2.1Definisi Nilai Anak Di Dalam Keluarga
Nilai anak adalah fungsi-fungsi yang dilakukan atau dipenuhinya
kebutuhan orangtua oleh anak (Esphenshade,1977). Nilai anak bagi orangtua
dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui antara lain dari adanya kenyataan
bahwa anak menjadi tempat orangtua mencurahkan kasih sayang, anak
merupakan sumber kebahagiaan keluarga, anak sering dijadikan pertimbangan
oleh sepasang suami istri untuk membatalkan keinginannya bercerai, kepada
anak nilai-nilai dalam keluarga disosialisasikan dan harta kekayaan keluarga
diwariskan, dan anak juga menjadi tempat orangtua menggantungkan berbagai
harapan (Ihromi, 1999).
Penelitian yang dilakukan Puspasari (2014) menyimpulkan bahwa jumlah
anak yang ingin dimiliki oleh PUS dipengaruhi oleh nilai anak yang dianut
dalam masyarakat, dan penentuan jumlah anak oleh PUS tersebut akan
mempengaruhi PUS untuk menggunakan atau tidak menggunakan alat
kontrasepsi. Nilai anak berhubungan erat dengan kebudayaan yang hidup
dalam suatu masyarakat, dimana setiap masyarakat memiliki nilai tertentu
mengenai sesuatu yang mereka miliki. Nilai itu umumnya tidak mudah
berubah, karena setiap individu telah disosialisasikan dengan nilai-nilai
tersebut. Melalui proses sosialisasi, setiap individu anggota masyarakat telah
diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup didalam masyarakat itu, mulai
dari kecil sampai dewasa, sehingga konsep-konsep nilai tersebut berakar
Koentjaraningrat (1981) melihat sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat
mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai dalam hidup, dan biasanya
berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi individu dalam bertingkah laku.
Nilai anak adalah bagian dari nilai budaya dalam suatu masyarakat. Nilai anak
merupakan suatu penilaian individu atau masyarakat terhadap arti dan fungsi
anak dalam keluarga. Anak secara umum dianggap sebagai salah satu
kebutuhan orang-tua, baik sebagai kebutuhan ekonomi, sosial maupun
psikologis. Ihromi (1999) berpendapat bahwa nilai anak bagi orang tua dalam
kehidupan sehari-hari dapat diketahui dari adanya kenyataan bahwa anak
menjadi tempat bagi orang tua untuk mencurahkan kasih sayangnya, anak
sebagai sumber kebahagiaan keluarga, anak sebagai bahan pertimbangan
pasangan suami-istri ketika ingin bercerai, anak sebagai tempat untuk
mensosialisasikan nilai–nilai dalam keluarga dan harta kekayaan keluarga
diwariskan, dan anak sebagai tempat orang tua dalam menggantungkan
berbagai harapannya.
Serupa dengan Koentjaraningrat dan Ihromi, Hoffman (1973)
menyampaikan bahwa nilai anak berkaitan dengan fungsi anak bagi orang-tua.
Nilai-nilai ini terikat pada struktur sosial dan dipengaruhi oleh perbedaan
budaya dan perubahan sosial. Maksudnya bahwa nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat akan tercermin dalam kehidupan dan kebiasaan mereka
sehari-hari. Begitu juga kebutuhan orang-tua akan perhatian anak (kebutuhan
psikologis). Kebutuhan tersebut sudah tentu akan dipengaruhi pula oleh
contoh adanya pengaruh budaya dalam penentuan jumlah anak (nilai anak)
adalah adanya pandangan dalam masyarakat yang mengatakan bahwa
"Banyak Anak Banyak Rezeki". Pandangan tersebut berkembang akibat
adanya anggapan bahwa pasangan yang memiliki jumlah anak yang banyak
akan lebih mudah kehidupannya karena terbantu oleh karena adanya
anak-anak mereka. Disamping itu banyaknya jumlah anak-anak juga akan memberi
anggapan bahwa pasangan suami istri tersebut akan terbantu kehidupannya
saat dihari tua nanti. Pandangan masyarakat tersebut dipengaruhi oleh pola
kebudayaan zaman dahulu yang masih tradisional.
Nilai anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak berperan
sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris. Dalam peranannya sebagai
ahli waris, anak tidak semata-mata mewarisi harta peninggalan orang tua
(warisan yang bersifat material), akan tetapi juga mewarisi kewajiban adat
(warisan yang bersifat immaterial) (Ihromi, 1999).
2.2Kategori Nilai Anak
Nilai anak dapat ditinjau dalam berbagai segi, yaitu dalam segi agama, sosial,
ekonomi, dan psikologis (Ihromi, 1999).
2.2.1 Nilai Anak Segi Agama
Nilai anak dalam segi keagamaan, dilandasi oleh adanya prinsip
(utang) secara timbal-balik antara orangtua dan anak. Pembayaran utang
tersebut dapat dilakukan dengan melaksanakan kewajiban satu terhadap
yang lain. Pengorbanan orangtua terhadap anak mulai dilakukan sejak bayi
masih didalam kandungan (Ihromi, 1999). Selain itu anak adalah
wajib menghormati dan menyenangkan orang tua semasa hidupnya.
Kewajiban tersebut dilandasi oleh adanya utang anak kepada orangtua
yang telah melahirkannya. Seperti penderitaan yang dialami oleh ibu dan
ayah pada saat lahirnya bayi (anak) tidak dapat dibayar walaupun dalam
waktu seratus tahun.
2.2.2 Nilai Anak Segi Sosial
Nilai anak dalam kehidupan sosial, tampak dalam hal anak
berperan sebagai penerus keturunan dan sebagai ahli waris. Dalam
peranannya sebagai ahli waris, anak tidak semata-mata mewarisi harta
peninggalan orangtua (warisan yang bersifat material), akan tetapi juga
mewarisi kewajiban adat (warisan yang bersifat immaterial), seperti halnya
menggantikan orangtua dalam melakukan proses adat. Pewarisan material
dan immaterial tersebut diwarnai oleh sistem kekerabatan patrilineal. Oleh
karena itu, warisan diteruskan melalui garis keturunan laki-laki.
Kaidah-kaidah hukum adat tersebut merupakan salah satu faktor yang dijadikan
pertimbangan oleh pasangan suami istri untuk lebih mengharapkan
lahirnya anak laki-laki dibandingkan anak perempuan (Ihromi, 1999).
2.2.3 Nilai Anak Segi Ekonomi
Nilai ekonomi anak dapat dilihat dari peranan anak dalam
memberikan bantuan yang bernilai ekonomi kepada orangtua (Ihromi,
1999). Bantuan tersebut umumnya berupa bantuan tenaga kerja maupun
bantuan materi. Bantuan tenaga kerja anak mempunyai arti penting dalam
hal anak sebagai tenaga kerja dalam usaha tani keluarga. Hal ini
kebanyakan hidup bertani. Bantuan semacam ini, umumnya diharapkan
dari anak laki-laki. Masyarakat yang anggotanya telah bekerja disektor
industri, bantuan anak sebagai tenaga kerja keluarga tidak diperlukan lagi.
Dalam masyarakat seperti ini, bantuan ekonomi anak bentuknya berupa
materi. Bantuan ekonomi anak dalam bentuk materi, oleh para orang tua
diakui sangat penting artinya dalam meringankan beban ekonomi rumah
tangga. Nilai ekonomi anak selain dilihat dari peranan anak dalam
memberi bantuan yang bernilai ekonomi kepada orangtua, juga dapat
dilihat dari adanya pengorbanan orangtua terhadap anak berupa berbagai
pengeluaran biaya untuk kepentingan anak. Khotimah (2009) berpendapat
bahwa jenis bantuan ekonomi yang diberikan oleh anak laki-laki dan anak
perempuan pada prinsipnya tidak berbeda.
2.2.4 Nilai Anak Segi Psikologi
Dari segi psikologis, tampaknya anak mempunyai nilai positif
maupun negatif. Nilai psikologis yang positif dapat dilihat dari adanya
kenyataan yang dialami oleh para orangtua bahwa anak dapat
menimbulkan perasaan aman, terjamin, bangga dan puas. Perasaan
semacam ini umumnya dialami oleh suami istri yang telah mempunyai
anak laki-laki. Mereka merasa puas, aman dan terjamin karena yakin telah
ada anak yang diharapkan menggantikannya kelak dalam melaksanakan
kewajiban adat, dilingkungan kerabat maupun masyarakat. Selain itu, anak
juga dirasakan dapat menghibur orang tuanya, memberi dorongan untuk
lebih semangat bekerja, dan menghangatkan hubungan suami istri. Nilai
oleh beberapa orangtua yang anaknya sering sakit, sehingga anaknya itu
menimbulkan perasaan khawatir/was-was. Selain itu, ada juga kenyataan
bahwa beberapa orangtua mengeluh setelah punya anak, karena merasa
kurang bebas kalau akan pergi atau bekerja. Dalam hal seperti ini, anak
dirasakan membuat hidupnya repot. Namun demikian, apabila
dibandingkan ternyata lebih banyak orangtua yang merasakan bahwa anak
mempunyai nilai positif dalam hidupnya (Ihromi, 1999).
2.3 Hubungan Nilai Anak Dengan Jumlah Anak
Jumlah ideal anak dalam satu keluarga dapat merujuk pada jumlah
anak yang disampaikan oleh BKKBN. BKKBN dari hasil survei yang
dilakukan pada daerah di Kalimantan memperoleh hasil bahwa jumlah
anak yang ideal dari satu keluarga adalah berkisar 2 atau 3 anak
(BKKBN, 2014c). Jumlah anak sangat berpengaruh dengan nilai anak
yang dianut oleh suatu keluarga. Seperti telah disampaikan di atas, bahwa
keluarga yang memiliki nilai anak yang bersifat negatif maka jumlah
anggota keluarga akan sedikit, sedangkan keluarga yang memiliki nilai
anak yang positif akan cenderung memiliki jumlah anggota keluarga yang
banyak. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan oleh Ambarsari
(1997) yang menemukan bahwa keluarga yang memiliki nilai anak yang
positif akan memiliki jumlah anggota keluarga anak yang banyak, begitu
pula sebaliknya. Pada masa sekarang ini telah terjadi perubahan
pandangan terhadap jumlah anak yang ideal dalam satu keluarga. Bila
pada masa dahulu keluarga dengan jumlah anak yang banyak maka akan
sudah berubah (Sujarno, dkk. 1999). Masyarakat pada masa sekarang
akan memiliki pandangan bahwa jumlah anak yang banyak akan
menambah beban hidup keluarga tersebut. Hal ini terjadi sebagai akibat
perubahan pola hidup masyarakat, dimana pada masa dahulu untuk
mendapatkan penghasilan masyarakat cukup mengandalkan fisik saja,
namun pada masa sekarang ini untuk mendapatkan penghasilan yang
layak dibutuhkan kemampuan pemikiran yang lebih tinggi dan itu hanya
dapat diperoleh dengan mengenyam suatu pendidikan. Mengenyam suatu
pendidikan akan membutuhkan biaya tertentu, dan hal inilah yang akan
menambah beban hidup keluarga.
Pandangan dari sisi ekonomi terhadap nilai anak juga mengalami
perubahan seiring perubahan zaman. Pada masa dahulu kedudukan anak
laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Anak
laki-laki dari sisi ekonomi memiliki fungsi mencari nafkah, sedangkan anak
perempuan hanya bertugas mengurus keluarga di rumah. Perempuan
dianggap tidak layak untuk bekerja dan memperoleh pendapatan,
sehingga muncul anggapan bahwa laki-laki bertugas dilapangan
sedangkan perempuan bertugas di dapur. Pada masa sekarang ini
kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama. Akibatnya,
tidak ada lagi pemisahan tugas dalam mencari nafkah keluarga
(Khairuddin, 1997). Adanya perubahan terhadap pandangan anak
laki-laki dan anak perempuan tersebut mengakibatkan keinginan keluarga
untuk mendapatkan salah satu jenis kelamin menjadi hilang dan bergeser
2.4Hubungan Nilai Anak Dengan Keikutsertaan KB
Nilai anak tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai kebudayaan
dimana PUS itu berada, sehingga kebudayaan satu daerah secara tidak
langsung akan mempengaruhi PUS untuk ikut serta didalam mengikuti
program KB. Kebudayaan tercipta bukan hanya dari buah pikir dan budi
manusia, tetapi juga dikarenakan adanya interaksi antara manusia dengan
alam sekitarnya (Koentjaraningrat, 1993). Suatu interaksi dapat berjalan
apabila ada lebih dari satu orang yang saling berhubungan atau
komunikasi. Dari interaksi itulah terjadi sebuah kebudayaan yang akan
mempengaruhi PUS untuk mengikuti program KB. Perubahan
kebudayaan bisa saja terjadi akibat perubahan sosial dalam masyarakat,
begitu pula sebaliknya. Manusia sebagai pencipta kebudayaan dan
pengguna kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan akan selalu ada jika
manusia pun ada. Pada suku Bonai menyimpulkan nilai anak yang tinggi
cenderung tidak mendukung responden untuk mengikuti program KB.
BKKBN (2000) menyimpulkan semakin tinggi nilai anak yang di anut
dalam keluarga maka semakin sulit untuk memberikan motivasi agar
berpartisipasi dalam program KB.
2.5Definisi Keluarga Berencana
Keluarga Berencana menurut WHO (World Health Organisation)
adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk;
(a) Mendapatkan objektif - objektif tertentu, (b) Menghindari kelahiran
yang tidak diinginkan, (c) Mendapatkan kelahiran yang memang
Mengontrol waktu saat kelahiran dalam hubungan dengan umur suami
isteri, dan (f) Menentukan jumlah anak dalam keluarga.
Menurut UU No.10 tentang perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga sejahtera (1992) keluarga berencana adalah upaya
peningkatan kepeduliaan dan peran serta masyarakat melalui
pendewasaan usia perkawinan (PUP) ,pengaturan kelahiran, pembinaan
ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga kecil, bahagia
dan sejahtera.
Tujuan utama program KB nasional adalah untuk memenuhi perintah
masyarakat akan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi yang
berkualitas, menurunkan tingkat atau angka kematian ibu Ibu dan bayi
serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam rangka
membangun keluarga kecil yang berkualitas. Secara umum tujuan 5 lima
tahun kedepan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan visi dan
misi program KB dimuka adalah membangun kembali dan melestarikan
pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB Nasional yang kuat
dimasa mendatang,sehingga visi untuk mewujudkan keluarga berkuaitas
2015 dapat tercapai.
Tahun 1950-an (Yuhedi & Kurniawati, 2013)
1. Pada era ini, perhatian terhadap masalah kependudukan khususnya
terhadap gagasan keluarga berencana telah tumbuh di kalangan
tokoh masyarakat.
2. Pemerintah pada waktu itu menyatakan tidak setuju dengan
pembatasan kelahiran sebagai upaya pengendalian penduduk
(Pidato Presiden Soeharto di Palembang pada tahun 1952).
3. Pada tahun 1957 mulai diorganisasikan pelaksanaannya oleh suatu
badan swasta Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Kegiatan PKBI masih sangat terbatas dan dilakukan secara
diam-diam karena situasi politik Indonesia tidak memungkinkan.
Awal dekade 1960-an (Yuhedi & Kurniawati, 2013)
1. Indonesia mengalami “baby boom” yang ditandai dengan ledakan
tingkatan kelahiran yang cukup tinggi.
2. Masalah kependudukan tidak mendapatkan penanganan
sewajarnya dari pemerintah orde lama yang berpaham pronatalis.
Pemerintah menekankan bahwa jumlah penduduk yang besar
merupakan suatu potensi yang besar untuk menggali dan mengolah
berbagai sumber kekayaan alam Indonesia tanpa memperhitungkan
kualitas sumber daya manusia dan dana yang menopangnya.
3. Pada tahun 1967 Presiden Soeharto dan dua puluh sembilan
pemimpin dunia lain menandatangani Deklarasi Kependudukan
Sedunia. Penandatanganan tersebut merupakan peristiwa yang
menganut paham pronatalis, menjadi sikap pemerintah Orde Baru
yang lebih realistis antinatalis.
4. Pemerintah orde baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto
yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat mempunyai komitmen politis sangat
besar terhadap masalah kependudukan.
5. Pemerintah membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional
(LKBN) yang berstatus sebagai lembaga seni pemerintah.
6. KepPres No.8/1970, LKBN diganti menjadi Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang berstatus sebagai
lembaga pemerintah penuh.
Tahun 1970 (Yuhedi & Kurniawati, 2013)
1. Tepatnya tanggal 29 Juni 1970, Presiden Soeharto melantik Dewan
Pembimbing Keluarga Berencana. Tanggal pelantikan ini
kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Program Keluarga
Berencana (KB) Nasional.
2. Sejak Pelita I, KB secara resmi menjadi program pemerintah dan
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.
3. Selama enam Pelita (1969/1970-1998/1999), pelaksanaan program
KB nasional diselenggarakan berdasarkan Ketetapan MPR yang
dituangkan dalam GBHN dan Keputusan Presiden tentang Program
4. Landasan legal pelaksanaan program KB nasional semakin kuat
dengan disahkannya UU No.10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembngunan Keluarga Sejahtera oleh MPR.
5. Organisasi KB terus berkembang dan makin besar, mulai dari
tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kotamadya, kecamatan/desa,
jumlah tenaga, sarana, prasarana dan dana makin meningkat dan
merata sesuai tuntutan perkembangan program.
Pelita I = 6 Provinsi
Pelita II = 16 Provinsi
Pelita III= Mencakup seluruh provinsi di Indonesia
Era reformasi (Yuhedi & Kurniawati, 2013)
Program KB diarahkan pada pengembangan SDM potensial
sehingga diperlukan upaya peningkatan ketahanan dan kesejahteraan
keluarga sebagai prioritas, selain itu juga diarahkan pada pengaturan
kelahiran dan pendewasaan usia perkawinan. Perkembangan KB di
Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dibagi menjadi dua, yaitu
faktor penghambat dan faktor pendukung. Faktor yang menghambat
penyebarluasan program KB di Indonesia, antara lain budaya, agama,
tingkat pengetahuan masyarakat dan wawasan kebangsaan. Faktor
pendukung penyebarluasan program KB, antara lain adanya komitmen
politis, dukungan pemerintah, dukungan TOGA/TOMA, dan dukungan
2.7Sasaran Keluarga Berencana
Sasaran program keluarga berencana nasional lima tahun kedepan
yang sudah tercantum dalam RPJM 2004/2009 adalah sebagai berikut
(Yuhedi & Kurniawati, 2013):
1. Menurunkan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) secara
nasional menjadi 1,14% per tahun.
2. Menurunkan angka kelahiran TFR menjadi 2,2 setiap wanita.
3. Meningkatkan peserta KB pria menjadi 4,5%.
4. Menurunkan pasangan usia subur PUS yang tidak ingin punya anak
lagi dan ingin menjarangkan kelahirannya, tetapi tidak memakai alat
kontrasepsi (unmeet need) menjadi 6%.
5. Meningkatkan penggunaan metode kontrasepsi yang efektif dan
efisien.
6. Meningkatkan partisipasi keluarga dalam pembinaan tumbuh kembang
anak.
7. Meningkatkan jumlah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera
yang aktif dalam usaha ekonomi produktif.
8. Meningkatkan jumlah institusi masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan KB (Keluarga Berencana) dan Kesehatan Reproduksi.
2.8 Metode Kontrasepsi
Metode amenore laktasi adalah kontrasepsi yang mengandalkan
pemberian ASI tanpa tambahan makanan atau minuman apapun
hingga 6 bulan.
2. Metode Kontrasepsi Alamiah
Metode kontrasepsi alamiah merupakan metode untuk mengatur
kehamilan secara alamiah, tanpa mengunakan alat apapun.
3. Metode Kalender (Orgino-Knaus)
Metode kalender atau pantang berkala dicetuskan oleh Kyusaku
Ogino (Jepang) dan Herman Knaus (Austria) pada tahun 1930.
Knaus berpendapat bahwa ovulasi selalu terjadi pada hari ke-15
sebelum menstruasi yang akan datang. Sedangkan Ogino
berpendapat bahwa ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-15
sebelum siklus menstruasi berikutnya.
4. Metode Suhu Basal (Termal)
Metode kontrasepsi ini dilakukan berdasarkan pada perubahan
suhu tubuh. Pengukuran dilakukan dengan mengukur suhu basal
(pengukuran suhu yang dilakukan ketika bangun tidur sebelum
beranjak dari tempat tidur).
5. Metode Simpto Termal
Metode ini menggunakan perubahan siklus lender serviks yang
terjadi karena perubahan kadar estrogen untuk menentukan saat
yang aman bersenggama.
Koitus Interuptus adalah metode kontrasepsi yang dilakukan
dengan mengakhiri senggama sebelum ejakulasi intravaginal
terjadi dan ejakulasi dilakukan diluar/jauh dari genital eksternal
wanita.
7. Metode Kontrasepsi Sterilisasi Pria dan Wanita
Metode kontrasepsi sterilisasi pada pria merupakan metode
kontrasepsi dengan memotong atau menyumbat vas deference
melalui operasi. Begitu pula pada wanita kontrasepsi sterilisasi
dilakukan dengan cara tubektomi yaitu memotong atau menyumbat
saluran tuba falopii pada wanita yang bertujuan mencegah
pertemuan sperma dengan ovum.
2.9Metode Kontrasepsi dengan Alat
Metode kontrasepsi dengan alat adalah metode untuk mengatur kehamilan
dengan menggunakan alat tertentu seperti: (1) Kondom pria, (2)
kontrasepsi barrier intra-vagina, (3) Diafragma, (4) KAP Serviks, (5)
Spons, (6) Kondom Wanita, (7) Kontrasepsi kimiawi yang terdiri dari
spermisida, (8) Alat kontrasepsi dalam Rahim, (9) Kontrasepsi hormonal
(pil dan suntik), (10) Cincin vagina, (11) Kontrasepsi transdermal/koyo,
(12) Kontrasepsi darurat yang terdiri dari emergency contraceptive pill dan
morning after IUD insertion.
Definisi Pasangan Usia Subur (PUS) menurut BKKBN (2015)
adalah pasangan suami isteri yang isterinya berumur antara 19-49 tahun,
berkisar antara usia 20-45 tahun dimana pasangan (laki-laki dan
perempuan) sudah cukup matang dalam segala hal terlebih organ
reproduksinya sudah berfungsi dengan baik. Bila mengikuti pengertian
yang disampaikan oleh BKKBN, maka tidak ada batasan umur pada pria
untuk menjadi syarat dikatakan Pasangan Usia Subur.
Peserta KB (Akseptor KB) adalah pasangan usia subur yang
suami/isterinya sedang memakai atau menggunakan salah satu alat/cara
kontrasepsi modern pada tahun pelaksanaan pendataan
keluarga/pemutakhiran data keluarga (BKKBN, 2015). Sedangkan Bukan
Peserta KB (NonAkseptor KB) adalah pasangan usia subur yang tidak
memakai atau menggunakan salah satu alat/cara kontrasepi modern,
dimana Bukan Peserta KB sedang dalam keadaan salah satu dibawah ini,
yaitu: (1) Hamil; adalah pasangan usia subur yang pada saat pendataan
keluarga/pemutakhiran data keluarga, tidak menggunakan salah satu
alat/cara kontrasepsi karena sedang hamil, (2) Ingin Anak Segera; adalah
pasangan usia subur yang pada saat pendataan keluarga/pemutakhiran data
keluarga sedang tidak menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, dan
tidak sedang hamil karena menginginkan anak segera (batas waktu kurang
dari dua tahun), (3) Ingin Tunda Anak; adalah pasangan usia subur yang
apda saat pendataan keluarga/pemutakhiran data keluarga, sedang tidak
menggunakan salah satu alat/cara kontrasepsi, tetapi ingin menunda (batas
Tidak Ingin Anak Lagi; adalah pasangan usia subur yang pada saat
pendataan/pemutakhiran data keluarga, sedang tidak menggunakan salah
satu alat/cara kontrasepsi, tetapi juga tidak menginginkan anak lagi.
2.11 Landasan Teori
Teori Alasan Berperilaku (Theory Of Reasoned Action)
Teori alasan berperilaku merupakan teori perilaku secara umum.
Sebenarnya teori ini digunakan dalam berbagai perilaku manusia,
khususnya berkaitan dengan masalah sosiopsikologis, kemudian
berkembang dan banyak digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang
berkaitan dengan perilaku kesehatan (Maulana, 2009). Teori ini
menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak
(intention), dan perilaku. Niat (kehendak) merupakan prediktor terbaik
perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang dilakukan seseorang, cara
terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Konsep penting dalam
teori ini adalah focus (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang
dianggap penting.
Niat ditentukan oleh sikap dan norma subjektif. Komponen sikap
merupakan hasil pertimbangan untung-rugi dari perilaku tersebut (outcome
of the behavior), dan pentingnya konsekuensi-konsekuensi bagi individu.
Di lain pihak, komponen norma subjektif atau sosial mengacu pada
keyakinan sesorang terhadap bagaimana dan apa yang dipikirkan
orang-orang yang dianggap penting dan motivasi seseorang-orang untuk mengikuti
setuju dengan tindakan tersebut, terdapat kecenderungan positif untuk
berperilaku.
Teori Kehendak Perilaku menghubungkan Nilai Keyakinan
(Belief), Sikap (Attitude), kehendak (intensi dalam berperilaku). Intensi
(kehendak) ditentukan oleh:
1. Sikap
Merupakan hasil pertimbangan untung rugi dari perilaku dan
pentingnya konsekuensi yang akan terjadi bagi individu.
2. Norma Subjektif.
3. Mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana dan
apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggap penting dan
memotivasi seseorang untuk mengikuti pikiran tersebut
Gambar 2.1 Theory of Reasoned Action Keyakinan
Berperilaku
Hasil Evaluasi Perilaku
Keyakinan Normatif
Motivasi untuk Melaksanakan
Sikap
Norma subjektif
Niat untuk Menampilkan
Perilaku
2.12 Kerangka Konsep
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Keterangan :
Garis putus-putus (---) = Variabel yang tidak diteliti
Keyakinan PUS terhadap: Nilai anak dari segi agama
Nilai anak dari segi psikologis Nilai anak dari segi sosial
Nilai anak dari segi ekonomi Hasil Evaluasi Keyakinan Terhadap Nilai Anak Keyakinan Normatif Tentang Jumlah Anak Motivasi memiliki banyak anak atau
sedikit anak berdasarkan orang yang dianggap penting Sikap Norma subjektif
Niat Ikut KB/ Tidak Ikut KB
Untuk mengungkapkan perbandingan gambaran nilai anak pada pasangan
usia subur Akseptor dan Non Akseptor KB, maka peneliti mencoba
mengungkapkannya dengan menggunakan Theory of Reasoned Action (TRA).
Teori ini digunakan untuk mengetahui persepsi PUS terhadap nilai anak,
dimana peneliti berusaha mengetahui bagaimana keyakinan PUS terhadap