• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEKRETARIAT JENDERAL NOTULEN SIDANG PLENO KOMITE III DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEKRETARIAT JENDERAL NOTULEN SIDANG PLENO KOMITE III DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 | K o m i t e – I I I

\\

NOTULEN

SIDANG DENGAR PENDAPAT UMUM

KOMITE III DPD RI

DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEKRETARIAT JENDERAL

---

NOTULEN

SIDANG PLENO KOMITE III DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

H a r i : Senin

Tanggal : 21 Januari 2014

Pukul : 10.00 s.d selesai

Tempat : Ruang Rapat Komite II, Gd. B Lt. III DPD RI

Pimpinan Rapat : Pimpinan Komite Komite III:

1. Prof. Dr. Dra. Hj, Istibsyaroh, SH., MA. 2. Ir. H. A. Aziz Qahar Mudzakar, M. Si.

Acara : Sidang Pleno Komite III DPD RI dengan agenda

sebagai berikut:

1. Pembahasan RUU tentang Kesehatan Jiwa;

2. Pembahasan rencana pembentukan Tim Ahli Draft Naskah Akademuk dan RUU Inisiatif DPD RI

terkait RUU tentang Perlindungan dan

Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional; 3. Pembahasan rencana pembentukan Tim Ahli

Draft Naskah Akademuk dan RUU Inisiatif DPD RI terkait RUU tentang Praktek Kefarmasian, dan 4. Lain-lain

JAKARTA 2014

(2)

2 | K o m i t e – I I I

NOTULEN

SIDANG PLENO KOMITE III

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA

1. H a r i/Tanggal : Selasa, 21 Januari 2014 2. Pukul : 10.00 s.d. Selesai

3. Tempat : Ruang Rapat Komite II, Gd. B Lt.III DPD RI 4. Pimpinan Rapat : Pimpinan Komite III:

1. Prof. Dr. Dra. Hj. Istibsyaroh, SH., MA. 2. Ir. H. A. Aziz Qahar Mudzakar, M. Si.

5. Acara : Sidang Pleno Komite III DPD RI dengan agenda sebagai berikut :

1. Pembahasan RUU tentang Kesehatan Jiwa;

2. Pembahasan rencana pembentukan Tim Ahli Draft Naskah Akademuk dan RUU Inisiatif DPD RI terkait RUU tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional;

3. Pembahasan rencana pembentukan Tim Ahli Draft Naskah Akademuk dan RUU Inisiatif DPD RI terkait RUU tentang Praktek Kefarmasian, dan

4. Lain-lain.

6. Hadir : 12 (dua belas) orang dari 33 (tiga puluh tiga) orang Anggota Komite III DPD RI.

Hasil Rapat :

I. Sidang Pleno Komite III DPD RI dilaksanakan pada tanggal 21 Januari 2014 dan dibuka pada pukul 10.30 WIB serta dihadiri oleh 12 (dua belas) orang Anggota Komite III DPD RI.

II. Sidang Pleno Komite III DPD RI didahului sambutan oleh Wakil Ketua Komite III DPD RI, Ibu Prof. Dr. Dra. Hj. Istibsyaroh, SH., MA.

III. Pemaparan dari Staf Ahli Komite III DPD RI mengenai analisa RUU tentang Kesehatan Jiwa adalah sebagai berikut:

Latar belakang RUU bahwa pelayanan kesehatan masih memprioritaskan kesehatan fisik, sehingga belum memperhatikan pelayanan kesehatan jiwa, perlindungan dan pemenuhan hak bagi orang yang mengalami gangguan jiwa secara optimal yang

(3)

berdampak pada lemahnya produktivitas sumber daya manusia. Selain itu, peraturan perundang-undangan yang mengatur berkaitan dengan kesehatan jiwa selama ini belum dilaksanakan secara komperehensif dalam melindungi orang dengan gangguan jiwa. Sehingga pelayanan bagi orang yang mengalami gangguan jiwa perlu diatur secara khusus dalam satu undang-undang. Adanya diskriminasi seperti penelantaran dan pembiaran ada salah satu fakta yang masih kerap terjadi di tengah masyarakat. Selain itu, penganiayaan terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa dengan alasan merupakan bagian dari ritual penyembuhan, seperti pemasungan, perendaman air dan sebagainya yang mengakibatkan penderita gangguan jiwa semakin tertekan baik fisik maupun psikis. Pun sama halnya bagi penderita gangguan jiwa yang telah sembuh, harus menghadapi stigma dari masyarakat. Sehingga penderita gangguan jiwa yang telah sembuh seringkali kesulitan kembali ke lingkungan sosialnya.

Pada saat ini, kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih memperlakukan diskriminatif dan tidak adil bagi penderita gangguan jiwa, antara lain perusahaan asuransi yang tidak menanggung penderita gangguan jiwa, keterbatasan akses bagi penderita gangguan jiwa terhadap fasilitas publik, bahkan rumah sakit umum sering kali menolak penderita gangguan jiwa. Menurut data Kementerian Kesehatan Tahun 2013 terdapat 8 provinsi yang tidak memiliki Rumah Sakit Jiwa (RSJ), seperti Provinsi Kepulauan Riau, Banten, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Kalimantan Utara.

Di dalam RUU tersebut, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan, antara lain:

 Upaya kesehatan jiwa yang terdapat pada pasal 4, pasal 5, dan pasal 13, dimana upaya preventif lebih banyak dibebankan kepada keluarga penderita gangguan jiwa. Sedangkan peran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terlihat masih kurang.

 Sumber Daya Manusia terkait dengan kesehatan jiwa yang terdapat pada pasal 43 masih belum terperinci peraturannya. Sedangkan berdasarkan data yang ada, jumlah psikiater di Indonesia masih sangat kurang.

 Fasilitas kesehatan jiwa yang terdapat pada pasal 50, dimana puskesmas dituntut sebagai leading sektor dalam upaya kesehatan jiwa. Hal ini dikarenakan puskesmas merupakan fasilitas kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat. Namun, pada saat ini di setiap puskesmas belum tersedia fasilitas kesehatan bagi penderita gangguan jiwa.

 Pendanaan kesehatan jiwa yang terdapat pada pasal 62, dimana pendanaan tersebut dibebankan pada APBN/APBD. Pertanyaannya ialah bagaiman pemerintah dapat mengelola anggaran tersebut yang penggunaannya setiap tahun berubah. Sedangkan penderita gangguan jiwa membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menjalani perawatan.

 Kewenangan penanganan kesehatan jiwa yang terdapat pada pasal 70 belum digambarkan secara terperinci mekanismenya.

 Pasal 81 menyebutkan bahwa di setiap rumah sakit umum diharuskan sudah membentuk pelayanan kesehatan jiwa paling lama 5 tahun seteleh

(4)

4 | K o m i t e – I I I undang-undang tersebut disahkan. Pertanyaannya ialah apakah setiap rumah sakit umum mampu melaksanakannya dalam waktu yang cukup singkat tersebut, terutama bagi rumah sakit umum yang berada di Indonesia bagian timur. Sebaiknya perlu ada pembedaan jangka waktu bagi setiap wilayah.

IV. Beberapa tanggapan dan masukan dari Anggota Komite III DPD RI adalah sebagai berikut:

a. Terkait pembahasan RUU tentang Kesehatan Jiwa

1. Staf Ahli Komite III DPD RI dimintai memaparkan data kuantitatif penduduk yang memiliki penyakit jiwa di setiap provinsi.

2. Data Kuantitatif juga diperlukan untuk data rumah sakit jiwa dan ketersediaan dokter di setiap provinsi. Selain itu, juga perlu ada analisa mengenai standar jumlah dokter di setiap provinsi maupun rumah sakit. Kemudian bagaimana dukungan perguruan tinggi yang membuka program studi untuk penanganan penyakit kesehatan jiwa.

3. Staf Ahli diharapkan untuk menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi jiwa secara jelas. Karena melihat didalam RUU tentang Kesehatan Jiwa yang diberikan oleh DPR RI masih ada kerancuan dalam mendefinisikan tentang jiwa. 4. Perlu juga dijelaskan mengenai definisi diskriminatif dalam menghadapai

penduduk yang mengalami gangguan jiwa. Karena didalam RUU tersebut, definisi diskriminasi masih besifat ambigu. Karena disatu sisi, diskriminasi yang dimaksud dalam RUU tersebut masih bersifat universal, padahal pada kenyataannya di tengah-tengah masyarakat pengkategorian diskriminasi berbeda-beda di setiap masyarakat.

5. Untuk ke depannya sebaiknya staf ahli menyampaikan hasil analisanya terlebih dahulu kepada Anggota DPD RI, agar Anggota DPD RI dapat mempelajarinya terlebih dahulu dengan membaca referensi lain.

6. Bagaimana mendefinisikan orang yang mengalamai gangguan jiwa, karena hal ini penting dalam menentukan tindak lanjut penanganan pasien yang mengalami gangguan jiwa.

7. Perlu ada penjelasan mengenai pembiayaan dalam penanganan permasalahan kesehatan jiwa.

8. Perlu dibuat aturan bagi Perguruan Tinggi untuk membuka program studi kesehatan jiwa, karena hingga sekarang belum banyak perguruan tinggi yang membuka program studi tersebut.

9. Bagaimana memformulasikan agar keberadaan rumah sakit jiwa juga dapat digunakan sebagai tempat rehabilitasi Narkoba, mengingat masih ada daerah yang belum memiliki tempat rehabilitasi Narkoba, namun sudah memiliki rumah sakit jiwa.

10. Banyak undang-undang yang tumpang tindih dan kelahirannya pun dipaksakan tanpa memperhatikan undang-undang yang sudah ada. Dan bagaimana tumpang tindih antara undang-undang kesehatan jiwa dengan program BPJS.

(5)

11. Perlu ada standar rumah sakit jiwa, karena di dalam RUU ada perbedaan dalam penentuan standar antara rumah sakit swasta dengan rumah sakit pemerintah. Ada ketimpangan dalam penentuan standar rumah sakit pemerintah dengan rumah sakit swasta, dimana syarat pemenuhan standar rumah sakit swasta lebih sulit bila dibandingkan dengan rumah sakit pemerintah.

12. Didalam RUU ini belum ada langkah prefentif bagi pasien yang telah sembuh dari penyakit jiwa, karena pada umumnya di tengah-tengah masyarakat banyak pasien yang sembuh tidak diterima ketika kembali di tengah-tengah masyarakat. Sehingga perlu ada langkah-langkah yang jelas untuk mengakomodir pasien yang telah sembuh.

13. Terkait dengan peran pemerintah daerah, sebaiknya pemerintah pusat yang bertanggungjawab dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan jiwa di daerah. Dan menyiapkan titik-titik pelayanan kesehatan jiwa di beberapa daerah agar ada kesetaraan pemenuhan standar minimal pelayananan kesehatan jiwa. 14. Dalam pembentukan rumah sakit jiwa ditingkat provinsi perlu dibedakan dengan

pembangunan rumah sakit jiwa di tingkat kabupaten.

V. Tanggapan Anggota Komite III terkait RUU HAKI dan PTEBT sebagai berikut:

1. RUU ini akan berkaitan dengan undang-undang yang lain terutama Undang-Undang tentang Kebudayaan, Undang-Undang-Undang-Undang tentang Bahasa dan Bendera, serta Undang-Undang tentang Cagar Budaya. Oleh karena itu perlu diperjelas mengenai ekspresi budaya sehingga jelas sasaran dari RUU ini. Agar tidak bertabrakan dengan undang-undang lainnya.

2. Apakah judulnya tidak terlalalu panjang, dan apakah masih dapat direvisi judul RUU agar mudah dipahami.

VI. Tanggapan Anggota Komite III DPD RI terkait dengan RUU tentang Praktek Kefarmasian adalah sebagai berikut:

1. Didalam RUU ini perlu dipertegas adanya sanksi yang tegas bagi para pelanggar undang-undang tersebut.

2. Perlu ada definisi yang jelas mengenai praktik kefarmasian, yang meliputi peredaran obat, tenaga kefarmasian, pendistibusian obat dan fasilitas kefarmasian.

VII. Dalam agenda lain-lain melaksanakan pembahasan sebagai berikut:

1. Pimpinan Sidang memberikan informasi bahwa akan diadakan rapat gabungan dengan PURT yang mengundang Menteri Keuangan mengenai pembiayaan BPJS pada tanggal 22 Januari 2013 pukul 15.00 WIB.

2. Untuk kunjungan kerja ke luar negeri yang pada awalnya diagendakan pada tanggal 10-16 Maret 2014 disepakati dirubah dilaksanakan setelah penyelenggaraan Pemilu Legislatif.

(6)

6 | K o m i t e – I I I Jakarta, 21 Januari 2014

Kepala Bagian

Sekretariat Komite III DPD RI,

SUDARMAN, SH., MH. NIP. 195904021982031002

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil yang didapatkan berupa peta bathymetri perairan dangkal gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta skala 1 : 8.000 dari perbandingan antara data citra satelit dengan

Pendidikan adalah upaya sadar dari orang tua atau lembaga pendidikan untuk mengenalkan peserta didik kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakannya, agar dia

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 18 Tahun 2017 tentang Formulasi Biaya Operasi Penerbangan Angkutan Udara

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Upaya yang bisa dilakukan guru di antaranya adalah guru harus bisa memberi motivasi kepada siswa agar bisa menerapkan faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan dalam

Terkait dengan sertifikasi tenaga ahli, didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya belum termaktub lembaga yang berwenang untuk memberikan