BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
3.1 Kerangka Konseptual
Berdasarkan latar belakang sebelumnya, rumusan masalah dan untuk
tercapainya penelitian ini dengan didukung tinjuan teoritis dan tinjauan peneliti
terdahulu, maka secara skematis kerangka konseptual dalam penelitian ini
digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen (X)
Variabel Dependen (Y)
Gambar 3.1 Kerangka Konseptual
Koordinasi Eksekutif dan Legislatif
(X1)
Keterlambatan Penetapan APBD (Y)
Kompetensi Eksekutif dan Legislatif (X2)
Peraturan Perundangundangan(X5) Sanksi atas Keterlambatan
Penetapan APBD
(X4)
Dalam kerangka konsep perlu dijelaskan secara teoritis antara variabel
independen dan variabel dependen, kerangka konsep penelitian merupakan
gambaran ringkas, lugas dan bernas mengenai keterkaitan satu konsep dengan
konsep lainnya yang akan diteliti atau menggambarkan pengaruh atau hubungan
antara satu kejadian/fenomena dengan kejadian/fenomena lainnya. Kerangka
konsep dijabarkan dalam bentuk bagan, dengan substansi dalam bagan tersebut
harus ditulis secara ringkas, bernas dan lugas. Isi kerangka konsep minimal
adalah nama konsep dan variabel (khususnya variabel independent) sebagai
ukuran konsep, dan jenis keterkaitan antar konsep tersebut (Lubis, 2012).
Dari gambar 3.1 kerangka konseptual tersebut di atas terlihat bahwa variabel
dependen (variabel Y), yaitu keterlambatan penetapan APBD diperkirakan
dipengaruhi oleh beberapa variabel independen (variabel X), yaitu koordinasi
eksekutif dan legislatif (X1), kompetensi eksekutif dan legislatif (X2), kepentingan
eksekutif dan legislatif (X3), sanksi atas keterlambatan penetapan APBD (X4) dan
peraturan perundangundangan (X5
1. Semakin baik koordinasi eksekutif dan legislatif, maka semakin besar
kemungkinan keterlambatan penetapan APBD tidak akan terjadi, ) sebagai berikut :
2. Semakin tinggi kompetensi yang dimiliki eksekutif dan legislatif dibidang
akuntansi, keuangan daerah dan penganggaran, maka semakin besar kemungkinan
keterlambatan penetapan APBD tidak akan terjadi,
3. Semakin tinggi sikap mengutamakan kepentingan masing-masing eksekutif dan
legislatif, maka semakin kecil kemungkinan keterlambatan penetapan APBD tidak
akan terjadi,
4. Semakin berat sanksi atas ketelambatan penetapan APBD, maka semakin besar
5. Dengan adanya peraturan perundangundangan yang mengatur tentang penyusunan
dan penetapan APBD setiap tahun, maka penetapan APBD tidak akan mengalami
keterlambatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti akan melakukan penelitian
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan penetapan
APBD, dimana yang akan diteliti adalah pengaruh koordinasi eksekutif
dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan
legislatif, dan sanksi dan peraturan perundangundangan terhadap keterlambatan
penetapan APBD di Kabupaten Labuhanbatu
3.2. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini dikembangkan berdasarkan penelitian sebelumnya dan
pengamatan dari peneliti selama bekerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Labuhanbatu. Memang masih sangat langka orang yang melakukan penelitian tentang
keterlambatan penetapan APBD. Sebagai jawaban sementara dari masalah atau
pertanyaan yang memerlukan pengujian empiris, maka peneliti mengemukakan
hipotesis tentang koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan
legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi dan peraturan
perundangundangan berpengaruh terhadap keterlambatan penetapan APBD
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kausal yang
bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel independen terhadap variabel
dependen. Desain kausal berguna untuk menganalisis hubungan-hubungan antara
satu variabel dengan variabel lainnya atau bagaimana suatu variabel
mempengaruhi variabel lainnya. variabel independen (X) dalam penelitian ini
adalah koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif,
kepentingan eksekutif dan legislatif, dan sanksi yang tidak tegas dan peraturan
perundangundangan untuk kemudian diuji dan dianalisis pengaruhnya terhadap
keterlambatan penetapan APBD (Y) sebagai variabel dependen dalam penelitian ini.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini di lakukan pada pemerintahan Kabupaten
Labuhanbatu. Waktu penelitian direncanakan mulai bulan februari 2016 sampai
dengan agustus 2016.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat langsung dalam
proses penyusunan APBD, yaitu TAPD, Kepala SKPD dan DPRD dengan
jumlah 95 orang yang terdiri dari :
1. Tim APBD Pemerintah Daerah (TAPD) Tahun Anggaran 2016 sebanyak 18 orang,
2. Kepala Dinas/Badan/Kantor Kabupaten Labuhanbatu yang masih aktif
3. Anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu periode 2014 s/d 2019 sebanyak 45
orang
Peneliti akan menggunakan seluruh populasi sebagai subjek penelitian, bila
peneliti ingin meneliti seluruh elemen yang ada dalam wilayah penelitiannya,
maka penelitian tersebut merupakan penelitian populasi, yang disebut juga studi
sensus (Lubis, 2012)
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi
pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data. Sumber data dalam
penelitian ini adalah data primer. Indriantoro dan Supomo (2002) menyebutkan
data primer merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung
dari sumber asli. Untuk mendapatkan data dari responden digunakan instrument
penelitian berupa kuesioner yang akan diantar sendiri oleh peneliti sebanyak 95
kuesioner dan ditunggu selama 20 hari.
Kuesioner pada penelitian ini menggunakan skala ukur interval. Dimana
skala interval merupakan skala pengukuran yang menyatakan peringkat dan jarak
konstruk dari yang diukur. Menurut Sugiyono (2012) skala pengukuran dengan
menggunakan skala interval akan menghasilkan data kuantitatif, sehingga nilai
variabel yang diukur dengan instrumen dapat dinyatakan dalam bentuk angka
sehingga akan lebih akurat.
Pengukuran skala interval ini menggunakan skala sikap Likert . Skala Likert
sikap responden dalam merespon pernyataan berkaitan dengan indikator suatu
konsep atau variabel yang sedang diukur.
4.5 Definisi Operasional dan Metode Pengukuran Variabel
Variabel dependen adalah variabel yang dijelaskan atau yang dipengaruhi
oleh variabel independen. Variabel independen (X) dalam penelitian ini adalah
keterlambatan penetapan APBD (Y) didefinisikan sebagai tingkat ketidaksesuaian
waktu penetapan APBD yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan kalender
penetapan APBD yang telah ditetapkan dalam peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah dengan peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun
2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pengukuran variabel
keterlambatan penetapan APBD menggunakan instrumen kuesioner dengan skala
5 poin untuk menunjukkan ketidaksesuaian waktu penetapan APBD yaitu
memberikan nilai pada setiap kelebihan jarak waktu yang terjadi dengan
ketentuan yang seharusnya. Kuesioner ini dirancang sendiri oleh peneliti yang
mengacu pada tahapan penyusunan APBD sesuai dengan peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah dengan peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Variabel independen adalah variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi
variabel yang lain. Variabel independen (X) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah :
1. Koordinasi eksekutif dan legislatif (X1), didefenisikan sebagai tingkat
yang meliputi bagaimana kedua pihak dapat saling memahami tugas pokok
dan fungsi masing-masing yang harus dilakukan dengan penuh
tanggungjawab agar dapat mencapai tujuan bersama secara efisien, efektif
dan ekonomis untuk kesejahteraan daerah kabupaten labuhanbatu. Untuk
mengukur variabel koordinasi antara eksekutif dan legislatif ini digunakan
skala 5 poin. Kuisioner ini didesain dengan mengadopsi dari penelitian
Subechan, dkk (2014)
2. Kompetensi eksekutif dan legislatif (X2
3. Kepentingan eksekutif dan legislatif (X
) didefinisikan bagaimana eksekutif
dan legislatif dalam memahami teknis penganggaran. Kuisioner ini melihat
juga latar belakang pendidikan menunjukkan kemampuan dan bidang ilmu yang
dikuasai oleh seseorang selama menempuh jalur pendidikan formal. Bidang ilmu
yang dikuasai oleh pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD
hendaknya sejalan dengan kegiatan penganggaran. Oleh karena itu, anggota dari
organisasi sektor publik khususnya yang terlibat dalam penyusunan APBD
hendaknya memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem penyusunan
anggaran. Selain itu pendidikan dan pelatihan yang diiukuti memperlihatkan pula
kompetensi dan pemahaman yang dimiliki sumber daya manusia dalam
pelaksanaan suatu kegiatan. Untuk mengukur variabel kompetensi eksekutif
dan legislatif ini digunakan skala 5 poin Kuisioner ini didesain dengan
mengadopsi dari penelitian Subechan, dkk (2014)
3) didefinisikan bagaimana keinginan
masing – masing pihak, eksekutif dan legislatif untuk lebih mengutamakan
kepentingan masing – masing. pihak eksekutif dengan hasil musrembangnya
eksekutif dan legislatif ini digunakan skala 5 poin. Kuesioner ini didesain
dengan mengadopsi dari penelitian Subechan, dkk (2014) perihal kepentingan
eksekutif dan legislatif.
4. Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD (X4
5. Peraturan Perundangundangan (X
) didefenisikan sebagai
konsekuensi yang dapat memberikan efek jera secara langsung bagi
pemerintah daerah dan juga anggota DPRD yang terlambat menetapkan
APBD sesuai dengan peraturan perundangundangan, Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 56 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP Nomor 65 Tahun
2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah menyebutkan sanksi bagi
daerah yang terlambat dalam menetapkan APBD adalah pemotongan Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk mengukur
variabel ini digunakan skala 5 poin. Kuesioner ini dirancang sendiri oleh
peneliti yang mengacu PP Nomor 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi
Keuangan Daerah UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
5) didefenisikan sebagai sekumpulan
peraturan perundangundangan yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan
kementeriaan terkait sebagai pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam
menyusun APBDnya. Peraturan-peraturan tersebut meliputi Perturan Menteri
Dalam Negeri yang terbit setiap tahun dan peraturan- peraturan terkait dana
dari Pemerintah Pusat seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan
Daerah Bawahan (BDB). Untuk mengukur variabel ini digunakan skala 5
poin. Kuesioner variabel ini didesain dengan mengadopsi dari penelitian
Berdasarkan uraian tersebut maka definisi operasional dan pengukuran
variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.1. Definisi Operasional Variabel Nama
Variabel Definisi Operasional Indikator
Skala Pengukuran
Keterlambatan Penetapan APBD
Ketidaksesuaian waktu penetapan APBD yang telah melebihi batas waktu penetapan APBD yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang undangan.
1. Persetujuan KUA –PPAS oleh DPRD
2. Penyampaian Surat Edaran Kepala Daerah tentang pedoman, penyusunan RKA SKPD
3. Persetujuan atas Ranperda APBD kepada oleh DPRD,
4. Penetapan Perda APBD
Koordinasi yang terjadi diantara Pemerintah Daerah, TAPD (eksekutif) dengan Anggota DPRD, Banggar (legislatif) yang diwujudkan dalam komunikasi, sinergi dan integrasi diantara kedua belah pihak dalam hal penetapan
APBD Kabupaten Labuhanbatu.
1. Koordinasi 2. Komunikasi,
3. Tingkat kehadiran pada saat pembahasan KUA-PPAS, RAPBD
4. Dinamika Politik
Interval teknis penyusunan anggaran yang dimiliki masing-masing pihak baik Pemerintah Daerah, TAPD (eksekutif) maupun Anggota DPRD, Banggar (legislatif)
1. Pemahaman di bidang Keuangan Daerah dan Penganggaran
2. Latarbelakang pendidikan
3. Keikutsertaan dalam bimtek/pelatihan bidang dibawa oleh eksekutif dan legislatif yang akan ditampung dalam APBD
1. Kepentingan eksekutif 2. Kepentingan legislatif
Interval
Sanksi Atas Keterlambatan
Penetapan APBD
Penerapan sanksi secara efektif dan konsisten atas ketidakmampuan dalam menetapakan APBD sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan undang undang.
1. Pemotongan DAK
2. Penundaan pembayaran DAU
3. Penundaan pembayaran tunjangan kepala daerah dan anggota DPRD
Interval
Peraturan Perundang Undangan
Peraturan Perundangundangan yang dijadikan Pedoman dalam Penyusunan APBD
1. Perubahan Pedoman
Penyusunan APBD
2. Perubahan nilai Dana Dekonsentrasi
4.6 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan pada 30
(tiga puluh) mahasiswa magister S-2 Akuntansi Universitas Sumatera Utara
(Program Beasiswa Star BPKP), mahasiwa tersebut merupakan pegawai negeri
sipil dengan latar belakang bidang keuangan dan aparatur pengendalian intern
pemerintah.
4.6.1 Pengujian Validitas
Pengujian validitas digunakan untuk menguji apakah instrumen yang
dipakai cukup layak digunakan sehingga mampu menghasilkan data yang akurat
sesuai dengan tujuan pengukurannya. Menurut Ghozali (2013) menyatakan
bahwa pengukuran validitas dapat dilakukan dengan korelasi bivariate antara
masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk. Perhitungan korelasi
bivariate masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk dengan
menggunakan perangkat lunak SPSS.
Teknik pengujian validitas dengan menggunakan tingkat signifikan 5%
untuk mengetahui keeratan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan
cara mengkorelasikan antara skor ítem pertanyaan terhadap skor total. Menurut
Sugiyono (2012), jika nilai validitas Corrected Item Total Correlation setiap
pertanyaan lebih besar dari r tabel maka butir pertanyaan dianggap sudah valid
tetapi jika berada dibawah r tabel maka item pertanyaan tersebut tidak lagi
4.6.2 Pengujian Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh hasil pengukuran
tetap konsisten apabila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala
yang sama dengan menggunakan alat pengukur yang sama. Suatu kuesioner
dikatakan reliabel atau handal jika jawaban responden atas pertanyaan tetap
konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Uji reliabilitas ditentukan dengan
menggunakan koefisien cronbach alpha, kemudian dilakukan pengukuran dengan
menggunakan software SPSS. Hasil yang diperoleh dari SPSS, angka cronbach
alpha dibandingkan dengan angka ketentuan batas reliabilitas. Jika angka
cronbach alpha > 0,60, maka pernyataan diatas signifikan yang berarti bahwa
pernyataan tersebut reliabel.
4.7 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah regresi
linier berganda (multiple linier regression method) dengan pengolahan data
melalui SPSS (Statistical Package for Social Science). Dengan demikian model
analisis adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3+ b4X4 + b5X5
Dimana :
+ e
Y = Keterlambatan Penetapan APBD
a = Konstanta
b1 - b5
X
= Koefisien regresi dari SPSS
1
X
= Koordinasi eksekutif dan legislatif
X3
X
= Kepentingan eksekutif dan legslatif
4
X
= Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD
5
e = error
= Peraturan Perundangundangan.
Parameter persamaan regresi linier berganda tersebut dapat menunjukkan
koefisien regresi atas setiap variabel bebas (independent variable), positif atau
negatif. Koefisien regresi b akan bernilai positif jika menunjukkan hubungan
searah anatar variabel bebas (independent variable) dengan variabel terikat
(dependent variable). Artinya kenaikan variabel bebas akan mengakibatkan
kenaikan variabel terikat dan sebaliknya, penurunan variabel bebas akan
menurunkan variabel terikat. Koefisien regresi b akan bernilai negatif jika
menunjukkan hubungan yang berlawanan arah antara variabel bebas dengan
variabel terikat. Artinya kenaikan variabel bebas akan mengakibatkan penurunan
variabel terikat dan sebaliknya, penurunan variabel bebas akan menaikkan
variabel terikat.
4.7.1 Uji asumsi klasik
Suatu model regresi dikatakan tidak mengandung masalah apabila data
yang digunakan dalam suatu penelitian terbebas dari asumsi klasik. Uji asumsi
klasik dalam penelitian ini meliputi uji normalitas, uji multikolinieritas dan uji
heterokedastisitas.
4.7.1.1Uji normalitas
Uji normalitas pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan uji
Kolmogrov-Smirnov (K-S), dimana jika angka signifikansi yang lebih kecil dari
sedangkan sebaliknya apabila angka singnifikansi lebih besar dari alpha 5% maka
data telah memenuhi uji normalitas (Ghozali, 2013). Cara untuk melihat
normalitas residual adalah melalui analisis statistik yakni dengan melihat uji
statistik Non-Parametrik Kolmogrov-Smirnov (K-S). Apabila hasil atau nilai
Kolmogrov-Smirnov (K-S) dan nilai Asymp.sig (2-tailed) atau probabilitasnya di
atas 0,05, maka data telah memenuhi asumsi normalitas.
4.7.1.2 Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah data ditemukan
korelasi diantara variabel bebas (independet variabel). Jika terjadi korelasi maka
terdapat masalah multikolinieritas. Pada model regresi yang baik tidak terjadi
korelasi di antara variabel bebasnya. Gejala ini dapat dideteksi dengan nilai
Tolerance dan nilai Variance Influence Factor (VIF). Nilai Tolerance rendah
sama dengan nilai VIF tinggi (VIF = 1/Tolerance). Nilai Cut off atau batas yang
umum dipakai untuk menunjukkan adanya multikolinieritas adalah nilai
Tolerance < 0,10 , atau sama dengan nilai VIF = 0,10. Setiap peneliti harus dapat
menentukan tingkat kolinieritas yang masih dapat ditolerir. Sebagai nilai
Tolerance = 0,10 sama dengan tingkat kolinieritas 0,90 (Ghozali, 2013).
4.7.1.3 Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam sebuah
variabel model regresi terjadi ketidaksamaan dari residual suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Jika varians dari residual tetap, maka disebut
regresi yang baik adalah tidak terjadi heteroskedastisitas yang dapat dilakukan
dengan menggunakan uji Glejser dan grafik plot. Uji Glejser dapat dilihat jika
variabel independen singnifikan dibawah 5% secara statistik, maka di indikasikan
terjadinya heteroskedastisitas. Jika probabilitas signifikannya diatas tingkat
kepercayaan 5% maka model regresi tidak terjadi heteroskedastisitas. (Ghozali,
2013).
cara lain untuk menguji terjadi atau tidaknya heteroskedastisitas adalah
dengan melihat scatter plot, adalah sebagai berikut:
1. Jika ada pola tertentu seperti titik yang ada membentuk pola teratur, maka
telah terjadi heteroskedastisitas,
2. Jika tidak ada pola yang jelas, titik meyebar di atas dan dibawah angkas 0
(nol) maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
4.8 Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis secara parsial dilakukan dengan uji t. Pengujian uji t sig
yaitu dengan melihat tingkat pengaruh yang signifikan yang didasarkan pada
ρ value < α = 5%. Atau melihat nilai t hitung harus lebih besar dari t tabel.
Sebaliknya jika t hitung < dari t tabel maka pengaruh yang terjadi tidak
signifikan. Sedangkan untuk menguji ada tidaknya pengaruh dari variabel bebas
secara menyeluruh/ simultan terhadap variabel terikat dilakukan dengan uji F sig.
Uji ini menggunakan ρ value < α = 5%. Dengan ketentuan, jika F hitung > dari F
tabel maka hipotesis yang diajukan dapat diterima atau dapat dinilai berdasarkan
hasil uji hipotesis yang ditunjukkan oleh tabel koefisien pada kolom signifikansi,
yang menunjukkan nilai < α = 5%. Penggujian hipotesis menggunakan aplikasi
4.8.1 Uji Simultan (Uji Statistik F).
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui signifikansi dari seluruh variabel
bebas secara simultan terhadap variabel terikat adalah:
H0 : bi = 0
H
(koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan
legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi dan peraturan
perundangundangan tidak berpengaruh terhadap Keterlambatan
Penetapan APBD),
1 : bi,
Uji F sig digunakan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh simultan
variabel-variabel independen terhadap variabel dependen. Kriteria pengujian yang
digunakan adalah jika probability value p value < 0,05 maka H
≠ 0 (koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan
legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi dan peraturan
perundangundangan berpengaruh terhadap Keterlambatan Penetapan
APBD).
1 diterima dan jika
p value > 0,05 maka H1 ditolak. Uji F dapat pula dilakukan dengan
membandingkan nilai F hitung dan F tabel. Jika F hitung > F tabel, maka H1
diterima. Artinya secara statistik data variabel independen (X) berpengaruh
terhadap variabel dependen (Y). Jika F hitung < F tabel, maka H1
Jika : sig ≤ α maka H
ditolak. Artinya
secara statistik data yang ada dapat membuktikan bahwa semua variabel
independen (X) tidak berpengaruh terhadap variabel dependen (Y). Kriteria yang
digunakan dalam pengambilan keputusan untuk penelitian ini adalah pengujian
Uji F sig :
0
sig > α maka H
ditolak
4.8.2 Uji Parsial (Uji Statistik t)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen
secara parsial terhadap variabel dependen. Hipotesis yang akan diuji penelitian ini
adalah sebagai berikut:
H0 : bi =
H
0 (koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan
legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas
keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan
tidak berpengaruh terhadap keterlambatan Penetapan APBD)
1 : bi ≠
Uji t digunakan untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen. Kriteria pengujian yang digunakan
adalah jika p value < 0,05 maka H1 diterima dan jika p value > 0,05 maka H 0 (koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan
legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas
keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan
berpengaruh terhadap keterlambatan Penetapan APBD).
1
ditolak. Uji t dapat juga dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel
yang dilakukan dengan ketentuan yaitu apabila t hitung > t tabel (α = 0,05) maka
H1 diterima dan H0 ditolak, apabila t hitung < t tabel (α = 0,05) maka H0
diterima dan H1
Jika : sig ≤ α maka H
ditolak. Kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan
untuk penelitian ini adalah pengujian Uji t sig:
0
sig > α maka H
ditolak
4.8.3 Uji R Squared (R2
Nilai R Squared (R
)
2
) mengukur tingkat bagaimana model dapat dijelaskan
dengan baik. Uji ini dilakukan untuk melihat sejauh mana variasi variabel terikat
mampu dijelaskan oleh variabel bebasnya. Nilai R2 merupakan fraksi dari variasi
yang mampu dijelaskan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat. Nilai R2
terletak antara 0 -1. Semakin mendekati 1 maka model semakin baik. Adjusted R2
adalah koefisien determinasi yaitu koefisien yang menjelaskan seberapa besar
proporsi variasi dalam dependen yang dapat dijelaskan oleh variabel-variabel
independen secara bersama-sama. Adjusted R2 secara umum mampu memberikan
hukuman terhadap penambahan variabel bebas yang tidak mampu menambah
daya prediksi suatu model. Nilai Adjusted R2 tidak pernah lebih besar dari R2,
bahkan dapat turun jika memasukkan variabel yang tidak perlu kedalam model.
Adjusted R2 terletak antara 0-1, semakin mendekati 1 semakin baik karena berarti
variabel independen yang digunakan mampu menjelaskan hampir 100% dari
BAB V
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Data Penelitian
Jumlah kuesioner yang disebar kepada responden adalah sebanyak 95
kuesioner. Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, kuesioner yang disebar
dikutip kembali. Dari 95 kuesioner yang disebar, jumlah yang dikembalikan
adalah 66 kuesioner dan sisanya sebanyak 29 kuesioner tidak dikembalikan. untuk
rinciannya dapat dilihat pada Tabel 5.1.di bawah ini:
Tabel 5.1.Distribusi dan Realisasi Kuesioner yang diterima
No Uraian Sebar Kembali Tidak
kembali Baik Rusak
1 Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) 18 10 - 8
2 Kepala/Dinas/Badan/Kantor
Kabupaten Labuhanbatu 32 24 - 8
3 Anggota DPRD Kab.
Labuhanbatu Periode 2015-2019
45 32 13
Jumlah 95 66 29
5.1.1. Deskripsi lokasi
Lokasi penelitian ini adalah di lingkungan Pemerintah Kabupaten
Labuhanbatu yang ditetapkan secara resmi pada tanggal 17 Oktober 1945 dan
dijalankan oleh Komite Nasional Daerah Labuhanbatu. Selanjutnya pada tanggal
24 Juni 2008 Kabupaten Labuhanbatu mengalami pemekaran wilayah menjadi 3
Kabupaten yaitu Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan
Kabupaten Labuhanbatu Utara.
Kabupaten Labuhanbatu adalah salah satu daerah yang berada di kawasan
pada 1041’ – 2044’ Lintang Utara, 99033’ – 1000
Dari hasil pemilu 2015, ada 45 orang wakil rakyat dari 12 partai yang
duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Labuhanbatu, dimana yang terbanyak
berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Partai Demokrat masing-masing sebanyak 6 orang
sebagaimana ditampilkan dalam tabel 5.2
22’ Bujur Timur dengan
ketinggian 0 sampai dengan 700 meter diatas permukaan laut. Kabupaten ini
menempati area seluas 2.561,38 Km2 yang terbagi menjadi 9 Kecamatan dan 98
desa/kelurahan definitif. Area Kabupaten Labuhanbatu di sebelah utara berbatasan
dengan Selat Malaka dan Kabupaten Labuhanbatu Utara, di sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Padang Lawas Utara, di
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Labuhanbatu Utara, dan di sebelah
timur berbatasan dengan Provinsi Riau.
Tabel. 5.2
Jumlah Anggota DPRD Menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin Kabupaten Labuhanbatu Periode 2015-2019
Partai Politik
Jenis Kelamin
Total Persentase
(%)
Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
1. P. Golongan Karya 1 4 5 11,11
2. P. Persatuan Pembangunan 4 2 6 13,33
3. P. Demokrasi Indonesia P 6 - 6 13,33
Tabel. 5.2 (lanjutan)
Jumlah Anggota DPRD Menurut Partai Politik dan Jenis Kelamin Kabupaten Labuhanbatu Periode 2015-2019
Partai Politik
Jenis Kelamin
Total
Persentase (%) Laki-laki Perempuan
(1) (2) (3) (4) (5)
Sumber : DPRD Kabupaten Labuhanbatu
5.1.2. Karakteristik responden
Berdasarkan data penelitian yang telah dikumpulkan, diperoleh data
demografi responden penelitian yang terdiri dari: (1) tingkat pendidikan, (2)
bidang pendidikan, Tabel 5.3.sampai dengan Tabel 5.4. menyajikan ringkasan
demografi responden.
Tabel 5.3.Tingkat Pendidikan Responden
No. Tingkat
Pendidikan Frekuensi Persentase
1 SMA/Sederajat 2 3,0 %
Tabel 5.3. menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden didominasi
oleh S1.Jumlah responden yang memiliki pendidikan di bawah S1 hanya ada 5
orang (7,5%) sedangkan yang memiliki tingkat pendidikan S2 ada sebanyak 7
(57,6%) dan S2 sebanyak 7 orang (10,6%).
Tabel 5.4. Bidang Pendidikan Responden
Bidang Pendidikan Frekuensi Persentase
Agama 1 1,5
Ekonomi Akuntansi 4 6,1
Ekonomi & Pemerintahan 1 1,5
Hukum 8 12,1
Kedokteran 1 1,5
Kedokteran & Kesehatan 1 1,5
Kesehatan Masyarakat 1 1,5
Pemerintahan 1 1,5
Pendidikan 4 6,1
Pertanian 7 10,6
Psikologi 2 3,0
Sosial Politik 3 4,5
Tehnik 8 12,1
Tidak mencantumkan 24 36,4
Total 66 100,0
Sumber : hasil penelitian, 2016 (data diolah)
Tabel 5.4. menunjukkan bahwa bidang pendidikan responden yang berlatar
belakang pendidikan ekonomi hanya sebanyak 4 orang (6,1%). Hal ini
menggambarkan rendahnya jumlah pihak-pihak yang bertanggung jawab atas
penyusunan dan penetapan APBD yang berlatarbelakang pendidikan ekonomi
akuntansi, sedangkan sisanya adalah responden yang berlatar belakang pendidikan
Tehnik, yaitu 8 orang (12,1%), hukum sebanyak 8 orang (12,1), pendidikan 4
orang (6,1%) sisanya sebanyak 24 orang (36,40%) responden yang tidak mengisi
bidang pendidikan. Tingginya jumlah responden yang tidak mengisi bidang
pendidikan karena adanya keengganan atau ketidaksediaan responden untuk
5.2. Statistik Deskriptif
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, statistik deskriptif yang
diperoleh adalah sebagai berikut:
Tabel 5.5. Besaran Statistik Deskriptif
N Min Max Mean Std.
Deviation Koordinasi Eksekutif dan
Legislatif 66 2.00 4.17 3.4377 .56597
Kompetensi Eksekutif dan
Legislatif 66 2.00 4.67 3.4591 .68169
Kepentingan Eksekutif dan
Legislatif 66 2.00 4.67 3.1823 .75900
Sanksi atas keterlambatan
penetapan APBD 66 2.00 4.00 3.2774 .55980
Peraturan Perundangundangan 66 2.00 4.75 2.9697 .63324 Keterlambatan penetapan APBD 66 2.00 4.63 3.3991 .62286
5.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Jenis data penelitian adalah data primer. Karena itu sebelum melakukan
pengujian data, baik untuk deskripsi data penelitian maupun untuk pengujian
asumsi klasik dan pengujian hipotesis, perlu dilakukan uji validitas dan uji
reabilitas data. Pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan
pada 30 (tiga puluh) mahasiswa magister S-2 Akuntansi Universitas Sumatera
Utara (Program Beasiswa Star BPKP), mahasiwa tersebut merupakan pegawai
negeri sipil dengan latar belakang bidang keuangan dan aparatur pengendalian
intern pemerintah.
5.3.1.Uji validitas
Uji validitas instrumen dilakukan dengan menggunakan software SPSS.
Hasil pengujian nilai validitas dari setiap instrumen yang dapat dilihat pada kolom
Corrected Item-Total Correlation. Ghozali (2013) menyatakan bahwa jika nilai
korelasi yang diperoleh lebih besar dari pada nilai kritis (r hitung > r tabel),
instrumen tersebut dikatakan valid. Jumlah responden yang digunakan untuk uji
validitas adalah sebanyak 30 orang, dengan nilai df (degree of freedom) = n-2, n
merupakan jumlah responden uji validitas, maka df untuk penelitian ini adalah 28,
dengan taraf signifikansi 5 % maka diperoleh nilai r tabelnya sebesar 0,361.
Berdasarkan hasil uji validitas yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa semua
item pertanyaan pada variabel independen dan variabel dependen adalah valid
Tabel 5.6. Besaran Statistik Hasil Uji Validitas Variabel
Variabel Butir
Instrumen
5.3.2.Uji reliabilitas
Setelah dilakukan uji validitas, tahap selanjutnya adalah melakukan uji
reliabilitas data yaitu untuk menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat
dipercaya. Uji reliabilitas dapat diketahui dengan melihat nilai cronbach’s alpha,
dimana kriteria reliabelnya instrumen jika koefisien reliabilitasnya minimal 0,6
menunjukkan bahwa nilai cronbach’s alpha untuk semua variabel lebih besar dari
0,6. Hal ini menunjukkan bahwa kuesioner penelitian ini reliabel.
Tabel 5.7 Besaran Statistik Hasil Uji Reliabilitas Variabel
Variabel Cronbach
Alpha
Batas
Reliabilitas Ket
Keterlambatan penetapan
APBD(Y) 0,900 0,6 Reliabel
Koordinasi Eksekutif dan Legislatif(X
1) 0,824 0,6 Reliabel
Kompetensi Eksekutif dan Legislatif(X
2) 0,853 0,6 Reliabel
Kepentingan Eksekutif dan Legislatif(X
3) 0,949 0,6 Reliabel
Sanksi atas Keterlambatan Penetapan APBD (X
Sumber : sesuai lampiran 5
5.4. Uji Asumsi Klasik
Model regresi linier berganda (multiple regression analysis) dapat disebut
sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi asumsi yang disebut
dengan asumsi klasik. Pengujian hanya dilakukan dengan regresi berganda yaitu
analisis pengaruh koordinasi eksekutif dan legislatif (X1), kompetensi eksekutif
dan legislatif (X2), kepentingan eksekutif dan legislatif (X3), sanksi atas
keterlambatan penetapan APBD (X4) dan peraturan perundangundangan (X5
5.4.1.Uji normalitas
)
terhadap keterlambatan penetapan APBD (Y)
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi,
sehingga dapat dilihat normal tidaknya data yang akan dianalisis. Uji normalitas
dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 cara, yaitu analisis statistik dengan
menggunakan uji non parametrik Kolmogorov-Smirnov dan analisis grafik
dengan melihat grafik histogram dan grafik normal plot.
1. Uji Analisis analisis statistik dengan menggunakan uji non-parametrik
Kolmogorov-Smirnov
Ghozali (2013), menyatakan bahwa jika nilai probabilitas asymp.sig
(2-tailed) pada uji Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari 0,05 maka dapat dinyatakan
bahwa data berdistribusi normal.Sebaliknya jika probabilitas asymp.sig (2-tailed)
lebih kecil dari 0,05, dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi tidak normal.
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa nilai Kolmogorov-Smirnovadalah sebesar 0,092
dengan tingkat signifikansi sebesar 0,200. Karena nilai asymp.sig (2-tailed) lebih
besar dari 0,05, dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi normal.
Tabel 5.8.One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Uraian Unstandardized Residual
N 66
Normal Parametersa,b Mean 0.0000000
Std.
Deviation .34507016
Most Extreme
Differences
Absolute 0.092
Positive 0.080
Negative -0.092
Test Statistic 0.092
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.200
a. Test distribution is Normal.
c,d
b. Calculated from data.
2. Analisis grafik dengan melihat grafik histogram dan grafik normal plot
Ghozali (2013) menyatakan bahwa salah satu cara untuk melihat normalitas
residual adalah dengan melihat grafik histogram yang membandingkan antara dua
observasi dengan distribusi normal dan dengan melihat normal probability plot
yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Hasil analisis
grafik penelitian dapat dilihat pada Gambar 5.1.dan Gambar 5.2.di bawah ini.
Sumber : sesuai lampiran 7
Gambar 5.1. Grafik Histogram
Sumber : sesuai lampiran 7
Gambar 5.2. Grafik Normal P- Plot
Tampilan grafik histogram pada Gambar 5.1.menunjukkan bahwa grafik
histogram pola distribusi tidak menceng ke kiri atau ke kanan dan normal.
menyebar di sekitar garis normal, serta penyebarannya tidak menjauh dari garis
diagonal.Kedua grafik ini menunjukkan bahwa model regresi tidak menyalahi
asumsi normalitas.
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan uji Kolmogorov
Smirnov dan dengan melihat uji grafik di atas, dapat disimpulkan bahwa data
mempunyai distribusi normal.
5.4.2. Uji multikolinieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi
ditemukan ada tidaknya korelasi antar variabel independen.Untuk mendeteksi ada
atau tidaknya multikolonieritas di dalam model regresi penelitian ini dengan
melihat nilai tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF).
Tabel 5.9.Uji Multikolinieritas
Variabel Collinearity Statistics
Tolerance VIF
1 (Constant)
Koordinasi Eksekutif dan Legislatif 0.552 1.811 Kompetensi Eksekutif dan Legislatif 0.511 1.958 Kepentingan Eksekutif dan Legislatif 0.885 1.130 Sanksi atas Keterlambatan Penetapan
APBD
0.884 1.131
Peraturan Perundang undangan 0.762 1.313
Sumber : sesuai lampiran 7
Pada Tabel 5.9. terlihat bahwavariabel independen memiliki nilai VIF
dibawah 10 dan nilai tolerance tidak kurang dari 0,1. Hal ini berarti bahwa tidak
ada korelasi antar variabel independen yang artinya tidak ada multikolonieritas
sehingga dapat disimpulkan bahwa antar variabel koordinasi eksekutif dan
legislatif, sanksi atas keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundang
undangan tidak terjadi masalah multikolinieritas.
3.4.3. Uji heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
lainnya. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,
maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas.
Model regresi yang baik yaitu yang tidak terjadi heteroskedastisitas atau
homoskedastisitas. Dalam penelitian ini peneliti melakukan uji heteroskedastisitas
dengan uji Glejser yang dilakukan dengan mencari besaran nilai residuals
unstandardized dari hasil regresi SPSS variabel independen terhadap variabel
independen dan selanjutnya dengan menggunakan menu transform diubah
menjadi absolut residual (absres). Hasil Uji Heteroskedastisitas ditemukan bahwa
kelima variabel independen p – value > 0,05 tidak menyebabkan terjadi masalah
heteroskedastisitas. Berikut ini hasil Hasil Uji Heteroskedastisitas disajikan pada
Tabel 5.10.
Tabel 5.10. Uji Heteroskedastisitas
Variabel t Sig.
1
(Constant) 2.037 .046
Koordinasi Eksekutif dan Legislatif -1.018 .313
Kompetensi Eksekutif dan Legislatif .783 .437
Kepentingan Eksekutif dan Legislatif -.954 .344 Sanksi atas Keterlambatan Penetapan
APBD -.843 .403
Perubahan Peraturan Perundangundangan .496 .622
a. Variabel Dependen : Absres
Tabel 5.10. menunjukkan bahwa nilai sig untuk semua variabel independen
lebih besar dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model regresi
tidak terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang artinya tidak terjadi masalah heteroskedastisitas.
5.5. Pengujian Hipotesis
Hasil uji asumsi klasik menentukan apakah model dapat digunakan atau
tidak.Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik diperoleh kesimpulan bahwa
model sudah dapat digunakan untuk melakukan pengujian analisis regresi linear
berganda. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis, yaitu
apakah variabel koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan
legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas keterlambatan
penetapan APBD dan peraturan perundangundangan berpengaruh secara parsial
dan simultan terhadap keterlambatan penetapan anggaran.Pengaruh secara
simultan dilakukan dengan menggunakan uji statistik F sedangkan untuk melihat
pengaruh secara parsial dilakukan dengan menggunakan uji statistik t.
5.5.1. Uji simultan (uji statistik F)
Hasil estimasi pengaruh variabel koordinasi eksekutif dan legislatif,
kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi
atas keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan,
terhadap variabel keterlambatan penetapan APBD disajikan pada Tabel 5.11.
Tabel 5.11.Uji Statistik F ANOVA
Model
a
Sum of Squares
df Mean
Square
F Sig.
1 Regression 17.477 5 3.495 27.098 ,000b
Total 25.217 65 a. Variabel Dependen : Keterlambatan penetapan APBD
b.Variabel Independen : Peraturan Perundangundangan, Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD, Koordinasi Eksekutif dan Legislatif, Kepentingan Eksekutif dan Legislatif,
Kompetensi Eksekutif dan Legislatif Sumber : sesuai lampiran 8
Hasil Uji F Sig hipotesis 0,000 < 0,05 maka H0 ditolak, hal ini berarti
semua variabel independen yaitu koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi
eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas
keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan, secara
simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel keterlambatan penetapan
APBD pada taraf signifikansi α = 0,05.
5.5.2.Uji parsial (Uji statistik t)
Uji statistik t dilakukan dengan cara membandingkanprobabilitas signifikan
lebih kecil dari α = 0,05, Hasil uji statistik t koordinasi eksekutif dan legislatif,
kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi
atas keterlambatan APBD dan peraturan perundangundangan terhadap
keterlambatan penetapan APBD dapat dilihat pada Tabel 5.12.
Hasil pengujian pada Tabel 5.12.menunjukkan bahwa secara parsial
pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen
diuraikan di bawah ini:
Tabel 5.12. Hasil Regresi Besaran Statistik Variabel Independen
Variabel Koefisien Sig.
1 (Constant) -.496 .199
Koordinasi Eksekutif dan Legislatif .274 .012
Kompetensi Eksekutif dan Legislatif .254 .007
Kepentingan Eksekutif dan Legislatif .156 .015
Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD .149 .084
Peraturan Perundangundangan .366 .000
a. Variabel Dependen: Keterlambatan penetapan
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.12, kriteria pengambilan
keputusan menggunakan nilai signifikansi t pada taraf nyata 5% maka secara
parsial pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen
diuraikan sebagai berikut:
1. Variabel koordinasi eksekutif dan legislatif (X1
2. Variabel Kompetensi eksekutif dan legislatif(X
) memiliki tingkat signifikansi
sebesar 0,012 yang lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa variabel koordinasi eksekutif dan legislatif berpengaruh positif
signifikan terhadap variabelketerlambatan penetapan APBD. Koefisien regresi
koordinasi eksekutif dan legislatif sebesar positif 0,274 berarti setiap kenaikan
nilai variabel koordinasi eksekutif dan legislatif sebesar satu satuan maka nilai
variabel keterlambatan penetapan APBD akan bertambah sebesar 0,274
dengan asumsi variabel independen yang lain dalam model regresi adalah
tetap, maka menerima H1 yang menyatakan bahwa secara parsialvariabel
koordinasi eksekutif dan legislatif berpengaruhterhadap variabel
keterlambatan penetapan APBD Kabupaten Labuhanbatu.
2) memiliki tingkat signifikansi
sebesar 0,007 yang lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan
bahwa variabel kompetensi eksekutif dan legislatif berpengaruh positif
signifikan terhadap variabel keterlambatan penetapan APBD. Koefisien
regresi kompetensi eksekutif dan legislatif sebesar positif 0,254 berarti setiap
kenaikan nilai variabel kompetensi eksekutif dan legislatif sebesar satu satuan
maka nilai variabel keterlambatan penetapan APBD akan bertambah sebesar
0,254 dengan asumsi variabel independen yang lain dalam model regresi
variabel kompetensi eksekutif dan legislatif berpengaruh terhadap variabel
keterlambatan penetapan APBD Kabupaten Labuhanbatu.
3. Variabel Kepentingan eksekutif dan legislatif (X3) memiliki tingkat
signifikansi sebesar 0,015 yang lebih kecil dari α = 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel kepentingan eksekutif dan legislatif berpengaruh
positif signifikan terhadap variabel keterlambatan penetapan APBD. Koefisien
regresi variabel kepentingan eksekutif dan legislatif sebesar positif 0,156
berarti setiap kenaikan nilai variabel kepentingan eksekutif dan legislatif
sebesar satu satuan maka nilai variabel keterlambatan penetapan APBD akan
bertambah sebesar 0,156 dengan asumsi variabel independen yang lain dalam
model regresi adalah tetap, maka menerima H1
4. Variabel Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD (X
yang menyatakan bahwa
secara parsialvariabel kepentingan eksekutif dan legislatif
berpengaruhterhadap variabel keterlambatan penetapan APBD Kabupaten
Labuhanbatu.
4
5. Variabel Peraturan Perundangundangan (X
) memiliki tingkat
signifikansi sebesar 0,084 yang lebih besar dari α = 0,05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel sanksi atas keterlambatan penetapan APBD
berpengaruh positif tidak signifikan terhadap variabel keterlambatan
penetapan APBD Kabupaten Labuhanbatu.
5) memiliki tingkat signifikansi
sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α = 0,sehingga dapat disimpulkan bahwa
variabel peraturan perundangundangan berpengaruh positif signifikan
terhadap keterlambatan penetapan APBD. Koefisien regresi variabel peraturan
peraturan perundangundangan sebesar satu satuan maka nilai variabel
Keterlambatan penetapan APBD akan bertambah sebesar 0,336 dengan asumsi
variabel independen yang lain dalam model regresi adalah tetap, maka
menerima H1
5.5.3. Persamaan regresi
yang menyatakan bahwa secara parsialvariable peraturan
perundangundangan berpengaruhterhadap variabel keterlambatan penetapan
APBD Kabupaten Labuhanbatu.
Pengujian hipotesis menggunakan analisis linier berganda dilakukan setelah
memenuhi pengujian asumsi klasik. Berdasarkan Tabel 5.12, persamaan regresi
berganda antara variabel independen terhadap variabel dependen dapat
diformulasikan sebagai berikut:
Y= - 0,496 + 0,274X1 + 0,254X2 + 0,156X3+0,149X4+ 0,366X
Keterangan:
5
Y : Keterlambatan penetapan APBD
X1
X
: Koordinasi eksekutif dan legislatif
2
X
: Kompetensi eksekutif dan legislatif
3
X
: Kepentingan eksekutif dan legislatif
4
X
: Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD
5
Persamaan di atas menunjukkan bahwa koefisien dari variabel variabel
koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif,
kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas keterlambatan penetapan APBD
dan peraturan perundangundangan menunjukkan angka positif. Hal ini berarti
eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas
keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan dengan
keterlambatan penetapan APBD adalah positif.
5.5.4. Koefisien determinasi
Ghozali (2013) menyatakan bahwa nilai R pada intinya digunakan untuk
mengukur seberapa besar hubungan antara variabel independen dengan variabel
dependen sedangkan nilai R2 atau nilai koefisien determinasi pada intinya
mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel
dependen. Jika variabel independen lebih dari satu, sebaiknya menggunakan nilai
adjusted R2
Tabel 5.13. Hasil Regresi Besaran Statistik Nilai Koefisien Determinasi
.
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of the Estimate
1 ,833a .693 .667 .35916
a. Variabel Independen : Peraturan Perundangundangan, Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD, Koordinasi Eksekutif dan Legislatif, Kepentingan Eksekutif dan Legislatif, Kompetensi Eksekutif dan Legislatif
b. Variabel Dependen : Keterlambatan penetapan APBD Sumber : sesuai lampiran 8
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa nilai R2 adalah sebesar 0,693 dan nilai
adjusted R2adalah sebesar 0,667 yang berarti bahwa variabel dependen mampu
dijelaskan oleh variabel independen sebesar 66,7%. Dengan kata lain 66,7%
variabel keterlambatan penetapan APBD mampu dijelaskan oleh variabel
koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif,
kepentingan eksekutif dan legislatif, sanksi atas keterlambatan penetapan APBD
dan peraturan perundang undangan, sedangkan sisanya yaitu sebesar 33,3%
5.6. Pembahasan Hasil Penelitian
5.6.1. Pengaruh koordinasi eksekutif dan legislatif terhadap keterlambatan penetapan APBD
Hasil pengujian regresi linear berganda menunjukkan bahwa variabel
koordinasi eksekutif dan legislatif berpengaruh terhadap keterlambatan penetapan
APBD. Hal ini dapat terlihat dari uji hipotesis dimana nilai profitabilitas
signifikansi pada 0,012, dimana 0,012 lebih kecil dibandingkan dengan taraf
signifikansi 5% (0,05). Nilai koefisien dari koordinasi eksekutif dan legislatif
adalah 0,274, yang memperlihatkan bahwa koefisien dari X1
5.6.2 Pengaruh Kompetensi eksekutif dan legislatif terhadap keterlambatan penetapan APBD
adalah positif yang
artinya terjadi pengaruh positif antara koordinasi eksekutif dan legislatif terhadap
keterlambatan penetapan APBD, semakin baik koordinasi eksekutif dan legislatif
maka semakin kecil kemungkinan terjadi keterlambatan penetapan APBD.
Dengan demikian penelitian ini menerima hipotesis yang menyatakan bahwa
koordinasi eksekutif dan legislatif berpengaruh terhadap keterlambatan penetapan
APBD Pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Wangi dan Ritonga (2010) dan Subechan, dkk (2014) yang
menyatakan bahwa koordinasi eksekutif dan legislatif berpengaruh terhadap
keterlambatan penetapan APBD.
Hasil penelitian dengan menggunakan regresi linear berganda
keterlambatan penetapan APBD. Hal ini dapat dilihat dari nilai perhitungan uji
hipotesis dimana nilai signifikansi kompetensi eksekutif dan legislatif sebesar
0,007, dimana 0,007 lebih kecil dibandingkan dengan taraf signifikansi 5% (0.05).
Nilai koefisien kompetensi eksekutif dan legislatif adalah 0,254. Koefisien
bernilai positif artinya terjadi pengaruh positif antara kompetensi eksekutif dan
legislatif dengan keterlambatan penetapan APBD, semakin tinggi kompetensi
eksekutif dan legislative dibidang akuntansi, keuangan daerah dan penganggaran
maka semakin kecil kemungkinan terjadinya keterlambatan penetapan APBD,
sebaliknya semakin rendah kompetensi eksekutif dan legislatif terkait akuntansi,
keuangan daerah dan penganggaran maka akan semakin besar kemungkinan
terjadinya keterlambatan penetapan APBD.
Dengan demikian penelitian ini menerima hipotesis yang menyatakan
bahwa kompetensi eksekutif dan legislatif berpengaruh terhadap
keterlambatan penetapan APBD. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
sebelumnya yang menyebutkan variabel pengetahuan dewan tentang
anggaran berpengaruh secara signifikan terhadap peran DPRD dalam
pengawasan keuangan daerah pada tahap perencanaan dan
pertanggungjawaban (Winarna dan Murni, 2007). Hal tersebut juga sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Wangi dan Ritonga (2010) dimana anggota
dari organisasi sektor publik khususnya yang terlibat dalam penyusunan
APBD hendaknya memiliki dasar ilmu yang berkaitan dengan sistem
penyusunan anggaran. eksekutif daerah yang memiliki latar belakang
pendidikan akuntansi atau ekonomi akan lebih teliti dan detil dalam
anggaran. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Subechan,
dkk (2014)
5.6.3 Pengaruh kepentingan eksekutif dan legislatif terhadap keterlambatan penetapan APBD
Hasil penelitian dengan menggunakan regresi linier berganda
menunjukkan bahwa variabel kepentingan eksekutif dan legislatif berpengaruh
terhadap keterlambatan penetapan APBD. Hal ini dapat terlihat dari tingkat
signifikansi pada uji koefisien regresi dimana nilai signifikansi sebesar 0,156
lebih besar dari taraf signifikansi 5% (0,05). Dengan demikian penelitian ini
menerima hipotesis yang menyatakan bahwa kepentingan eksekutif dan legislatif
berpengaruh terhadap keterlambatan penetapan APBD, Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Subechan, dkk (2014). Tingginya sikap untuk
mengutamakan kepentingan masing-masing eksekutif dan legislatif berakibat
semakin tinggi kemungkinan keterlambatan penetapan APBD terjadi. Sebagai
contoh pada tahun anggaran 2016 sesuai dengan Pasal 80 huruf j Undang-undang
Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), menyatakan,
hak anggota dewan adalah mengusulkan dan memperjuangkan program
pembangunan daerah pemilihan melalui dana aspirasi, dalam hal ini DPRD
Kabupaten Labuhanbatu juga meminta alokasi dana pembangunan untuk daerah
pemilihan sebesar Rp 7,5 miliar / orang, dimana setiap anggota DPRD berhak
untuk mengalokasikan dana tersebut untuk pembangunan daerah pemilihannya
masing-masing. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan perbedaan kepentingan
diantara eksekutif dan legislatif dikarenakan eksekutif juga telah menyusun
terjadi tarik menarik kepentingan diantara kedua belah pihak yang pada akhirnya
berdampak terhadap molornya persetujuan APBD Kabupaten Labuhanbatu Tahun
Anggaran 2016.
5.6.4. Pengaruh Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD terhadap keterlambatan penetapan APBD
Hasil pengujian menggunakan regresi linier berganda menunjukkan bahwa
Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD tidak berpengaruh terhadap
keterlambatan penetapan APBD. Hal ini dapat terlihat dari nilai signifikansi
variabel dana alokasi umum yaitu 0,084, dimana 0,084 lebih besar dari taraf
signifikansi 5% (0.05). Dengan demikian penelitian ini menolak hipotesis yang
menyatakan Sanksi atas keterlambatan penetapan APBD berpengaruh terhadap
keterlambatan penetapan APBD. Hal ini mungkin terjadi dikarenakan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP
Nomor 65 Tahun 2010 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah menjelaskan
sanksi atas keterlambatan penetapan APBD adalah apabila penyampaian APBD
terjadi setelah melewati batas waktu yaitu tanggal 31 Januari, namun demikian
pemerintah pusat tidak langsung secara tegas mengenakan sanksi pada tanggal 1
Februari. Dikarenakan 1 bulan kemudian pemerintah pusat baru menerbitkan
peringatan tertulis kepada pemda. Selanjutnya apabila sampai dengan 2 bulan
setelah diterbitkannya peringatan tertulis pada tanggal 1 Maret tahun fiskal yang
baru APBD masih belum ditetapkan, sanksi dikenakan pada daerah yang lewat
dari tanggal 30 April. Sanksi menurut Pasal 8 dan 9 Peraturan menteri Keuangan
Alokasi Umum (DAU) perbulan mulai bulan Mei sampai dengan bulan
ditetapkannya APBD.
DAU merupakan salah satu komponen penting sumber pendapatan bagi
daerah sebagai dana perimbangan yang ditransfer pusat ke daerah. Bagi
kebanyakan daerah, sebagian besar dana dari komponen DAU dialokasikan untuk
membayar gaji pegawai daerah, sisanya harus dibagi-bagi untuk membiayai 20
sektor pembangunan daerah mulai dari pendidikan, kesehatan, kesejahteraan
sosial, pembangunan dan renovasi infrastruktur, hingga pembangunan sarana
ekonomi. Adalah sangat tidak adil jika dikarenakan kesalahan yang dilakukan
Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang terlambat mengesahkan Perda APBD
masyarakat harus ikut merasakan akibat dari sanksi penundaan DAU tersebut,
sementara pihak – pihak yang terlibat langsung dalam penyusunan dan penetapan
APBD pemerintahan Kabupaten Labuhanbatu tidak mendapat sanksi apapun.
Selanjutnya Pasal 312 ayat (1) dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
pemerintah daerah mewajibkan Kepala daerah dan DPRD menyetujui bersama
rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya
tahun anggaran setiap tahun. Jika DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui
bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran
setiap tahun sebagaimana dimaksud peraturan tersebut diatas, maka Kepala
Daerah dan Anggota DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan
hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
dilakukan pengkajian atas Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
5.6.4. Pengaruh Peraturan perundangundangan APBD terhadap keterlambatan penetapan APBD
Hasil pengujian menggunakan regresi linier berganda menunjukkan bahwa
peraturan perundangundangan berpengaruh terhadap keterlambatan penetapan
APBD. Hal ini dapat terlihat dari nilai signifikansi variabel dana alokasi umum
yaitu 0,000, dimana 0,000 lebih besar dari taraf signifikansi 5% (0.05). Dengan
demikian penelitian ini menerima hipotesis yang menyatakan peraturan
perundangundangan berpengaruh terhadap keterlambatan penetapan APBD.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang pedoman penyusunan
APBD yang terbit tiap tahun diatur tentang (1) Sinkronisasi kebijakan pemerintah
daerah dengan kebijakan pemerintah pusat, (2) Prinsip Penyusunan APBD, (3)
Kebijakan penyusunan APBD, (4). Teknis penyusunan APBD dan (5) besaran
DAK dan BDB. Hal – hal tersebut diatas selalu berubah setiap tahunnya dan
diatur dengan sangat terperinci, yang membuat pemerintah daerah harus
senantiasa menyesuaikan dengan ketentuan tersebut bahkan bisa dikatakan
seolah-olah membatasi kewenangan daerah dalam menentukan prioritas pembangunan
daerahnya. Dengan adanya peraturan tentang pedoman penyusunan APBD yang
terbit setiap tahun seolah-olah menjadi operasionalisasi Permendagri Nomor 13
Tahun 2006.
Selain itu terlambat terbitnya peraturan terkait dana dari pemerintah atasan
penyusunan APBD, hal ini sering terjadi pada dana-dana yang bersifat specific
grant seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Gubernur. Penambahan
dan pengurangan kegiatan maupun alokasi anggaran oleh eksekutif pada
pembahasan RAPBD, selain kurang matangnya perencanaan pada awal
penyusunan, juga adanya upaya mengutamakan kepentingan. Sedangkan
permasalahan pemahaman SKPD dalam menyusun anggaran berbasis prestasi
kerja yang dituangkan dalam RKA-SKPD. Hal ini sesuai dengan simpulan
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan sebelumnya,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1 Koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif,
kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif,
sanksi atas keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan
secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap keterlambatan
penetapan APBD Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Hal ini berarti bahwa
koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif,
kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif,
sanksi atas keterlambatan penetapan APBD dan peraturan perundangundangan
merupakan faktor yang pelaksanaannya secara bersama-sama dilakukan untuk
mencegah keterlambatan penetapan APBD Pemerintah Kabupaten
Labuhanbatu,
2 Secara parsial variabel koordinasi eksekutif dan legislatif, kompetensi
eksekutif dan legislatif, kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan
eksekutif dan legislatif dan peraturan perundangundangan berpengaruh positif
Labuhanbatu. Variabel sanksi atas keterlambatan penetapan APBD secara
parsial berpengaruh positif tidak signifikan terhadap keterlambatan penetapan
APBD pemerintah Kabupaten Labuhanbatu. Hal ini tidak sejalan dengan
hipotesis yang diajukan karena pemberian sanksi atas keterlambatan
penetapan APBD memiliki tahapan yang cukup panjang dan dampak atas
sanksi tersebut tidak berlaku bagi pihak-pihak yang seharusnya
bertanggungjawab atas keterlambatan penetapan APBD tersebut,
6.2. Keterbatasan
Penelitian ini hanya menggunakan koordinasi eksekutif dan legislatif,
kompetensi eksekutif dan legislatif, kepentingan eksekutif dan legislatif,
sanksi atas keterlambatan penetapan APBD dan peraturan
perundangundangan sebagai variabel independen untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap keterlambatan penetapan APBD, sehingga
berkemungkinan ada variabel lain yang mempengaruhi keterlambatan
penetapan APBD.
6.3Saran
1 Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambah variabel independen
lainnya untuk memperoleh hasil penelitian mengenai keterlambatan penetapan
APBD seperti karakteristik keuangan daerah, besaran APBD dan lainnya.
2 Bagi Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Labuhanbatu :
a. sebaiknya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat Labuhanbatu dari
pada saat penyusunan dan penetapan APBD, sehingga hal ini akan
memberikan dampak kepada percepatan penetapan anggaran yang akan
dilaksanakan.
b. memberikan pendidikan dan pelatihan dan di bidang keuangan daerah dan
penganggaran kepada pegawai negeri sipil dan juga anggota DPRD secara
berkala sehingga pelaksanaan penyusunan maupun penetapan APBD dapat