• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PEMIMPIN INDONESIA MASA DEPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROFIL PEMIMPIN INDONESIA MASA DEPAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PEMIMPIN INDONESIA MASA DEPAN

Oleh : Adjat Daradjat,

ABSTRACT

Decreased quality of government leadership. Profile of the Indonesian leader must have a personality

that is determined by the values and beliefs that have strong self-esteem to grow, visional and have strong

beliefs to shape the future and are committed to the prosperity of the people. Ideology of the future

leaders of the Indonesian government is a combination of "leader" and "manager". A "leader" can unite

his followers as well as provide the vision, mission and spirit. While the "manager" capable of carrying

out tasks together and adopting efficient and effective manner.

I. Pendahuluan

Banyak pihak berpendapat bahwa menjadi pemimpin di zaman reformasi ini sungguh sangat berat.

Di satu pihak kondisi ekonomi sosial masyarakat terpuruk, tuntutan masyarakat sangat banyak, di pihak

lain sumber daya yang ada memenuhi tuntutan tersebut sangat terbatas. Namun anehnya, dalam

bayang-bayang beratnya tugas dan kewajiban yang di emban oleh pemimpin, justru pemilihan pimpinan nasional

baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif di Era Reformasi ini menampakkan gairah yang luar biasa.

Demokrasi menegaskan prinsip-prinsip bahwa setiap manusia diperlakukan sama serta memiliki

hak dan kewajiban yang sama pula di bawah hukum. Dengan sendirinya individu memainkan peranan

yang sangat penting dalam sistem demokrasi sehingga konsep hak asasi manusia sangat erat kaitannya

dengan prinsip-prinsip demokrasi. Bergesernya dasar legitimasi kepemimpinan dari “atas” ke “bawah”

dengan sendirinya mengubah hubungan antara negara dengan masyarakat. Apabila dalam kepemimpinan

tradisional masyarakatlah yang mengabdi pada penguasa , maka dalam sistem demokrasi justru

pemerintah yang mengabdi pada kepentingan rakyat dan harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilih. Fungsi negara berubah dari “dilayani” menjadi “melayani”. Artinya pemimpin dituntut untuk tanggap terhadap aspirasi yang berkembang dalam masyarakat serta harus

mampu menyediakan barang dan jasa bagi kepentingan rakyat banyak. Keabsahan dan keagungan

seorang pemimpin tidak dapat lagi ditunjukkan melalui upacara-upacara kebesaran atau pembangunan

monumen-monumen yang spektakuler seperti yang dilakukan raja-raja di masa lampau. Dukungan

terhadap pimpinan dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk

(2)

Sejalan dengan paradigma pemerintahan yang baru menuntut kegiatan nyata pemimpin yang

diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, orientasi kepentingan masyarakat, orientasi

pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Seorang pemimpin tidak hanya cukup mengandalkan intuisi

semata, tetapi harus didukung oleh kemampuan intelektual dan keahlian yang memadai, ketajaman visi

serta kemampuan etika dan moral yang beradab.

Profil pemimpin pemerintahan yang benar-benar efektif pada masa yang akan datang, memiliki

kepribadian yang ditentukan oleh nilai dan keyakinan kuat dalam kemampuan individu untuk tumbuh.

Mereka akan mempunyai citra masyarakat yang diinginkan sebagai tempat diri dan organisasi mereka

hidup. Mereka akan menjadi visional, memiliki kepercayaan yang kuat bahwa mereka mampu dan harus

membentuk masa depan, serta dapat bertindak atas dasar keyakinan dan pribadi yang tangguh.

II. Kepemimpinan Indonesia Masa Kini

Hingga saat ini belum muncul nama-nama baru yang bisa menggeser dominasi elite lama dalam

benak masyarakat. Peran parpol yang kurang mendominasi kaderisasi pemimpin tampak menjadi salah

satu penyebab mandeknya kepemimpinan pemerintahan. Lingkungan parpol sebagai tempat ideal untuk

kaderisasi pemimpin tidak banyak memberikan kesempatan bagi kader muda untuk menggantikan elite

mapan. Selain itu juga hampir semua parpol mengalami krisis perpecahan pada saat menyelesaikan

tuntutan alih generasi kepemimpinannya. Parpol cenderung menjadi komoditas bagi kepentingan pribadi

elite penguasanya. Selain itu pula terdapat gejala-gejala sebagai berikut:

1. Terjadi degradasi perilaku kepemimpinan nasional, yang ditandai dengan maraknya: saling hujat,

saling fitnah, provokasi, agitasi para pengikutnya, pengingkaran kebenaran, saling jegal, menjadi

pengadu domba, menjadikan massa pengikutnya setia sampai mati tanpa peduli kebenaran,

keadilan dan budaya, pokoknya membalas lawan tanpa etika, menjadi pemimpin kharismatik yang

memiliki pengikut fanatik.

2. Para pemimpin sebagian besar tidak mencegah pengikutnya melakukan pelanggaran : konstitusi, norma agama, adat, sosial dan etika profesi. Bahkan norma dan tata pergaulan dunia/keprotokolan

diterjang tanpa malu.

3. Tidak peka ( sensitive ) terhadap aspirasi masyarakat, bahwa rakyat memerlukan ketenteraman,

kenyamanan dan keadilan bukan wacana politik yang terus meruncing.

4. Tidak melakukan pendidikan politik bagi para pengikutnya, dibuktikan dengan pemahaman yang

sempit terhadap keputusan politik.

5. Keteladanan berperilaku ; ucapan, pernyataan, diplomasi dan penyelesaian masalah mendasar yang

dihadapi bangsa kurang. Sense-of crisis hampir-hampir punah karena dominasi kepentingan (

(3)

6. Para pemimpin partai-partai, orsospol, LSM dan OKP, membungkus aktifitas politik dengan

nuansa keagamaan yang cenderung memicu pertikaian antar etnik, antar sesama warga masyarakat,

bahkan sesama penganut agama namun berbeda aliran politik.

Dengan demikian rakyat awam sulit membedakan dengan akal rasionya mana kegiatan agama atau

politik.

Kepemimpinan pemerintahan mengalami penurunan kualitas. Hal ini terlihat dari berbagai kasus

penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik telah merata di seluruh lembaga negara, baik di

legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.

Adanya kecenderungan kepemimpinan pemerintahan mengalami disfungsi dikhawatirkan akan

meruntuhkan seluruh sistem penegakan hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya

kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di permukaan, mayoritas masyarakat

cenderung apatis, bukan berarti tidak ada keresahan sosial yang berpotensi memicu ledakan sosial.

Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat menderita akibat krisis ekonomi

yang belum pulih, dengan perilaku kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara tidak sah,

dapat memicu munculnya keresahan dan anarki sosial.

III. Merasionalkan Kepemimpinan Indonesia Masa Depan

Kelahiran kepemimpinan pemerintahan di pentas nasional bukan tanpa kendala. Setidaknya masih

ada katup budaya yang perlu ditembus. Masyarakat kita masih berpola pikir tradisional, masih

menganggap pemimpin itu seperti manusia setengah dewa. Bahkan, di masa raja-raja Hindu dahulu,

pemimpin adalah titisan dewa. Mitos Ratu Adil pun masih menjadi pengalaman yang mengendap di alam

bawah sadar kebanyakan masyarakat kita.

Karenanya, memunculkan kepemimpinan pemerintahan baru harus dilakukan dengan

merasionalisasikan pikiran masyarakat. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pemimpin itu adalah

manusia biasa yang punya titik lemah disamping keintimewaan-keistimewaan individual yang

dimilikinya. Sehingga dengan begitu, tidak akan ada pengagungan terlalu berlebihan kepada seorang pemimpin dan ketika ada “cacat” dalam kepemimpinannya tidak terjadi tragedi yang mencoreng sejarah kepemimpinan bangsa ini.

Jika rasionalitas masyarakat telah tercipta, maka kepemimpinan pemerintahan akan terbentuk dari

sebuah sistem demokrasi yang kuat. Ada rule of the game yang jelas. Di era transisi seperti sekarang ini,

kita membutuhkan elite-elite kepemimpinan pemerintahan yang sehat. Pemimpin-pemimpin yang visioner

dan transformatif. Setidaknya untuk mendidik dan menyiapkan masyarakat menjadi rasional. Tentu saja

(4)

menjadi suri teladan masyarakat. Jika para elitenya rasional, maka pengikutnya juga rasional. Bukan

waktunya lagi elite hidup dan eksis dari memanipulasi massa pengikutnya.

Masyarakat membutuhkan tipe kepemimpinan baru, yaitu kepemimpinan dari lapisan generasi

muda. Ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat: pertama, perencana dan pemikir.

Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai

kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan

bersama.

Kedua, pelayanan dan menguasai permasalahan. Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang

pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional,

menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam

tim kerja yang solid.

Ketiga, teladan. Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan

menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar

bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif.

Terdapat pula beberapa falsafah pemimpin yang harus dipegang teguh pemimpin masa depan

Indonesia. Pertama, pemimpin pemerintahan harus punya integritas. Bukanya kita selalu selalu

mengatakan, paling enak berhubungan dengan orang yang memiliki integritas. Kedua, pemimpin harus

mengakui akan adanya perbedaan dan keanekaragaman bangsa kita. Dengan demikian, pemimpin

pemerintahan masa depan negeri ini mampu mengelola segala perbedaan budaya, latar belakang suku dan

agama, serta kepentingan seluruh elemen bangsa ini lalu mengubahnya menjadi peluang dan kelebihan.

Jadi pemimpin pemerintahan masa depan adalah pemimpin yang berpikiran terbuka (open minded),

sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, pemimpin pemerintahan masa depan adalah pemimpin yang sadar betul bahwa segala

tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap orang lain atau sekelompok masyarakat.

Kepemimpinannya menjadi begitu empati dengan nasib dan derita rakyatnya. Dalam sejarah mungkin

kepedulian Umar bin Khaththab seperti dongeng yang mustahil bagi pemimpin masa sekarang. Umar

memanggul sendiri sekarung gandum saat ia mendapati seorang ibu memasak batu untuk mendiamkan

anaknya yang lapar.

IV. Seleksi Kepemimpinan Nasional Masa Depan

Sudah saatnya panggung suksesi kepemimpinan pemerintahan sekarang ini diisi dengan isu

memunculkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas

masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara; pemimpin

(5)

pemerintahan dipegang oleh pribadi yang bersih, peduli, dan profesional. Jangan serahkan tongkat

kepemimpinan bangsa ini kepada pemimpin dengan kepribadian yang tidak konsisten dan dikelilingi

lingkungan yang tidak kondusif.

Bangsa ini harus membuka kesempatan untuk munculnya pemimpin-pemimpin baru bukan hanya

berdasarkan level struktural lembaga pemerintahan, tapi juga per segmen sektor kehidupan masyarakat.

Bukan masanya lagi kepemimpinan menjadi monopoli segelintir elite.

Sudah bukan masanya lagi suksesi kepemimpinan diseleksi oleh para elite sendiri. Apalagi jika

berdasarkan keturunan. Seorang ibu dan ayah menyerahkan tongkat kepemimpinan partainya kepada anak

kandungnya, atau seorang paman kepada keponakkannya. Seharusnya pemimpin adalah seorang petani

yang membuka ladang seluas-luasnya agar bibit-bibit pemimpin baru tumbuh di sekelilingnya. Adalah

fakta bahwa bangsa Indonesia punya potensi yang luar biasa.

Pemimpin pemerintahan masa depan adalah orang yang membuka kesempatan untuk bagi siapa

pun untuk muncul ke pentas nasional. Ia menghapus kendala budaya yang ada seperti paternalistik,

feodalisme, dan mental abdi dalam dari setiap individu anak bangsa. Sebagai pemimpin, pemimpin

pemerintahan masa depan harus menjadi sosok yang berani memberi tantangan dan resiko kepada

kader-kadernya. Sebab, pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang menjadi sekolah bagi pemimpin

generasi selanjutnya.

V. Kepemimpinan Nasional Demokratis

Bagi kita yang telah mampu menerima dan menerapkan pemikiran liberal, barangkali tidak terlalu

relevan untuk mempersoalkan esensi dan posisi kepemimpinan dalam kepolitikan Indonesia kontemporer.

Sejauh pemilihannya telah memenuhi prinsip-prinsip demokratis, siapa pun harus dapat diterima sebagai

pemimpin. Seandainya ada keberatan atau kekecewaan terhadap cara kepemimpinannya, serahkan

kembali kepada mekanisme yang berlaku. Bila, sang pemimpin melakukan pelanggaran hukum, maka

lembaga peradilanlah yang paling tepat untuk memprosesnya. Atau, jika yang dilanggar adalah politik,

maka keputusan politik yang akan menentukan, yakni jangan pilih dia kembali dalam pemilihan

berikutnya.

Sebetulnya pemilu merupakan ajang yang paling paripurna untuk memilih seorang pemimpin.

Apalagi pemilu sekarang sudah jauh lebih demokratis dibanding Pemilu Orde Baru. Dengan demikian,

kita tidak boleh berpikir lain untuk mencari pemimpin. Siapa pun yang menang, harus diakui dan

legitimate untuk menjalankan perannya. Partai apa pun yang mengusungnya, harus diterima dengan

(6)

pemilu, kita asumsikan sebagai partai terbaik pula. Pada gilirannya, partai pemenang harus berprinsip

kepentingan partai berakhir.

Idealnya, harus muncul pemimpin yang muda dan berkualitas sebagaimana terdapat di

negara-negara yang sudah maju. Namun praktiknya sangat sulit diwujudkan.

Jawaban atas sejumlah permasalahan di atas, rupanya terletak pada beberapa pandangan berikut.

Pertama, bahwa politik masih merupakan variabel penentu perubahan yang utama. Politik yang berarti

kekuasaan, masih dipandang sebagai sumberdaya utama dalam menentukan arah kecenderungan bangsa

ini. Tak ubahnya dengan system kerajaan di masa lalu, hanya mereka yang berkuasalah yang menentukan,

system yang kita warisi sekarang juga tidak terlalu jauh dari budaya politik istana semacam itu. Bila di

masa lalu, ujung dari kekuasaan politik adalah wilayah dan kesetiaan rakyat terhadap raja, sekarang

kekuasaan dimanifestasikan ke dalam otoritas dan uang.

Kedua, hanya mereka yang memiliki posisi lebih dibanding sesama itulah yang layak dan berani

untuk ikut bersaing dalam kontes kepemimpinan nasional. Akibatnya, basis massa dan pendukung

menjadi lebih penting ketimbang ukuran- ukuran yang lain, termasuk profesionalitas sekalipun. Meski

banyak sekali di antara tokoh bangsa yang memiliki kapasitas sebagai CEO, mereka tidak memiliki

keberanian untuk mengajukan diri dan bersaing dalam panggung politik nasional.

Ketiga, lemahnya pengkaderan dalam partai politik, menjadi faktor penentu lainnya. Sejauh ini,

tidak banyak partai politik yang melakukan agenda regenerasi secara terbuka dan adil. Karena budaya

politik seperti digambarkan pada pikiran pertama tadi, oposisi dalam partai politik ditabukan. Siapa pun

yang dipandang sebagai lawan oleh pimpinan partai, akan diusahakan untuk digeser. Akibatnya, yang

muncul dalam kepengurusan partai adalah sekedar pemimpin denganpengikutnya. Padahal, bila kaderisasi

dilakukan secara baik, persaingan dalam partai, harus disikapi sebagai sebuah dinamika dan

kemajemukan partai.

Keempat, politik merupakan the only game in town; (satu satunya lahan permainan) buat para

politisi. Di luar itu, tak ada lagi. Dengan demikian, para politisi akan sekuat tenaga mempertahankan apa

yang sekarang dimiliki. Soalnya, keluar dari lingkaran kepemimpinan partai dan politik, berarti akan

habis sudah. Ia seolah-olah telah kehilangan semuanya. Jangan heran apa bila kaderisasi bukan agenda

terpenting dalam sebuah partai politik.

VI. Kepemimpinan Nasional Ideal Masa Depan

Kebutuhan pada tipe kepemimpinan tertentu berubah dari waktu ke waktu. Ketika negara dalam

bahaya, misalnya dalam situasi perang atau ancaman disintegrasi, seorang pemimpin yang mampu

(7)

Apabila prioritas utama adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka kemampuan manajemen

seorang pemimpin jauh lebih penting daripada kemahirannya berpidato. Untuk mendapatkan seorang

pemimpin yang mampu sekaligus menjadi "leader" dan "manajer" bukanlah suatu perkara yang mudah.

Namun dalam kondisi sekarang ini, di mana Indonesia perlu mengatasi berbagai krisis yang bersifat

multidimensional, sangatlah diharapkan bahwa kepemimpinan pemerintahan dimasa mendatang sekaligus

memiliki kemampuan "leadership" dan "managerial".Dalam masyarakat yang sangat majemuk seperti di

Indonesia tidaklah mudah bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan dukungan dari semua pihak.

Sistem demokrasi juga mengharuskan adanya pilihan dan persaingan dalam seleksi pemimpin. Seorang

pemimpin yang dinyatakan mendapat dukungan dari seluruh anggota masyarakat biasanya hanya

ditemukan dalam sistem pemerintahan otoriter sehingga rakyat tidak dapat bebas menyuarakan pilihan

dan perbedaan pendapat dengan penguasa. Pemilihan pemimpin nasional dalam sistem demokrasi lebih

banyak ditentukan oleh kalkulasi dan kompetisi politik, perbedaan kepentingan dan besarnya dukungan

publik yang tidak selalu berkaitan dengan kriteria-kriteria rasional. Namun demikian peluang bagi

seseorang untuk terpilih sebagaipemimpin tidak dapat dilepaskan dari kondisi nyata maupun harapan

yang ingin direalisasikan oleh masyarakat yang bersangkutan.

Pemimpin pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dituntut untuk tidak saja

mahir mengubar janji, tetapi juga harus memiliki pengetahuan yang memadai dan kompetensi untuk

merancang dan melaksanakan program-program pembangunan. Globalisasi serta interdependensi regional

dan internasional telah menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari. Pemimpin pemerintahan masa

depan tidak hanya dituntut untuk berperan secara efektif di dalamnegeri, tetapi juga harus mampu

berkiprah di forum-forum regional dan internasional, suatu hal yang juga diamanatkan oleh Mukaddimah

UUD '45. Demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia telah diterima sebagai nilai-nilai

universal yang akan dikembangkan secara konsisten di Indonesia. Seorang calon pemimpin yang dinilai

tidak mewakili semangat demokrasi akan sulit diterima di masa-masa mendatang. Pemimpin

pemerintahan masa depan harus betul-betul mampu membangun komunikasi dengan rakyat. Masyarakat

Indonesia telah menempatkan masalah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) sebagai musuh utama

bangsa yang harus diperangi. Pemimpin nasional masa depan dituntut untuk memiliki integritas dan

moralitas yang tinggi, di samping menjunjung tinggi "rule of la w" demi tegaknya "good governance" dan

"clean government".

Setiap pemimpin yang muncul hendaklah berdasarkan kemampuan dan prestasi yang ia raih

sendiri, sedangkan kekuasaan yang dimiliki berasal dari rakyat sehingga harus dipersembahkan untuk,

dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Namun sebaik-baiknya seorang pemimpin, ia tetap akan

tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaannya apabila kekuasaan tersebut tidak dibatasi, sesuai dengan

(8)

saja dari sistem pemerintahan nasional secara keseluruhannya. Yang sangat diperlukan ialah suatu sistem

politik yang memiliki ketahanan dan kekenyalan terhadap goncangan-goncangan, antara lain dengan

mempunyai kemampuan untuk melakukan koreksi dan pembaharuan terhadap dirinya sendiri secara terus

menerus. Hal ini hanya mungkin diperoleh apabila suatu sistem politik memiliki basis dukungan dan

legitimasi yang luas, yang senantiasi terbuka dan tanggap terhadap aspirasi dan kritik, serta

dibatasikekuasaannya.

VII. Simpulan

Bergesernya dasar legitimasi kepemimpinan dari “atas” ke “bawah” dengan sendirinya mengubah hubungan antara negara dan masyarakat. Dalam sistem pemerintahan tradisional masyarakatlah yang

mengabdi kepada penguasa sedangkan dalam sistem demokrasi pemerintah yang mengabdi pada

kepentingan rakyat dan harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat yang memilih. Fungsi negara berubah dari “dilayani” menjadi “melayani”. Dukungan terhadap pemimpin dalam sistem pemerintahan modern sangat ditentukan oleh kemampuan untuk memberikan rasa aman serta

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Idealnya, seorang pemimpin pemerintahan merupakan kombinasi dari “leader” dan “manager”. Seorang leader dapat mempersatukan pengikutnya serta memberikan visi, misi dan semangat. Sedangkan

manajer mampu mengatur dan melaksanakan tugas yang diembannya secara efisien dan efektif.

Pemilihan kepemimpinan pemerintahan dalam sistem demokrasi lebih banyak ditentukan oleh

kalkulasi dan kompetisi politik, perbedaan kepentingan dan besarnya dukungan publik yang tidak selalu

berkaitan dengan kriteria-kriteria rasional, hal ini terjadi karena tingkat kemajemukan masyarakat yang

sangat tinggi.

Sistem Pemilu Legislatif, Pilpres, maupun Pilkada yang sekarang ini dilakukan belum dapat

mewujudkan kepemimpinan pemerintahan Indonesia yang ideal. Hal ini karena tidak memunculkan

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Allen Louis A. (1989), Profesi Manajemen, Erlangga Jakarta. Terjemahan oleh DP. Tampubolon.

Bellone, Carl. K (1980), Organization Theory and the New Public Administrator. Allyn and Bacou, Inc.

Boston-London-Sidney-Toronto.

Carley Michael and Jan Christie (1992), Managing Sustainable Development, Earthcan Publication Ltd,

London.

Charan Ram, (2007), Know-How 8 Keterampilan yang Menjadi Ciri Pemimpin Sukses, (Alih Bahasa :

Fairano Ilyas), PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

David and Ted Gaebler, (1992). Reinventing Government : How the Entepreuneurial Spirit is

Transforming the Public Sector, Hodson-Wesley Publishing Company, Inc, New York.

Edersheim Haas Elizabeth, (2007), The Definitive Drucker, (Terjemahan. Alih Bahasa : Latifah Hanim),

PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Esman J. Milton (1991), Management Dimentions of Development, Kumarian Press.

E. S. Savas, (1987), Privatization, The Key to Better Government, Chatman House Publisher, Inc, New

Jersey.

Fernanda, Desi (1999), Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Pelayanan Umum, Makalah, Fisip Unpad.

Haas, Richard N, (2005), The Burreaucratic Entrepreneur: Bagaimana Menjadi Birokrat Efektif Dalam

Pemerintahan, PT Ina Publikatama, Jakarta.

Hoadley, C. Mason, (2006), Quo Vadis Administrasi Negara Indonesia: Antara Kultur Lokal dan

Struktur Barat (Terjemahan), Graha Ilmu, Yogyakarta.

Indarwanto, (2001), Teori Administrasi Publik dan Birokrasi,

Kartiwa, Asep (1995), Penyempurnaan Manajemen Pemerintah Daerah untuk Peningkatan Pelayanan

Sektor Publik, Orasi Ilmiah Unla Bandung.

Kasali, Rhenald, (2003), Change!: Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda Jalani, Putar Arah

Sekarang Juga ( Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan) , PT Gramedia Pustaka Utama ,

Jakarta.

Kasali, Rhenald, (2007), Re-Code Your Change DNA, Membebaskan Belenggu Untuk Meraih

Keberanian dan Keberhasilan Dalam Pembaharuan, PT Gramedia, Jakarta.

Ken Blanchard & Paul Hersey, (1986), Perilaku Organisasi, Erlangga Jakarta.Terjemahan oleh Agus

Darma.

KriSTISIP di, JB. (1997), Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia, STISIP Press Jakarta.

Lako, Andreas, (2004), Kepemimpinan dan Kinerja Organisasi: Isu, Teori dan Solusi, Amara Books,

Yogyakarta .

(10)

Muhammad, Fadel, (2008), Reinventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah, Editor :

Rayendra L.Toruan , PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, Jakarta.

Osborne, David and Peter Plastrik, (1997), Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing

Government, Hodson-Wesley Publishing Company Inc, New York.

Pilliang Indra Ramdani, Pribadi (2003), Otonomi Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Penerbit Yayasan

Harkat Bangsa.

Saefullah, A.D. (1999), Konsep dan Metode Pemberian Pelayanan Umum yang Baik, Makalah, FISIP

Unpad.

Salam, Setyawan, Dharma, (2002), Manajemen Pemerintahan Indonesia, Penerbit Jambatan.

Sarundayang, (2003), Birokrasi dalam Otonomi Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta.

Shelton Ken, (Editor), (2002), A New Paradigm of Leadership ( Paradigma Baru Kepemimpinan)

Berbagai Visi Luar Biasa Bagi Organisasi Abad ke-21, PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

Suryawikarta, Bay, (1999), Deregulasi dan Debirokratisasi Dalam Pelayanan Umum, Makalah, Fisip

Unpad.

Syaukani, Affan Gaffar, Ryaas Rasyid, (2002), Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Penerbit

Pustaka Pelajar Yogyakarta

Thoha, Miftah (2008), Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Thoha, Miftah (2003), Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta.

Thoha, Miftah (2004), Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta.

Wasistiono, Sadu (1999), Konsep dan Metode Pelayanan Umum, Makalah, FISIP Unpad.

Widodo, Joko, (2003), Good Governance Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birikrasi pada

Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Penerbit Insan Cendikia.

Zeethari, Valarie, A, A. Parasuraman and Leonard L. Bery, (1990), Delivering Quality Service -

Balancing Customer. Perception and Expectation, The Free Press, USA.

Referensi

Dokumen terkait

Karya ini kupersembahkan untuk orang – orang yang kukasihi Jesus Christ ”my Saviour”,.. Mama

AMBLYOPIA DAFTAR ISI BAB I I.PENDAHULUAN...3 BAB II II.DEFINISI...4 III.EPIDEMIOLOGI...4 IV.PATOFISIOLOGI..... BAB

Masa tugas Tenaga Khusus dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 di Lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan adalah selama 3 (tiga) bulan dan dapat

a) Ruang baca berfungsi sebagai tempat kegiatan peserta didik dan pendidik memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka. c) Ruang baca dilengkapi sirkulasi

bahwa sehubungan dengan peningkatan kelas sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka untuk menyesuaikan kebutuhan dan beban kerja organisasi serta untuk memenuhi mutu

Dalam penelitian ini penulis mengambil tema “Rancang Bangun Hotspot Area Pada Rest Area Desa Gisting Menggunakan Mikrotik dengan Sistem Voucher” Pada proyek akhir

Jika pekerja rumah tangga merasa tersinggung atau terhina karena perbuatan tertentu atas dasar rasnya dalam keadaan di mana orang yang berakal sehat memperkirakan bahwa

Tingkat kepatuhan wajib pajak yang diukur dari jumlah surat himbauan yang dikeluarkan tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan pasal 21 pada KPP. Kata Kunci