• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN MELALUI PENDEKATAN SUSTAINABLE URBAN LIVELIHOOD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI TINGKAT KERENTANAN MASYARAKAT PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN MELALUI PENDEKATAN SUSTAINABLE URBAN LIVELIHOOD"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN MELALUI

PENDEKATAN SUSTAINABLE URBAN LIVELIHOOD (SUL)

(Studi Kasus : Kelurahan Tamansari, Bandung)

Jenis : Tugas Akhir Tahun : 2006

Penulis : Forina Lestari

Pembimbing : Dr.Ir. Haryo Winarso, M.Eng Diringkas oleh : Gede Budi Suprayoga

A. PENDAHULUAN

Salah satu masalah sosial di Kota Bandung adalah peningkatan kebutuhan lahan. Pada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, tidak terpenuhinya kebutuhan lahan secara memadai menyebabkan munculnya kantong-kantong permukiman kumuh di beberapa daerah. Pada periode 1995-1998, keberadaan kantong permukiman kumuh yang teridentifikasi berjumlah 121 kelurahan (dari total 139 kelurahan yang ada di Kota Bandung) (LPM-ITB dalam Maulana, 2001). Penyebab keberadaan permukiman kumuh ini, antara lain: urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sulitnya mencari pekerjaan, sulitnya mencicil atau menyewa rumah, dan kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan (Komarudin, 1997).

Berkaitan dengan keberadaan permukiman kumuh, pemerintah telah berupaya untuk melakukan penataan permukiman kumuh seperti KIP, P2KP, dan P2BPK. Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo (dalam Komarudin, 1997) berpendapat program-program yang dijalankan pemerintah masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali aspirasi dan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek peremajaan permukiman

kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial merupakan penyebab lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali, antara lain: aspek sosial, sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian), alam, dan fisik seperti kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik masyarakat di permukiman kumuh, sekaligus menilai tingkat kerentanan terhadap perubahan dan tekanan adalah metode Sustainable Urban

Livelihood (SUL). Pendekatan tersebut

menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan kondisi dimana adanya kerentanan dan lebih dari hanya sekedar kemiskinan akan materi (Winarso,dkk, 2002). Pendekatan ini mempercayai bahwa kemiskinan sebagai kondisi yang dinamis yang mana masyarakat miskin mudah mendapat tekanan berupa

shock akibat adanya perubahan sosial dan

ekonomi. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengenali karakteristik dan kondisi masyarakat miskin, yang meliputi ketersediaan dan aksesibilitas aset yang dimiliki serta strategi yang dilakukan dalam menghadapi shock dengan mengelola aset-aset tersebut. Melalui penelitian ini diharapkan intervensi kebijakan yang dilakukan dapat lebih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat miskin yang tinggal di permukiman kumuh.

(2)

B. TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan

tingkat kerentanan masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh bantaran Sungai Cikapundung (Kelurahan Tamansari) melalui pendekatan model Sustainable Urban Livelihood (SUL). Sasaran penelitian, yaitu:

• Mengidentifikasi karakteristik aset yang dimiliki masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh seperti aset alam, manusia, fisik, keuangan, dan sosial.

• Mengidentifikasi konteks perkembangan sosial ekonomi pada tingkat nasional dan lokal yang dapat mempengaruhi kerentanan masyarakat.

• Mengidentifikasi tindakan yang dilakukan dan strategi yang mungkin dapat dilakukan masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh terutama dalam menghadapi datangnya shock dengan mengelola aset-aset yang dimiliki.

• Mengkaji tingkat kerentanan masyarakat yang tinggal di Kelurahan Tamansari berdasarkan analisis terhadap aset yang dimiliki dan analisis antara tindakan yang dilakukan dan strategi yang mungkin dapat dilakukan masyarakat miskin dalam menghadapi shock yang ada dengan mengelola aset-aset yang dimiliki tersebut.

C. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Peneliti menggunakan beragam teknik penelitian dalam konteks riset lapangan (field research) guna memperoleh data dari sumber utama. Teknik-teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu: observasi langsung, wawancara semi-terstruktur, dan focus group discussion. Observasi langsung (direct observation) merupakan cara untuk melihat kondisi eksisting wilayah studi, baik menyangkut karakteristik fisik dan non-fisik di permukiman kumuh yang distudi. Kondisi fisik permukiman, meliputi: kondisi fisik rumah, lingkungan, dan lain-lain. Kondisi nonfisik permukiman berkaitan dengan

kegiatan antarmasyarakat di dalam wilayah studi. Wawancara semi-terstruktur ditujukan kepada warga di permukiman, yang meliputi berbagai kelompok: masyarakat umum, ketua RT dan RW, dan lain-lain. Dalam rancangan penelitian lapangannya, digunakan teknik pengambilan sampel secara purposif (purposive sampling) Pertanyaan yang diajukan dalam sesi wawancara semi-tersetruktur, yaitu:

• Karakteristik sosial (kependudukan), sumber daya manusia (mata pencaharian, tingkat pendidikan dan kesehatan), keuangan (penghasilan), fisik lingkungan (pertanahan, kondisi fisik sarana prasarana, kondisi bangunan seperti kepadatan, kuantitas dan kualitas rumah), dan hubungan sosial antar masyarakat di permukiman kumuh tersebut. Karakteristik ini dipandang sebagai aset yang tidak hanya dinilai ketersediaannya namun juga bagaimana usaha untuk mengelolanya agar dapat memberi timbal balik positif bagi masyarakat tersebut.

• Usaha/strategi masyarakat dalam mengatur mata pencaharian atau aset yang dimiliki sehingga dapat dilihat kerentanan masyarakat terhadap perubahan/tekanan

(shock) yang terjadi.

Teknik pengumpulan data yang ketiga, yaitu

Focus Group Discusion (FGD). Dalam

penelitian ini, teknik ini digunakan untuk menarik informasi secara mendalam dari sejumlah responden dalam satu waktu tertentu, sehingga informasi yang ada dapat saling melengkapi antarsesama responden tersebut. FGD ini dilakukan pada saat warga berkumpul pada waktu luang di sekitar tempat tinggal mereka.

D. PEMBAHASAN

Dalam kasus studi, dilihat dari segi aset

sumber daya manusia (human), ditandai

oleh rendahnya tingkat pendidikan Kepala Keluarga, yaitu antara berkisar SD dan SMP. Kondisi ini menyebabkan mereka sulit untuk memiliki pekerjaan tetap, sehingga umumnya bekerja pada sektor informal, seperti:

(3)

pedagang dan buruh bangunan. Usaha masyarakat dalam meningkatkan kualitas SDM adalah dengan menyekolahkan anak-anak setinggi mungkin sampai tingkat SMU. Namun demikian, mereka yang lulusan SMU sekalipun sangat sulit untuk memperoleh pekerjaan, ditambah lagi tiadanya keahlian. Dari beberapa faktor di atas, aset sumber daya manusia yang ada di wilayah studi ini tergolong sangat rentan, terutama apabila menghadapi shock seperti musibah keluarga (sakit), sehingga tidak dapat bekerja.

Yang kedua adalah aset keuangan (finance) yang meliputi pendapatan dan pengeluaran. Umumnya warga tidak memiliki pekerjaan tidak tetap, sehingga pendapatan mereka pun tidak menentu setiap bulannya. Sementara itu, pengeluaran cenderung meningkat, terutama disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan harga barang lain. Dengan demikian, warga merasa perlu menghemat dan mengatur pengeluaran. Di lain pihak bantuan pemerintah seperti BLT, Raskin, kartu kesehatan, dan bantuan dana pendidikan BOS diakui cukup membantu, meskipun hanya dapat dirasakan sebagian kecil masyarakat miskin yang memenuhi kriteria penerima bantuan-bantuan tersebut. Tetapi hingga kini bantuan yang sifatnya memberdayakan seperti JPS dan P2KP diakui kurang berhasil karena mekanisme pelaksanaan yang lemah mulai dari pelaksanaan hingga pengontrolan program di lapangan.

Yang ketiga, bila ditinjau dari aset fisik, yang paling signifikan di wilayah studi adalah status kepemilikan rumah. Mayoritas lahan di Kelurahan Tamansari yang terletak di bantaran Sungai Cikapundung berada pada lahan milik pemerintah. Aset fisik ini dapat digolongkan ke dalam aset yang berpotensi menimbulkan kerentanan karena yang dikhawatirkan adalah ketika adanya shock seperti isu penggusuran di kawasan studi. Namun dapat dikatakan aset fisik terbilang kurang berkontribusi terhadap kerentanan masyarakat, disamping aset alam dan sosial.

Aset alam di perkotaan, pada umumnya

kurang menonjol, begitupula di Kelurahan Tamansari. Keberadaan sungai di sisi

permukiman tidak lagi memberikan pengaruh terhadap masyarakat setempat. Aset sosial, seperti hubungan sosial masyarakat di Kelurahan Tamansari, cukup baik karena banyaknya lembaga masyarakat dan kegiatan masyarakat seperti pengajian rutin, arisan, kerja bakti, olahraga rutin, karang taruna, dan lain sebagainya. Semangat gotong royong, kebersamaan, dan kekeluargaan masyarakat masih sangat kental.

Terkait dengan strategi menghadapi tekanan (shock), yaitu dengan memanfaatkan /mengelola aset yang dimiliki. Beberapa strategi yang dilakukan masyarakat di Kelurahan Tamansari dalam menghadapi

shock, antara lain: pertama untuk aset alam,

dikeluarkannya Perda No 3 Tahun 2005 tentang (K3) Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan Kota Bandung yang melarang masyarakat untuk memelihara keramba ikan dan membuang sampah ke sungai. Saat ini masyarakat mulai mengkoordinir pembuangan sampah dan tidak lagi memelihara keramba ikan di sungai. Kedua, terkait dengan keuangan yaitu kenaikan harga BBM yang menyebabkan kenaikan harga barang lain. Berdasarkan hasil wawancara pada focus group discusion, beberapa tindakan yang dilakukan oleh masyarakat di Kelurahan Tamansari dalam menghadapi kenaikan harga barang yang menyebabkan peningkatan pengeluaran kebutuhan hidup sehari-hari adalah dengan mengatur pengeluaran seperti :

• Merubah pola makan, yang biasanya tiga kali menjadi dua kali sehari.

• Merubah porsi makan, yang biasanya sepiring menjadi setengah piring.

• Merubah pola belanja, yang biasanya setiap hari menjadi dua hari sekali. • Merubah jenis makanan, yang biasanya

bisa mengkonsumsi ayam dan ikan sekarang hanya tahu dan tempe.

• Mengurangi belanja yang kurang penting seperti pakaian atau perabot rumah tangga, biaya rekreasi, dan lain lain.

(4)

Untuk aset SDM, strategi yang dilakukan adalah dengan menambah pekerjaan baik waktu bekerja yang lebih lama maupun menambah jenis pekerjaan lain. Pekerjaan sampingan yang dapat dilakukan antara lain dengan menyewakan kamar, membuka warung, dan ada pula ibu-ibu yang menerima cucian baju mahasiswa. Sampai saat ini di wilayah studi, diakui masyarakat hampir tidak ada anak yang putus sekolah akibat kesulitan dana karena para orang tua memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Sejauh ini untuk menghadapi kenaikan BBM, mereka masih dapat mengurangi biaya belanja sehari-hari. Namun tidak ada anak-anak yang putus sekolah untuk bekerja maupun sekolah sambil bekerja.

Penulis menemukan bahwa perempuan, terutama ibu rumah tangga, adalah pihak yang paling aktif berutang dengan memanfaatkan jaringan sosial di sekitar tempat tinggal mereka. Perempuan, sebagai pengelola keuangan keluarga, adalah yang paling merasakan dampak langsung menipisnya anggaran rumah tangga akibat kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok. Meskipun nilai sosial budaya menempatkan suami sebagai pencari nafkah utama, namun pada kenyataannya di lapangan, istri adalah pihak yang seringkali berada dalam posisi terjepit karena mereka berhadapan langsung dengan anak dan anggota keluarga lain yang tetap harus dipenuhi kebutuhannya, terlepas dari apa pun kondisi keuangan keluarga. Kecenderungan untuk berhutang masih sangat jarang ditemukan kecuali pada keadaan yang sangat mendesak dan mendadak seperti biaya untuk berobat ke rumah sakit, karena mereka pun menyadari bahwa kehidupan tetangga maupun saudara sama sulitnya dan juga pertimbangan bahwa jika berhutang akan sulit untuk membayarnya kembali.

Hasil studi menunjukkan kecenderungan, apabila keadaan semakin sulit, maka peran wanita justru semakin meningkat. Umumnya, mereka akan ikut bekerja untuk menambah pendapatan, seperti membuka warung atau warung nasi, menjadi buruh cuci baju mahasiswa, atau ikut bekerja pada sektor informal lainnya. Mereka memilih pekerjaan

tersebut karena kemampuan yang terbatas dan persaingan yang cukup tinggi pada sektor-sektor formal. Jika ditinjau dari pembagian peran dalam rumah tangga antara pria dan wanita, saat ini peran wanita dan pria dalam keluarga telah mengalami pergeseran. Contohnya dalam pengambilan keputusan di musyawarah RT/RW keterlibatan ibu-ibu merupakan hal yang semakin biasa. Ini antara lain disebabkan oleh jam kerja para bapak yang semakin panjang untuk mencari nafkah. Disamping itu, kualitas SDM ibu-ibu rumah tangga yang semakin baik membuka peluang yang lebih besar bagi mereka untuk terlibat pada pengambilan keputusan di masyarakat. Apabila dipertimbangkan tingkat kerentanan masyarakat, aset yang menimbulkan situasi rentan, yaitu:

1. Aset SDM; Dalam hal ini tingkat pendidikan, meskipun saat ini banyak lulusan SMU, namun sangat sulit untuk memperoleh pekerjaan sehingga banyak pengangguran. Selain itu, masyarakat tidak memiliki keahlian lain, ditambah lagi dengan pekerjaan yang umumnya tidak tetap. Strategi yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan ini, salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas SDM. 2. Aset keuangan; Kerentanan terhadap

aset ini cukup tinggi karena terkait dengan pekerjaan warga yang tidak menetap. Kondisi ini diperparah dengan keahlian yang tergolong rendah. Sebagai contoh, ketika terjadi kenaikan BBM yang mengakibatkan naiknya harga barang pokok seperti beras dan minyak tanah, kehidupan warga menjadi semakin sulit. Kebijakan pemerintah, seperti adanya bantuan BLT dan Raskin, cukup mengurangi kerentanan sebagian kecil masyarakat miskin di wilayah studi. 3. Aset fisik; Yang ditinjau dari status

kepemilikan rumah. Di wilayah studi, sebagian besar lahan adalah milik pemerintah; namun warga telah tinggal lebih dari 30 tahun. Mereka mengaku statusn kepemilikan lahan telah menjadi hak milik, meskipun

(5)

tidak bersertifikat. Hal yang dikhawatirkan adalah apabila terjadi penggusuran, mereka tidak tahu harus tinggal di suatu lokasi karena tergantung dari jumlah ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah.

E. KESIMPULAN

Melalui pendekatan SUL tersebut dalam mengkaji tingkat kerentanan masyarakat di permukiman kumuh, dapat disimpulkan bahwa:

1. Tingkat kerentanan masyarakat yang tergolong sangat tinggi disebabkan oleh kondisi aset keuangan (ketidakpastian penghasilan) dan SDM (ketidakpastian mata pencaharian). Dengan demikian, masyarakat sangat mudah terkena

shock, seperti: kenaikan harga akibat

kenaikan BBM dan musibah keluarga. Kerentanan dalam dua aset ini memiliki hubungan yang cukup erat. Kerentanan pada aset keuangan yaitu ketidakpastian penghasilan disebabkan oleh faktor SDM, seperti pekerjaan yang mayoritas pada sektor informal (seperti: pedagang dan buruh bangunan yang relatif tidak tetap) dan banyaknya pengangguran. Strategi yang dilakukan untuk menghadapi hal ini yaitu strategi modifikasi konsumsi seperti merubah pola makan dan pola belanja dan strategi menambah

pekerjaan seperti membuka warung,

buruh cuci, dan lain sebagainya. 2. Aset yang berpotensi menimbulkan

kerentanan pada masyarakat adalah aset fisik, status kepemilikan lahan yang akan hilang apabila terjadi penggusuran seperti isu penataan Cikapundung. Kondisi yang terbilang aman atau tidak berpotensi

menimbulkan kerentanan adalah aset sosial yang cukup baik ditandai dengan peran aktif lembaga masyarakat dan banyaknya kegiatan-kegiatan masyarakat yang rutin dilaksanakan sehingga memperkuat hubungan sosial masyarakat setempat. Selain itu, aset alam yang umumnya memang tidak signifikan di perkotaan dan begitu pula di wilayah studi selain keberadaan sungai yang saat ini tidak berpengaruh atau tidak menimbulkan kerentanan pada masyarakat.

Dari dua kesimpulan di atas, perlu diperhatikan upaya perbaikan lingkungan permukiman kumuh yang didasari atas pemahaman atas karakteristik warga permukiman tersebut, dipandang dari berbagai aset yang dimiliki. Pemahaman ini menjadi langkah awal dalam menerapkan intervensi atau tingkatan intervensi terkait dengan program perbaikan lingkungan fisik dan sosial permukiman. Penelitian ini memberikan justifikasi agar intervensi yang akan diterapkan melalui pertimbangan atas perubahan-perubahan yang berpengaruh terhadap tekanan (shock) aset warga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Komarudin.1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Yayasan REI: PT.

Rakasindo

2. Prayoga, Maulana. 2001. Tugas Akhir:

Studi Preferensi Pemilihan Jenis Rumah Pada Lokasi Prioritas Peremajaan Permukiman Kumuh Di Perkotaan. ITB

3. Winarso, Haryo., Teti Armiati., Mangisi Irene., Prima Surya. 2002. Energy,

Poverty, and Sustainable Livelihood: The case Study Of Jakarta. Final Report.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil studi menunjukkan perokok mempunyai resiko 22 kali lebih tinggi untuk didiagnosis dengan kanker paru dibandingkan dengan orang yang tidak merokok.. Terdapat

Bank Indonesia (BI) telah menerbitkan ketentuan penerapan pembentukan tambahan modal untuk mengantisipasi kerugian dari pertumbuhan kredit atau pembiayaan yang berlebihan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan vitamin C dan kepadatan ikan dalam pakan buatan tidak memiliki interaksi yang berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap laju

Pada penelitian ini, dikaji pengaruh suhu kalsinasi terhadap katalis zirkonia tersulfatasi yang disintesis menggunakan jenis prekursor lain yakni prekursor zirkonium

Sesuai latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh variabel fundamental (book

Pada penelitian memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui kelayakan Modul Ajar Kompetensi Menata Sanggul Dendeng Modifikasi di SMK Jurusan Tata Kecantikan Rambut yang meliputi

[r]

Sistem budidaya yang diterapkan pada budidaya polikultur udang windu dan ikan koi milik pembudidaya yaitu semi intensif yang ditandai dengan dilakukannya persiapan