• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL

BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT

DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN,

BANTEN

TOPAN BASUMA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 20 Maret 2009

(3)

ABSTRAK

TOPAN BASUMA. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON.

Pada umumnya nelayan masih menggunakan naluri alamiah dalam menentukan daerah penangkapan ikan, sehingga penangkapan kurang efisien. Usaha memprediksi daerah penangkapan ikan (DPI) dapat dilakukan melalui pendekatan kondisi fisika oseanografi, salah satunya adalah suhu permukaan laut (SPL) melalui teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sebaran temporal dan spasial suhu permukaan laut di perairan Binuangeun, memperoleh fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol, menentukan hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan, dan memprediksi daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data di lapangan tentang posisi penangkapan, waktu operasi, dan jumlah hasil tangkapan yang dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Mei 2008 di perairan Binuangeun, Provinsi Banten, sedangkan tahap kedua ialah men-download data citra sebaran suhu permukaan laut dari Internet (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)

dilaksanakan pada Bulan Juli 2008. Sebaran SPL ditentukan dengan menggunakan software SeaDAS 4.7 dan Surfer 8.0. Sebaran SPL di perairan Binuangeun pada Bulan Maret sampai Mei 2008 berkisar antara 240C-310C dengan suhu dominan pada Bulan Maret, April dan Mei masing-masing berkisar antara 240C-280C, 250C-290C dan 250C-290C. Hasil tangkapan ikan tongkol memiliki nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) tertinggi pada Bulan Mei, kemudian Bulan April, dan Maret dengan nilai masing-masing sebesar 482, 328, dan 241 kg/setting. Panjang ikan tongkol yang tertangkap selama Bulan Maret-Mei 2008 berkisar antara 24 cm sampai 49 cm. Komposisi ikan layak tangkap sebesar 33.618 kg (65% dari total tangkapan 51.720 kg), sedangkan ukuran tidak layak tangkap sebesar 18.102 kg atau 35% dari total tangkapan. Suhu permukaan laut tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan tongkol. Daerah penangkapan yang paling potensial untuk ikan tongkol di perairan Binuangeun pada Bulan Maret-Mei 2008 adalah di wilayah penangkapan Tanjung Panto.

(4)

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL

BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT

DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN,

BANTEN

TOPAN BASUMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(5)

Judul Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten.

Nama : Topan Basuma

NRP : C54103024

Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Disetujui : Pembimbing

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si NIP. 131 879 352

Diketahui :

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc. NIP. 131 578 799

(6)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga tugas akhir ini dapat

diselesaikan;

2. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai komisi pembimbing, atas segala saran dan bimbingannya;

3. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si dan Prihatin Ika Wahyuningrum S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji serta Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai komisi pendidikan yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini;

4. Ayahnda Efendi dan Ibunda Neni Supriani, atas segala doa, nasehat, dan dukungannya, serta adik-adikku tercinta Muhammad Salim dan Odie Mufti; 5. Buntat yang maniez, Heatri Devi atas doa, bantuan dan dukungannya; 6. Bapak Kubil, Pak Doblang, dan Ibu Rohmana di Binuangeun;

7. Sahabat-sahabatku (Erwan, Girsang, Tono, Aep, Bernardo, Kak Ides, Kaka, Heri, Cindy) atas segala bantuan dan dukungannya;

8. Teman-Teman di Departemen PSP (angkatan 40, 41, dan 42);

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Maret 2009

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Tembilahan pada tanggal 03 Maret 1985 dari pasangan Efendi dan Neni Supriani. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1990 penulis mengawali pendidikan di TK Pertiwi Tembilahan dan pada tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 004 Tembilahan.

Tahun 1997 penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Tembilahan dan pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikannya di

Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Tembilahan.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada salah satu kegiatan organisasi, yaitu menjabat sebagai anggota Departemen Pengembangan Minat dan Bakat HIMAFARIN periode 2005-2006.

(8)

vii

2.1 Suhu Permukaan Laut ... 4

2.2 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ... 5

2.3 Sensor MODIS ... 8

2.4 Klasifikasi dan Tingkah laku Ikan Tongkol ... 11

2.4.1 Ikan tongkol ... 11

2.4.2 Daerah Penyebaran Tongkol ... 13

2.5 Unit Penangkapan Payang ... 14

2.5.1 Metode pengoperasian payang ... 15

2.6 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 16

2.6.1 Keadaan geografis dan topografi ... 16

2.6.2 Keadaan iklim dan musim ... 17

2.6.3 Unit penangkapan ikan ... 17

2.6.4 Daerah penangkapan ikan ... 20

2.6.5 Produksi perikanan tangkap di perairan Binuangeun ... 20

2.6.6 Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun ... 21

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 24

3.3.1 Posisi dan waktu penangkapan serta hasil tangkapan ... 24

3.3.2 Suhu permukaan laut ... 25

3.4 Analisis Data ... 25

3.4.1 Analisis hasil tangkapan ... 25

(9)

viii

3.4.3 Hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ... 27

3.4.4 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial ... 27

4 HASIL... 29

4.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ... 29

4.1.1 Jumlah hasil tangkapan ... 29

4.1.2 Ukuran (size) hasil tangkapan ... 31

4.2 Suhu Permukaan Laut ... 33

4.3 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Hasil Tangkapan .... 38

4.4 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Ukuran Panjang ... 39

5 PEMBAHASAN ... 40

5.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ... 40

5.2 Sebaran Temporal dan Spasial SPL di Perairan Binuangeun ... 41

5.3 Pengaruh SPL Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ... 42

5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Tongkol ... 43

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1 Kesimpulan ... 45

6.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA... 46

(10)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh ... 6

2 Karakteristik sensor MODIS ... 10

3 Jenis dan jumlah alat penangkap ikan di PPI Binuangeun tahun 2003 – 2007 ... 18

4 Jenis, trip dan produksi alat penangkap ikan di PPI Binuangeun Bulan Februari 2008 ... 18

5 Ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Binuangeun ... 19

6 Produksi dan nilai produksi perairan Binuangeun tahun 2003 – 2007 ... 20

7 Produksi berbagai jenis ikan yang didaratakan di PPI Binuangeun tahun 2003 – 2007 ... 21

8 Fasilitas-fasilitas pengkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun ... 22

9 Kriteria kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan ... 27

10 Penilaian jumlah hasil tangkapan ... 27

11 Penilaian indikator DPI ... 28

(11)

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL

BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT

DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN,

BANTEN

TOPAN BASUMA

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 20 Maret 2009

(13)

ABSTRAK

TOPAN BASUMA. Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten. Dibimbing oleh DOMU SIMBOLON.

Pada umumnya nelayan masih menggunakan naluri alamiah dalam menentukan daerah penangkapan ikan, sehingga penangkapan kurang efisien. Usaha memprediksi daerah penangkapan ikan (DPI) dapat dilakukan melalui pendekatan kondisi fisika oseanografi, salah satunya adalah suhu permukaan laut (SPL) melalui teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh sebaran temporal dan spasial suhu permukaan laut di perairan Binuangeun, memperoleh fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol, menentukan hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan, dan memprediksi daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data di lapangan tentang posisi penangkapan, waktu operasi, dan jumlah hasil tangkapan yang dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Mei 2008 di perairan Binuangeun, Provinsi Banten, sedangkan tahap kedua ialah men-download data citra sebaran suhu permukaan laut dari Internet (http://www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)

dilaksanakan pada Bulan Juli 2008. Sebaran SPL ditentukan dengan menggunakan software SeaDAS 4.7 dan Surfer 8.0. Sebaran SPL di perairan Binuangeun pada Bulan Maret sampai Mei 2008 berkisar antara 240C-310C dengan suhu dominan pada Bulan Maret, April dan Mei masing-masing berkisar antara 240C-280C, 250C-290C dan 250C-290C. Hasil tangkapan ikan tongkol memiliki nilai Catch Per Unit Effort (CPUE) tertinggi pada Bulan Mei, kemudian Bulan April, dan Maret dengan nilai masing-masing sebesar 482, 328, dan 241 kg/setting. Panjang ikan tongkol yang tertangkap selama Bulan Maret-Mei 2008 berkisar antara 24 cm sampai 49 cm. Komposisi ikan layak tangkap sebesar 33.618 kg (65% dari total tangkapan 51.720 kg), sedangkan ukuran tidak layak tangkap sebesar 18.102 kg atau 35% dari total tangkapan. Suhu permukaan laut tidak berpengaruh secara nyata terhadap hasil tangkapan tongkol. Daerah penangkapan yang paling potensial untuk ikan tongkol di perairan Binuangeun pada Bulan Maret-Mei 2008 adalah di wilayah penangkapan Tanjung Panto.

(14)

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL

BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT

DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN,

BANTEN

TOPAN BASUMA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(15)

Judul Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten.

Nama : Topan Basuma

NRP : C54103024

Departemen : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Disetujui : Pembimbing

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si NIP. 131 879 352

Diketahui :

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya M.Sc. NIP. 131 578 799

(16)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan, Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Tongkol Berdasarkan Pendekatan Suhu Permukaan Laut dan Hasil Tangkapan di Perairan Binuangeun, Banten.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga tugas akhir ini dapat

diselesaikan;

2. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si sebagai komisi pembimbing, atas segala saran dan bimbingannya;

3. Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si dan Prihatin Ika Wahyuningrum S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji serta Dr. Ir. Tri Wiji Nurani, M.Si sebagai komisi pendidikan yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini;

4. Ayahnda Efendi dan Ibunda Neni Supriani, atas segala doa, nasehat, dan dukungannya, serta adik-adikku tercinta Muhammad Salim dan Odie Mufti; 5. Buntat yang maniez, Heatri Devi atas doa, bantuan dan dukungannya; 6. Bapak Kubil, Pak Doblang, dan Ibu Rohmana di Binuangeun;

7. Sahabat-sahabatku (Erwan, Girsang, Tono, Aep, Bernardo, Kak Ides, Kaka, Heri, Cindy) atas segala bantuan dan dukungannya;

8. Teman-Teman di Departemen PSP (angkatan 40, 41, dan 42);

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis sehingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun dengan segala kerendahan hati, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Maret 2009

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Tembilahan pada tanggal 03 Maret 1985 dari pasangan Efendi dan Neni Supriani. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1990 penulis mengawali pendidikan di TK Pertiwi Tembilahan dan pada tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 004 Tembilahan.

Tahun 1997 penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Tembilahan dan pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikannya di

Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Tembilahan.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada salah satu kegiatan organisasi, yaitu menjabat sebagai anggota Departemen Pengembangan Minat dan Bakat HIMAFARIN periode 2005-2006.

(18)

vii

2.1 Suhu Permukaan Laut ... 4

2.2 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ... 5

2.3 Sensor MODIS ... 8

2.4 Klasifikasi dan Tingkah laku Ikan Tongkol ... 11

2.4.1 Ikan tongkol ... 11

2.4.2 Daerah Penyebaran Tongkol ... 13

2.5 Unit Penangkapan Payang ... 14

2.5.1 Metode pengoperasian payang ... 15

2.6 Kondisi Umum Daerah Penelitian ... 16

2.6.1 Keadaan geografis dan topografi ... 16

2.6.2 Keadaan iklim dan musim ... 17

2.6.3 Unit penangkapan ikan ... 17

2.6.4 Daerah penangkapan ikan ... 20

2.6.5 Produksi perikanan tangkap di perairan Binuangeun ... 20

2.6.6 Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun ... 21

3 METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.2 Bahan dan Alat ... 23

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 24

3.3.1 Posisi dan waktu penangkapan serta hasil tangkapan ... 24

3.3.2 Suhu permukaan laut ... 25

3.4 Analisis Data ... 25

3.4.1 Analisis hasil tangkapan ... 25

(19)

viii

3.4.3 Hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ... 27

3.4.4 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial ... 27

4 HASIL... 29

4.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ... 29

4.1.1 Jumlah hasil tangkapan ... 29

4.1.2 Ukuran (size) hasil tangkapan ... 31

4.2 Suhu Permukaan Laut ... 33

4.3 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Hasil Tangkapan .... 38

4.4 Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Ukuran Panjang ... 39

5 PEMBAHASAN ... 40

5.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ... 40

5.2 Sebaran Temporal dan Spasial SPL di Perairan Binuangeun ... 41

5.3 Pengaruh SPL Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol ... 42

5.4 Penyebaran Daerah Penangkapan Ikan Tongkol ... 43

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

6.1 Kesimpulan ... 45

6.2 Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA... 46

(20)

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh ... 6

2 Karakteristik sensor MODIS ... 10

3 Jenis dan jumlah alat penangkap ikan di PPI Binuangeun tahun 2003 – 2007 ... 18

4 Jenis, trip dan produksi alat penangkap ikan di PPI Binuangeun Bulan Februari 2008 ... 18

5 Ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Binuangeun ... 19

6 Produksi dan nilai produksi perairan Binuangeun tahun 2003 – 2007 ... 20

7 Produksi berbagai jenis ikan yang didaratakan di PPI Binuangeun tahun 2003 – 2007 ... 21

8 Fasilitas-fasilitas pengkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun ... 22

9 Kriteria kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan ... 27

10 Penilaian jumlah hasil tangkapan ... 27

11 Penilaian indikator DPI ... 28

(21)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perubahan suhu pada kedalaman yang berbeda ... 5

2 Sistem penginderaan jauh ... 7

3 Ikan tongkol ... 11

4 Peta daerah penelitian ... 23

5 CPUE dan persentase hasil tangkapan Bulan Maret-Mei 2008 ... 29

6 CPUE perhari pada Bulan Maret 2008 ... 30

7 CPUE perhari pada Bulan April 2008 ... 30

8 CPUE perhari pada Bulan Mei 2008 ... 30

9 Persentase total ikan layak tangkap periode Maret, April, Mei 2008 ... 31

10 Persentase ukuran ikan layak tangkap Bulan Maret, April dan Mei 2008 ... 31

11 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Maret 2008 ... 32

12 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan April 2008 ... 32

13 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Mei 2008 ... 33

14 Citra sebaran SPL pada Bulan Maret 2008 ... 35

15 Citra sebaran SPL pada Bulan April 2008 ... 36

16 Citra sebaran SPL pada Bulan Mei 2008 ... 37

17 Hubungan SPL dengan jumlah tangkapan ikan tongkol setiap setting ... 38

18 Diagram pencar SPL dengan jumlah hasil tangkapan ikan tongkol ... 38

19 Diagram pencar SPL dengan ukuran panjang ikan tongkol ... 39

20 Hubungan SPL dengan ukuran panjang ikan tongkol setiap setting ... 39

(22)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

(23)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banten merupakan wilayah yang sangat strategis mengingat letak daerahnya berbatasan dengan Ibu Kota Negara. Banten memiliki potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, salah satunya ialah perairan Binuangeun yang terletak di sebelah selatan propinsi Banten yang memiliki sumberdaya ikan pelagis yang cukup potensial, khususnya ikan tongkol. Ikan tongkol merupakan jenis ikan pelagis kecil yang dominan tertangkap di perairan Binuangeun (TPI Binuangeun 2008). Namun upaya pemanfaatannya masih belum optimal. Dalam menentukan daerah penangkapan ikan (fishing ground), nelayan pada umumnya masih menggunakan naluri alamiah dengan cara memburu (hunting) gerombolan ikan, sehingga upaya penangkapan ikan kurang efektif dan efisien. Tingkat ketidakpastian hasil tangkapan cukup tinggi, karena nelayan tidak mengetahui lokasi yang potensial untuk penangkapan ikan. Mereka menentukan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan pengalaman atau melihat tanda-tanda alam, seperti ada tidaknya kawanan burung-burung laut, bongkahan kayu, dan sebagainya.

Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi lingkungan. Parameter oseanografi seperti suhu permukaan laut, salinitas, konsentrasi klorofil laut, cuaca dan sebagainya serta perubahannya akan mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan ikan, seperti kecepatan makan ikan, metabolisme, pemijahan, dan aktifitas lainnya. Hal ini berarti bahwa perubahan parameter oseanografi akan berpengaruh terhadap keberadaan ikan dan pembentukan daerah penangkapan yang potensial.

(24)

2

Fluktuasi suhu dan perubahan geografis bertindak sebagai faktor penting yang merangsang dan menentukan pengkonsentrasian dan pengelompokkan ikan. Tinggi rendahnya suhu juga mempengaruhi produktivitas hasil tangkapan, karena setiap jenis ikan memiliki kisaran suhu tertentu untuk kelangsungan hidupnya.

Pengukuran suhu permukaan laut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan pengukuran secara langsung dan pengukuran secara tidak langsung yaitu melalui teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Wilayah perairan Indonesia yang sangat luas dan garis pantai yang sangat panjang menyebabkan pengukuran secara langsung untuk pengamatan fenomena oseanografi sulit dilakukan, karena memerlukan waktu yang lama, usaha yang berat, dan biaya yang besar. Keadaan inilah yang mendorong untuk memanfaatkan satelit dalam pengamatan fenomena oseanografi, seperti suhu permukaan laut, yang selanjutnya digunakan untuk memprediksi keberadaan ikan dan daerah penangkapan ikan.

Teknik penginderaan jauh melalui satelit merupakan metode yang efisien untuk mengetahui suhu permukaan laut. Data dari satelit sangat membantu dalam penentuan suhu optimum yang disenangi ikan. Dewasa ini, suhu permukaan laut dapat dideteksi dengan menggunakan satelit Terra (EOS AM) dan Aqua (EOS PM) dengan sensor Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang merupakan turunan dari sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), SeaWIFS (Sea-Viewing Wide Field of view sensor) dan HIRS (High Resoution Imaging Spectrometer). Suhu permukaan laut tersebut kemudian dapat diimplementasikan guna menentukan daerah penangkapan ikan. Data tersebut juga dapat dengan mudah didapat melalui internet atau instansi-instansi terkait, sehingga dengan adanya data tersebut, nelayan dapat terbantu dalam menentukan daerah penangkapan yang potensial. Hal ini tentunya dapat menghemat biaya operasional serta meningkatkan hasil tangkapan nelayan.

(25)

3

Mengingat potensi perikanan perairan Binuangeun masih belum dimanfatakan secara optimal yang disebabkan oleh belum adanya penyediaan informasi daerah penangkapan ikan yang potensial maka penelitian tentang penentuan daerah penangkapan ikan tongkol berdasarkan pendekatan suhu permukaan laut dan hasil tangkapan di perairan Binuangeun perlu dilakukan.

1.2 Tujuan

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :

(1) Untuk memperoleh sebaran temporal dan spasial suhu permukaan laut di perairan Binuangeun.

(2) Memperoleh fluktuasi hasil tangkapan ikan tongkol.

(3) Menentukan hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan ikan tongkol.

(4) Memprediksi daerah penangkapan ikan tongkol yang potensial.

1.3 Manfaat

(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Permukaan Laut

Suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat tergantung pada jumlah bahang yang diterima sinar matahari (Weyl 1970).

Suhu perairan bervariasi, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Variasi suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin di bagian tengah, dan lapisan dingin di bagian bawah. Lapisan homogen berkisar pada kedalaman 50-70 meter, pada lapisan ini terjadi pengadukan air yang mengakibatkan suhu pada lapisan ini menjadi homogen (sekitar 280 C). Lapisan termoklin merupakan lapisan dimana suhu menurun cepat terhadap kedalaman, terdapat pada kedalaman 100-200 meter. Lapisan dingin biasanya kurang dari 50 C, terdapat pada kedalaman 200 meter ( Nontji 1987) (Gambar 1).

Gambar 1 Perubahan suhu pada kedalaman yang berbeda (Ismajaya 2007).

(27)

Faktor-5

faktor meteorologi juga berperan penting seperti curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Pada lokasi yang terjadi pengangkatan massa air (up welling) seperti di Laut Banda, suhu air permukaan bisa turun hingga 250 C, karena air laut yang dingin di lapisan bawah terangkat ke atas permukaan. Nontji (1987) menyatakan bahwa suhu dekat pantai biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di lepas pantai. Suhu permukaan laut (SPL) Indonesia secara umum berkisar antara 260 C – 290 C, dan variasinya mengikuti musim (Ilahude dan Birowo 1987 diacu dalam Dahuri et al 1996).

Setiap perairan memiliki standar suhu rata-rata untuk setiap musim tertentu. Variasi suhu musiman pada permukaan daerah tropis sangat kecil, dimana variasi rata-rata musiman kurang dari 200 C. Fluktuasi harian suhu permukaan tidak akan lebih dari 0.2-0.40C. Namun di dekat pantai fluktuasinya bisa mencapai beberapa derajat celcius (Gunarso 1985).

Nontji (1987) menyatakan suhu merupakan parameter oseanografi yang mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan sumber daya hayati laut pada umumnya. Sebagian besar biota laut bersifat poikilometrik (suhu tubuh dipengaruhi lingkungan) sehingga suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme (Nybakken 1992).

2.2 Penginderaan Jauh (Remote Sensing)

(28)

6

Satelit-satelit penginderaan jauh dilengkapi dengan peralatan “scanner” yang berspektra ganda, yakni suatu alat untuk mencatat radiasi yang dipantulkan melalui beberapa “band” (interval panjang gelombang elektromagnetik), yang mencakup reaksi yang berbeda-beda terhadap pantulan dan radiasi setiap objek, baik yang berada di atmosfer maupun di permukaan bumi (Suyarso diacu dalam Hadi 1995).

Seluruh sistem penginderaan jauh memerlukan sumber energi baik aktif (misalnya, sistem penginderaan jauh radar) maupun pasif (misalnya, sistem penginderaan jauh satelit secara optik) (Dimyati 1998). Spektrum elektromagnetik merupakan berkas dari tenaga elektromagnetik yang meliputi sinar gamma, x, ultraviolet, tampak, inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio. Spektrum elektromagnetik yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh adalah sebagian dari spektrum ultraviolet, spektrum tampak, spektrum inframerah dekat, spektrum inframerah thermal, dan gelombang mikro yang dapat dilihat pada Tabel 1 (satu).

Tabel 1 Spektrum gelombang dalam penginderaan jauh

No. Gelombang Elektromagnetik Panjang Gelombang

Sumber : Butler et al diacu dalam Anggraini 2003.

(29)

7

film untuk mendeteksi, menyimpan dan memperagakan variasi-variasi energi di dalam suatu pemandangan dan hasilnya disebut foto udara.

Menurut Sutanto (1994), sistem penginderaan jauh memiliki empat komponen penting; (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dan objek, (4) sensor.

Gambar 2 Sistem penginderaan jauh.

Dalam penginderaan jauh harus ada sumber tenaga yaitu matahari yang merupakan sumber utama tenaga elektromagnetik alami yang digunakan pada teknik pengambilan data obyek dalam penginderaan jauh. Tenaga ini mengenai obyek di permukaan bumi yang kemudian dipantulkan ke sensor. Penginderaan jauh dengan memanfaatkan tenaga alamiah disebut penginderaan jauh sistem pasif. Sedangkan sumber tenaga buatan digunakan dalam penginderaan jauh sistem aktif.

Jumlah tenaga matahari yang mencapai bumi (radiasi) dipengaruhi oleh waktu (jam, musim), lokasi dan kondisi cuaca. Jumlah tenaga yang diterima pada siang hari lebih banyak bila dibandingkan dengan pagi atau sore hari. Kedudukan matahari terhadap tempat di bumi berubah sesuai dengan perubahan musim.

(30)

8

alam. Konsep dasar teknologi penginderaan jarak jauh adalah berdasarkan pada teori dasar radiasi dari Planck yang menyatakan bahwa semua obyek di bumi yang memiliki suhu mutlak diatas 00K (-2730C) akan memancarkan energi elektromagnetik. Sebuah obyek akan memantulkan sinar matahari atau mengemisinya sebagai energi internal sesuai dengan vibrasi atom dan molekul obyek itu sendiri. Radiasi dari obyek ini memberikan ciri-ciri khas sebagai identitas dari obyek tersebut. Rambatan energi yang merupakan gelombang elektromagnetik mempunyai kecepatan sebesar kecepatan cahaya (2,997924562 x 108 m/detik). Energi ini akan ditangkap oleh sensor yang dibawa oleh wahana satelit ataupun wahana pesawat. Hasil tangkapan sensor akan diterima dan dicatat pada suatu alat perekam yang selanjutnya (khususnya pada wahana sateli) akan ditransmisikan ke stasiun penerima di bumi (Ground Receiving Station) (La Violette 1994). Penginderaan jarak jauh (inderaja) dapat diaplikasikan dalam menentukan daerah penangkapan ikan pada wilayah perairan tertentu. Dalam hal ini, yang terlihat bukanlah keberadaan ikan secara langsung, tetapi berkaitan dengan parameter atau fenomena alam yang menandakan kemungkinan adanya ikan di suatu tempat, sebagai contohnya ialah suhu yang sesuai dengan jenis ikan tertentu. Citra satelit akan menghasilkan informasi kondisi lingkungan laut yang dapat teramati diantaranya kandungan klorofil-a, suhu permukaan laut, kondisi cuaca, dan pola arus permukaan (Nikyuluw 2005).

2.3 Sensor MODIS

(31)

9

Widodo (1999) menjelaskan sensor adalah suatu alat yang mendeteksi dan mengukur suatu parameter fisik, seperti radiasi, dan mengkonversikannya ke dalam suatu bentuk yang dapat disimpan atau ditransmisikan. Setiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik yang menerima dan merekam tenaga dari obyek di muka bumi. Aboet (1985) menjelaskan bahwa keberhasilan teknik penginderaan jauh sangat ditentukan oleh dua faktor, yaitu ketelitian suatu sensor dan kemampuan untuk menginterpretasikan data secara tepat.

MODIS merupakan awal satelit hyperspectral. MODIS memungkinkan

monitoring secara terus menerus pada lingkungan dengan pengukuran

atmospheric trace gases dan densitas aerosol, dan pemetaan permukaan awan, daratan dan lautan dalam berbagai variasi spektral dari biru sampai thermal infra-red.

Sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan salah satu satelit penginderaan jauh, yang memiliki kemampuan memantau permukaan bumi dan fenomena lingkungan dengan resolusi spasial 250 m, 500 m, dan 1000 m.

Sensor MODIS merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat,

(32)

10

29 8.400 8.700 um Sifat awan

30 9.580 – 9.880 um Ozone

(33)

11

2.4 Klasifikasi dan Tingkah laku Ikan Tongkol

2.4.1 Ikan tongkol

Taksonomi ikan tongkol dapat digolongkan sebagai berikut (Saanin 1984): Phylum: Chordata

Kelas: Pisces

Ordo: Perchomorphi

Sub-ordo: Scombrina Famili: Scombiridae

Genus: Euthynnus

Spesies : Euthynnus affinis, Euthynnus alleterus,

Auxis thazard.

Gambar 3 Ikan tongkol.

Ikan tongkol termasuk ikan pelagis kecil karena panjangnya 20 - 60 cm tetapi kadang-kadang bisa mencapai 100 cm (Kriswantoro dan Sunyoto 1986). Berat maksimum ikan tongkol dapat mencapai 13,6 kg. Makanan Ikan tongkol adalah teri, ikan pelagis dan cumi-cumi.

(34)

12

Pada famili Scombiridae lainnya, ikan tongkol cenderung membentuk kumpulan multi spesies menurut ukurannya, misalnya dengan kumpulan Thunnus albacares, Katsuwonus pelamis, Auxis sp, dan Megalopis cardyla.

Ikan tongkol umumnya hidup di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian barat (Nontji 2005). Ikan ini bersifat epipelagis berenang membentuk

schooling dan umumnya hidup pada kisaran suhu 21,60C-30,50C (FAO, 1983). Pola tingkah laku ikan tongkol dan penyebarannya sering kali dibahas bersama-sama dengan ikan tuna (Scombridae), kedua jenis ikan ini pemakan daging, hidup dan berburu makanan dengan membentuk gerombolan. Ikan tongkol dan tuna biasanya bergerombol ketika ikan tersebut aktif berburu makanan. Sifat bergerombol ikan tongkol disebabkan karena pada kulitnya terdapat suatu zat yang dapat menimbulkan rangsangan dan rangsangan tersebut dapat dirasakan oleh ikan-ikan dari jenis ikan yang sama maupun yang berbeda (De Beaufort dan Chapman; Postel; Nasoetion; dalam Nurjaelani 1991). Jenis makanan ikan tongkol biasanya meliputi Crutacea, Mollusca, Anelida, Anthyphyta dan beberapa ikan pelagis kecil (Stolephorusspp. Sardinellaspp. dan Selarspp.)

Beberapa sifat dan kebiasaan hidup ikan tongkol dikemukakan Unar dalam Nurjaelani (1991) sebagai berikut :

(1) Tongkol umumnya adalah karnivor yang rakus

(2) Dalam ruayanya, tongkol kadang-kadang berhenti untuk mencari makan (3) Terdapat di daerah tropis yang berkadar salinitas tinggi

(4) Bergerak dalam gerombolan besar di lautan bebas dan dapat beruaya dengan jarak yang sangat jauh.

Gerombolan ikan tongkol bermigrasi untuk memenuhi tuntutan dari siklus hidupnya selain untuk menghindari tekanan kondisi lingkungan perairan dimana ikan ini berada. Hela dan Laevastu (1970) menyatakan faktor oseanografi yang mempengaruhi pola distribusi ikan jenis tuna dan tongkol adalah suhu, arus dan salinitas. Dinyatakan juga oleh Nikolsky (1969) bahwa ada tiga alasan utama ikan tongkol melakukan migrasi, yaitu:

(1) Untuk mencari makan (2) Mencari tempat memijah

(35)

13

2.4.2 Daerah Penyebaran Tongkol

Blackburn (1965) mengemukakan bahwa ikan tongkol memiliki daerah penyebaran yang luas. Pada umumya ikan tongkol menyenangi perairan panas dan hidup pada lapisan permukaan hingga kedalaman 40 meter dengan kisaran suhu optimum antara 20-280C (Williamson diacu dalam Burhanudin,1984).

Tongkol termasuk epipelagis, neuritik dan oseanik pada perairan yang hangat, biasanya bergerombol. Stadium larva dari Auxis mempunyai kemampuan toleran terhadap kisaran suhu yang luas, yaitu 21,60C-30,50C. Ikan dewasa hidup pada kisaran suhu antara 27,00C-27,90C dengan sifat salinitas oseanik. Kisaran suhu untuk habitat Euthynnus affinis antara 180C-290C. Euthynnus affinis

biasanya bergerombol sesuai dengan ukuran, misalnya dengan Thunnus albacares

muda, cakalang (Katsuwonus pelamis), Auxis dan Megalaspis cordyla. Densitas gerombolan berkisar antara 100 sampai lebih dari 5.000 ekor ikan (Collete and Nauen 1983).

Penyebaran genus Auxis sangat luas, meliputi perairan tropis dan subtropis, termasuk Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik, Laut Mediterania dan Laut Hitam. Euthynnus affinis berpopulasi di perairan pantai dan dapat ditemukan di perairan tropis dan subtropis di Lautan Hindia dan juga disepanjang negara-negara pantai dari afrika selatan sampai ke Indonesia dan sekitar pulau Madagaskar, Mauritus, Reunion, Scychelles dan Srilanka. Spesies ini juga terdapat di sepanjang pantai Australia Barat. Euthynnus alleteratus tersebar di perairan tropis dan sbtropis di samudera Atlantik, temasuk Miterania, Laut Hitam, Laut Karibia dan Teluk Meksiko. Euthynnus lineatus tersebar di perairan tropis Pasifik Timur dai San Simeon, California ke selatan sampai Kepulauan Galapagos dan utara Peru, juga ditemukan di Kepulauan Hawaii (Collete and Nauen 1983).

(36)

14

2.5 Unit Penangkapan Payang

Bentuk alat tangkap payang terdiri dari kaki/sayap (leg/wing), badan/perut

(body/belly), dan kantong (bag), dua buah sayap yang terletak di sebelah kanan dan kiri badan payang, setiap sayap umumnya berukuran panjang 100-200 meter, bagian badan jaring sepanjang 36-65 meter dan bagian kantong terletak di belakang bagian badan payang yang merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan ikan adalah sepanjang 10-20 meter. Pada bagian bawah sayap dan mulut jaring diberi pemberat, sedangkan bagian atas pada jarak tertentu diberi pelampung. Pelampung yang paling besar ditempatkan di bagian tengah mulut jaring. Pada kedua ujung depan kaki/sayap disambung dengan tali panjang, yang digunakan untuk menarik. Bagian atas mulut jaring payang menonjol ke belakang, dan bagian bawah mulut menonjol ke depan. Hal itu untuk mempersempit kesempatan lolos bagi ikan dari kantong jaring.

Menurut Mawardi (1990), jaring payang terdiri atas bagian kaki (wing), badan (body) dan kantong (cod end). Semua bagian jaring payang ini dibuat perbagian, kemudian baru disambung-sambungkan mulai dari bagian kantong sampai bagian kaki dimana ukuran mata (mesh size) dari bagian kantong hingga kaki semakin membesar.

Menurut International Standard Statistical Classification of Fishing Gear

(ISSCFG) vide FAO (1990), payang digolongkan ke dalam boat seine. Desainnya terdiri atas dua sayap, badan jaring dan kantong mirip dengan trawl. Jaring ini dioperasikan dari kapal dan ditarik dengan dua tali selambar.

Menurut klasifikasi Von Brandt (1984) payang termasuk kelompok “seine net” yaitu alat tangkap yang memiliki warp penarik yang sangat panjang dengan cara melingkari wilayah seluas-luasnya dan kemudian menariknya ke kapal atau pantai. Seine net terdiri dari kantong dan dua buah sayap yang panjang, serta dilengkapi dengan pelampung dan pemberat.

(37)

15

Perahu yang digunakan dalam unit penangkapan payang di Binuangeun terbuat dari bahan kayu, ciri khas perahu payang adalah adanya tiang pengamat diatas dek yang disebut kakapa dan adanya meja dibagian belakang yang berfungsi untuk menaruh pemberat saat dilakukan penarikan jaring. Perahu ini mengunakan tenaga gerak berasal dari motor tempel (BPPD Lebak 2006).

Jumlah nelayan dalam satu unit penangkapan berkisar antara 8-15 ABK dengan pembagian tugas sebagai berikut:

(1) Juru mudi, bertugas untuk mengemudikan perahu dan bertanggung jawab terhadap kondisi mesin.

(2) Pengawas, bertugas untuk mencari atau mengintai gerombolan ikan target. (3) Petawur, bertugas untuk melemparkan jaring;

(4) Juru batu, bertugas untuk membereskan pemberat, pelampung dan jaring sebelum dan sesudah operasi penangkapan;

(5) Bubulang, bertugas memperbaiki jaring yang rusak saat operasi penangkapan; (6) Pandega, bertugas untuk menarik jaring;

(7) Anak payang, bertugas untuk menghalau gerombolan ikan yang hendak kabur dari jaring payang.

Payang yang merupakan bagian dari seine net umumnya terbuat dari bahan sintetis karena bahan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan bahan alami seperti cotton, manila dan hamp. Keunggulannya tidak diserang bakteri, tidak perlu perlakuan seperti penjemuran serta sangat kuat dan tidak banyak menyerap air. Salah satunya adalah benang nilon (Thomson 1969).

Seine net dioperasikan dengan cara melingkari area perairan dengan warp

yang panjangnya tertentu. Penarikan dua warp dilakukan secara bersama, sehingga kelompok ikan tergiring dan akhirnya masuk dalam jaring (Sainsbury 1971).

2.5.1 Metode pengoperasian payang

Payang dioperasikan dengan cara melingkarkan jaring pada area dimana

telah terlihat kumpulan ikan sebelumnya. Lama trip operasi payang di Binuangeun umumnya one day trip atau satu hari operasi penangkapan, yaitu

(38)

16

Pada awal mula operasi, kapal payang hanya berputar-putar untuk mencari kumpulan ikan target. Pengawas atau fishing master bertugas untuk mengawasi ada atau tidaknya kumpulan ikan target. Tanda-tanda ini dapat terlihat dari beberapa gejala yang tampak di permukaan perairan, seperti burung-burung yang bergerak diarea tertentu dan menukik tajam ke perairan, adanya riak di air, warna perairan yang berbeda dengan daerah sekitarnya.

Setelah mendapatkan kumpulan ikan, maka kapal digerakkan untuk mengejar kumpulan ikan tersebut. Juru mudi bertugas untuk mengarahkan kapal untuk mendekati kumpulan ikan. Setelah itu, jaring payang ditebarkan dengan mengitari kumpulan ikan dengan gerakan kapal yang mengitari ikan. Anak buah kapal payang diturunkan untuk menjaga agar ikan tidak meloloskan diri dengan cara menciptakan riak atau memukul permukaan perairan berulang-ulang. Setelah jaring telah terbentang sempurna, jaring segera ditarik oleh para pandega. Penarikan jaring harus bersamaan antara tali selambar kiri dengan tali selambar kanan. Hasil tangkapan diangkat dan dimasukkan ke dalam palka untuk sementara lalu dipilah-pilah, kemudian dimasukkan ke dalam blong-blong sesuai jenisnya.

2.6 Kondisi Umum Daerah Penelitian

2.6.1 Keadaan geografis dan topografi

Binuangeun berada di Desa Muara, Kecamatan Wanasalam, kabupaten Lebak, provinsi Banten. Secara geografis Binuangeun terletak pada 06o50’18’’ LS dan 105o52’58’’ BT. Perairan Binuangeun terletak di sebelah selatan propinsi Banten yang berhubungan langsung dengan samudera Hindia. Adapun batas-batas wilayah Binuangeun adalah sebagai berikut :

Sebelah Barat : Desa Cikiruh Wetan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang

Sebelah Timur : Kecamatan Malimping

Sebelah Utara : Desa Cipeudang dan Kecamatan Cibaliung Sebelah Selatan : Samudera Indonesia

(39)

17

2.6.2 Keadaan iklim dan musim

Binuangeun terletak pada wilayah beriklim tropis. Curah hujan rata-rata per tahun berkisar antara 2000 - 3000 mm dengan jumlah hari hujan 122 - 130 hari per tahun. Berdasarkan keadaan curah hujannya menurut Schmidt-Ferguson termasuk pada iklim basah (BBPD lebak 2006).

Musim di Binuangeun dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup dari dua arah yang umumnya dikenal dengan angin barat dan angin timur. Nelayan Binuangeun mengelompokan musim berdasarkan arah angin menjadi 3 (tiga) musim yaitu, musim barat, musim timur dan musim paliwungan (peralihan). Musim barat berlangsung pada Bulan Desember - Februari, musim timur berlangsung pada Bulan Mei - September, dan musim peralihan pada Bulan Maret - April dan Oktober - Nopember. Pada musim barat, angin beritup dari arah barat (Ujung Kulon), curah hujan tinggi dan sering terjadi angin kencang yang dapat memicu timbulnya gelombang yang besar. Pada musim timur, angin bertiup dari arah timur (Ujung Genteng), angin relatif tenang sehingga tidak menimbulkan gelombang yang besar. Pada musim paliwungan (peralihan), arah pergerakan angin tidak menentu, tetapi pada umumnya angin bertiup dari arah selatan (samudera).

2.6.3 Unit penangkapan ikan

Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari alat penangkapan ikan, kapal, dan nelayan.

(1) Alat penangkapan ikan

(40)

18

1 Jaring rampus 154 154 147 150 170

2 Purse seine 9 12 12 11 11

3 Gillnet 116 116 118 123 118

4 Pancing (rawai) 128 128 120 128 138

5 Payang 8 8 23 23 18

6 Bagan perahu 48 48 48 54 54

Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Lebak, 2007

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa alat tangkap yang paling banyak dioperasikan adalah jaring rampus dan jaring insang (gillnet). Hal ini sesuai dengan keaadaan ekonomi nelayan yang umumnya adalah nelayan kecil. Alat tangkap purse seine dan payang mulai dioperasikan tahun 1993 dan umumnya berasal daerah di luar Binuangeun. Purse seine berasal dari Laut Jawa dan payang berasal dari Palabuhanratu.

Secara umum jumlah alat penangkap ikan cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan. Pada tahun 2005 terjadi penurunan jumlah alat penangkap ikan karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan adanya bencana tsunami pada bulan Desember 2004.

Menurut laporan PPI Binuangeun, alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan Binuangeun pada Bulan Januari dan Februari 2008 mengalami penurunan. Tabel 4 (empat) memperlihatkan besarnya effort dan produksi masing-masing alat tangkap yang dioperasikan di Binuangeun pada bulan Februari 2008. Alat tangkap yang memiliki produktivitas paling besar adalah purse seine.

Tabel 4 Jenis, trip dan produksi alat penangkap ikan di PPI Binuangeun Bulan Februari 2008

No Jenis Jumlah Trip Produksi (kg) CPUE

1 Jaring rampus 125 2625 53903 431.22

2 Purse seine 10 210 17025 1702.50

3 Gillnet 106 2120 40786 384.77

4 Pancing (rawai) 72 1360 11169 155.13

5 Bagan perahu 48 750 899 18.73

(41)

19

(2) Kapal penangkap ikan

Kapal penangkap ikan yang dioperasikan di perairan Binuangeun yaitu kapal motor (in board) dan kapal motor tempel (out board). Kapal motor memiliki ukuran yang bervariasi mulai dari 5 GT samapai 30 GT. Kapal motor umumnya digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap purse seine, jaring rampus dan jaring insang (gillnet). Kapal yang mengoperasikan alat tangkap purse seine

memiliki bobot 15 - 20 GT , jaring rampus dan jaring insang dioperasikan dengan kapal berbobot 5 - 10 GT dengan kekuatan mesi 20 - 33 PK. Kapal motor tempel digunakan umtuk mengoperasikan alat tangkap payang, pancing, gilnet dan rampus. Jumlah unit dari masing-masing ukuran kapal yang diopeasikan di Binuangeun dapat dilihat pada Tabel 3 (tiga).

Selain kapal-kapal lokal terdapat juga kapal-kapal dari daerah lain yang beroperasi di perairan Binuangeun dan mendaratkan hasil tangkapannya di PPI Binuangeun. Kapal-kapal tersebut berasal dari Palabuhanratu, Jampang Kulon, dan Labuan. Intensitas kedatangan kapal-kapal tersebut tidak menentu dan cenderung berkurang dari tahun ke tahun.

Tabel 5. Ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Binuangeun

No Jenis Kapal Jumlah (unit)

Nelayan yang beroperasi di perairan Binuangeun terdiri dari nelayan asli (lokal) dan nelayan pendatang. Nelayan pendatang umumnya berasal dari Palabuhanratu, Sukabumi, Cirebon, dan daerah lainnya. Pada bulan Februari 2008, nelayan asli ada sebanyak 1889 orang dan nelayan pendatang sebanyak 205 orang (PPI Binuangeun 2008).

(42)

20 Kapal-kapal yang berukuran besar (20 - 30 GT) biasanya sampai ke zona ekonomi eksklusif (ZEE). Pembagian daerah penangkapan ikan secara sendirinya terjadi berdasarkan kemampuan kapal dan alat tangkap yang dioperasikan.

Daerah penangkapan alat tangkap purse seine berada disekitar Pulau Tinjil, Pulau Deli dan laut teritoril (<12 mil dari pantai). Alat tangkap gillnet umumnya dioperasikan di sekitar Pulau Tinjil dan Pulau Deli. Kapal yang menggunakan motor tempel seperti alat tangkap payang dan pancing beroperasi di sekitar pantai. Bagan perahu dioperasikan di daerah yang terlindung dan tenang yaitu di sekitar perairan Tanjung Panto.

Penentuan daerah penangkapan ikan oleh nelayan masih bersifat tradisional. Nelayan yang mengoperasikan payang mencari ikan dengan melihat buih-buih ataupun burung yang ada di perairan. Nelayan yang mengoperasikan jaring rampus memasang jaring pada air yang hangat dan arus yang tenang. Begitu juga dengan nelayan yang mengoperasikan purse seine, mereka memasang alat tangkap dengan bermodal pengalaman dan untung-untungan.

2.6.5 Produksi perikanan tangkap di perairan Binuangeun

Produksi ikan di Binuangeun mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 total produksi sebanyak 3.145.288 kg dengan nilai produksi sebesar Rp.10.906.336.250,-. Perkembangan produksi dan nilai produksi ikan di Binuangeun dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Produksi dan nilai produksi perairan Binuangeun tahun 2003 - 2007

Tahun Produksi (kg) Nilai Produksi (Rp)

(43)

21

Ikan yang didaratkan oleh nelayan Binuangeun bervariasi baik dalam jenis maupun jumlahnya. Produksi ikan didominasi oleh ikan pelagis seperti tongkol

(Euthymus spp.), cakalang (Katsuwonus pelamis), tuna (Thunnus spp.), layang

(Decapterus spp.), layang (Decapterus spp.), tembang (Sardinella fimbriata),

tenggiri (Scomberomorus spp), lemuru (Sardinella longiceps), layur (Trichiurus

spp), kuwe (Caranx sexfasciatus), pepetek (Leiognatus spp.), cucut (Charcharinus

spp.), pari (Dasyatis spp.), dan berbagai jenis udang. Produksi dan nilai produksi jenis ikan yang dominan tertangkap dapat dilihat pada Tabel 5 (lima). Produksi dari beberapa jenis ikan yang didaratkan di PPI Binuangeun dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Produksi berbagai jenis ikan yang didaratakan di PPI Binuangeun tahun 2003 – 2007

Jenis Ikan 2003 2004 2005 2006 2007 Total

Layang 265293 87336 112889 267825 203557 936899

Kembung 282792 137890 97465 167389 126341 811877

Tembang 315350 289640 270552 287602 287602 1450746

Tenggiri 85845 85810 17258 70575 50514 310002

Tongkol 326294 299640 256025 555900 478977 1916836

Cakalang 320844 334175 233893 697868 361675 1948455

Teri 147600 120707 136630 75694 21191 501822

Marlin 153943 145865 129692 200626 271289 901415

Layur 223641 265740 225662 274579 348362 1337984

Kuwe 197816 126880 63605 64165 107884 560350

Pari 361820 261911 171407 302785 279403 1377326

Sumber : TPI Binuangeun, 2008.

2.6.6 Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun

Pangkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun berlokasi di muara sungai Cibinuangeun. Luas PPI Binuangeun sekitar 13.400 m2. PPI Binuangeun dilengkapi dengan bebagai fasilitas kepalabuhanan yang meliputi fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Fasilitas inilah yang mendukung berkembangnya aktifitas perikanan di perairan Binuangeun (Tabel 8).

(44)

22

pengelola PPI berharap agar pemerintah meningkatkan status PPI menjadi tipe C (Pelabuhan Perikanan Pantai).

Tabel 8 Fasilitas-fasilitas pengkalan pendaratan ikan (PPI) Binuangeun

No Jenis fasilitas Keterangan

f. Lapak pengepakan ikan 11 unit

g. Cold storage 1 unit

3 Fasilitas penunjang

a. Kantor PPI 77 m2

b. Gedung serba guna PPI 170 m2

c. Kantor syahbandar 1 unit

d. Kantor polisi air 1 unit

e. Pos jaga 15 m2

Sumber : PPI Binuangeun, 2008

Pelelangan ikan di PPI Binuangeun saat ini dikelola oleh Kelompok Nelayan, karena KUD Mina Laksana Mustika mengalami masalah sehingga harus dibubarkan pada tahun 2006. Kelompok nelayan berperan dalam menentukan pengelola TPI, dana paceklik dan dana sosial. Kelompok nelayan juga berperan dalam menentukan kebijakan pengembangan perikanan di Binuangeun melalui suatu forum yang diadakan secara insidentil.

(45)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data di lapangan yang dilaksanakan pada Bulan Maret sampai Mei 2008 di Perairan Binuangeun, Kecamatan Malimping, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten (Gambar 4). Sedangkan tahap kedua ialah men-download data citra sebaran suhu dari Internet (www.oceancolor.gsfc.nasa.gov) dilaksanakan pada Bulan Juli 2008.

Gambar 4 Peta daerah penelitian.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

(1) Alat pengukur panjang (meteran atau penggaris), digunakan untuk mengukur panjang ikan;

(2) Lembaran kuesioner, digunakan sebagai tempat pencatatan data yang dibutuhkan;

(3) Alat tulis, digunakan untuk mencatat data yang dibutuhkan;

(46)

24

(5) Personal Komputer, (OS Windows dan Linux). Software yang digunakan adalah Mixrosoft Office Excel untuk menghitung CPUE dan nilai suhu permukaan laut, seaDAS 4.7 untuk membaca nilai suhu permukaan laut, dan

software Surfer 8.0 yang digunakan untuk membuat gambar sebaran suhu permukaan laut beserta garis konturnya.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah metode survei. Metode survei merupakan penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan yang faktual (Nazir 2003). Data yang digunakan terdiri atas data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari hasil survei lapang dalam kegiatan operasi penangkapan ikan. Sampel kapal yang digunakan adalah payang, karena target utama kapal ini adalah ikan-ikan pelagis yang salah satunya adalah ikan tongkol dan operasi penangkapannya satu hari (one day trip). Jumlah kapal ditetapkan secara purposive atau sengaja sebanyak 8 unit dari 12 payang yang beroperasi di perairan Binuangeun.

Selanjutnya dari setiap sampel kapal dikumpulkan data posisi kapal saat melakukan operasi penangkapan, jumlah hasil tangkapan (kg), dan waktu penangkapan. Data primer juga diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuisioner terhadap responden yang ditetapkan secara purposive sampling, yaitu terhadap juru mudi kapal payang.

3.3.1 Posisi dan waktu penangkapan serta hasil tangkapan

Data hasil tangkapan diperoleh melalui kegiatan penangkapan ikan (experimental fishing). Data yang dikumpulkan dari experimental fishing adalah: (1) Posisi kapal pada saat melakukan operasi penangkapan;

(2) Waktu operasi penangkapan; (3) Komposisi berat hasil tangkapan;

(4) Ukuran panjang ikan tongkol yang tertangkap pada setiap posisi penangkapan.

Posisi kapal dicatat pada saat operasi penangkapan dilakukan (setting dan

(47)

25

Komposisi jumlah (berat) dari jenis (spesies) ikan yang tertangkap dicatat tiap-tiap operasi penangkapan. Dalam penentuan ukuran hasil tangkapan, ditarik sampel sebanyak n secara acak dari setiap trip operasi masing-masing kapal sampel yang terpilih. Untuk mempermudah proses pengambilan data, dibagikan kuisioner kepada enumerator (juru mudi) yang ditempatkan pada masing-masing kapal sampel.

3.3.2 Suhu permukaan laut

Data sebaran suhu permukaan laut di perairan Binuangeun merupakan data sekunder yang diperoleh melalui cara men-download hasil citra suhu permukaan laut yang telah tersedia di internet. Data diperoleh melalui situs

http://oceancolor.gsfc.nasa.gov. Data yang dipilih merupakan data harian sebaran suhu permukaan laut Level 2 dengan batasan posisi 06.60-07.30 LS dan 1050 -106.40BT. Pemilihan citra pada Level 2 dilakukan karena pada Level ini citra olahan sudah terkoreksi secara radiometrik.

Data sekunder lain yang dikumpulkan adalah kondisi umum perikanan di lokasi penelitian seperti data produksi dan nilai produksi tahunan, unit penangkapan, keadaan iklim dan musim, dan sebagainya. Data tersebut diperoleh dari dinas perikanan setempat, instansi terkait lainnya dan studi literatur.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Analisis hasil tangkapan

Hasil tangkapan yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Hasil tangkapan yang diperoleh dari masing-masing kapal sampel selama penelitian digabung untuk menganalisis komposisi hasil tangkapan (ukuran ikan dan jumlah hasil tangkapan) berdasarkan skala penyebaran daerah penangkapan (spasial) dan waktu operasi penangkapannya (temporal).

3.4.2 Analisis suhu permukaan laut

(48)

26

dalam pengolahan citra adalah sebagai berikut :

(1) Pembacaan nilai suhu permukaan laut dengan menggunakan program

SeaDAS 4.7.

Membuka program SeaDAS pada menu “terminal”, kemudian akan tampil

SeaDAS main menu dan seadisp main menu. Langkah selanjutnya adalah memasukkan file citra yang telah didownload dengan memilih sub menu

“load” pada “seadisp main menu”. Memasukkan koordinat daerah yang akan dihitung, koordinat yang dimasukkan merupakan koordinat pada daerah penelitian dan daerah di sekitarnya (6038’00’’LS - 7018’00”LS dan 105000’00”BT - 106024’00”BT). Setelah citra dibuka, kemudian dilakukan penyimpanan output citra dalam bentuk data ASCII dengan memilih

functions outputdataASCII. Data ini merupakan nilai suhu permukaan laut berdasarkan garis lintang dan bujur (koordinat).

(2) Penghitungan nilai suhu permukaan laut

Data ASCII hasil pengolahan SeaDAS diolah kembali dengan menggunakan program Microsoft Office Excel untuk memperoleh nilai kisaran dari suhu permukaan laut. Nilai kisaran SPL yang dipilih adalah nilai pada koordinat daerah penelitian (6054’00’’LS - 7012’00”LS dan 105006’00”BT -106018’00”BT).

(3) Pembuatan peta sebaran suhu permukaan laut

Data hasil pengolahan dari Microsoft Office Excel diolah kembali dengan menggunakan software Surfer 8.0 untuk memperoleh peta sebaran suhu permukaan laut beserta garis konturnya.

(49)

27

3.4.3 Hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan

Untuk mengetahui hubungan suhu permukaan laut dengan hasil tangkapan dilakukan analisis korelasi. Analisis korelasi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Semakin tinggi nilai r mengindikasikan bahwa hubungan yang semakin erat (Walpole 1995).

Kisaran nilai korelasi: -1 < r < +1

Korelasi erat jika : r > 0.7 dan r < - 0.6, dan Korelasi tidak erat jika: -0.6 < r < 0.7

3.4.4 Penentuan daerah penangkapan ikan potensial

Untuk menentukan daerah penangkapan ikan (DPI) potensial digunakan metode skoringberdasarkan pada tiga indikator, yaitu jumlah hasil tangkapan, ukuran panjang ikan, serta sebaran suhu permukaan laut pada daerah penangkapan. Penilaian kriteria panjang ikan berdasarkan sebaran ukuran ikan tongkol untuk memijah di perairan tropis, yaitu umumnya memijah di atas ukuran 40 cm (Ismajaya, 2007

videGirsang, 2008), sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kriteria kelayakan hasil tangkapan berdasarkan ukuran panjang ikan

Ukuran panjang (cm) Penilaian

x < 30 cm; x > 40 cm Tidak Layak Tangkap

30 cm ≤ x ≤ 40 cm Layak tangkap

Sumber: Ismajaya, 2007 vide Girsang, 2008.

Penilaian jumlah hasil tangkapan dilakukan berdasarkan pendekatan CPUE selama 3 bulan. Dengan perhitungan tersebut diperoleh kategori hasil tangkapan sedikit, sedang, dan banyak sebagaimana disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Penilaian jumlah hasil tangkapan

Jumlah HT (kg)/Trip Penilaian

≤ 200 Kg Sedikit

200 Kg ≤ HT < 400 Kg Sedang

≥ 400 Kg Banyak

Data evaluasi daerah penangkapan ikan dikategorikan dalam tiga kelas, yaitu; potensial, sedang dan kurang potensial. Penentuan bobot atau scoring

(50)

28

indikator didasarkan pada:

1. Untuk kategori jumlah hasil tangkapan:

- Jika jumlah hasil tangkapan banyak, diberi nilai (bobot) 6. - Jika jumlah hasil tangkapan sedang, diberi nilai (bobot) 4. - Jika jumlah hasil tangkapan sedikit, diberi nilai (bobot) 2. 2. Untuk ukuran panjang ikan:

- Jika diperoleh ukuran layak tangkap, diberi bobot 6. - Jika diperoleh ukuran tidak layak tangkap, diberi bobot 3. 3. Untuk sebaran suhu permukaaan laut:

- Jika DPI didominasi oleh SPL optimum untuk penangkapan, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang baik dan diberi bobot 6. - Jika DPI tidak didominasi oleh SPL optimum, maka diberi bobot 2.

Setelah diperoleh nilai bobot untuk masing-masing indikator pada suatu DPI tertentu, selanjutnya bobot tersebut dijumlahkan. Dalam hal ini ketiga indikator diasumsikan memiliki pengaruh yang sama terhadap penilaian suatu DPI.

Langkah terakhir dalam penentuan DPI ini adalah dengan cara mengelompokkan nilai bobot gabungan yang merupakan penjumlahan ketiga indikator menjadi tiga, yaitu:

1. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran tertinggi, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI potensial.

2. Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran menengah, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI sedang.

3.Jika nilai bobot gabungan berada pada kisaran yang rendah, maka DPI tersebut dapat dikategorikan sebagai DPI yang kurang potensial.

(51)

4 HASIL

4.1 Hasil Tangkapan Ikan Tongkol

4.1.1 Jumlah hasil tangkapan

Data hasil tangkapan ikan tongkol yang dikumpulkan dari delapan kapal payang memiliki sebaran yang berbeda untuk berat dan rata-rata ukuran panjang tiap bulannya. Jumlah tangkapan untuk Bulan Maret 2008 mencapai 10.130 kg dengan CPUE sebesar 241 kg/setting. Jumlah hasil tangkapan ikan tongkol untuk Bulan April meningkat menjadi 14.100 kg dengan CPUE sebesar 328 kg/setting. Selanjutnya pada Bulan Mei, jumlah tangkapan ikan tongkol meningkat lagi sebesar 27.490 kg dengan CPUE sebesar 482 kg/setting. Untuk lebih lengkapnya nilai CPUE dan persentase hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 5.

Bulan

= Persentase dari total tangkapan

Gambar 5 CPUE dan persentase hasil tangkapan Bulan Maret-Mei 2008.

Jumlah hasil tangkapan total untuk Bulan Maret sampai Mei 2008 adalah 51.720 kg. Hasil tangkapan terbanyak didapat pada periode Mei, kemudian April dan Maret. Hasil tangkapan untuk tiap-tiap bulannya memiliki perbandingan sebagai berikut; 19.59 % atau sebesar 10.130 kg pada bulan Maret, 27,26 % atau sebesar 14.100 kg pada Bulan April, dan 53,15 % atau sebesar 27.490 kg pada Bulan Mei.

(52)

30

Gambar 6Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada Bulan Maret 2008.

Pada Gambar 7 terlihat pola yang fluktuatif. Nilai CPUE terbesar didapat pada tanggal 27 April sebanyak 398 kg/setting dan nilai yang terkecil sebanyak 150 kg/setting pada tanggal 3 April.

0

Gambar 7Catch Per Unit Effort (CPUE) perhari pada Bulan April 2008.

Pada Bulan Mei 2008, nilai CPUE secara keseluruhan cenderung meningkat hingga akhir bulan. CPUE terbesar didapat pada tanggal 29 Mei sebanyak 980 kg/setting dan nilai terkecil pada tanggal 4 Mei sebanyak 180 kg/setting dengan nilai rata-rata CPUE sebesar 482 kg/setting (Gambar 8).

0

(53)

31

4.1.2 Ukuran (size) hasil tangkapan

Panjang ikan tongkol yang tertangkap selama Bulan Maret hingga Mei berkisar antara 24 cm sampai 49 cm. Persentase ukuran ikan layak tangkap yang didapat pada trip penangkapan nelayan payang periode Bulan Maret - Mei 2008 dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa hasil tangkapan yang masuk dalam kategori layak tangkap sebesar 33.618 kg atau 65% dari jumlah total ikan yang tertangkap.

Gambar 9 Persentase total ikan layak tangkap periode Maret-Mei 2008.

Penyebaran hasil tangkapan yang masuk ke dalam kategori layak tangkap pada setiap bulannya disajikan pada Gambar 10. Dari Gambar 10, terlihat bahwa komposisi ikan layak tangkap terbanyak didapatkan pada Bulan Mei sebesar 68.75%, kemudian menyusul Bulan Maret dan April dengan nilai persentase masing-masing sebesar 66.67% dan 58.33%. Hal ini juga berarti bahwa jumlah ikan yang masuk kategori tidak layak tangkap terbanyak terdapat pada Bulan April, Maret kemudian menyusul Bulan Mei.

(54)

32

Panjang rata-rata ikan tertangkap periode Bulan Maret 2008 disajikan pada Gambar 11. Kisaran ukuran panjang ikan tongkol yang tertangkap berada pada selang 24 cm sampai 36 cm dengan nilai rata-rata sebesar 30 cm. Ukuran rata-rata ikan tongkol terbesar didapat pada tanggal 26 Maret dan rata-rata ukuran terkecil pada tanggal 8 Maret.

Gambar 11 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Maret 2008.

Rata-rata ukuran panjang ikan tongkol yang tertangkap pada Bulan April disajikan pada Gambar 12. Kisaran panjang ikan tongkol yang tertangkap berada pada selang 26 cm sampai 42 cm. Nilai rata-rata yang didapat adalah sebesar 32 cm. Rata-rata ukuran panjang ikan terbesar didapat pada tanggal 15 April dan rata-rata terendah pada tanggal 3 April.

0

Gambar 12 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan April 2008.

(55)

33

Gambar 13 Rata-rata ukuran panjang ikan pada Bulan Mei 2008.

4.2 Suhu Permukaan Laut

Sebaran suhu permukaan laut di perairan Binuangeun yang didapat melalui pengolahan citra dengan menggunakan software Surfer 8.0 menghasilkan gambar citra suhu permukaan laut secara jelas dengan pemberian warna (pallet) yang berbeda pada setiap kisaran suhu yang berbeda. Jumlah gambar citra yang diperoleh selama penelitian (Maret sampai Mei 2008) sebanyak 22 citra yang terdiri dari 7 citra Bulan Maret, 6 citra Bulan April dan 9 citra Bulan Mei. Dari keseluruhan citra suhu permukaan laut yang diperoleh terlihat bahwa SPL pada Bulan Maret sampai Mei sangat bervariasi mulai dari suhu yang terendah 240C hingga yang tertinggi yaitu 310C (Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16).

Sebaran SPL pada Bulan Maret berkisar antara 240C-300C dengan suhu dominan antara 240C-280C. Pada Bulan ini perairan Binuangeun cenderung didominasi oleh suhu yang dingin yaitu pada tanggal 16 Maret, 22 Maret, 26 Maret dan 30 Maret. Bahkan konsentrasi awan cukup banyak menutupi wilayah penangkapan ikan, khususnya daerah penangkapan Ujungkulon pada tanggal 16 Maret dan 26 Maret, sehingga suhu permukaan laut di daerah tersebut tidak dapat terekam oleh sensor MODIS. Sedangkan pada tanggal 6 Maret, 12 Maret dan 14 Maret frekuensi munculnya suhu hangat lebih sering (Gambar 14).

(56)

34

(57)

35

6 Maret 2008 12 Maret 2008

14 Maret 2008 16 Maret 2008

22 Maret 2008 26 Maret 2008

30 Maret 2008

(58)

36

2 April 2008 7 April 2008

13 April 2008 15 April 2008

20 April 2008 27 April 2008

(59)

37

1 Mei 2008 2 Mei 2008

10 Mei 2008 13 Mei 2008

17 Mei 2008 22 Mei 2008

25 Mei 2008 28 Mei 2008

29 Mei 2008

Gambar

Tabel 2 Karakteristik sensor MODIS
Gambar 3 Ikan tongkol.
Tabel 4 Jenis, trip dan produksi alat penangkap ikan di PPI Binuangeun Bulan Februari 2008
Tabel 5. Ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan di PPI Binuangeun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik fisik suhu permukaan laut dari satelit, pola musim penangkapan dan pengaruh curah dan hari hujan terha- dap hasil

Dari pola sebaran suhu permukaan laut di perairan Kendari, suhu permukaan laut yang tinggi pada musim peralihan 1 (Gambar 6) terjadi pada musim yang sama dengan puncak hasil

Dengan mengetahui suhu permukaan laut untuk wilayah yang luas akan dapat diamati pola arus laut di suatu wilayah perairan dan interaksinya dengan wilayah perairan lain serta

Dengan ini saya, Mohamad Zaki Satrio Adhi, menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi yang berjudul Pengaruh Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut (SPL) Terhadap Hasil Tangkapan

Dengan ini saya, Atika Dwiyanti, menyatakan bahwa karya ilmiah/skripsi yang berjudul Pengaruh Suhu Permukaan Laut (SPL) dan Klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Layang

Daerah penangkapan ikan pelagis (tongkol dan tenggiri) yang sesuai dengan daerah thermal front , kondisi suhu optimum serta klorofil-a ikan tersebut ditunjukkan

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pendugaan Daerah Penangkapan Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan Laut dan Klorofil- a

Suhu permukaan laut yang berpotensi untuk dilakukan penangkapan ikan cakalang di perairan Banda Aceh yaitu musim peralihan timur barat (September – November) berkisar 28 –