• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SUBJECTIVE SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SUBJECTIVE SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat. Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SUBJECTIVE WELL-BEINGPADA GENERASI MILENIAL YANG BEKERJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Yosefine Niken Larasati 139114103

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

iii

HALAMAN MOTTO

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.”

Kolose 3:23-24

Live a life you will Remember

-The Night,

Avicii-Tidak perlu menyamakan kecepatan orang lain, lebih baik perlahan-lahan mengikuti kecepatan sendiri dengan yakin.

(3)

BTS-iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya ingin persembahkan kepada semua yang telah membantu dan mendukung saya dalam menyelesaikan tugas akhir ini dalam bentuk apapun.

Tuhan Yesus yang tidak pernah lelah mendengarkan keluh kesah dan memberikan berkat dan jalan yang terbaik bagaimanapun itu.

Keluargaku yang selalu menjadi support system yang bagaimanapun caranya baik buruknya selalu ingin memberikan yang terbaik untukku.

Untuk diriku sendiri. Kamu sudah berusaha dan bekerja keras. Cepat lambatnya, baik buruknya, aku percaya ini yang terbaik.

(4)

vi

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SUBJECTIVE WELL-BEINGPADA GENERASI MILENIAL YANG BEKERJA

Yosefine Niken Larasati

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan subjective well-being pada Generasi Milenial yang bekerja. Hipotesis penelitian ini ialah adanya hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sosial dan subjective well-being pada generasi milenial yang bekerja. Dukungan sosial diukur dengan menggunakan skala yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Feldman, Brondolo, Dayan, dan Schwartz (2002) yang terdiri 3 sumber dukungan, yakni dukungan keluarga (family support) α= 0,838, dukungan rekan kerja (coworker support) α=0,856 dan dukungan atasan (supervisor support) α=0,826. Selain itu, Subjective well-being diukur menggunakan dua skala, yakni Satisfaction With Life Scale (SWLS) α=0,740 yang dikembangkan Diener, Emmons, Larsen dan Griffin (1985) untuk mengukur kepuasan hidup secara global dan skala Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) untuk mengukur afek positif-negatif dari Watson, Clark dan Tellegen (1988) pada Positive Affect (PA) α= 0,866 dan Negative Affect (NA) α=0,869. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis data menggunakan uji korelasi partial dengan variabel kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif (r=0,265) dan signifikan antara dukungan keluarga (family support) dengan kepuasan hidup secara global (SWLS)(p=0,000), hubungan positif (r=0,210) dan signifikan antara dukungan rekan kerja (coworker support) dan kepuasan hidup secara global (SWLS)(p=0,001), dan hubungan positif (r=150) dan signifikan antara dukungan atasan (supervisor support) dan kepuasan hidup secara global (SWLS)(p=0,015). Selain itu, terdapat hubungan positif (r=0,321) dan signifikan antara dukungan keluarga (family support) dengan afek positif (PA) (p=0,000), hubungan yang positif (r=0,357) dan signifikan antara dukungan rekan kerja (coworker support) dan afek positif (PA) (p=0,000), dan hubungan yang positif (r=225) dan signifikan antara dukungan atasan (supervisor support) dan afek positif (PA) (p=0,001). Sedangkan, terdapat hubungan negatif (r=-0,211) dan signifikan antara dukungan keluarga (family support) dengan afek negatif (NA) (p=0,001), hubungan negatif (r=-0,182) dan signifikan antara dukungan rekan kerja (coworker support) dan afek negatif (NA) (p=0,004), dan hubungan yang negatif (r=-0,265) dan signifikan antara dukungan atasan (supervisor support) dan afek negatif (NA) (p=0,000).

(5)

vii

RELATIONSHIP BETWEEN SOCIAL SUPPORT AND SUBJECTIVE WELL-BEING IN MILENIAL GENERATIONS WORKER

Yosefine Niken Larasati

ABSTRACT

This research was conducted with the aim of finding out the relationship between social support and Subjective Well-Being in Millennials who work. The hypothesis of this study is that there is a positive and significant relationship between social support and subjective well-being in the working millennial generation. Social support was measured using a scale adapted and modified from Feldman, Brondolo, Dayan, and Schwartz (2002) consisting of 3 sources of support, namely family support α = 0.838, coworker support α = 0.856 and supervisor support (supervisor support) α = 0.826. In addition, Subjective well-being measured by the Satisfaction With Life Scale (SWLS) α = 0.740 developed by Diener, Emmons, Larsen and Griffin (1985) to measure global life satisfaction and the Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) scale for measure the positive-negative effects of Watson, Clark and Tellegen (1988) on Positive Affect (PA) α = 0.866 and Negative Affect (NA) α = 0.869. This research uses a quantitative approach with data analysis using partial correlation test with control variables. The results showed that there was a positive (r = 0.265) and significant relationship between family support (family support) and global life satisfaction (SWLS) (p = 0,000), a positive relationship (r = 0.210) and significant between colleagues support ( coworker support) and global life satisfaction (SWLS) (p = 0.001), and a positive and significant relationship (r = 150) between supervisor support and global life satisfaction (SWLS) (p = 0.015). In addition, there was a positive (r = 0.321) and significant relationship between family support and positive affect (PA) (p = 0,000), a positive relationship (r = 0.357) and significant between coworker support and positive affect (PA) (p = 0,000), and a positive (r = 225) and significant relationship between supervisor support and positive affect (PA) (p = 0.001). Meanwhile, there is a negative relationship (r = -0,211) and significant between family support and negative affect (NA) (p = 0.001), negative relationship (r = -0.182) and significant between coworker support and negative affect (NA) (p = 0.004), and negative relationship (r = -0.265) and significant between supervisor support and negative affect (NA) (p = 0,000).

(6)

viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Yosefine Niken Larasati

Nomor Mahasiswa : 139114103

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dengan karya ilmiah yang berjudul:

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SUBJECTIVE WELL-BEINGPADA GENERASI MILENIAL YANG BEKERJA Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal Yang Menyatakan,

(7)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dan terima kasih saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan bimbingan-Nya saya masih diberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugas akhir saya yang berjudul “Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Subjective Well-Being pada Generasi Milenial yang Bekerja”. Kesempatan dan keberhasilan saya dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dalam bentuk apapun dari banyak pihak. Maka dari itu, saya ingin mengucapkan terima kasih saya kepada :

1. Tuhan Yesus yang selalu menyertai, memberkati, dan membimbing saya dalam segala hal yang saya lakukan. Atas kerelaannya untuk mendengarkan keluh kesah dan membangkitkan saya dalam menjalani situasi ini.

2. Ibu Dr. Titik Kristiyanti, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Monic E. Madyaningrum, M.Psych., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma dan sebagai Dosen Pembimbing Akademik di akhir masa kuliah saya.

4. Bapak T.M. Raditya Hernawa, M. Psi., Psi. selaku Dosen Pembimbing Skripsi sekaligus Dosen Penasehat Akademik saya di awal perkuliahan. Terima kasih banyak atas kesediaan untuk memberikan waktu dalam membimbing saya dari awal hingga akhir, terutama di akhir penyelesaian skripsi ini hingga harus menyempatkan waktu pagi, siang, sore malam,

(8)

x

bahkan subuh di tengah jeda dosen untuk memberikan feedback, arahan, masukan, bimbingan, dan segala hal yang berkaitan hingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini. Saya meminta maaf atas segala kekurangan saya dalam segala hal yang mungkin kurang berkenan buat Bapak. Terima kasih banyak, Pak.

5. Bapak Prof. Dr. Agustinus Supratiknya selaku Dosen Pembimbing Akademik di tengah masa perkuliahan saya.

6. Keluarga saya, Bapak Eddy, Ibu Kis, Mbak Ayuk, Mbak Adit, Masiya yang dengan sabar menghadapi, memberi ilmu, mendampingi dan selalu bersama saya dan menjadi support system saya. Terima kasiiih untuk semuanya dalam segalah hal apapun itu. Mohon maaf kalau sering berbuat sesuatu yang mungkin kurang berkenan dan membuat khawatir. Tidak lupa juga Cuco si anjing coklat yang sangat mebantu menstabilkan emosi saya dengan tingkah lakunya.

7. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma baik yang langsung maupun tidak langsung membantu, berdinamika bersama dan memberi banyak pelajaran dan ilmu selama saya kuliah dan menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

8. Mbak Gistha, Mr. Daniel, Mbak Sela, Claudia, Mbak Maria yang sudah membantu saya dalam menterjemahkan skala penelitianku. Terima kasih banyakk karena itu sangat sangat membatu dan maaf kalau saya kejar-kejar terus dan banyak mintanya.

(9)

xi

9. Sahabat dari kuecilku, Ichak, Vita, dan Mbak Eta yang selalu memberi masukan, mendorong saya untuk lebih berani dan maju dalam segala hal. Bahkan sering memberi masukan, arahan, dampingan lebih dari kakak-kakakku hehe.. Terima kasiih

10. Keke, Aga, Tata, sahabat dari awal saya memasuki perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih banyak telah menemani dan setia mau jadi temanku yang tidak mudah bergaul ini di lingkungan yang baru.Terimakasih atas segala bantuan dan pengorbanannya supaya aku bisa lebih maju. Sukses terus bareng terus ya

11. Ichak, Vita, Mbak Eta, Soma, Bias, Alen, Jovie, Kembar, Nana Krisna, Mbak Ayu, Mas Stanis dan teman-teman pribumi Gereja Katolik St. Yohanes Rasul Pringwulung lainnya yang secara tidak langsung memacu saya untuk menyelesaikan skripsi karna mereka lebih muda tapi sudah selesai dulu dan yang tua juga peduli dengan kemajuan saya

12. Teman-teman kepanitiaan kampus, mantan panitia SDC, teman UNO Anas, Kor, Flo, Ari, Mas Surya, Mas Lukas yang sering tanya kapan selesai skripsi. Terima kasih sudah mengeluarkan saya dari zona nyaman, walaupun kalau kumpul hanya melakukan hal tidak jelas yang penting keluar rumah.

13. Teman-teman angkatan 2013 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma terutama kelas C. Terima kasih atas dinamikanya selama perkuliahan, terima kasih telah menerimaku dan belajar bersama

(10)

xii

walaupun aku jarang aktif di grup dan kumpul-kumpul. Sukses terus buat semuanya.

14. DJA60AN Dagadu Djokdja, teman-teman yang entah darimana asalnya saja asalnya tapi bisa bersatu seperti keluarga. Terima kasih sudah membantuku untuk berkembang dan berani keluar dari zona nyaman. Terima kasih sudah mau menerima, berdinamika bersama, dan peduli denganku. Terima kasih teman-teman yang tidak pernah aku bayangkan bisa bertemu sebelumnya.

15. Endah, Evlyn, Suster Amanda, Davin, teman sebimbingan skripsi. Terim kasih dinamikanya dan sering ngingetin untuk bimbingan, mengerjakan skripsi dan saling peduli, walaupun aku sering hilang dari bimbingan dan lambat berprogres

16. Jeje, Sekar, Oline, Ima, teman-teman PKM yang mengajarkan ku hal baru dan lingkungan baru. Pertemuan yang singkat tapi sangat berarti dan menyenangkan. Terima kasih juga sudah mengenalkan aku dengan anak-anak yang sangat luar biasa di Panti Asih, Kaliurang dan meberi pelajaran dan pengalaman yang sangaaat berarti.

17. Teman-teman angkatan 2013 yang pernah tau atau bertemu atau berbicara atau yang tidak pernah berinteraksi sekalipun selama berkuliah. Terima kasiih

18. Terima kasih untuk semua orang yang pernah berkaitan dengan aku yang mungkin aku lupa dan belum ku sebutkan. Terima kasih karna mau mengenal individu yang bernama Niken ini dan memberi pengalaman

(11)

xiii

dan pelajaran untuk saling bersosialisasi di dalam kehidupan ini. Terima kasiiiihh.

(12)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN MOTTO...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK...vi

ABSTRACT... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI...xiv

DAFTAR TABEL...xix

DAFTAR BAGAN... xxi

DAFTAR GAMBAR...xxii

DAFTAR LAMPIRAN... xxiii

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

(13)

xv C. Tujuan Penelitian...11 D. Manfaat Penelitian...11 1. Manfaat teoritis... 11 2. Manfaat praktis... 12 a) Bagi Karyawan...12 b) Bagi Perusahaan... 12

BAB II LANDASAN TEORI...13

A. Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well-Being)...13

1. Pengertian Subjective Well-Being...13

2. Dimensi Subjective well-being...17

a) Dimensi Kognitif...18

b) Dimensi Afektif...19

3. Faktor Subjective well-being...21

a) Sifat atau kepribadian...21

b) Hubungan sosial... 21

c) Pendapatan... 22

d) Pernikahan...23

e) Usia dan Jenis Kelamin...24

B. Dukungan Sosial...24

(14)

xvi

2. Aspek Dukungan Sosial...28

3. Sumber Dukungan Sosial...32

4. Dampak Dukungan Sosial...35

C. Generasi Milenial yang Bekerja... 36

D. Dinamika Hubungan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Subjektif Karyawan... 38

E. Skema kerangka penelitian...41

F. Hipotesis... 42

BAB III METODE PENELITIAN... 45

A. Jenis Penelitian... 45

B. Variabel Penelitian... 46

C. Definisi Operasional...46

1. Dukungan sosial...46

2. Kesejahteraan subjektif (subjective well being)...47

3. Usia... 48

4. Jenis Kelamin...48

5. Status Perkawinan...48

6. Pendapatan... 48

D. Subyek... 49

(15)

xvii

1. Skala Pengukuran Dukungan Sosial... 51

2. Skala Pengukuran Subjective Well-Being... 52

a) Skala Satisfaction With Life Scale (SWLS)... 52

b) Skala Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS)...53

F. Blue Print...54

G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...55

1. Validitas... 55

2. Uji Daya Dikriminasi Item...59

3. Reliabilitas... 62

H. Metode Analisis Data... 65

1. Uji Asumsi... 65

a) Uji Normalitas...65

b) Uji Linearitas...65

2. Uji Hipotesis... 66

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...67

A. Pelaksanaan Penelitian... 67

B. Deskripsi Penelitian...68

1. Deskripsi Subjek Penelitian... 68

2. Deskripsi Data Penelitian...71

(16)

xviii 1. Uji Asumsi... 74 a) Uji Normalitas...74 b) Uji Linearitas...80 2. Uji Hipotesis... 84 D. Pembahasan... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 93

A. Kesimpulan...93

B. Keterbatasan Penelitian... 95

C. Saran... 96

1. Bagi Generasi Milenial yang Bekerja...96

2. Bagi Peneliti Selanjutnya...97

DAFTAR PUSTAKA... 98

(17)

xix

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Penilaian Skala Dukungan Sosial...52

Tabel 2 Skor Penilaian Satisfaction With Life Scale (SWLS)... 53

Tabel 3 Skor Penilaian Skala Positive Affect Negative Affect Schedule (PANAS) ...53

Tabel 4 Blue Print Skala Dukungan Sosial Berdasarkan Sumber Dukungan...54

Tabel 5 Blue Print Skala Satisfaction With Life Scale (SWLS)... 54

Tabel 6 Blue Print Skala Positive-Negative Affect Schedule ( PANAS)...55

Tabel 7 Diskriminasi Item Satisfaction With Life Scale (SWLS)...60

Tabel 8 Diskriminasi Item Positive Affect-Negative Affect Schedule (PANAS)... 60

Tabel 9 Diskriminasi Item Dukungan Sosial Berdasarkaan Sumber Dukungan... 61

Tabel 10 Koefisien Alpha Cronbach Alat Ukur... 64

Tabel 11 Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin...68

Tabel 12 Data Subjek Berdasarkan Status Perkawinan... 69

Tabel 13 Data Subjek Berdasarkan Pendapatan... 70

Tabel 14 Deskripsi Statistik Data Penelitian... 71

Tabel 15 Hasil Uji Asumsi Normalitas...74

Tabel 16 Hasil Uji Linearitas Family Support dengan SWLS, Family Support dengan PA dan Family Support dengan NA...81

Tabel 17 Hasil Uji Linearitas Coworker Support dengan SWLS,CoworkerSupport dengan PA dan Coworker Support dengan NA...81

(18)

xx

Tabel 18 Hasil Uji Linearitas Supervisor Support dengan SWLS, Supervisor

Support Support dengan PA dan Supervisor Support Support dengan

NA...83 Tabel 19 Acuan Interpretasi Koefisien Korelasi...84 Tabel 20 Hasil Uji Korelasi... 85

(19)

xxi

DAFTAR BAGAN

(20)

xxii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kurva Family Support...75

Gambar 2 Kurva Coworker Support...76

Gambar 3 Kurva Supervisor Support...77

Gambar 4 Kurva Satisfaction With Life Scale (SWLS)... 78

(21)

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 SKALA PENELITIAN... 106

Lampiran 2 KUESIONER Googleform...117

Lampiran 3 Uji Deskriptif...134

Lampiran 4 Uji Normalitas... 134

Lampiran 5 Uji Linearitas Family Support dengan SWLS, Family Support dengan PA dan Family Support dengan...135

Lampiran 6 Uji Linearitas Coworker Support dengan SWLS, Coworker Support dengan PA dan Coworker Support dengan NA...136

Lampiran 7 Uji Linearitas Supervisor Support dengan SWLS, Supervisor Support Support dengan PA dan Supervisor Support Support dengan NA. 137 Lampiran 8 Uji Korelasi Partial...139

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebahagiaan dan kesejahteraan termasuk suatu hal yang penting dalam hidup. Hal tersebut menjadikan kebahagiaan dan kesejahteraan sebagai harapan dari hampir sebagian besar manusia. Menurut Diener (1993), kesejahteraan manusia diidentikkan dengan terpenuhinya kebutuhan hidup demi tercapainya suatu kebahagiaan. Seperti halnya yang dikatakan oleh Wilson (dalam Diener, 1984) bahwa seseorang yang bahagia akan tampak dari diri yang muda, sehat, memiliki pendidikan yang baik, dan pendapatan yang cukup. Selain itu, juga dikatakan bahwa orang yang bahagia memiliki sifat ekstrover, optimis, memiliki sedikit kekhawatiran, beriman baik, sudah menikah dengan harga diri tinggi, dan memiliki moral kerja yang tinggi,

Kesejahteraan atau kebahagiaan tersebut dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap orang. Sebagai contoh, seseorang dapat merasakan kebahagiaan dalam hidupnya jika kebutuhan materi mereka tercukupi (Mujamiasih, Prihastuti & Hariyadi, 2013). Selain itu, seseorang juga dapat merasakan kepuasan dalam hidupnya apabila ia mampu menghasilkan sejumlah uang (Juniman, 2018). Namun ada juga orang yang dapat merasakan kebahagiaan jika bersama dengan keluarga walaupun memiliki masalah keuangan (Christian, 2018). Selain itu, di tempat kerja, relasi dengan orang lain

(23)

keterlibatan penuh dalam pekerjaan, penemuan makna (spiritualitas), dan pengembangan karir juga dapat mempengaruhi kebahagiaan seseorang.

Dalam literatur psikologi, kebahagiaan dapat disebut juga sebagai kesejahteraan subjektif (subjective well-being) (Snyder, 2011) yang diartikan sebagai evaluasi individu terhadap kehidupannya secara menyeluruh atau global (Diener, 2000). Kebahagiaan dan kesejahteraan merupakan komponen dari kesejahteraan subjektif (Snyder, 2011). Diener, Suh, Lucas dan Smith (dalam Snyder, 2011) menyebutkan kesejahteraan subjektif bahwa penilaian individu terhadap kehidupan mereka menangkap esensi dari kesejahteraan (well-being). Dikatakan pula apabila seseorang yang bahagia akan memiliki penghasilan yang cukup, memiliki usia muda, berpendidikan, beragama, dan sudah memiliki hubungan pernikahan (Wilson dalam Diener, Suh, Lucas, & Smith, 1999). Hal tersebut ditekankan kembali oleh Diener, et al.(1999) bahwa orang yang bahagia ialah seseorang yang memiliki emosi yang positif, yakni melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, dan tidak terlarut dalam kejadian yang buruk, memiliki perekonomian yang berkembang, memiliki kepercayaan tehadap lingkungan sosial, dan memiliki perkembangan yang baik ke arah tujuan hidup.

Eddington dan Shuman (2005) menyebutkan terdapat dua komponen dalam kesejahteraan subjektif yakni perkembangan kognitif, seperti kepuasan hidup (life satisfaction) yang mengacu pada evaluasi kognitif individu secara menyeluruh (Luhmann, Hofmann, Eid & Lucas, 2012) dan evaluasi afektif (mood dan emotions), seperti perasaan positif dan negatif (Bussei & Sadava,

(24)

2011). Individu memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi apabila mereka merasa puas dengan kondisi hidup mereka dan lebih sering mengalami perasaan positif daripada perasaan negatif.

Aspek dukungan sosial memberikan hubungan yang berbeda pada tiap komponen kesejahteraan subjektif (subjective well-being) (Siedlecki, Salthouse, Oishi & Jeswani, 2013). Salah satu faktor yang paling konsisten dari kesejahteraan subjektif (subjective well-being) ialah kualitas dari hubungan sosial (Diener & Seligman, 2002). Dukungan sosial mengacu pada tersedianya berbagai bentuk dari bantuan atau pendampingan yang berasal dari keluarga, teman, rekan kerja dan lainnya (Barrera, dalam Siedlecki et al, 2013). Hal tersebut mampu memberikan hasil yang positif terhadap individu. Feldman, Brondolo, Ben-Dayan, & Schwartz (2002) menjelaskan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial yang diterima dari keluarga,

supervisor dan rekan kerja akan cenderung lebih sedikit mengalami

ketegangan di tempat kerja.

Bagi perusahaan, memiliki karyawan yang bahagia di tempat kerja memiliki peran penting dalam kemajuan perusahaan. Menurut Diane Lang (Rizki, 2015) karyawan yang bahagia akan memungkinkan untuk bekerja lebih baik dan lebih cepat dibandingkan dengan karyawan yang tidak bahagia. Selain itu, seseorang yang memiliki hubungan baik di tempat kerja akan lebih sering masuk kerja dan lebih betah di tempat kerja. Seseorang yang merasakan kebahagiaan di tempat kerja juga akan cenderung bekerja lebih keras dan lebih produktif (Annisa, 2019). Terdapat berbagai faktor yang

(25)

dapat membuat seseorang merasa bahagia atau sejahtera di tempat kerjanya. Wulandari & Widyastuti (2014) menemukan lima faktor yang dapat membuat orang bahagia di tempat kerja, yakni hubungan positif dengan orang lain, prestasi, lingkungan kerja fisik, kompensasi, dan kesehatan. Dari kelima faktor tersebut, hubungan positif dengan orang lain memiliki pengaruh yang lebih tinggi dari faktor lainnya terhadap kebahagiaan karyawan di tempat kerja.

Diener dan Seligman (2002) menjelaskan bahwa relasi sosial yang baik merupakan kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang tinggi. Diener (2017) menambahkan bahwa rasa percaya dan kemampuan untuk menghargai orang lain juga merupakan hal penting untuk mencapai kebahagiaan. Bahkan Diener juga menyatakan bahwa untuk menikmati hidup, relasi dengan orang lain lebih penting daripada hidup dalam lingkungan yang orang-orang kaya. Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa pendapatan juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan subjektif individu (Luhman et al., 2012; Eddington & Shuman, 2005; Diener, 2017).

Siedlecki, Salthouse, Oishi & Jeswani (2013) menemukan bahwa dukungan merupakan prediktor yang signifikan dari kepuasan hidup dan afek negatif. Hal tersebut menjadikan dukungan sebagai prediktor yang signifikan pada kepuasan hidup. Hodson (1997) berpendapat bahwa relasi sosial dalam lingkungan pekerjaan berkontribusi dalam kepuasan kerja, produktifitas dan kesejahteraan karyawan. Hal tersebut membuat hubungan antar-rekan kerja

(26)

maupun atasan dalam sebuah organisasi menjadi hal yang penting. Viswesvaran, Sanchez dan Fisher (dalam Kossek, Pichler, Bodner & Hammer, 2011) melihat dukungan sosial yang melibatkan persepsi memiliki akses untuk membantu hubungan berbagai kualitas atau kekuatan. Hal tersebut dapat menyediakan sumber daya seperti komunikasi informasi, perasaan empati atau bantuan nyata. Cobb (dalam Kossek et al., 2011) juga menambahkan dukungan sosial sebagai kepercayaan seseorang bahwa dirinya dicintai, dihargai, dan kesejahteraannya (well-being) dipedulikan sebagai bagian dari suatu jaringan sosial dari kewajiban bersama. Kossek et al. (2011) menyebutkan jika dukungan sosial yang berasal dari tempat kerja dapat muncul dari beberapa sumber seperti, dari atasan, rekan kerja, dan organisasi. Karasek dan Theorell (dalam Chou, 2015) mendefinisikan dukungan sosial yang berasal dari tempat kerja sebagai suatu keseluruhan interaksi sosial yang ada dalam pekerjaan dari rekan kerja dan atasan.

Pada kenyataannya, masih ada pula orang yang belum merasa puas dan bahagia akan hidupnya dan akan apa yang telah dicapai atau dimiliki. Menurut Diener (1993) kesejahteraan manusia diidentikkan dengan terpenuhinya kebutuhan hidup demi tercapainya suatu kebahagiaan. Apabila kebutuhan manusia belum terpenuhi atau tercapai maka dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut belum bahagia. Sebagaimana dijelaskan oleh Maslow (2019), individu dapat mencapai aktualisasi diri apabila telah memenuhi 4 dasar kebutuhan manusia dan individu mejadi sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mengenai kebutuhan-kebutuhan yang

(27)

harus dipenuhi oleh manusia untuk mencapai aktualisasi diri. Begitu pula yang dialami oleh individu yang bekerja.

Sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga survei internasional,

Gallup dan Accenture, terhadap 30 negara mengatakan bahwa karyawan di

Indonesia paling tidak bahagia dan berada pada posisi terendah mengenai kepuasan akan pekerjaan (Triananda, 2014). Hasil riset menunjukkan bahwa di Indonesia hanya 18% karyawan yang merasa puas dengan pekerjaannya. Survei lain dilakukan oleh jobsDB Indonesia, sebuah portal lowongan pekerjaan, dalam Survei Tingkat Kebahagiaan Para Pekerja Indonesia (Miftahudin, 2015). Survei tersebut dilakukan pada tahun 2015 dengan jumlah responden sebanyak 2.324 pekerja dalam bidang pekerjaan dan level karir yang beragam. Hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 73% dari jumlah responden merasa tidak bahagia. Berdasarkan survei tersebut, upah pekerjaan, fasilitas, dan bonus yang diberikan perusahaan dianggap tidak sesuai dengan beban kerja menjadi penyebab karyawan merasa tidak bahagia.

Survei lain mengenai ketidakbahagiaan karyawan di tempat kerja juga dilakukan JobStreet.com Indonesia pada bulan Juni hingga Juli 2016 (Khoiri, 2016). Responden pada survei tersebut merupakan karyawan pada generasi Y atau generasi milenial dengan rentang usia 22 hingga 26 tahun dengan pengalaman bekerja 1 - 4 tahun. Pada survei tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 33, 4 persen dari 27.000 responden menyatakan tidak bahagia di tempat kerja. Berdasarkan survei tersebut, terdapat tiga faktor utama yang

(28)

memunculkan perasaan tidak bahagia di tempat kerja, yakni kurangnya dukungan perusahaan terhadap perkembangan karir karyawan, jumlah insentif yang dirasa kurang cukup untuk membuat para pekerja merasa bahagia, dan atasan yang kurang memberikan kepercayaan terhadap karyawan atau jarang mendelegasikan pekerjaan, sehingga karyawan memiliki rasa kebanggaan yang rendah terhadap pekerjaannya (Khoiri, 2016).

Karyawan Generasi Y atau biasa disebut dengan Generasi Milenial mengalami ketidakpuasan dan juga merasa kurang bahagia dalam pekerjaan. Generasi Milenial merupakan individu yang lahir diantara tahun 1980 hingga 2000 (Badan Pusat Statistik, 2018). Juniman (2018) menjelaskan penelitian yang dilakukan oleh Mental Health Foundation (MHF) pada 4.500 responden. Dikatakan bahwa Generasi Milenial merasakan tekanan atau stres yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia yang lain. Sebanyak 28% Generasi milenial lebih merasa tertekan dibandingkan Generasi X yang sebesar 12%. Disebutkan pula sebanyak 34% merasa stres hingga membuat mereka kurang produktif dalam bekerja. Sedangkan, hanya 14% Generasi Milenial yang bekerja merasa nyaman untuk berbicara pada manajer mengenai stres yang mereka rasakan di tempat kerja. Juniman (2018) mengutip Grange, seorang juru bicara MHF, bahwa Generasi Milenial cenderung memiliki kontrak yang tidak aman, upah yang lebih rendah, dan beban kerja tinggi. Hal tersebut dapat menjadi suatu pengalaman yang tidak menyenangkan yang dialami. Sedangkan, pekerjaan yang baik ialah

(29)

pekerjaan yang dapat menciptakan rasa aman sehingga dapat meningkatkan kesehatan mental para pekerjanya (Grange, dalam Juniman, 2018).

Kesejahteraan subjektif dapat berpengaruh terhadap karyawan dan perusahaan atau organisasi. Penelitian mengenai dukungan sosial di tempat kerja dan subjective well-being dilakukan oleh Chou (2015) terhadap 15 asosiasi petani yang ada di Taiwan. Penelitian tersebut dilakukan dikarenakan adanya perubahan yang terjadi pada perusahaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan pada karyawan yang dapat menimbulkan stres kerja. Dalam konteks organisasi dan karyawan, Danna & Griffin (dalam Chou, 2015) mengatakan bahwa individu atau karyawan yang memiliki kesejahteraan subjektif tinggi akan lebih produktif dan berpengaruh pada kemampuan karyawan dalam membuat keputusan dan kehadiran kerja, serta memungkinkan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan yang lebih. Sedangkan, karyawan menghabiskan sebagian besar hidupnya di tempat kerja, dan mengandalkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan kata lain, dukungan sosial yang ada di tempat kerja mampu meningkatkan fungsi individu secara psikologis maupun perilaku.

Yperen dan Hagedoorn (dalam Chou, 2015) menyebutkan dukungan sosial dapat membuat seseorang merasa dihargai, dipedulikan, dan juga mendapat dukungan dari rekan kerjanya. Hal tersebut membuat lingkungan kerja menjadi lebih menyenangkan dan berharga. Dukungan sosial tersebut dapat menjadi alat untuk mengatasi stres kerja yang dialami oleh karyawan (Chou, 2015).

(30)

Diener (2017) merangkum manfaat dari individu yang bahagia, yakni individu akan lebih sehat dalam hal fisik maupun perilaku dan juga lebih memungkinkan untuk hidup lebih panjang. Selain itu, relasi sosial individu yang bahagia akan lebih stabil dan lebih berharga. Individu akan memberi dukungan lebih pada orang lain, dan akan menerima dukungan yang lebih pula sebagai balasannya. Individu yang bahagia akan memberikan waktu dan bantuan materi pada yang membutuhkan dan juga membantu orang lain dalam bekerja. Bateman (dalam Ibrahim, 2014) menambahkan bahwa lingkungan dengan dukungan sosial yang tinggi, karyawan mampu berdiskusi mengenai ide-ide yang dimiliki secara terbuka dan terdapat relasi yang positif pada kepuasan dalam bekerja.

Kinerja dari karyawan dapat mempengaruhi perkembangan dalam perusahaan. Oleh sebab itu, kesehatan mental dari karyawan perlu juga diperhatikan (Annisa, 2019). Beberapa permasalahan yang dialami oleh karyawan antara lain, hubungan karyawan dengan atasan, konflik yang dialami dengan keluarga atau pasangan, masalah dengan rekan kerja, dan beban kerja yang berlebihan. Annisa (2019) menjelaskan bahwa pemicu masalah yang mempengaruhi hubungan dengan atasan, seperti menekan karyawan dengan target yang kurang realistis dalam waktu yang singkat, atau atasan yang memberikan tugas diluar tugas yang seharusnya. Selain itu, adanya tekanan kerja yang tinggi dapat memicu ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi karyawan dengan pekerjaan. Tidak jarang karyawan dituntut untuk bekerja bukan pada jam kerja, seperti weekend atau melebihi

(31)

jam kerja yang seharusnya. Hal tersebut membuat waktu untuk diri sendiri, keluarga ataupun pasangan menjadi sangat berkurang. Masalah yang terjadi dengan rekan kerja juga dapat mengganggu kesehatan mental dari karyawan. Hal tersebut dapat dikarenakan rekan kerja yang kurang dapat bekerjasama dengan baik ataupun memiliki hubungan yang kurang baik dengan rekan kerja. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa beban kerja yang tinggi sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental individu. Tidak jarang karyawan diberikan beban kerja dluar kapasitasnya, jam kerja yang terlalu panjang, dan terus menerus mengalami tekanan.

Berdasarkan uraian penjelasan dan permasalah di atas, peneliti ingin mengetahui apakah dukungan sosial yang ada dalam suatu perusahaan maupun keluarga mampu memengaruhi kesejahteraan subjektif (subjective

well-being) atau kebahagiaan generasi milenial yang bekerja. Pada penelitian

ini, peneliti ingin mengetahui hubungan dukungan sosial yang berasal dari keluarga, rekan kerja dan atasan (supervisor) dengan komponen pada kesejahteraan subjektif, yakni kepuasan hidup (life satisfaction), afek positif dan afek negatif. Penelitian ini ditujukan pada generasi milenial karena generasi milenial memiliki jumlah angkatan kerja yang cukup banyak. Tercatat bahwa tahun 2017, sebesar 67,24 persen atau sekitar dua pertiga dari generasi milenial masuk ke dalam angkatan kerja (Badan Pusat Statistik, 2018). Sebagian besar generasi milenial yang termasuk dalam angkatan kerja sedang menyesuaikan diri dengan pekerjaannya. Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai perlunya

(32)

kebahagiaan di tempat kerja yang bisa diciptakan dari diri sendiri dan lingkungan kerja.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah dukungan sosial memiliki hubungan yang positif dengan subjective well-being pada generasi milenial yang bekerja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial dan subjective well-being pada generasi milenial yang bekerja.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pemahaman dalam kajian psikologi industri dan organisasi dan psikologi positif mengenai kesejahteraan (well-being), terutama yang berkaitan pada

subjective well-being dan dukungan sosial pada generasi milenial yang

(33)

2. Manfaat praktis a) Bagi Karyawan

Bagi karyawan perusahaan dapat digunakan sebagai salah satu memperluas wawasan dan kerjasama antar atasan dan rekan kerja. b) Bagi Perusahaan

Bagi perusahaan dapat digunakan untuk mempertimbangkan hubungan antar karyawan untuk menciptakan suasana nyaman dalam bekerja dan meningkatkan produktifitas.

(34)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kesejahteraan Subjektif (Subjective Well-Being)

1. Pengertian Subjective Well-Being

Ryan dan Deci (2001) mengartikan well-being sebagai konsep yang berfokus pada kebahagiaan dan dalam kaitannya dengan kepuasan atas hasil yang dicapai dan menghindari dari rasa sakit. Kepuasan hidup berfokus pada realisasi diri dan kaitannya dengan tingkat dimana seseorang berfungsi secara utuh. Hal tersebut didukung oleh Eger dan Maridal (2015) yang mengartikan well-being sebagai gabungan dari dua konsep pokok dari kebahagiaan (happiness) dan kepuasan hidup (life

satisfaction).

Ryan dan Deci (2001) menjelaskan terdapat dua pandangan filosofi mengenai well-being, yakni hedonic dan eudaimonic. Konsep hedonic memandang well-being terdiri dari kesenangan atau kebahagiaan. Hal tersebut dilihat dari bagaimana individu menikmati hidupnya, merasa puas dengan apa yang sedang dijalani, dan lebih banyak mengalami peristiwa baik daripada peristiwa yang buruk (Baumgardner & Crothers, 2009). Sedangkan, pandangan eudaimonic terhadap well-being merupakan realisasi diri atau pemenuhan dan ekspresi dari potensi diri untuk individu mencapai aktualisasi diri. Pandangan ini melihat apabila seseorang

(35)

mengikuti arah tujuan hidup dan mencapai tujuan dan mampu mengembangkan potensi individu, maka akan memunculkan kebahagiaan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa subjective

well-being didasarkan pada pandangan hedonic dan pandangan eudaimonic merupakan dasar dari psychological well-being. Menurut

Diener (2000), subjective well-being diartikan dengan refleksi emosi individu pada suatu peristiwa yang dialami dan penilaian individu terhadap hidup secara menyeluruh ataupun bagian-bagian dalam hidup. Berdasarkan hal tersebut, subjective well-being disebutkan dalam pandangan hedonic. Sedangkan menurut Ryff (1989) well-being tidak hanya diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), namun lebih dari itu yakni well-being harus mampu menjadi sumber ketahanan dalam menghadapi kesulitan dan dapat merefleksikan fungsi positif dari seseorang. Maka dari itu, psychological well-being didasarkan dari pandangan eudaimonic dengan seseorang memiliki tujuan dan arah, mencapai kepuasan dalam berelasi dengan orang lain, dan meningkatkan realisasi diri

Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

well-being merupakan kebahagiaan atau kepuasan individu terhadap hidup

atas pencapaian terhadap tujuan yang telah ditetapkan dengan melihat evaluasi positif yang dimiliki individu dan pengembangan potensi dalam diri individu untuk mencapai aktualisasi diri dan memunculkan kebahagiaan.

(36)

Subjective well-being atau kebahagiaan dalam kehidupan sehari-hari

digambarkan sebagai bagaimana seseorang menilai kualitas diri mereka sendiri (Baumgardner & Crothers, 2009). Diener, dkk.(1999) melihat bahwa orang yang bahagia ialah seseorang yang memiliki emosi yang positif, yakni melihat segala sesuatu dari sisi yang baik, dan tidak terlarut dalam kejadian yang buruk, memiliki perekonomian yang berkembang, memiliki kepercayaan tehadap lingkungan sosial, dan memiliki perkembangan yang baik ke arah tujuan hidup.

Diener (1984) mengelompokkan definisi dari subjective well being ke dalam tiga kategori, yakni berdasarkan kriteria eksternal seperti kebaikan (virtue) atau kesucian (holiness), evaluasi seseorang terhadap kehidupan dalam istilah positif, dan disebut dengan kebahagiaan (happiness) dengan adanya indikasi afeksi positif lebih berpengaruh daripada afeksi negatif dimana seseorang lebih banyak mengalami emosi yang menyenangkan. Dijelaskan pula bahwa kepuasan terhadap hidup dan pengaruh positifnya dipelajari dalam subjective well-being (Diener, 1984). Campbel (dalam Diener, 1984) menambahkan, subjektif terletak dalam pengalaman dari individu itu sendiri. Selain itu, subjective well-being melihat pengalaman-pengalaman positif yang dialami seseorang dan mengukur segala aspek yang ada di hidup seseorang.

Diener, Lucas, dan Oishi (2003) menegaskan subjective well-being sebagai studi ilmiah bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka. Evaluasi tersebut meliputi reaksi emosional pada suatu peristiwa,

(37)

perasaan, dan penilaian dari kepuasan hidup, pencapaian, dan kepuasan pada bagian-bagian dari kehidupan, seperti pernikahan dan pekerjaan. Kemudian, Diener (2004) menambahkan evaluasi kognitif dan emosional atau afektif termasuk dalam evaluasi seseorang terhadap kehidupannya tersebut yang terdiri dari penilaian individu mengenai kepuasan, afek positif, dan afek negatif .Selain itu, subjective well-being juga meliputi pengalaman emosi yang menyenangkan, mood negatif yang rendah, kepuasan akan hidup yang tinggi. Seseorang yang bahagia ialah seseorang yang sering merasa ceria, jarang merasakan kesedihan, dan secara umum puas dengan hidupnya (Diener, 2004).

Selain mengartikan subjective well-being sebagai istilah ilmiah dari kebahagiaan dan kepuasan hidup, Diener (2017) menjelaskan bagaimana individu mengevaluasi atau menilai kehidupan mereka sendiri. Evaluasi tersebut berupa refleksi kognitif dan afektif. Afek yang ada pada individu terdiri dari berbagai emosi dan suasana hati. Afek positif terdiri dari berbagai perasaan yang dialami saat sesuatu berjalan dengan baik. Sedangkan afek negatif merupakan pengalam dimana sesuatu tidak berjalan dengan baik. Tingkat subjective well-being seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yakni kepribadian dan sikap, serta faktor eksternal, yakni lingkungan masyarakat disekitarnya. Schimmack (2006) menunjukkan bahwa kepuasan hidup ditentukan oleh faktor internal sangat sulit atau bahkan tidak mungkin berubah. Faktor internal menghasilkan perbedaan kesejahteraan pada tiap individu. Contohnya, dua individu

(38)

dengan penghasilan yang sama dapat memiliki tingkat kepuasan yang berbeda. Namun, terdapat bukti kuat bahwa faktor eksternal juga memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan. Bahkan, dalam lingkungan sosial dimana sebagian kebutuhan dasar manusia bertemu, faktor lingkungan terus menghasilkan kesejahteraan yang berbeda pada tiap individu. Menurut prediksi dari Aristotle (dalam Thamir, Schwartz, Oishi & Kim, 2017) individu akan lebih bahagia apabila mengalami emosi yang baik sebanyak yang mereka inginkan, walaupun emosi tersebut merupakan emosi yang tidak menyenangkan. Sedangkan, dalam prediksi subjective

well-being menjelaskan bahwa individu yang lebih bahagia apabila

mengalami lebih sedikit pengalaman yang tidak menyenangkan baik itu yang mereka inginkan atau tidak.

Berdasarkan uraian definisi subjective well-being di atas, dapat disimpulkan bahwa subjective well-being merupakan penilaian kognitif dan afektif individu terhadap seluruh aspek dalam kehidupannya. Penilaian tersebut berupa penilaian dari pengalaman positif dan kepuasan yang dialami individu dalam hidupnya.

2. Dimensi Subjective well-being

Diener (2000) mendeskripsikan subjective well-being sebagai penilaian kognitif dan afektif individu terhadap hidupnya. Diener (dalam Eid & Larsen, 2008; Busseri & Sadava, 2011) mengatakan bahwa banyak peneliti yang membedakan dimensi kognitif (Cognitive Well-Being) dan afektif (Affective Well-Being) dalam subjective well-being. Dimensi

(39)

kognitif dibagi menjadi dua, yakni kepuasan hidup secara global (life

satisfaction) dan kepuasan dalam wilayah tertentu (domain satisfaction),

sedangkan dimensi afektif terdiri dari positive affects dan negative affects. Secara spesifik, subjective well-being sering ditentukan dengan positif afek yang relatif tinggi, negatif afek yang relatif rendah, dan penilaian secara keseluruhan bahwa kehidupan individu baik yang diindetifikasikan sebagai kepuasan hidup (Peterson, 2006)

a) Dimensi Kognitif

Kesejahteraan kognitif mengarah pada evaluasi kognitif secara menyeluruh mengenai hidup seseorang dan juga bagian dari kehidupan yang spesifik, seperti kepuasan pekerjaan atau kepuasan pernikahan. Diener (dalam Hoorn, 2007) mengartikan dimensi kognitif sebagai dasar informasi penilaian mengenai kehidupan seseorang dimana orang menilai sejauh mana hidup mereka yang telah dijalani selama ini terukur terhadap ekspektasi dan kesesuaian dari harapan hidup ideal.

1) Evaluasi kognitif individu terhadap kepuasan hidup secara global (life satisfaction) mengukur bagaimana seseorang menilai atau mengevaluasi kehidupan secara menyeluruh daripada perasaan mereka saat ini.

2) Evaluasi individu terhadap kepuasan terhadap domain tertentu (domain satisfaction), merupakan penilaian seseorang terhadap bagian atau domain tertentu dalam hidupnya yang terdiri dari

(40)

pekerjaan, keluarga, kesehatan, keuangan, dan suatu kelompok (Eddington & Shuman, 2005).

Kepuasan hidup (life satisfaction) dan kepuasan pada bagian dalam hidup (domain satisfaction) dianggap sebagai dimensi kognitif karena kedua hal tersebut berdasar pada keyakinan evaluatif (sikap) terhadap satu kehidupan seseorang (Schimmack, 2008)

b) Dimensi Afektif

Dimensi afektif yang terdiri dari afek positif (positive affect) dan afek negatif (negative affect) menggambarkan banyaknya perasaan menyenangkan, seperti perasaan bahagia dan tidak menyenangkan, seperti suasana hati yang suram, yang dialami seseorang dalam kehidupannya. Afek yang ada pada individu terdiri dari berbagai jenis perasaan yang dirasakan, termasuk suasana hati dan emosi atau perasaan (Diener, 2017).

1) Positive affect dapat digambarkan sejauh mana individu merasa antusias, aktif, dan siaga (Watson, Clark, & Tellegen, 1988). Tingginya afek positif menunjukkan adanya energi yang tinggi pada individu, konsentrasi yang berfungsi penuh, dan adanya pengalaman yang menyenangkan. Sebagaimana juga dijelaskan oleh Diener (2017) bahwa afek positif terdiri dari berbagai jenis emosi yang dialami saat sesuatu berjalan dengan baik.Emosi tersebut yang dialami pada jangka pendek dapat disebut sebagai kegembiraan, dan dalam jangka panjangnya dapat dikatakan

(41)

sebagai suatu kepuasan. Afek positif dapat dijabarkan menjadi kegembiraan (joy, elation), kepuasan (contentment), kebanggaan (pride), kasihsayang (affection), kebahagiaan (happiness), dan perasaan yang sangat gembira (ecstasy) (Eddington & Shuman, 2005).

2) Negative affect diartikan oleh Watson et al. (1988) sebagai dimensi umum dari perasaan distress atau perasaan kesulitan yang dialami individu secara subjektif dan juga pengalaman yang tidak menyenangkan. Pengalaman yang dialami tersebut seperti perasaan marah, hinaan, perasaan tidak suka, rasa bersalah, takut, dan gugup. Eddington & Shuman (2005) juga menyebutkan adanya perasaan bersalah dan malu (guilty and shame), kesedihan, kecemasan (anxiety and worry), perasaan marah, stres, depresi, dan iri. Selain itu, Diener (2017) menambahkan bahwa afek negatif juga terdiri dari emosi yang melibatkan rasa marah, kesedihan, kecemasan, dan juga stress. Sedangkan dalam jangka yang lebih panjang akan ada yang dinamakan depresi. Berkebalikan dengan afek positif, afek negatif merupakan peristiwa yang dirasakan oleh seseorang saat sesuatu tidak berjalan dengan baik. Rendahnya afek negatif dikatakan menjadi bagian dari ketenangan bahkan kebahagiaan (Watson et al., 1988).

Positive affects dan negative affects dinilai sebagai dimensi

(42)

menyenangkan dan tidak menyenangkan yang dialami dalam hidup seseorang (Schimmack, 2008).

3. Faktor Subjective well-being

Pavot dan Diener (dalam Linely & Joseph, 2004) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi subjective well-being seseorang, yakni:

a) Sifat atau kepribadian

Sebagian sifat atau kepribadian individu merupakan bawaan dari lahir dan sebagian juga terbentuk dari proses belajar (Diener, 2017). Sebagai contoh, sifat ekstrovert cenderung memiliki perasaan yang positif dan sifat neurotik cenderung lebih memiliki perasaan yang negatif merupakan dua sifat khusus yang memiliki hubungan yang kuat dengan subjective well being. Sifat ekstrovert dan neurotik merupakan yang berkaitan kuat dengan pengalaman emosional (Diener, 2004). Seseorang yang sangat ekstrovert, yakni individu yang lebih sosial dan terbuka pada perasaannya, cenderung akan mengalami emosi positif yang lebih tinggi seperti kegembiraan bahkan saat sendiri. Sedangkan, seseorang yang neurotik akan rentan akan kecemasan, rasa bersalah, dan depresi.

b) Hubungan sosial

Memiliki hubungan sosial yang intim dan terpercaya merupakan salah satu hal yang penting untuk terciptanya kebahagiaan (Diener,

(43)

2004). Kualitas individu dalam hubungan sosial juga merupakan faktor yang mempengaruhi pengalaman subjective well-being. Dalam penelitian Diener dan Seligman (2002) mengenai kondisi dalam kelompok, menemukan bahwa kelompok yang bahagia mampu mengingat lebih banyak kejadian yang menyenangkan dalam hidup mereka dibandingkan dengan kejadian yang tidak menyenangkan, dan memiliki lebih banyak perasaan positif dibandingkan perasaan negatif. Sedangkan, hal sebaliknya terdapat dalam kelompok yang tidak bahagia. Individu yang bahagia memiliki kualitas pertemanan yang tinggi, dukungan yang didapat dari keluarga, dan hubungan yang romantis (Diener, 2004). Selain itu juga, pengaruh yang paling penting terhadap kebahagiaan seseorang ialah masyarakat atau lingkungan sosial dimana mereka tinggal (Diener, 2016). Disebutkan pula bahwa memilih orang yang dapat dipercaya dan yang dapat diandalkan juga menjadi faktor kebahagiaan dalam suatu masyarakat. c) Pendapatan

Veenhoven (dalam Diener, Sandvik, Seidlitz, Diener, 1993) menyatakan bahwa pendapatan membantu individu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan walaupun dalam tingkat yang rendah, pendapatan juga sebagai salah satu pengaruh dari subjective

well-being. Secara konsisten, pendapatan memiliki hubungan dengan subjective well-being pada analisis antar negara. Baik dalam tingkat

(44)

memiliki pengaruh kecil terhadap subjective well-being (Snyder & Lopez, 2002).

Dalam artikel yang dimuat oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan dari Kementrian Keuangan, pendapatan di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) golongan (Widiatmanti, 2015), yakni kelas menengah keatas, kelas menengah, dan kelas menengah ke bawah. Seseorang dapat dikatakan berada di kelas menengah apabila memiliki penghasilan dengan rentang antara Rp 2.600.000 (dua juta enam ratus ribu rupiah) hingga Rp 6.000.000 (enam juta rupiah). Sedangkan, pada kelas menegah ke bawah terdiri dari orang yang berpenghasilan kurang dari Rp 2.600.000 (dua juta enam ratus ribu rupiah) per bulannya. Di sisi lain, kelompok orang yang memiliki penghasilan di atas Rp 6.000.000 (enam juta rupiah) masuk kedalam kelas menengah ke atas.

d) Pernikahan

Hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Haring-Hidore, Stock, Okun, Witter dan penelitian Lucas, Clark, Georgellis dan Diener (dalam Linely& Joseph, 2004) menemukan adanya hubungan antara status pernikahan seseorang dengan subjective well-being. Selain itu, dikatakan pula bahwa pilihan dari individu untuk menikah mempengaruhi hubungan antara pernikahan dengan subjective

(45)

e) Usia dan Jenis Kelamin

Usia dan jenis kelamin memiliki pengaruh yang kecil terhadap

subjective well-being. Penelitian yang dilakukan Diener dan Suh (dalam Synder & Lopez, 2002) menemukan bahwa walaupun rasa senang atau nyaman mempengaruhi penurunan antar kelompok usia, pengaruh kepuasan hidup dan perasaan tidak menyenangkan menunjukkan perubahan kecil. Selain itu, Lucas dan Gohm(dalam Synder & Lopez, 2002) juga menemukan bahwa wanita lebih baik dalam mempengaruhi rasa tidak senang dan senang. Namun, bukan berarti bahwa pria lebih bahagia dibanding wanita atau orang muda lebih bahagia dibanding orang yang tua.

B. Dukungan Sosial

1. Definisi Dukungan Sosial (Social Support)

Dalam penelitian untuk mendefinisikan dan mengukur dukungan sosial yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang mempelajari dukungan sosial, Sidney Cobb (1979, dalam House, 1981; Kossek, Pichler, Bodner & Hammer, 2011) memulai penelitian terhadap dukungan sosial dengan mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi yang mengarahkan seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan dicintai, dihargai dan dihormati. Selain itu juga seseorang diberi kepercayaan bahwa ia menjadi bagian dari jaringan sosial dan memiliki kewajiban yang sama. Dukungan sosial menarik atau mengambil sumber emosi dan tugas yang

(46)

disediakan oleh orang lain sebagai salah satu cara dalam mengurangi mengurangi stres (coping stress) (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Dijelaskan pula oleh Peterson (2006) bahwa dukungan sosial merupakan bagaimana orang lain membantu seseorang dalam menghadapi suatu pengalaman stress.

Cohen (2004) mengartikan bahwa dukungan sosial mengacu pada tersedianya sumber daya secara psikologis dan materi dari jaringan sosial yang dimaksudkan untuk menghasilkan kemampuan individu dalam mengatasi stress. Johnson dan Johnson (1991, dalam Ermayanti, 2007) mengartikan bahwa dukungan sosial adalah suatu usaha untuk memberikan pertolongan pada seseorang dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental, memberi rasa percaya diri, doa, dorongan atau semangat, dan nasihat serta sebuah penerimaan. Selain itu, sumber dukungan sosial yang berasal dari lingkungan akan mempengaruhi individu untuk menyesuaikan diri dengan baik.

Albrecht dan Adelman (dalam Matson & Hall, 2011) mendefinisikan dukungan sosial sebagai komunikasi verbal dan non-verbal yang membantu individu untuk mengurangi ketidakpastian terhadap suatu situasi, diri sendiri, orang lain, atau suatu hubungan, dan berfungsi untuk meningkatkan persepsi pada suatu pengalaman hidup. Selain itu, Gottlieb (dalam Matson & Hall, 2011) menekankan pada komunikasi dengan mengindikasikan dukungan sosial sebagai sebuah proses interaksi.

(47)

Selain itu, Kossek et al. (2011) membedakan beberapa jenis atau fokus dari dukungan, yakni dukungan yang berupa konten umum atau secara keseluruhan atau berupa konten tertentu atau secara lebih spesifik. Sebagai contoh yang dilakukan dalan lingkungan kerja, general work

support atau dukungan secara keseluruhan dilihat dari tingkat persepsi

karyawan bahwa supervisor atau sesama karyawan peduli terhadap kesejahteraan mereka secara menyeluruh dalam pekerjaan dengan membentuk interaksi sosial yang positif atau melalui sumber daya yang ada. Sedangkan, content-specific support melibatkan persepsi terhadap kepedulian dan ketersediaan sumber daya untuk memperkuat sebagian dari tipe tuntutan peran.

Dukungan sosial mengacu pada tersedianya rasa nyaman, peduli. Percaya atau bantuan dari orang lain atau kelompok (Uchino, 2004 dalam Sarafino & Smith, 2014). Individu yang memiliki dukungan sosial percaya bahwa ia dicintai, dihargai, menjadi bagian dalam suatu jaringan atau kelompok yang dapat membantu saat diperlukan (Sarafino & Smith, 2014). Sehingga, dapat dikatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi stress yang dialami seseorang. Salah satu contohnya ialah karyawan yang memiliki dukungan sosial yang baik, maka ketegangan secara psikologisnya akan rendah (Cottington & House, 1987; LaRoco, House & French, 1980 dalam Sarafino & Smith, 2014). Selain itu, ditemukan bahwa tekanan darah saat bekerja akan lebih rendah pada karyawan yang

(48)

memiliki dukungan sosial yang tinggi (Karlin, Brondolo & Schwartz, 2003 dalam Sarafino & Smith, 2014).

Dukungan dapat diterima dari berbagai sumber, seperti pasangan, keluarga, teman, dan lain-lain (Sarafino & Smith, 2014). Termasuk dukungan lingkup pekerjaan maupun di luar pekerjaan, seperti keluarga. Dalam kaitannya dengan organisasi, studi mengenai kepercayaan karyawan bahwa organisasi tempat mereka bekerja menghargai kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesesejahteraan mereka diungkapkan bahwa keuntungan yang diterima karyawan seperti keadilan, dukungan dari

supervisor, kepuasan pekerjaan dan penghargaan yang baik berhubungan

dengan dukungan yang diberikan oleh organisasi (Rhoades & Eisenberger, 2002). Hal tersebut didukung Karasek dan Theorell (1990, dalam Chou, 2015) bahwa dukungan sosial yang tersedia di tempat kerja juga dapat diartikan dengan adanya interaksi sosial yang bermanfaat dalam pekerjaan yang berasal dari rekan kerja dan supervisor. Berdasarkan hal tersebut, Feldman, Brondolo, Ben-Dayan, & Schwartz (2002) menjelaskan bahwa individu yang memiliki dukungan sosial yang diterima dari keluarga,

supervisor dan rekan kerja akan cenderung lebih sedikit mengalami

ketegangan di tempat kerja, tidak lebih banyak mengalami stres yang berkaitan dengan pekerjaan, dan dukungan sosial dapat menjadi salah satu hal yang dapat mengurangi burnout pada karyawan.

Dukungan yang diterima dari atasan (supervisor) dapat diartikan sebagai sejauh mana atasan menghargai kontribusi karyawan dan peduli

(49)

terhadap kesejahteraan karyawannya (Powel, 2011). Dukungan yang diterima dari supervisor dapat meliputi perhatian yang diberikan pada karyawannya dengan cara mengarahkan, melatih, membantu bawahan untuk menyelesaikan kewajibannya, dan mengevaluasi kinerja dari bawahanya (Liaw, Chi, Chuang, 2010 dalam Guchait, Paşamehmetoğlu, & Dawson, 2014).

Dukungan sosial juga dapat terjadi di tempat kerja dan dilakukan oleh sesama rekan kerja. Sehingga Lane (2004) mendefinisikan dukungan rekan kerja (coworker support) sebagai dukungan yang dirasakan individu saat membutuhkan yang diperoleh di dalam lingkungan kerja oleh rekan kerja.Dukungan rekan kerja dapat meningkatkan coping, rasa percaya diri, dan rasa memiliki. Rekan kerja merupakan sumber penting dalam dukungan emosional dan instrumental (Skinner, 2005).

Dari beberapa definisi di atas, dukungan sosial (social support) dapat didefinisikan sebagai rasa peduli dan bantuan yang diberikan orang lain dari dalam lingkungan pekerjaan, yakni rekan kerja dan supervisor, maupun di luar pekerjaan, seperti keluarga, yang dapat mempengaruhi hasil akhir dalam pekerjaan.

2. Aspek Dukungan Sosial

House (1981) dalam penelitiannya menyebutkan dukungan sosial merupakan interaksi interpersonal dengan empat aspek yang mengikuti, yakni emotional concern, instrumental aid, information, dan appraisal.

(50)

House (1981) dalam literaturnya menyebutkan adanya empat tipe perilaku atau tindakan mendukung, yakni emotional concern, intrumental

aid, informational, dan appraisal. Keempat tipe dukungan sosial tersebut

kemudian dijabarkan sebagai berikut: a) Emotional Concern

Dukungan ini menunjukkan empati, kepedulian, cinta, kepercayaan merupakan hal yang paling penting. Saat seorang individu merasa didukung oleh seseorang, maka ia merasakan adanya dukungan emosional. Seperti, menyukai, mencintai, dan rasa empati terhadap orang lain.

b) Intrumental Aid

Seseorang dapat dikatakan mendapatkan dukungan intrumental saat seseorang membantu seseorang secara langsung, seperti melakukan pekerjaan mereka, take care of them, atau membantu membayar tagihan. Dukungan ini berupa bantuan barang atau jasa. Bentuk dukungan yang diberikan pada dukungan intrumental terlihat secara nyata dan juga memiliki dampak psikologis. Contohnya, seseorang memberi uang saat membutuhkan merupakan tanda bahwa seseorang tersebut peduli.

c) Informational

Dukungan ini berkaitan dengan informasi yang dapat digunakan sebagai suatu coping seseorang dan masalah terhadap lingkungan.

(51)

Bentuk dukungan ini dapat berupa nasihat, masukan terhadap masalah yang sedang dialami. Sebagai contoh, seseorang memberikan informasi mengenai adanya kesempatan kerja terhadap seorang yang sedang mencari pekerjaan atau membantu atau mengajarkan bagaimana cara mencari pekerjaan.

d) Appraisal

Hampir sama dengan dukungan informasi. Dukungan appraisal melibatkan informasi daripada afeksi. Namun, informasi yang ada dalam dukungan ini berkaitan dengan evaluasi diri dalam bantuan yang diberikan. Dengan demikian, orang lain merupakan sumber informasi yang digunakan individu untuk mengevaluasi diri. Dukungan ini dapat diberikan dalam bentuk penilaian atau umpan balik untuk dijadikan pertimbangan dalam menemukan penyelesaian masalah yang sedang dihadapi. Contohnya, seorang supervisor memberikan penilaian atau umpan balik terhadap pekerjaan yang dilakukan pegawai yang kemudian digunakan untuk menilai tingkat kinerja mereka sendiri.

Schaefer, Coyne, dan Lazarus (Mattson & Hall, 2011) menyebutkan adanya berbagai bentuk dukungan sosial yang dirasakan oleh individu :

a) Emotional Support

Dukungan emosional berfokus pada perasaan emosi individu dan kebutuhan afektif dengan mengekspresikan rasa peduli terhadap orang lain. Dukungan ini tidak secara langsung mampu menyelesaikan

(52)

suatu masalah, namun bertindak untuk menaikkan mood individu. Hal ini menimbulkan individu yang menerima dukungan ini merasakan kehangatan, semangat, cinta, dan kasih (Annisa & Swastiningsih, 2015).

b) Esteem Support

Dukungan ini lebih mengarahkan pada mendorong individu untuk mengambil tindakan dan meyakinkan individu bahwa ia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan atau menghadapi permasalahan yang sulit.

c) Network Support

Dukungan ini berfokus pada komunikasi yang menegaskan bahwa individu merupakan bagian dari suatu jaringan (network) dan terdapat dukungan dari jaringan tersebut. Dukungan ini ingin menunjukkan bahwa terdapat orang-orang di sekitar individu yang dapat mendukung dalam menghadapi berbagai situasi.

d) Information Support

Merupakan komunikasi yang menyediakan informasi yang berguna atau yang dibutuhkan. Informasi sering dibutuhkan dalam membuat keputusan pada suatu situasi atau keadaan.

e) Tangible Support

Dukungan ini berupa bantuan fisik yang diberikan oleh orang lain. Tangible support sering berbentuk komunikasi non-verbal.

(53)

Dukungan ini disebut demikian karena sering tidak memerlukan kata-kata atau perbincangan dalam memberikan dukungan. Sebagai contoh, seseorang membuatkan makanan untuk orang lain, mengambilkan sesuatu, dan lain sebagainya.

House (1981, dalam Skinner 2005) menyimpulkan bahwa dukungan memiliki dua fungsi utama, yakni dukungan emosional (emotional support) dan dukungan instrumental (instrumental support). Dukungan emosional berfungsi dalam hal memastikan kesejahteraan dari para pekerja. Sedangkan fungsi dukungan intrumental ialah untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan pekerja untuk dapat bekerja secara efektif (Skinner, 2005)

Berdasarkan penjelasan di atas, dukungan sosial dapat dikatakan sebagai dukungan yang dirasakan oleh individu dalam suatu keadaan tertentu dalam berbagai bentuk seperti dukungan emosional, dorongan, dukungan jaringan, informasi, atau dukungan dalam bentuk fisik.

3. Sumber Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat diterima dari berbagai sumber. Dalam kaitannya dengan organisasi, dukungan sosial dapat diterima dari dalam lingkunga tempat kerja maupun di luar pekerjaan. Dalam lingkungan kerja, dukungan dapat berasal dari supervisor (supervisor support) dan rekan kerja (coworker support). Sedangkan dari luar pekerjaan, dukungan dapat berasal dari keluarga.

(54)

Keluarga merupakan salah satu dukungan yang berasal dari luar pekerjaan. Dukungan sosial merupakan sumber penting yang membuat seseorang merasa dicintai, dipedulikan dan dihargai dimana hal tersebut dapat mengembangkan afek dari keluarga untuk dialihkan pada fungsi individu dalam pekerjaan (Wayne, Randel, & Stevens, 2006). Wayne et al. (2006) menemukan bahwa karyawan yang memiliki anggora keluarga yang peduli terhadap pekerjaan mereka akan merasakan afek yang lebih baik di rumah dimana hal tersebut akan membantu mereka dalam pekerjaan. Selain itu, dukungan emosional dan dukungan instrumental yang diarahkan pada peran anggota keluarga sebagai karyawan memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku di tempat kerja (King, Mattimore, King, & Adams, 1995 dalam Wayne, 2006). Instrumental dapat berfungsi untuk mengurangi konflik mengenai waktu atau ketegangan antara pekerjaan dan keluarga yang dapat mengurangi adanya konflik.

b) Coworker Support

Dukungan sosial juga dapat terjadi di tempat kerja dan dilakukan oleh sesama rekan kerja. Sehingga Lane (2004) mendefinisikan dukungan rekan kerja (coworker support) sebagai dukungan yang dirasakan individu saat membutuhkan yang diperoleh di dalam lingkungan kerja oleh rekan kerja.Dukungan rekan kerja dapat meningkatkan coping, rasa percaya diri, dan rasa memiliki. Rekan kerja merupakan sumber penting dalam dukungan emosional dan

(55)

instrumental (Skinner, 2005). Kesempatan untuk berinteraksi dengan sesama rekan kerja sebagai bagian dari kehidupan kerja, selama waktu istirahat dan setelah jam kerja akan membentuk dasar sosial atau dukungan emosional. Selain itu, hubungan sosial dengan rekan kerja dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja melalui persepsi pekerja terhadap adanya peningkatan dari dukungan sosial (Thoits 2011, dalam Sloan, 2013). Mendefinisikan dukungan terhadap rekan kerja sebagai kepercayaan karyawan mengenai tingkat kualitas dari adanya hubungan saling menolong dari rekan kerja (Kim, Hur, Moon & Jun, 2017).

c) Supervisor Support

Supervisor merupakan agen dari perusahaan yang bertanggungjawab dalam mengawasi performa dari bawahan mereka (Powel, 2011). Selain itu, supervisor juga melakukan penilaian terhadap pekerjaan yang dilakukan bawahan dan memberikan timbal balik untuk meningkatkan kontribusi dan komitmen karyawan terhadap perusahaan. Dukungan yang diterima dari atasan dapat diartikan sebagai sejauh mana atasan menghargai kontribusi karyawan dan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya (Powel, 2011). Dukungan yang diterima dari supervisor dapat meliputi perhatian yang diberikan pada karyawannya dengan cara mengarahkan, melatih, membantu bawahan untuk menyelesaikan kewajibannya, dan mengevaluasi kinerja dari bawahanya (Liaw, Chi, Chuang, 2010

(56)

dalam Guchait, Paşamehmetoğlu, & Dawson, 2014). Seorang

supervisor yang memiliki dukungan sosial tinggi dapat membuat

karyawan merasa didengarkan, dihargai, dan dipedulikan (Powel, 2011). Dukungan sosial yang kuat dari atasan akan meningkatkan kualitas pekerjaan dan hal tersebut berhubungan dengan meningkatkan kepuasan kerja, persepsi hubungan baik antara karyawan dan organisasi dan dapat mengurangi turnover (Bhate, 2013)

4. Dampak Dukungan Sosial

Dukungan yang diterima ketika menghadapi suatu situasi yang dialami dalam bekerja akan mempengaruhi karyawan dalam berbagai hal. Tidak hanya berpengaruh pada karyawan, namun perusahaan atau organisasi juga akan terpengaruh dari karyawan yang memiliki persepsi adanya dukungan yang diterima dari supervisor maupun sesama rekan kerjanya.

Karyawan yang memiliki persepsi adanya dukungan sosial dapat meningkatkan kepuasan karyawan terhadap pekerjaannya dan kesejahteraan karyawan juga akan bertambah (Sloan, 2012). Hal tersebut didukung Thoits (2011) bahwa melalui persepsi adanya dukungan sosial, maka relasi sosial yang dijalani karyawan dengan supervisor maupun sesama rekan kerjanya mampu meningkatkan kesejahteraan dari karyawan. Selain itu, dukungan sosial ini juga berpengaruh secara psikologis, yakni dengan meningkatkan rasa memiliki baik terhadap sesama rekan kerja dan

(57)

organisasinya, rasa percaya diri dan berpengaruh positif terhadap karyawan (Lane, 2004; Thoits, 2011).

Sloan (2012) menambahkan bahwa karyawan yang merasa menerima dukungan dari sesama rekan kerjanya akan memiliki keinginan untuk berdiskusi atau bercerita dengan rekan kerja lainnya mengenai situasi yang dialami. Hal tersebut akan membuat karyawan merasa nyaman untuk menceritakan masalahnya pada sesama rekan kerjanya.

C. Generasi Milenial yang Bekerja

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2018), pengelompokan generasi pada dunia kerja akan muncul mengikuti perkembangan manajemen sumber daya manusia. Berbagai penelitian mengenai perbedaan generasi banyak dikemukakan dan dikembangkan oleh beberapa ahli. Namun, penelitian mengenai topik tersebut pertama kali dilakukan oleh Manheim (1952, dalam Badan Pusat Statistik 2018). Manheim mengemukakan bahwa generasi merupakan suatu konstruksi sosial dimana di dalamnya terdapat sekelompok orang yang memiliki kesamaan umur dan pengalaman historis yang sama. Hal tersebut dimaksudkan bahwa individu yang menjadi bagian dari satu generasi, merupakan mereka yang memiliki kesamaan tahun lahir dalam rentang waktu 20 tahun dan berada dalam dimensi sosial dan dimensi sejarah yang sama. (Badan Pusat Statistik, 2018).

Berdasarkan kesimpulan yang ditarik oleh Badan Pusat Statistik dari beberapa ahli mengenai pengertian dari generasi milenial, disimpulkan bahwa

(58)

generasi milenial Indonesia merupakan penduduk Indonesia yang lahir di antara tahun 1980 hingga 2000. Sedangkan, berdasarkan tahapan perkembangannya, generasi milenial dapat dikategorikan dalam masa dewasa awal. Mereka yang berada dalam masa tahapan tersebut berkisar pada usia 21 hingga 40 tahun (Papalia, Olds, Feldman, 2007; Jahja, 2011).

Salah satu ciri generasi milenial ditandai dengan peningkatan penggunaan dan keakraban komunikasi, media, dan teknologi digital (Badan Pusat Statistik, 2018). Hal tersebut membentuk karakteristik generasi milenial yang terbuka akan komunikasi, menjadi pengguna media sosial yang fanatik, kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, dan lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi. Sehingga, generasi milenial ini terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan. Selain itu, individu pada generasi milenial memiliki pola pikir yang terbuka, bebas, kritis, dan berani. Dalam kaitannya dengan aspek bekerja, Gallup (dalam Badan Pusat Statistik, 2018) menyebutkan beberapa karakteristik dari generasi milenial atau disebut juga milennials bahwa generasi milenial yang bekerja tidak hanya menerima gaji, namun juga mengejar tujuan atau sesuatu yang telah dicita-citakan sebelumnya. Individu pada generasi milenial atau disebut juga dengan milennials, tidak terlalu mengejar kepuasan kerja, tetapi lebih pada kemungkinan mereka untuk berkembang pada pekerjaan tersebut, seperti mempelajari hal dan kemampuan baru, sudut pandang baru, mengenal lebih banyak orang, dan sebagainya. Di sisi lain, milennials cenderung tidak menginginkan atasan yang suka memerintah atau terlalu mengontrol.

(59)

Pembicaraan yang dilakukan secara terus menerus juga lebih disukai oleh para milennials dibandingkan harus ada review tahunan. Selain itu, milennials lebih berpikir untuk mengembangkan kelebihan yang dimiliki daripada harus memperbaiki kekurangannya. Bagi generasi milenial yang bekerja, pekerjaan bukan hanya sekedar bekerja, namun merupakan bagian dari hidup mereka (Badan Pusat Statistik, 2018).

Dalam Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 ayat 2 mengatakan bahwa tenaga kerja merupakan setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Sedangkan pada ayat 3, menyebutkan bahwa pekerja/buruh merupakan setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

D. Dinamika Hubungan Dukungan Sosial terhadap Kesejahteraan Subjektif Karyawan

Sidney Cobb (1979, dalam House, 1981; Kossek, Pichler, Bodner & Hammer, 2011) mengartikan dukungan sosial sebagai informasi yang mengarahkan seseorang untuk percaya bahwa dirinya diperhatikan dan dicintai, dihargai dan dihormati. Hal tersebut dapat menimbulkan kepercayaan terhadap individu bahwa dirinya merupakan bagian dalam suatu kelompok dan memiliki kewajiban yang sama. Selain itu, Albrecht dan Adelman (dalam Matson & Hall, 2011) menyebut dukungan sosial sebagai

Gambar

Tabel 18 Hasil Uji Linearitas Supervisor Support dengan SWLS, Supervisor Support Support dengan PA dan Supervisor Support Support dengan NA.........................................................................................................83 Tabel 19
Tabel 1Skor Penilaian Skala Dukungan Sosial Skor Penilaian Skala Dukungan Sosial
Tabel 2Skor Penilaian Satisfaction With Life Scale (SWLS) Skor Penilaian Satisfaction With Life Scale (SWLS)
Tabel 5Blue Print Skala Satisfaction With Life Scale (SWLS) Blue Print Skala Satisfaction With Life Scale (SWLS)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menarik diri (withdrawal) merupakan suatu reaksi subjektif yang tampak dari gejala afektif, kognitif, dan fisiologis akibat permasalahan-permasalahan yang dialami

Jenis penelitian ini dengan demikian adalah deskriptif-kuantitatif yang bertujuan untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kecenderungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap suami yang beristri bekerja dan suami yang beristri tidak bekerja terhadap stereotip gender dalam Budaya Jawa. Hipotesis

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan nasionalisme pada dimensi chauvinisme antara siswa sekolah biasa dan siswa sekolah bertaraf

Paska perceraian orang tua subyek mengalami hambatan dalam berbagai segi perkembangan diantaranya, kesehatan yang menurun dan penyakit yang sering kambuh,

Selain itu, mereka mampu memaknai kehidupannya secara baik karena menerima keadaan mereka sebagai anak jalanan dan dapat merasakan kebahagiaan selama menjadi anak jalanan.. Kata kunci

a. Pembelajran ini merupakan pembelajaran yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran ini dianggap jauh

Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah dengan menggunakan skala model semantic differential yang diaplikasikan pada gambaran emosional istri