adapun data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan
pustaka, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang
kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu
kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari
penelitian.
KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia
khususnya bagi terdakwa atau tersangka dalam proses peradilan pidana terhadap
tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari
terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi
yang berbeda. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak tersangka selama tahap
penyidikan sebagaimana dijelaskan dalam ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j)
RUU KUHAP Tahun 2009, maka sebagai akibat hukumnya adalah penyidik dapat
dikenakan sanksi yuridis dan sanksi khusus dari instansinya dan segera
memerintahkan pelepasan tahanan dalam kondisi aman. Upaya khusus yang dapat
dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan hadir atau tidak dapat
menjalankan tugasnya adalah staf ahli yang membantu kinerja Hakim Komisaris
dapat meminta pertimbangan, petunjuk dan konsultasi hukum terhadap perkara
yang akan diputus. Jadi pada dasarnya putusan itu sudah disusun oleh staf ahlinya,
tinggal membaca putusan tersebut. Putusan tersebut dapat dibacakan oleh staf ahli
ataupun oleh wakil ketua Pengadilan Negeri berdasarkan ketentuan dan prosedural
yang berlaku.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum
Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun
pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena
aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie) (Andi Hamzah, 2006: 3).
Sejarah masa lalu Indonesia dalam penyeleggaraan peradilan pidana yang
berbasis pada hukum Eropa Kontinental tersebut berpedoman pada Het Herziene
Inlandsch Reglement (HIR). Dasar hukum tersebut diberlakukan sebagai pedoman
tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan di seluruh
wilayah Republik Indonesia (Andi Hamzah, 2006: 14).
Nomor 8 Tahun 1981 atau dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau KUHAP (Andi Hamzah, 2006: 22).
Proses pelaksanaan hukum pidana di masa sekarang ini erat hubungannya dengan
masalah peradilan yang dalam pelaksanaannya harus menggunakan hukum acara
pidana, karena hukum acara pidana mengatur hak-hak seseorang serta wewenang
aparat penegak hukum apabila tersangkut dalam perkara pidana seperti
penangkapan, penahanan dan penuntutan.
Sehubungan dengan perkara pidana tersebut, peristiwa penangkapan, penahanan
dan penuntutan adalah suatu peristiwa yang luar biasa, oleh sebab itu setiap
penangkapan, penahanan dan penuntutan harus tunduk kepada perlindungan
hak-hak asasi manusia seperti menghormati harkat dan martabat manusia, hak-hak
kemerdekaan diri, keadilan dan aturan undang-undang. Sehingga masalah hak
asasi manusia yang berhubungan dengan penangkapan, penahanan dan penuntutan
perlu mendapat perhatian kita semua terutama oleh aparat penegak hukum agar
tidak menyalahgunakan wewenang yang telah diberikan dalam menjalankan
tugasnya.
mencerminkan penegakan hukum (the rule of law) yang melindungi hak-hak asasi
manusia di Indonesia (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).
KUHAP ini lah yang hadir menggantikan
Het Herziene Inlandsch Reglement
(HIR) sebagai payung hukum acara di Indonesia. Kehadiran KUHAP (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dimaksudkan oleh pembuat
undang-undang untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak
sejalan dengan penegakan hak asasi manusia di bawah aturan HIR, sekaligus
memberi legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela
kepentingannya di dalam proses hukum. Oleh karena itu, hukum acara pidana
nasional, wajib didasarkan pada falsafah / pandangan hidup bangsa dan dasar
negara (pancasila), maka sudah seharusnya diketentuan materi pasal atau ayat
tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warganegara
(Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 3).
Salah satu manifestasi perlindungan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam
KUHAP adalah adanya lembaga pra peradilan untuk setiap warga negara yang
ditangkap, ditahan dan dituntut tanpa alasan yang sah (cukup) berdasarkan
ketentuan undang-undang.
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui salah satu tujuan
dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan perlindungan kepada
tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan maupun penuntutan,
perkosaan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh mungkin dapat dihindari
seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya, disamping itu juga
menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence)
sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 yang menyatakan bahwa
“Setiap orang yang
disangka, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib
dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
peradilan kurang memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan khususnya
tersangka dalam proses peradilan pidana (Oemar Seno Adji, 1984: 64).
Sehubungan dengan hal itu, pemerintah dan DPR telah membuat suatu Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP)
yang salah satu isinya mengganti lembaga pra peradilan dengan Hakim
Komisaris. Latar belakang yang mendasari munculnya Hakim Komisaris adalah
untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses pemidanan dan
menghindari terjadinya kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik
dari instansi yang berbeda. Pristiwa penangkapan dan penahanan yang tidak sah
merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan
orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang.
Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris yang sebagaimana termuat di dalam RUU
KUHAP Tahun 2009 memang mempunyai kewenangan eksekutif. Kebijakan
formulasi Hakim Komisaris itu sendiri adalah sesuatu yang menjadi garis besar
dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang
ditetapakan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu
permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara. Sedangkan
kewenangan eksekutif dari Hakim Komisaris yaitu melakukan suatu
konsultasi-konsultasi hukum kepada penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya
paksa pada penyidikan dan penuntutan.
Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun
2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim
Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya
bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya
kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang
berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim
Komisaris didasarkan pada:
a. Sidang pra peradilan dilakukan apabila ada tuntutan dari pihak-pihak yang
berhak. Jadi, tidak ada sidang pra peradilan tanpa adanya tuntutan dari
pihak-pihak yang berhak memohon pemeriksaan pra peradilan;
c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan
rehabilitasi;
d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai
dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU
KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam
waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan;
e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan
atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding
maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra
peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah
Agung (MA) menerima;
f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra
peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa
setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris
yang memutus seorang diri dan;
g. Hakim Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai
pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap penyidikan. Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki
tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya
bagi terdakwa atau tersangka. (www.legalitas.org, 02 Desember 2009, 20:30).
Hal-hal tersebut adalah faktor-faktor yang menjadi dasar bahwa pemerintah
mengganti lembaga pra peradilan dengan memunculkan kebijakan formulasi
Hakim Komisaris di RUU KUHAP Tahun 2009 dalam rangka penyempurnaan
Hukum Acara Pidana kita di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji secara yuridis
normatif analisis tentang kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang ada dalam
RUU KUHAP Tahun 2009.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan
penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul
“
Analisis
Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris Dalam Rancangan Undang-Undang
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009?
b. Apakah akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang
pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap penyidikan dan upaya khusus
yang dapat dilakukan apabila Hakim Komisaris berhalangan?
2. Ruang Lingkup
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
a.
Untuk mengetahui alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi
Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009.
b.
Untuk mengetahui akibat hukum dari penetapan dan putusan Hakim
Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka selama tahap
penyidikan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi apabila
Hakim Komisaris berhalangan dalam menyelesaikan suatu perkara.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan
kegunaan praktis:
a. Kegunaan Teoritis
b. Kegunaan Praktis
Diharapkan hasil penulisan skripsi ini dapat berguna bagi masyarakat dan bagi
aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum
khususnya ilmu hukum acara pidana dan juga dapat bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya
untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai
masukan dalam rangka merevisi KUHAP.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti
(Soerjono Soekanto,1986: 125).
Adapun teori-teori yang berkaitan dalam penelitian ini adalah mencakup teori
kebijakan formulasi (formula policy), teori tentang hak asasi manusia, dan teori
aplikasi.
mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu
negara (Andi Hamzah, 2006: 334).
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan revisi terhadap
KUHAP adalah merupakan suatu wujud dari penegakan hukum di Indonesia.
Garis besar penegakan hukum adalah terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir,
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup
(Andi Hamzah, 2006: 340).
Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111 RUU
KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra peradilan.
Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau penangguhan penahanan,
begitu pula tentang penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang
tidak berdasarkan asas oportunitas, Hakim Komisaris juga memutus atau
menetapkan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi, diatur tentang pembatasan
waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai dengan asas peradilan cepat
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU KUHAP Tahun 2009 bahwa
Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari
terhitung sejak menerima permohonan, ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU
KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan atau penetapan Hakim Komisaris tidak
dapat diajukan upaya hukum banding maupun kasasi (Andi Hamzah, 2006: 361).
perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka
(Andi Hamzah, 2006: 387).
Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
berkehendak untuk menegakkan keadilan kepada semua warga negaranya tanpa
kecuali. Namun demikian dalam pelaksanaan penegakan hukum khususnya
hukum pidana kadang dijumpai kesalahan-kesalahan, seperti lembaga kepolisisan
sebagai pintu gerbang untuk memperoleh keadilan namun dalam penangkapan
atau penahanan seseorang ternyata salah tangkap atau salah tahan, atau dalam
rangka penyidikan lembaga kejaksaan dalam menahan seseorang kelebihan waktu
penahanan atau mungkin sebagai benteng terakhir lembaga pengadilan salah
dalam memutus perkara (www.hukumonline.com, 03 Desember 2009, 09:45).
Hak asasi manusia secara teoritis dapat diartikan sebagai seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. (Andi Hamzah,
2006: 4).
dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang
diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ini menjadi hal yang sangat penting sebab apabila setiap tersangka
mengerti akan hak serta kewajiban sebagai subyek hukum maka hal tersebut dapat
memperkecil kemungkinan diri seseorang menjadi korban akibat
keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum. Akibat dari
keasalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum tersebut,
maka untuk memproleh kepastian dan menghindari kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum dibuatlah KUHAP. KUHAP mengatur lembaga pra peradilan
yang tujuannya untuk mengawasi apabila terjadi perkosaan terhadap hak-hak asasi
manusia dalam melaksanakan proses hukum, seperti salah tangkap, salah tahan,
penghentian penyidikan dan lain sebagainya (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana,
2005: 70).
Hal terpenting dari kewenangan Hakim Komisaris dalam kaitannya dengan hak
tersangka yang juga sebagai hak asasi manusia adalah dalam hal Hakim
Komisaris dapat memberikan penetapan atau putusan mengenai pelanggaran
terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap penyidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa Hakim Komisaris memiliki tujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya bagi terdakwa atau tersangka.
Secara teoritis, aplikasi Hakim Komisaris dapat diartikan sebagai bentuk
penerapan lembaga khusus atau merupakan institusi baru dalam RUU KUHAP
Tahun 2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan di Indonesia guna
mewujudkan pembaharuan dalam hukum acara pidana yang berkeadilan
(T. Gayus Lumbuun, 2007: 2).
Istilah Hakim Komisaris yang diaplikasikan atau diterapkan dalam RUU KUHAP
Tahun 2009 memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk
melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa (dwang middelen), bertindak
secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa,
menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa
antara polisi dan jaksa, serta memiliki wewenang mengambil keputusan atas
keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan
(T. Gayus Lumbuun, 2007: 4).
serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan orang. Penyitaan yang tidak
sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan
yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketentraman rumah tempat
kediaman orang. Lembaga Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU
KUHAP Tahun 2009 ini kedudukannya terletak di antara penyidik dan penuntut
umum di satu sisi dan hakim di pihak lain (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana,
2005: 81).
Wewenang Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini terdapat pada
BAB IX Pasal 111 yang isinya:
(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti;
e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau
ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang
disita secara tidak sah;
f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi
oleh pengacara;
g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke
pengadilan.
j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap Penyidikan.
(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 111 Ayat (1) huruf (j) tersebut terkait dalam hal
hak-hak tersangka. Hal ini harus diperhatikan pula akibat hukum dalam
wewenangnya menetapkan atau memutuskan pelanggaran terhadap hak-hak
tersangka selama tahap penyidikan. Aplikasi Hakim Komisaris dalam RUU
KUHAP Tahun 2009 ini memiliki wewenang dalam memberikan penetapan atau
putusan mengenai pelanggaran terhadap hak-hak tersangka selama tahap
penyidikan, namun akibat hukum dari wewenang tersebut tidak dijelaskan secara
terperinci.
Berdasarkan ketentuan umum dalam RUU KUHAP Tahun 2009 telah dijelaskan
bahwa Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya
Penyidikan dan Penuntutan, dan wewenang lain yang ditentuan dalam
Undang-Undang (RUU KUHAP Tahun 2009). Melihat tugas dan wewenangnya, Hakim
Komisaris memiliki kewenangan yang cukup luas.
Prosedur beracara diatur dalam ketentuan Pasal 112 sampai Pasal 114 RUU
KUHAP Tahun 2009. Pasal 112 menyatakan bahwa:
(1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua)
hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 ayat (2).
(2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil
penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau
catatan lainnya yang relevan.
(4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah
sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda
proses Penyidikan.
Ketentuan pada Pasal 112 Ayat (1) RUU KUHAP Tahun 2009 tersebut dijelaskan
bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2
(dua) hari terhitung sejak menerima permohonan, hal ini menunjukkan bahwa
waktu dibutuhkan oleh Hakim Komisaris dalam memberikan putusan atau
penetapan relatif sangat singkat, sehingga apabila seorang Hakim Komisaris tidak
dapat menjalankan tugasnya atau berhalangan maka harus dilakukan upaya atau
kebijakan dalam menyelesaikan suatu perkara. Mengenai Hakim Komisaris yang
tidak mampu menjalankan tugasnya atau berhalangan hadir harus dijelaskan lebih
lanjut dalam RUU KUHAP Tahun 2009, namun dalam formulasinya tidak diatur
tentang upaya yang dilakukan jika seorang Hakim Komisaris berhalangan atau
tidak dapat menjalankan tugasnya. Ini merupakan salah satu kelemahan yang
terdapat dalam RUU KUHAP Tahun 2009 yang harus dikaji lebih dalam dan
harus segera diperbaiki.
Pasal 113 menyatakan bahwa:
(1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar
hukum dan alasannya.
(2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak
sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing
harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.
(3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak
sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau
diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak
kecuali terhadap benda yang terlarang.
(5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan
tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian
dan/atau rehabilitasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 114 menyatakan bahwa:
(1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian
atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima
permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;
b. Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, Penyidik, atau
Penuntut Umum;
c. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah
memberikan putusan.
(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan negeri, permohonan ganti
kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).
Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
a. Analisis
Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan
analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).
b. Kebijakan Formulasi
Kebijakan formulasi (formula policy) adalah sesuatu yang menjadi garis besar
dan dasar rencana atau arah tindakan yang memilki maksud dan tujuan yang
ditetapakan oleh suatu lembaga yang berwenang dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan dalam pemerintahan serta dalam mengatasi suatu
permasalahan atau suatu perubahan atau pembaharuan di suatu negara
(M. Marwan, 2009: 334).
c. Hakim Komisaris
menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang
ditentukan dalam undang-undang ini (www.legalitas.org/draft RUU KUHAP
2009, 02 Desember 2009, 20:30).
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan
dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika
penulisannya sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari
uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya,
tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta
menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan
tentang tujuan diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun
2009 sebagai wujud kebijakan pemerintah dalam rangka penegakkan hukum di
Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP tahun 2009, serta kebijakan formulasi
Hakim Komisaris dalam sistem peradilan pidana.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur
pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung
dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk
mengetahui alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim
Komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009, dan untuk mengetahui upaya yang
dapat dilakukan untuk mengatasi apabila Hakim Komisaris berhalangan dalam
menyelesaikan suatu perkara, serta untuk mengetahui akibat hukum dari
penetapan dan putusan Hakim Komisaris tentang pelanggaran hak-hak tersangka
selama tahap penyidikan.
V. PENUTUP
Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa
kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah
dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Adji, Oemar Seno.1984.
Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi. Erlangga.
Jakarta.
Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Harahap, M.Yahaya. 2002.
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Jilid 2
(Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan
Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.
Lumbuun, T. Gayus. 2007.
Makalah Seminar Nasional Revisi KUHAP Dalam
Perspektif Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Berkeadilan.
Semnas Hima Pidana. Bandar Lampung.
Marwan, M. 2009.
Rangkuman Istilah dan Pengertian Dalam Hukum. Reality
Publisher. Surabaya.
Sasangka, Hari. dan Lily Rosita. 2003.
Komentar KUHAP. Mandar Maju.
Bandung.
Soerjono, Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.
Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana.
Citra Aditya. Bandung.
Tim Penyusun Kamus.
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU
KUHAP) Tahun 2009.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Perbandingan Pra Peradilan dengan Hakim Komisaris
1. Pra Peradilan
Hak atas kemerdekaan, keamanan dan juga hak untuk memperoleh keadilan
merupakan hak asasi bagi setiap orang sebagaimana dengan tegas dinyatakan
dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tanggal 12 Desember 1948.
Hak yang demikian juga harus dapat dinikmati oleh setiap orang sekalipun orang
itu baik sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa ataupun narapidana yang
bertempat tinggal di dalam Negara Republik Indonesia dengan didasari oleh
jaminan hukum yang tegas bagi mereka untuk menikmati haknya tersebut.
1. Asas equality before the law
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak
membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama,
golongan, dan sebagainya.
2. Asas legalitas dalam upaya paksa
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan harus dengan perintah
tertulis oleh pejabat yang berwenang dan dengan cara sebagaimana yang diatur
dalam undang-undang.
3. Asas presumption of innocence
Setiap orang yang disangka, ditangkap ditahan dan/atau dituntut dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum
tetap.
4. Asas remedy and rehabilitation
Ganti kerugian dan rahabilitasi bagi seseorang yang ditangkap, ditahan,
dituntut atau diadili tanpa alasan yang sah, atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan, dan konsekuensi sanksi bagi pejabat
penegak hukum yang dengan sengaja melakukan kelalaian tersebut.
5. Asas fair, impartial, impersonal and objective
Peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan, serta bebas, jujur dan tidak
memihak.
6. Asas legal assistance
7. Asas miranda rule
Pemberitahuan yang jelas mengenai dakwaan terhadap terdakwa dan hak-hak
yang dimiliki tersangka/terdakwa.
8. Asas presentasi
Pelaksanaan pengadilan dengan hadirnya terdakwa.
9. Asas keterbukaan
Sidang terbuka untuk umum.
10. Asas pengawasan
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana (Luhut
M.P. Pangaribuan, 2006:3).
Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa ”ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti
kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam
undang-undang”. Sebagai wujud nyata dari pasal ini di dalam KUHAP BAB X Bagian
Kesatu telah diatur mengenai Pra Peradilan yang salah satu kewenangannya
menangani masalah ganti kerugian dan rehabilitasi sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 9 Ayat (3) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Lembaga Pra Peradilan merupakan wewenang pengadilan negeri, hal ini
ditegaskan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang memiliki ketentuan sebagai
berikut:
Pra peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 adalah
diantaranya:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tesangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP ini berarti bahwa lembaga pra peradilan
dalam dunia penegakan hukum di negara kita selain untuk melindungi hak-hak
asasi manusia khususnya dalam bidang peradilan juga mengadakan pengawasan
terhadap praktek pemeriksaan perkara pidana khususnya pemeriksaan pada
tingkat penyidikan dan penuntutan, yang berarti dapat dilakukan sebelum perkara
pokoknya disidangkan oleh pengadilan negeri.
dimaksudkan untuk pengawasan penggunaan upaya-upaya paksa oleh aparat
penegak hukum fungsional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan. Lembaga pra
peradilan ini dimaksudkan sebagai wewenang dari pengadilan sebelum memeriksa
pokok perkara.
2. Hakim Komisaris
Menurut Fre Le Poole Griffith dan O. W. Mueller bahwa Amerika Serikat
mempergunakan
Commisioner,
yaitu pejabat pengadilan yang melakukan
pengawasan terhadap pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh penyidik
polisi terhadap tersangka. Tugas
Commisioner ini adalah untuk memastikan
apakah sudah cukup syarat untuk memberikan polisi izin hakim untuk melakukan
penahanan atau untuk melakukan penggeledahan.
Hakim
Commisioner inilah yang memberitahukan hak-hak seseorang yang
disangka melakukan kejahatan, seperti haknya untuk diam, haknya untuk
didampingi oleh penasehat hukum dan lain sebagainya. Hakim
Commisioner di
Amerika Serikat melakukan pengawasan dengan mempergunakan dua (2) cara,
yaitu pertama adalah menerapkan hukum pembuktian (exclusionary rule), kedua
adalah menerapkan prinsip
Habeas Corpus (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan,
1984: 103).
untuk dihadapkan kepada Hakim Komisaris dalam waktu satu hari (24 jam) (Andi
Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 105).
Hakim Komisaris inilah yang memeriksa alat-alat bukti yang telah dikumpulkan
oleh polisi apakah cukup sah untuk menimbulkan dugaan yang keras bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana yang menyakinkan hakim si tersangkalah yang
melakukannya (Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1984: 111).
Negara Belanda yang menggunakan sitem Eropa ini tidak menimbulkan
kekhawatiran bahwa diskresi yang diberikan kepada penyidik/jaksa untuk
melakukan penahanan berdasarkan rasa kekhawatiran saja karena ada sistem
pengawasan yang ketat oleh Eropa Tengah memberikan peranan
rechter
commissaris suatu posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani
upaya paksa seperti penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, penggeledahan
rumah dan pemeriksaan surat-surat (Oemar Seno Adji, 1984: 88).
Saat ini, pra peradilan dipertanyakan kembali keefektifannya dan dibandingkan
dengan kenyataan bahwa penerapan pra peradilan menimbulkan banyak
ketidakpuasan, seperti:
b. Sudah bukan rahasia lagi, apabila seorang tersangka dalam tingkat penyidikan
selalu mengalami tindak kekerasan. Hal ini jelas bertentangan dengan hak asasi
manusia yaitu hak untuk tidak disiksa. Bahkan, KUHAP menganut asas
presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah) yang artinya setiap
orang yang disangka, ditangkap, dituntut dan diadili wajib dianggap tidak
bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan kesalahannya. Dengan adanya kekerasan dalam tingkat
penyidikan jelas tidak menghormati asas praduga tidak bersalah, yang berarti
dengan siksaan tersebut menganggap tersangka sudah bersalah.
c. Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding kecuali mengenai tidak
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Tetapi dalam prakteknya,
ternyata putusan pra peradilan yang tidak dapat dimintakan banding dapat
diajukan kasasi. Salah satu contohnya adalah pra peradilan dalam kasus
Ginandjar Kartasasmita yang bahkan dalam putusannya Mahkamah Agung
(MA) mengabulkan permohonan kasasi.
d. Pra peradilan tidak menjelaskan apakah LSM atau Organisasi Non Pemerintah
(ORNOP) yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat umum dapat
mengajukan pra peradilan secara
class action, mengingat beberapa waktu yang
lalu
Indonesian Corruption Wacht
(ICW) pernah mengajukan pra peradilan
terhadap Kejaksaan Agung yang menghentikan penyidikan terhadap beberapa
kasus korupsi (Al. Wisnubroto dan G. Widiartana, 2005: 79).
peradilan dengan Hakim Komisaris sebagaimana termuat dalam Koran Sindo
(27/11/2009) yang berjudul Lembaga Baru Kontrol Aparat Penegak Hukum yang
berbunyi sebagai berikut:
Draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (RUU KUHAP) akan memunculkan satu lembaga baru yang akan
menjadi hakim komisaris. Pembentukan hakim komisaris itu nanti
difungsikan untuk mengontrol aparat penegak hukum dalam melakukan
tugas. ”Pembentukan lembaga hakim komisaris ini untuk menggantikan
lembaga pra peradilan saat ini,”
kata anggota perumus RUU KUHAP yang
juga pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Teuku Nasrullah saat
debat publik RUU KUHAP di Departemen Hukum dan HAM
(Depkumham).Hakim komisaris tersebut nanti yang menentukan apakah
proses yang dilakukan penyidik sudah benar atau belum hingga dapat
diajukan ke persidangan atau tidak. Dengan adanya hakim komisaris
tersebut, diharapkan kinerja aparat penegak hukum akan menjadi lebih
baik. ”Dengan
adanya hakim komisaris, penegak hukum yang melakukan
penyelidikan perkara tidak lagi bisa bekerja seenaknya,”ungkap dia dalam
RUU KUHAP dijelaskan, jabatan hakim komisaris diseleksi di pengadilan
tinggi. Hakim komisaris tersebut nanti dipilih dari hakim pengadilan
negeri di pengadilan tinggi pada wilayah bersangkutan. Hakim komisaris
tersebut bertugas dalam waktu dua tahun. Sesudah dua tahun bertugas,
hakim komisaris akan dikembalikan ke pengadilan negeri tempat dia
bertugas sebelumnya. Menteri hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis
Akbar mengatakan, hasil draf RUU KUHAP Tahun 2009 rencananya akan
diajukan kepada publik agar bisa diperdebatkan dihadapan akademisi atau
praktisi. ”Deb
at kali ini hanya debat awal yang akan berlanjut dengan
debat-debat setelah diuji publik nanti,” ujar dia. Setelah itu, lanjut Patrialis
Akbar, pihak perumus akan mempresentasikan di hadapan kabinet serta di
berikan kepada DPR. Senada dengan Patrialis Akbar, ketua Tim Perumus
RUU KUHAP Andi Hamzah mengatakan, DPR yang nantinya akan
menjadi penentu draf RUU KUHAP tersebut.
Adapun ketentuan Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:
(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti;
e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau
ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang
disita secara tidak sah;
f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi
oleh pengacara;
g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke
pengadilan.
j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap Penyidikan.
(2)
Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh
tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali
ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.
(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i.
Mengenai syarat untuk diangkat menjadi Hakim Komisaris diatur dalam BAB IX
Bagian Ketiga Pasal 115. Adapun bunyi Pasal 115 RUU KUHAP Tahun 2009
yaitu:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim komisaris, seorang hakim harus memenuhi
syarat :
a. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi;
b. Bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun;
c. Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya
57 (lima puluh tujuh) tahun; dan
d. Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.
Menurut Andi Hamzah (2009: 5) selaku Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP
Tahun 2009 mengusulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris
bukan saja dari kalangan hakim tetapi juga mengusulkan agar orang yang non
hakim tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa
senior, advokat senior dan dosen hukum pidana senior dapat diangkat menjadi
hakim komisaris. Tentunya hal ini melalui proses tertentu seperti
fit and proper
test. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan
pemberhentian Hakim Komisaris diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP),
sebagaimana
diatur
dalam
Pasal
120
RUU
KUHAP
Tahun
2009
(www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30).
satu kali masa jabatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 116 RUU KUHAP
Tahun 2009, yaitu:
(1) Hakim komisaris diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul ketua
pengadilan Tinggi yang daerah hukumnya meliputi pengadilan negeri
setempat.
(2) Hakim komisaris diangkat untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun dan dapat
diangkat kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Selanjutnya dalam Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009 diatur bahwa:
(1) Hakim komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara.
(2) Hakim komisaris merupakan hakim tunggal, memeriksa, menetapkan, atau
memutus karena jabatannya seorang diri.
(3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim komisaris dibantu oleh seorang panitera
dan beberapa orang staf sekretariat.
B. Kompetensi Hakim Komisaris
Hakim Komisaris menurut RUU KUHAP Tahun 2009 memiliki kewenangan
yang lebih luas dari Praperadilan. Menurut Pasal 111 RUU KUHAP Tahun 2009
Hakim Komisaris memiliki tugas dan kewenangan untuk menentukan perlu
tidaknya diteruskan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut
Umum, menentukan perlu tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan yang
dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan perlu tidaknya
pencabutan atas penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh
Penyidik atau Penuntut Umum, menentukan sah atau tidaknya suatu penyitaan,
penggeledahan tempat tinggal atau tempat yang lain yang bukan menjadi milik
Tersangka, memerintahkan Penyidik atau Penuntut Umum membebaskan
tersangka atau terdakwa dari tahanan sebelum berakhir masa penahanan tersebut,
jika terdapat dugaan kuat adanya penyiksaan atau kekerasan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.
Tugas dan wewenang Hakim Komisaris tersebut dilakukan dengan permohonan
atau tanpa permohonan oleh tersangka atau terdakwa, keluarga, atau kuasanya
kepada Hakim Komisaris. Dengan demikian tindakan Hakim Komisaris di tahap
pemeriksaan pendahuluan bersifat aktif, dan berfungsi baik sebagai
examinating
judge maupun investigating judge (Luhut M.P Pangaribuan, 2008: 68).
(1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan :
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan,
atau penyadapan;
b. Pembatalan atau penangguhan penahanan;
c. Bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
d. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti;
e. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau
ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang
disita secara tidak sah;
f. Tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi
oleh pengacara;
g. Bahwa Penyidikan atau Penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang
tidak sah;
h. Penghentian Penyidikan atau penghentian Penuntutan yang tidak
berdasarkan asas oportunitas;
i. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan Penuntutan ke
pengadilan.
j. Pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama
tahap Penyidikan.
(2)
Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali
ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh Penuntut Umum.
(3) Hakim Komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf i.
Mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris diatur
dalam Pasal 115 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:
a. Memiliki kapabilitas dan integritas moral yang tinggi;
b. Bertugas sebagai hakim di pengadilan negeri sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun;
c. Berusia serendah-rendahnya 35 (tiga puluh lima) tahun dan setinggi-tingginya
57 (lima puluh tujuh) tahun; dan
d. Berpangkat serendah-rendahnya golongan III/c.
Mengenai hal beracara Hakim Komisaris diatur dalam BAB IX Bagin Kedua dari
Pasal 112 sampai Pasal 114 RUU KUHAP Tahun 2009, yaitu:
Pasal 112:
(1) Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua)
hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 111 ayat (2).
(2) Hakim Komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil
penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau
catatan lainnya yang relevan.
(3) Hakim Komisaris dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat
hukumnya, penyidik, atau penuntut umum.
(4) Apabila diperlukan, Hakim Komisaris dapat meminta keterangan dibawah
sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda
proses Penyidikan.
Pasal 113:
(1) Putusan dan penetapan Hakim Komisaris harus memuat dengan jelas dasar
hukum dan alasannya.
(2) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak
sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing
harus mengeluarkan tersangka dari tahanan.
(3) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak
sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau
diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak
kecuali terhadap benda yang terlarang.
(5) Dalam hal Hakim Komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan
tidak sah, Hakim Komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian
dan/atau rehabilitasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau
rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 114 menyatakan bahwa:
(1) Hakim Komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian
atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima
permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan;
b. Sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, Penyidik, atau
Penuntut Umum;
c. Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah
memberikan putusan.
(2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh Pengadilan negeri, permohonan ganti
kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada Hakim Komisaris.
Menurut Andi Hamzah selaku Ketua Tim Penyusun RUU KUHAP Tahun 2009
mengusulkan bahwa untuk dapat diangkat menjadi Hakim Komisaris bukan saja
dari kalangan hakim tetapi juga mengusulkan agar orang-orang yang non hakim
tetapi menguasai hukum acara pidana dan hukum pidana, seperti jaksa senior,
advokat senior dan dosen hukum pidana senior. Selanjutnya, ketentuan mengenai
syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim Komisaris diatur
dengan Peraturan Pemerintah (www.legalitas.org, 03 Desember 2009, 20:30).
Kompetensi lain mengenai Hakim Komisaris ini adalah dalam hal putusan atau
penetapan Hakim Komisaris dipertagas dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun
2009 yang menyatakan bahwa “Penetapan atau putusan Hakim Komisaris tidak
putusan dalam pra peradilan yang dapat diajukan banding dalam hal penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
C. Tujuan Diformulasikannya Hakim Komisaris Dalam RUU KUHAP
Tahun 2009
Keberadaan Hakim Komisaris yang diformulasikan dalam RUU KUHAP Tahun
2009 tetap diperlukan dan tidak akan menjadi masalah apabila konsep maupun
keberadaannya dibedakan dengan Hakim Komisaris jaman penjajahan belanda
dahulu, dengan alasan sebagai berikut:
1. Lembaga praperadilan yang ada sekarang keberadaannya dibawah pengadilan
negeri, yang mana hakim yang memeriksa dan memutuskannya adalah hakim
yang tidak khusus menangani masalah upaya paksa oleh kepolisian maupun
kejaksaan dimaksud, melainkan hakim umum yang ditugaskan untuk sekedar
menegakan sedikit HAM dan tidak perlu mendalami lebih jauh makna asas
praduga tak bersalah karena hal tersebut dapat di periksa kembali ketika
perkara di ajukan kepengadilan oleh kejaksaan ataupun dengan alasan bahwa
hal tersebut merupakan kewenangan diskresi kepolisian dan kejaksaan;
2. Penyebutan istilah hakim komisaris (hakim pengawas) dalam RUU KUHAP
Tahun 2009 memberikan makna khusus dalam menjalankan tugasnya sebagai
pengawas upaya paksa instansi-instansi penegak hukum tersebut, sehingga
pemeriksaannya lebih serius dan khusus menekankan pada pertanggung
jawaban wewenang diskresi yang harus dipertanggung jawabkan di muka
hukum;
keberatan atas upaya paksa atau pertanggungjawaban atas kewenangan
diskresi tersebut (Pasif), akan tetapi tidak perlu bertugas secara aktif seperti
tugas komisi khusus (seperti KPK maupun KOMNAS HAM), melainkan aktif
dalam mencari dan menemukan bukti-bukti hukum untuk memutuskan
perkara pengajuan keberatan dimaksud;
4. Istilah Hakim Komisaris tidak harus ditafsirkan menurut penafsiran historis
yang telah ada pada jaman penjajahan belanda dahulu, yang mana istilah
hakim komisaris dalam RUU KUHAP Tahun 2009 ini pengertiannya
hendaknya hanya untuk memberikan makna khusus dalam hal pengawasan
yang dilakukan lembaga yudikatif dalam kewenangan diskresi yang dimiliki
oleh kepolisian dan kejaksaan, dan yang mungkin dapat di salah gunakan oleh
oknum para penegak hukum yang tidak bertanggung jawab maupun pihak
berkepentingan lainnya.
Menurut Andi Hamzah (2009: 4) selaku ketua tim penyusun RUU KUHAP Tahun
2009 menyebutkan alasan utama digantinya lembaga pra peradilan dengan Hakim
Komisaris adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia khususnya
bagi terdakwa atau tersangka dalam proses pemidanaan terhadap tindakan
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan menghindari terjadinya
kemacetan oleh timbulnya selisih antara petugas penyidik dari instansi yang
berbeda, sedangkan alasan khusus dimunculkannya kebijakan formulasi Hakim
Komisaris didasarkan pada:
b. Wewenang Hakim Komisaris yang tercantum di dalam BAB IX Pasal 111
RUU KUHAP Tahun 2009 jelas lebih luas dari pada wewenang hakim pra
peradilan. Bukan saja tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, penyadapan, tetapi juga pembatalan atau
penangguhan penahanan, begitu pula tentang penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
c. Hakim Komisaris juga memutus atau menetapkan tentang ganti kerugian dan
rehabilitasi;
d. Diatur tentang pembatasan waktu pemeriksaan oleh hakim komisaris sesuai
dengan asas peradilan cepat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 112 RUU
KUHAP Tahun 2009 bahwa Hakim Komisaris memberikan keputusan dalam
waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan;
e. Ditegaskan pula dalam Pasal 122 RUU KUHAP Tahun 2009, terhadap putusan
atau penetapan Hakim Komisaris tidak dapat diajukan upaya hukum banding
maupun kasasi. Berbeda dengan praktek sekarang yang ada putusan pra
peradilan yang sebenarnya tidak dapat dimintakan kasasi, namun Mahkamah
Agung (MA) menerima;
f. Hakim Komisaris berkantor di atau dekat Rumah Tahanan Negara (RUTAN)
pada Pasal 121 RUU KUHAP Tahun 2009, berbeda dengan hakim pra
peradilan yang berkantor di Pengadila Negeri (PN), Hal ini berarti bahwa
setiap Rumah Tahanan Negara (RUTAN) terdapat atau ada Hakim Komisaris
yang memutus seorang diri dan;
diberikan wewenang yang demikian luas mencampuri bidang tugas penyidik
maupun penuntut umum dalam hal pemeriksaan pendahuluan (M. Yahya
Harahap, 2002: 78).
Tujuan pemerintah memunculkan Hakim Komisaris di dalam RUU KUHAP
Tahun 2009 tersebut juga telah dipublikasikan sebagaimana diberitakan dalam
Suara Karya Online (Kamis, 3 Desember 2009) yang berjudul Hakim Komisaris
Menggantikan Pra Peradilan sebagai berikut:
Perubahan penting yang terdapat di dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
diperkenalkannya lembaga baru,
yaitu hakim komisaris untuk
menggantikan praperadilan. Lembaga praperadilan ternyata kurang efektif
karena bersifat pasif menunggu gugatan para pihak. Andi Hamzah
mengatakan, pra peradilan bukan lembaga yang berdiri sendiri tetapi
melekat pada pengadilan negeri. Sebab, ketua pengadilan negerilah yang
menunjuk seorang hakim menjadi hakim praperadilan jika suatu
permohonan masuk ke pengadilan. Ide hakim komisaris berbeda dengan
praperadilan akan tetapi tidak sama dengan rechtercommissaris di Belanda
dan juge d'instruction di Perancis karena hakim komisaris versi RUU
KUHAP sama sekali tidak memimpin penyidikan. "Jadi merupakan
revitalisasi praperadilan yang sudah ada di dalam KUHAP," katanya. Andi
Hamzah mengatakan, hakim komisaris versi RUU KUHAP mirip dengan
lembaga baru di Italia, Giudice per le indagini preliminary (hakim
pemeriksa pendahuluan) yang tugasnya mengawasi jalannya penyidikan
dan penuntutan. Ada sebagian wewenang hakim pengadilan negeri seperti
izin penggeledahan, penyitaan, penyadapan dan perpanjangan penahanan
berpindah ke hakim komisaris agar proses menjadi cepat, tidak
mengganggu hakim pengadilan negeri yang sibuk menyidangkan perkara
pidana, perdata dan sebagainya. Selain itu, lanjutnya, ada wewenang jaksa
yang berpindah ke hakim komisaris, seperti perpanjangan penahanan 40
hari berpindah ke hakim komisaris menjadi 25 hari. Sementara itu
pengajar program pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia,
Indriyanto Seno Adji mengatakan, berdasarkan Pasal 111 RUU KUHAP
Tahun 2009, hakim komisaris memiliki kewenangan yang cukup luas.
Antara lain dapat menilai perlu atau tidaknya penahanan atau sah tidaknya
penahanan berdasarkan pendekatan obyektif maupun subyektif.
dan hakim di pihak lain. Diformulasikannya Hakim Komisaris dalam RUU
KUHAP Tahun 2009 adalah untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia
khususnya bagi terdakwa atau tersangka. Penangkapan dan penahanan yang tidak
sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan
orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang.
D. Kebijakan Formulasi Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan Pidana
Istilah
criminal justice system
atau sistem peradilan pidana (SPP) menunjukkan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
pendekatan sistem.
Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang
menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya pada
penentuan pidana. Sedangkan
Criminal justice system
adalah interkoneksi antar
keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana (Anthon
F. Susanto, 2004: 91).
Menurut Mardjono, sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan
yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
pemasyarakatan terpidana. Tujuannya sebagai berikut:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kembali kejahatannya.
Sistem peradilan pidana tersebut merupakan jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum
pelaksanaan pidana. Namun, kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial.
Sifat yang terlalu berlebihan jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Berbagai pandangan
mengenai sistem peradilan pidana yang berbeda dengan sudut pandang yang
berbeda pula. Sistem peradilan pidana merupakan konstruksi sosial yang
menunjukkan proses interaksi manusia (di dalamnya ada aparatur hukum,
advokat, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun
dunia (realitas) yang mereka ciptakan (Andi Hamzah, 1984: 121).
Sehubungan dengan hal tersebut, KUHAP perlu direvisi, terutama yang berkaitan
dengan mekanisme kontrol di antara sesama aparat penegak hukum dan lembaga
dalam subsistem peradilan. Pra peradilan sebagai upaya kontrol perlu diperluas
lingkupnya, misalnya terhadap indikasi adanya upaya mengulur waktu
penyelesaian perkara dapat diajukan pra peradilan. Hal ini terutama untuk perkara
yang menyita perhatian publik dan perkara korupsi (Luhut M.P. Pangaribuan,
2008: 98).
Langkah evaluasi dan reorientasi terhadap KUHAP akan membawa konsekuensi
pada langkah merevisi KUHAP. Berkenaan dengan hal itu, maka berdasarkan
inventarisasi data dan kajian, simpulan khususnya adalah dalam menghadapi
perkembangan dinamika penegakan hukum dan keadilan maka beberapa
ketentuan baru yang perlu diakomodasi oleh KUHAP sebagai
the umbrella rule,
seperti ketentuan yang berkaitan dengan aspek perlindungan hak-hak tersangka
selama tahap penyidikan, ketentuan tentang para publik untuk memonitoring
kinerja dan hasil kerja lembaga penegak hukum dalam proses peradilan pidana,
serta ketentuan yang memberikan kewenangan baru pada pejabat penegak hukum
berkaitan dengan penyelesaian perkara pra peradilan, dalam hal ini adalah
kewenangan Hakim Komisaris sebagai pengganti lembaga pra peradilan.
dan lembaga kejaksaan dalam rangka mewujudkan sistem peradilan pidana
terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. Irdan Dahlan. 1984.
Perbandingan KUHAP HIR dan Komentar.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Harahap, M.Yahaya. 2002.
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Jilid 2
(Pemeriksaan di Sidang Pengadilan, Kasasi dan Peninjauan
Kembali). Sinar Grafika. Jakarta.
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.2003.
Kebijakan Reformasi hukum
(Suatu Rekomendasi). Komisi Hukum Nasional. Jakarta.
Loqman, Lobby. 1996. Pra Peradilan Di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pangaribuan, Luhut M.P. 2008. Pembaharuan Hukum Acara Pidana: Surat-surat
Resmi di Pengadilan oleh Advokat. Djambatan. Jakarta.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita . 2003.
Komentar KUHAP. Mandar Maju.
Bandung.
Susanto, Anthon F. 2004.
Wajah Peradilan Kita (Konstruksi Sosial Tentang
Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan
Pidana) . Reflika Aditama. Bandung.
Wisnubroto, Al dan G. Widiartana. 2005.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana.
Citra Aditya. Bandung.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU
KUHAP) Tahun 2009.
Koran Sindo (27/11/2009) yang berjudul Lembaga Baru Kontrol Aparat Penegak
Hukum.
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah
secara yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
melihat dan menelaah kebijakan formulasi Hakim Komisaris yang diatur dalam
RUU KUHAP Tahun 2009 sebagai pengganti lembaga pra peradilan yang
memiliki kewenangan cukup luas. Selain itu juga dengan melihat literatur-literatur
ilmu hukum dan artikel yang berhubungan dengan pokok bahasan.
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka, yang terdiri dari bahan hukum
primer, sekunder dan tersier (Soerjono Soekanto, 1986: 52). Berikut adalah uraian
mengenai bahan hukum tersebut:
1. Bahan Hukum Primer
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder penelitian ini meliputi
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan RUU KUHAP Tahun 2009.
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang adalah bahan-bahan yang
memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Di dalam penelitian ini yang menjadi bahan hukum tersier
adalah bahan-bahan hukum lainnya yang berkaitan dengan pra peradilan dan
Hakim Komisaris, Makalah seminar nasional tentang Hakim Komisaris dalam
RUU KUHAP Tahun 2009, buku-buku ilmu hukum, maupun literatur lainnya
serta pencarian data penunjang melalui internet.
C. Penentuan Narasumber
D. Prosedur Pegumpulan dan Pengolahan Data
1. Pegumpulan Data
Penulisan dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi literatur.
a. Studi Pustaka
Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari peraturan
perundang-undangan dan literatur hukum yang berkaitan dengan pra peradilan dan Hakim
Komisaris, khususnya KUHAP, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang pelaksanaan KUHAP dan RUU KUHAP Tahun 2009. Hal ini