• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia pasti berharap memiliki kondisi fisik yang sempurna dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia pasti berharap memiliki kondisi fisik yang sempurna dan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia pasti berharap memiliki kondisi fisik yang sempurna dan mampu menjalani kehidupannya dengan baik, akan tetapi tidak semua orang mampu mendapatkan kesempurnaan yang diinginkan karena adanya keterbatasan fisik yang tidak dapat dihindari seperti hilangnya fungsi tubuh tertentu atau kelainan fisik lainnya yang diakibatkan oleh kecelakaan. Kecelakaan dapat menyebabkan seseorang mengalami perubahan fisik yang cepat dan signifikan, seperti retaknya tulang kaki atau tangan, bengkoknya tulang punggung, cedera syaraf tulang belakang yang merusak fungsi sensorik maupun motorik tubuh, hingga kehilangan anggota tubuh. Peristiwa kecelakaan ini dapat berupa kecelakaan saat berkendara, cedera saat bencana alam, maupun cedera saat melakukan aktivitas sehari-hari (Baltus dalam Tentama, 2010).

Kecelakaan di Indonesia sendiri mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut data yang bersumber dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, jumlah kecelakaan lalu lintas dari tahun 2007 sampai 2012 terus menerus mengalami peningkatan, yaitu dari 49.553 menjadi 117.949 kasus dan memakan korban mulai dari luka ringan, luka berat, hingga meninggal. Korban luka berat yang dimaksud termasuk korban yang mengalami perubahan fungsi atau kehilangan anggota tubuh secara permanen dan mencapai angka yang cukup besar hingga 39.704 kasus pada tahun 2012 (www.bps.go.id).

(2)

2

Erikson (dalam Damayanti & Rostiana, 2003) mengungkapkan istilah non normative untuk kejadian yang datangnya tidak dapat diduga dan tidak diharapkan, seperti kecelakaan yang mengakibatkan anggota tubuh kehilangan fungsinya. Korban kecelakaan yang mengalami perubahan fungsi anggota tubuh atau kehilangan anggota tubuhnya sering disebut dengan istilah penyandang tuna daksa. Tuna daksa adalah keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal (White House Conference dalam Somantri, 2007). Penyandang tuna daksa pada umumnya menggunakan alat bantu gerak untuk dapat melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti kruk atau kursi roda (Kementerian Kesehatan, 2010).

Menurut Feist & Feist (2006), kekurangan yang terdapat pada salah satu bagian tubuh individu dapat mempengaruhi individu tersebut secara keseluruhan. Penyandang tuna daksa yang mengalami perubahan fisik secara signifikan dan terjadi dalam waktu singkat akibat kecelakaan, secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak pada individu baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, keterbatasan fisik yang kini dimiliki penyandang tuna daksa menyebabkan munculnya berbagai masalah baik dalam hal mobilitas dan aktivitas, serta permasalahan psikologis seperti merasa cemas, cenderung menarik diri dari lingkungan pergaulan, bersikap apatis, dan menjadi tergantung dengan orang lain (Kusuma, 2005). Fenomena di lapangan, ditemui pula beberapa respon yang diberikan EC (25 tahun) dan HT (27 tahun) pasca kecelakaan yang dialaminya pada wawancara yang dilakukan peneliti yaitu :

(3)

3

“Rasane shock mbak.. Bar kecelakaan kok ngene.. Kecewaa gitu.. Kok ra enek perubahan-perubahan.. Sebulan di rumah itu baru ngerasa.. Ngrepotin orang banyak.. Rekosoo gitu..” (EC - 20/11/2015)

“Dulu kaya itu, kayak orang shock gitu lho. Kalo ketemu sama orang lain akunya langsung menghindar, ga mau ketemu. Jadi setiap orang kesini itu pasti aku langsung ke kamar, ga mau keluar. Ini enak udah punya kursi roda, dulu ga punya. Dulu kesot gitu kan masian. Dadi istilahe koyo wong nutup diri, malu dengan keadaan..” (HT - 25/11/2015)

Hasil penelitian Senra dkk (2011) juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa dampak psikologis yang mengikuti penyandang tuna daksa akibat perubahan fisiknya, yaitu : (1) depresi, yaitu dirasakannya berbagai kesulitan dalam menggunakan kemampuan dasar pada kehidupan sehari-hari dan hilangnya kepercayaan diri yang menyebabkan perasaan rendah diri pada individu tersebut hingga menimbulkan depresi; (2) trauma, yaitu mengalami periode kesedihan dan frustasi terutama dalam proses mencapai well-being terutama ketika merasakan identitasnya berubah menjadi penyandang tuna daksa dan merasa memiliki ketergantungan kepada orang lain; (3) marah, yaitu perasaan menyesal melakukan kegiatan tersebut, maupun tidak meyakini garis kehidupan yang sudah diberikan namun perasaan marah dapat hilang ketika penyandang tuna daksa tersebut telah dapat berpikir secara rasional akan keadaan yang dialami; (4) shock yaitu perasaan yang sangat sedih dan tidak menyangka akan keadaaannya yang telah berubah hingga merasa sangat banyak memerlukan bantuan dari pihak lain; (5) tidak dapat menerima keadaan, yaitu keadaan dimana individu belum bisa mengintegrasikan atau membiasakan diri dengan tubuh barunya yang dimiliki. Proses adaptasi dan penerimaan diri yang positif membutuhkan waktu

(4)

4

yang lama terutama ketika kejadian tersebut terjadi ketika waktu yang dihabiskan dalam hidup normal tanpa kecacatan yang dimiliki berlangsung cukup lama; dan (6) bunuh diri, yaitu berpikir untuk bunuh diri adalah dampak ekstrem dari dampak psikologis yang mengikuti pasca kecelakaan.

Secara eksternal, perubahan kondisi fisik yang terjadi pada penyandang tuna daksa tersebut merupakan sebuah kondisi yang sedemikian nyata dan terlihat secara langsung oleh orang lain. Tentama (2010) mengungkapkan bahwa kondisi tuna daksa bila dibandingkan dengan ketunaan lain lebih mudah diketahui karena ketunaannya tampak secara jelas dan penyandangnya sendiri menyadari hal itu. Begitu melihat penyandang tuna daksa, orang kemudian terfokus pada berbagai pertanyaan maupun penilaian mengenai diri mereka yang memiliki kondisi fisik berbeda. Ada pandangan iba, ada pula yang memandang negatif, mengacu pada kondisi ketidakberdayaan dan ketidakmampuan. Dalam berita online yang diterbitkan pada 11 Februari 2014, Ketua Foundation for Self Reliance of Disabled People (FORDIS) Maria Muslimatun juga mengungkapkan bahwa selama ini banyak kesulitan yang didapat kelompok penyandang tuna daksa untuk mengakses pendidikan maupun memperoleh kesempatan kerja hanya karena berbagai persyaratan secara fisik yang diajukan dan dianggap sebagai kaum yang tidak mampu bersaing dalam dunia kerja (www.krjogja.com). Hal ini menunjukkan bahwa dari segi eksternal, kondisi keterbatasan fisik yang dimiliki penyandang tuna daksa juga berpengaruh pada aksesibilitas (ruang) yang diberikan karena adanya pandangan negatif yang muncul dari masyarakat.

(5)

5

Kondisi-kondisi di atas tentu berpengaruh dan berkaitan erat dengan bagaimana penyandang tuna daksa membangun citra diri serta merepresentasikan diri di tengah keterbatasan yang dimiliki. Menurut Greenspan (dalam Kauffman dan Hallahan, 2006), penyandang tuna daksa sangat peduli dengan body image (pandangan terhadap penampilan diri dan bentuk tubuh). Sebagian besar penyandang tuna daksa justru seringkali memiliki persepsi diri yang rendah terutama kaitannya dengan bagaimana memandang dirinya dan penampilannya sendiri. Banyak yang merasa tidak puas dengan keadaan fisik yang dimiliki saat ini karena keterbatasan gerak tubuh dan harus menggunakan alat bantu mobilitas untuk melakukan aktivitas.

Keterbatasan fisik dihadapkan dengan representasi diri yang dimiliki penyandang tuna daksa pun semakin menjadi permasalahan yang sangat krusial saat memasuki usia dewasa awal karena pada masa ini seseorang akan dihadapkan pada pola-pola hidup baru yang menuntut tanggung jawab pribadi, kemandirian, serta berbagai tuntutan interaksional. Menurut Santrock (2012), masa dewasa awal adalah masa individu mengalami puncak performa fisik. Kondisi sebaliknya justru terjadi pada penyandang tuna daksa yang mengalami penurunan performa fisik karena perubahan kondisi fisik yang dialami akibat kecelakaan. Penurunan tersebut menghambat tugas perkembangan yang seharusnya dilakukan oleh individu dewasa awal, seperti menemukan jalan dan tujuan hidup, mengembangkan karir, kemandirian ekonomi, menemukan pasangan hidup, serta bertanggungjawab atas konsekuensi dari tindakannya sendiri, menjadi sesuatu hal yang tidak mudah sehingga hasil yang diperoleh kurang maksimal. Hurlock

(6)

6

(2006) juga mengungkapkan bahwa kebanyakan individu dewasa awal yang memiliki hambatan fisik, tidak dapat mencapai keberhasilan dan kepuasan maksimal dalam pekerjaan atau pergaulan sosial. Menjadi sebuah tantangan besar bagi penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan dalam merepresentasikan dirinya di tengah keterbatasan yang ia miliki, dihadapkan dengan berbagai persoalan tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa tersebut.

Kondisi penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan dengan berbagai konsekuensi yang harus ia terima atas perubahan kondisi fisiknya saat ini, memiliki kebutuhan yang tidak jauh berbeda, sama dengan manusia lain dalam mencapai kehidupan yang bermakna. Menurut Bastaman (1996), penghayatan untuk memaknai hidup ini merupakan gerbang ke arah kepuasan dan kebahagiaan hidup. Penting bagi penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan untuk memaknai keberadaan dirinya, memaksimalkan segala kemungkinan yang bisa dilakukan untuk mencapai kehidupan yang bermakna, serta menjalani kehidupannya dengan maksimal dengan mewujudkan eksistensi diri. Eksistensi diri merupakan sebuah cara berada manusia, situasinya dalam dunia, kebebasannya memilih tujuan hidup, serta berusaha memahami arti kehidupannya sendiri (Chaplin, 2000). Drijarkara (dalam Bastaman, 1996) mengungkapkan bahwa eksistensi manusia memiliki keistimewaan berupa kesadaran. Hal ini berarti bahwa seseorang yang memiliki eksistensi diri akan sadar mengenai apa, siapa, dan bagaimana dirinya, sehinggga individu memahami dan menyadari sepenuhnya ketika ia melakukan suatu perbuatan atau aktivitas.

(7)

7

Manusia adalah subjek yang menyadari bahwa ia menghadapi dunia, mengerti apa yang dihadapinya, mengerti akan arti hidupnya, serta dapat menerima potensi-potensi serta batasan diri secara hakiki (Loonstra, Brouwers, & Tomic, 2007). Eksistensi diri merupakan segala kemungkinan yang apabila direalisasikan dapat mengarahkan individu pada keberadaan autentik, yaitu manusia menjadi dirinya sendiri, mengambil tanggung jawab untuk menjadi dirinya sendiri dengan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan yang disediakan dalam kehidupan (Rodgers & Thompson, 2015).

Setiap manusia pada dasarnya pasti menginginkan keberadaannya diakui oleh orang lain sebagai wujud eksistensi diri, demikian pula penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan. Semakin individu bertambah dewasa, kebutuhan untuk diakui pun semakin besar. Penghargaan yang positif dari orang lain akan membuat seseorang merasakan bahwa dirinya berharga, berhasil, dan berguna bagi orang lain. Dalam mewujudkan eksistensi dirinya tersebut, penyandang tuna daksa dihadapkan pada beberapa tantangan yang tidak mudah, seperti bagaimana individu merepresentasikan dirinya secara pribadi maupun sosial dengan berbagai dampak pasca kecelakaan baik secara internal maupun eksternal, serta berbagai tugas perkembangan yang semakin menjadi persoalan bagi individu di usianya yang kini memasuki memasuki usia dewasa awal.

Pemahaman secara mendalam mengenai proses pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan semakin menarik diteliti untuk melihat bagaimana individu memaknai keberadaan dirinya di dunia. Terdapat beberapa hal menarik yang ditemui peneliti pada saat wawancara di

(8)

8

lapangan dengan penyandang tuna daksa HT (27 tahun), yaitu meskipun HT tidak memiliki riwayat sekolah sama sekali sejak kecil, namun tetap memiliki semangat belajar tinggi, dan bisa menulis, membaca, serta menggambar. Selain itu, HT memiliki kepercayaan diri yang tinggi meskipun memiliki keterbatasan dan menerima kekurangan diri tanpa membandingkan dirinya dengan orang lain. Sebagaimana diungkapkan HT sebagai berikut :

“Aku sama sekali ga pernah ngerasain sekolah formal ca.. Soale ga boleh sama orang tua.. Tapi alhamdulillah sitik-sitik iso moco, nulis.. Kalo gambar itu, memang hobi aku aja ca. Kalo sekarang udah lebih baik dari dulu, banyak banget yang aku pelajarin sama temen-temen Sehati ca, jadi aku udah ga malu dan takut. Istilahe wes nompo keadaan lah ca..” (HT - 25/11/2015)

Berbeda dengan penyandang tuna daksa EC (25 tahun) yang masih sulit menerima perubahan kondisinya saat ini yang bersifat permanen, berharap bisa sembuh seperti dulu, dan merasa belum mampu melakukan sesuatu untuk kehidupannya di masa depan. Sebagaimana diungkapkan EC sebagai berikut :

“Butuh waktu lama sih mbak buat agaknya menerima.. Pengennya ndang sehat, biar bisa ngapa-ngapain kaya dulu. Kalo masa depan, apa ya.. Belum ada sih. Kalo dulu pengennya waktu sehat, daftar tentara itu.. Karena ibu juga dukung banget lah.. Kalo bisa ya.. Tapi kalo sekarang belum kepikir mbak..” (EC - 20/11/2015)

Kondisi di atas menggambarkan bahwa penyandang tuna daksa memiliki pandangan berbeda-beda terhadap kehidupan atas kondisinya saat ini dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Hal itu bergantung pada bagaimana sikap penyandang tuna daksa dalam menghadapi tantangan hidup yang datang, sebagaimana diungkapkan oleh Stoltz (2000) bahwa semakin sering individu menganggap sesuatu yang datang sebagai bencana dan terus menerus mengeluhkan kekurangan fisiknya, maka hal itu cenderung akan menurunkan

(9)

9

semangat dirinya dan dapat menimbulkan sikap yang tidak sesuai. Sebuah pilihan bagi individu untuk memaksimalkan apa yang saat ini bisa dilakukan meski dengan keterbatasan yang dimiliki atau sebaliknya, individu hanya berfokus pada kekurangan diri tanpa ada keinginan untuk berpikir jauh tentang masa depan dan meraih tujuan hidup.

Uraian-uraian di atas menggambarkan bahwa penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan banyak dihadapkan pada berbagai kondisi baik secara internal maupun eksternal akibat perubahan fisiknya. Perubahan yang terjadi juga menuntut individu dewasa awal melakukan penyesuaian baik secara pribadi maupun sosial dengan berbagai persoalan pemenuhan tugas perkembangan yang harus diselesaikan pada masa tersebut, sehingga eksistensi diri memiliki peran penting bagi individu untuk memaknai keberadaan dirinya dengan cara mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki dan melakukan aktivitas bermakna bagi diri individu dalam kehidupannya.

Berdasarkan penjelasan mengenai fenomena penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan yang sudah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana proses pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan, khususnya dalam rangka menemukan makna atas keberadaan dirinya di dunia. Hal tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian kualitatif ini dengan judul Studi Fenomenologi : Eksistensi Diri pada Penyandang Tuna Daksa Dewasa Awal akibat Kecelakaan.

(10)

10

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan di tengah keterbatasan yang dimiliki, mewujudkan eksistensi diri dalam rangka menemukan makna atas keberadaan dirinya di dunia.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritik bagi pengembangan disiplin ilmu psikologi pada umumnya, serta psikologi eksistensial, psikologi sosial, dan psikologi perkembangan pada khususnya.

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai proses pencapaian eksistensi diri penyandang tuna daksa dewasa awal di tengah berbagai tekanan dan dinamika kehidupan.

b. Manfaat Praktis 1) Bagi Subjek

Memberikan gambaran mengenai proses pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan sehingga subjek diharapkan mampu lebih memahami dan mewujudkan eksistensi diri, serta menyadari sepenuhnya setiap perbuatan atau

(11)

11

aktivitas yang dilakukan dalam rangka menemukan makna atas keberadaan dirinya di dunia.

2) Bagi Keluarga dan Masyarakat

Memberikan pengalaman dan pembelajaran berharga kepada masyarakat mengenai proses pencapaian eksistensi diri pada penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan. Melalui informasi ini, masyarakat, khususnya keluarga diharapkan dapat bersama-sama memberikan dukungan positif dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyandang tuna daksa untuk mewujudkan eksistensi diri tanpa memandang secara berbeda karena keterbatasan yang dimiliki.

3) Bagi Pemerintah

Pemerintah diharapkan dapat lebih memahami fenomena penyandang tuna daksa dewasa awal akibat kecelakaan sehingga mampu berperan secara maksimal dalam penanganan kondisi individu dengan pihak-pihak terkait, maupun dalam pembuatan kebijakan layanan publik agar lebih memberikan ruang bagi penyandang tuna daksa dalam mewujudkan eksistensi diri di tengah kehidupan masyarakat.

4) Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai bahan awal untuk mempertimbangkan dilakukannya penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan relevan dengan topik yang ada dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan perawatan hygiene mulut pasien adalah pasien akan memiliki mukosa mulut utuh yang terhidrasi baik serta untuk mencegah penyebaran penyakit yang ditularkan melalui

Apabila dalam agenda amandemen UUPK tidak dimasukkan mengenai pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), maka kewajiban bagi para perancang

Sebaliknya, diperlukan energi yang setara dengan energi yang dilepaskan pada proses pembentukan atom untuk menguraikan atom tersebut hingga proton, neutron dan elektron penyusun

Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pusat, yang selanjutnya disebut Gugus Tugas Pusat adalah lembaga.. koordinatif yang bertugas

Meskipun Islam menegaskan adanya prinsip perbedaan di dalam masalah rezeki dan perbedaan dalam kekayaan dan kemiskinan, tetapi jika kita lihat maka Islam juga berupaya

i. Wajibnya mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah. Allah Ta’ala disifati dengan kehidupan yang sempurna yang tidak didahului ketiadaan dan tidak diakhiri

Kegiatan ini mencakup proses penentuan calon petani dan calon lokasi (CP/CL); koordinasi dengan pemerintah daerah dan provinsi; penentuan dan sebaran 60%

di pasar Sidorejo tersebut semakin tinggi atau baik sesuai dengan ajaran. dan aturan