• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH PULAU BATAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH PULAU BATAM"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

POLA KEPEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH PADA PULAU-PULAU DI WILAYAH PULAU BATAM

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Lokasi yang dipilih untuk melakukan penelitian ini adalah Pulau Batam, tepatnya pada 2 (dua) pulau kecil yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang secara administratif berada di Kelurahan Pulau Setokok, Kecamatan Bulang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pulau Batam memiliki kedudukan yang khusus bila dibandingkan dengan daerah atau pulau lain di Indonesia, terutama dalam hal pengelolaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui suatu badan yang dibentuk untuk itu yakni Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam, sungguhpun dalam proses perjalanannya mengalami berbagai perkembangan dan penyebutan untuk badan yang mengelola tersebut.

Namun hal yang terpenting untuk dikaji dan menjadi pertimbangan kuat untuk melakukan penelitian ini adalah aspek pertanahan yang melingkupinya, terutama mengenai status hukum dari pemilikan dan penguasaan tanah yang dilakukan oleh badan pengelola, pemerintah daerah maupun masyarakat setempat, terutama atas tanah-tanah yang ada di pulau-pulau di kawasan kepulauan Batam.

(2)

Apalagi belakangan ini perkembangan di Pulau Batam makin menarik sehubungan dengan dijadikannya Pulau Batam sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam menggantikan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam yang menjadikan Batam sebagai kawasan pengembangan daerah industri, yang dapat berimplikasi terhadap kebijakan di bidang pertanahan.

Demikian juga dari segi penggunaannya, terdapat berbagai kegiatan usaha oleh berbagai kalangan dalam rangka menggunakan bidang-bidang tanah yang ada di Pulau Batam, maka pengaturan penggunaan tanah tersebut perlu ditelusuri lebih jauh keterkaitan kerja antara badan pengelola dengan pemerintah daerah setempat dalam membuat perencanaan penggunaan tanah untuk berbagai kepentingan, seperti untuk usaha industri, pariwisata, budidaya, perkotaan, pedesaan, pemerintahan, konservasi, fasilitas umum dan lain-lain.

Berdasarkan catatan sejarah,52 Batam mulai dikembangkan sejak awal 1970-an sebagai basis logistik d1970-an operasional untuk industri minyak d1970-an gas bumi oleh Pertamina. Sungguhpun di tempat itu telah ada perkampungan tua sebagai lingkungan tempat tinggal penduduk asli Kota Batam sebelum tahun 1970 saat Batam mulai dibangun.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, pembangunan Batam dipercayakan kepada lembaga

(3)

pemerintah yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Otorita Batam.

Pengembangan Pulau Batam terbagi dalam beberapa periode, dengan penjelasan sebagai berikut :

”Periode pertama yaitu tahun 1971-1976 dikenal dengan nama Periode

Persiapan yang dipimpin oleh Dr. Ibnu Sutowo.

Periode kedua adalah Periode Konsolidasi (1976-1978) dipimpin oleh Prof. Dr. JB.Sumarlin. Setelah itu adalah Periode Pembangunan Sarana Prasarana

dan Penanaman Modal yang berlangsung selama 20 tahun, yaitu tahun 1978-1998, yang diketuai Prof. Dr. BJ. Habibie.

Kepemimpinan berikutnya dipegang oleh J.E Habibie yaitu bulan Maret s/d Juli 1998. Periode ini dikenal dengan nama Pembangunan Prasarana dan Penanaman Modal Lanjutan.

Kemudian sejak tahun 1998 sampai 2005, di bawah kepemimpinan Ismeth Abdullah dan dinamakan Periode Pengembangan Pembangunan Prasarana

dan Penanaman Modal Lanjutan dengan perhatian lebih besar pada kesejahteraan rakyat dan perbaikan iklim investasi.

Selanjutnya sejak tahun 2005 sampai sekarang dikenal dengan periode pengembangan Batam, dengan penekanan pada peningkatan sarana dan

52

(4)

prasarana, penanaman modal serta kualitas lingkungan hidup, yang dipimpin oleh Mustofa Wijaya”.53

Dalam rangka mengimplementasikan tugas dan fungsi dari Badan yang menangani pengembangan Pulau Batam tersebut, maka dibangunlah insfrastruktur modern yang berstandar internasional serta berbagai fasilitas lainnya, seperti jalan arteri dan kolektor, bandar udara dan pelabuhan laut, penyediaan air baku dan sarana penunjang lainnya seperti rumah sakit dan sarana umum lainnya, sehingga menjadi daya tarik bari investor menanamkan modalnya di Pulau Batam.

Apalagi Pulau Batam sejak awal dikembangkan sebagai kawasan industri. Bila hal itu tercapai, maka Pulau Batam tidak hanya sebagai kawasan industri juga suatu saat dapat dijadikan sebagai daerah pengembangan pariwisata yang diminati dan mampu bersaing dengan kawasan serupa Asia Pasifik. Saat ini Pulau Batam terus berkembang dan dapat disaksikan bahwa kegiatan industri, perdagangan, perkapalan dan pariwisata sedang marak di daerah ini.

Perkembangan dan kemajuan ini dapat berdampak pada tersedianya berbagai lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir dari seluruh daerah di tanah air, juga akan berakibat positif pada peningkatan penerimaan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

53

Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Development Progress of Batam Indonesia, Edisi Pertama 2010, halaman 5

(5)

Secara geografis Pulau Batam yang dikenal sebagai wilayah Kota Batam mempunyai letak yang sangat strategis yaitu jalur pelayanan internasional dengan jarak 12,5 mil laut dari Negara Singapura.

Letak Pulau Batam terbentang antara 0º25’29” s/d 1º15’00”Lintang Utara dan 103º34’35” s/d 104º26’04” Bujur Timur dengan total wilayah darat dan wilayah laut seluas 3.990,00 Km2, terdiri dari daratan seluas 1.038,43 km2 dan lautan seluas 2.951,57 km2.

Wilayah Pulau Batam terdapat lebih dari 400 (empat ratus) pulau dan 329 (tiga ratus dua puluh sembilan) pulau di antaranya telah diberi nama, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar di wilayah perbatasan negara, yang berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Negara Singapura/Malaysia

Sebelah Timur : Kabupaten Bintan dan Tanjung Pinang Sebelah Selatan : Kabupaten Lingga

Sebelah Barat : Kabupaten Karimun dan Laut internasional

Kemudian secara administratif pemerintahan, pada awalnya Pulau Batam merupakan salah satu kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kepulaun Riau, berikutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 dibentuk Kotamadya Administratif Batam terdiri dari 3 (tiga) kecamatan, yakni Kecamatan Belakang Padang, Kecamatan Batam Barat dan Kecamatan Batam Timur.

Selanjutnya Kota Batam sebagai daerah otonom dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten

(6)

Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam, yang diikuti dengan melakukan penataan kewilayahan yakni melalui pemekaran baik kecamatan maupun kelurahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah Kota Batam.

Saat ini berdasarkan Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 2 tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004 – 2014, Kota Batam terdiri dari 8 (delapan) wilayah Kecamatan dan 64 (enam puluh empat) kelurahan, yaitu :

a. Kecamatan Sekupang, yang mencakup : 1. Kelurahan Sungai Harapan

2. Kelurahan Tanjung pinggir 3. Kelurahan Tanjung Riau 4. Kelurahan Tanjung Uncang 5. Kelurahan Tiban Lidah 6. Keluahan Patam Lestari 7. Kelurahan Tiban Asri 8. Kelurahan Tiban Lama

b. Kecamatan Lubuk Baja, yang mencakup 1. Kelurahan Batu Selicin

2. Kelurahan Lubuk Baja Kota 3. Kelurahan Kampung Pelita 4. Kelurahan Pangkalan Petai

(7)

5. Kelurahan Tanjung Uma

c. Kecamatan Batu Ampar, yang mencakup 1. Kelurahan Bukit Senyum

2. Kelurahan Sungai Jodoh 3. Kelurahan Batu Merah 4. Kelurahan Kampung Seraya 5. Kelurahan Bengkong Harapan 6. Kelurahan Bukit Jodoh

7. Kelurahan Harapan Baru 8. Kelurahan Bengkong Laut

d. Kecamatan Nongsa, yang mencakup 1. Kelurahan Batu Besar

2. Kelurahan Nongsa 3. Kelurahan Kabil

4. Kelurahan Teluk Tering 5. Kelurahan Belian 6. Kelurahan Baloi Permai 7. Kelurahan Baloi

8. Kelurahan Ngenang

e. Kecamatan Sei Beduk, yang mencakup 1. Kelurahan Muka Kuning

(8)

3. Kelurahan Sagulung 4. Kelurahan Tanjung Piayu

f. Kecamatan Galang, yang mencakup 1. Kelurahan Sijantung

2. Kelurahan Karas 3. Kelurahan Galang Baru 4. Kelurahan Sembulang 5. Kelurahan Rempang Cate 6. Kelurahan Subang Mas 7. Kelurahan Pulau Abang

g. Kecamatan Bulang, yang mencakup 1. Kelurahan Bulang Lintang

2. Kelurahan Pulau Buluh 3. Kelurahan Temoyong 4. Kelurahan Batu Legong 5. Kelurahan Pantai Gelam 6. Kelurahan Pulau Setokok

h. Kecamatan Belakang Padang, yang mencakup 1. Kelurahan Belakang Padang

2. Kelurahan Pemping 3. Kelurahan Kasu 4. Kelurahan Pecong

(9)

5. Kelurahan Pulau Terong

Daerah yang dijadikan obyek penelitian adalah Kecamatan Bulang, yakni di Kelurahan Pulau Setokok, tepatnya berada di 2 (dua) buah pulau di daerah tersebut yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.

Berdasarkan keterangan staf Lurah Setokok,54 wilayah Kelurahan Setokok meliputi seluas 4.700 Ha, berbatasan dengan :

Sebelah utara : Sei Beduk

Sebelah Selatan : Pulau Panjang Galang Sebelah Barat : Pulau Temoyong

Sebelah Timur : Rempang Cate

Kelurahan Pulau Setokok sendiri terdapat sebanyak 27 (dua puluh tujuh) pulau, namun yang saat ini sudah dihuni oleh penduduk sebanyak 6 (enam) pulau, yakni Pulau Kalo, Pulau Setokok, Pulau Teluk Air, Pulau Nipah, Pulau Akar dan Pulau Panjang.

Sementara Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang ada di wilayah tersebut dikategorikan sebagai pulau yang belum dihuni oleh penduduk, sungguhpun saat peninjauan ke lapangan, di Pulau Sekikir dan Pulau Buat sudah ada penduduk yang berdiam di tempat tersebut, masing-masing 1 (satu) keluarga dan sudah ada rumah tempat tinggalnya.

54

(10)

Pulau Bulat berada sekitar 1 km ke arah Barat dari Pulau Setokok, luasnya sekitar 2 Ha, kemudian Pulau Sekikir lebih jauh lagi sekitar 500 meter dari Pulau Sekikir dan luasnya sekitar 50 Ha.

Oleh karena Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang berada di wilayah Pulau Setokok dan merupakan bagian dari wilayah Kota Batam, di dalamnya telah ada penduduk dan ada pemilikan dan penguasaan tanah berupa rumah tempat tinggal dan usaha perladangan, maka ditentukan kedua pulau tersebut sebagai lokasi penelitian, untuk melihat aspek pemilikan atas tanah di wilayah tersebut.

B. Pengaturan Kepemilikan dan Penguasaan Tanah

Pengertian pemilikan adalah kepunyaan bersifat perdata, dalam hal ini kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara orang per-orang, kelompok orang atau badan hukum tertentu dengan tanah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.55

Hubungan hukum tersebut ditunjukkan dengan adanya alat-alat bukti yang ditentukan oleh ketentuan hukum yang ada dan berlaku, baik secara tertulis, pengakuan dan kesaksian pihak lain maupun secara faktual yang ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda pada obyek tanahnya, seperti tanda batas bidang tanah berupa patok, parit, pagar atau tanda batas alam seperti jalan, sungai, lembah, bukit,

55

(11)

pepohonan dan lain-lain, maupun bentuk penguasaan atau pengusahaan secara fisik di lapangan.

Berdasarkan catatan sejarah, sejak dahulu pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting diberikan atau dilegalisasikannya hak atas tanah oleh penguasa kepada seseorang yang secara faktual/fisik telah menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik.

Sungguhpun banyak di daerah-daerah tertentu, pemilikan tanah tidak disertai dengan bukti alas hak secara tertulis sebagaimana sifat Hukum Adat umumnya tidak tertulis, bukti pemilikan tanah hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik atas tanah tersebut yang juga diakui kebenarannya oleh masyarakat setempat, yang ditandai dengan pengakuan dari pengetua adat atau aparat desa setempat.

Pemilikan atas tanah baik ada ataupun tidak ada bukti alas hak tertulis dapat dikategorikan berdasarkan Hukum Adat dan juga didasarkan pada Hukum Barat, khusus yang didasarkan pada Hukum Adat ditemukan karakteristik yang berbeda di masing-masing daerah lingkungan hukum adat sesuai dengan adat setempat

Sebagaimana diketahui bahwa menurut Hukum Adat, pada awalnya status tanah-tanah di Indonesia berasal dari hak ulayat, yakni hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar ganti kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut

(12)

campur dengan pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi di situ yang belum dapat diselesaikan.56

Dapat juga disebutkan bahwa Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang secara tradisional menurut hukum adat setempat merupakan tanah milik masyarakat secara bersama dalam kerajaan-kerajaan kecil yang ada di berbagai daerah di seluruh Indonesia.57

Secara formal pengertian hak ulayat disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ditentukan bahwa yang dimaksud dengan hak ulayat adalah :

”Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh Masyarakat Hukum Adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara Masyarakat Hukum Adat dengan wilayah yang bersangkutan”.

Selanjutnya ditentukan bahwa bagian-bagian dari hak ulayat ini dapat dikerjakan dan dikuasai oleh anggota masyarakat desa/masyarakat hukum adat yang kemudian menjadi hak perseorangan/individu. Pada umumnya hak perseorangan ini

56

Dirman, Perundang-undangan Agraria di Seluruh Indonesia, (Jakarta : JB. Volters, 1958), halaman 36

57

A. Bazar Harahap Dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, (Jakarta : Sandipeda, 2005), halaman 4

(13)

terbatas dan tidak begitu luas, yaitu hanya diakui selama hak itu dipergunakan untuk penghidupan sendiri dan keluarganya.

Apabila tanah itu tidak dikerjakan atau tidak dikuasai lagi, misalnya karena meninggalkan desa tersebut, maka tanah itu kembali menjadi tanah hak ulayat. Jadi ada hubungan timbal balik antara hak-hak bersama dengan hak-hak individu, apabila hak-hak individu menguat maka hak-hak bersama akan melemah, demikian sebaliknya.58

Dengan demikian, menurut Hukum Adat dan dikuatkan dengan peraturan mengenai pendaftaran tanah, bukti pemilikan atas tanah hanya didasarkan pada penguasaan atas tanah secara fisik yang ditandai dengan mengerjakan tanah tersebut secara aktif dan terus-menerus dapat menjadi faktor pendukung dilegalkannya hak perorangan tersebut oleh penguasa adat, termasuk dengan memberikan bukti hak secara tertulis.59

Sedang bukti pemilikan hanya didasarkan pada alat bukti lain berupa surat atau tanda tertentu tetapi tanahnya ditelantarkan tidak mendapat perlindungan Hukum Adat, bahkan dengan azas rechtsverwerking, pihak ketiga yang menguasai tanah dengan itikad baik dapat dilegalkan sebagai pemilik sedang orang orang terdahulu yang membiarkan tanahnya tidak dikerjakan selama jangka waktu terentu, dianggap

58

Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta : Lembaga Perberdayaan Hukum Indonesia, 2005), halaman 121

59

(14)

telah melepaskan haknya dan hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.60

Demikian juga pada zaman penjajahan Hindia Belanda yang didasarkan pada Hukum Barat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dan 7 ayat (1) Reglement Agraria untuk Sumatera Barat, ditentukan bahwa pemilikan dan penguasaan atas suatu bidang tanah dilihat sebagai telah adanya hak atas tanah, artinya tanah yang telah dipakai untuk diduduki atau dikerjakan dengan kekal, dapat menjadi milik atau kepunyaan orang yang membuka atau yang memakai tanah itu.61

Bahkan menurut domeinbeginsel (Stb. 1870 Nomor 118) ditentukan bahwa sekalipun status tanah tersebut masih merupakan pinjaman, misalnya raja meminjamkan tanah kepada pembesar-pembesarnya selanjutnya pembesar-pembesar itu meminjamkan bagiannya lagi kepada warga desa, maka warga desa yang meminjam dan menguasai serta mengerjakan tanah tersebut diakui sebagai pemilik tanah.62

Setelah Indonesia merdeka dan disusun peraturan perundang-undangan tentang keagrariaan sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 tahun 1960 atau lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), ternyata pemilikan atas

60

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Penerbit Djambatan, Jakarta, edisi revisi, cetakan ke-9, 2003, halaman 483

61

Dirman, 1958, op.cit.,, halaman 54

62

Bushar Muhammad, Asas-asar Hukum Adat (Suatu Pengantar), (Jakarta : Pradnya Paramita, 1984), halaman 69

(15)

tanah tidak bisa dilepaskan dari faktor penguasaan tanah, bahkan pemilikan atas tanah diperlukan syarat mutlak penguasaan atas tanah tersebut, terutama tanah pertanian.

Pasal 10 UUPA mengatur bahwa ”setiap orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.

Demikian juga memiliki tanah dengan tidak menguasainya atau dengan kata lain menelantarkan tanahnya dengan sengaja, maka pada dasarnya telah bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, yakni dapat menjadi salah satu penyebab hilangnya kepemilikan atau dihapuskannya hak atas tanah tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 27, 34 dan 40 UUPA.

Pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan tanah oleh masyarakat setempat atas rumah tempat tinggal yang telah dibangun sejak lama sebenarnya dapat dijadikan alasan formal untuk diberikan haknya, sekalipun pemilikan tanah tersebut tidak didukung oleh surat-surat tanahnya (data yuridis). Hal tersebut dikuatkan oleh ketentuan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur sebagai berikut :

“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahulunya, dengan syarat:

(16)

a. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;

b. Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.”

Dalam penjelasan pasal ini diuraikan bahwa ketentuan ini memberi jalan keluar apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan atas tanahnya, baik yang berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya. Dalam hal demikian pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan bukti kepemilikan akan tetapi berdasarkan bukti penguasaan fisik yang telah dilakukan oleh pemohon dan pendahulunya.

Faktor pemilikan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah merupakan hal penting untuk mengakui kepemilikan seseorang atas tanah, sebab pengertian dari pemilikan atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hubungan nyata dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Oleh karena itu sulit bagi seseorang untuk dapat membayangkan adanya suatu sistem hukum apabila di situ tidak dijumpai adanya pengakuan dan pengaturan tentang pemilikan atau penguasaan.63

63

(17)

Pengakuan terhadap pemilikan tanah yang didasarkan pada penguasaan secara fisik bidang tanah boleh dilakukan oleh seseorang atas suatu barang merupakan modal yang utama agar seseorang tersebut dapat mempertahankan kehidupannya, sebab pada saat itu, ia tidak memerlukan pengakuan atau legitimasi lain kecuali pengakuan pemilikan barang yang ada dalam kekuasaannya tersebut.

Masalah pemilikan tanah dengan dasar penguasaan secara fisik bidang tanah, seharusnya tidak dapat diabaikan sama sekali oleh hukum, walaupun soal pemilikan tersebut hanya atas dasar penguasaan bersifat faktual atau fisik saja tanpa ada bukti konkrit yang tertulis. Namun hukum dituntut untuk memberikan kepastian mengenai pemilikan tersebut. Jika hukum sudah mulai masuk, maka ia harus memutuskan apakah seseorang akan mendapat perlindungan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan atau tidak.

Jika hukum memutuskan akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan seseorang atas suatu barang, maka hukum akan melindungi orang tersebut dari gangguan orang lain, karena di sini hukum berhadapan dengan persoalan yang bersifat faktual, sehingga ukuran untuk memberikan keputusan tersebut bersifat faktual juga.64

Berdasarkan argumentasi tersebut sebenarnya pemilikan atas tanah yang didasarkan pada penguasaan atas suatu bidang tanah sudah menjadi faktor yang menentukan pemilikan tanah tersebut atau dengan kata lain pemilikan tersebut dapat

64

(18)

juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut pemilikan dengan dasar penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”pemilikan atas dasar penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.65

Dengan demikian, faktor pemilikan atas dasar penguasaan atas tanah secara fisik merupakan hal penting dalam memberikan hak atas tanah kepada seseorang, bahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, sebidang tanah dapat didaftarkan apabila telah dikuasai secara fisik oleh seseorang selama 20 tahun berturut-turut, sekalipun itu tidak didukung oleh bukti-bukti tertulis mengenai penguasaan atas tanah tersebut.

Oleh karena itu tidak cukup hanya dengan memiliki dengan cara menguasainya secara yuridis yaitu dengan memegang surat-surat tanahnya saja, tetapi harus ada kepemilikan yang didasarkan penguasaan secara fisik atas tanah.

Selanjutnya pemilikan atas tanah sebagaimana diatur dalam UUPA, dapat dilegalisasi dengan pemberian hak atas tanah oleh Pemerintah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (2), Pasal 31 dan Pasal 37 UUPA mengatur bahwa terjadinya hak atas tanah salah satunya adalah melalui penetapan Pemerintah.

Penetapan Pemerintah tersebut selain dilakukan terhadap obyek tanah yang bukti haknya merupakan hak-hak lama (baik bekas hak Barat maupun bekas Hak Adat) juga dilakukan terhadap obyek tanah yang statusnya berasal dari tanah yang

65

Badan Pertanahan Nasional, Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, 2002, halaman 18

(19)

dikuasai langsung oleh Negara. Isi dari penetapan Pemerintah tersebut adalah pemberian atau penetapan hak atas tanah kepada subyek hak baik perseorangan maupun badan hukum dengan obyek suatu bidang tanah tertentu .

Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 pemberian hak atas tanah termasuk dalam kategori pembuktian hak baru. Pembuktian hak baru tersebut didahului dengan suatu penetapan pemberian hak atas tanah dari pejabat yang berwenang memberikan hak tersebut menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek tanah yang dapat diperlakukan dengan proses pemberian hak dimaksud umumnya adalah atas tanah yang berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 tahun 1999 jo Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 ditegaskan bahwa ”yang dimaksud dengan pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan suatu hak atas tanah Negara, perpanjangan jangka waktu hak, pembaharuan hak, perubahan hak, termasuk pemberian hak di atas Hak Pengelolaan.”

Dalam proses penetapan Pemerintah yang wujudnya pemberian/ penetapan hak atas tanah tersebut, dapat dilakukan apabila terlebih dahulu dibuktikan adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya yang merupakan bukti atau dasar penguasaan atas tanahnya (hak keperdataan) atau alas haknya, baik yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang maupun pernyataan yang dibuat sendiri oleh orang yang

(20)

menguasai tanah tersebut apabila sejak awal dialah yang pertama mengerjakan bidang tanah dimaksud.

Bahkan dalam penetapan hak, apabila tidak ada alas hak secara tertulis, maka bukti penguasaan tersebut cukup dengan adanya penguasaan secara fisik sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut.

Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat Pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan, tanah tersebut sudah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya.

(21)

Pemilikan tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, ”penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.”

Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Pemerintah agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses alas hak menjadi hak atas tanah yang diformalkan melalui penetapan Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.

Oleh karena itu dasar penguasaan atau alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas pemilikan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar pemilikan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara, maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara / Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

(22)

AP. Parlindungan menyatakan bahwa dasar penguasaan atau alas hak sebagaimana diatur dalam UUPA dapat diterbitkan haknya karena penetapan Pemerintah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak atas tanah di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) dan juga karena ketentuan konversi hak, sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.66

Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti Hak-hak Adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari Hak-hak Barat,67

Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama) masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku pada masa itu.

Hak-hak Adat maupun Hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum

66

AP. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Op.cit, halaman 69-70. 67 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Op.cit,

(23)

didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata (BW), sungguhpun ada juga orang-orang pribumi yang mempunyai hak atas tanah yang berstatus Hak-hak Barat selain golongan Eropa dan Golongan Timur Asing termasuk golongan China setelah menyatakan dirinya tunduk pada Hukum Eropa .

Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Grant lama, Grant Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan menirukan sistem pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di Pulau Jawa.68

Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 dapat dikategorikan sebagai alas hak, sungguhpun sebagaimana diuraikan di atas bahwa terhadap alas hak dimaksud dapat diproses pendaftaran tanahnya melalui konversi atau pengakuan/penegasan hak atas tanah

68 Ibid., halaman 76.

(24)

Surat-surat yang dikategorikan sebagai dasar penguasaan atau alas hak atau data yuridis atas tanah pada dasarnya merupakan keterangan tertulis mengenai perolehan tanah oleh seseorang, misalnya saja dengan berupa pelepasan hak bekas pemegang hak, pernyataan tidak keberatan dari bekas pemegang hak tentunya setelah ada ganti rugi. Syarat ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang bunyinya "sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon dibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 69

Selanjutnya Pasal 9 ayat (2) angka 2 dan Pasal 18 ayat (2) angka 2 Peraturan tersebut menegaskan bahwa alas hak atau data yuridis dapat berupa sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, termasuk juga akta pelepasan kawasan hutan, akta pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya.

Berdasarkan pemilikan tanah yang ditandai dengan adanya penguasaan atau alas hak atau data yuridis tersebut yang ditunjukkan dengan adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya, maka dapat ditindaklanjuti dengan memformalkan atau melegalisasi asetnya masyarakat.

69 Djoko Walijatun, Persyaratan Permohonan hak, Majalah Renvoy No. 10.34.III, Maret 2006, halaman 65.

(25)

Apabila hubungan hukum tersebut diformalkan atau dilegalisasi oleh Negara, sehingga Negara memberikan dan menentukan kewenangan, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang dihakinya, maka pemilikan tanah tersebut dapat menjadi hak atas tanah.70

Hak atas tanah dapat diartikan sebagai lembaga hukum jika belum dihubungkan dengan tanah dan subyek tertentu, juga hak pemilikan dan penguasaan atas tanah dapat merupakan hubungan yang konkrit (subjektief recht) jika dihubungkan dengan tanah tertentu dan subyek tertentu sebagai pemegang haknya.71 Menurut Boedi Harsono, hak-hak atas tanah yang dikenal dalam Hukum Tanah khusunya dalam UUPA, dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau hirarkhi sebagai berikut :

1. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1) 2. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 20)

3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3)

4. Hak-hak perorangan :

a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4) :

70

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1994), halaman 203

71

(26)

- Primer : Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang diberikan oleh Negara, Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara dan Hak Pengelolaan (Pasal 16)

- Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya (Pasal 37, 41 dan 53)

b. Wakaf (Pasal 49)

c. Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (Undang-undang Nomor 16/1985 tentang Rumah Susun)

d. Hak jaminan atas tanah :

- Hak Tanggungan (Pasal 23, 33, 39 dan 51)

- Fidusia (Undang-undang Nomor 16 tahun 1985).72

Khusus terhadap Hak Pengelolaan, sebenarnya tidak disebutkan secara konkrit dalam UUPA, tetapi hanya disebutkan sebagai hak-hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang.73

Bila berbicara mengenai hak hak atas tanah, maka hal tersebut merupakan tindak lanjut dari proses kegiatan pemerintah yang melakukan penetapan hak terhadap kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh masyarakat.

72

Ibid., halaman 204-205

73

Istilah Hak Pengelolaan disebutkan pertama kali dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 tahun 1965 yang mengatur tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas tanah Negara. Sebelumnya dikenal dengan sebutan Hak Penguasaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah

(27)

Dalam hal ini, kepemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi dasar diberikan dan ditetapkannya hak atas tanah kepada yang memiliki dan menguasai tanah tersebut.

Dengan demikian hubungan hukum antara orang dengan tanahnya melahirkan kepemilikan dan secara perdata pemilikan atas tanah oleh warga masyarakat cukup dibuktikan dengan dasar penguasaan atau alas hak secara terulis sebagaimana disebutkan di atas, namun dalam sistem Hukum Agraria, maka pemilikan tanah saja tidak cukup untuk diberikan jaminan kepastian hukum oleh Negara (Pemerintah), tetapi harus ditindaklanjuti dengan legalisasi hak atas tanah melalui proses penetapan hak dan pendaftaran tanahnya yang hasilnya sertipikat tanah.

C. Kepemilikan dan Penguasaan Tanah di Pulau Bulat dan Pulau Sekikir Berdasarkan aspek pemilikan atas tanah sebagaimana diuraikan di atas, maka akan ditinjau pemilikan tanah di Pulau Batam, khususnya di lokasi penelitian, yakni Pulau Sekikir dan Pulau Bulat.

Pada Pulau Sekikir dan Pulau Bulat secara faktual terdapat pemilikan yang didasarkan atas penguasaan tanah secara fisik yang dibuktikan dengan adanya rumah tempat tinggal yang didirikan di masing-masing pulau tersebut.

Khusus di Pulau Bulat, ditemui satu keluarga yang menjaganya dan mendiami pulau tersebut sejak beberapa tahun terakhir ini yaitu Syafruddin alias Awang Puding.

Nomor 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara dan hak itu merupakan terjemahan dari ”Beheersrecht”

(28)

Menurut Syafruddin,74 dia telah mendirikan rumah tempat tinggal di pulau tersebut dan dijadikan juga sebagai tempat peristirahatan dan tempat memancing bagi penduduk setempat. Rumah tersebut dibangun oleh Syafruddin sejak tahun 2005.

Menurut Syafruddin, dari dulu Pulau Bulat dipunyai oleh satu orang saja yakni Bahar Dahlan, yang merupakan orangtuanya dan semula hanya digunakan untuk berladang. Oleh karena hanya dijadikan sebagai tempat berladang, maka sebagaimana dinyatakan oleh Rahmat, staf Lurah Setokok, Pulau Bulat dikategorikan sebagai Pulau tak berpenghuni. 75

Pemilikan atas tanah di pulau-pulau tersebut dibuat oleh yang bersangkutan yang dikuatkan oleh Kepala Kelurahan atau surat-surat tanah yang dibuat oleh Kepala Kelurahan Setokok.

Sedang di Pulau Sekikir, menurut penuturan Arman Dahlan, penduduk Pulau Setokok yang ditemui sedang berladang di Pulau tersebut, semula diusahai oleh lebih dari 15 (lima belas) orang penduduk Pulau Setokok dan dijadikan lahan perladangan, namun karena tidak diurus dengan baik, maka usaha perladangan tersebut tidak berkembang dan sempat ditinggalkan warga setempat beberapa tahun sehingga menjadi semak belukar.

Belakangan ini, Pulau Sekikir kembali diusahai oleh penduduk setempat untuk usaha berladang, namun yang aktif berladang di pulau tersebut dengan menanami tanah miliknya hanya satu orang lagi, yakni Arman Dahlan. Di lapangan,

74

Wawancara dilakukan pada tanggal 30 September 2010 di Pulau Setokok.

75

(29)

ditemukan banyak tanaman pertanian baik tanaman keras seperti mangga, durian, kelapa dan lain serta tanaman palawija seperti singkong, pepaya, cabai dan lain-lain sayuran.

Khusus tanaman keras baru ditanami sekitar dua tahun ini dan belum menghasilkan buah-buahan, sedangkan untuk tanaman palawija, menurut Dahlan, telah ditanami sejak lama dan tidak terputus sejak dulu.

Bukti pemilikan atas bidang-bidang tanah oleh masing-masing warga setempat di Pulau Sekikir tersebut ditandai dengan surat-surat tanah yang dibuat oleh Kepala Desa/Lurah Setokok.

Menurut Rahmat, staf Lurah Setokok, secara umum warga di Kelurahan Setokok hanya memiliki surat-surat pemilikan tanah berupa Surat Keterangan Riwayat Pemilikan/Penguasaan Tanah yang ditandatangani oleh Lurah Setokok dan hanya satu surat lama yang pernah dijumpainya berbentuk Grant atas nama Jambul. Dengan adanya surat Grant tersebut, maka masyarakat di Pulau Batam yang sudah lama berdiam di pulau tersebut terutama di kampung-kampung tua masih menganggap status tanah yang dimikinya sebagai tanah adat.

Terhadap kampung-kampung tua yang sudah ada sebelum tahun 1970 ketika ditetapkan Pulau Batam sebagai daerah pengembangan industri, menurut Rahmat, sudah ada peraturan Walikota untuk melestarikannya dan tanahnya menjadi disebutkan sebagai tanah adat, termasuk kampung tua yang ada di Pulau Setokok.

Namun di luar kampung tua yang ada di wilayah Kelurahan Pulau Setokok, termasuk di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, surat-surat tanah yang ditemukan sama

(30)

dengan surat-surat tanah yang dijumpai di Pulau Setokok dan surat tanah tersebut dibuat di bawah tahun 2004, sebab sejak tahun 2004 telah ada larangan dari Walikota kepada para Camat dan Lurah untuk tidak menerbitkan surat-surat tanah warganya, sehingga sampai saat ini yang dipegang oleh warga sebagai bukti pemilikan tanahnya adalah Surat Ketarangan Riwayat Pemilikan Tanah tersebut.

Khusus di Pulau Sekikir, ditemukan beberapa Surat Keterangan Riwayat Pemilikan/Pengusaan Tanah yang diterbitkan oleh Lurah Setokok pada tahun 2002 yang diketahui Camat Bulang dengan register tanggal 12 September 2002 dan disaksikan oleh Ketua RT 01 dan Ketua RT 05, dengan sebagai berikut :

Tabel 1

Daftar Surat Tanah Warga Pulau Sekikir

No. Nama Pemilik

Luas Tanah (m2)

Tanggal Surat Nomor Register Kantor Camat 1 Arman 20.000 20 Juni 2002 No.09/CB/IX/2002 2 Timat Rahmat 20.000 20 Juni 2002 No.10/CB/IX/2002 3 Amir 20.000 20 Juni 2001 No.11/CB/IX/2002 4 Kamaruddin 20.000 20 Juni 2002 No.11/CB/IX/2002 5 Irwan 20.000 20 Juni 2002 No.12/CB/IX/2002 6 Kemat 20.000 20 Juni 2002 No.13/CB/IX/2002 7 Rani 20.000 20 Juni 2002 No.14/CB/IX/2002 8 Saiful 20.000 20 Juni 2002 No.15/CB/IX/2002 9 Ramli 20.000 20 Juni 2002 No.16/CB/IX/2002 10 E v i 20.000 20 Juni 2002 No.17/CB/IX/2002 11 Cahaya 20.000 20 Juni 2002 No.18/CB/IX/2002 Sumber : Kantor Lurah Setokok, 2010

(31)

Bukti pemilikan atas tanah dengan bentuk Surat Keterangan Riwayat Pemilikan / Penguasaan Tanah diakui keberadaan dan kebenarannya oleh penduduk setempat.

Hingga saat ini, di Kelurahan Setokok umumnya dan khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, belum ada diterbitkan sertipikat atas tanah kepada masyarakat. Sementara itu berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kantor Pertanahan Kota Batam, di Kelurahan Setokok khususnya di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat, belum ada diterbitkan sertipikat hak atas tanah kepada penduduk setempat .

Menurut M. Rizal, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Batam,76 selama ini masyarakat di daerah Pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk pemilik dari Pulau Sekikir ada yang datang hendak mengajukan permohonan hak atas tanah, namun belum dapat dilayani, karena seluruh wilayah kepulauan Batam sudah harus diterbitkan Hak Pengelolaan sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 dan Nomor 28 tahun 1992, jadi terlebih dahulu tanah yang ada di wilayah Kepulauan Batam diberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam, baru dapat diberikan hak atas tanah perseorangan kepada pihak ketiga di atas tanah Hak Pengelolaan.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara yuridis formal, pemilikan tanah di wilayah kepulauan Batam termasuk di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat yang didasarkan pada penguasaan fisik bidang tanahnya oleh penduduk

76

(32)

setempat diakui keberadaannya baik oleh aparat pemerintah kelurahan maupun masyarakat terlebih-lebih telah didukung oleh alas hak secara tertulis yang diterbitkan oleh aparat kelurahan setempat, sungguhpun tidak dapat dilegalkan dengan bukti formal melalui penerbitan sertipikat hak atas tanah oleh instansi pemerintah yang mengelola bidang pertanahan karena terbentur dengan aturan pengelolaan Pulau Batam yang ditetapkan oleh Presiden.

D. Aturan Pengelolaan Pulau Batam

Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa sekalipun masyarakat di wilayah kepulauan Batam mempunyai bukti kepemilikan atas tanah berdasarkan penguasaan dan didukung oleh alas hak berupa surat tanah yang diterbitkan oleh aparat kelurahan, namun tidak dapat diterbitkan sertipikat karena telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai obyek Hak Pengelolaan.

Penetapan Pulau Batam sebagai wilayah pengembangan pembangunan sekaligus sebagai daerah obyek Hak Pengelolaan pertama kali didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 74 tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam, kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

Setelah diteliti dari berbagai pengaturan yang ada, maka beberapa pengaturan dan kebijakan Pemerintah mengenai pengelolaan Pulau Batam dapat dikategorikan dalam beberapa hal, yakni tentang lembaga/badan pengelola, tentang wilayah lingkungan kerja dan tentang pengelolaan pertanahan.

(33)

1. Lembaga Badan Pengelola

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, maka ditetapkan lembaga pengelola yang terdiri dari badan pengawas, badan otorita pengembangan dan perusahaan perseroan pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam.

Kemudian dilakukan perubahan pertama, dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1978 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, dalam hal ini ada perubahan susunan badan pengawas.

Kedua keputusan Preiden Nomor 58 tahun 1989 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1978, dalam hal ini perubahan susunan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.

Ketiga, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 94 tahun 1998 tentang Penyempurnaan Atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam, dalam hal ini mengubah dewan pembina, otorita pengembangan dan perusahaan perseroan pengelola.

Keempat, melalui Keputusan Presiden Nomor 113 tahun 2000 tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

(34)

Kelima, dengan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2005 tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam.

Kemudian dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang Undang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditentukan bahwa Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam diganti menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdangaan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, berikut pengalihan asetnya. 2. Wilayah Kerja

Berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 ditetapkan seluruh Pulau Batam sebagai lingkungan kerja daerah pengembangan industri.

Selanjutnya sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1974 tentang Penunjukan dan Penetapan Beberapa Wilayah Usaha bonded warehouse di Daerah Pulau Batam, maka sejumlah daerah ditetapkan sebagai kawasan berikat (bonded

warehouse).

Berikutnya disusul dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai wilayah

bonded warehouse, dalam hal ini tidak ada pengeculian di wilayah Pulau Batam yang seluruhnya menjadi wilayah bonded warehouse.

(35)

Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 1984 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai wilayah Usaha bonded warehouse, dalam hal ini wilayah yang ditambah adalah pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Batam yaitu gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau Ngenang, Pulau Kasem dan Pulau Moimoi.

Berikutnya dengan Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai wilayah Usaha Kawasan Berikat, dalam hal ini wilayah lingkungan kerja yang ditambah adalah Pulau Rempang dan Pulau Galang.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti undang Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang Undang dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, ditentukan bahwa wilayah atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru.

Penyebutan nama-nama pulau tersebut tidak lagi mencantumkan gugusan pulau-pulau di sekitarnya, sehingga dapat diinterpretasikan bahwa hanya semua pulau yang disebutkan secara tegas yang menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

(36)

Dengan demikian hampir seluruh wilayah Kota Batam dimasukkan menjadi wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam dan sekarang menjadi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, hanya saja tidak diuraikan luas daerahnya 3. Pengelolaan Bidang Pertanahan

Khusus mengenai pengelolaan pertanahan, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 dinyatakan bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau

Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.

Hak Pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk :

”1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;

2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;

3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 Undang Undang Pokok Agraria;

4. Menerima uang pemasukan / ganti rugi dan uang wajib tahunan.”

Kemudian dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam, diputuskan memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atas seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam termasuk

areal tanah di gugusan Pulau-pulau Janda Berias, Tanjung Sau & Ngenang dan Pulau Kasem, untuk dipergunakan sebagai pengembangan daerah industri, pelabuhan,

(37)

pariwisata, pemukiman, peternakan, perikanan dan lain-lain usaha, sedang bagian-bagian dari tanah Hak Pengelolaan tersebut dapat diberikan kepada pihak ketiga dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Kebijakan pemerintah berikutnya berkaitan dengan pengelolaan pertanahan di Pulau Batam adalah dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993 tanggal 13 Juni 1999 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain di sekitarnya.

Dalam diktum keputusan tersebut dinyatakan kesediaan untuk memberikan

hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atas

seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain di sekitarnya sebagaimana tergambar dalam lampiran Keputusan Presiden Nomor 28 tahun 1992.

Diatur juga bahwa tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan dan telah dilakukan pengukuran, akan diberikan dengan keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional secara bertahap (parsial) dan harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat untuk memperoleh tanda bukti berupa sertipikat dengan membayar biaya pendaftaran menurut ketentuan yang berlaku, sedangkan bagian-bagian dari Hak Pengelolaan yang akan diberikan kepada pihak ketiga diwajibkan untuk memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1977.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 bahwa seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak

(38)

Pengelolaan, namun tidak dijelaskan apakah pendaftaran hak dilakukan sekaligus terhadap seluruh areal lokasi yang ditetapkan menjadi areal Hak Pengelolaan atau didaftarkan secara parsial (sebagian-sebagian), namun merujuk pada kalimat ”seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan”, seharusnya seluruh areal tersebut didaftarkan sekaligus dan diterbitkan satu sertipikat Hak Pengelolaan, namun kenyataannya, di Pulau Batam diterbitkan sertipikat Hak Pengelolaan secara parsial, mengikuti aturan dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993.

Penerbitan sertipikat Hak Pengelolaan dapat dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan pengukuran untuk mengetahui luas tanah yang pasti dan didaftarkan pada Kantor Pertanahan setempat.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Pertanahan, sejak tahun 1987 sampai dengan 2010, telah diterbitkan Sertipikat Hak Pengelolaan secara parsial kepada Otorita Batam sebanyak 160 (seratus enam puluh) persil, dengan uraian sebagai berikut :

Tabel 2

Jumlah Sertipikat Hak Pengelolaan Berdasarkan Tahun Terbit No Tahun Terbit Lokasi Jumlah Persil Luas (M2) 1 2 3 4 5 1 1987 Tiban 1 192.500

(39)

2 1988 Lubuk Baja Kota 3 1.509.100

3 1989 Tiban 1 1592600

4 1990 Lubuk Baja Kota 1 2.377.900

1. P. Buluh 1 394.410 5 1991 2. Kabil 1 1.947.522 1. Tiban 1 49.000 2. Sekupang 1 2.865.000 3. Pulau Buluh 3 2.428.765

4. Lubuk Baja Kota 1 1.220.000

5. Lubuk Baja Timur 3 4.720.000

6. Lubuk Baja Utara 1 8.510.000

7. S. Beduk 3 1.746.430 6 1992 8. Nongsa 1 23.645 1. Tiban 1 2.503.510 2. Sekupang 1 8.045.000 3. P. Buluh 3 6.940.045

4. Lubuk Baja Utara 1 812.874

5. S. Beduk 3 5.198.435

6. Nongsa 1 170.505

7 1993

7. Kabil 4 4.398.660

(40)

1. Tiban 1 7.134.977

2. P. Buluh 2 1.765.878

3. Lubuk Baja Timur 1 971.841

4. S. Beduk 1 2.250.000

8 1994

5. Nongsa 1 1.989.575

1. Tiban 1 9.086.251

2. P. Buluh 1 128.181

3. Lubuk Baja Timur 1 2.413.064

4. S. Beduk 1 6.741.992 9 1995 5. Nongsa 2 1.928.744 1. Tiban 1 2.604.450 2. P. Buluh 3 17.121.507 3. Nongsa 1 703.220 10 1996 4. Kabil 1 1.938.650 1. P. Buluh 1 1.853.500

2. Lubuk Baja Timur 1 2.181.427

11 1997

3. Lubuk Baja Utara 1 141.227

1. P. Buluh 1 4.987.858

2. Lubuk Baja Utara 1 40.386

3. S. Beduk 4 13.202.247

12 1998

4. Nongsa 1 2.016.070

(41)

1. Sagulung 1 150.931 14 2000 2. Tanjung Riau 1 49.613 15 2001 Nongsa 3 1.629.257 1. Sagulung 1 30.006 16 2002 2. Batu Aji 2 73.659 1. Tanjung Piayu 1 4.246.000 2. Nongsa 1 880.930 3. Belian 2 6.211.226 4. Tanjung Riau 1 9.532.600 5. Sagulung 3 3.958.830 6. Sungai Harapan 1 863.600 7. Baloi Permai 1 493.760 8. Batu Aji 1 51.507 9. Teluk Tering 1 750.339 17 2004 10. Kabil 1 100.000 1. Teluk Tering 1 1.486.390 2. Kabil 1 74.143 3. Tiban Asri 3 248.073 4. Bengkong Laut 3 2.269.977 5. Batu Aji 1 304.872 18 2005 6. Tanjung Uma 1 61.790

(42)

1 2 3 4 5 1. Belian 2 204.776 2. Sagulung 2 61.881 3. Tiban Asri 2 232.079 4. Kabil 1 50.000 5. Tanjung Riau 1 23.325 19 2006 6. Sungai Jodoh 1 28.001 1. Belian 5 216.454 2. Batu Aji 1 30.286 3. Benkong Laut 1 69.998 4. Tiban Asri 1 24.040 5. Muka Kuning 1 48.703 6. Kabil 1 20.000 20 2007 7. Sungai Langkai 1 40.103 1. Belian 10 1.347.169 2. Kabil 3 83.343 3. Tembesi 9 885.472 4. Sungai Lekop 1 79.941 5. Tanjung Uma 2 44.502 6. Sungai Jodoh 1 112.289 7. Kibing 1 17.311 21 2008 8. Sagulung 1 100.053 1. Tembesi 4 493.815 22 2009 2. Bukit Tempayan 1 26.235

(43)

3. Sungai Pelunggut 1 374.575 4. Tanjung Uma 1 10.580 1. Batu Besar 1 51.078 2. Tembesi 6 677.768 3. Belian 1 10.000 23 2010 4. Tanjung Uncang 1 17.148 Jumlah 160 178.464.69

Sumber : Data dari Kantor Pertanahan Kota Batam yang diolah, 2010

Terhadap pemberian Hak Pengelolaan tersebut, baik yang diatur dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 tahun 1977 maupun Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor : 9-VIII-1993 ditentukan persyaratan antara lain apabila di atas areal tanah yang diberikan dengan Hak Pengelolaan masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, maka harus dibebaskan dengan ketentuan pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru atas dasar musyawarah.

Dengan adanya ketentuan tersebut, maka Pemerintah masih mengakui pemilikan dan penguasaan tanah oleh masyarakat sekalipun di atas tanah yang sudah ditetapkan sebagai areal Hak Pengelolaan milik Otorita Batam, karena pada kenyataannya, banyak pemukiman penduduk dan juga perladangan yang sudah ada sebelum ditetapkannya pemberian Hak Pengelolaan tersebut.

(44)

Pada saat dilakukan pembebasan tanah yang dikuasai oleh masyarakat tersebut, maka pembayaran ganti ruginya juga dilakukan secara parsial sama dengan permohonan pengukuran dan pendaftaran Hak Pengelolaan dimaksud.

Perkembangan yang terjadi di lapangan, menurut M. Rizal, setelah menerima keputusan tentang pemberian Hak Pengelolaan, pihak Otorita Batam seharusnya melakukan pembebasan tanah atas seluruh areal yang ditunjuk dalam surat keputusan pemberian Hak Pengelolaannya, namun hal tersebut tidak dilaksanakan dan pada kenyataanya suatu bidang tanah baru dibebaskan dari penguasaan rakyat apabila sudah ada investor yang hendak membelinya, bahkan ada investor yang terlebih dahulu membebaskan tanahnya dari penguasaan penduduk baru kemudian membeli tanahnya dari Otorita Batam.

Oleh karena yang melakukan pembebasan tanah adalah investor sementara tanahnya tidak langsung dikuasai oleh investor karena menunggu proses pembelian dari Otorita Batam, maka tanah yang kosong sering digarap kembali oleh masyarakat, sehingga tidak jarang terjadi dua kali pembebasan tanah di suatu tempat.

Menurut penelitian Muhammad Thamzil,77 dalam rangka pembebasan tanah dari penguasaan masyarakat, sebagian penduduk ada yang dipindahkan dan diberikan suatu lokasi yang dijadikan tempat pemukiman baru (relokasi), namun dalam pelaksanaannya tidak diikuti dengan pemberian kepastian status tanahnya hanya

77

Muhammad Thamzil, Pemberian Hak Pengelolaan kepada Otorita Pengembangan Daeran

Industri Pulau Batam (OPDIB) dan Implementasinya kepada Pihak Pengembang (developer) di Kota Batam, Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Batam, 2010, hal.aman 51

(45)

diberikan penunjukan penetapan lokasi (PL), sehingga saat ini masih ada masyarakat yang ingin memperoleh sertipikat, namun tidak diproses karena tidak memenuhi syarat seperti tidak mempunyai surat keputusan pengalokasian dan penggunaan tanah dari Ketua Otorita atau tidak melakukan pembayaran Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

Kemudian terhadap tanah yang berada di Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau lain di sekitarnya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dengan

kesediaan untuk memberikan hak pengelolaan kepada Otorita Pengembangan

Daerah Industri Pulau Batam, sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9-VIII-1993 tanggal 13 Juni 1999, hingga saat ini belum ada bidang tanah yang diberikan sertipikat Hak Pengelolannya, sehingga dapat dikatakan surat keputusan tersebut belum dapat dilaksanakan.

Menurut M. Rizal, keputusan tersebut tidak dapat dilaksanakan karena disebabkan beberapa hal, antara lain :

1. Belum ada permohonan dari pihak Otorita Batam;

2. Ada penguasaan tanah oleh masyarakat dan belum dilakukan pembebasannya;

3. Ada areal yang masuk kawasan hutan, seperti di Pulau Rempang masuk kawasan hutan baru dengan surat keputusan Menteri Kehutanan tahun 1986 ;

(46)

4. Di pulau-pulau lain juga pihak instansi kehutanan masih keberatan untuk diproses Hak Pengelolaan sampai ada ijin pelepasan dari kawasan hutan. Dengan demikian, untuk dapat diproses permohonan Hak Pengelolaan dari Otorita Batam, instansi Badan Pertanahan Nasional mensyaratkan harus jelas obyeknya, bebas dari penguasaan masyarakat dan bebas dari kawasan hutan, baru kemudian dapat dilakukan pengukuran, pendaftaran dan penerbitan sertipikatnya.

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 36 tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang Undang yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, secara substantif tidak lebih dari sekedar penggantian nama dari Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, sedang peraturan teknis di bidang pertanahan tetap harus disesuaikan dengan kebijakan pertanahan nasional sehingga tidak menimbulkan ketimpangan peraturan.78

78

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian dan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian model kepemimpinan etnis Tionghoa Jawa Barat yang dilakukan pada organisasi kedaerahan

generasi muda adalah bentuk pendidikan petualangan berbasis lingkungan alam. Oleh karenanya peneliti memfokuskan penelitian pada model pendidikan.. petualangan berbasis

Di Pusat, acara Pekan Menyusui Sedunia tahun 2020 dilaksanakan pada bulan Agustus 2020 di Jakarta dalam bentuk webinar yang akan dibuka oleh Menteri Kesehatan

Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi.Terdapat 5 sindrom

Penelitian ini bertujuan untuk membangun sistem pendukung keputusan berbasis komputer dengan mengimplementasi model hybrid MCDM (kombinasi metode AHP dan TOPSIS ) untuk

Selain itu orang tua juga tidak hanya menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah namun mereka juga perlu memantau perkembangan anaknya agar mereka tidak salah

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan DEPTAN B Pertanian, Kedokteran Hewan dan Lingkungan 03/Akred- LIPI/P2MBI /9/2006 Â 14 Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.. ISSN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang uji aktifitas immunomodulator dan Jumlah sel leukosit dari ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus lemairei