• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hujan Lebat Menggunakan Model WRF-ARW di Wilayah Bali Pada Musim Hujan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Hujan Lebat Menggunakan Model WRF-ARW di Wilayah Bali Pada Musim Hujan Tahun 2016"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Hujan Lebat Menggunakan Model WRF-ARW di Wilayah Bali

Pada Musim Hujan Tahun 2016

Putu Pradiatma Wahyudi1, Andersen L. Panjaitan2

1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Email: wahyudi.bmkg@gmail.com

Abstrak

Curah hujan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan banjir di sekitar

wilayah Denpasar. Variabilitas kondisi atmosfer yang tinggi di daerah khatulistiwa

mengakibatkan kesulitan dalam simulasi cuaca. Salah satu model yang digunakan untuk

melakukan simulasi cuaca adalah model WRF-ARW. Pada penelitian ini dilakukan uji

parameterisasi mikrofisis untuk menganalisis kejadian hujan lebat pada musim hujan di

wilayah Bali tahun 2016. Parameterisasi mikrofisis yang digunakan adalah skema

Kessler

dan

WSM6

, sementara parameterisasi cumulus yang digunakan adalah skema

Betts-Miller-Janjic

(BMJ). Hasil dari uji parameterisasi mikrofisis didapat skema

WSM6

merupakan

skema yang terbaik dan konsisten dalam melakukan analisis hujan lebat. Skema

WSM6-BMJ

menunjukan nilai kelembapan yang tinggi pada kejadian hujan lebat yang didukung nilai

CAPE yang cukup tinggi pada lapisan permukaan. Kondisi ini mendukung proses

terbentuknya awan yang menyebabkan terjadinya hujan lebat.

Kata kunci : WRF-ARW, skema WSM6-BMJ, hujan lebat, analisis

Abstract

High intensity rainfall can cause flooding around the Denpasar region. The high

variability of atmospheric condition in equatorial region give impact in difficuly to simulate

weather in equatorial region. One of the weather models used to simulate the weather is

WRF-ARW model. In this research, the microphysics parameterization is tested for analysis

the rainfall in rainy season. Microphysics parameterization used is Kessler scheme and

WSM6 scheme, while cumulus parameterization used is BMJ scheme. The result from tested

microphysics parameterization obtained WSM6 scheme show the most consistent and best

results for analysis of rainfall. WSM6-BMJ to showing a high humidity value which was

supported by CAPE value on surface layer. These conditions to supports the formation of

clouds that caused the heavy rain.

Keywords : WRF-ARW, WSM6-BMJ scheme, heavy rain, analysis

1. PENDAHULUAN

Tingkat penyinaran matahari di wilayah tropis yang sangat tinggi dan ketersediaan uap air yang melimpah di wilayah Indonesia mengakibatkan proses konvektifitas yang sangat tinggi sehingga mempengaruhi siklus hidup pertumbuhan awan yang sangat cepat dan bersifat lokal. Jenis awan yang terbentuk

(2)

kristal – kristal es yang akhirnya jatuh ke permukaan bumi sebagai hujan (Triatmodjo, 2008).

Pengertian

curah

hujan

adalah

ketinggian air hujan yang terkumpul

dalam tempat yang datar, tidak menguap,

tidak meresap, dan tidak mengalir. Satuan

curah hujan adalah millimeter (mm).

Curah hujan satu mm merupakan luasan

satu meter persegi pada tempat yang datar

tertampung air setinggi satu millimeter.

Sedangkan

intensitas

hujan

adalah

banyaknya curah hujan selama selang

waktu hujan. Intensitas curah hujan dapat

dikategorikan menjadi beberapa macam,

yaitu (BMKG, 2010):

Tabel 1 Kategori intensitas curah hujan

Hujan

Wilayah Bali memiliki pola curah hujan monsunal yang berarti memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau. Pola ini dipengaruhi oleh angin musiman (monsun), baik angina baratan maupun angin timuran yang bertiup akibat adanya perbedaan musim dibelahan bumi utara dan belahan bumi selatan. Tipe curah hujan ini bersifat unimodial yaitu memiliki satu puncak musim hujan pada bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) sedangakn musim kemarau pada bulan Juni, Juli, Agustus (JJA) (Aldrian, 2003).

Pada tanggal 1, 3, dan 12 Februari 2016 wilayah di wilayah Bali terjadi curah hujan dengan intensitas yang tinggi, sehingga menyebabkan banjir di beberapa titik penelitian. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah model cuaca yang dapat merepresentasikan kondisi atmosfer sehingga dapat memberikan prakiraan cuaca dan analisis suatu fenomena meteorologi yang berdampak kepada masyarakat. Model cuaca dapat dibedakan berdasarkan skalanya, diantaranya model

skala global, model skala meso, dan model skala lokal. WRF merupakan salah satu model cuaca skala meso yang dikembangkan oleh National Center for Atmospheric Research (NCAR) yang bekerjasama dengan National Centers for Environmental Prediction (NCEP) Colorado USA, Forecast System Laboratory of the NOAA (NOAA/FLS), Air Force Weather Agency (AFWA) serta instansi lainnya. (Widiatmoko dkk., 2006 dalam Subarna, 2009). Weather Research and Forecasting – Advanced Research WRF (WRF-ARW) merupakan model generasi lanjutan sistem cuaca numerik skala meso yang mampu memberikan gambaran kondisi atmosfer pada suatu wilayah.

Dalam model terdapat beberapa jenis parameterisasi. Parameterisasi adalah cara penyelesaian proses fisis dan dinamis yang terjadi di atmosfer. Pengujian skema parameterisasi sangat penting dilakukan karena disetiap daerah memiliki karakteristik cuaca yang berbeda dan diperlukan parameterisasi yang sesuai untuk memprediksi dan menganalisis suatu fenomena meteorologi.

Berdasarkan penelitian Wahyudi (2017), mengenai Analisis Parameterisasi Konvektif Dalam Model WRF-ARW di Wilayah Bali dan Nusa Tenggara. Penelitian ini menggunakan data Final Analysis (FNL) dengan metode simulasi dan komparatif menggunakan 2 domain pada model dengan resolusi 20 km dan 6 km di wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang kemudian dilakukan perbandingan parameterisasi cumulus dengan skema Kain-Fritsch (KF), skema Betts-Miller-Janjic (BMJ), dan skema Grell Devenyi (GD). Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa skema BMJ merupakan skema yang terbaik pada setiap musim di wilayah Bali dalam menganalisis suatu kejadian hujan. Pada penelitian ini digunakan kombinasi skema yang terdapat dalam parameterisasi mikrofisis, yaitu:

Tabel 2 Kombinasi skema mikrofisis

Mikrofisis Cumulus

Kessler Betts-Miller Janjic (BMJ) WSM6 Betts-Miller Janjic (BMJ)

(3)

hujan, dan hujan (Kessler, 1995; Skamarock, 2008).

Skema WSM6 merupakan skema mikrofisis single moment dengan 6 jenis fase uap air, awan cair, kristal es awan, salju, hujan, dan graupel serta merupakan pengembangan dari skema WSM5. Skema single moment hanya memprediksi jumlah mixing ratio dari satu jenis fase uap air sehingga variabel yang dihitung pada skema ini antara lain qv (uap air), qc (awan cair), qi (kristal es awan), qs (salju), qr (hujan), dan qg (graupel) (Skamarock, 2008; Hong, 2006) Skema Betts-Miller-Janjic (BMJ) merupakan skema yang mengansumsi nilai CAPE tidak terlalu besar, parameter downdraft convective tidak dimasukkan dan batas mixing line kurang tepat dalam kasus konvektif dan tidak langsung menimbulkan skala tinggi dan rendah. Skema ini memiliki struktur thermodinamika quasi-equilibrium yang berarti lingkungannya berpindah akibat konveksi (Skamarock, 2008).

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data FNL. Data FNL merupakan data model global yang digunakan oleh National Centers for Enviromental Prediction (NCEP) dengan resolusi grid 10 x 10 atau sama dengan

111 km x 111 km dengan interval tiap enam jam. Kerja dari sistem ini adalah memasukan nilai observasi kedalam model, data model nantinya akan digunakan sebagai prakiraan yang baru.

Data Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) yang digunakan sebagai pembanding hasil keluaran model WRF-ARW pada parameter hujan. Data curah hujan GSMaP memiliki resolusi sebesar 0,10

x 0,10 yang memiliki interval tiap jam.

Metode pengolahan data inputan model yaitu data FNL dengan resolusi 10 x 10

dilakukan teknik downscaling menjadi resolusi 0,10 x 0,10 dengan domain sebanyak

tiga domain dengan resolusi masing-masing 30 km, 10 km, dan 3 km. Data FNL tersebut diproses dalam model WRF-ARW selama 48 jam pada waktu sebelum kejadian dan saat kejadian. Untuk lebih jelasnya dapat melihat konfigurasi fisis sesuai tabel 3.

Gambar 1 Domain penelitian

Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006) Konfigurasi fisis

Mikrofisis 1. Kessler 2. WSM6

DUDHIA DUDHIA DUDHIA

Long wave

Verifikasi pada penelitian ini menggunakan metode dikotomus dengan mengguanakn tabel kontingensi untuk mengetahui tingkat akurasi dan sifat model dalam melakukan prediksi kejadian hujan terhadap data observasinya.

Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006) Event

No Misses Correct

(4)

Keterangan:

Hits : Kejadian yang diprakirakan terjadi benar terjadi

False Alarm : Kejadian yang diprakirakan terjadi, tidak terjadi

Misses : Kejadian yang diprakirakan tidak terjadi, terjadi

Correct Negative: Kejadian yang diprakirakan tidak terjadi benar tidak terjadi

Dari perhitungan table kontingensi diatas hasil keluaran model WRF-ARW dengan parameter hujan diverifikasi dengan data estimasi curah hujan GSMaP untuk melihat akurasi model terhadap data observasinya. Hasil ini dibandingkan secara kuantitatif menggunakan 3 indeks statistic, yaitu Proportion Correct (PC), Frequency Bias Index (FBI), False Alarm Ratio (FAR), dan Probability of Detection (POD).

a. � =�ℎ� + � � � ��

� � (1)

Nilai akurasi menunjukan hasil prediksi model yang benar terhadap hasil observasi secara keseluruhan baik hits maupun correct negative. Rentang nilai PC antara 0 sampai 1, nilai 1 merupakan prakiraan yang sempurna (Wilks, 2006).

b. � =ℎ� + � � �

ℎ� + � (2)

Nilai FBI merupakan perbandingan

antara kejadian “ya” dari prakiraan dan kejadian “ya” dari observasi. Nilai sempurna

pada FBI adalah 1 yang berarti banyak kejadian hasil prakiraan dengan hasil observasi. Apabila nilai FBI > 1 maka hasil prakiraan lebih banyak dari hasil observasi (over forecasting), sementara nilai FBI < 1 maka hasil prakiraan lebih sedikit dari hasil observasi (under forecasting) (Wilks, 2006).

c. = � � �

ℎ� + � � � (3)

Nilai FAR digunakan untuk mengetahui tingkat kesalahan model dalam memprediksi. Rentang nilai FAR antara 0 – 1, nilai sempurna adalah 0 (Wilks, 2006).

d. � = ��

�� + � (4)

Nilai POD digunakan untuk mengetahui frekuensi kejadian hujan pada model terhadap data observasinya. Nilai 1 merupakan nilai yang sempurna (Wilks, 2006)

Diagram Taylor digunakan sebagai verifikasi terhadap kecocokan hasil observasi dengan hasil keluaran model. Diagram ini dapat menunjukan nilai korelasi, standar deviasi, serta RMSE (Root Mean Squared Error) suatu nilai variabel hasil keluaran model dalam satu tampilan (Taylor, 2001).

Gambar 2 Diagram Taylor (Taylor, 2001)

Standar deviasi merupakan ukuran dari sebaran data terhadap nilai rata-ratanya.

= [ ∑�= �− ̅ ] (5)

Sementara korelasi digunakan untuk melihat kekuatan dan arah hubungan dari dua variabel.

= �− ∑��= [ �− ̅ �− ̅ ] [�− ∑��= �− ̅ ]

[�− ∑��= �− ̅ ] ⁄

(6)

RMSE digunakan untuk melihat rata-rata selisih nilai model dengan observasinya. Semakin besar nilai RMSE, maka semakin besar penyimpangan nilai hasil model terhadap nilai observasinya.

� = [ ∑�= �− �� ] (7)

Keterangan:

rxy = koefisien korelasi

s = koefisien standar deviasi n = banyak data

xi dan oi = nilai variabel observasi

yi = nilai variabel keluaran

model

̅ = nilai rata-rata observasi

̅ = nilai rata-rata keluaran model

(5)

data dan memverifikasi data model terhadap data observasi yang pada akhirnya dilakukan analisis fenomena atmosfer.

Gambar 3 Diagram alir

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan tanggal penelitian

Berdasarkan kategori intensitas curah hujan menurut BMKG yang menandakan bahwa hujan lebat merupakan curah hujan dengan intensitas diatas 50,0 mm/hari.

Gambar 4 Curah hujan wilayah Bali pada musim hujan

Oleh sebab itu pemilihan tanggal penelitian berdasarkan data curah hujan Stasiun Meteorologi Ngurah Rai, Denpasar pada tanggal 1, 3, dan 12 Februari 2016 telah terjadi hujan lebat dengan intensitas diatas 50,0 mm/hari.

Tabel 5 Tanggal penelitian

No Tanggal Intensitas Curah Hujan

Hasil verifikasi model terhadap data observasi

Berdasarkan verifikasi spasial antara model dengan data estimasi curah hujan dari GSMaP didapat skema yang sesuai dan memiliki nilai akurasi yang tinggi adalah skema WSM6.

Gambar 5 Diagram perbandingan model di wilayah Bali

Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa skema WSM6 memiliki nilai FAR yang sama dengan skema Kessler, hal ini menunjukan bahwa tingkat kesalahan model dalam memprediksi antara skema WSM6 dengan skema Kessler sama. Namun berdasarkan nilai POD skema WSM6 memiliki nilai yang lebih tinggi daripada skema Kessler, hal ini menunjukan bahwa peluang model dalam mendeteksi suatu kejadian hujan sangat besar.

Gambar 6 Nilai RMSE model di wilayah Bali

(6)

WSM6 memiliki nilai error yang lebih rendah daripad skema Kessler.

Gambar 6 Diagram Taylor musim hujan wilayah Bali

Berdasarkan diagram Taylor yang ditunjukan oleh Gambar 6, memberikan arti bahwa titik merah dengan simbol B yang merupakan skema WSM6 memiliki jarak lebih dekat dengan titik merah bersimbol O daripada titik merah bersimbol A yang merupakan skema Kessler. Oleh sebab itu dalam verifikasi ini skema yang terbaik dalam melakukan simulasi hujan lebat di wilayah Bali pada musim hujan adalah skema WSM6 pada parameterisasi microphysics. Skema WSM6 akan digunakan dalam menganalisis suatu kejadian hujan diwilayah Bali dengan kombinasi parameterisasi cumulus skema Betts-Miller-Janjic (BMJ).

Studi Kasus 1 Februari 2016

Pada Gambar 7 terlihat nilai CAPE yang sangat tinggi sebesar 1000 – 2000 J/Kg disekitar wilayah Bali yang dapat menyebabkan pertumbuhan awan konvektif penghasil hujan.

Gambar 7 Nilai CAPE jam 12.00 UTC

Berdasarkan data pengamatan permukaan Stasiun Meteorologi Ngurah Rai Denpasar hujan dimulai pada pukul 12.00 UTC yang berlangsung selama satu hari dan terukur sebanyak 76,5 mm/hari.

Gambar 8 Perbandingan spasial curah hujan wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP

Berdasarkan hasil perbandingan spasial antara model (Gambar 8a) dengan data curah hujan dari GSMaP (Gambar 8b) didapat nilai akurasi model terhadap observasinya sebesar 99% dengan tingkat kesalahan model dalam memprediksi sebesar 0% dan nilai POD sebesar 100%.

Gambar 9 Nilai kelembapan udara tanggal 1 Februari 2016

Berdasarkan Gambar 9 terlihat bahwa kelembapan udara secara vertikal selama satu hari pada tanggal 1 Februari 2016 memiliki tingkat kebasahan yang sangat tinggi. Hal ini Pada jam 12.00 UTC terdapat nilai RH sebesar 90 – 100% yang dapat menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas yang tinggi.

Studi Kasus 3 Februari 2016

Pada Gambar 10 terlihat nilai CAPE yang terjadi pada jam 00.00 UTC sangat tinggi yang menandakan terjadinya proses konveksi pada pagi hari yang dapat menyebabkan hujan selama sehari kedepan.

Gambar 10 Nilai CAPE jam 00.00 UTC

(7)

Gambar 11 Perbandingan spasial curah hujan wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP

Berdasarkan Gambar 11 terlihat pada bagian (b) yang merupakan curah hujan dari GSMaP memberikan nilai curah hujan yang terjadi selama satu hari pada tanggal 3 Februari 2016 sebesar 60 mm/hari. Gambar 11 menunjukan nilai akurasi model terhadap data observasinya sebesar 83% dengan tingkat kesalahan model dalam melakukan prediksi sebesar 16% dan nilai POD sebesar 100%.

Gambar 12 Nilai kelembapan udara tanggal 3 Februari 2016

Berdasarkan nilai kelembapan udara secara vertikal pada tanggal 3 Februari 2016 terlihat pada pukul 00.00 UTC wilayah Bali memiliki tingkat kebasahan yang sangat tinggi sebesar 90 – 100% yang dapat menyebabkan terjadinya hujan dengan intensitas yang lebat yang didukung dengan nilai CAPE yang tinggi.

Studi Kasus 12 Februari 2016

Pada Gambar 13 terlihat nilai CAPE yang terjadi di lokasi penelitian memiliki nilai yang tinggi yaitu sekitar 1000 – 1500 J/Kg yang menandakan terjadinya proses konveksi yang tinggi sehingga dapat terbentuknya awan penghasil hujan.

Gambar 13 Nilai CAPE jam 09.00 UTC

Berdasarkan Gambar 14 terlihat pada bagian (a) yang merupakan hasil keluaran model memiliki nilai curah hujan yang over estimate terhadap data observasinya. Curah hujan pada lokasi penelitian terukur sebesar 100 mm/hari, namun berdasarakn data pengamatan permukaan curah hujan yang dimulai dari pukul 03.00 UTC terukur sebesar 75,1 mm/hari.

Gambar 14 Perbandingan spasial curah hujan wilayah Bali (a) Model dan (b) GSMaP

Berdasarkan perhitungan indeks statistik yang menampilkan nilai akurasi, model memiliki akurasi sebesar 100% dengan tingkat kesalahan model sebesar 0%. Nilai POD sebesar 100%. Hasil pada model tanggal 12 Februari 2016 memiliki nilai error yang tinggi sebesar 55%.

Gambar 15 Nilai kelembapan udara tanggal 12 Februari 2016

Berdasarkan nilai kelembapan udara secara vertikal pada tanggal 12 Februari 2016 terlihat pada pukul 03.00 UTC hingga pukul 18.00 UTC memiliki nilai RH sebesar 80 – 100%. Hal ini menandakan bahwa tingkat kebasahan pada wilayah Bali sangat tinggi yang dapat menghasilkan hujan dalam intensitas yang lebat.

4.KESIMPULAN

Secara umum, simulasi kondisi atmosfer yang dilakukan oleh model WRF-ARW cukup baik dan representatif walau terkadang memiliki nilai yang over atau underestimate terhadap data observasinya. Skema WSM6-BMJ dianggap mampu memberikan hasil yang baik dalam melakukan prediksi dan analisis

(a)

(b)

(8)

suatu kejadian hujan diwilayah Bali pada musim hujan. Berdasarkan indeks statistik seperti PC, FBI, FAR, POD, dan RMSE mampu memberikan hasil yang baik, yaitu mencapai >80%.

Perlu diadakan pengujian tingkat lanjut terkait parameterisasi yang lainnya dan menambah kasus agar memiliki hasil yang lebih baik dari penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

______, 2010, Keputusan No. 009 Tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrim, BMKG, Jakarta. Aldrian, E., Susanto, R., 2003, Identification

of Three Domaint Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature, International Journal of Climatology, Vol. 23, pp 1435-1452. Hong, S., Jeong-Ock, The WRF

Single-Moment 6-Class Microphysics Scheme (WSM6), Journal Of The Korean Meteorological Society, No. 2, Vol 42, pp 129-151.

Kessler, E., 1995, On The Continuity and Distribution of Water Substance in Atmospheric Circulations, Atmospheric Research, Vol. 38, pp 109-145.

Skamarock, W.C., Klemp, J.B., Dudhia, J., Gill, D.O., Barker, D.M., Duda, M.G., Huang, X., Wang, W., Powers, J.G., 2008, A Description of the Advanced Research WRF Version 3, NCAR/TN-475+STR, NCAR Technical note. Subarna, D., 2009, Simulasi Hujan Front

dengan menggunakan Model WRF. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Yogyakarta.

Taylor, K. E., 2001, Summarizing multiple aspects of model performances in a single diagram, Journal of Geophysical Research, No. D7, Vol. 106, pp 7183-7192.

Triatmodjo, B., 2008, Hidrologi Terapan, Beta Offset, Yogyakarta.

Wahyudi, P.P., 2017, Analisis Parameterisasi Konvektif Dalam Model WRF-ARW di Wilayah Bali dan Nusa Tenggara, Skripsi, STMKG, Tangerang Selatan.

Gambar

Tabel 1 Kategori intensitas curah hujan ––
Tabel 4 Tabel kontingensi (Wilks, 2006)
Gambar 2  Diagram Taylor (Taylor, 2001)
Gambar 5  Diagram perbandingan model di
+3

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 7, musim kemarau yang terjadi di bulan Juli hingga September, pada sebagian besar wilayah kabupaten Bogor masih memiliki nilai total kolom NO 2

Simulasi dilakukan pada saat cuaca cerah di musim kemarau (16 Juni 2007) pada siang hari (pukul 13:00 WIB), pada waktu tersebut radiasi matahari dan suhu udara lingkungan

Hasil wawancara dengan Saadah Indiati (Guru Akidah Akhlak kelas VIII MTs NU Miftahul Falah Dawe Kudus) pada tanggal 23 Maret 2016 Pukul 12:00 WIB.. Setiap kelompok

Hal ini untuk melihat hubungan curah hujan dan SST pada saat La Nina dan El Nino serta melihat pengaruh letak wilayah terhadap pengaruh perubahan SST di Laut Jawa

Perairan pada stasiun 1 dengan kecepatan arus cepat mendorong penyebaran klorofil-a hingga pada stasiun 5 dan stasiun 4 masih terlihat bahwa masukan dari

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh PDRB, PMDN, dan PMA terhadap PAD di wilayah Bali, mengetahui factor yang memiliki pengaruh terbesar terhadap

Jika dilihat dari parameter Z dr tersebut ukuran droplet hujan pada ketinggian 1 km cukup besar untuk semua wilayah Jakarta, tetapi nilai Rain yang terukur tidak

Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa berdasarkan parameter NINO 3.4 SST Index dan Southern Oscillation Index (SOI) pada pertengahan Tahun 2015 hingga awal