• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah. bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah. bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu persoalan besar yang dihadapi setelah

bergulirnya reformasi adalah mengembalikan dan

memulihkan proses peradilan. Pengadilan sebagai lembaga

yang tidak memihak dan berdasarkan kekuatan,

kemampuan dan kecakapan menegakkan hukum yang benar dan adil serta memberi kepuasan kepada setiap pencari keadilan. Salah satu lembaga peradilan yang ada yaitu Peradilan Tata Usaha Negara.

Lembaga ini penting sebagai instrumen kontrol perbuatan atau tindakan administrasi negara, tetapi merupakan tempat mewujudkan secara nyata keabsahan hakim dari pengaruh kekuasaan yang ada dalam

perwujudan rule of law1.

Mengenai eksistensi lembaga Peradilan Tata Usaha Negara, mau tidak mau penulis harus melihat di negara

(2)

2

Perancis, suatu negara yang menurut sejarah merupakan pelopor kelahiran lembaga sejenis ini. Sejarah kelahiran lembaga Peradilan Administrasi Negara di Perancis dimulai sekitar tahun 1790, dengan Undang-Undang tanggal 16 dan 24 Agustus tahun 1790, yang memberi fungsi kepada Conseil d’Etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawas (Judiciil Controle) terhadap administrasi/pemerintah untuk

memeriksa dan mengadili sengketa administrasi.2

Conseil d’etat dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari prinsip yang mengakibatkan lahirnya sistem Perancis tentang kontrol administrasi yang dilakukan oleh suatu peradilan administrai yang bebas dan terpisah.

Selanjutnya mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia awal mulanya dan merupakan tonggak sejarah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dilakukan

2 Benjamin Mangkoedilaga. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu

(3)

3

perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya dilakukan perubahan lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara.

Kehidupan demokrasi yang dikehendaki dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara secara konstitusional dibakukan dalam UUD 1945. Kebebasan yang menjadi roh demokrasi mendapatkan tempat dalam kehidupan pergaulan hidup bernegara. Hak asasi manusia dirumuskan secara normatif sehingga menjadi landasan

yuridis konstitusional bagi warga negara dalam

hubungannya dengan negara. Konsekuensinya adalah negara mempunyai tanggungjawab untuk memenuhi hak konstitusional warganegaranya.

Atas dasar paham kesejahteraan umum sebagai keseluruhan syarat kehidupan sosial yang diperlukan

(4)

4

masyarakat agar bisa sejahtera sehingga dapat diterima pembagian tugas-tugas negara yang disampaikan oleh para ahli ilmu negara, misalnya pembagian dalam tiga kelompok. Ketiga kelompok tugas negara tersebut adalah pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada

penduduk dalam wilayah tertentu. Kedua, negara

mendukung atau langsung menyediakan berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang

menjamin keadilan dasar dalam hubungan

kemasyarakatan.3 Tugas-tugas negara tersebut

menyebabkan begitu banyak keterlibatan negara dalam kehidupan warganya.

Tidak sebatas berinteraksi, tetapi sekaligus masuk dalam hidup dan penghidupan warganya. Pemerintah yang melaksanakan sebagian tugas negara mempengaruhi

3 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar

(5)

5

kehidupan warga negara, sementara di sisi lain, warga juga mempengaruhi pemerintah dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya.

Oleh karena itu kaitannya dengan hal tersebut dalam tulisan ini dapat dikemukakan beberapa kasus yang dapat mengilustrasikan bagaimana kebijakan dari seorang Pejabat Tata Usaha Negara yang merugikan bagi pelaku kebijakan tersebut.

Pangkal sengketa Tata Usaha Negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara. Tolak ukur sengketa Tata Usaha Negara adalah tolak ukur subjek dan pangkal sengketa.

Tolak ukur subjek dimaksud adalah para pihak yang bersengketa dalam bidang hukum administrasi negara atau Tata Usaha Negara. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa

(6)

6

yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan

sebagai hasil perbuatan administrasi negara4.

Sengketa administrasi dapat terjadi di dalam lingkungan administrasi itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen atau instansi maupun sengketa yang terjadi antar departemen. Dengan demikian sengketa menyangkut persoalan kewenangan yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) terhadap departemen (instansi) lainnya yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan.

Selanjutnya dalam hal sengketa yang terjadi antara administrasi negara dengan rakyat adalah perkara

administrasi yang menimbulkan sengketa antara

administrasi negara dengan rakyat sebagai subjek-subjek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsur peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu

4 Wicipto Setiadi, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Suatu

(7)

7

pihak harus administrasi negara yang mencakup

administrasi negara di tingkat pusat, administrasi negara di tingkat daerah, maupun administrasi negara pusat yang ada di daerah.

Perbuatan administrasi negara dapat dikelompokkan

ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan yakni5 :

1. Mengeluarkan keputusan

2. Mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan

3. Melakukan perbuatan materil.

Dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut. Dilihat dari ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 1 angka 4 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan sebagai berikut : “Sengketa Tata

5 Ibid, hal. 94

(8)

8

Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara Orang atau Badan Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur subjek sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata di satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di pihak lain.

Dengan demikian para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa adalah akibatnya dikeluarkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dengan demikian yang menjadi pangkal sengketa Tata Usaha Negara (TUN) adalah akibat dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Berdasarkan Pasal 1 angka (3)

(9)

9

UU No.5 Tahun 1986 jo UU No.51 tahun 2009, yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah : “Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi

seseorang atau badan hukum perdata6.

Bahwa suatu penetapan tertulis, terutama menunjuk kepada isi dan bukan bentuk (form). Persyaratan tertulis adalah semata untuk kemudahan dari segi pembentukan. Oleh karena itu sebuah memo atau nota saja akan dapat memenuhi syarat tertulis, yang penting diisi apabila sudah jelas dalam pengertiannya :

1. Badan atau pejabat TUN mana yang mengeluarkannya.

2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu

6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha

(10)

10

3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas, berdasarkan Pasal 1 angka (4) UU No.5 Tahun 1986, para pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah Orang (individu) atau Badan Hukum Perdata sebagai pihak penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat. Hal ini merupakan sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa Tata Usaha Negara adalah akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

Tergugat adalah selaku badan atau Pejabatan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya itu, menunjukkan ketentuan hukum yang dijadikan dasar, sehingga badan atau jabatan Tata Usaha Negara (TUN) itu dianggap berwenang melakukan tindakan hukum dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara

(11)

11

(KTUN) yang menjadi pangkal sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Persoalan eksekusi Tata Usaha Negara sendiri sudah menjadi polemik di dalam penyelenggaraan negara, banyak kasus yang tidak terselesaikan di tingkat eksekusi putusan disebabkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mau menjalankan perintah dari Pengadilan Tata Usaha Negara dikarenakan implementasi dari Undang-Undang yang tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Seperti contoh kasus yang terjadi di Kabupaten Rote Ndao provinsi NTT, antara Silvester Wangur, S.Pd sebagai penggugat melawan Bupati Rote Ndao sebagai tergugat.

Diuraikan, kejadian bermula ketika sekelompok orang menyerang penggugat, melempar rumah, menghancurkan kaca jendela, memaki-maki penggugat, dan mengancam akan membunuh penggugat. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Polsek Rote Barat Laut sehingga lokasi kejadian tersebut telah diamankan. Keesokan harinya, penggugat melaporkan kejadian yang menimpa dirinya kepada Kepala

(12)

12

Sekolah, Kepala Dinas Rote Ndao, dan Bupati Rote Ndao, namun sayang dari semua pejabat yang penggugat temui tak satupun yang bersedia melindungi dan menjamin keselamatan penggugat. Karena masih trauma pada tanggal 4 Desember 2002, penggugat menyelamatkan diri ke Kupang.

Selama menyelamatkan diri ke Kupang, penggugat belum pernah menerima surat panggilan dari sekolah maupun dari Dinas Pendidikan Rote Ndao. Selama di

Kupang penggugat mengajukan permohonan untuk

mengabdi di Kota Kupang dan dikabulkan oleh Walikota

Kupang, dengan surat rekomendasi

No.BKD.824/1379/III/2004 tertanggal 4 Agustus 2004, sejak saat itu penggugat mengajar di SMA 3 Kota Kupang tanpa terima gaji karena gaji masih ada di DAU Rote Ndao dan daftar hadir setiap bulan dikirim ke SMA 1 Rote Barat Laut.

Setelah penggugat mengajar di SMA 3 Kota Kupang, penggugat mengajukan surat permohonan pembayaran gaji

(13)

13

ke Bupati Rote Ndao sebanyak empat kali yaitu tanggal 20 April 2005, 25 Juni 2009, 10 Februari 2010, dan 20 Mei 2013 namun semua surat tersebut tidak pernah ditanggapi.

Penggugat juga berusaha untuk menemui Bupati Rote Ndao pada tanggal 25 Mei 2009, tanggal 10 Oktober 2009, dan tanggal 23 Maret 2011 untuk menjelaskan masalah yang menimpa penggugat namun usaha terbut tidak berhasil.

Pada akhirnya penggugat tidak tahan lagi

menjalankan hidup dibawah tekanan karena tidak adanya kepastian hukum sehingga pengugat terpaksa mengikuti tawaran dari pihak Bupati Kabupaten Rote Ndao agar pengugat bersedia menanda tangani surat pernyataan tidak menuntut gaji selama 75 bulan (bulan Februari 2003 sampai April 2009) tertanggal Kupang 22 Januari 2009, setelah ditanda tangan baru keluar surat persetujuan pindah yang

dikeluarkan tanggal 19 Januari 2009 dengan

(14)

14

Setelah penggugat menyadari telah melakukan tindakan keliru, maka tanggal 30 Agustus 2013, penggugat mengirim surat pernyataan mencabut/menarik kembali surat pernyataan tidak menuntut gaji yang penggugat buat tanggal 22 Januari 2009, kepada Bupati Rote Ndao tertanggal 30 Agustus 2013.

Penggugat juga selalu mencari informasi dan berusaha untuk bertemu para pihak, agar mendapat kembali hak-hak penggugat selama bekerja. Setelah penggugat berusaha semaksimal mungkin akhirnya menemukan bukti kwitansi penyetoran gaji penggugat ke Bank NTT cabang Rote Ndao.

Dalam sengketa tersebut penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat

Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No.

KU.900/87/IV/2009 dan memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang pembayaran gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April 2009. Sebagaimana putusan Pengadilan

(15)

15

Tata Usaha Negara dengan Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG telah mengadili dan mengabulkan gugagatan penggugat dengan mewajibkan tergugat untuk memproses permohonan penggugat dan menerbitkan surat keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji penggugat.

Dalam contoh kasus tersebut dapat ditemui

permasalahan, yaitu tidak dieksekusi oleh tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara sebagai eksekutor dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal putusan tersebut sudah inkracht atau telah berkekuatan hukum tetap karena tidak ada lagi upaya hukum lainnya dari pihak Tergugat, seperti upaya banding. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah dijelaskan “Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khususnya dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang mengajukan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.” Ini

(16)

16

berarti setelah 14 (empat belas) hari setelah Panitera Pengadilan memberikan salinan putusan tersebut, tergugat dalam hal ini Bupati Rote Ndao tidak melakukan upaya hukum apa-apa sehingga Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu menjadi inkrach.

Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang juga telah mengeluarkan surat No. W3.TUN3/211/HK.06/IV/2014 pada tanggal 1 April 2014 kepada Bupati Rote Ndao dalam hal ini sebagai Pejabat Tata Usaha Negara, perihal pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang.

Pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undung-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 166 ayat (3) menyatakan “Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut

tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan

(17)

17

dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.” Disini dibutuhkan pengertian dan keaktifan dari penggugat sendiri untuk memahami Pasal 166 ayat (3).

(18)

18

Tabel 1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG

No. Putusan PTUN Kupang

Penggugat Tergugat Isi Gugatan Putusan

Nomor : 20/G/2013/PT UN-KPG Silvester Wangur, S.Pd 1. Bupati Rote Ndao 2. Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Rote Ndao 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya 2. Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar menyatakan batal atau tidak sah Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Gaji No. KU.900/87/IV/2009 3. Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang membayar gaji selama 75 bulan mulai dari bulan Februari 2003 sampai dengan bulan April 2009. 4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini

1. Mengabulkan Gugatan Penggugat sebagian

2. Menyatakan batal sikap diam Tergugat I dan Tergugat II yang disamakan dengan keputusan penolakan Tergugat I dan Tergugat II terhadap surat permohonan penggugat no :13/SW/V/2003 tertanggal 20 Mei 2013, perihal : Mohon pembayaran gaji 3. Mewajibkan Tergugat untuk memproses permohonan Penggugat dan menerbitkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara tentang pembayaran gaji Penggugat terhitung bulan Oktober 2004 sampai dengan Januari 2009.

4. Menghukan Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sebesar RP 141.000,- (Seratus Empat Puluh Satu Ribu Rupiah)

(19)

19

Pelaksanaan putusan pengadilan menurut ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tersebut membawa implikasi hukumnya masing-masing. Untuk memahami hal itu, berikut dibawah ini akan dikemukakan pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini perlu dikemukakan agar dapat diketahui apakah perubahan tersebut menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Lebih lanjut mengenai pelaksanaan putusan

pengadilan TUN dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan :

(1) Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya

(20)

20

dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.

(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan

tergugat tidak melaksanakan kewajibannya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,

maka Keputusan Tata Usaha Negara yang

disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum.

(3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan

kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), agar pengadilan memerintahkan tergugat

(21)

21

(4) Jika Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakanya,

Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.

(5) Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),

dalam waktu 2 bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut,

(6) Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

(22)

22

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka menurut Paulus Efendi Lotulung, sesungguhnya ada dua jenis

eksekusi yang dikenal dalam Peradilan Tata Usaha Negara:7

1.Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu “Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.”

2.Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu : huruf b : pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau huruf c : penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.

7 Paulus Efendi Lotulong, Pejabat yang tidak mematuhi Putusan Peradilan

(23)

23

Paulus Efendi Lotulung menjelaskan bahwa apabila terdapat adanya eksekusi jenis pertama, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (2), yaitu 4 bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

Dengan demikian tidak perlu lagi ada tindakan-tindakan ataupun upaya-upaya lain dari pengadilan,

misalnya surat peringatan dan sebagainya. Sebab

Keputusan Tata Usaha Negara itu dengan sendirinya akan hilang kekuatan hukumnya. Cara eksekusi seperti ini disebut dengan eksekusi otomatis.

Sebaliknya apabila terdapat adanya eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu

Ayat (3) “Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat mengajukan

(24)

24

permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan

memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.”

Ayat (4) “Jika Tergugat masih tetap tidak

melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan

mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.”

Ayat (5) “Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan pengadilan tersebut.”

Ayat (6) “Dalam hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah

(25)

25

tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.”

Dengan cara adanya surat perintah dari Ketua Pengadilan yang ditujukan kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan eksekusi putusan Pengadilan tersebut, dan apabila tidak ditaati, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasan Pejabat Tata Usah Negara tersebut menurut jenjang jabatan, yang dapat diteruskan sampai ke Presiden sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk

memerintahkn Pejabat Tata Usaha Negara tersebut melaksanakan putusan pengadilan itu.

Jika dikaitkan dengan contoh kasus diatas, maka akan ditemukan beberapa proses yang tidak ditempuh dari penggugat dan Pengadilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dimana ketika diwawancarai, penggugat dalam hal ini Silvester Wangur hanya mengajukan satu kali surat permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara dan tidak mengajukan surat permohonan lagi dengan alasan

(26)

26

ketidak tahuan dan keputus asaanya dengan eksekusi putusan tersebut. Masih menurut Penggugat, Panitera Pengadilan juga tidak memberikan arahan baginya agar mengajukan surat permohonan seperti surat permohonan yang pertama.

Lebih lanjut lagi Lotulung menjelaskan bahwa pada dasarnya eksekusi di PTUN menekankan pada asas self respect dan kesadaran hukum dari pejabat TUN terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap

Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.8

Meskipun dikatakan bahwa proses eksekusi yang ditempuh menurut cara tersebut diatas merupakan original buah pikiran pembuat Undang-Undang di Indonesia, sebab sistem seperti itu tidak dikenal di luar negeri. Namun ketentuan tersebut sekaligus merupakan suatu kekurangan, kalau tidak boleh dikatakan justru sebagai suatu kesalahan. Karena, normativisasi hukum tidak cukup hanya sekedar memuat perintah dan larangan.

8 Ibid, hal.17

(27)

27

Dibalik larangan, terutamanya harus ada ketentuan sanksi atas ketidakpatuhan. sanksi hukum sampai saat ini masih merupakan alat yang paling ampuh untuk menjaga wibawa hukum atau dengan kata lain agar setiap orang patuh terhadap hukum. Ketidakpatuhan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara untuk melaksanakan putusan

Pengadilan Tata Usaha Negara sedikit banyak dapat

mempengaruhi kewibawaan Pengadilan, pelecehan

terhadap Peradilan, dan bukan mustahil jika ketidakpatuhan itu terjadi berulang-ulang, maka masyarakat semakin tidak percaya kepada Pengadilan

Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti lebih lanjut mengapa putusan dari Peradilan Tata Usaha Negara tersebut tidak dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan padahal dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Pasal 116 terkhususnya ayat (3) sampai ayat (6), yang berbunyi :

(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat

(28)

28

(9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), agar Pengadilan

memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan

Pengadilan tersebut.

(4) Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.

(5) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6) Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua

(29)

29

Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

Dari ayat (3) sampai ayat (6) telah menjelaskan jika Pejabat Tata Usaha Negara tidak melaksanakan putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara maka akan diberikan sanksi, namun mengapa masih saja kita temui banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang belum dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara dan bagaimana sanksi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, jika Pejabat Tata Usaha Negara tidak mau mengeksekusi putusan tersebut.

Pertanyaan diatas akan dikaji lebih mendalam oleh penulis untuk mendapatkan suatu jawaban di dalam masalah tersebut.

(30)

30

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

 Apa persoalan hukum yang terjadi didalam proses

penerapan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha

Negara pada studi kasus putusan Nomor

20/G/2013/PTUN-KPG ?

C. Tujuan Penelitian

Berikut tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan laporan penelitian ini. Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan problematika hukum terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 20/G/2013/PTUN-KPG tidak dapat dieksekusi oleh Pejabat Tata Usaha Negara.

2. Memberikan solusi guna mengatasi masalah-masalah didalam pelaksanaan putusan hakim Peradilan Tata Usaha Negara.

(31)

31

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah yang dianalisis, maka hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat berikut:

1. Manfaat Teoretis

Adapun hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dalam rangka penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara yang dianggap masih memiliki kekurangan. Dengan bahan hukum yang terkumpul, manfaat lain yang diharapkan yakni dapat dipergunakan sebagai pengembangan ilmu hukum, khususnya Hukum Tata Negara.

2. Manfaat Praktis Bagi Penulis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan

pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk tindakan eksekusi hukum Tata Negara dari suatu putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.

(32)

32

E. Metode Penelitian

a. Tipe Penelitian Deskriptif dengan Pendekatan Normatif

Menurut Maria S.W. Sumardjono, penelitian

merupakan suatu proses penentuan kebenaran yang dijabarkan dalam bentuk kegiatan yang sistematis yang terencana dengan dilandasi oleh metode ilmiah. Seluruh proses penelitian merupakan kegiatan terkait. Ada suatu benang merah yang dapat ditarik berawal dari pemilihan judul serta perumusan masalah yang harus sinkron dengan

tujuan penelitian. Dengan tinjauan pustaka yang

dikemukakan, dapat dilihat kerangka berpikir yang berhubungan dan menunjang penelitian. Kerangka berpikir ini dapat diwujudkan tanpa merinci cara-cara melakukan penelitian yang menerangkan tentang dari mana serta bagaimana cara data diperoleh, variabel apa saja yang menjadi fokus penelitian, serta bagaimana data yang

(33)

33

terkumpul akan dianalisis untuk dapat menjawab masalah penelitian9.

Dengan demikian inti dari pada metodologi dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang cara bagaimana suatu penelitian hukum harus dilakukan. Disini penulis menentukan metode apa yang akan digunakan, spesifikasi/tipe penelitian yang dilakukan, metode populasi dan sampling, bagaimana pengumpulan data akan dilakukan dan analisa data yang dipergunakan.

Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Metode Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka atau data sekuder, sedangkan data sekunder adalah data yang siap digunakan di dalam acuan penelitian.

b. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipergunakan, adalah berupa penelitian deskriptif-analitis. Deskriptif penelitian

9 Nawawi Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada

(34)

34

ini, terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya, sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada memberikan gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki.

Istilah analitis mengandung makna mengelompokkan, menghubungkan dan membandingkan data-data yang diperoleh baik dari segi teori maupun dari segi praktek. Penelitian terhadap teori dan praktek, adalah untuk memperoleh gambaran tentang faktor pendukung dan faktor penghambatnya. Spesifikasi penelitian yang bersifat analitis, bertujuan melukiskan kenyataan-kenyataan yang ada atau realitas sosial dan menggambarkan obyek yang menjadi pokok permasalahan.

(35)

35

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan oleh penulis adalah : 1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum utama berupa peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan dasar hukum yang terdiri dari :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009,Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(36)

36

e. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia

f. Putusan Pengadilan Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG

Tentang pembayaran gaji oleh Bupati Rote Ndao sebagai Tergugat kepada Silvester Wangur sebagai penggugat

2. Bahan Hukum Sekunder

Semua publikasi tentang hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti pendapat para ahli, hasil penelitian, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum.

3. Bahan Hukum Tersier,

Bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penejlasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus lengkap bahasa Indonesia.

(37)
(38)

Gambar

Tabel 1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Kupang  Nomor : 20/G/2013/PTUN-KPG

Referensi

Dokumen terkait

panjang 20x12 meter persegi, sawah seluas satu petak dan kapal atau bagan. g) Nur sebagai anak perempuan memperoleh tanah dengan panjang 20x14 meter persegi, sawah satu

13 Rumah Zakat adalah sebuah Lembaga Amil Zakat Nasional yang memfokuskan pada pengelolaan zakat, infaq, shodaqoh dan wakaf secara lebih profesional dengan

Analisis kesenjangan tabungan dan investasi mengemukakan bahwa modal asing diperlukan sebagai pelengkap atas kekurangan tabungan domestik dan akan dapat meningkatkan output, Q =

Bab ketiga berisi tentang data lapangan yang terdiri dari profil Kota Madiun secara umum, latar belakang pembentukan peraturan larangan memberi

1) Partisipasi (Participation): Setiap orang atau warga masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik

Aplikasi – aplikasi yang akan dipasang pada Sistem Operasi Fedora Core adalah: • Apache Web Server : Apache Web Server merupakan program untuk.. menjalankan web dalam

Peran istri dalam membantu suami mencari nafkah menjadikan istri melakukan peran ganda dalam rumah tangganya.Kontribusi istri nelayan terhadap pendapatan rumah tangga

Hafizurahman (2012) menyatakan bahwa kemampuan perawat merupakan variabel terbesar yang mempengaruhi kinerja perawat (83,6%) Begitu juga dengan beberapa hasil