• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PENDAHULUAN Matematika merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dipelajari, karena bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari (Sari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. PENDAHULUAN Matematika merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dipelajari, karena bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari (Sari"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang sangat penting untuk dipelajari, karena bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari (Sari dan Slamet, 2018). Pembelajaran matematika menjadi sangat penting karena menuntut siswa dalam berpikir logis, analitis, sistematis, kreatif, kritis secara berkala dan kemampuan yang saling bersinergi dengan baik, terlebih dalam kehidupan sehari-hari (Lee dkk, 2018; Sritresna, 2015). Sudah semestinya pembelajaran matematika perlu dilaksanakan dengan baik, mengingat banyaknya manfaat yang diberikan kepada siswa (Sutini dkk, 2017). Sebuah pembelajaran kadang kala memiliki kendala dalam pengoperasiannya, adapun beberapa kendala dalam pembelajaran matematika yang kerap dijumpai dalam pembelajaran di sekolah. Berdasarkan fakta di lapangan, kendala yang kerap dijumpai antara lain pembelajaran yang cenderung kurang aktif, siswa merasa bosan dalam pembelajaran, hingga terjadinya kesalahpahaman (Mills, 2016). Kendala dalam pembelajaran matematika menjadikan siswa tidak bisa berpikir kritis dan kesulitan dalam menyelesaikan masalah (Lee dkk, 2018).

Salah satu kendala dalam pembelajaran matematika yang kerap terjadi adalah miskonsepsi atau kesalahpahaman (Foster, 2012). Miskonsepsi adalah kesalahpahaman akan suatu konsep yang disampaikan oleh guru, sehingga siswa memiliki konsep secara berbeda-beda dari hal yang sama (Lee dkk, 2018; Kula dan Güzel, 2013; Mania dkk, 2018). Miskonsepsi merupakan kesalahpahaman siswa dalam memahami materi yang disampaikan yang bertentangan dengan hal yang benar (Kula dan Güzel, 2014). Miskonsepsi dapat menyebabkan siswa kesulitan dalam merepresentasikannya menjadi bentuk lain (Mania dkk, 2018). Salah satu penyebab terjadinya miskonsepsi adalah guru yang kurang menyampaikan konsep secara jelas kepada siswa, sehingga pengetahuan siswa menjadi tidak terarah dan siswa memiliki sudut pandangnya sendiri akan makna dari sebuah konsep (Alghadari dan Rahayu, 2019; Kula dan Güzel, 2014).

Miskonsepsi dapat terjadi akibat kurangnya kemampuan konseptual siswa karena percampuran pengetahuan sebelumnya (Risch, 2014). Hal tersebut dinilai kurang sesuai dengan kondisi siswa pada saat itu (Foster, 2012). Berdasarkan hasil

(2)

2

penelitian Risch (2014) didapatkan bahwa miskonsepsi dapat terjadi akibat bercampurnya informasi baru dan informasi lama pada diri siswa, serta kurangnya kemampuan konseptual siswa dan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian Foster (2012) mengemukakan bahwa permasalahan miskonsepsi yang terjadi karena guru berusaha agar siswa mampu mengembangkan kemampuannya sendiri dalam berpikir, namun hal tersebut seakan tidak tepat sasaran.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Herutomo dan Saputro (2014) pada SMP Negeri 33 Semarang, menunjukkan bahwa siswa mengalami kesalahpahaman dalam memahami bentuk-bentuk aljabar, seperti 25% siswa sulit memahami konsep variabel, 26,7% siswa salah dalam menerjemahkan variabel, 38,3% siswa tidak mengetahui nilai dari variabel, 60% siswa tidak mengetahui simbol dari bilangan asli, 20% siswa tidak memahami konsep pengoperasian pecahan, 22,8% siswa mengerjakan soal dengan cara menebak-nebak, 14,3% siswa tidak mampu memahami soal cerita. Penelitian lain milik Herutomo (2017) di SMP Muhammadiyah 3 Kaliwungu, yang menunjukkan kurangnya pemahaman siswa terhadap variabel sebagai sesuatu yang belum diketahui nilainya, menganggap variabel hanya merepresentasikan bilangan tertentu saja, mengubah bentuk aljabar menjadi bentuk persamaan, tidak memahami proses pemfaktoran. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa siswa memiliki pemahaman konseptual dan prosedural yang rendah.

Adapun masalah lain terkait miskonsepsi adalah kesulitan siswa dalam menransformasikan informasi yang disampaikan oleh guru dengan cara yang benar dan sesuai dengan pemahamannya masing-masing (Mania dkk, 2018). Permasalahan tersebut dikarenakan guru memiliki kecenderungan untuk menekankan pada aspek prosedural dalam mengerjakan soal yang ada dan mengesampingkan aspek konseptual, sehingga siswa akan mengalami kesulitan dalam pembelajaran (Lee dkk, 2018). Salah satu contoh miskonsepsi yang terjadi kepada siswa SMP adalah mengenai konsep sisi miring segitiga, ketika siswa diberikan sebuah gambar segitiga siku-siku dengan sisi miring dibuat lurus secara horizontal dan sisi tegak dibuat miring. Kemudian siswa akan menyatakan bahwa sisi miring dari segitiga adalah yang memiliki posisi miring, sedangkan hal tersebut

(3)

3

merupakan kesalahan terkait satu konsep segitiga karena siswa menganggap sisi miring adalah sebuah sisi yang bentuknya miring. Sisi miring dari segitiga adalah sisi yang menghadap tepat sudut siku-siku, atau dapat juga diartikan sebagai sisi terpanjang dari segitiga siku-siku. Miskonsepsi bukanlah sesuatu yang dianggap wajar, apabila terjadi secara berkala kepada siswa, karena hal tersebut akan membentuk pengertian-pengertian yang menyimpang (Kula dan Güzel, 2014). Sudah seharusnya pemahaman secara konseptual dilakukan dengan baik, sehingga siswa mampu merefleksikan pengetahuannya sesuai dengan cara berpikirnya (Lee dkk, 2018).

Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui miskonsepsi yang terjadi dalam pembelajaran matematika, yang didapatkan dari indikator kemampuan berpikir konseptual. Indikator miskonsepsi yang didapatkan dari indikator kemampuan berpikir konseptual diantaranya 1) Ketidakmampuan siswa menjelaskan ulang sebuah konsep yang dipelajari dengan tepat, 2) Ketidaktepatan siswa dalam memberikan contoh dan non contoh dari konsep yang dipelajari, 3) Ketidakmampuan siswa dalam memilah dan menggunakan prosedur atau operasi tertentu dengan tepat, dan 4) Ketidaktepatan siswa dalam menerapkan konsep dalam pemecahan masalah (Fadlilah, 2015).

Pembelajaran matematika memerlukan pemahaman konseptual dan prosedural yang dapat berjalan dengan baik apabila dibantu dengan kemampuan berpikir kritis (Foster, 2012). Kemampuan berpikir kritis merupakan sesuatu yang sangat penting, terutama dalam hal pendidikan, karena berdampak pada cara siswa memecahkan masalah dan cara menerima informasi yang disampaikan (Rosnawati dkk, 2015; Sutini dkk, 2017; Huber dan Kuncel, 2016). Siswa dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir secara kritis, yang dirasa mampu merepresentasikan kemampuannya seperti penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan penyelesaian masalah (Sutini dkk, 2017). Kemampuan berpikir kritis tidak hanya penting dalam pembelajaran, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat dan bernegara, serta dalam dunia kerja (Huber dan Kuncel, 2016).

Kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika perlu untuk dikembangkan, karena siswa dapat mengetahui kebenaran, berpikiran

(4)

4

terbuka, serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi (Sutini dkk, 2017). Kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran matematika bukanlah sesuatu yang mudah, terlebih apabila siswa memiliki pengetahuan yang terbatas, sehingga perlu dilatih secara berkala (Rosnawati dkk, 2015). Dalam pembelajaran matematika peranan kemampuan berpikir kritis siswa menjadi hal yang penting, sehingga apabila siswa memiliki kemampuan berpikir kritis yang rendah harus mendapat perhatian dari guru matematika (Mahmuzah, 2017). Menurut Sutini dkk (2017) dijelaskan bahwa cara siswa mengekspresikan kemampuan berpikir kritisnya terlihat dari cara siswa menyelesaikan persoalan matematika yang mengandung banyak informasi yang memuat pemikiran dalam, komprehensif, berargumen, logis dan mengevaluasi sesuatu untuk pengembangan matematika.

Kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan yang sangat penting dan merupakan tujuan utama dari pembelajaran sains dan matematika (Huber dan Kuncel, 2016; Tiruneh dan Cock, 2017). Berdasarkan penelitian Huber dan Kuncel (2016) dikemukakan bahwa kemampuan berpikir kritis baik dikembangkan dalam pendidikan dan juga dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut penelitian Tiruneh dan Cock (2017) disebutkan bahwa pentingnya pengembangan kemampuan berpikir kritis adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam penarikan kesimpulan, menilai kredibilitas sumber, serta merencanakan sesuatu secara sistematis.

Terdapat beberapa indikator untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis siswa. Menurut Sarimanah (2017) siswa dinyatakan memiliki kemampuan berpikir kritis apabila mampu mengidentifikasi masalah dengan baik, berargumen berdasarkan penelitian terdahulu untuk menunjang kesimpulan, memiliki alasan yang jelas dibalik argumen yang dikemukakan, memberikan kesimpulan yang jelas dan mampu diterima dengan baik. Berdasarkan pendapat Cahyono (2017) indikator kemampuan berpikir kritis siswa antara lain focus, reason, interence, situation. Berdasarkan indikator yang telah disebutkan oleh Cahyono (2017), maka dapat diketahui kemampuan berpikir kritis pada siswa dalam pembelajaran.

Dalam pembelajaran matematika dijumpai pula beberapa metode yang digunakan oleh guru sebagai sarana untuk membantu siswa dalam memahami

(5)

5

materi, salah satu metode yang digunakan adalah memberikan siswa permasalahan open ended. Pembelajaran yang menerapkan permasalahan open ended dinilai memiliki pengaruh positif bagi pembelajaran (Al-absi, 2012). Permasalahan open ended memberikan kesempatan lebih kepada siswa untuk menggali pengetahuan lebih dalam, penemuan pengalaman serta menyelesaikan berbagai permasalahan, karena permasalahan open ended menyelesaikan masalah dengan metode yang berbeda dan lebih dari satu solusi dan mampu mendorong rasa berpikir kritis siswa dalam melihat setiap persoalan yang disajikan (Fatah dkk, 2016).

Permasalahan open ended membuat siswa menyelesaikan masalah dengan cara terbuka, serta menjawab dan mengembangkannya sendiri (Ueda dkk, 2014). Siswa dapat menyelesaikannya dengan kemampuannya yang beragam, tetapi guru juga mampu memberikan muara diantara pemahaman siswa yang beragam, sehingga hal semacam miskonsepsi mampu diminimalisir dengan pemecahan masalah berbasis open ended (Ninomiya dan Pusri, 2015). Permasalahan open ended dimulai dengan siswa menilai sesuatu secara objektif dan dilanjutkan dengan berpikir tingkat tinggi kemudian dikembangkan dengan baik (Ueda dkk, 2014; Surya, 2017).

Berdasarkan penelitian Ueda dkk (2014) mengatakan bahwa pemecahan masalah berbasis open ended memiliki kelebihan apabila diterapkan dalam pembelajaran matematika, karena siswa mampu mengembangkan kemampuannya secara mandiri dan dapat memunculkan ide baru. Menurut penelitian Surya (2017) mengungkapkan bahwa pemecahan masalah berbasis open ended mampu mendorong siswa dalam berpikir tingkat tinggi dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan Fardah (2012) dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kreatif siswa melalui penugasan open ended. Didapatkan hasil penelitan berupa 20% memiliki kemampuan yang tinggi, 33,33% siswa memiliki kemampuan sedang, dan 46,67% siswa memiliki kemampuan yang rendah. Presentase siswa dengan tingkat kemampuan rendah lebih tinggi daripada presentase siswa dengan tingkat kemampuan yang tinggi. Bisa ditarik kesimpulan bahwa melalui permasalahan open ended siswa mampu menyelesaikan persoalan

(6)

6

dengan banyak jawaban benar dan strategi yang beragam, sehingga mampu mendorong kemampuan berpikir siswa.

Penelitian terkait miskonsepsi, kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah open ended telah banyak dilakukan. Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu terkait miskonsepsi, penelitian Herutomo (2017) tentang miskonsepsi siswa pada materi aljabar, penelitian Astuti dkk (2016) yang bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi siswa dan tingkat miskonsepsi pada materi stoikiometri dengan subjek siswa SMA, penelitian Subanji (2016) tentang mendeskripsikan miskonsepsi pada penyelesaian soal aljabar kelas VIII menurut proses berpikir Mason, dan penelitian milik Utami (2019) dengan tujuan penelitian untuk mengetahui jenis-jenis miskonsepsi, penyebab miskonsepsi dan cara mengatasinya pada materi aljabar.

Adapun beberapa penelitian tentang kemampuan berpikir kritis siswa diantaranya, penelitian milik Cahyono (2017) tentang fokus kajian pada berpikir kritis berdasarkan gender dengan subjek penelitian mahasiswa, penelitian Ikhsan dan Rizal (2014) meneliti kemampuan berpikir kritis siswa menggunakan Problem Based Learning dengan pendekatan kuantitatif, penelitian Tresnawati dkk (2017) dengan tujuan penelitian untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang dipengaruhi kepercayaan diri pada siswa SMA, dan penelitian milik Mahmuzah (2017) dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis matematis siswa melalui pendekatan problem posing.

Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu tentang pemecalahan masalah open ended diantaranya, penelitian Nurlita (2015) yang mengembangkan soal open ended pada mata pelajaran matematika kelas VIII, penelitian Noer (2013) dengan tujuan penelitian untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam masalah open ended menggunakan Problem Based Learning dibandingkan pembelajaran konvensional, dan penelitian Fardah (2012) yang menekankan pada kemampuan berpikir kreatif siswa pada masalah open ended.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dilakukan dapat dianalisis bahwa belum ada penelitian terkait analisis miskonsepsi dan kemampuan berpikir kritis siswa pada pemecahan masalah open ended, sehingga penelitian terkait

(7)

7

miskonsepsi dan kemampuan berpikir kritis siswa pada pemecahan masalah open ended perlu untuk dilakukan. Hal tersebut dikarenakan pada pemecahan masalah open ended dengan banyak jawaban yang menuntut kemampuan berpikir kritis siswa memungkinkan adanya miskonsepsi, mengingat daya paham dan daya berpikir siswa yang beragam.

Hubungan antara tiga variabel yang telah dijelaskan adalah permasalahan open ended mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, apabila dikembangkan dengan baik. Pada penyelesaian masalah open ended dengan jawaban siswa yang beragam juga memberikan peran guru agar mampu mengarahkan siswa agar tidak terjadi miskonsepsi dalam pembelajaran (Fatah dkk, 2016; Ninomiya dan Pusri, 2015). Kemampuan berpikir kritis dinilai mampu mengurangi miskonsepsi atau kesalahpahaman yang terjadi dalam pembelajaran matematika (Foster, 2012). Miskonsepsi yang terjadi pada siswa juga disebabkan oleh rendahnya pemahaman konseptual dan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa (Risch, 2014).

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan miskonsepsi dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam pemecahan masalah open ended. Setelah didapatkan kesimpulan dari proses analisis yang dilakukan, diharapkan mampu memberikan gambaran kepada guru terkait miskonsepsi dan kemampuan berpikir kritis pada siswa dalam penyelesaian masalah open ended, serta mampu menjadi acuan bagi guru untuk memberikan metode pembelajaran yang lebih baik lagi.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Siswa dengan gaya kognitif field independent dan field dependent secara bersamaan mampu menjawab dengan tepat dan memenuhi pencapaian

Kemudian dijelaskan akibat-akibat hukum dari tindakan tertentu yang berkaitan dengan mahar, bahwa kalau jumlah mahar sudah ditetapkan pada akad, kemudian terjadi

41 IzzaAnshori, S.T., M.T DASAR SISTEM KONTROL: MOTOR BLDC Dasar Sistem Kontrol (2 sks) Prodi Teknik Elektro.. ORGANISASI MANAJEMEN DALAM PERSPEKTIF INDUSTRI*).

dan eigen-vector melalui suatu vektor tak nol yang telah ditentukan sebelumnya secara sebarang. Dalam Tugas Akhir ini, akan diturunkan suatu teorema secara

Teknik pengumpulan data tentang kinerja guru melalui penggunaan model pembelajaran Student Team Achievement Divisions pada pelajaran Matematika dilakukan dengan

Pemberian motivasi biasanya akan diikuti dengan peningkatan produktivitas kerja dan disiplin kerja yang baik sebagai pendorong bagi karyawan untuk tetap bekerja pada

Upaya tersebut diyakini akan sulit dicapai karena adanya beberapa kendala di lapangan, diantaranya ; jumlah vaksinator rabies setiap tahun semakin berkurang karena ada

Segala puji hanyalah milik Allah SWT semata yang telah memperkenankan penulis menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis yang berjudul “ Model Investasi