Nama: Tita Meydhalifah NIM : 16/399581/SA/18489 Terminologi yang Digunakan pada Masa Kolonial (1900-1942)
1. Korte Verklaring (Plakat Pendek): Plakat yang berisi janji dan pasal-pasal untuk mengikuti semua perintah dan petunjuk yang diberikan kepada Sultan atau Pangeran atas nama Gubernur Jenderal
2. Memorie van Overgave (Memori Serah Terima): Buku harian resmi yang menggambarkan keadaan daerah dan harus diserahkan pada akhir masa pemerintahan 3. Politik Kesejahteraan (Welvaarts Politiek): Politik kolonial yang memperhatikan
kekurangan atau keburukan politik kolonial liberal gaya lama dan menyetujui bahwa kehidupan rakyat didaerah jajahan menjadi tanggung jawab pemerintah kolonial
4. Politik Pasifikasi: Mengirimkan ekspedisi militer untuk menguasai daerah-daerah yang belum masuk lingkungan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda
5. Perang Pasifikasi: Perang yang dilakukan selama abad ke-19 dan ke-20 untuk melakukan pemberantasan terhadap keadaan yang buruk dan memulihkan keamanan, serta Belanda menjamin adanya ketegakkan hukum dalam pemerintahan
6. Indie Weerbaar: Barisan pertahanan Hindia yang merencanakan akan diberlakukannya semacam wajib militer bagi penduduk pribumi
7. Kelompok Pendorong (Stuwgroep): Kelompok yang mempunyai keyakinan bahwa bangsa Belanda mempunyai kewajiban untuk membantu pelaksanaan tugas kolonial negeri Belanda, mengakui dan melindungi hak dan kepentingan penduduk yang bukan pribumi, serta menganjurkan adanya ikatan yang kekal antara negeri Belanda dengan Masyarakat Persemakmuran Hindia Belanda
8. Commissie Visman: Panitia yang dibentuk pada Maret 1941 dari hasil mosi (Thamrin, Soetardjo, dan Wiwoho), tugasnya meneliti keinginan, cita-cita, dan pendapat yang ada pada berbagai golongan mengenai perkembangan tata negara, serta kedudukan berbagai kelompok penduduk dalam susunan itu
9. Politik Nonakulturasi: Politik yang dilakukan Belanda untuk melindungi budaya asli terhadap pengaruh asing dengan tekad membangun struktur politik berdasarkan adat lama dan bentuk lokal, serta pemerintahan Belanda yang tidak langsung dipertahankan sampai akhir rezim mereka
10. Politik ‘garis warna’: Kebiasaan membuat pemisahan sosial antara golongan kulit putih dan bangsa Indonesia. kontak sosial terbatas, golongan Belanda eksklusif, hubungan hanya terbatas antara majikan dan anak buah, tuan dan pembantu
dilakukan oleh buruh. Tujuan utama dari perjanjian ini adalah menjamin tenaga buruh bagi majikan, membatasi kemerdekaan buruh untuk meninggalkan perkebunan tempat ia bekerja, serta membuka kesempatan mengembalikan buruh yang mangkir ketempat kerjanya dengan bantuan polisi
12. Wilde Scholen (sekolah liar): Sekolah swasta tak bersubsidi yang bercorak anti kolonial dan lebih idealistis, umumnya didirikan oleh penduduk setempat dan baru kemudian mengikatkan diri dengan organisasi besar
13. Pax Nederlandica: Politik kolonial yang berusaha menyatukan Hindia Belanda dibawah kekuasaan kolonial Belanda dengan kepentingan melakukan keamanan dan keteraturan 14. Manisteriales: Birokrat dalam arti bahwa kehadiran serta kesahan penguasa lokal
tergantung pada raja-raja yang mempunyai kekuasaan charismatis. Walaupun dalam kenyataannya para bupati sering berasal dari keluarga penguasa lokal yang turun-temurun. Namun, bila raja mau, hak mereka bisa dicabut dan kedudukannya digantikan orang lain (diperkenalkan oleh Schrieke)
15. Politik facade: Politik yang mencerminkan disatu pihak tidak adanya hasrat dari pihak Belanda untuk memberi hak-hak demokrasi kepada bangsa Indonesia, dan pihak lain keinginannya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka itu dengan kesungguhan hati akan mewujudkan dekolonisasi
16. Homines Novi (Orang Baru): Golongan pribumi yang mampu meningkatkan status sosialnya melalui pendidikan dan ditandai dengan kedudukan baru dalam suatu profesi 17. Erfpacht: Hak untuk para kapitalis perkebunan yang diperkenankan melakukan
penyewaan tanah jangka panjang, selama 75 tahun
18. Verklaring (pernyataan): Merupakan pernyataan yang mengharuskan pemerintah lokal tundu kepada raja Belanda, mentaati semua aturan dan pemerintah gubernemen, serta tidak akan mengadakan perjanjian dengan kekuasaan lain. Verklaring ini dibagi menjadi dua, yaitu lang verklaring (pernyataan/kontrak panjang) dan korte verklaring (pernyataan pendek)
19. Hak Eksorbitante (exorbitante rechten): Hak yang dimiliki oleh Gubernur Jenderal untuk menginternir, mengeksternir atau mengasingkan orang yang dianggap berbahaya untuk keamanan dan ketertiban umum
20. Hak Voorbehoud: Hak untuk membicarakan sesuatu rancangan ordonansi tertentu dalam sidang pleno, jadi rancangan tersebut tidak dibahas oleh College van Gedeputeerden. Tetapi, untuk menggunakan hak harus ada suara terbanyak dari Volksraad
pemukiman buruh disekitar pabrik, sehingga para buruh dapat digunakan sewaktu-waktu dibutuhkan
22. Politik Etis: Politik yang dicetuskan oleh Van Deventer untuk melakukan perbaikan kesejahteraan (melalui edukasi, irigasi, dan transmigrasi) yang didasarkan pada masalah kemanusiaan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda
23. Pergerakan Nasional: Pergerakan yang ditandai dengan mundurnya kaum intelektual bumiputera sebagai akibat dari Politik Etis yang salah satu aspeknya mengedepankan edukasi. Dimulai awal abad ke-20 dan ditandai dengan berkembangnya organisasi dan pers
24. Priyayi profesional: Orang-orang baru (homines novi) yang lewat jenjang pendidikan dapat menduduki tingkat sosial lebih tinggi daripada tingkat asalnya
25. Elite lama: Elite yang terdiri dari ulama (religius), kaum bangsawan (mobilitas), dan aristrokasi ataupun elite birokrasi yang pada umumnya merasa terancam kedudukan serta kepentingannya, sehingga mau tak mau mereka membuat reaksi yang negatif terhadap segala macam modernisasi seperti yang dibawa kolonialisme. Fungsi mereka akan semakin berkurang meskipun status sosialnya dimata rakyat masih tinggi
Sumber:
A.Daliman. 2012. sejarah Abad XIX – Awal Abad XX. Yogyakarta: Penerbit Ombak M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi
Sartono Kartodirdjo.1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: Gramedia
Sartono Kartodirdjo. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
SL. van der Wal. 2001. Kenang-kenangan Pangrekpraja Belanda 1920-1942. Jakarta: Penerbit Djembatan