AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN
DEBITUR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM
TERHADAP HARTANYA
S K R I P S I
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
REVINA GISELLA K NIM : 090200226
DEPARTEMEN :HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITUR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM
TERHADAP HARTANYA
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dalam memenuhi syarat-syarat untuk
memperoleh gelar sarjana hukum
OLEH :
REVINA GISELLA K NIM : 090200226
DISETUJUI OLEH:
KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
NIP.197501122005012002 Windha, SH. M. Hum
Dosen Pembimbing I
NIP.195303121983031002 Ramli Siregar, SH. M. Hum
Dosen Pembimbing II
NIP. 197501122005012002 Windha, SH. M. Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
anugerah, kasih dan penyertaanNya yang selalu Penulis terima, sepanjang waktu hingga
akhirnya Penulis menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Akibat Hukum
Kepailitan Terhadap Kewenangan Debitur Dalam Melakukan Perbuatan Hukum
Terhadap Hartanya”, yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperolah
gelar sarjana dari Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Penulis menyadari keterbatasan penulis dalam penulisan skripsi ini, sehingga
penulis tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah dengan ikhlas memberikan
bimbingan, petunjuk serta bantuan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Oleh karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, dan Bapak Muhammad Husni, S.H, M.Hum
selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Windha, S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ramli Siregar, SH., M.Hum, selaku dosen pembimbing I Penulis yang
memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Windha, SH., M.Hum selaku dosen pembimbing II Penulis yang memberikan
bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Syarifuddin Siba, Selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis, dan seluruh
dosen Fakultas Hukum Sumatera Utara yang tidak dapat Penulis sebutkan
namanya satu persatu.
7. Keluarga Penulis, Bapak dan Ibu, kedua adik dan yang terus mendoakan,
mendukung, memberi semangat dan menjadi inspirasi bagi Penulis dalam
8. Teman – teman seangkatan penulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, khususnya kepada sahabat
– sahabat yang selalu memberi semangat.
9. Kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang
memberikan dukungan, semangat, bimbingan, arahan, kepada Penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini, terimakasih.
Penulis menyadari bahwa hasil akhir penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, September 2013
Penulis,
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ... 13
G. Sistematika Penulisan ... 15
BAB II KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA A. Pengertian kepailitan ... 17
B. Sejarah kepailitan di Indonesia ... 19
C. Syarat dan putusan pailit ... 24
D. Akibat hukum kepailitan ... 34
E. Pengurusan dan pemberesan harta pailit ... 39
BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS HARTANYA A. Pengertian perbuatan hukum ... 46
B. Bentuk-bentuk kewenangan debitor pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya ... 47
C. Actio paulina ... 48
BAB IV PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITOR
PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS
HARTANYA
A. Pengangkatan kurator oleh pengadilan niaga ... 64
B. Tugas kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit ... 68
C. Kewenangan kurator dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit ... 72
D. Tanggungjawab kurator atas kelalaiannya dalam pengurusan dan
pemberesan harta pailit ... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 84
ABSTRAK
AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN DEBITUR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM TERHADAP HARTANYA
*) Revina Gisella K *) Ramli Siregar
***) Windha
Kewenangan untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta Debitur pailit ada pada Kurator, karena sejak adanya penyataan pailit, Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan. Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya. Untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat dari kepailitan diperlukan instrumen hukum yang jelas untuk menfasilitasi masalah utang piutang yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai suatu jaminan kepastian hukum dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempurna agar proses kepalitan dapat berlangsung secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada kreditur dan debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil.
Penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia, bagaimana akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya dan bagaimana peran kurator terkait dengan kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya
Adapun penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif, sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa Kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia adalah Sistem kontrol Hakim Pengawas dalam proses kepailitan lebih dijalankan, Hakim Pengawas menjadi partner kurator, sehingga jika ada kesalahan sekecil apapun dapat segera cepat diselesaikan, selain itu diperlukan pula moral hakim yang baik/bersih dalam memutus setiap perkara sehingga nantinya akan menghasilkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan bagi para pihak bukan memihak dan menguntungkan salah satu pihak saja. Akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya adalah Kepailitan Badan Hukum terhadap kepailitan dirinya sendiri bukan kepailitan para pengurusnya, walaupun kepailitan itu terjadi karena adanya kelalaian dari para pengurusnya. Sehingga seharusnya pengurus tidak dapat dimintai pertanggung jawabannya secara tanggung renteng atas adanya kerugian karena kelalaiannya dan hanya dapat dimintai pertangungjawaban apabila kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan. Untuk akibat-akibat hukum tertentu dari kepailitan berlaku Rule of Reason, adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku, akan tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu, setelah mepunyai alasan yang wajar untuk diberlakukan. Pihak-pihak yang mesti mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat hukum tertentu tersebut. Misal, Kurator, Pengadilan Niaga, Hakim Pengawas, dan lain-lain.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar dapat dijatuhi
putusan kepailitan. Debitur ini dapat berupa perorangan (badan pribadi) maupun badan
hukum. Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh Pengadilan Niaga, debitur demi hukum
kehilangan haknya untuk berbuat sesuatu terhadap penguasaan dan pengurusan hartanya
yang termasuk dalam kepailitan terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Kepailitan
mengakibatkan seluruh hartanya debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit di ucapkan.
Umumnya, secara teoritis debitur yang memiliki masalah utang piutang berkaitan
dengan kemampuan membayar utang, menempuh berbagai alternatif penyelesaian.
Mereka dapat merundingkan permintaan penghapusan utang baik untuk sebagian atau
seluruhnya. Mereka dapat pula menjual sebagian aset atau bahkan usahanya, serta dapat
pula mengubah pinjaman tersebut menjadi penyertaan saham. Selain kemungkinan tadi,
debitur dapat pula merundingkan permintaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
sebagai upaya terakhir barulah ditempuh melalui proses kepailitan
Pada dasarnya, kepailitan mencakup mengenai harta kekayaan dan bukan
mengenai perorangan debitur .Yang disebut dengan harta pailit adalah harta milik debitur
yang dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan.1
1
Nating Imran, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator Dalam Pengurusan dan Pembebasan Harta Pailit, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 27.
Ketentuan pasal 21
Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa”Kepailitan meliputi seluruh kekayaan
selama kepailitan”.Walaupun demikian pasal 22 Undang-Undang Kepailitan
mengecualikan beberapa harta kekayaan debitur dari harta pailit.Selain itu, dalam Pasal
1131 dan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menerangkan tentang
jaminan pembayaran harta seorang debitur kepada kreditur. Dalam Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) disebutkan bahwa” Segala kebendaan si
berutang,baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang
baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan perikatan perseorangan,” hal ini
sangat memperjelas tentang obyek dari harta pailit. Namun dalam
perkembanganya,banyak debitor yang berusaha menghindari berlakunya Pasal 1131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dengan melakukan berbagai perbuatan
hukum untuk memindahkan berbagai asetnya sebelum dijatuhkanya putusan pailit oleh
Pengadilan Niaga. Misalnya menjual barang-barangnya sehingga barang tersebut tidak
lagi dapat disitajaminkan oleh kreditur.
Hal ini sangat merugikan kreditur karena semakin berkurangnya harta yang
dipailitkan maka pelunasan utang kepada kreditur menjadi tidak maksimal.
Undang-Undang telah melakukan berbagai cara untuk melindungi kreditor dengan Pasal 1341
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 41-49 Undang Undang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh undang-nndang tersebut sering disebut dengan actio pauliana. Actio pauliana adalah suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan
krediturnya. Namun dalam upaya pembuktianya bahwa debitur telah melakukan berbagai
Pasal 41 ayat (1) UU Kepailitan dinyatakan secara tegas bahwa untuk
kepentingan harta pailit, segala hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang
merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan, dapat dimintai pembatalan oleh kreditur kepada pengadilan.
Ketentuan Pasal 41 dan 42 UU Kepailitan, dapat diketahui bahwa sistem
pembuktian yang dipakai adalah sistem pembuktian terbalik, artinya beban pembuktian
terhadap pembuatan hukum debitur (sebelum putusan pernyataan pailit) tersebut adalah
berada pada pundak debitur pailit dan pada pihak ketiga yang melakukan perbuatan
hukum dengan debitur apabila perbuatan hukum debitur tersebut dilakukan dalam jangka
waktu 1 Tahun (sebelum putusan pernyataan pailit) merugikan kepentingan kreditur,
maka debitur dan pihak ketiga wajib membuktikan bahwa perbuatan hukum tersebut
wajib dilakukan oleh mereka dan perbuatan hukum tersebut tidak merugikan harta pailit.
Berbeda, apabila perbuatan hukum yang dilakukan debitur dengan pihak ketiga
dalam jangka waktu lebih dari 1 tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana
Kurator menilai bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan kepentingan
kreditur atau harta pailit, maka yang wajib membuktikan adalah Kurator. Kepailitan
hanya mengenai harta kekayaan dan bukan kekayaan dan bukan mengenai perorangan
debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang lain, seperti hak-hak yang
timbul dari kekuasaan orang tuanya.
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur tidaklah berada
dibawah pengampunan. Debitur tidaklah kehilangan kemampuannya untuk melakukan
perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum menyangkut
benda yang akan diperolehnya debitur pailit tetap berwenang bertindak sepenuhnya
akan tetapi tindakan-tindakannya tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita.
Pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan
mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal
kepailitan itu, termasuk juga untuk kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri.
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang menerangkan bahwa yang berwenang melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit.
Debitur kehilangan hak menguasai harta yang masuk dalam kepailitan, namun
tidak kehilangan hak atas harta kekayaan yang berada diluar kepailitan. Tentang harta
kepailitan, lebih lanjut dalam Pasal 19 kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang menerangkan bahwa harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada
pada saat pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya selama
kepailitan.
Kewenangan untuk melaksanakan pengurusan dan pemberesan harta Debitur
pailit ada pada Kurator, karena sejak adanya penyataan pailit, Debitur demi hukum
kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam
kepailitan. Putusan pailit oleh pengadilan tidak mengakibatkan debitor kehilangan
kecakapannya pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya
untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya. Untuk mengatasi permasalahan
yang timbul akibat dari kepailitan diperlukan instrumen hukum yang jelas untuk
menfasilitasi masalah utang piutang yang sangat diperlukan oleh dunia usaha sebagai
peraturan perundang-undangan yang lengkap dan sempurna agar proses kepalitan dapat
berlangsung secara cepat, terbuka dan efektif sehingga dapat memberikan kesempatan
kepada kreditur dan debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil.
Adanya permasalahan tersebut dan untuk menyelesaikan tugas akhirnya maka
penulis hendak menulis skripsi dengan judul “AKIBAT HUKUM KEPAILITAN
TERHADAP KEWENANGAN DEBITOR DALAM MELAKUKAN PERBUATAN
HUKUM TERHADAP HARTANYA.”
B. Perumusan Masalah
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus diselesaikan
oleh peneliti dalam penelitian. Dengan adanya perumusan masalah maka akan dapat
ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak mengarah pada hal-hal
diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana kepailitan dalam sistem hukum di Indonesia?
2. Bagaimana akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitor pailit dalam
melakukan perbuatan hukum atas hartanya?
3. Bagaimanaperan kurator terkait dengan kewenangan debitor pailit dalam melakukan
perbuatan hukum atas hartanya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
b. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur pailit
dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
c. Untuk mengetahui peran kurator terkait dengan kewenangan debitur pailit dalam
melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah:
a. Sebagai bahan masukan teoritis bagi penulis untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman hukum kepailitan terhadap kewenangan debitur dalam melakukan
perbuatan hukum.
b. Untuk menerapkan pengetahuan penulis secara praktis agar masyarakat mengetahui
pembaruan hukum khususnya bagi hukum kepailitan dalam melakukan perbuatan
hukum atas harta pailit.
D. Keaslian Penelitian
Adapun judul tulisan ini adalah akibat hukum kepailitan terhadap kewenangan
debitur dalam melakukan perbuatan hukum terhadap hartanya. Judul skripsi ini belum
pernah ditulis dan diteliti dalam bentuk yang sama khususnya kepailitan terhadap
kewenangan debitor, sehingga tulisan ini asli, atau dengan kata lain tidak ada judul yang
sama dengan mahasiswa fakultas hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian
ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Apabila di tinjau secara teoritis, lahirnya Undang–Undang Kepailitan dan PKPU,
Indonesia yang pada akhirnya juga menimbulkan krisis sosial dan politik dimana
terjadi euphoria reformasi segala bidang, maka untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut pemerintah menertibkan Undang-Undang
Kepailitan menjadi suatu daerah hukum positif dalam sistem Perundang-Undangan di
Indonesia.
Seluruh harta benda debitur dalam kepailitan di peruntukan bagi pembayaran
tagihan-tagihan kreditur maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk memenuhi
kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi di antara para
kreditur menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing.2
Pembagian harta kekayaan pailit yang dimaksudkan untuk menjamin kepentingan
para kreditur. Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditor dari kreditur
lainnya berupaya mencegah salah satu kreditur memperoleh lebih banyak dari kreditur
lainnya dalam pembagian harta kekayaan, sedangkan perlindungan dari kreditur yang
tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitur mengungkap secara penuh maupun
secara priodik. Sementara itu, apabila debitur berada dalam keadaan susah dapat ditolong
maka debitur dimungkinkan untuk dapat di keluarkan secara terhormat dari permasalahan
utangnya.3
Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di
dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan yang dilihat dari
sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti
2
Martiman Prodjomidjojo, Proses kepailitan (Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 2.
3
Zulkarnain Sitompul, Pola Penyelesaian Utang Tantangan Bagi Pemaharuan UU Kepailitan,
sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan
bisnis meliputi 3 (tiga) hal yaitu:
1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan lembaga-lembaga
yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive legal rules).
2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan
3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata pailit berasal dari
bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “ Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang
atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan
pailit ”.4
Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Tahun 1998 pasal 1 ayat (1),
yang menyebutkan : “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,
baik atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditur.5
4
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,(Jakarta: Majalah Hukum Nasional, 2000), hlm 81.
5
Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan setelah
memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan permohonan. Keterbatasan pengetahuan
perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga
istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun
pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut lebih kenal.
Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke pengadilan agar dirinya dinyatakan
pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya
habis dan ia tidak dapat membayar utang-utangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya
sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang besar, pengertian
istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka ketahui.
Esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta
kekayaan debitur baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama
kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur
dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang
berwajib.6
1. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan
sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/ uang tunjangan, sekedar
atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.
Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:
2. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian
nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (Pasal 213, 225, 321 KUH
Perdata).
6
3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan hak nikmat
hasil seperti dimaksud dalam (Pasal 311 KUH Perdata).
4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit
berdasarkan Pasal 318 KUH Perdata.
Apabila seorang debitur (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja para
kreditur akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan
jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitur kepengadilan dengan disertai sita
jaminan atas harta si debitur atau menempuh jalan yaitu kreditur mengajukan
permohonan ke pengadilan agar si debitur dinyatakan pailit.7
Kreditur menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata, maka
hanya kepentingan kreditur/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitur yang
disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditur, kreditur lain yang tidak
melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila
kreditur-kreditur memohon agar pengadilan menyatakan debitur pailit, maka dengan persyaratan
pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitur dan sejak itu
pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.8
Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau beberapa
orang kreditur, melainkan untuk semua kreditur atau dengan kata lain untuk mencegah
penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditur secara perorangan. Hal lain yang
perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta benda debitur, bukan
pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan perbuatan hukum di luar hukum
7
Ibid, hlm 108.
8Ibid
kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang
tua, ibu misalnya. Jadi demikian sebenarnya esensi kepailitan.
Kepailitan yang pernah terjadi, Kurator tidak sepenuhnya bebas dalam melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit. Kurator senantiasa berada dibawah pengawasan
Hakim Pengawas. Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan dan
pemberesan harta pailit yang menjadi tugas Kurator (yang dilakukan oleh Kurator).
Hakim Pengawas menilai sejauh manakah pelaksanaan tugas pengurusan dan pemberesan
harta pailit yang dilaksanakan oleh Kurator dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur
dan kreditur. Dalam kondisi inilah diperlukan peran Hakim Pengawas oleh karenanya
Kurator menyampaikan laporan kepada Hakim Pengawas mengenai keadaan harta pailit
dan pelaksanaan tugasnya setiap tiga bulan.9
mendapat masukan. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan keberhasilan dari suatu
pernyataan pailit, karenanya Hakim Pengawas dan Kurator harus saling berhubungan
sebagai mitra kerja.
Mengingat beratnya tugas yang diemban oleh Kurator dalam melakukan
pengurusan dan pemberesan harta pailit, maka seorang Kurator harus selalu berhubungan
dengan Hakim Pengawas untuk melakukan konsultasi atau sekedar
10
Dalam melaksanakan tugas, baik Hakim Pengawas maupun
Kurator harus sama-sama saling mengetahui tugas keduanya, sehingga keduanya saling
memahami kapankah harus berhubungan. Kerja sama yang harmonis sangat diperlukan,
terlebih dahulu apabila menemui debitur atau kreditur yang kurang mendukung
kelancaran penyelesaian perkara. Kenyataan di lapangan, meskipun komunikasi Hakim
tegas dan langsung membantu tugas Kurator, misalnya menindak debitur yang tidak
kooperatif.11
F. Metode Penelitian
Dengan demikian jelas mengapa sejak berabad-abad telah ada peraturan
kepailitan, karena dirasakan perlu untuk mengatur hak-hak dan kewajiban debitur yang
tidak dapat membayar utang-utangnya serta hak-hak dan kewajiban para kreditur. Dari
kesimpulan ini dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu di hubungkan dengan
kepentingan para kreditur, khususnya tentang tata cara dan hak kreditur untuk
memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang debitur yang dinyatakan pailit.
Dari uraian tersebut tergambar sangatlah bahwa Hakim Pengawas memiliki andil yang
cukup besar dalam pemberesan dan pengurusan harta pailit dalam kepailitan.
1. Sifat dan jenis penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, penulis berupaya untuk menggambarkan
sifat hubungan hukum secara normatif dalam hukum kepailitan terhadap kewenangan
debitur.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif, yakni sebuah jenis
penelitian yang mencoba untuk melihat kesesuaian aturan-aturan hak ditingkat normatif,
yakni antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Bahan Penelitian
Perlu ditegaskan bahan penelitian yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu :
11Ibid
a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia maupun yang diterbitkan oleh Negara lain dan
badan-badan internasional.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan
hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer
seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya
tulis ilmiah dan beberapa sumber internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Alat Penelitian
Penulisan ini, penulis mengumpulkan data-data yang diperlukan dengan cara
penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang
bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan
menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.12
4. Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu
data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara
12
kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut
dituangkan dalam bentuk skripsi.
G. Sistematika penulisan
Agar memudahkan pemahaman terhadap materi dari skripsi ini dan agar tidak
terjadinya kesimpangsiuran dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membaginya dalam
beberapa bab dan tiap bab dibagi lagi ke dalam beberapa sub-sub bab.
Adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA.
Bab ini berisikan tentang pengertian kepailitan, sejarah kepailitan di
Indonesia, syarat dan putusan pailit, akibat hukum kepailitan dan pengurusan
dan pemberesan harta pailit.
BAB III AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP KEWENANGAN
DEBITUR PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS
HARTANYA
Bab ini berisikan tentang pengertian perbuatan hukum, bentuk-bentuk
kewenangan debitur pailit dalam melakukan perbuatan hukum atas hartanya.
BAB IV PERAN KURATOR TERKAIT DENGAN KEWENANGAN DEBITUR
PAILIT DALAM MELAKUKAN PERBUATAN HUKUM ATAS
HARTANYA
Bab ini berisi tentang pengangkatan kurator oleh pengadilan niaga, tugas
kurator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, kewenangan kurator
dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit, tanggungjawab kurator atas
kelalaiannya dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini adalah merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, dimana
BAB II
KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Pengertian Kepailitan
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam
hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.
Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk
melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk
menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata pailit. Selanjutnya istilah pailit berasal dari kata Belanda faillet yang mempunyai arti kata ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet sendiri berasal dari Perancis yaitu
Faillete yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam bahasa Perancis disebut Le failli.
Kata kerja failir berarti gagal; dalam bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail
yang mempunyai arti sama dalam bahasa latin yaitu failure. Di negara-negara yang berbahasa Inggris untuk pengertian pailit dan kepailitan mempergunakan istilah-istilah bankrupt dan bankruptcy.13
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang Debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan (dalam
hal ini Pengadilan Niaga) dikarenakan Debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.
Harta Debitur dapat dibagikan kepada para Kreditur sesuai dengan peraturan
Pemerintah.14
13
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia, Rineka Cipta: Jakarta, 1994, hlm 18
14
Apabila dilihat dari segi tata bahasanya kata pailit merupakan kata sifat yang
ditambah imbuhan ke-an, sehingga mempunyai fungsi membedakan. Kata dasar pailit
ditambah imbuhan ke-an menjadi kepailitan. Jadi secara tata bahasa, kepailitan berarti
segala hal yang berhubungan dengan pailit. Di samping itu istilah pailit sudah acap atau
terbiasa dipergunakan dalam masyarakat, sehingga istilah tersebut tidak asing lagi bagi
masyarakat.
Pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary15 tersebut, dapat dilihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari
seseorang debitur atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut
harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara
sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu
permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan.16
Undang-undang kepailitan Nomor 37 Tahun 2004, Pasal 1 butir 1 menyebutkan
definisi dari kepailitan yaitu : Sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim
Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Diantara beberapa sarjana
ditenukan adanya pendapat yang berbeda tentang pengertian kepailitan. Kepailitan adalah
suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran semua piutang secara adil.
Pendapat yang lain menyebutkan bahwa kepailitan merupakan penyitaan umum atas
kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihannya sehingga Balai Harta
15
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, St. Paul – Minessota, USA, 1990.
16
Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan budel dari orang
yang pailit.
Ada pula yang menyebutkan bahwa kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi
atas seluruh kekayaan si debitur untuk kepentingan seluruh krediturnya bersama-sama,
yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai piutang dan untuk jumlah piutang
yang masing-masing kreditur miliki pada saat itu. Berdasarkan beberapa definisi atau
pengertian yang diberikan oleh beberapa sarjana tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa kepailitan mempunyai unsur-unsur :17
B. Sejarah Kepailitan di Indonesia
1. Adanya sita dan eksekusi atas seluruh kekayaan debitur.
2. Sita itu semata-mata mengenai harta kekayaan.
3. Sita dan eksekusi tersebut untuk kepentingan para krediturnya secara bersama-sama.
Sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia, menurut Sri Redjeki Hartono
dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum Faillisement Verordening berlaku, masa berlakunya Faillisements Verordening itu sendiri dan masa berlakunya UU Kepailitan yang sekarang ini.18
a. Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang berjudul “Van de Voorzieningen in geval van Onvormogen van kooplieden” atau peraturan tentang 1. Sebelum berlakunya Faillisements Verordening
Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
17
Mulyadi, Kartini, Hukum Kepailitan, (Jakarta : Putra Grafika, 2007), hlm. 143.
18
ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi
pedagang.
b. Reglement op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-63, Buku ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von Kenneljk Onvermogen atau tentang Keadaan nyata-nyata tidak mampu.
Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang bukan pedagang.
Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan
banyak kesulitan antara lain adalah:
a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya
b. Biaya tinggi
c. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan
d. Perlu waktu yang cukup lama.
Pembuatan aturan baru yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka
lahirlah Faillissements Verordening (S. 1905-217) untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut.19
2. Masa Berlakunya Faillisements Verordening Mengenai kepailitan diatur dalam
Faillisements Verordening (S.1905-271 bsd S.1906-348). Peraturan Kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku bagi golongan Eropah, golongan Cina dan golongan Timur
Asing (S. 1924 - 556). Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) dapat saja
menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepailitan berlaku Faillisementes Verordening 1905-217 yang berlaku bagi semua orang, baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik
perseorangan maupun badan hukum.
19Ibid,
Sejarah peraturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di
Belanda melalui asas konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya
“Code de Commerce” (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan
Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1 September 1896.
3. Masa Berlakunya Undang- Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional
Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348, Republik Indonesia
mampu membuat sendiri peraturan kepailitan meskipun masih tambal sulam sifatnya,
yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional
dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1
tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian
ditingkatkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18
November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang.20
Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di negara-negara Asia termasuk di
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang sangat besar
terhadap perekonomian nasional terutama kemampuan dunia usaha dalam
mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk memenuhi kewajiban
pembayaran mereka pada para kreditur. Keadaan ini pada gilirannya telah melahirkan a. Masa Berlakunya Perpu No 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang Kepailitan No. 4
Tahun 1998
20Ibid
akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak
yang lebih luas lagi.
Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama
ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban membayar tadi di atur dalam
Feaillisements Verordening S. 1905 No. 217 Jo. S. 1906 No. 348. Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening tersebut masih baik. Namun karena mungkin selama ini jarang dimanfaatkan, mekanisme yang diatur didalamnya menjadi
semakin kurang teruji, beberapa infra struktur yang mendukung mekanisme tersebut juga
menjadi kurang terlatih. Sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan
perekonomian berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk
menyediakan sarana hukum yang memadai yakni yang cepat, adil terbuka dan efektif
guna menyelesaikan utang piutang. Pelaksanaan penyempurnaan atas peraturan kepailitan
atau Faillisemnets Verordening melalui PERPU No. 1 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai konsekuensi
lebih lanjut dari PERPU ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia
No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 September
tahun 1998 yang tertuang dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) tahun
1998 No. 135.
Sejak undang-undang tersebut disahkan maka berlakulah UU Kepailitan yang
isinya masih merupakan tambal sulam dari aturan
sebelumnya yaitu Peraturan Kepailitan atau FV.21
b. Masa Berlakunya UUK No.37 Tahun 2004
21Ibid,
Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang
melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para
pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari
berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain
yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang
piutang dalam masyarakat. Krisis moneter yang melanda Benua Asia termasuk Indonesia
pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap
perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam
mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan
kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi
kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut
berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai.
Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang
secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang
mendukungnya. Oleh karena itu apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih
luas antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. perubahan
dilakukan terhadap Undang-Undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah, dan
meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi
materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan.
C. Syarat dan Putusan Pailit
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit, yaitu orang yang
pengadilan. Berikut adalah penjelasan tentang kapan seorang debitur dinyatakan
pailit. Sebelum membahas mengenai persyaratan kepailitan, berikut sedikit penjelasan
mengenai apa itu pailit dan pihak-pihak yang dipailitkan berdasakan Pasal 1 butir (1). (2),
(3), dan (4) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004:
1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
2. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.
3. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau
undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
4. Debitur pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan.
Pernyataan pailit terhadap seorang debitur dinyatakan secara sederhana, artinya
tidak diperlukan alat-alat pembuktian sebagaimana dalam Buku IV Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, karena cukup dengan bila peristiwa itu telah terbukti dengan
alat-alat pembuktian sederhana. Terkait hal tersebut di atas maka seorang debitur dapat
dinyatakan pailit, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur Hal ini dimaksudkan bahwa Debitur
dalam keadaan benar-benar tidak mampu membayar terhadap dua atau lebih
krediturnya tersebut.
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
tempo dan dapat ditagih disini adalah utang pokok atau bunga yang tidak
terbayar, namun pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 37 Tahun 2004, disebutkan
kewajiban untuk membayar utang jatuh waktu dan dapat ditagih baik karena
telah diperjanjikan, karena percepatan waktu pengalihan sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan saksi atau denda oleh instansi yang berwenang
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.
c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya Dalam Pasal 2 ayat (1) dijelaskan bahwa yang dimaksud kreditur
adalah baik kreditor konkuren, kreditur separatis maupun kreditor preferen.
Khusus mengenai kreditur separatis maupun preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang
mereka miliki terhadap harta debitur dan haknya untuk didahulukan. Namun
bilamana terdapat sindikasi kreditur, maka masing-masing kreditor adalah orang
yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat
ditagih dimuka pengadilan. Sedangkan dalam hal pernyataan pailit diajukan oleh
debitur yang sudah menikah, maka permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau isterinya kecuali apabila tidak ada percampuran harta.
Demikian penjelasan dari kami berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan
sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 37 Tahun 2004, bahwa syarat kepailitan ini
diatur untuk menghindari adanya perebutan harta debitur maupun kecurangan kecurangan
oleh salah seorang kreditur atau bahkan debitur sendiri.22
22
Syarat-syarat untuk mengajukan pailit terhadap suatu perusahaan telah diatur
dalam Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang adalah :
a. Adanya Utang
Pengertian Utang menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 adalah : Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik
dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang
akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau
Undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak
kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.
Menurut Jerry Hoff sebagaimana dikutif oleh Setiawan, utang seyogyanya diberi
arti luas baik dalam arti kewajiban membayar sejumlah uang tertentu yang timbul karena
adanya perjanjian utang-piutang, maupun kewajiban pembayaran sejumlah uang tertentu
yang timbul dari perjanjian atau kontrak lain yang menyebabkan debitur harus membayar
sejumlah uang tertetu. Dengan membayar sejumlah uang tertentu yang disebabkan karena
Debitur telah menerima sejumlah uang tertentu karena perjanjian kredit, tetapi juga
kewajiban membayar debitor yang timbul dari perjanjian-perjanjian lain.23
Menurut Sutan Remy Syahdeni, pengertian utang tidak hanya dalam arti sempit,
yaitu tidak seharusnya hanya diberi arti berupa kewajiban membayar utang yang timbul
karena perjanjian utang piutang saja, tetapi merupakan setiap kewajiban debitur yang
berupa kewajiban membayar sejumlah uang kepada kreditur baik kewajiban yang timbul
23
karena perjanjian apapun juga maupun timbul karena ketentuan Undang-undang dan
timbul karena putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dilihat dari
perspektif Kreditur, kewajiban membayar debitur tersebut merupakan “hak untuk
memperoleh pembayaran sejumlah uang” atau right to payment. 24
Pengertian Debitur menurut Pasal 1 Angka 3 UU No. 37 Tahun 2004 adalah
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya
dapat ditagih di muka pengadilan. Pengertian Kreditur menurut Pasal 1 angka 2 UU No.
37 tahun 2004 adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau
Undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka pengadilan. Dalam KUH Perdata tidak
dipakai istilah “Debitur” dan “Kreditur”, tetapi dipakai istilah si berutang
(schuldenaar)/Debitur dan si berpiutang (schuldeischer)/Kreditur. Menurut Pasal 1235 KUH Perdata di hubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata dan Pasal 1239 KUH
Perdata, si berutang (schuldenaar) adalah pihak yang wajib memberikan sesuatu, berbuat b. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih
Dimaksud dengan “utang yang telah jatuh tempo/ waktu dan dapat ditagih”
menurut penjelasan UU No. 37 Tahun 2004 adalah kewajiban untuk untuk membayar
utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu
penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, ataupun majelis
arbitrase.
c. Adanya Debitur dan Kreditur
24
sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan itu
timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang.25
Meski tidak secara eksplisit disebutkan, namun dari rumusan ketentuan Pasal 2
UU Nomor 37 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa setiap permohonan pernyataan pailit
harus diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan
ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur,
dengan ketentuan bahwa: d. Kreditur lebih dari Satu
Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitur
mempunyai paling sedikit 2 (dua) Kreditor dan tidak membayar lunas salah satu utangnya
yang sudah jatuh waktu. Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut baik kepentingan
Debitur sendiri, maupun kepentingan para Krediturnya. Dengan adanya putusan pailit
tersebut, diharapkan agar harta pailit Debitur dapat digunakan untuk membayar kembali
seluruh utang Debitur secara adil dan merata serta berimbang.
e. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan Khusus disebut dengan Pengadilan Niaga.
26
a. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir dari debitor.
b. Dalam hal debitor adalah persero suatu firma, pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hokum firma tersebut.
c. Dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor menjalankan profesi atau usahanya.
d. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, pengadilan dimana badan hukum tersebut memiliki kedudukan hukumnya sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya.
25
Ibid, hlm.115-116.
26
Selain syarat-syarat yang telah dikemukakan tersebut, ada syarat lain juga yang
harus dipenuhi sehubungan dengan siapa saja pihak dapat dipailitkan dan juga siapa saja
yang berwenang mengajukan pailit. Di dalam praktek hukum, tidak sedikit seorang
debitur yang karena keadaan memaksa tidak dapat memenuhi kewajiban atas prestasinya
sendiri. Dengan demikian, di dalam dunia perniagaan, apabila terdapat debitur yang tidak
mampu atau tidak dapat membayar utangnya kepada seorang kreditur atau lebih, maka
penyelesaian dapat dilakukan melalui lembaga Kepailitan atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), sebagaimana pernyataan ketentuan undang-undang
kepailitan berikut, bahwa seorang debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan
tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dapat
dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan
dengan suatu keputusan Hakim.27
1. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyatakan bahwa putusan pengadilan atas
permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan (berdasarkan pada Pasal 8 ayat
(5) UU No. 37 Tahun 2004). Pasal 8 ayat (6) UU No. 37 Tahun 2004 juga menyatakan
bahwa putusan pengadilan tersebut wajib memuat, antara lain:
2. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua
majelis.
27
Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya diatur bahwa salinan putusan Pengadilan
tersebut wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitor,
pihak yang mengajukan permohonan pailit, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat
3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. Dalam
putusan pernyataan pailit tersebut, harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas
yang ditunjuk dari hakim Pengadilan dan dalam hal Debitur, Kreditur, atau pihak yang
berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004,
jika tidak mengajukan usul pengangkatan Kurator kepada Pengadilan maka Balai Harta
Peninggalan akan diangkat selaku Kurator. Adapun kurator yang diangkat tersebut harus
independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitor atau Kreditor, dan
tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) lebih dari 3 (tiga) perkara. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari
setelah tanggal putusan pernyataan pailit diterima oleh Kurator dan Hakim Pengawas,
Kurator mengumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2
(dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas, mengenai ikhtisar
putusan pernyataan pailit yang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Nama, alamat, dan pekerjaan Debitur
b. Nama Hakim Pengawas
c. Nama, alamat, dan pekerjaan Kurator
d. Nama, alamat, dan pekerjaan anggota panitia Kreditor sementara, apabila telah
e. Tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama Kreditor. Kurator berwenang
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal
putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan Kasasi atau
Peninjauan Kembali (PK).
Telah dijatuhkannya putusan kepailitan kepada debitur, maka mempunyai
pengaruh bagi debitur dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak diucapkannya putusan
kepailitan, debitur kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas
harta bendanya. Dan pada dasarnya pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan suatu
pelaksanaan terhadap suatu putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (BHT) yang
dilakukan dengan bantuan pengadilan. Dan dengan dijatuhkannya putusan pailit tersebut,
maka “kurator” bertindak sebagai pengampu dari si pailit dan tugas utamanya adalah
melakukan pengurusan atau pemberesan terhadap harta (boedel pailit).28
Seorang debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, membawa konsekuensi
hukum yaitu, bagi debitur dijatuhkan sita umum terhadap seluruh harta debitur pailit dan
hilangnya kewenangan debitur pailit untuk menguasai dan mengurus harta pailitnya.
Sedangkan bagi kreditur, akan mengalami ketidakpastian tentang hubungan hukum yang
ada antara kreditur dengan debitur pailit. Untuk kepentingan itulah undang-undang telah
menentukan pihak yang akan mengurusi persoalan debitur dan kreditur melalui seorang Kurator adalah
perseorangan atau persekutuan perdata yang memiliki keahlian khusus sebagaimana
diperlukan untuk mengurus dan membereskan harta palit dan telah terdaftar pada
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Pasal 1 angka (5) UU No. 37 Tahun
2004).
28
Kurator. Dalam menjalankan tugasnya kurator tidak hanya bagaimana menyelamatkan
harta pailit yang berhasil dikumpulkan untuk kemudian dibagikan kepada para kreditur
tapi sebisa mungkin bisa meningkatkan nilai harta pailit tersebut. Dengan demikian,
kurator dituntut untuk memiliki integritas yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan
serta keharusan untuk menaati standar profesi dan etika. Hal ini untuk menghindari
adanya benturan kepentingan dengan debitur maupun kreditur. Namun pada prakteknya
tidak sedikit kinerja kurator menjadi terhambat oleh permasalahan, seperti debitur pailit
yang tidak mengacuhkan putusan pengadilan atau bahkan menolak untuk dieksekusi, dan
hampir sebagian besar kurator memiliki permasalahan dengan debitur yang tidak
kooperatif dalam hal menolak memberikan informasi dan dokumen, menolak menemui,
bahkan menghalangi kurator memeriksa tempat usaha debitur, sehingga kinerjanya
menjadi tidak maksimal karena faktor-faktor sebagaimana disebutkan diatas.29
D. Akibat hukum Kepailitan
Pernyataan pailit, mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung
sejak pernyataan putusan kepailitan. Dengan ditiadakannya hak debitur secara hukum
untuk mengurus kekayaannya, maka oleh Undang-Undang Kepailitan ditetapkan bahwa
terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, kurator berwenang
melaksanakan tugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Kurator tersebut ditunjuk
bersamaan dengan Hakim Pengawas pada saat putusan pernyataan pailit dibacakan.
29
Demikian jelaslah, bahwa akibat hukum bagi debitur setelah dinyatakan pailit
adalah bahwa ia tidak boleh lagi mengurus harta kekayaannya yang dinyatakan pailit, dan
selanjutnya yang akan mengurus harta kekayaan atau perusahaan debitur pailit tersebut
adalah Kurator. Untuk menjaga dan mengawasi tugas seorang kurator, pengadilan
menunjuk seorang hakim pengawas, yang mengawasi perjalan proses kepailitan
(pengurusan dan pemberesan harta pailit).
Pernyataan pailit mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailitkehilangan segala
“hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke
dalam harta pailit.30 Hal ini dapat dilihat dari adanya kewenangan kurator untuk
mengurus dan atau melakukan pemberesan harta pailit.31 Penjelasan paragraf di atas
menunjukkan bahwa debitur tidaklah di bawah pengampuan, dan tidak kehilangan
kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya, kecuali apabila
perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah
ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya, debitur tetap dapat
melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu namun
diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit.32 Pailitnya pihak debitur,
banyak menimbulkan akibat yuridis yang diberlakukan kepadanya oleh undang-undang.
Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan 2 (dua) model
pemberlakuan, yaitu:33
30
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan (Seri Hukum Bisnis), Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 30 dan lihat pula ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
31
Lihat ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
32
Imran Nating, Op.Cit, hlm. 44.
33
Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 61-62.
Beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah pernyataan pailit mempunyai
kekuatan hukum tetap ataupun setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, pengadilan
niaga, hakim pengawas, kurator, kreditur, dan pihak lain yang terlibat dalam proses
kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung untuk terjadinya akibat yuridis
tersebut.34
Selain akibat yuridis hukum kepailitan yang berlaku demi hukum, terdapat akibat
hukum tertentu dari kepailitan yang berlaku secara Rule of Reason. Maksud dari pemberlakuan model ini adalah bahwa akibat hukum tersebut tidak otomatis berlaku,
tetapi baru berlaku jika diberlakukan oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan
yang wajar untuk diberlakukan. 2. Berlaku secara Rule of Reason
35
Akibat yuridis dari suatu kepailitan terhadap pihak
debitur yang dipailitkan antara lain dapat berupa boleh dilakukannya kompensasi,
kontrak timbal balik yang boleh dilanjutkan, berlakunya penangguhan eksekusi,
berlakunya actio pauliana, berlakunya sitaan umum atas seluruh harta debitur, gugatan hukum harus oleh atau terhadap kurator, transaksi forward dihentikan, dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, hak retensi tidak hilang, debitur pailit
dapat disandera (gijzeling), harta pailit dapat disegel, keputusan bersifat serta merta, dan masih banyak lagi.36
34
Contoh dari pemberlakuan model ini dapat dilihat pada Pasal 97 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
35
Contoh pemberlakuan mode secara Rule of Reason adalah tindakan penyegelan harta pailit. Harta debitor pailit dapat disegel atas persetujuan Hakim Pengawas, sehingga hal ini tidak berlaku secara otomatis. Hal ini dapat pula dilihat dalam ketentuan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
36
Akibat-akibat yuridis yang ada di dalam kepailitan, sitaan umum merupakan
prinsip yang ada di dalam kepailitan.37 Sitaan umum ini berlaku terhadap seluruh harta
debitur yaitu harta yang telah ada pada saat pernyataan pailit ditetapkan, dan harrta yang
diperoleh selama kepailitan. Adanya putusan pernyataan pailit berakibat terhadap semua
penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas
harus memerintahkan pencoretannya.38
pengelolaan harta pailit (management of estate). Pengelolaan ini merupakan suatu metode sistematik untuk mengurus harta kekayaan debitur selama menunggu proses kepailitan.
Caranya dilakukan dengan menunjuk beberapa wakil kreditur untuk mengontrol semua
harta kekayaan debitur, serta diberikan kekuasaan untuk mencegah, dalam bentuk
peraturan, transaksi, perbuatan curang untuk mentransfer kekayaan, mengumpulkan,
mengelola, dan mendistribusikannya kepada para kreditur.
Sitaan terhadap seluruh kekayaan debitur
merupakan bagian dari
39
Sita umum seharusnya dilakukan secara langsung terhadap semua harta kekayaan
yang dimiliki oleh debitur untuk manfaat semua kreditur. Dengan demikian,
undang-undang kepailitan digunakan untuk memaksa para kreditur menghentikan eksekusi
haknya sendiri-sendiri, dan pada sisi yang lain debitur harus melepaskan penguasaan
terhadap aset-asetnya dan menyerahkannya pada pengadilan. Adapun tujuan
undang-undang kepailitan dalam hal ini adalah memberikan suatu forum kolektif untuk
37
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
38
Siti Anisah, op.cit., hlm. 191.
39Ibid
milah hak-hak dari berbagai macam kreditur terhadap aset seorang debitur yang tidak
cukup nilainya (debtcollection system).40
a. Kehilangan hak menguasai dan mengurus harta kekayaannya.
Jelas bahwa berlakunya akibat hukum tersebut tidak semuanya sama. Ada yang
perlu dimintakan oleh pihak tertentu dan perlu pula persetujuan institusi tertentu, tetapi
ada juga yang berlaku karena hukum (by the operation of law) begitu putusan pailit dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Dalam Pasal 21 Undang-undang Kepailitan
disebutkan, Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan demikian,
bahwa Kepailitan berkaitan dengan harta benda debitur. Oleh karena itu dengan
dinyatakan pailit, maka:
1. Debitur,
b. Perikatan yang muncul setelah pernyataan pailit tidak dapat dibebankan ke budel
pailit.
c. tujuan terhadap harta pailit diajukan ke dan atau oleh Kurator.
d. Penyitaan menjadi hapus.
e. Bila debitur ditahan harus dilepas.
f. Terhadap Pemegang Hak Tertentu,
2. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek atau hak agunan lainnya
dapat mengeksekusi seolah-olah tidak ada kepailitan.
3. Pelaksanaan hak tersebut harus dilaporkan ke Kurator.
4. Hak istimewa.
40Ibid
Pasal 1139 Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang
yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu. Dalam Pasal 1149 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata disebutkan, piutang-piutang yang diistimewakan atas semua
benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya ialah disebutkan di bawah ini,
piutang-piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan
benda-benda itu menurut urutan.
E. Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit
Pengertian pengurusan dan pemberesan merupakan maksud yang berbeda menurut
UU ini, dimana pengurusan merupakan tindakan yang dilakukan oleh Kurator sejak dari
putusan pernyataan pailit, yaitu berupa segala rangkaian yang berkaitan dengan pencocokan
piutang, perdamaian, dan bahkan sampai kepada pemberesannya.41 Pengurusan adalah
menginventarisasi, menjaga dan memelihara agar harta pailit tidak berkurang dalam jumlah,
nilai dan bahkan bertambah dalam jumlah dan nilai. Jika ternyata kemudian putusan pailit
tersebut dibatalkan oleh, baik putusan kasasi atau peninjauan kembali , maka segala
perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima
pemberitahuan tentang putusan pembatalan, tetap sah dan mengikat bagi Debitor pailit.42
Pemberesan merupakan salah satu tugas yang dilakukan oleh Kurator terhadap
pengurusan harta Debitor pailit, dimana pemberesan baru dapat dilakukan setelah Debitor
pailit benar-benar dalam keadaan tidak mampu membayar (insolvensi) setelah adanya putusan pernyataan pailit. Insolvensi bukanlah merupakan suatu putusan pengadilan, akan
41
Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Bandung, 2009, hlm 49
42
tetapi merupakan suatu keadaan yang terjadi dengan sendirinya bilamana harta Debitur pailit
nilainya berada dibawah nilai piutang, dan insolvensi ini bisa terjadi karena :
1. Apabila setelah adanya putusan kepailitan, si pailit tidak ada menawarkan suatu
perdamaian.
2. Apabila ada penawaran perdamaian oleh si pailit maupun oleh Kurator, tetapi tidak
disetujui oleh para Kreditur dalam rapat verifikasi (pencocokan piutang).
3. Apabila terdapat perdamian dan disetujui oleh para Kreditur dalam rapat verifikasi tetapi tidak mendapat homogolasi (pengesahan) oleh hakim pemutusan kepailitan.
Kurator yang ditetapkan dalam putusan pailit segera bertugas untuk melakukan
pengurusan dan penguasaan boedel pailit, dibawah pengawasan hakim pengawas, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum baik berupa kasasi ataupun peninjauan
kembali. Kurator dalam kepailitan adalah pihak yang telah ditetapkan oleh undang-undang
untuk melakukan penguasaan dan pengurusan harta pailit.43
Kurator diangkat oleh pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan
pernyataan pailit. Jika Debitur atau Kreditur yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan
usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan (BHP)
bertindak selaku Kurator. Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang telah menunjuk kurator sebagai satu-satunya pihak yang akan menangani
seluruh kegiatan pemberesan termasuk pengurusan harta pailit. Secara umum hal tersebut
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK PKPU yang merumuskan “seluruh
gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan Debitur pailit, harus
diajukan terhadap atau oleh Kurator”.
43