• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI LINDU PROVINSI SULAWESI TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENDALIAN SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI LINDU PROVINSI SULAWESI TENGAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGENDALIAN

SCHISTOSOMIASIS DI DATARAN TINGGI LINDU PROVINSI

SULAWESI TENGAH

Ahmad Erlan*

, Ningsi*, Ikhtiar**

*Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala

Jl. Masitudju no. 58 Desa Labuan Panimba, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

** Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Antropologi, Universitas Tadulako Jl. Soekarno Hatta

Km. 9 Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia

Email: erlan3001@gmail.com

COMMUNITY PARTICIPATION AND ROLE OF THE SCHISTOSOMIASIS CONTROL

SYSTEM IN THE HIGH PLATE LINDU

CENTRAL SULAWESI PROVINCE

Naskah masuk :01 Agustus 2016 Revisi I : 27 Maret 2017 Revisi II : 15 Mei 2017 Naskah Diterima : 07 Oktober 2017

Abstrak

Semakin banyaknya warga yang tidak melakukan pemeriksaan tinja untuk pemeriksaan schistosomiasis, menyebabkan tidak terdeteksi positif schistosomiasis dan mempengaruhi angka cakupan pemeriksaan tinja. Angka cakupan pemeriksaan tinja oleh masyarakat tahun 2009 adalah 64,17%, dan pada tahun 2010 turun menjadi 63,72%. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan peran serta masyarakat melalui peran kader dan tokoh masyarakat dalam meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja untuk pemeriksaan schistosomiasis. Penelitian dilakukan selama sembilan bulan (Maret-Desember) 2011 di dataran Lindu, Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini adalah penelitian intervensi dan disajikan secara deskriptif. Sampel sebanyak 30 orang yang terdiri dari kader, guru sekolah dasar dan tokoh masyarakat. Intervensi dilakukan dengan memberikan pelatihan tentang shistosomiasis dan pentingnya pengumpulan tinja untuk mengetahui prevalensi schistosomiasis. Hasil penelitian menunjukkan, telah terjadi peningkatan peran serta masyarakat dalam cakupan pemeriksaan tinja pada dua desa perlakuan dibandingkan sebelum dilakukannya penelitian ini yaitu meningkat menjadi 80%. Banyaknya kendala bagi para kader dan tokoh masyarakat dalam memberikan kesadaran kepada masyarakat dalam upaya peningkatan cakupan pemeriksaan tinja salah satunya adalah, masyarakat merasa jenuh mengumpulkan stool tinja dengan berbagai faktor antara lain merasa malu, jijik dan sibuk bekerja.

Kata Kunci: Schistosomiasis, peran serta masyarakat, peningkatan cakupan pemeriksaan tinja.

Abstract

(2)

conducted by the community increased by 80% in two treated villages. There were some problems faced by the cadres and community leaders during the examination. Many people remain reluctant to collect their stool, get bored, feel disgusted and busy.

Keywords: Schistosomiasis, community participation, increased coverage stool examination.

PENDAHULUAN

Studi menjelaskan bahwa persepsi individu dan masyarakat, sikap terhadap schistosomiasis, dan perilaku kebersihan merupakan faktor penting untuk mencegah schistosomiasis (Liu et al., 2014). Walaupun prevalensi pada manusia telah rendah tetapi akan terjadi reinkfeksi secara terus menerus, karena hewan seperti tikus ikut juga terinfeksi schistosomiasis. Siput (keong) dapat hidup di daerah yang lembab tidak terlalu banyak air dan tidak terlalu kering, sehingga apabila habitat keong dikeringkan dan diubah menjadi kebun atau sawah yang selalu tergenang air, keong tidak dapat hidup (Sudomo and Pretty, 2007).

Di Indonesia fluktuasi prevalensi schistosomiasis naik turun setiap tahunnya. Prevalensi infeksi pada manusia tahun 2008 adalah sebesar 2,11% dan terus meningkat cukup tinggi yaitu 2,47 % tahun 2009 dan bahkan meningkat lagi menjadi 3,22% pada tahun 2010. Begitu pula angka cakupan pemeriksaan tinja oleh masyarakat semakin menurun, tahun 2009 sebanyak 64,17 % dan pada tahun 2010 turun menjadi 63,72 % (Dinkes Propinsi Sulawesi Tengah, 2012). Hal ini tidak sesuai dengan target yang diharapkan oleh program kesehatan setempat yang menginginkan pencapaian 80 sampai 95%, sehingga banyak dari warga Lindu yang tidak terdeteksi positif schistosomiasis.

Meningkatnya prevalensi dan menurunnya angka cakupan pemeriksaan tinja oleh masyarakat merupakan suatu masalah yang akan merugikan masyarakat dan penentu kebijakan kesehatan. Kerugian bagi masyarakat adalah semakin banyaknya masyarakat yang tidak terdeteksi positif schistosomiasis, sehingga dalam pemberian pengobatan hanya dilakukan pada warga yang mengumpulkan tinjanya. Sebagian masyarakat Lindu telah menganggap schistosomiasis adalah penyakit biasa. Sikap masyarakat yang semakin merasa jenuh dengan kegiatan pengumpulan tinja, sangat mempengaruhi upaya program kesehatan dalam pengendalian schistosomiasis. Pengetahuan (koginitif) bahaya atau tidaknya suatu penyakit akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit (Notoatmodjo, 2012).

Peran serta masyarakat adalah suatu bentuk bantuan masyarakat dalam hal pelaksanaan upaya kesehatan

preventif, promotif, kuratif dan rehabilitattif dalam bentuk bantuan tenaga, dana, sarana, prasarana serta bantuan moralitas sehingga tercapai tingkat kesehatan yang optimal.Peran serta masyarakat adalah proses untuk; (1) menumbuhkan dan meningkatkan tanggung jawab individu, keluarga terhadap kesehatan dirinya, keluarganya dan masyarakat. (2) mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam pembangunan kesehatan, sehingga individu / keluarga tumbuh menjadi perintis pembangunan (agent of development) yang dilandasi semangat gotong royong (Erfandi, 2008). Pengembangan peran serta masyarakat tidak terlepas dari proses pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat untuk mendukung suatu program pengendalian kasus (Notoatmodjo, 2005).

Meskipun belum ada ukuran kontrol baru untuk penyakit ini, perubahan epidemiologi, dan reformasi dalam penyelenggaraan layanan kesehatan telah menyebabkan beberapa modifikasi metodologi dan manajemen dalam upaya pengendalian penyakit ini (Amaral et al., 2006). Upaya yang pernah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten adalah membentuk kader schistosomiasis yang berfungsi mengedarkan dan mengumpulkan stool tinja masyarakat dan hasilnya sudah cukup baik. Begitu pula dalam hal pemberantasan areal fokus keong, beberapa lokasi fokus telah diberantas dengan melakukan penimbunan fokus dan perbaikan saluran air, namun upaya program kesehatan tersebut terhambat karena keterbatasan dana (Jastal dkk, 2008). Dukungan dari lintas sektor dan sosialisasi kemasyarakat semakin berkurang. Hal ini terjadi karena penanggulangan schistosomiasis hanya dibebankan pada sektor kesehatan saja (Notoatmodjo, 2012).

(3)

Permasalahan dalam penanggulangan schistosomiasis khususnya dalam upaya meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja oleh masyarakat adalah, dengan peran serta masyarakat. Bentuk peran serta masyarakat yang diharapkan adalah, kesadaran individual dalam menumbuhkan tanggung jawab bersama dengan memberikan motivasi warga dalam meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja, meningkatnya pengetahuan, sikap dan perilaku positif masyarakat dalam kaitannya dengan schistosomiasis.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan salah satu cara dalam upaya meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja masyarakat dengan peran serta kader, guru SD dan tokoh masyarakat. Kader terpilih siap berpartisipasi tanpa mengharapkan imbalan dan hanya atas dasar kesadaran individul.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di dataran tinggi Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah, pada bulan Maret-Desember tahun 2011. Lokasi penelitian di dataran Lindu di 4 desa yaitu Desa Puroo dan Desa Anca sebagai desa perlakukan. Desa Langko dan Desa Tomado sebagai desa kontrol.

Penelitian ini adalah jenis penelitian intervensi yaitu memberikan materi pelatihan mengenai schistosomiasis kepada kader, guru SD dan tokoh masyarakat dengan memberikan gambaran secara deskriptif. Sampel penelitian adalah kader dan tokoh masyarakat sebanyak 30 orang. Kader dibentuk sebanyak 10 orang dari masing-masing desa perlakukan, total kader berjumlah 20 orang. Pendidikan kader minimal tamat SD, pernah ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial di Desa Lindu dan secara sukarela menjadi kader schistosomiasis.

Keterlibatan tokoh masyarakat bertugas untuk mengontrol tugas dan keaktifan tiap kader dan juga berfungsi untuk membantu para kader mensosialisasikan pengetahuan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan kesadaran kesehatan masyarakat dan juga meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja. Pembentukan kader bertugas secara operasional mencatat keluarga yang menjadi binaannya, membagi dan mengumpulkan stool tinja kepada warga binaannya, memberikan penyuluhan terhadap warganya.

Pemberdayaan tokoh pendidik bertugas un tuk membantu mensosialisasikan pengetahuan me ngenai schistosomiasis tentang penyebabnya, cara pen cegah-annya, gejala yang diderita ketika terkinfeksi, dan berbagai macam informasi. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak sedini mungkin dapat menerima informasi tersebut dan dapat menjaga atau mencegah terjangkitnya schistosomiasis khususnya terhadap diri mereka sendiri.

Pemberdayaan tokoh Adat, Agama dan tokoh pemuda bertugas memberikan legitimasi politik lokal dan keyakinan terhadap keberadaan para kader. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat yang lainnya tidak melecehkan tugas dan keberadaan kader, bahkan sebaliknya justru menempatkannya pada kedudukan yang mulia di tengah-tengah masyarakat.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan kuesioner kepada kader dan toma masing-masing sebanyak 5 orang. Intervensi dilakukan dengan memberikan materi pelatihan kepada kader, guru SD dan tokoh masyarakat. Wawancara dilakukan sebelum pemberian materi schistosomiasis oleh tim peneliti bekerjasama dengan petugas kesehatan setempat. FGD (fokus grup diskusi) dilakukan sekali kepada kader, guru SD dan tokoh masyarakat. Total peserta FGD berjumlah 30 orang. Pemeriksaan tinja kepada seluruh masyarakat yang berumur 2 tahun keatas di dataran tinggi Lindu dilakukan oleh petugas kesehatan setempat.

Pembentukan kader adalah bentuk intervensi yang dilakukan di dua desa yaitu Desa Puroo dan Anca sebagai desa perlakuan. Prosedur kerja dalam penelitian ini adalah, membentuk kader secara langsung oleh tokoh-tokoh masyarakat, wawancara, pemberian materi schistosomiasis kepada kader, guru SD dan toma oleh tim peneliti dan petugas kesehatan.

Tugas dan fungsi kader adalah memberikan penyuluhan terkait schistosomiasis pada kelompok rumah tangga yang menjadi binaannya, berpartisipasi dalam membagikan dan mengumpulkan stool tinja. Tugas dan fungsi tokoh masyarakat adalah, memberikan penyuluhan kepada masyarakat pada tempat-tempat ibadah, dan disetiap kegiatan sosial desa, mengontrol kader dalam melakukan kegiatan pembagian dan pengumpulan stool tinja masyarakat. Guru SD bertugas memberikan penyuluhan kepada siswa-siswanya agar mereka mau mengumpulkan tinjanya dalam mendukung keberhasilan pengendalian schistosomiasis.

HASIL

(4)

dalam empat desa yaitu desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca. Desa Tomado memiliki bagian wilayah yang luas dibanding Desa Anca, Langko dan Puroo. Bagian wilayah Desa Tomado terdiri dari Dusun Kanawu, Kangkuru dan Salutui. Jumlah penduduk Desa Lindu sebanyak 4690 jiwa yang terdiri dari laki-laki 2495 orang dan perempuan 2195 orang.

Hasil FGD dengan kelompok tokoh masyarakat dan beberapa kader sebagai berikut, schistosomiasis bagi masyarakat Lindu sudah dianggap biasa saja seperti penyakit lainnya. Walaupun schistosomiasis merupakan ancaman, dalam pemikiran orang Lindu menganggap bahwa penyebab kematian bukan hanya karena schistosomiasis tetapi mungkin karena sebab atau penyakit lain.Terkait dengan pemeriksaan tinja, bahwa beberapa komunitas di Lindu merupakan penduduk musiman seperti di desa Puroo dan Anca mereka rata-rata tinggal di Desa Kulawi dan Sedonta, sehingga pada saat pembagian dan pengumpulan stool tinja mereka tidak berada di Lindu. Orang lindu terpapar schistosomiasis pada saat mereka melewati areal persawahan dan aliran air yang berasal dari fokus, kemungkinan terpapar schistosomiasis sangat besar. Kondisi lainnya saat ini adalah khususnya di desa Puroo penggunaan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga masih diperoleh dari sumber air yang berasal dari aliran air fokus keong. Masih banyak warga Lindu yang tidak memiliki sarana MCK (mandi cuci kakus) mereka rata-rata masih menggunakan air sungai untuk keperluan mandi dan buang air besar.

Schistosomiasis adalah penyakit yang sangat mengancam kesehatan masyarakat Lindu dan sekaligus mengancam kehidupan sosialnya. Betapa tidak, penyakit ini secara biomedis mengganggu secara perlahan kondisi fisik manusia dan bila tidak diobati dengan segera akan menyebabkan tingkat keparahan yang lebih tinggi sehingga dapat mengganggu aktifitas dinamis mencari penghidupan. Semua penyakit juga akan mengganggu aktifitas keseharian setiap orang, namun bagi Orang Lindu penyakit ini seolah memberikan kondisi sosial yang “negatif” bagi yang menderita yakni rasa malu. Karena adanya rasa malu ini sehingga juga berdampak

pada keengganan masyarakat untuk mengetahui tentang lebih dalam tentang penyakit ini. Bahkan masyarakat lebih banyak berusaha menyembunyikan penyakit tersebut. Seperti penuturan informan tokoh masyarakat:

“penyakit ini sudah lama diderita orang Lindu, bahkan sudah banyak yang menjadi korban, tetapi banyak yang tidak mau memeriksakan atau tidak mau tahu karena adanya rasa malu kalau terdeteksi penyakit ini, saya sendiri tidak tahu kenapa orang menjadi malu kalau terkena penyakit ini, saya menduga mungkin dulunya orang yang terkena yang saya dengar perutnya buncit membesar, barangkali itu yang membuat orang malu bagi siapapun yang menderitanya.”

Penanganan schistosomiasis dulu dengan sekarang berbeda karena dulunya merupakan bagian dari proyek. Setelah proyek berakhir maka secara perlahan-lahan aktivitas kader mulai berkurang. Kader sudah dibiasakan dengan bantuan. Kendala lainnya yang sering dihadapi oleh petugas kesehatan adalah, masyarakat sengaja dan sering lupa mengisi dan mengumpulkan stool tinja.Kadang juga lupa mengembalikan atau mengisi tinjanya. Dan sebaliknya kader tidak mengumpulkan kembali stool tinja. Kendala yang sering dihadapi kader adalah masalah luas wilayah kerjanya, pembagian dan pengumpulan dilakukan berulang-ulang sehingga kader merasa capek, lokasi pembagian dan pengumpulan berjauhan dari lokasi tempat tinggalnya.

1. Cakupan Pemeriksaan Tinja di Dataran Tinggi

Lindu Sebelum dan sesudah Intervensi

(5)

Tabel 1. Data Survey Tinja Sebelum IntervensiTahun 2009 dan 2010 dan Sesudah Intervensi Tahun 2011

Desa Tahun Jumlah Penduduk

Jmlh pddk2 thn ke atas

Jmlh pddk yang

diperiksa

Persentase Jmlh pddk diperiksa

Jumlah positif japonicum

Persentase Positif Japonicum

Anca

2009 466 451 327 72,5 9 2,75

2010 482 471 367 76,86 15 4,14

2011 592 568 482 84,85 9 1,86

Puroo

2009 1867 1771 1360 76,7 32 2,35

2010 662 588 394 67,01 15 3,81

2011 686 659 569 86,34 19 3,33

Tomado

2009 621 540 420 77,7 8 1,90

2010 574 552 456 82,61 20 4,39

2011 834 796 663 83,29 17 2,56

Langko

2009 694 592 562 76,7 17 3,02

2010 538 516 327 63,37 10 3,06

2011 511 499 397 79,56 3 0,76

Sumber: Data sekunder

Dapat dilhat pada tabel 1, hasil survey tinja di Desa Anca setelah intervensi meningkat menjadi 84,85 % (2011) dan desa Puroo 86,34 (2011). Nilai cakupan survey tinja ini meningkat setelah pembentukan dan pelatihan kader, guru dan toma. Sebelum pembentukan kader dan toma hasil pemeriksaan tinja di desa Anca dan Puroo hanya berkisar 70 %. Namun dapat dilihat hanya terjadi perbedaan sedikit jumlah cakupan pemeriksaan tinja antara Desa Puroo (desa intervensi) dengan Desa Tomado (desa kontrol).

Gambar 1. Presentasi Positif Schistosomiasis tahun 2009, 2010 dan 2011.

Dapat dilihat pula pada gambar 1, prevalensi schistosomiasis setelah intervensi mengalami penurunan di Desa Anca dan Puroo yang merupakan desa intervensi. Penurunan prevalensi ini terjadi pula pada Desa Tomadoyang merupakan desa kontrol.

2. Wawancara Mendalam dengan Tokoh-Tokoh

Masyarakat - Kader

(6)

kesehatan setempat, sekretaris desa dan tokoh masyarakat lainnya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan mengenai apa yang sudah pernah dilakukan khususnya pemberdayaan kader, bahwa dulunya sudah ada pembentukan kader, namun kurang lebih lima tahun terakhir ini kader sudah tidak berfungsi lagi, karena tidak adanya kompensasi lagi serta usia mereka sudah tidak memungkinkan untuk bekerja. Kader diberikan bantuan berupa pemberian sepeda, payung, sepatu bot, sarung tangan dan baju kaos. Namun setelah bantuan tersebut sudah tidak berfungsi peran kader mulai berkurang dan bahkan sampai saat ini sudah tidah aktif lagi. Hal ini yang menghambat program dalam kegiatan penanggulangan schistosomiasis khususnya peran kader sudah tidak aktif setelah bantuan yang diberikan sudah tidak berfungsi lagi. Mereka sudah terbiasa dengan bantuan, sehingga mempengaruhi program untuk menindaklanjuti peran mereka. Seperti ungkapan salah satu informan kader lama sebagai berikut :

“Sudah sepuluh tahun kami jadi kader yang dulunya kami aktif, namun karena tidak adanya sosialisasi lagi atau penyegaran dari petugas kesehatan setempat, maka kami sudah tidak aktif lagi. Sudah berkurangnya kompensasi yang diberikan sehingga kami tidak mampu lagi bekerja.”

Menurut petugas kesehatan setempat mereka sudah merasa berat hati untuk menyuruh kader bekerja, dengan beban pekerjaan yang menurut mereka sangat berat khususnya membagi dan mengumpulkan stool tinja, karena tidak adanya kompensasi lagi, dan dana petugas kesehatan setempat sangat terbatas hanya pada kegiatan survei tinja saja, sehingga petugas laboratorium schistosomiasis bekerja sendiri tanpa melibatkan kader lagi. Peran serta masyarakat tidak diukur dengan pemberian bantuan. Kesadaran individual merupakan hal yang sangat penting dalam pencegahan suatu penyakit. Menurut informan berkaitan dengan pemberdayaan kelompok masyarakat seperti toma dalam penanggulangan schistosomiasis belum pernah dilakukan, yang ada hanya kelompok masyarakat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lainnya seperti, perlakuan sanski (ginvu) adat bagi yang melanggar dan kegiatan keagamaan lainnya.

PEMBAHASAN

Peran serta kader dan tokoh masyarakat yang telah dilatih telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap peningkatan cakupan pemeriksaan tinja masyarakat di desa perlakuan. Meskipun para

kader belum dapat melaksanakan tugasnya dengan sempurna, karena masih adanya hambatan-hambatan dari masyarakat itu sendiri, dimana saat pengumpulan tinja, beberapa warga belum mengumpulkan stool tinja walaupun sudah ditentukan batas pengumpulan tinja, dan pada saat ditemui orang yang bersangkutan tidak berada di tempat. Rata-rata warga yang tidak mengumpulkan stool tinja karena sedang berada di kebun dan di sawah.

Menurut informan tokoh masyarakat, kesadaran masyarakat cukup baik dalam mengumpulkan tinja, akan tetapi masyarakat seringkali dihadapkan pada permasalahan saat pengambilan stool tinja rata-rata warga sedang tidak berada di rumah. Olehnya itu kedepannya tokoh masyarakat dan kader akan berupaya semaksimal mungkin untuk menggerakkan masyarakatnya mengumpulkan tinja hingga mencapai 90%.

Menurut informan belum pernah dilakukan pemberian materi tentang schistosomiasis kepada kader lama, mereka langsung dibentuk dengan fungsi sebagai pengumpul stool tinja. Pembagian poster dan liflet pada masyarakat belum pernah dilakukan, hanya sosialisasi tentang schistosomiasis dan itu sudah cukup lama, sedangkan semakin hari semakin banyak pergantian generasi-generasi muda yang belum tahu schistosomiasis. Pemberantasan daerah fokus sudah dilakukan, namun karena dana yang sangat terbatas pemberantasan daerah fokus berupa menimbun tempat fokus dengan tanah belum bisa dilakukan adapun mengaliri genangan-genangan air yang memungkinkan keong berkembang biak di tempat-tempat tersebut sudah dilakukan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan di Brasil, faktor risiko yang dievaluasi dalam studi ini memperkuat dampak penyakit ini di daerah endemik Negara Bagian Pernambuco, hal yang menarik perhatian bahwa pengobatan dan pendidikan merupakan faktor pencegahan penyakit ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perlunya menerapkan intervensi pendidikan sosial, sanitasi, dan kesehatan yang ditujukan pada schistosomiasis untuk mengurangi atau mencegah terjadinya penyakit, yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat (Silva, Leal and Domingues, 2013).

(7)

tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) pada saat turun ke lahan persawahan dan kebun dengan beberapa alasan, (1). Mereka tidak memiliki pengetahuan bahwa dengan menggunakan APD maka mereka akan terlindungi dari potensi atau kemungkinan terjangkitnya schistosomiasis ke dalam tubuhnya; (2). Mereka tidak memiliki kemampuan secara ekonomi untuk membeli peralatan berupa APD yang dapat mencegah mereka dari bersentuhan langsung dengan keong yang ada di wilayah fokus; (3). Di antara mereka pada dasarnya sudah ada yang memiliki pengetahuan tentang penyebab terjadinya schistosomiasis, wilayah-wilayah yang menjadi fokus keong dan cara pencegahannya, namun pengetahuan yang mereka miliki tidak dibarengi dengan kesadaran pentingnya mencegah penyakit dengan menggunakan alat pelindung diri pada saat beraktifitas khususnya di daerah fokus.

Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pencegahan shistosomiasis berpengaruh terhadap cakupan pemeriksaaan tinja. Cakupan pemeriksaan tinja menurut keterangan dari petugas laboratorium menjelaskan bahwa, pemeriksaan tinja sangat rendah, padahal kasus penderita penyakit tersebut masih sangat besar. Hampir semua anggota keluarga sudah diberikan stool tinja, tetapi aplikasi pengembalian stool tersebut sangat rendah. Bahkan ada yang didatangi langsung diminta untuk mengisi stoolnya dengan tinja tetapi tetap tidak mengisi dengan berbagai alasan, kasus yang banyak ditemui adalah, warga yang sudah diberikan stool tinja secara bersamaan sedang tidak ada di tempat, keluar daerah Lindu seperti ke Palu atau ke wilayah lain. Kasus lain kaum muda yang memang tidak mau dengan berbagai alasan, misalnya jijik, malu. Sejumlah kasus tersebut kemudian menjadi faktor yang sangat determinan dalam mendorong peningkatan cakupan pemeriksaan tinja di wilayah Lindu, dengan peran serta masyarakat melalui pemberdayaan tokoh-tokoh masyarakat dan kader.

Atas dasar berbagai kasus di atas yang menjadi faktor penghambat rendahnya cakupan pemeriksaan tinja maka melalui studi ini merekomendasikan perlakuan dalam bentuk model penanganan dengan melibatkan masyarakat setempat menjadi pelaku/ foluntir yakni menjadi kader. Pembentukan kader dan toma ini tentunya diharapkan meningkatkan partisipasi masyarakat. Asumsi dasarnya adalah bahwa kurangnya pengetahuan terhadap schistosomiasis tersebut menyebabkan terbentuknya stereotipe negatif terhadap penyakit schisto dan akan mempengaruhi peran serta yang aktif dari setiap orang untuk menyerahkan tinjanya melalui stool tinja yang sudah disediakan oleh petugas laboratorium.

Studi yang telah dikembangkan, menemukan suatu ouput yang menggembirakan, karena dalam penelitian ini juga sudah dilakukan sosialisasi. Melalui sosialisasi dan memberikan otoritas pada para kader dan tokoh-tokoh masyarakat serta guru dalam mensosialisasikan berbagai informasi yang berkaitan dengan schistosomiasis. Hasil penelitian ini menunjukkan angka cakupan pemeriksaan tinja masyarakat mulai meningkat mencapai 80% setelah dilakukan pembentukan kader baru melalui peran tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ernest Tambo, dkk yang menyatakan bahwa keterlibatan dan partisipasi masyarakat, pendidikan kesehatan dan pemahaman pada masyarakat sangat penting dalam program eliminasi schistosomiasis nasional yang berkelanjutan dan sampai pada pemberantasan secara tuntas (Ernest Tambo, Jia Tei-Wu, Xiao Ning, Wei Hu, 2017) .

Secara psikologis mereka yang terkena penyakit ini tidak lagi terpenjara secara sosial budaya dari stereotipe negatif yang ada selama ini dimasyarakat, bahwa schistosomiasis merupakan penyakit yang memalukan dan tidak pantas diketahui oleh banyak orang.Kader juga memberikan peran yang cukup strategis.Kader selain telah mampu memberikan kontribusi langsungnya dalam meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja. Informasi tentang schistosomiasis yang mereka dapatkan saat pelatihan sudah mampu mereka informasikan kepada masing-masing rumah tangga di bawah naungannya minimal kepada orang-orang terdekat yang ada disekitar mereka.

Pada saat evaluasi peran kader, sejumlah kader secara aktif memberikan beragam masukan atas berbagai macam kendala dan kelemahan yang harusnya diperbaiki untuk mencapai tujuan. Artinya dengan proses dan model yang telah diberikan, capaiannya bukan hanya mampu meningkatkan cakupan pemeriksaan tinja, tetapi juga bisa meningkatkan kemampuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya schistosomiasis, selain itu dan yang paling penting adalah model yang diterapkan telah mendekonstruksi pemahaman negatif yang selama ini melingkupi masyarakat bahwa penyakit schistosomiasis adalah penyakit yang gampang di obati, tidak berbahaya dan memalukan yang tidak perlu diketahui oleh banyak orang. Satu aturan khusus yang ditawarkan oleh para kader dan toma adalah, tidak memberikan obat bagi warga masyarakat yang tidak menyerahkan tinjanya ataupun yang mengeluh jika ada gejala-gejala schistosomiasis, walaupun orang tersebut telah terindikasi menderita schistosomiasis.

(8)

masyarakat. Tokoh masyarakat akan memberikan sanksi kepada kader yang tidak aktif dalam pengumpulan stooltinja, dengan tidak memberikan pengobatan gratis kepada kader dan anggota keluarganya, karena salah satu konstribusi yang diberikan kepada kader yang aktif adalah dengan memberikan pengobatan gratis kepada kader dan anggota keluarganya. Bukan hanya kader yang diberikan sanksi, tokoh masyarakat bekerjasama dengan petugas laboratorium schisto Lindu, untuk memberikan sanski kepada warga yang tidak mengumpulkan stool tinja dengan tidak memberikan obat, meskipun warga tersebut memiliki gejala-gejala klinis schistosomiasis. Hal ini dilakukan untuk kebaikan masyarakat sendiri, karena prevalensi schistosomiasis semakin hari bukannya menurun malah semakin meningkat, dan jika masyarakat tidak aktif mengumpulkan tinjanya, penularan schistosomiasis akan terus menjadi ancaman bagi warga Lindu (Sudomo, 2008). Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa reaksi masyarakat terhadap inovasi baik berupa inovasi dalam bidang teknik, kesehatan, maupun kebudayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adanya kemanfaatan ide baru tersebut. Tokoh masyarakat dan masyarakat umumnya akan lebih mudah menerima suatu inovasi yang dapat dibuktikan kemanfaatannya secara nyata daripada sesuatu yang abstrak (Solita Sarwono, 2004).

Di Cina pemberantasan dilakukan dengan mengutamakan peran serta masyarakat, serta pembangunan daerah endemis schistosomiasis secara besar-besaran. Semua habitat siput O.h hupensis telah berubah sehingga siput tersebut tidak dapat hidup lagi, contohnya tempat habitat O.h. hupensis di Wuxi sudah dirubah menjadi tempat wisata, sehingga tidak ada satu meterpun tempat siput untuk hidup. Hal tersebut dapat dilakukan dengan baik karena ada komitmen dari berbagai pihak untuk bersama secara lintas sektor melakukan pemberantasan schistosomiasis (Sudomo and Pretty, 2007). Lebih dari 60 tahun kerja keras dan usaha, Republik Rakyat Cina telah mencapai prestasi yang cukup besar dan mengurangi morbiditas dan prevalensi penyakit ini ke tingkat terendah yang pernah tercatat, terutama sejak diperkenalkannya strategi pengendalian terpadu yang baru pada tahun 2004 (Yang et al., 2016). Meskipun peran serta masyarakat di dataran tinggi Lindu masih sebatas pada peran serta masyarakat dalam pengumpulan tinja dan pencegahan terhadap penyakit, namun untuk pemberantasan siput (keong) akan sangat sulit dilakukan, karena ada beberapa daerah fokus yang sangat sulit untuk dijangkau dan diberantas, dan itu sangat membutuhkan bantuan dari berbagai lintas sektor. Sementara di Indonesia masih sulit untuk berhasil seperti di Cina karena masing-masing sektor

masih berjalan sendiri-sendiri dalam pemberantasan schistosomiasis.

Keberhasilan pemberantasan schistosomiasis tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan tapi harus didukung oleh lintas sektor. Sebagaimana yang dikemukan oleh Shi-Zhu Li bahwa kejadian infeksi schistosomiasis akut menurun secara signifikan dari tahun 2005 sampai 2012, dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penularan lokal yang berkelanjutan dari schistosomiasis telah berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa pengendalian schistosomiasis secara terpadu antara pemerintah dan masyarakat telah memainkan peran yang signifikan dalam pengurangan beban penyakit, baik dalam pengendalian morbiditas maupun tahap pengendalian infeksi (Li et al., 2014). Selanjutnya promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan masih akan menjadi strategi yang efektif dan salah satu intervensi dalam program pengendalian nasional untuk schistosomiasis (Chen et al., 2016).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sebelum dilakukan penelitian ini angka cakupan pemeriksaan tinja masyarakat Lindu hanya mencapai 60 sampai 70%. Namun setelah dilakukan intervensi berupa pembentukan kader dan pemberdayaan tokoh-tokoh masyarakat, cukup memberikan hasil yang memuaskan dalam upaya peningkatan cakupan pemeriksaan tinja hingga mencapai 80%.

Kader lama sudah tidak aktif lagi disebabkan karena faktor usia yang memungkinkan mereka tidak mampu lagi bekerja, bahkan ada yang sudah meninggal. Berdasarkan hal tersebut sehingga dibentuklah kader baru, dan untuk memperkuat peran dari kader maka dilibatkan juga guru SD dan tokoh masyarakat.

Saran

Penelitian ini sangat penting untuk dipahami sebagai acuan dalam penanggulangan schistosomiasis oleh penentu kebijakan kesehatan. Keberhasilan program pengendalian schistosomiasis perlu dukungan dari seluruh masyarakat dengan melibatkan tokoh masyarakat dan guru SD sehingga kegiatan kader dalam pengumpulan tinja bisa mencapai target.

UCAPAN TERIMA KASIH

(9)

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sigi beserta staf yang turut serta dalam pelaksanaan penelitian, Kepala Puskesmas Lindu, Petugas Laboratorium schistosomiasis di Dataran Lindu,Tokoh-tokoh masyarakat dan kader yang bersedia menjadi informan dan berpartisipasi dalam penelitian ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amaral, R. S. et al. (2006) ‘An analysis of the impact of the Schistosomiasis Control Programme in Brazil’, Memorias do Instituto Oswaldo Cruz, 101(1), pp. 79–85. doi: 10.1590/S0074-02762006000900012.

Chen, L. et al. (2016) ‘Health Education as an Important Component in the National Schistosomiasis Control Programme in The People’s Republic of China.’, Advances in parasitology, 92, pp. 307– 39. doi: 10.1016/bs.apar.2016.03.004.

Dinkes Propinsi Sulawesi Tengah (2012) Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2012.

Erfandi (2008) Peran Serta masyarakat. Available at: http://forbetterhealth.wordpess.com (Accessed: 23 September 2010).

Ernest Tambo, Jia Tei-Wu, Xiao Ning, Wei Hu, Z. X.-N. (2017) ‘Journal of Microbiology and Infectious Diseases’, Journal of Microbiology and Infectious Diseases, 7(2), pp. 104–118. doi: 10.5799/ahinjs.02.2017.02.0264.

Jastal dkk (2008) Analisis Spasial Epidemiologi Schistosomiasis dengan Menggunakan Penginderaan Jarak Jauh dan Sistem Informasi

Geografis di Sulawesi Tengah. Donggala.

Li, S. Z. et al. (2014) ‘Reduction Patterns of Acute Schistosomiasis in the People’s Republic of China’, PLoS Neglected Tropical Diseases, 8(5). doi: 10.1371/journal.pntd.0002849.

Liu, L. et al. (2014) ‘Knowledge of, attitudes towards, and practice relating to schistosomiasis in two subtypes of a mountainous region of the People’s Republic of China.’, Infectious diseases of poverty, 3(1), p. 16. doi: 10.1186/2049-9957-3-16.

Notoatmodjo, S. (2005) Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2012) Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset.

Silva, P. C. V., Leal, T. V. and Domingues, A. L. C. (2013) ‘Treatment and education reduce the

severity of schistosomiasis periportal fibrosis’,

Revista da Sociedade Brasileira de Medicina Tropical, 46(4), pp. 472–477. doi: 10.1590/0037-8682-0110-2013.

Solita Sarwono (2004) Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudomo, M. (2008) ‘Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan’. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan. Sudomo, M. and Pretty, M. . S. (2007) ‘Pemberantasan

Schistosomiasis di Indonesia’, Buletin Penelitian Kesehatan, 35 No. I.

(10)

Gambar

Tabel 1. Data Survey Tinja Sebelum IntervensiTahun 2009 dan 2010 dan Sesudah Intervensi Tahun 2011

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa problematika pendaftaran tanah wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang adalah 1) masih kurangnya pemahaman masyarakat

Diketahui kriteria yang diharapkan dari Pengawas Menelan Obat adalah berusia diatas 17 tahun, perempuan, tidak bekerja, pendidikan minimal SMA mempunyai hubungan kekerabatan,

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan desain jaring insang dasar yang terbaik untuk menangkap lobster dengan meng- analisis pengaruh HR terhadap karakteristik

392 Tahun 1999 mempunyai beberapa ketimpangan, antara lain yaitu: penentuan batas pulau pulau terluar yang masih rancu, terdapatnya karang-karang kering yang berpotensi

Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerja

Selalu ada jalan keluar dari setiap masalah, Dinas Koperasi dan UKM mereka memiliki cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu melakukan kemitraan dengan pihak luar yang

melakukan shalat shalat sunat sunat pada pada waktu waktu haram haram , , maka maka bukan bukan pahala pahala yang yang kita kita dapatkan. dapatkan , , melainkan melainkan

Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 85/KPTS/BPBD- SS/2017 tentang Status Keadaan Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi