• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER SKRIPSI"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

LISA KOMALA DEWI NIM : 11170480000085

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

LISA KOMALA DEWI NIM : 11170480000085

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WI WEDDING ORGANIZER

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh :

LISA KOMALA DEWI NIM : 11170480000085

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum. Dra. Ipah Farihah, M.H. NIP. 19711120 20006042 005 NIP. 19590819 1994032 001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER ” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada Tanggal 30 April 2021, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 10 Mei 2021 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP.19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. NIP. 19670203 201411 1 001

2. Sekertaris : Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum.

NIP. 19711120 2000604 2 005 (………..)

4. Pembimbing II : Dra. Ipah Farihah, M.H. NIP. 19590819 199403 2 001

5. Penguji I : Nisrina Mutiara Dewi, S.E Sy., M.H. NUPN. 9920112862

6. Penguji II : Diana Mutia Habibaty, S.E Sy., M.H.

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Lisa Komala Dewi

NIM : 11170480000085

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jalan Soka. Perumahan ciputat baru.

Nomor Kontak : 083142805860

Email : lisa.komala.17@mhs.uinjkt.ac.id

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islan Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 20 April 2021

(6)

v ABSTRAK

Lisa Komala Dewi. NIM 11170480000085. PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WI WEDDING

ORGANIZER Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/ 2021 M, Isi : vi +60 halaman + 3 halaman daftar pustaka

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai sengketa yang terjadi antara WI Wedding Organizer dengan pihak DY dan NH yang terjadi akibat munculnya keadaan memaksa akibat kondisi pandemi covid-19, sehingga pihak WI Wedding

Organizer tidak dapat melaksanakan prestasinya akibat terhambat oleh program

PSBB yang dikeluarkanoleh pemerintah guna mencegah penyebaran pandemi covid-19. .Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat normatif, dengan bahan hukum primer Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan kasus (case approach).

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perjanjian WI Wedding Organizer dengan DY dan NH sudah memenuhi unsur keadaan memaksa. sebab melihat pada ketentuan keadaan memaksa didalam perjanjian yang dibuat diantara WI Wedding

Organizer dengan DY dan NH dapat dikualifikasikan sebagai keadaan memaksa

akibat pandemi covid-19, karena ketika pandemi covid-19 melanda Indonesia dan pemerintah Indonesia menetapkan pandemi covid-19 sebagai bencana nasional non-alam. Secara langsung membuat WI Wedding Organizer tidak lagi dianggap melakukan wanprestasi melainkan hanya dikategorikan sedang berada didalam kondisi keadaan memaksa.

Kata kunci : keadaan memaksa pandemi covid-19, perlindungan konsumen, pelaku ___________.usaha.

Pembimbing Skripsi :1. Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum. 2.Dra. Ipah Farihah, M.H. Daftar Pustaka : Tahun 1981 sampai Tahun 2019

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillâhi rabbil

‘âlamîn, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER”

Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah S.W.T. dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini _berlangsung.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

(8)

vii

3. Dr. Ria Safitri, SH,M. Hum dan Dra. Ipah Farihah, M.H. Pembimbing Skripsi. Fathudin, S. HI, SH, MA. Hum, M.H. Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Budi Sulistiono dan Ibu Sri Wiji Ningsih yang selalu memberikan dukungan baik materil, maupun imateril, berupa motivasi, do’a, dan kepercayaan untuk dapat duduk dibangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.

5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.

6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 8 Mei 2021

Lisa Komala Dewi NIM. 11170480000085

(9)

viii DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………..i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ...v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...7

D. Metode penelitian ...8

BAB II TINJAUAN UMUM FORCE MAJEURE DALAM SENGKETA ________.AKIBAT PANDEMI COVID-19 A. Kerangka konseptual ... 13

B. Kerangka Teori ... 29

B. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 41

BAB_III..AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN OLEH PANDEMI _______...COVID-19 DALAM PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER _______...DENGAN KONSUMEN A. Pengaturan Hukum Mengenai Pandemi Covid-19 Di Indonesia ... 44

B. Profil WI wedding organizer ... 46

C. Perjanjian dan kesepakan tambahan (Adendum) pada perjanjian WI ____Wedding Organizer dengan DY dan NH akibat pandemi covid-19 .... ... 48 BAB_VI...PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA _________PADA PERJANJIAN WI WEDDING ORGANIZER DENGAN ________.KONSUMEN

(10)

ix

A. Unsur- unsur keadaan memaksa dalam perjanjian WI Wedding …..Organizer dengan DY dan NH ... 50

B. Analisis Penyelesaian Sengketa pada perjanjian WI wedding ……organizer dengan DY dan NH... 53

BAB V ….PENUTUP

A. Kesimpulan ... 61 B. Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA ... 63

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pada tahun 2020, Covid 19 pertama kali terditeksi dikota Wuhan, China. Dengan penyebaran yang cepat Virus Covid-19 juga telah menyebar ke 181 dari sekitar 200 negara di seluruh dunia. Setelah Penyebaran Covid-19 di Indonesia, Pemerintah memutuskan untuk membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional sebagai dasar hukum force majeure. Hal ini dapat kita perhatikan poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Di mana, poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona

Virus Disease 2019 (Covid-19).

Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan baru dengan memberlakukan pelaksanaan PSBB yang artinya Pembatasan Sosial Berskala Besar. Namun, dengan adanya PSBB menjadi penghambat diberbagai sektor. Salah satunya pada sektor bisnis yang bergerak pada bidang jasa, mengingat bahwa salah satu ketentuan didalam PSBB adalah tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri. Hal ini membuat Perjanjian bisnis yang dibuat sebelum terjadinya pandemi covid terpaksa tidak bisa dilakukan tepat waktu sesuai kesepakatan atau bahkan mengalami pembatalan1.

1 Dian Herdiana, Implementasi Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB) Sebagai Upaya Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covis-19), Decision : Jurnal

(12)

Sektor bisnis yang bergerak pada bidang jasa yang mengalami dampak dari pandemi covid-19 ini salah satunya dalah bisnis Wedding Organizer, WO ini merupakan bisinis jasa yang melakukan persiapan mulai paket rias, paket catering, paket gedung dan hiburan, paket foto, sampai sovenir, semua sduah ditangani oleh pihak jasa WO2. Dengan adanya kebijakan PSBB membuat banyaknya resepsi pernikahan yang sudah direncanakan menjadi tertunda bahkan harus dibatalkan. Banyak konsumen yang sudah melakukan perjanjian dengan vendor untuk melaksanakan resepsi, serta sudah melakukan pembayaran uang muka atau down payment (DP). Konsumen ini merupakan individu atau sekelompok orang yang mengkonsumsi suatu barang atau jasa yang disediakan oleh produsen.

Resepsi pernikahan yang tertunda dan terpaksa dibatalkan tidak dapat dihindari oleh pihak Wedding Organizer. Sebagai Pelaku Usaha Wedding

Organizer tidak dapat melaksanakan perjanjian tersebut dengan waktu yang

sudah disepakati dikarenakan adanya pandemi Covid 19 dan kebijakan pemerintah yaitu PSBB. Hal ini membuat Wedding Organizer dianggap melakukan wanprestasi oleh konsumen mereka. Yang membuat pihak konsumen mengalami kerugian karena tidak terpenuhinya sebuah prestasi dengan tepat waktu, sedangkan pihak Wedding Organizer mendapatkan halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan. Tetapi tidak terpenuhinya prestasi saat pandemi covid-19 tidak dapat digeneralisir sebagai wanprestasi, harus adanya pertimbangan hukum yakni keadaan memaksa atau force majeure dalam mengidentifikasi apakah peristiwa ini merupakan keadaan memaksa atau bukan.

Keadaan memaksa atau force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatya perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi

2 Prisa Marga Kusumantara, “Analisis Perbandingan Metode Saw Dan Wp Pada Sistem Pendukung Keputusan Pemilihan Wedding Organizer Di Surabaya”, Teknika :

(13)

3

prestasinya. Dalam hal ini debitur tidak dapat diperalahkan dan tidak harus menanggung resiko dan tidak dapat menduga terjadinya suatu tersebut pada waktu akad perjajian dibuat. Force majeur akibat kejadian tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang diluar kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dijadikan alasa untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi3.

Pada saat ini Covid-19 sering kali dijadikan sebagai alasan Force

Majeure yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pihak WI Wedding Organizer

merupakan salah satu pelaku usaha dibidang jasa karena memberikan pelayanan event organizer bagi konsumen di wilayah Kota Bandung. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentangPerlindungan Konsumen yang mengatur bahwa pelaku usaha adalah individua tau kelompok yang mendirikan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum di Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama dalam perjanjian yang penyelenggaraan usaha dibidang ekonomi.

Melalui Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pemerintah Indonesia mengatur hak-hak konsumen yang harus dilindungi. Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukanlah anti terhadap produsen, Namun sebaliknya malah merupakan apresiasi terhadap hak-hak konsumen secara universal4.Perlindungan konsumen merupakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Dalam hal ini maka dalam segala pemakaian produk atau jasa oleh konsumen, konsumen berhak mendapatkan suatu kepastian hukum

Perlindungan konsumen merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah kegiatan bisnis. Kegiatan bisnis dapat dinilai sehat jika memuat keseimbangan antara perlindungan hukum produsen dengan perlindungan

3 Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum, (Jakarta: Prenamedia Group, 2018), h. 115.

4 Yusuf Sofie, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia,2002) , h. 12 .

(14)

hukum konsumen. Jika keseimbangan itu tidak ada dapat menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah, dan membuat kerugian yang dialami oleh konsumen dapat muncul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen. Karena perjanjian yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya berjalan dengan sesuai, terkadang para pihak penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan kesepakatanya.

Isu hukum yang terjadi didalam penelitian ini adalah terkait sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen akibat keadaan memaksa yang lahir karena adanya pandemi covid-19. Sebab Ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19). Memunculkan implikasi-implikasi

pada kesepakatan dan perjanjian yang telah dibentuk sebelum adanya pandemi covid-19, sehingga keadaan pandemi covid 19 sering kali dijadikan sebagai tameng oleh para konsumen untuk meminta ganti rugi kepada pelaku usaha dan berlindung pada kondisi pandemi dengan mengatakan pelaku usaha telah melakukan wanprestasi tanpa mempertimbangkan apakah pandemi ini dapat dikatan sebagai keadaan memaksa atau tidak.

Seperti pada kasus WI Wedding Organizer dengan konsumennya, DY dan NH sepakat untuk menggunakan jasa WI Wedding Organizer sebagai event

organizer dalam pelaksanaan pernikahan mereka, kesepakatan ini melahirkan

hubungan hukum diantara kedua pihak dengan membuat perjanjian kerja sebagai bentuk pengikatan. Di dalam perjanjian tersebut AA bertindak sebagai perwakilan dari WI Wedding Organizer , disebut sebagai Pihak Pertama, sedangkan DY bersama calon istrinya NH disebut sebagai pihak kedua. Para pihak bersepakat antara tugas dan kewajiban masing-masing. Pada bulan

(15)

5

Maret saat pandemi covid-19 mulai menyebar di Indonesia, Dalam menanggulangi hal ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB untuk memutus mata rantai covid-19. Keputusan ini membuat pihak kedua meminta untuk melalukan rescheduling pada tanggal pernikahan mereka yang dilaksanakan pada bulan September, yang dimana sebelumnya dijadwalkan akan menikah pada bulan Juli. Keputusan untuk melakukan perubahan jadwal menimbulkan implikasi-implikasi pada beberapa kesepakatan yang telah dibentuk di dalam perjanjian awal. Kondisi ini memaksa WI Wedding

Organizer membuat keputusan untuk merubah beberapa vendor yang

berhalangan hadir pada bulan September tanpa sepengetahuan atau berkomunikasi dulu kepada pihak DY dan NH, sehingga tindakan dari WI

Wedding Organizer yang terkesan bertindak sendiri membuat pihak DY dan

NH merasa di rugikan dan meminta ganti rugi tanpa mempertimbangkan bahwa keputusan yang ditempuh oleh WI Wedding Organizer merupakan akibat keadaan memaksa.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti menganalisis bahwa isu hukum ini dapat dianalisis sehingga peneliti tertaik untuk membahas permasalahan ini agar hubungan diantara para pelaku usaha dan konsumen tetap terjaga dan terlindungi oleh hukum, atas dasar hal ini lah peneliti merasa tertarik untuk menjadikannya kedalam sebuah penelitian dengan judul sebagai berikut. “PENYELESAIAN SENGKETA AKIBAT KEADAAN MEMAKSA PADA PERJANJIAN WEDDING ORGANIZER”.

B. Identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah 1. Identifikasi masalah

Berdasarkan latar yang telah diuraikan di atas maka, terdapat beberapa masalah yang dapat di identifikasi, antara lain :

(16)

a. Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha akibat keadaan memaksa pandemi covid 19.

b. Implementasi Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada keadaan memaksa akibat pandemi covid-19 yang berkaitan dengan perjanjian.

c. Dampak hukum bagi para pihak apabila terjadi keadaan memaksa karena pandemi covid 19.

d. Penyelesaian sengketa terjadi karena pandemi covid 19.

2. Pembatasan masalah

Berdasarkan identifikasi di atas maka, pembahasan mengenai keadaan memaksa yang disebabkan oleh Covid 19 sangat lah luas jangkauannya, guna untuk menghindari kesalah pahaman juga agar mempermudah penelitian yang akan dilakukan dan mempertajam permasalahan yang akan dibahas, maka peneliti membatasi permasalahan tersebut pada penyelesaian sengketa akibat keadaan memaksa pada perjanjian WI

wedding organizer.

3. Perumusan masalah

Berdasarkan pada pembahasan masalah di atas dan dalam mempermudah peneliti dalam menganalisa permasalahan, peneliti merumuskan masalah mengenai perlindungan konsumen terhadap

Wedding Organizer terkena keadaan memaksa dalam kondisi pandemi

covid-19 . Dengan masalah yang disajikan sebagai berikut :

a. Apakah perjanjian WI Wedding Organizer dengan DY dan NH sudah memenuhi unsur keadaan memaksa?

(17)

7

b. Bagaimana penyelesaian sengketa pada perjanjian WI Wedding

Organizer dengan DY dan NH akibat keadaan covid-19?

C. Tujuandan manfaat penelitian 1. Tujuan penelitian

Penelitian ini selain bertujuan guna memenuhi tugas akademik untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Strata 1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan didorong juga dengan beberapa tujuan yang berkaitan dengan isi pembahasan didalamnya seperti:

a. Untuk menganalisis unsur keadaan memaksa pada perjanjian WI

Wedding Organizer dengan DY dan NH.

b. Untuk memahami penyelesaian sengketa pada WI Wedding

Organizer dengan DY dan NH.

2. Manfaat penelitian

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang hukum terutama di dalam penerapan persaingan usaha secara sehat. Adapun manfaat penelitian ini diharapkan sebagai berikut .

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau informasi awal bagi penelitian selanjutnya. Lalu penelitian ini juga memiliki manfaat sebagai media untuk menambah pengetahuan dan pemahaman bagi peneliti dan pembaca.

Penelitian ini juga dapat menjadi bahan literatur bacaan yang bermanfaat dalam hal memberikan informasi kontribusi pemikiran dan

(18)

menambah pengetahuan serta pemahaman pembaca, masyarakat dan tokoh masyarakat.

b. Manfaat Praktisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atas permasalahan yang terkait, dan ikut membantu dalam mengambil kebijakan ataupun keputusan.

D. Metode penelitian

Metode penelitian memiki kegunaan agar suatu kebenaran ilmiah dapat terjaga, hal ini membuat suatu penulisan harus menggunakan metode penulisan yang tepat sebab hal tersebut sangat diperlukan dan merupakan sebuah pedoman dalam pembuatan suatu penelitian. Pada penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan metode penelitian dengan cara-cara yang di sebutkan di bawah ini:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan untuk penelitian ini adalah pendekatan metode penelitian hukum normatif. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data-data yang diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.5

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam skripsi ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statutory approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundangan-undangan adalah

5Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), h.24.

(19)

9

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang ditangani. Pendekatan kasus adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap 6.

3. Teknik pengumpulan bahan hukum

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan studi pustaka (Library

research). Metode kepustakaan digunakan untuk mengeksploarasi

teori-teori tentang konsep dan pemahan khususnya dalam hal yang berkaitan dengan tema penelitian. Adapun bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari : a. Bahan hukum primer

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3) Dokumen Perjanjian antara Wedding Organizer dengan DY dan NH.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih fokus terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah, jurnal, internet, yang berkaitan dengan apa yang akan diteliti.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus hukum, Ensiklopedi hukum dan lainnya.

6 Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011) h.24.

(20)

4. Pengolahan data

Dalam mengolah data, peneliti menggunakan studi kepustakaan (Library Research) dengan melalui penelusuran literatur yang bertujuan untuk memperoleh bahan-bahan hukum. Serta mencari landasan teoritis dari permasalahan penelitian dengan cara membaca buku dan mempelajari literatur yang berhubungan dengan penelitian hukum ini, juga penulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan sebagainya yang selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis.

Pada penelitian hukum untuk keperluan akademik, bahan hukum primer, sekunder ataupun bahan hukum tersier yang ada akan dikumpulkan berdasarkan topik pemasalahan yang telah ditentukan menurut sumber dan hierarkinya untuk dianalisis secara komprehensif.

5. Analisis bahan hukum

Data-data yang telah terkumpul dari hasil penelitian, kemudian akan dianalisis. Penelitian ini menggunakan deskriptif analisis deskriptif analisis, adapun pengertian dari metode deskriptif menurut Sugiono adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum. Dengan kata lain penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.

(21)

11

6. Teknik penulisan

Teknik penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

F. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penulisan dalam penelitian ini maka peneliti akan menguraikan metode penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab sebagai berikut :

Bab Pertama peneliti membahas pendahuluan meliputi latar belakang

peneliti, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua diuraikan tiga pokok pembahasan yang mendukung penulisan

skripsi, yaitu pembahasan terkait kajian teoritis, yakni teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan yang tertuang dalam tulisan ini, kerangka konseptual, yakni kata yang sering digunakan dalam tulisan ini, dan selanjutnya akan dijelaskan terkait tinjauan (riview) / kajian studi terdahulu, agar tidak ada persamaan terhadap materi muatan dan pembahasan dalamskripsi ini dengan apa yang ditulis oleh pihak lain.

Bab Ketiga peneliti akan fokus untuk menguraikan akibat hukum yang

ditimbulkan oleh pandemi covid-19 dalam perjanjian wedding organizer dengan konsumen. Dengan menguraikan peraturan hukum mengenai pandemi covid-19 di Indonesia, Profil dari WI Wedding Organizer, dan perjanjian beserta kesepakatan tambahan ( adaendum) pada perjanjian WI Wedding

Organizer dengan DY dan NH akibat pandemi covid-19.

Bab Keempat Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab permasalahan

(22)

wanprestasi akibat keadaan memaksa secara musyawarah dalam kondisi pandemi covid -19.

Bab Kelima menjadi bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan hasil

penelitian dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik kesimpulan dari penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian, dan memberikan saran yang dianggap perlu.

(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM FORCE MAJEURE DALAM SENGKETA AKIBAT PANDEMI COVID-19

A. Kerangka konseptual

Di dalam pembahasan ini peneliti akan menjabarkan beberapa konsep-konsep yang berhubungan dan sering digunakan dalam penelitian ini yakni:

1. Konsumen

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa konsumen adalah orang yang memakai barang atau jasa yang terdapat di masyarakat. Barang atau jasa ini dapat digunakan kepentingan sendiri, kepentingan keluarga, kepentingan orang lain hingga kepentingan untuk makhluk hidup lain seperti hewan dan tanaman. Merujuk pada arti yang telah dipaparkkan oleh Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999 bahwa barang atau jasa yang dikonsumsi bukan untuk diperjual belikan kembali, sehingga setiap pedagang yang membeli lalu di jual kembali tidak dapat dikatakan sebagai konsumen.

Konsumen juga tidak selalu berupa individu, tetapi badan hukum juga dapat dikatakan sebagai konsumen asalkan benda tau jasa tersebut memang digunakan untuk dikonsumsi dan bukan untuk di perdagangkan kembali. Pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindngan Konsumen memaparkan bahwa didalam kepustakaan ekonomi terdapat dua bentuk konsumen yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah konsumen yang dalam penggunaannya atau pemanfaatannya akhir dari sebuah produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan

(24)

produk tersebut sebagai bagian dari proses lainnya1. Dari penjelasan ini, maka pengertian konsumen akhir memiliki beberapa unsur sebagai berikut :

a. Setiap Orang (Natuurlijke Persoon) setiap orang atau individu yang bukan merupakan badan hukum(recht persoon).

b. Pemakaian dalam hal ini berada pada penekanan pemakaian akhir. c. Dapat berupa barang dan / jasa.

d. Untuk kepentingan sendiri, kepentingan keluarga, kepentingan orang lain dan kepentingan makhluk hidup lain seperti hewan dan tanaman.

e. Barang dan / jasa tersebut bukan untuk di perdagangkan kembali. Secara tata bahasa istilah konsumen berasal dari bahasa Inggris yang disebut sebagai consumer yang berarti sebagai pemakai. Atau dalam bahsa Belanda disebut sebagai consument2 KBBI (Kamus Besar

Bahasa Indonesia) mengartikan konsumen sebagai pengguna barang yang berasal dari produksi seperti bahan pakaia dan makanan, penerima pesan iklan, dan pengguna jasa seperti jasa Wedding

Organizer) , sedangkan menurut salah satu pakar konsumen diartikan

sebagai semua orang yang membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara dan merawat herta bendanya3.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) juga menjelaskan konsumen sebagai pengguna barang atau jasa yang disediakan didalam masyarakan, bagi keperluan keluarga, diri sendiri, orang lain dan bukan untuk di jual kembali4. Arti mengenai konsumen

1 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,.. h. 247. 2 Celina , Hukum Perlindungan konsumen ( Jakarta : Sinar Garfika 2008) h. 22.

3 Janus Sidabalok,Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2006) h. 17.

4 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta : Daya Widya, 1999) h. 10.

(25)

15

yang dijelaskan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI) tidak terlalu berbeda dengan arti yang disebutkan oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan pengertian tersebut ditarik kesimpulan bahwa arti dari konsumen yakni setiap orang yang menerima barang atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu, atau setiap orang yang mendapatkan barang dan atau jasa yang dimanfaatkan untuk digunakan untuk membuat atau jasa lain yang bisa di perdagangkan kembali. Yang dimana setiap pemakai barang atau jasa tersebut tersedia didalam masyarakat, yang nantinya dapat digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan makhluk lain dan tidak untuk diperjual belikan kembali. Konsumen dibagi menjadi dua klasifikasi, yakni konsumen personal dan konsumen organisasional. Konsumen personal memiliki arti yang sama dengan konsumen akhir yaitu konsumen yang menggunakan barang dan jasanya untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan makhluk lain. sedangkan konsumen organisasional merupakan sebuah perusahaan , agen pemerintah atau instituisi dapat berupa profit atau non profit yang digunakan agar organisasi tersebut dapat bekerja dan berjalan dengan baik.

Di Amerika Serikat, arti dari konsumen sendiri meliputi sebagai “korban produk cacat atau rusak” pengertian khusus ini berkaitan dengan masalah ganti kerugian yang tidak hanya mencangkup pembeli melainkan juga korban yang bukan seorang pembeli tetapi pemakai, bahkan korban yang bukan korbam dan pemakai juga dapat memperoleh perlindungan yang sama dengan pengguna5. Hukum konsumen memiliki jangkauan yang luas didalam

5 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 21.

(26)

hukum yangn terkandung didalamnya yang dibagi menjadi 6 unsur yakni :

a. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen merupakan setiap orang yang memakai barang dan / jasa. Tetapi terkadang istilah orang memunculkan keraguan karena apakah hal tersebut mencangkup badan hukum atau hanya orang individu saja. sehingga perlu diberi penekanan bahwa konsumen itu harus juga mencangkup badan usaha yang memiliki arti yang lebih luas dari pada badan hukum.

b. Pemakai

Jika merujuk pada Undang-Undang Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen kata pemakai memberikan penekanan pada konsumen akhir (ultimate consumer). Kata pemakai pada lingkup ini ditujukam untuk rumusan ketentuan atau untuk menunjukan sebuah barang dan / jasa yang di gunakan tidak sera merta berasal dari transaksi jual beli.

c. Barang dan / Jasa

Istrilah barang dan jasa digunakan sebagai sebutan lain untuk menyebut kata produk. Pada saat ini produk sudah mencangkup kata barang atau jasa. Didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai benda, benda tersebut dapat berwujud dan tidak berwujud, dapat bergerak dan tidak bergerak, dapat di habiskan dan tidak dapat di habiskan, dapat untuk di perjual belikan, digunakan, di manfaatkan oleh konsumen.

d. Yang tersedia didalam masyarakat

Jika melihat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 9 ayat 1 huruf e memaparkan

(27)

17

barang dan / atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat harus bersedia di pasaran. Didalam perdagangan yang semakin kompleks syarat seperti ini tidak bersifat mutlak untuk dituntut oleh masyarakat konsumen.

e. Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.

Aktivitas transaksi antara konsumen dan pelaku usaha ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup. Kepentingan ini tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga untuk barang dan / jasa yang ditujukan untuk orang lain yang merupakan diluar diri sendiri dan keluarganya, bahkan terkadang untuk makhluk hidup seperti hewan dan tumbuhan.

f. Barang dan / atau jasa tersebut bukan untuk diperjual belikan Didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mempertegas bahwa hanya untuk konsumen akhir. Batasan ini sudah berlaku didalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara6.

2. Perjanjian

Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya”7.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), hubungan antara orang dengan orang diatur didalam buku III tentang

6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen,… h. 27. 7 Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta : Intermassa,1987), h.11

(28)

perikatan. Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain8. Hal yang mengikat adalah suatu peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan keadaan. Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang9.

Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi10. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan yang mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.

Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut :

a) Ada pihak-pihak

Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.

b) Ada persetujuan.

8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti 2000), h.198.

9 Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), h.313.

10 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h 6.

(29)

19

Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan.

c) Ada tujuan yang hendak dicapai.

Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.

d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.

e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.

Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. f) Ada syarat-syarat tertentu.

Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.

Menurut Herlien Budiono, perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH-Perdata adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi, mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubunganhubungan hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian di bidang harta kekayaan atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan pihak lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik11.

11 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, Bandung), h.3.

(30)

Berdasarkan pendapat tersebut maka unsur–unsur perjanjian menurut Herlien Budiono terdiri atas;

a) Kata sepakat dari dua pihak;

b) Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak; c) Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum; d) Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban

yang lain atau timbal balik;

e) Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan12;

3. Penyelesaian Sengketa

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan sebagainya. Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua. Jika situasi menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Dalam konteks hukum khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan13.

Sengketa dapat diselesaikan melalui jalur litigasi atau pengadilan dan melalui jalur non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui

12 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, … h.5.

13 Nurnaningsih Amriani, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan, (Jakarta : PT. Grafindo Persada,2012), h.12.

(31)

21

jalur litigasi merupakan penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim14. Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal dan teknis, menghasilkan kesepakatan yang bersifat menang kalah, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif dan menimbulkan permusuhan diantara para pihak yang bersengketa.

Kondisi ini menyebabkan masyarakat mencari alternatif lain yaitu penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal. Penyelesaian sengketa di luar proses peradilan formal ini lah yang disebut dengan “Alternative Dispute Resolution” atau ADR15. Dalam penyelesaian sengketa melalui non-litigasi, kita telah mengenal adanya penyelesaian sengketa alternatif atau Alternative Dispute Resolution (ADR), yang dalam perspektif Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Alternative

Dispute Resolution adalah suatu pranata penyelesaian sengketa di luar

pengadilan berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan.

4. Force Majeure

Force majeure pengaturannya di Indonesia terdapat dalam

Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, namun apabila dikaji lebih lanjut ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara penggantian biaya, rugi dan bunga akan tetapi dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan force majeure. Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan dari terhadap kerugian yang disebabkan

14 Nurnaningsih Amriani, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata Di Pengadilan, …., h.35.

(32)

oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

Di Indonesia hanya sedikit peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai keadaan Force majeure. Sekalipun ada yang mengatur, biasanya hanya sedikit aturan yang membahas seperti hanya dibahas pada beberapa ayat tertentu atau sub-sub ayat dari pasal tersebut. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ketentuan mengenai Force majeure hanya dibahas didalam Pasal 1244 sampai dengan Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Didalam pasal ini dijelaskan bahwa Force majeure merupakan suatu peristiwa yang mana prestasinya tidak bisa dijalankan sebab terjadi hal-hal yang mendesak atau tidak bisa di prediksi kedatangannya dan membuat debitur tidak bisa melakukan apapun terhadap kejadian tersebut tetapi debitur juga tidak dapat disalahkan terhadapperistiwa yang terjadi.

Pengaturan mengenai Force majeure juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 mengenai Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 mengenai Penyelengaraan Jasa Konstruksi. Didalam Undang-Undang ini Force

majeure dijelaskan sebagai peristiwa yang lahir di luar keinginan dan

diluar kapasitas debitur dan kreditur dan menimbulkan kerugian disalah satu pihak tersebut. Peraturan Presiden mengenai Pengadaan Barang dan Jasa Nomor 95 Tahun 2007, Force majeure disebutkan sebagai keadaan memaksa yang berarti peristiwa tersebut terjadi di luar kemampuan para pihak yang membuat prestasi dalam kontrak tidak bisa dipenuhi. Didalam peraturan ini mewajibkan untuk

(33)

23

memasukan ketentuan mengenai Force majeure di dalam kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan Force majeure diartikan sebagai keadaan memaksa yang membuat pengusaha bisa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja jika terjadi Force majeure atau keadaan memaksa tersebut.

Force majeure juga di sebutkan didalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2007 mengenai Perkeretaapian, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas danJasa Angkutan Umum, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/2/PBI/2007 mengenai Laporan Harian Bank Umum, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/20/PBI/2006 mengenai Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/4/PBI/2008 mengenai Laporan Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu oleh Bank Perkreditan Rakyat dan Lembaga Selain Bank, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/21/DKBU mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat16.

5. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga membuat perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. perlindungan terhadap konsumen sangat terikat dengan adanya perlindungan hukum, perlindungan konsumen memiliki beberapa aspek hukum yang melekat pada sebuah materi untuk mendapatkan perlindungan. Perlindungan ini tidak selalu berbentuk

16Soemadipradja Rahmat S.S, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, (Jakarta : PT.Gramedia,2010).h,72.

(34)

perlindungan fisik tetapi mencangkut perlindungan hak-hak konsumen yang sebenarnya bersifat abstrak17 sehingga sebenarnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum mengenai hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen artikan sebagai protecting

consumers against unfair or illegal traders18.

Untuk melindungi kepentingan bersama, negara akan terus mengupayakan perlindungan hukum. Usaha untuk memberikan jaminan tersebut bertujuan agar masyarakat dapat secara menyeluruh merasakan keamanan karena negara telah memberikan perlindungan hukum kepada mereka. Perlindungan hukum akan selalu diberikan kepada berbagai macam lapisan masyarakat. Dikarenakan konsumen juga termasuk kedalam lapisan masyarakat, maka dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa perlindungan konsumen merupakan usaha untuk menjamin sebuah kepastian hukum guna untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Pengertian yang dirumuskan diatas diharapkan sebagai bentuk yang dapat menghapus tindakan pelaku usaha yang semaunya yang dapat merugikan kepentingan konsumen.

Perlindungan hukum terhadap konsumen ini diciptakan oleh lembaga pemerintah, yang betujuan untuk menjamin kepastian perlindungan hukum dari berbagai kemungkinan terjadinya hambatan serta sengketa yang dialami konsumen akibat kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku usaha. Atas dasar hal itu hak-hak konsumen diberikan perlindungan, sebab dibandingkan pelaku usaha, konsumen

17 M.Shidqon Prabowo, Perlindungan Hukum Jamaah Haji Indonesia, (Yogyakarta : Rangkang, 2010) h. 38.

(35)

25

selalu berada di posisi yang lebih lemah dari pada pelaku usaha tersebut19.

Hukum perlindungan konsumen merupakan bentuk khusus dari hukum konsumen yang menekankan mengenai bagaimana sebuah aturan hukum dapat dilaksanakan untuk menjamin kepastian dari suatu pemenuhan perlindungan atas hak-hak konsumen20. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan jelas dalam Undang Undang Perlindungan Konsumen mengenai arti dari perlindungan konsumen itu sendiri, yakni seluruh upaya untuk menjamin hadirnya kepastian dan perlindungan hukum terhadap konsumen.

Menjamin kenyamanan konsumen juga menjadi aspek penting dari perlindungan konsumen. Sehingga mau tidak mau pelaku usaha harus berhati-hati dalam resiko hukum yang mungkin hadir dan secara tidak langsung membuat pelaku usaha berusaha untuk menjaga dan meningkatkan produk yang mereka berikan, jadi hukum perlindungan konsumen menjadi pembatas-pembatas bagi pelaku usaha untuk menjalankan usahanya agar tidak melanggar atau menciderai perlindungan konsumen 21 . Batasan-batasan tersebut kemudian dituangkan menjadi beberapa peraturan perundang-undangan22.

Perlindungan konsumen memiliki ruang lingkup yang luas, yakni seperti perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa yang diawali dari tahap kegiatan agar dapat menerima barang dan jasa hingga sampai melahirkan resiko-resiko dari pemakaian barang dan /

19 Dewi Sukmawati, Ni. Made, dan I Wayan Novy Purwanto. "Tanggungjawab Hukum Pelaku Usaha Online Shop Terhadap Konsumen Akibat Peredaran Kosmetik Palsu." JurnaI Kertha

Semaya FakuItas Hukum Universitas Udayana, Vol 7, no.3 (2019) h.14.

20 Abdul Halim Barkatullah, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Transaksi ECommerce

Lintas Negara di Indonesia (Yogyakarta: FH UII Press, 2009), h. 13.

21Mansyur, Ali dan Irsan Rahman. “Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Produksi Nasional”. Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol 2,No 1 (Maret ,2015) h.4.

22 Adami Chazawi, Pelanggaran Hukum Pidana (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 13.

(36)

atau jasa tersebut. Ruang lingkup perlindungan konsumen bisa dibedakan menjadi dua aspek, yakni :

a) Perlindungan konsumen pada kemungkinan barang yang diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati.

b) Perlindungan kepada syarat-syarat yang diberlakukan dan dianggap tidak adil untuk konsumen.

Perlindungan konsumen menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memaparkan mengenai tujuan dari perlindungan konsumen itu sendiri yaitu sebagai berikut :

a) Untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen guna melingdungi diri.

b) Untuk mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari jalan negatif dalam pemakaian barang.

c) Untuk meningkatkan pemberdayaan konsumen didalam memilih, menentukan dan menuntut hak-hak konsumen itu sendiri.

d) Untuk melahirkan kepastian hukum dan keterbukaan informasi dan akses informasi untuk memperoleh informasi.

e) Untuk melahirkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya sebuah perlindungan konsumen sehingga dapat menumbuhkan sikap jujur dan berani bertanggung jawab dalam berusaha.

f) Untuk meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa sehingga menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan / jasa baik dari segi kesehatan, kenyamananm, keamanan, dan keselamatan. Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan sebuah pembangunan nasional sesuai dengan yang telah di sebutkan di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

(37)

27

Konsumen. Karena tujuan dari perlindungan konsumen itu merupakan sebuah akhir yang harus tercapai dalam melaksanakan pembangunan dibidang hukum perlindungan konsumen.

Pandemi covid-19 membuat perlindungan terhadap konsumen menjadi fokus yang penting dalam kebijakan nasional. Agar kepentingan konsumen selalu dilindungi. Perlindungan konsumen harus mengacu pada asas keadilan. Hal ini dikarenakan asas keadilan menekankan bahwa setiap masyarakat diupayakan untuk ikut berpartisipasi secara maksimal sekaligus ikut memberikan kesempatan kepada konsumen berikut dengan pelaku usaha yang menjalankan kewajibannya dan mendapatkan hak seadil-adilnya. Tetapi, dalam pandemi covid-19 asas keadilan ini tidak berjalan dengan baik. sebab masyarakat merasakan ketidakadilan dengan wanprestasi yang dilakukan oleh pihak wedding organizer.

Di dalam pelaksanaannya wedding organizer, biasanya menggunakan perjanjian baku ( standar ), karena dengan menggunakan bentuk perjanjian tersebut membuat seseorang memiliki kewajiban kepada pihak lainnya serta memberikan hak kepada pihak satunya. Perjanjian dibuat dengan tujuan agar dapat melindungi para pihak, maka perlu adanya kesepakatan yang bertujuan mengatur interaksi antara kedua belah pihak dari segala akibat hukum yang lahir oleh perjanjian tersebut, untuk berjaga-jaga atas masalah yang bisa saja timbul dalam waktu dekat yang biasanya sering muncul saat perjanjian sedang dilaksanakan.

Jika terjadi masalah perjanjian tersebut dapat melindungi semua pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Agar tetap dapat menerima hal yang telah di perjanjikan. Yang mana dalam fokus penelitian ini, menekankan pada kasus wanprestasi yang dilakukan pelaku usaha wedding organizer dikarenakan pandemi covid-19.

(38)

Perjanjian yang dibuat oleh wedding organizer dengan pengguna jasa dalam hal ini konsumen dapat memberikan batasan-batasan hukum yang harus dipuni oleh masing-maisng pihak. Ketika semua hal yang telah diperjanjikan menghadapi hambatan, seperti terjadinya pembatalan kontrak atau perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha secara sepihak.

Hal ini dianggap sebagai wanprestasi jika terbukti secara sengaja dibatalkan karena alasan yang tidak termasuk kedalam force

majeure, maka membuat pelaku usaha harus melakukan ganti rugi.

Sebab, dalam sebuah perjanjian jika terjadi wanprestasi atau pembatalan secara sepihak konsekuensi yang harus diterima oleh pelaku usaha adalah ganti rugi. Perjanjian yang dibuat antara pihak

wedding organizer dengan konsumen mereka menimbulkan ketidak

cocokan pemahaman diantara kedua belah pihak mengenai klausula

force majeure. Apakah pandemi covid-19 termasuk kedalam ruang

lingkup force majeure atau tidak dikarenakan tidak mengandung unsur bencana alam sama sekali. Atas dasar hal itu, membuat pihak wedding

organizer harus dapat mengupayakan skenario / untuk mengatasi

pandemi covid-19.

6. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen produsen dan penjual disebut sebagai pelaku usaha, pelaku usaha ini dapat berupa perusahaan, korporasi, Badan Usaha Milik Negara / BUMN, pedagang dan sebagainya. Konsumen yang merasakan kerugian terhadap barang atau jasa yang diberikan oleh pelaku usaha dapat meminta sebuah pertanggung jawaban kepada para pelaku usaha.

(39)

29

Hal ini sesuai dengan doktrin Caveat Venditor (Let the

Producer Aware) yang menjelaskan bahwa pelaku usaha tidak hanya

bertanggung jawab terhadap konsumen yang didasarkan oleh kontrak, dikarenakan produk yang diperjual belikan tersebut dilakukan dengan ditawarkan keseluruh masyarakat, maka lahirlah doktrin ini agar masyarkat yang tidak didasarkan pada kontrak sekalipun bisa menerima jaminan keamanan jika memakai barang dan atau jasa dari pelaku usaha tersebut. Sehingga doktrin ini menekan pelaku usaha untuk berhati hati, agar dalam memproduksi dan memasarkan produknya secara berhati-hati dan mengindahkan kepentingan masyarakat luas23.

Didalam Undang-Undang Konsumen juga dijelaskan tentang tanggung jawab pelaku usaha. Aturan ini terantum pada pasal 19 sampai dengan pasal 28, tetapi dalam fokus penelitian ini, aturan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan atau jasa diatur dalam pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatakan bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan atau garansi yang telah disepakati dan atau yang sudah di perjanjikan. Jika merujuk pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen substansi yang dapat kita liat adalah sebagai berikut:

a) Bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh kerusakan b) Bertanggung jawab atas kerugian yang menyebabkan pencemaran c) Bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa konsumen24

23 Leon G. Schiffman, Consumer Behavior Sixth Edition, (London : Prentice Hall International,1997) , h. 630.

24 Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia),… h.141.

(40)

Prinsip mengenai pertanggung jawaban dalam hubungan konsumen dan pelaku usaha merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam hubungan keduanya. Dalam mengidentifikasi siapa yang harus bertanggung jawab dalam suatu kasus pelanggaran hak konsumen diperlukan analisis yang mendalam, sebab pada hukum formal, memberikan beberapa batasan pada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pelaku usaha yang melanggar hak konsumen. Dalam hukum perlindungan konsumen, pertanggung jawaban memiliki beberapa prinsip yakni:

a) Tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan; b) Praduga untuk selalu bertanggung jawab; c) Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab; d) Tanggung jawab mutlak;

e) Tanggung jawab dengan pembatasan25.

Jika melihat dari ketentuan diatas, maka jika terdapat barang dan atau jasa yang cacat dan rusak tidak serta merta menjadi dasar pertanggung jawaban pelaku usaha. Tetapi hal tersebut menjadi sebuah tanggung jawab pelaku usaha meliputi semua kerugian yang dialami oleh konsumen.

Selain prinsip-prinsip diatas, terdapat juga bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha yang disebutkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, salah satunya adalah Contractual Liability. Dimana dalam sebuah perjanjian diantara pelaku usaha dengan konsumen (Privity Of Contract), tentang barang dan atau jasa maka pertanggung jawaban pelaku usaha ini harus didasarkan pada Kontrak26. Contractual Liability biasanya dilakukan karena adanya wanprestasi, hal ini disebabkan karna pelaku usaha melanggar, tidak

25 Shidarta, Hukum perlindungan konsumen Indonesia, (Jakarta; Grasindo, 2000), h. 58. 26 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003), h.345.

(41)

31

bisa melaksanakan prestasi yang telah mereka janjikan didalam kontrak tersebut atau membatalkan kontrak secara sepihak. Mengenai tuntutan atas kerugian yang dirasakan oleh konsumen yakni tuntutan mengganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi dan tuntutan kerugian yang didasarkan pada Perbuatan Melawan Hukum.

Saat pandemi covid melanda Indonesia, tidak sedikit Wedding

Organizer yang melakukan pembatalan kontrak secara sepihak.

Padahal dalam pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa untuk melakukan pembatalan perjanjian harus dilakukan melalui pengadian. Lalu, dalam pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditekankan bahwa pihak yang dalam perjanjiannya tidak terpenuhi, maka dapat memilih untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati, dan jika hal tersebut masih bisa dijalankan, atau dapat menuntut untuk pembatalan kesepakatan, dengan memberikan biaya kerugian dan bunga.

Jika merujuk pada Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka konsumen bisa melakukan tindakan untuk melindungi hak-hak mereka yakni:

a) Memaksa pelaku usaha untuk memenuhi kesepakatan yang ada. Contohnya seperti tetap memenuhi prestasi atau menjalankan seluruh pembayaran sesuai yang telah diperjanjikan ; atau

b) Melakukan pembatalan kesepakatan dan dilanjuti dengan meminta kerugian bahkan bunga atas semua kerugian yang konsumen alami sebagai pertanggung jawaban dari pelaku usaha.

B. Kerangka teori 1. Teori Perjanjian

Dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan perjanjian sebagai peristiwa yang membuat seseorang mengikatkan dirinya

(42)

sendiri kepada orang lain27. Jika dilihat dari tradisi hukum yang ada perjanjian dengan kontrak memiliki sebuah persamaan, dalam tradisi Civil

Law, perjanjian dibagi menjadi dua yakni perjanjian tertulis dan perjanjian

tidak tertulis. Begitupun juga dalam tradisi Anglo-Saxon (Common Law) kontrak dibagi dua menjadi kontrak tertulis (Written Agreement) dan kontrak lisan (Oral Agremeent)28.

Merujuk pada beberapa pengertian perjanjian yang sudah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum dari para pihak, yang mana pihak yang satu memiliki hak untuk menerima prestasi (kreditur) dan pihak yang lainnya memiliki kewajiban untuk melakukan prestasi (Debitur). Hal yang menjadi prestasi dalam perjanjian diklasifikasikan menjadi tiga bentuk yakni:

a. Berjanji untuk memberikan sebuah barang. b. Berjanji untuk melakukan sesuatu.

c. Berjanji untuk tidak melakukan sesuatu29.

Perjanjian memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk-bentuk dari perjanjian tersebut dibagi menjadi dua bentuk, yakni bentuk tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian tidak tertulis merupakan perjanjian yang dibentuk oleh para pihak secara lisan jadi hanya mengandalkan kesepakatan dari para pihak saja. Sedangkan perjanjian tertulis merupakan perjanjian yang dibentuk oleh para pihak yang diolah menjadi tulisan atau yang biasa kita kenal sebagai kontrak. Perjanjian tertulis ini memiliki tiga macam bentuk yakni:

a. Perjanjian yang sekedar mengikat para pihak didalam perjanjian yang telah disepakati, namun tidak memiliki kekuatan untuk mengikat pihak

27 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), h.92.

28 Ida Bagus Wyasa Putra,Hukum Kontrak Internasional The Law Of International Contract, (Bandung : Refika Aditama, 2017) h.1.

29 Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Perjanjian & Penyeleseian Sengketa dari Perspektif

(43)

33

ketiga. Perjanjian ini biasa disebut sebagai perjanjian dibawah tangan yang hanya Ditanda tangani oleh para pihak yang bersangkutan saja. b. Perjanjian yang disaksikan oleh notaris guna untuk melegalisir tanda

tangan dari para pihak. Tetapi kesaksian ini tidak berpengaruh teradap kekuatan hukum dari isi perjanjian tersebut.

c. Perjanjian yang berbentuk akta notariel, yang mana perjanjian ini dibuat dihadapan notaris. Perjanjian yang dibuat dalam bentuk ini dapat menjadi salah satu dokumen yang dianggap sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak dalam perjanjian tersebut dan pihak ketiga sekaligus30.

Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya perjanjian itu harus memenuhi keempat syarat sahnya perjanjian, yakni yang pertama adalah adanya kesepakatan ari kedua belah pihak, yang kedua para pihak sudah cakap hukum, yang ketiga memiliki objek perjanjian, dan yang terakhir adanya sebab yang halal. Jika syarat pertama dan kedua tidak terlaksanakan maka perjanjian tersebut bisa di batalkan. Dan jika syarat ketiga dan keempat tidak terlaksanakan, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, yang berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah dibuat.

Munculnya kelalaian atau kesalahan dalam sebuah perjanjian kerap kali disebabkan oleh pelanggaran terhadap hal yang telah diperjanjikan. Jika salah satu pihak tidak melakukan kewajibannya sesuai dengan yang sudah disepakati dalam perjanjian, maka hal ini dianggap sebagai wanprestasi31 Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”yang berarti

30 Salim, Hukum Perjanjian, Teori dan Praktik Penyusunan Perjanjian, ( Jakarta : Sinar Gafika, 2008)h.43.

31 Mutia Kartika Putri, Pembuktian Keadaan Memaksa (Force Majeure) Oleh Debitur Dalam

(44)

tidak terpenuhinya kewajiban yang telah di sepakati dalam sebuah perjanjian32.

Perjanjian juga memiliki beberapa asas-asas yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya33. Asas-asas perjanjian tersebut yakni:

a. Asas Konsensualisme, asas ini sudah ditekankan dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa perjanjian dapat dikatakan sah jika memiliki kesepakatan dari kedua belah pihak. Maka dapat disimpulkan bahwa asas ini menganut paham mengenai bahwa dalam perjanjian tersebut harus bertemunya kehendak dari kedua belah pihak34.

b. Asas Pacta Sunt Servanda, asas ini bmemiliki hubungan dengan akibat dari sebuah perjanjian yang dibuat. Asas ini disebutkan juga dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat itu berlaku secara sah sebagai undang-undang bagi para pihak yg terlibat.

c. Asas Kebebasan Berkontrak, yakni merupakan asas yang memiliki peran yang cukup penting dalam hukum kontrak. Sebab asas ini merupakan asas yang memiliki pandangan bahwa semua orang atau semua pihak bebas untuk melakukan atau tidak melakukan sebuah perjanjian, bebas membuat kesepakatan dengan siapa saja dan bebas memperjanjian apa saja beserta dengan syarat-syaratnya35.

d. Asas Itikad Baik, yakni asas yang menekankan bahwa perjanjian itu harus dilaksanakan dengan suatu kepatutan dan keadilan. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

32 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, … h.20.

33 Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) Membangun

Tanpa Harus Memiliki Tanah: Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian, dan Hukum Publik,

(Bandung: Keni Media, 2013), h. 97.

34Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Prespektif Perbandingan (Bagian

Pertama),(Jakarta : FH UII Press) h. 58.

Gambar

Tabel 1 Timeline pembayaran WI Wedding Organizer

Referensi

Dokumen terkait

Pemutusan Oleh Penyedia 44.1 Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penyedia dapat memutuskan Kontrak ini melalui pemberitahuan tertulis kepada

Pemutusan Oleh Penyedia 44.1 Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penyedia dapat memutuskan Kontrak ini melalui pemberitahuan tertulis kepada

oleh Penyedia 44.1 Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penyedia dapat memutuskan Kontrak ini melalui pemberitahuan tertulis kepada

Pendapat yang menyatakan bahwa Pasal 1266 ” Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan ” aturan yang bersifat memaksa (dwingend recht) ” karena syarat batal dianggap

41.1 Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penyedia dapat memutuskan Kontrak melalui pemberitahuan tertulis kepada PPK apabila PPK

44.1 Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penyedia dapat memutuskan Kontrak ini melalui pemberitahuan tertulis kepada PPK apabila

Jadi pembatalan perjanjian sepihak tanpa alasan yang sah, yakni tidak memenuhi syarat yang tertera dalam pasal 1266 KUH Perdata, termasuk dalam perbuatan melawan

44.1 Menyimpang dari Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Penyedia dapat memutuskan Kontrak ini melalui pemberitahuan tertulis kepada PA apabila PA