• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA AKUT. Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA AKUT. Dr ISKANDAR JAPARDI Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA AKUT

Dr ISKANDAR JAPARDI

Fakultas Kedokteran Bagian Bedah

Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN

Di negara maju cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak pada generasi muda dan usia produktif. Di negara berkembang seperti Indonesia dengan meingkatnya pembangunan yang diikuti mobilitas masyarakat yang salahsatu segi diwarnai dengan lalu lintas kendaraan bermotor yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas makin sering terjadi dan korban cedera kepala makin banyak. Di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 55.495 penderita kecelakaan lalu lintas danterdapat korban meninggal sebanyak 11.933 orang yang berarti tiap hari ada 34 orang mati akibat kecelakaan lalu lintas.Dari korban yang meninggal ini ± 80% disebabkan cedera kepala.

II. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang terjadi, proses cedera otak dibagi:

1. Proses primer

Ini adalah kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh benturan/proses mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian langsung neuron pada daerah yang terkena

2. Proses sekunder

Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi.

Insult sekunder pada otak berakhir dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa proses:

a. Kerusakan otak berlanjut (progressive injury)

Terjadi kerusakan berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:

(2)

- Edema sintotoksik karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel glia

- Kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan pada pompa kalsium mengenai semua jenis sel

- Inhibisi dari sintesis protein intraseluler

o Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparisis, disfungsi

membran kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak menjadi rusak.

o Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak

yang kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari hematoma dan multipetekial. Ini menyebabkan kompresi dan bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada akhirnya menyebabkan peninggian tekanan intrakranial

Telah diketahui bahwa trauma otak primer menyebabkan depolarisasi neuronal yang luas yang disertai dengan meningkatnya kalsium intraseluler (Hays,5) dan meningkatnya kadar neurotransmitter eksitatorik. Peningkatan dan kebocoran neurotransmitter eksitatorik akan merangsang terjadinya delayed neuronal death. Selain itu kerusakan dalam hemostasis ionik mengakibatkan meningkatnya kadar kalsium (ca) intraseluler serta ion natrium. Influks ca ke dalam sel disertai rusaknya sitoskeleton karena enzim fosfolipase dan merangsang terlepasnya radikal bebas yang memperburuk dan merusak integritas membran sel yang masih hidup.

b. Insult otak sekunder berlanjut (delayed secondary barin injury) Penyebab dari proses inibisa intrakranial atau sistemik:

o Intrakranial

Karena peninggian tekanan intrakranial (TIK) yang meningkat secara berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi otak tidak cukup lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi, kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematom berlanjut misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan vasospasme/vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi

o Sistemik

Perubahan sistemik akansangat mempengaruhi TIK. Hipotensi dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan sistemik ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly Hs yaitu hipotensi , hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia, hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan hipoproteinemia.

Trauma yang mengenai kepala, dapat diredam oleh rambut dan kulit kepala. Selanjutnya bagian yang terberat dari benturan diteruskan ke tengkorak, yang cukup mempunyai elastisitas hingga dapat mendatar, bila kepala terbentur pada objek yang tumpul atau datar. Bila pendataran tengkorak melebihi toleransi elastisitas, tulang akan patah/retak. Hal ini dapat menyebabkan fraktur linear yang sederhana, meluas dari pusat pukulan sampai ke basis.

(3)

Tipe-tipe dari fraktur tidak hanya tergantung dari kecepatan pukulannya, tetapi yang lebih penting ditentukan oleh besar permukaan objek yang mengenai tengkorak. Objek yang runcing dapat menyebabkan perforasi pada tengkorak sedangkan objek yang lebih besar dgnkecepatan yang sama menyebabkn depresi fraktur.

Jarang fraktur terjadi pada lawan dari tempat benturan. Tengkorak bergerak lebih cepat dari otak bila terkena benturan. Meskipun otak mengalami contusio pada tempat bawah benturan, tetapi kerusakan lebih berat terjadi pada permukaan tengkorak yang kasar, pada tonjolan-tonjolan tulang, crista galli, pada sayap sphenoid mayor dan ospetrosus, seperti sering terlihat pada contusio pada fossa anterior (frontal basal) dan fossa media (temporal basal). Pada benturan didaerah frontal, otak bergerak dari anterior ke posterior, sedangkan benturan pada daerah ocipital menyebabkan otak bergerak sepanjang sumbu axis, sedangkan lateral impact menyebabkan otak bergerak dari satu sisi ke sisi lain.

Gambar-1: Tanda panah menunjukkan tempat dan arah pukulan. (dikutip dari Adams)

(4)

Menurut Gurjian, ciri khas biomekanik dari coup contra coup dan contusio adalah sebagai berikut:

1. Coup contusio disebabkan oleh efek langsung dari tulang yang membentur 2. Contra coup contusio disebabkan oleh gerakan otak terhadap permukaan

tulang yang tidak rata

3. Bila kepala relatif diam, benturan langsung menyebabkan coup lesi tanpa contra coup efek

4. Bila kepala bebas bergerak, benturan pada kepala menyebabkan lesi contra coup tanpa lesi coup.

III. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA AKUT

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.

Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya.

Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)

Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis: 1. Simple head injury (SHI)

Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.

2. Kesadaran terganggu sesaat

Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun

1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)

Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.

(5)

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)

Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:

a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi

b. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas

c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain

d. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakranial e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral 3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)

Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)

Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah:

o Jalan nafas (Air way)

Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan

o Pernafasan (Breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.

o Sirkulasi (Circulation)

Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah

b. Pemeriksaan fisik

Setalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

(6)

Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK)

Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. Hiperventilasi

Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk menyingkirkan hematom

2. Drainase

Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus

3. Terapi diuretik

o Diuretik osmotik (manitol 20%)

Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan.

Cara pemberiannya :

Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm

o Loop diuretik (Furosemid)

Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv

4. Terapi barbiturat (Fenobarbital)

Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.

Cara pemberiannya:

Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.

(7)

Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

6. Posisi Tidur

Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.

e. Keseimbangan cairan elektrolit

Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah.

f. Nutrisi

Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari

g. Epilepsi/kejang

Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early epilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy. Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orang dewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien dengan amnesia post traumatik yang panjang.

Pengobatan:

o Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari o Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila

cendrung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin.

Cara pemberian Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral

Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik panjang

h. Komplikasi sistematik

o Infeksi: profilaksis antibiotik diberikan bila ada resiko tinggi infeksi

(8)

o Demam: kenaikan suhu tubuh meningkatkan metabolisme otak dan

menambah kerusakan sekunder, sehingga memperburuk prognosa. Oleh karena itu setiap kenaikan suhu harus diatasi dengan menghilangkan penyebabnya, disamping tindakan menurunkan suhu dengan kompres

o Gastrointestinal: pada penderita sering ditemukan gastritis erosi dan

lesi gastroduodenal lain, 10-14% diantaranya akan berdarah. Keadan ini dapat dicegah dengan pemberian antasida atau bersamaan dengan H2 reseptor bloker.

o Kelainan hematologi: kelainan bisa berupa anemia, trombosiopenia,

hipo hiperagregasi trombosit, hiperkoagilasi, DIC. Kelainan tersebut walaupun ada yang bersifat sementara perlu cepat ditanggulangi agar tidak memperparah kondisi pasien.

i. Neuroproteksi

Adanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutama dan sitikolin

Target utama dan cara dari neuroproteksi

Mechanism Neuroprotective method

Energy failure Cell swelling Acidosis Free radics Lipid peroxidation Calcium damage Neurotransmitter Hypothermia Barbiturates Diuretics THAM Superoxide dismutase Steroids,amino steroids Indomethacin Calcium antagonist Antagonist to glutamate, etc.

(Dikutip dari Relly)

Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkan atau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis dan penanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara proses primer dansekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu tersebut dinamakan jendela terapi.

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Adams RD. Principles of neurology. 6th ed vol.2 New York: McGraw Hill, 1997:

874-901

Andradi S. Simposium cedera kranio serebral, 199

Cohadon F. The concept of secondary damage inbrain trauma, in ischemia in head injury. Proceedings of 10th Europe Congress of Neurosurgery,

1995:1-7

Graham DI. Neuropathology of brain injury in neurology and trauma. Philadelphia : WB Sounders, 1996: 53-90

Jenneth B. management of head ijnury. Philadelphia; FA Davis, 1981

Judson JA. Management of severe and multiple trauma, in TE Oh(ed). Sydney : Butterworth, 1990: 422-426

Kelly DF. General principles of head injury management. New York: McGraw Hill, 1996

Marshall SB. Neuroscience and critical care, pathophysiology and management. Philadelphia: WB Sounders, 1990: 169-213

Martin NA et al. Characterization of cerebral hemodynamic phase following sever head trauma: hypoperfusion, hyperemia and vasospasm. J. neurosurgey, 1997(87): 9-19

Reilly P. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman & Hall Medical, 1997

Robertson et al. Oxygen utilization and cardiovasculer function in head patients. Neurosurgery 1996 (15):307-314

Teasdale G. Pathological and clinical evidence of ischemic brain damage in brain trauma. London : Chapman & Hall Medical, 1995:21-29

Thomson WA. Severe head injury, in TEOH (ed) Sydney: Butterworth, 1990: 427-431

Referensi

Dokumen terkait

Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setetah trauma, karena alasan ini, evaluasi dan pengobatan

Kasus ini sering berhubungan dengan gangguan perubahan tingkah laku danaksi motorik potensial, sehingga sangat potensial menimbulkan angka kesakitan dan kematian, Insidensi ini

Pada penggunaan dosis tinggi secara tunggal ( ≥ 20-30 mg) atau pemakaian yang terus menerus dengan dosis kecil selama beberapa hari amfetamine dapat menginduksi keadaan

Penelitian APASS (!990) pada 128 pasen infark serebri yang mempunyai antibodi ini pada follow up 16 bulan kemudian ditemukan 9% mengalami infark serebri ulang, sedangkan Brey

Bila ikatan opiat ini dighentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP

Dengan pemeriksaan klinis kadang sulit menegakkan diagnosa tumor otak apalagi membedakan yang benigna dan yang maligna, karena gejala klinis yang ditemukan tergantung dari lokasi

Serabut pupil melewati bagian dorsomedial orbitalis superior dan salah satu pada ujung anterior dari sinus cavernosus atau aspek posterior dari orbit yang terbagi atas divisi

Lesi neuropati radialis sewaktu melilit humerus atau sewaktu berjalan seperfisial pada aspek lateral lengan atas, sering akibat kelamaan menggantung lengan diatas sandaran