• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Infeksi Menular Seksual dan Inf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penyakit Infeksi Menular Seksual dan Inf"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

ASUHAN KEBIDANAN PATOLOGI

“Kasus 8”

KELOMPOK 2

Alprida Monary Anita Rosalinda

Annisa Tresnawaty Dwi Nurhabibah

Dini Asty Noviani Intan Berliani Putri

Irma Yunita Nailagia Gema Rahayu

Neng Yuli Nurjanah Nisa Nur’aeny

Sandra Wulan Darmasuci Tiara Delvi Astuti

DOSEN :

Giari Rahmilasari, M.Keb

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, kami ucapkan terima kasih kepada :

Orang tua yang selalu mendo’akan dan memotivasi kami. Dosen tutorial Asuhan Kebidanan IV:

Giari Rahmilasari, M.Keb

Dalam penyusunan makalah “Kasus 8” ini, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk memperoleh hasil yang terbaik. Namun dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan serta jauh dari kesempurnaan, mungkin dikarenakan kekurangan dari pengetahuan kami, oleh karena itu kami mohon maaf atas segala kekurangan kami serta saran dan kritik dari manapun datangnya senantiasa kami harapkan. Akhirnya, semoga makalah ini dapat memenuhi syarat yang telah ditentukan dan semoga dapat bermanfaat bagi masa yang akan datang.

Bandung, 27 Mei 2015

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB I...1

PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...2

C. Tujuan Makalah...2

BAB II...3

TINJAUAN KASUS...3

A. Studi Kasus A...3

B. Studi Kasus B...3

A. Klamidiatis...5

B. Trikomoniatis...7

C. Vaginosis Bacterial...8

D. Sifilis...10

E. Condiloma Accuminata...12

F. Gonorrhea...14

G. Herpes Genitalis...15

H. HIV AIDS...18

I. CONTOH KASUS...24

J. Infeksi Citomegalovirus...29

K. Toksoplasmosis Kongenital...34

L. Rubela...36

M. Herpes Simplex Virus...36

N. Infeksi Nifas...37

O. Metritis...37

P. Infeksi payudara...39

(4)

R. Peritonitis...40

S. Infeksi Luka Perineal Dan Luka Abdominal...40

T. Trombopeblitis...41

U. Pelviotrombopeblitis...41

V. Trombofblebitis femoralis...43

BAB IV...45

PENUTUP...45

A. Kesimpulan...45

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Menteri Kesehatan (Menkes), angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Indonesia tinggi dibandingkan dengan Negara tetangga. Hal ini dikarenakan persalinan masih banyak dilakukan dirumah.

Sementara itu, salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) tahun

2015 dalam menurunkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi menjadi prioritas utama dalam pembangunan kesehatan di Indonesia (Menkes, 2011).

Selaras dengan MDGs, Departemen Kesehatan (Depkes) menargetkan penurunan AKI di Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan penurunan AKB pada tahun 2015 adalah menjadi 22 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Namun hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa AKI adalah 359 kematian per 100.000 kelahiran hidup dan AKB sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes, 2012 )

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesda) menunjukan penyebab kematian ibu adalah pendarahan 40-60%, preeklamsi dan eklamsi 20-30%, infeksi 20-30%, sedangkan penyebab tidak langsung salah satunya adalah 35% ibu hamil menderita anemia (WHO, 2010).

Kehamilan sering terjadi bersamaan dengan infeksi yang dapat mempengaruhi kehamilan atau sebaliknya memberatkan infeksi seperti infeksi menular seksual atapun infeksi lainnya

(6)

dibicarakan dan terutama ditekankan pada infeksi yang umum dijumpai atau pengaruh timbal balik antara infeksi dan kehamilan

B. Rumusan Masalah

1. Apa infeksi menular seksual yang mempengaruhi kehamilan ?

2. Apa saja infeksi lain yang mempengaruhi kehamilan ( TORCH dan infeksi lainnya) ?

C. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui infeksi menular seksual yang mempengaruhi kehamilan

2.

Untuk mengetahui infeksi lain yang mempengaruhi kehamilan ( TORCH

(7)

BAB II

TINJAUAN KASUS

A.Studi Kasus A

Seorang perempuan berusia 23 tahun dirujuk bidan ke RS pada tanggal 07-09-2014 dengan keluhan sering diare dan batuk sejak awal kehamilan. Berat badan menurun drastis HPHT 07-03-2014. Hasil pemeriksaan tekanan darah

120/80 mmHg, Nadi 84 x/menit, R 20 x/menit, Suhu 370 C. Pemeriksaan fisik

konjungtiva merah muda, sklera putih, oedema wajah -, TFU 24 cm, balotement +, DJJ + 10 x/menit irreguler. Hasil pemeriksaan dalam tidak ada kelainan. Di RS dilakukan pemeriksaan Elisa + . Riwayat pekerjaan suami pernah menjadi waitress di klub malam. Ibu pernah berganti pasangan selama pacaran dan berhubungan intim

B. Studi Kasus B

Seorang perempuan berusia 32 tahun datang ke bidan tanggal 07-09-2014 dengan keluhan sering nyeri perut tidak keluar bercampur darah. Ibu mengatakan hamil 8 bulan anak ke 4. HPHT 07-01-2014. Hasil pemeriksaan

tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88x/menit, respirasi 22 x/menit, suhu 370C.

(8)

BAB III

PEMBAHASAN

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasite atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab infeksi saluran reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak semua ISR disebabkan IMS.

Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :

1. Infeksi menular seksual, misalnya gonorrhea, sifilis, trikomoniasis, ulkus mole, herpes genitalis, kondiloma akuminata dan infeksi HIV.

2. Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebihan, misalnya kandidosis vaginalis dan vaginosis bacterial.

3. Infeksi iatrogenik yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke saluran reproduksi akibat prosedur medic dan intervensi selama kehamilan, pada waktu partus atau pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi instrument.

(9)

Diagnosis dan manajemen IMS pada kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat asimptomatik atau muncul dengan gejala yang spesifik. Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas tes yang rendah, sejumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya mengarah pada hasil perinatal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan melakukan pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat pemeriksaan prenatal yang pertama adalah penting.

Dengan adanya perubahan fisiologik selama kehamilan yang mempengaruhi farmakokinetik dari terapi medic, eksposur obat ke janin dan pertimbangan keamanan menyusui untuk bayi, penatalaksaan IMS pada perempuan hamil, dan pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana untuk perempuan tidak hamil. Selain itu, pertimbangan khusus berkaitan dengan potensi penularan untuk beberapa IMS viral perlu dipertimbangkan dalam menentukan keamanan dari pemberian air susu.

A. Klamidiatis

Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri chlamydia trachomatis, berukuran 0,2 – 1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan merupakan parasit intrasel obligat.

Terdapat 3 spesies yang patogen terhadap manusia yaitu C. Pneumoniae,C, psittaci, dan C, trachomatis. C, trachomatis sendiri mempunyai 15 macam serovar, serovar A, B, Ba, dan C merupakan penyebab trachoma endemik, serovar B, D, E, F, G, H, I, J dan K, dan M merupakan penyebab terjadinya infeksi traktus genitourinarius serta pneuminia pada neonatus. Sementara itu, serovavar L1, L2 dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma verereum. Yang menjadi dasar pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi major outer membrane protein (MOMP).

(10)

menunjukan gejala klinik spesifik. Endoserviks merupakan organ pada perempuan yang paling sering terinfeksi CT. Walaupun umumnya infeksi CT asimptomatik, 37 % perempuan memberikan gambaran klinik duh mukopurulen dan 19 % ektopik hipertrofik. Servisitis dapat ditegakkan bila ditemukan duh serviks yang mukopurulen, ektopi serviks, edema, dan perdarahan serviks baik spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas. Infeksi pada serviks dapat menyebr melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba falloppii. Secara klinis dapat memberi gejala metrorargia.

Sebanyak 10 % CT pada serviks akan menyebar secara asendens danmenyebabkan penyakit radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis dan /ataurekuren menyebabkan jaringan parut pada tuba. Komplikasi jangka panjang yang sering adalah kehamilan ektopik dan infertilitas akibat obstruksi. Komplikasi lain dapat pula terjadi seperti artritis reaktif dan perihepatitis (sindrom Fitz-Hugh-Curtis).

Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C, trachormatis menunjukan gejala keluarnya sekret vagina, perdarahan disuria, dan nyeri panggul. Namun, sebagian besar perempun hamil tidak menunjukan gejala. Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukan adanya servisitis. Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi serviks pada kehamilan.

Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan, kelahiran prematur, dan kematian perinatal. Disamping itu, bisa juga menyebabkan konjungtivitis pada neonatus dan pneunomia infantil. Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi juga dianjurkan untuk dilakukan skriningterhadap infeksi CT pada saat datang untuk pertamakali antenatal dan juga pada trimester ketiga kehamilan.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan melalui beberapa metode yaitu

a. Kultur

(11)

c. Deteksi asam nukleat : hibridisasi probe deoxyrribonucleic acid (DNA), uji amplikasi asam nukleat seperti Polymerae Chai Reaction (PCR), dan Ligase Chain Reaction (LGR).

d. Pemeriksaan serologi.

Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama obat yang dapat mempengaruhi sintesis protein CT, misalnya golongan tetrasiklin dan eritromisin. Obat yang dianjurkan adalah doksisiklin 100 mg per oral, 2 kali sehari selama 7 hari atau azitromisin 1 g peroral, dosis tunggal, atau tetrasiklin 500 mg, per oral, 4 kali perhari selama 7 hari, atau eritromisin 500 mg peroral, 4 kali sehari selama 7 hari, atau ofloksasin 200 mg, 2 kali sehari selama 9 hari. Untuk kehamilan obat golongan kuinolon dan tetrasiklin tidak dianjurkan pemakaiannya.

Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonatus atau pneumonia infantil dianjurkan pemberian sirop eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, perhari dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama 14 hari.

B. Trikomoniatis

Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh trichomonas vaginalis (TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitas bagian bawah baik pada perempuan maupun pria. Dari berbagai penelitian di indonesia yang dilakukan pada tahun 1978-1997 pada perempuan berisiko rendah, dijumpai kasus trikomoniasis sebesar 1,6 – 7,3%.

(12)

Diagnosis trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat trikomonad hidup pada sediaan langsung duh tubuh penderita dalam larutan NaCl fisiologik. Baku emas ntuk diagnostik adalah kultur. Namun, media kultur diamond tidak mudah didapat dan penggunaan nya terutama untuk penelitian. Untuk pengobatan hingga saat ini metronidazol merupakan antimikroba yang efektif untk mengobati trikomoniasis. Dosis metronidazol yang dianjurkan adalah dosis tunggal 2 g secara oral atau dapat juga diberikan dalam dosis harian 2 x 500 mg/hari selama 7 hari. Pemberian metronidazol telah direkomendasikan oleh FDA selama masa kehamilan.

C. Vaginosis Bacterial

Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat pergantian laktobasilus spp penghasil H2O2 yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri

anaerob dalam kontrasepsi tinggi (seperti bakterides spp, mobiluncus, gardnerella vaginalis, dan mycoplasma bominis). (Sarwono,dkk.2013)

Vaginosis bakteri, bukan merupakan infeksi dalam arti biasa tetapi penyakit ini adalah maldistribusi flora normal vagina. Jumlah laktobasilus menurun, dan spesies yang jumlahnya berlebihan adalah bakteri anaerob termasuk gardnerella vaginalis, mobilucus, dan beberapa spesies bakterioids. Hampir 30% perempuan tak hamil memeiliki vaginosis (Allsworth dan Peipert, 2007 simhan dkk, 2008). Pada kehamilan berkaitan dengan kelahiran kurang bulan (Denney dan Culhane, 2009).

Perempuan dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala atau dengan keluhan dengan bau vagina yang khas yaitu bau amis, terutama pada waktu setelah senggama. Bau tersebut di sebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Pada pemeriksaan ditemukan sekret yang homogen, tipis, dan berwarna keabu-abuan. Tidak ditemukan inflamasi pada vagina dan vulva.

(13)

mendukung adanya kriing rutin untuk vaginosis bakterial pada perempuan hamil pada popilasi umum. Namun, skrining pada kunjungan pertama pranatal direkomendasikan untuk pasien yang beresiko tinggi untuk kelahiran prematur (misalnya pasien dengan riwayat kelahiran prematur atau ruptur membran yang prematur ). Sebagian besar kasus (50-75%) vaginosis bakterial bersifat asimptomatik atau dengan gejala ringan. Gejala klinik termasuk bau amis seperti ikan atau bau seperti amonia yang berasal dari sekret vagina dan sekret vagina yang homogen, tidak menggumpal, abu-abu keputihan,tipis. Disurea da disparenuia jarang ditemukan sedangkan pruritus dan imflamasi tidak ada. Sekret vagina yang diasosiasikan dengan vaginosis bakterialis berasal dari vagina dan bukan dari serviks. Mengingat dampak vaginalis bakterialis pada awal kehamilan dan terakhir kehamilan maka sebaiknya dilakukan skrining minimal pada waktu datang antenatal pertama kali.

Diagnosis ditegakan berdasarkan kriteria amsel yaitu adanya tiga dari empat tanda-tanda berikut:

1. Cairan vagina homogen, putih keabu-abuan, dan melekat pada dingding vagina.

2. PH vagina >4,5.

3. Sekret vagina berbau amis setelah penambahan KOH 10% 4. Clue sell pada pemeriksaan mikroskopis

Pengobatan yang dianjurkan adalah metronizazol 500mg 2x sehari selama 7 hari, metronizazol 2g peroral dosis tunggal atau klindamisisn peroral 2x 300mg/hari selama 7 hari. Pada perempuan hamil jenis obat dan dosisnya sama seperti pada perempuan tidak hamil.

(14)

D. Sifilis

Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Treponema

pallidum yang dapat mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jantung hingga susunan saraf pusat, juga dapat tanpa manifestasi lesi ditubuh. Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer, sifilis sekunder, sifilis laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertikal pada masa kehamilan. Lesi primer sifilis berupa tukak yang biasanya timbul di daerah genetal eksterna dalam waktu 3 minggu setelah kontak. pada perempuan kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia minor, fourchette atau serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian permukannya mengalami nekrosis dan ulserasi, dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan teraba tegas. Jumlah ulserasi biasanya hanya satu, namun dapat juga multipel.

Lesi sekunder ditandai dengan malese, demam, nyeri kepala, limfadenopati generalisata, ruam generalisata dengan lesi di palmar, plantar, mukosa oral atau geneital, kondiloma lata didaerah intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papula,

papuloskuamosa dan pustul yang jarang disertai keluhan gatal. T. pallidum

banyak ditemukan pada lesi di selaput lendir atau lesi yang basah seperti kondiloma lata.

Sifilis Laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya pemeriksaan serologik yang rekatif. Hal ini mengindikasikan organisme ini masih tetap ada di dalam tubuh, dan dalam perjalanannya fase ini dapat berlangsung selama bertahun-taun, bahkan seumur hidup. Kurang lebih 2/3 pasien sifilis latem yang tidak diobati akan tetap dalam fase ini selama hidupnya.

Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat terjadi sejak beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai.

(15)

kardiovaskuler dapat terjadi aneurisma aorta dan endokarditis. Gumma timbul

akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen T. pallidum, lesi

tersebut bersifat destruktif dan biasanya muncul di kulit, tulang, atau organ dalam.

Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil, hanya perlu diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa memberikan hasil positif palsu. Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya terjadi setelah plasenta terbentuk utuh, kira-kira sekitar umur kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder ditemukan pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan bentuk timbulnya sifilis kongenital lebih memungkinkan.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menemukan T. pallidum dalam

spesimen dengan menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan Burry atau mikroskop imunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes non treponemal (tes reagen) untuk melacak antibodi IgG dan IgM terhadap lipid yang terdapat pada permukaan sel treponema misalnya; Rapid Plasma Reagen (RPR), Venereal Disease Research Laboratory (VDRL). Hasil positif palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum mencapai 1-2%

(termasuk pada ibu hamil. Tes treponemal menggunakan T. pallidum

misalnya: Treponema pallidum haemaglutination Assay (TPHA). Pada

(16)

memungkinkan, pemberian eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari dapat dipertimbangkan .

Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar diberi pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis tunggal intra muskular. Untuk memonitor hasil pengobatan dilakukan pemeriksaan serologi non treponemal 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun setelah pengobatan selesai.

E. Condiloma Accuminata

Genital warts, juga dikenal sebagai condiloma acuminata disebabkan oleh

human Papilloma Virus (hPV). Lesi dapat berpoliferasi selama kehamilan dan sering mengalami regresi spontan setelah persalinan. Tidak ada komplikasi kehamilan yang disebabkan hPV yang diketahui seperti abortus spontan ataupun persalinan premature.

Lesi berupa vegetasi soliter atau multiple, permukaan berjonjot tajam seperti kutil, dapat meliputi daerah yang luas hingga ke orifisium uretra,

mukosa labium mayor dan anus. Genital warts jarang ditransmisikan pada

neonatus, tetapi terdapat laporan adanya papillomatosis laring dan respiratorik dan perinatal warts pada bayi. hPV tipe 6 dan 11 dapat menyebabkan papillomatosis repiratoris pada bayi dan anak. Diperkirakan bahwa virus hPV mungkin didapat saat melewati jalan lahir. Oleh karena itu, operasi sesar tidak direkomendasikan sebagai prevensi tranmisi hPV pada bayi dan hanya dipertimbangkan pda kasus dengan obstruksi jalan lahir atau bila persalinan pervaginam dapat menimbulkan perdarahan berlebihan.

Diagnosis klinik dari genital warts biasanya sudah cukup. Walaupun pemeriksaan serotype untuk hPV tersedia, hal ini tidak diperlukan untuk

diagnosis dan manajemen genital warts.

(17)

sakit. Imikuimod, 5-flourourasil, podofillin, dan podofillotoksin dikontraindikasikan pada kehamilan.

Selain itu, pada Sarwono tahun 2010 mengatakan bahwa penanganan untuk kasus condiloma acuminate yaitu

1 Bersihkan/irigasi lokasi lesi dengan larutan antiseptic kemudian lakukan ablasi denngan kauteter elektrik pada semua lesi yang ditemukan (paling aman bagi ibu hamil). Pilihan terapi likal lainnya adalah :

a. Asam trikloro asetat 40-50%

b. Asam salisilat 20-40% (lindungi bagian sekitar lesi dengan vaselin agar tidak membakar mukosa yang sehat.

2 Berikan pula asiklovir 200 mg setiap 4 jam.

3 Beri antibiotika profilaksis pascaablasi (ampisilin + sulbaktam 2,25 g oral dosis tunggal.

4 Bila timbul lesi yang sangat ekstensif (pascapengobatan) pertimbangkan kemungkinan adanya HIV.

5 Obati pula pasangannya dengan terapi yang sama, gunakan metode barrier (kondom) apabila melakukan hubungan seksual.

6 Lakukan penjadwalan kunjungan ulang (pemantauan dan terapi).

F. Gonorrhea

Gonorrhea adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria

gonorrhoeae. N. gonorrhoeae di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi lembar 0,8 µm dan bersifat asam. Kuman ini bersifat Gram negative, tampak di luar dan di dalam leukosit polimorfnuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada keadaan kering,

tidak tahan pada suhu di atas 390C, dan tidak tahan zat desinfektan.

(18)

dan peremuan. Gonorrhea pada perempuan kebanyakan asimptomatik sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasinya.

Komplikasi pada trimester pertama adalah salfingitis gonoroika, salfingo-ooforitis dan pelvioperitonitis yang disebabkan oleh bakteri yang naik dari serviks uteri ke endosalping. Pada permulaan kehamilan trimester II, bakteri dari serviks uteri tidak dapat mencapai ke daerah endosalping karena korion sudah melekat dengan desidua dan menutup kavum uteri.

Infeksi gonorrhea selama kehamilan telah diasosiasikan dengan pelvic inflammatory disease (PID). Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion berfusi dengan desidua dan mengisi kavum uteri.

Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrhoeae diasosiasikan dengan rupture

membran yang premature, kelahiran premature, korioamnionitis dan infeksi pascapersalinan. Konjungtivitis gonokokal (opthalmia neonatorum), manifestasi tersering dari infeksi perinatal, umumnya ditranmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat mengarah pada perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang termasuk meningitis sepsis diseminata dengan artritis, serta infeksi rektal dan genital.

Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining terhadap infeksi gonorrhea pada saat datang untuk pertama kali antenatal dan juga pada trimester ketigakehamilan. Dosis dan obat-obat yag diberikan tidak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil tidak dianjurkan.

1. Pada masa kehamilan, berikan salah satu antibiotika dibawah ini :

a. Ampisilin 2 g IV dosis awal, lanjutkan dengan 3 x 1 g oral selama 7 hari.

b. Ampisilin + sulbaktam 2,25 g oral dosis tunggal

c. Spektinomisin 2 g IM dosis tunggal

(19)

2. Bila pada masa nifas berikan salah satu antibiotika berikut ini :

a. Ciprofloksasin 1 g oral dosis tunggal

b. Trimetrophin + sulfamethoksazol (160 mg + 800 mg) 5 kaplet dosis tunggal.

3. Ofthalmia neonatorum (konjungtivitis) yang disebabkan oleh gonorrhea (waktu bayi melalui jalan lahhir), diobati dengan garamisin tetes mata 3 x 2 tetes dan salah satu antibiotika di bawah ini :

a. Ampisilin 50 mg/kg BB IM selama 7 hari

b. Amoksisiklin + asam klavulanat 50 mg/kg BB IM selama 7 hari

c. Ceftriaxone 50 mg/kg BB IM dosis tunggal.

Lakukan konseing tentang penggunaan metode barrier dalam melakukan hubungan seksual selama pengobatan, upaya pencegahan lanjutan, risiko PMS terhadap ibu dan bayi yang dikandungnya/dilahirkannya.

Berikan pengobatan yang sama pada pasangannya. Buat jadwal kunjungan ulang dan pastikan pasien (dan pasangannya) akan menyelesaikan pengobatan hingga tuntas.

G. Herpes Genitalis

Herpes Genitalis (HG) merupakan IMS virus yang menempati urutan kedua tersering di dunia dan merupakan penyebab ulkus genital tersering di Negara maju.

Manifestasi klinik HG sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu, pejanan VHS sebelumnya, sepisode terdahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar 3-7 hari, bahkan dapat lebih lama. Predileksi pada perempuan dapat ditemukan di daerah labia mayor/minor, klitoris, intoitus vagina dan serviks, sedangkan yang lebih jarang di daerah perianal, bokong dan mons pubis.

(20)

oleh pajanan/infeksi VHS-1 maupun VHS-2 sebelumnya. Sementara itu, episode pertama nonprime dapat merupakan :

1. Episode penyakit yang terjadi pada seseorang dengan riwayat pajanan/infeksi VHS-1 atau VHS-2 sebelumnya, atau

2. Reaktivasi dari infeksi genital asimptomatik, atau

3. Infeksi genital pada seseorang dengan riwayat infeksi orolabialis sebelumnya.

Gejala klinik yang terjadi yaitu

1. Timbulnya erupsi bintik kemerahan disertai rasa panas dan gatal pada kulit region genitalis.

2. Kadang-kadang disertai demam seperti influenza dan setelah 2-3 hari, bintik kemerahan tersebut berubah menjadi vesikel disertai rasa nyeri.

3. 5-7 hari kemudian, vesikel pecah dan keluar cairan jernih dan pada lokasi vesikel yang pecah, timbul keropeng (atau ditutupi lapisan kekuningan bila terkena infeksi sekunder).

4. Bila mengenai region genitalia yang cukup luas, dapat menyebabkan gangguan mobilitas, vaginitis, urethritis, sistitis dan fisura ani herpetika.

5. Dapat menyebabkan abortus, anomaly kongenital dan infeksi pada neonatus (konjungtivitis/keratitis, ensefalitis, vesikulitis kutis, icterus dan konvulsi.

(21)

Risiko tinggi transmisi pada janin akan terjadi pada keadaan timbul lesi primer pada kehamilan, atau keadaan seronegatif dengan suami seropositive, atau pemakaian alat monitor kulit kepala bayi dengan ibu seropositive.

Diagnosis secara klinik ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritema dan riwayat gejala serupa berulang. Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalh uji Tzank, akan tetapi sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi VHS dengan kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi VHS genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya antigen atau antibody VHS dam serum penderita.

Penatalaksanaan HG pada kehamilan dapat dibedakan antara perempuan hamil episode primer dan perempuan hamil episode rekurens. Pengobatan dengan asiklovir harus diberikan kepada semua perempuan yang menderita HG episode primer dalam kehamilan. Terapi supresif dengan asiklovir pada 4 minggu terakhir kehamilan dapat mencegah rekurensi HG pada saat pertus. Dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea terhadap semua perempuan hamil yang dating dengan HG lesi primer pada saat menjelang persalinan. HG rekurens dihubungkan dengan resiko yang kecil mendapat herpes neonatus. Pada keadaan perempuan hamil menjelang partus dan terdapat lesi HG rekurens, maka indikasi mutlak adalah seksio sesarea.

Penanganan khusus yaitu :

1. Atasi nyeri dan demam dengan parasetamol 3 x 500 mg

2. Bersihkan lesi dengan larutan antisseptik dan Kompres dengan air hangat. Setelah nyeri berkurang, keringkan dan oleskan asiklovir 5% topical.

3. Berikan asiklovir oral 200 mg setiap 4 jam.

(22)

5. Obati pasangannya dengan asiklovir oral selama 7 hari.

6. Bila diputuskan untuk partus pervaginam, hindari tansmisi ke bayi dan penolong.

7. Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat diberikan asiklovir 10 mg/kgBB intravena tiap 8 jam selama 10-21 hari.

H. HIV AIDS

1. Definisi

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya.

Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang lebih lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik selama beberapa tahun disertai replikasi virus secara terlambat. Kemudian setelah terjadi penurunan sistem imun yang berat, maka terjadi berbagai infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah masuk pada keadaan AIDS. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi pertama, bahkan bisa lebih lama lagi.

(23)

pascapersalinan (5-20%). Kelainan yang dapat terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm dan abortus spontan.

Antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan sesudah infeksi. Pemeriksaan konfirmasi menggunakan Western blot (WB) cukup mahal, sebagai penggantinya dapat dengan melakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring memakai reagen dan teknik berbeda.

Telah banyak bukti menunjukkan bahwa keberadaan IMS meningkatkan kemudahan seseorang terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu, upaya pengendalian infeksi HIV dapat dilaksanakan dengan melakukan pengendalian IMS.

2. Etiologi

Berikut ini antara lain penjelasan penyebab dari HIV pada ibu dan bayi: a. Dengan melihat tempat hidup HIV, tentunya bisa diketahui penularan

HIV terjadi kalau di cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti hubungan seks dengan pasangan yang mengidap HIV, jarum suntik, dan alat-alat penusuk (tato, penindik, dan cukur) yang tercemar HIV dan ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin atau disusui oleh wanita pengidap HIV.

b. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terkena HIV lebih mungkin tertular c. Walaupun janin dalam kandungan dapat terifeksi, bayi lebih mungkin

tertular jika persalinan berlanjut lama

d. Selama proses persalinan, bayi dalam keadaan beresiko tertular oleh darah ibu

e. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV juga mengandung virus tersebut. Jadi jika bayi disusui oleh ibu HIV (+), bayi bisa tertular.

3. Patofisiologi

Berikut ini penjelasan dari patofisiolog dari HIV

a. Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina.

b. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui kontak seksual

(24)

Acid (DNA) untuk diintregasikan ke dalam sel penjamu dan di program

Infeksi HIV memiliki 4 stadium sampai nantinya menjadi AIDS, yaitu : a. Stadium 1, gejalanya antara lain :

1) Belum menynjukan gejala

2) Dalam hal ini, ibu dengna HIV positif tidak akan menunjukan gejala klinis yang berat, sehingga ibu akan tampak sehat seperti orang normal, dan mampu melakukan aktifitasnya seperti biasa

b. Stadium II, gejalanya antara lain :

1) Sudah mulai menunjukan gejala yang ringan

2) Gejala ringan tersebut, sepertipenurunan berat badan kurang dari 10%, infeksi yang berulang pada saluran nafas dan kulit

c. Stadium III, gejala antara lain :

1) Ibu dengan gejala HIV sudah tampak lemah 2) Gejala dan infeksi sudah mulai bermunculan

3) Ibu akan mengalami penurunan berat badan yang lebihberat 4) Diare yang tak kunjung sembuh

5) Demam yang hilang timbul

6) Mulai mengalami infeksi jamur pada rongga mulut bahkan infeksi sudah menjalar ke paru-paru

d. Stadium IV, gejalanya antara lain : 1) Pasien akan menjadi AIDS

2) Aktifitas pasien akan banyak dilakukan di tempat tidur krena kondisi dan keadaannya sudah mulai lemah

3) Infeksi mulai bermunculan dimana-mana dan cenderung berat

4) Salah satu kesulitan mengenali infeksi HIV adalah masa laten tanpa gejala yang lama, antara 2 bulan hingga 2 tahun.

5) Umur rata-rata saat diagnosis infeksi HIV ditegakan adalah 35 tahun. 5. Prognosis

a. Kelompok resiko tertinggi terhadap infeksi HIV adalah homoseksual, pria biseksual, penyalahgunaan obat-obatan intravena dan penderita hemofilia yang mendapat transfusi darah.

(25)

c. Semua drah harus di skrinning terhadap HIV sebelum di transfusikan untuk memperkecil resiko melalui transfusi

d. Wanita lebih mudah mendapat virus dari pria dibanding sebaliknya karena konsentrasi HIV dalam semen tinggi dan robekan mukosa pada introitus atau vagina saat berhubungan seksual lebih sering terjadi di banding kerusakan kulit penis (Benson, 2009)

e. Transmisi vertikal merupakan penyebab tersering infeksi HIV pada bai dan anal-anak di Amerika Serikat

f. Transmisi HIV ibu ke janin dapat terjadi intruterine (5-10%), saat persalinan (10-20%), dan pasca persalinan (5-20%)

g. Kelahiran yang dapat terjadi pada janin antara lain, berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan (Prawirohardjo, 2008)

6. Pencegahan

a. Karena belum ada obat untuk HIV , terapi dewasa ini hanya untuk memperlambat kemajuan penyakit

b. Karena itu penting sekali menekankan upaya pencegahan

c. Disamping upaya untuk tidak melakukan hubungan seksual (abstinentia) atau hanya menjalin hubungan seksual dengan satu mitra saja yang diketahui tidak terinfeksi.penggunaan kondom lateks yang sudah di lumasi dengan nonoxynol 9 merupakan metode yang paling efektif dalam membatasi resiko infeksi

d. Jika seorang wanita positif HIV, ia harus diberikan nasihat tentang : 1) Tidak mendonorkan darah, plasma, jaringan, atau organnya 2) Menghindari kehamilan

3) Menjaga hubungan dengan satu pasangan

4) Tekun menggunakan kondom yang telah dilumasi dengan nonxynol 9 selama kontak seksual apapun.

7. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi

Ibu dengan HIV+ dapat mengurangi resiko banyinya tertular dengan : a. Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)

1) Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV

a) Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai b) Angka penularan hanya 1-2% biala ibu memakai ART

c) Angka ini kurang lebih 4% bila ibu memakai AZT selama 6 bulan terakhir kehamilannya dan bayinya di berikan AZT selama 6 minggu pertama kehidupnnya

(26)

(1)Ada 2 cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini : AZT dan 3TC di pakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah lahir

(2)Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi diberi pada bayi 2-3 hari setelah lahir (3)Menggabungkan nevirapine dan AZT selama persalinan

mengurangi penularan menjadi hanya 2%

(4)Namun, resistensi terhadap nevirapine dapat muncul pada hingga 20% perempuan yang memakai satu tablet saat hamil (5)Hal ini kemudian mengurangi keberhasilan ART yang dipakai

oleh ibu

(6)Resistensi ini juga dpata di sebarkan pada bayi waktu menyusui

(7)Walaupun begitu, terapi jangka pendek ini lebih terjangkau di Negara berkembang (Lembaran Informasi Spiritia LI610) b. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya

1) Semakin lama proses kelahiran, semakin besar resiko penularan 2) Bila ibu memakai AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000,

maka dikatakan resiko hampir nol

3) Ibu dengan viral load yang tinggi dapat mengurangi resiko dengan memakai bedah sesar

c. Menghindari menyusui

1) Kurang lebih 14% bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi 2) Resiko ini dapat dihindari jika bayinya di beri pengganti ASI (PASI

atau Formula)

3) Namun jika PASI tidak diberi secara benar, resiko lain pada bayinya semakin tinggi

4) Jika formula tidak bisa di larut dalam air bersih, atau masalah biaya menyebabkan kesultan dalam pemberian formula, lebih baik bayi di susui

5) Yang terburuk adalah apabila ASI dicampur PASI

6) Mungkin cara cocok untuk sebagian besar ibu di Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak dicampur dengan PASI) selama 3-4 bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak dicampur dengan ASI)

(27)

1) Mengkonsumsi protein yang berkualias dari sumber hewani dan nabati seperti daging, telur, ayam, ikan, kacang-kacangan, dan produknya seperti tempe yang mengandung Vit B12 berfungsi sebagai bakterisida dan dapat mengobati dan mencegah diare.

2) Banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan secara teratur , terutama yang berwarna dan kaya vitamin A(beta karoten), zat besi,Vitamin C dan E sebagai anti radikal bebas

3) Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan yang beragi (tape, brem, roti)

4) Pastikan makan bersih dari pestisida dan zat-zat kimia berbahaya, cuci makanan sebelum dikonsumsi.

5) Bila ODHA mendapat obat antiretroviral, pemberian makanan di sesuaikan dengan jadwal meminum obat, dimana ada obat yang di berikan saaat lambung kosong, pada saat lambung penuh atau di berikan bersama-sama dengan makanan.

6) Menghindari makanan yang merangsang alat penciuman (untuk mencegah mual)

7) Menghindari rokok, kafein, dan alkohol

8) Makan sedikit, namun sering (kebutuhan gizi ODHA di tambah 10-25% dari kebutuhan minimum yang di anjurkan

9) Minum susu setiap hari, susu yang rendah lemak dan sudah dipasteurisasi, jika tidak dapat menerim susu sapi, dapat diganti dengan susu kedelai

10) Sesuaikan dengan syarat diet penyakit infeksi yang menyertai, misalnya rendah serta, makanan lunak dan cair jika ada gangguan saluran pencernaan rendah laktosa dan rendah lemak jika diare.

I. CONTOH KASUS

1. Asuhan pada Ibu hamil dengan infeksi HIV/AIDS dengan pendokumentasian SOAP

Data Subjektif :

(28)

sudah 5 hari yang lalu, sariawan pada mulut sejak 7 hari yang lalu, ibu mengaku ini kehamilan yang pertama, usia kehamilan 7 bulan, dengan HPHT 18-9-2011, TP 25-6-2012, ibu mengatakan bahwa suaminya mengidap HIV (+) ± sejak 20 tahun yang lalu, Ny. W menikah sudah 9 tahun yang lalu, didalam lingkungan keluarga ibu mendapat support dari orang tua dan mertuanya untuk hamil, tetapi di lingkungan rumah atau masyarakat sekitar kurang memerima kehadiran Ny. W dan suaminya karena takut menularkan HIV, ibu mengatakan bahwa pergerakan janinnya ada 7 kali dalam sehari, dan ibu menyatakan behwa dari hasil pemeriksaan tes laboratorium darah pertama tanggal 10 November

2008 bDNA (Branced Deoxyribonuclied Acid) dan CD4 900sel/m3 darah

didapatkan hasil (-)HIV, dan tes kedua dilakukan lagi dengan jarak 7 minggu

dengan hasil tes bDNA dan CD4 800 sel/m3 darah (-)HIv, dan ibu melakukan

tes lagi yang ketiga kalinya tanggal 16 Februari 2009 dengan hasil tes bDNA

dan CD4 menurun yaitu 150 sel/m3 darah menunjukkan (+) HIV dan pada

tangga l30 Maret 2009 Ny. W melakukan tes keempat untuk meyakinkan

bahwa dirinya (+) HIV, dan hasil bDNA dan CD4 (+) HIV yaitu 100sel/m3

darah.

Data Objektif :

Keadaan umum ibu kurang baik, kesadaran compos mentis, tekanan darah

110/70 mmHg, nadi 85 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu 38,50C, berat badan

(29)

bDNA dan CD4 menurun menunjukan hasil 100 sel/m3 darah(+) HIV, Hb 10 gr

%, protein urin (-) dan glukosa (-).

Assessment :

Diagnosa : G1P0A0 hamil 28 minggu, dengan penyakit infeksi HIV (+). Janin tunggal. Hidup. Intrauterine. Presentasi kepala.

Masalah : cemas, berat badan turun drastic, kekurangan cairan.

Kebutuhan : informasi, konseling, dukungan

Masalah potensial :

a. Pada ibu : ibu HIV (+) stadium III dan AIDS

b. Pada janin : janin dapat tertular HIV (+) dan BBLR

Tindakan segera : kolaborasi dengan Dokter spesialis kandungan.

Penatalaksanaan

a. Melakukan konseling pra dan pasca test HIV dengan memberitahu ibu hasil pemeriksaan bahwa keadaan ibu saat ini kurang baik, TD 110/70 mmHg, N

85 x/menit, R 20 x/menit, S 38,50C, saat ini usia kandungannya berumur 8

bulan dengan masalah ibu mengidap HIV/AIDS dari hasil test darah bDNA

dan CD4 mennurun menunjukkan hasil 100 sel/m3 darah (+)HIV, kondisi

janin saat ini baik dengan taksiran berat janin 1705 gr, ibu telah diberitahu hasil pemeriksaan dan ibu mengerti akan hasil pemeriksaan.

(30)

c. Menganjurkan ibu untuk memakan makanan yang tinggi kalori dan tinggi protein seperti mengkonsumsi daging, telur, ayam, ikan, tempe, wortel, kelapa, kembang kol, buah alpukat, kacang-kacangan dan produk olahannya secara teratur, terutama sayuran dan buah-buahan berwarna yang kaya vitamin A (beta-karoten) yang tidak rendah serat untuk mencegah diare yang berkelanjutan, zat besi, makanlah makanan yang ibu suka sebanyak yang ibu mau untuk menambah berat badan ibu, dan baik untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, minum susu setiap hari, menghindari makanan yang diawetkan seperti mie instan, makanan kaleng/sarden, dan makanan yang beragi (tape, brem). Ibu mengerti anjuran bidan dan akan mengkonsumsi makanan yang telah dianjurkan.

d. Menganjurkan ibu untuk banyak minum air putih 8 gelas/hari paling sedikit, terutama untuk ibu yang sedang demam, diare, keringat pada malam hari karena dalam keadaan seperti itu ibu membutuhkan penambahan cairan untuk mengganti kehilangan cairan tersebut. Ibu mengerti dan mengatakan akan menuruti anjuran yang diberikan.

e. Memberi ibu tablet Fe dengan dosis 1x1/hari yang dapat ibu minum pada malam hari karena bila diminum pada siang hari obat tersebut dapat menimbulkan mual pada ibu, dengan satu gelas air putih dan jangan diminum dengan air teh atau kopi karena hal tersebut dapat menghambat kerja obat dan menurunkan efektifitas oabt tersebut, tablet Fe ini selain baik untuk mencegah dan mengobati Anemia, baik juga untuk pertumbuhan janin karena mengandung asam folat yang dibutuhkan janin. Ibu mengerti dan berjanji akan minum tablet Fe dengan teratur dan diminum sesuai anjuran yang diberikan bidan.

(31)

diberikan dalam bentuk intravena. Ibu mengerti dan berjanji akan minum obat secara teratur.

g. Menganjurkan ibu untuk memeriksakan kehamilannya kepada dokter spesialis kandungan untuk mengetahui perkembangan janin dan kondisinya (USG). Ibu mengerti anjuran bidan dan akan segera mengunjungi dokter kandungan.

h. Memberitahu ibu bahwa ibu dengan HIV (+), proses persalinan tidak bisa ditolong oleh bidan, walau ibu bersalin bukan indikasi dilakukan pertolongan persalinan dengan seksio sesaria akan tetapi ada kemungkinan ibu harus di operasi sesar, karena resiko yang mungkin terjadi pada bayi dapat tertular HIV. Maka ibu dan keluarga diharapkan mempersiapkan segala sesuatunya seperti uang, tempat bersalin (Rumah Sakit), kendaraan dan lain-lain untuk proses persalinan ibu. Ibu mengerti informasi yang diberikan dan akan mempersiapkan kebutuhan yang diperlukan untuk persalinan nanti.

i. Memberitahu ibu untuk melakukan kunjungan ulang 2 minggu kemudian atau bila ibu mengunjungi dokter spesialis kandungan dan atau bila ibu mengalami penyulit atau hal-hal yang dianggap tidak normal oleh bidan dan keluarga. Ibu mengerti dan mengatakan akan kembali melakukan kunjungan ulang 2 minggu kemudian.

j. Memberitahu ibu mengenai tanda bahaya kehamilan seperti perdarahan pervaginam yang tiba-tiba, sakit kepala yang hebat, pandangan kabur, keluar air-air dari vagina sebelum usia kandungan ibu 9 bulan, maka segera hubungi atau dating ke pelayanan kesehatan terdekat. Ibu mengerti dan akan segera mendatangi bidan bila terjadi salah satu masalah tadi.

(32)

HIV (+). Ibu mengerti dan akan memilih KB yang aman untuk dirinya nanti bila sudah bersalin.

l. Memberitahu ibu bahwa ibu tidak dianjurkan untuk menyusui bayinya ketika selesai proses persalinan dan untuk selamanya mengingat risiko bayi tertular HIV, sebaiknya ibu memberikan bayinya susu formula, dengan penyajian dan takaran yang benar. Ibu mengerti dan akan memberikan bayinya nanti susu formula untuk keselamatan dan kesehatann bayinya.

m. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang telah diberikan pada catatan SOAP. Hasil pemeriksaan dan asuhan yang diberikan telah didokumetasikan pada catatan SOAP.

Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella, Citomegalovirus, Herpes Simplek)

J. Infeksi Citomegalovirus

Citomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Di amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5-2% dari seluruh bayi neonatal). Yow dan demmler (1992) dalam pengamatanya selama 20 tahun atas morbiditas yang disebabkan CMV perinatal menjelaskan bahwa dari 800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 500.000 bersifat simptomatis dengan kelainan retardasi mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin yang bersifat asimptomatis mempunyai keluhan neurologik

(33)

ibu dan tindakan transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi diperikirakan 3-5%

1. Patogenesis

Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas.selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai macam jaringan.proses ini disebut infeksi laten

Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multipikasi virus.keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV,atau obat-obatan yang di konsumsi penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan. Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik.dapat diterangkan bahwa keua keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian,terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai berbagai sindroma

2. Epidemiologi

Di Negara-negara maju sitonegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3-2% dari kelahiran hidup.dilaporkan pula bahwa 10-15% bayi lahir yang berinfeksi secara kongenital adalah simptomatis yakni dengan manifestasi klinik akibat terserangnya susunan saraf pusat dan berbagai organ lainnya (multiple organ).hal ini menyebabkan kematian perinatal 20-30 % serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90 % pada kelahiran manifestasi klinik dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi metal, gangguan psikomotor, icterus, petechbiae, koreoretinitis, dan kalsifikasi sebral 1-4 Sebanyak 10-15 bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimptomatis) serta tampak normal Pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat neurologic seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan penglihatan diperkirakan 1-2 tahun kemudian. Dengan alasan ini sebenranya infeksi CMV adalah penyebab utama kerusakan system susunan saraf pusat pada anak-anak.

(34)

Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamiln dan infeksi pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius..

Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola imunologik seronegatif dan nonprime bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.

Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi)

4. Diagnosis

Infeksi prime pada kehamiln dapat ditegakan baik dengan metode serologic maupun virologik. Dengan metode serologic, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditunjukan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif ( tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologic infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity yaitu antibody klas IgG menunjukan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dlam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer menunjukan IgG aviditas rendah (Low Avidity IgG) terhadap CMV.

Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakan dengan menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoclonal antibody yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo Dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.

5. Diagnosis pranatal

(35)

kehamilan tersebut dapat berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya t;erapi intervensi karena pengobatan dengan antivirus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif dan memuaskan. Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu karena tiga hal berikut:

a. Mencegah hasil negative palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum umur kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi virus sitomealo melalui urin ke daam cairan ketuban. b. Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar

virus dapat ditemukan dalam cairan ketuban

c. Infeksi janin berat karena tranmisi CMV pada umumnya bila infeksi maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu

Penelitian menunjukan bahwa untuk diagnosis pranatal hasil amniosentesis lebih baik dibandingkan dengan kordosentesis. Demikian pula halnya biopsi vili korialis dikatakan tidak meningkat kemampuan mendiagnosis infeksi CMV intrauterin. Kedua prosedur ini kordosentesis dan biopsy membawa resiko tinggi bagi janin, bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan.

Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal sangat membantu dalam mengidentifikasi janin yang berisiko tinggi/diduga terinfeksi CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterine bila didapatkan hal-hal berikut ini pada janin. Oligohidramnion, polihidramnion, hidrops nonimun, asistes janin, ganggun pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus) kalsifikasi intracranial, hepatosplenomegali dan kalsifiasi intrahepatik

6. Terapi dan Konseling

(36)

dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna mengobati infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esophagitis pada penderita dengan

(37)

K.Toksoplasmosis Kongenital

1. Aspek Klinik dan Perilaku Biologik Toksoplasma Kongenital

Transmisi toksoplasma kengenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah memiliki antibody antoksoplasma karena sebelumnya telah terpapar, resiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-7/1.00 ibu hamil. Resiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibody spesifik.

Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan parasite dapat mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasite berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil memperoleh akses sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinya bahwa hasil isolasi positif dijaringan plasenta menunjukan terjadinya infeksi pada neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus tidak ada.

Berdasarkan hasil pemeriksaan otopsi neonatus yang meninggal dengan toksoplasma kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat toksoplasmusis merupakan tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum terinfeksinya janin.

2. Diagnosis Pranatal

Diagnosis pranatal umunya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (trimester 2). Aktifitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut :

a. kordosentesis (pengambilan sample darah melalui talipusat) ataupun amniosintesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan USG.

(38)

c. pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD 4 dan CD 8. (Dafos et all, 1988)

Diagnsosis Toksoplasma Kongenital berdasarkan hasil pemeriksaan yang menujukan adanya IgM janin spesifik (anti toksoplasma) dari darah janin. Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangat menentukan agar upaya diagnosis pranatal snagat amat terpercaya dan efisien adalah sebagai berikut :

a. didahului oleh skrining serooik maternal atau ibu hamil, hasilnya harus memenuhi kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnosis pranatal. Jika 1 dari 4 sayarat dibawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.

1) Antibody IgM posistif

2) Serokonfersi dengan interval waktu 2-3 minggu, perubahan dari seronegatif menjadi seropositif IgM IgG

3) Titer IgG yang tinggi lebih dari 1 / 1024 (ELISA) 4) Aviditas IgG lebih <200

b. Keterampilan klinisim melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntunan USG

c. Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit dan khusus di laboratotium yaitu : kultur, inokulasi, tekhnik ELISA dan P.C.R

3. Terapi dan Pencegahan

Terapi diberikan kepada 3 kelompok penderita berikut : a. Kehamilan dengan infeksi akut

b. Toksoplasma kongenital

Sulfadiazin dengan dosis 50-100 mg/kg/hari dan piremitamin 0,5 – 1 mg/kg diberikan setiap 2-4 hari untuk mengatsi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika anak berumur 1 tahu karena diharapkan imunitas selulernya telah memadai untuk melawan penyakit pada masa tersebut.

c. Penderita imundefisiensi

(39)

menggunakan piremitamin, sulfadiazim, dan asamfolimik dalam jangka panjang. Piremitamin dan sulfadiazim dapat melalui barier otak.

L. Rubela

Infeksi rubela atau dikenal sebagai german measles menyerupai campak, hanya

saja bercaknya sedikit lebih kasar. Infeksi rubela pada trimester pertama memberikan dampak buruk untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan bawaan (sindroma rubela kongenital). Kelainan bawaan yang banyak ialah defek pada jantung, katarak, retinitis, dan ketulian. Oleh karena itu, infeksi pada trimester pertama memberi pilihan untuk aborsi. Kepastian infeksi dinyatakan pada konversi dari IgM negatif menjadi positif dan meningkatnya IgG secara bermakna. Kadar IgM ini dapat pula dibuktikan dalam darah tali pusat. Dengan upaya vaksinasi pada remaja, prevalensi infeksi virus ini menjadi sangat jarang (1:100).

M.Herpes Simplex Virus

Pada suatu survei di india kejadian IgM pada kelompok pasien dengan riwayat obstetri buruk (lahir mati, kematian neonatal) ditemukan hanya 3,6 %17 .

infeksi yang terjadi pada bayi relatif jarang, berupa infeksi paru, mata, dan kulit. Kini terbukti bahwa jika ibu sudah mempunyai infeksi (vesikel nyang nyeri pada vulva secara kronik), kemungkinan infeksi pada bayi hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan persalinan pervaginam. Tetapi, sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan akan mempunyai risiko, sehingga dianjurkan persalinn dengan seksio sesarea.

N.Infeksi Nifas

1. Prinsip dasar

Infeksi pada dan melalui traktus genitalis setelah persalinan disebut infeksi

nifas. Suhu 380 C atau yang lebih diantara hari ke 2-10 postpartum dan

diukur peroral sedikitnya 4 kali sehari disebut mordibitas puerperalis.

Kenaikan suhu tubuh yang terjadi di dalam masa nifas, dianggap sebagai infeksi masa nifas jika tidak ditemukan sebab – sebab ekstragenital.

(40)

a. Kurang gizi atau malnutrisi

4) Kurang baiknya proses pencegahan infeksi 5) Dapat berlanjut ke infeksi dalam masa nifas 2. Masalah

a. Infeksi nifas merupakan mordibitas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin b. Derajat komplikasi bervariasi sangat tajam, mulai dari mastitis hingga

adanya koagulasi intravaskular diseminata

O.Metritis

Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kurang adekuat dapat menjadi abses pelvik. Peritonitis, syok septik, thrombosis, vena yang dalam, emboli pulmonal,infeksi pelvik yang menahun, dispareunia, penyumbatan tuba dan infertilitas.

1. Berikan transfusi bila dibutuhkan. Berikan Packed Red Cell.

2. Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi.

Ampisilin 2g IV, kemudian 1 g setiap 6 jam ditambah getamisin 5mg /kg berat badan IV dosis tunggal/hari dan metrodinazol 500 mg IV setaip 8 jam. Lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas dalam 24 jam.

3. Pertimbangkan pemberian anti tetanus profilaksis

4. Bila dicurigai adanya sisa placenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan kuret yang lebar).

5. Bila ada pus lakukan drainase(kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi fowler.

6. Bila tak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda peritonitis generalisata lakukan laparotomi dan keluarkan pus. Bila pada evaluasi uterus nekrotik dan septik dan lakukan histerektomi subtotal.

A. Bendungan payudara

(41)

Bila ibu menyusui bayinya : 1. Susukan sesering mungkin . 2. Kedua payudaran disusukan

3. Kompres hangat payudara sebelum disusukan

4. Bantu dengan memijat payudara untuk permulaan menyusui. 5. Sanga payudara.

6. Kompres dingin pada payudara diantara waktu menyusui.

7. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg peroral setiap 4 jam. 8. Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengevaluasi hasilnya.

Bila ibu tidak menyusui : 1. Sangga payudara

2. Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit

3. Bila diperlukan berikan paracetamol 500 gram peroral setiap 4 jam 4. Jangan dipijat atau memakai kompres hangat pada payudara.

P. Infeksi payudara

Infeksi payudara sesudah persalinan 1. Mastitis

Payudara tegang/indurasi dan kemerahan

a. Berikan keloksasilin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari. Bila diberikan sebelum terbentuknya abses biasanya keluhanya akan berkurang

b. Sanga payudara kompres dingin

c. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg peroral setiap 4 jam d. Ibu harus didorong menyusui bayinya walaupun ada pus.

e. Ikuti perkembangan 3 hari setelah pemberian pengobatan. 2. Abses payudara

Terdapat masa padat, mengeras dibawah kulit yang kemerahan. a. Diperlukan anastesi umum (ketamin)

b. Insisi radial dari tengah dekat pinggir areola, kepinggir supaya tidak memotong saluran asi

c. Pecahkan kantung pus dengan tisu porsep atau jari tengah. d. Pasang tampon dan drain.

e. Tampon dan drain diangkat setelah 24 jam

f. Berikan kloksasilin 500 mg setelah 6 jam selama 10 hari g. Sanga payudara.

h. Kompres dingin

i. Berikan paracetamol 5 mg setiap 4 jam sekali bila diperlukan j. Ibu didorong tetap memberikan asi walau ada pus

(42)

Q.Abses pelvis

a. Bila pelvik abses ada tanda cairan pluktoasi pada daerah cul-de-sac, lakukan kolpotomi atau dengan laparotomi. Ibu posisi fowler.

b. Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi.

Ampisilin 2 g IV, kemudian 1 g setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5 mg / kg berat badan IV dosis tunggal/ hari dan metrodinazon 500 mg IV setiap 8 jam lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam.

R. Peritonitis

a. Lakukan nasogastric saction

b. Berikan infus (NACL atau Ringer Laktat).

c. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:

Ampisilin 2 g IV, kemudian 1 g setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5 mg / kg berat badan IV dosis tunggal/ hari dan metrodinazon 500 mg IV setiap 8 jam.

d. Laparotomi diperlukan untuk pembersihan perut (peritonal lavage)

S. Infeksi Luka Perineal Dan Luka Abdominal

Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan pencegahan infeksi yang kurang baik.

a. Bedakan antara wound absess, wound seroma, wound hematoma dan wound

cellulitis

1) wound absess, wound seroma, wound hematoma suatu pengerasan yang tidak biasa dengan mengeluarkan cairan serous atau kemerahan dan tidak ada/sedikit erithema sekitar luka insisi.

2) wound cellulitis didapatkan erithema dan edema meluas mulai dari tempat insisi dan melebar.

b. Bila didapat pus dan cairan pada luka, buka dan lakukan pengeluaran c. Daerah jahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan debridemen. d. Bila infeksi sedikit tidak perlu antiboitika

e. Bila infeksi relatif superfisial, berikan ampisilin 500 mg peroral setaip 6 jam dan metronidazol 500 mg peroral 3 kali perhari selama 5 hari

(43)

Bila ada jaringan nekrotik harus dibuang . lakukan jahitan sekunder 2 – 4 minggu setelah infeksi membaik.

g. Berikan nasehat kebersihan dan pemakaian pembalut yang bersih dan sering diganti.

T. Trombopeblitis

Perluasan infeksi nifas yang paling sering ialah perluasan atau invasi mikroorganisme patogen yang mengikuti aliran darah disepanjang vena dan cabang – cabangnya sehingga terjadi trombopebitis.

Klasifikasi

a. Pelviotrambopeblitis

Pelviotromboplitis mengenai vena - vena dingding uterus dan ligamentum latum, yaitu vena ovarika, vena uterina dan vena hipogatrika.vena yang paling sering terkena ialah vena ovarika dextra karena infeksi pada tempat implantasi plasenta terletak dibagian atas uterus, proses biasanya unilateral. Peluasan infeksi dari vena ovarika sinistra ialah ke vena renalis, sedang perluasan infeksi dari vena ovarika dextra ialah kevena karvainverior. Peritoneum, yang menutupi vena ovarika dextra mengalami inplamasi dan akan menyebabkan perisalpingo – ooporitis dan periapendisitis perluasan infeksi dari vena uterina ialah ke vena iliaka komunis.

b. Trombopeblitis pemolaralis

Trombopeblitis pemolaralis mengenai vena – vena pada tungkai,misalna vena pemoralis, vena poplitea dan vena savena.

U.Pelviotrombopeblitis

a. Nyeri, yang terdapat pada perut bagian bawah dan/ atau perut bagian samping, timbul pada hari ke 2 atau 3 masa nifas dengan atau tanpa panas.

b. Penderita tampak sakit berat dengan gambaran karakteristik sebagai berikut :

(44)

2) Suhu badan naik turun secara tajam (360 - 400C) yang diikuti dengan

penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya supebris seperti pada endometritis).

3) Penyakit dapat berlangsung selama 1 sampai 3 bulan

4) Cenderung terbentuk pus, yang menjalar kemana mana terutama ke paru – paru.

c. Gambaran Darah

1) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke sirkulasi, dapat segera terjadi leukopenia).

2) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat tepat sebelum mulainya mengigil. Meskipun bakteri ditemukan didalam darah selama mengigil, kultur darah sangat sukar dibuat karena bakterinya adalah anaerob.

5) Pada periksa dalam hampir tidak diketemukan apa apa karena yang paling banyak terkena ialan vena ovarika, yang sukar dicapai pada pemeriksaan dalam.

d. Komplikasi

1) Komplikasi pada paru – paru : infrak, abses, pneumonia.

2) Komplikasi pada ginjal sinistra , nyeri mendadak yang diikuti dengan proteinuria dan hematuria,

3) Komplikasi pada persendian, mata dan jaringan subktan. e. Penanganan

1) Rawat Inap

Penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakitnya dan mencegah terjadinya emoboli pulmonum.

2) Terapi medik

Pemberian antibiotika (lihat antibiotika kombinasi dan alternatif, seperti yang tercantum dalam penatalaksanaan korioamnionitis) heparin jika terdapat tanda – tanda atau dugaan adanya emboli pumonum.

3) Terapi operatif

Pengikatan vena kava inverior dan vena ovarika jika emboli septik terus berlangsung sampai mencapai paru – paru , meskipun sedang dilakukan heparinasasi.

V. Trombofblebitis femoralis

(45)

1) Keadaan umum tetap baik , suhu badan subfebris selama 7 sampai 10 hari, kemudian suhu mendadak naik kira – kira pada hari ke 10 – 20 , yang disertai dengan mengigil dan nyeri sekali .

2) Pada salah satu kaki yang terkena biasanya kaki kiri, akan memberikan tanda - tanda sebagai berikut :

a) Kaki seikit dalam keadaan fleksi dan rotasi keluar serta sukar bergerak, lebih panas dibandig dengan kaki lainya.

b) Seluruh bagian dari salahsatu vena pada kaki terasa tegang dan keras pada paha bagian atas.

c) Nyeri hebat pada lipat paha dan daerah pada.

d) Reflek torik akan terjadi spasmus arteria sehingga kaki menjadi bengkak, tegang , putih, nyeri dan dingin, dan pulsasi menurun. e) Oedema kadang kadang sebelum atau setelah nyeri dan pada

umunya terdapat pada paha bagian atas, tetapi lebih sering dimulai dari jari jari kaki dan pergelangan kaki, kemudian meluas dari bawah keatas.

f) Nyeri pada betis, yang dapat terjadi spontan atau dengan memijit betis atau dengan mengerakan tendo akhiles (tanda homan)

b. Penanganan 1) Perawatan

Kaki ditinggikan untuk mengurangi oedema, lakukan kompresi pada kaki. Setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai kaos kaki panjang yang elastik selama mungkin.

(46)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Sarwono Prawirohardjo,2013,Ilmu Kebidanan. PT.Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo. Jakarta

Sarwono Prawirahdjo, 2005, Ilmu Bedah Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta

Maryunani Anik, Puspita Eka. 2013. Asuhan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal. Trans Info Media : Jakarta

Rukiyah Ai Yeyeh. 2013. Asuhan Kebidanan 4 Patologi Kebidanan. Trans Info Media : Jakarta

Cunningham, dkk. 2009. Obstetri Williams Volume 2. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian yang telah dilakukan ini dapat disimpulkan bahwa ASSR memiliki tingkat ketepatan yang baik dalam mendeteksi gangguan pendengaran pada anak, terutama

Masuk peringkat 5 besar rayon Semarang sehingga lolos ke babak selanjutnya.. Oki Fitria Hasani (MTs Muhammadiyah 07 Kejobong)

Secara parsial variabel Agunan berpengaruh signifikan terhadap bank dalam memberikan pembiayaan kepada UMKM.Dimana thitung 2,500&gt;2,052.Secara parsial variabel kondisi

Sedangkan menurut Nana Sudjana (2010: 35) menyatakan “Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah dan karuniaNya sehingga penulis data menyelesaikan karya tulis akhir yang berjudul ―Efek Antipiretik

Tujuan dilakukannya analisis mutu ini agar mengetahui kualitas dari gula yang akan digunakan untuk proses pembuatan syrup, mengetahui keberadaan mikroorganisme yang ada dalam

policies and practices of the state’s criminal justice agencies. Moving toward or expanding evidence-based practices will require resources for planning, staff

Excerpt 5 shows a similar pattern. At line 1, Teacher launches a new topic of discussing the focal fourth-grade student’s “benchmark math test” with the student’s Mom and Dad as