BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enzim Lipase
Enzim merupakan suatu protein yang bertindak sebagai katalisator reaksi biologis (biokatalisator) (Muchtadi et al., 1992). Menurut Suhartono (1989) enzim memiliki sifat yang khas yaitu sangat aktif walaupun konsentrasinya amat rendah, sangat selektif, bekerja pada keadaan reaksi yang ringan (tanpa suhu atau tekanan tinggi dan tanpa logam yang umumnya beracun).
Enzim lipase dapat diperoleh dari hewan, tanaman dan mikroorganisme. Menurut Svendsen (1994) enzim lipase yang bersumber dari hewan dikelompokkan berdasarkan sumbernya yaitu: lipase pada sistem pencernaan, lipase yang terdapat pada jaringan seperti hati, paru-paru dan ginjal serta lipase dalam air susu. Menurut Mukherjee dan Hills (1994) enzim lipase dari tanaman
dikelompokkan menjadi lipase triasilgliserol, asilhidrolase, fosfolipase dan lisofosfolipase. Sedangkan enzim lipase yang bersumber dari mikroorganisme menurut Svendsen (1994) dibagi menjadi lipase yang berasal dari bakteri, kapang dan khamir.
Lipase merupakan biokatalisator yang mempunyai kemampuan mengkatalisis reaksi hidrolisis lipid menjadi asam lemak dan gliserol. Oleh karena kemampuannya dalam menghidrolisis lipid, lipase dapat dimanfaatkan sebagai aditif dalam industri detergen. Lipase yang digunakan dalam industri detergen mempunyai sifat seperti rentang pH antara 8-10,5, serta tetap aktif pada suhu 300C-600C (Zusfahair et al., 2008).
aktif permukaan atau penurunan tegangan permukaan yang lebih baik dibandingkan trigliserida..
lipase
Trigliserida + H2O Digliserida + ALB lipase
Digliserida + H2O Monogliserida + ALB lipase
Monogliserida + H2O Gliserol + ALB
lipase
Trigliserida + 3H2O Gliserol + 3ALB Keterangan: ALB = Asam Lemak Bebas (Macrae, 1983)
Pada berbagai produk, enzim lipase sudah banyak digunakan terutama dalam pengolahan susu, pembuatan keju, pembuatan mentega, serta dalam pembuatan produk-produk pangan yang lain (Muchtadi et al, 1992).
2.2 Bacillus
2.2.1 Karakteristik Bacillus sp.
Marga Bacillus merupakan salah satu dari enam bakteri penghasil endospora, yaitu Bacillus, Sporolactobacillus, Clostridium, Desulfotomaculum, Sporo- sarcina, Thermo actinomy cetes. Endospora tersebut berbentuk bulat, oval, elips atau silinder, yang terbentuk di dalam sel vegetatif. Endospora tersebut membedakan Bacillus dari tipe-tipe bakteri pembentuk eksospora. Spora Bacillus
pertama kali dideskripsikan oleh Cohn pada tahun 1872 pada B. subtilis yang semula disebut Vibrio subtilis oleh Ehrenberg pada 1835. Cohn menunjukkan bahwa spora tersebut mempunyai resistensi yang lebih dibandingkan sel vegetatifnya ( Hemphill, 2006).
Bacillus spp asal laut telah diteliti oleh ahli-ahli peneliti kelautan dan terbukti mempunyai beberapa kemampuan, diantaranya adalah mampu menghasilkan zat antibiotik yang dapat melawan bakteri patogen Vibrio cholerae,
sebagai penghasil enzim pemecah senyawa glukan yaitu Bacillus circulans No.
meruncing, atau lancip seperti ujung cerutu. Ujung sel terpisah dan adakalanya tetap saling melekat dengan yang lainnya (Pelczar dan Chan, 1986). Bacillus sp. sangat resisten terhadap kondisi yang kurang baik seperti suhu, pH, dan salinitas sehingga distribusinya di alam sangatluas.
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram-positif dan fakultatif aerob. Ukuran dari sel vegetatifnya sekitar 1.0- 1.2 μm atau 3.0-5.0 μm. Spora terletak di tengah atau tepi sel. Organisme ini tidak menghasilkan manitol dan memiliki phospolipase (lecithinase) yang sangat aktif (Wong, 2010). Bacillus sp. berbentuk batang, 0,3 – 2,2 µ x 127 – 7,0 µm. Sebagian besar motil, flagelum lateral, membentuk endospora, tidak lebih dari satu dalam satu sel sporangium serta bersifat kemoorganotrof (Pelczar dan Chan, 2005).
2.2.2 Ciri-Ciri Morfologi dan Fisiologi Bacillus sp. DA 5.2.3.
Bacillus sp. DA 5.2.3 memiliki warna koloni krem keputihan, bentuk koloni bulat, pinggiran tidak rata. Pada bagian pusat koloni terbentuk titik seperti inti yang dikelilingi garis halus melingkar menuju inti. Isolat ini merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang tunggal maupun rantai. Endospora dihasilkan pada pewarnaan menurut Schaefer-Fulton. Isolat DA 5.2.3 menghasilkan enzim katalase, nitrat reduktase, arginin dehidrolase serta menghidrolisis gelatin, kasein dan pati. Isolat ini menggunakan natrium malonat sebagai sumber nitrogen, salisin sebagai sumber karbon, tetapi tidak menggunakan glukosa, sukrosa ataupun
laktosa. Ketika ditumbuhkan pada suhu 50 0C ataupun pada NaCl 7%, isolat ini tidak tumbuh (Jamilah, 2011).
2.2.3 Pemanfaatan Bacillus sp.
dilakukan misalnya oleh bakteri atau jamur heterotropik. Proses bioremediasi akan berjalan optimal pada suhu dan pH tertentu serta harus tersedia nutrisi dan oksigen yang cukup bagi organisme yang digunakan (Citroreksoko, 1996).
2.3 Kandungan Lemak dalam Pakan Udang
Lemak merupakan komponen nutrisi penting yang dibutuhkan untuk perkembangan ovarium, terutama asam lemak tidak jenuh tinggi (n-3 HUFA) dan fosfolipid. Konsentrasi lemak dalam pakan komersial untuk induk udang berkisar 10% dan ini 3% lebih tinggi dari pakan komersial untuk jenis grower. Total kandungan lemak dalam pakan dilaporkan tidak begitu penting berpengaruh, namun diyakini bahwa pakan yang kaya akan kandungan n-3 HUFA (Asam Aicosapentanoat = EPA dan Asam Docosaheksanoat = DHA) ditemukan mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan ovarium, fekunditas, dan kualitas telur (Tacon, 1987).
Lemak diperlukan oleh udang tidak hanya sebagai sumber energi saja. Oleh karena lemak juga terdapat asam lemak essensial dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, K maka lemak juga berfungsi sebagai pembawa dan mempertinggi penyerapan vitamin yang larut dalam lemak serta mempengaruhi aroma dan tekstur pakan (Edhy, et al., 2010).
Asam lemak penting bagi udang adalah asam linolenat, asam lemak ini
reproduksi udang yang optimum. Sumber lemak dalam bentuk trigliserida selama proses pematangan gonad juga meningkat dalam telur, dan diyakini nutrisi ini berperan sebagai sumber energi utama dalam reproduksi dan penentu kualitas telur. Lemak mengandung kalori hampir dua kali lebih banyak dibandingkan dengan protein maupun karbohidrat, karena perannya sebagai sumber energi sangat besar meskipun kadarnya dalam makanannya relatif kecil (Tacon, 1987).
2.4 Permasalahan Pakan Udang di Perairan Tambak
Pakan udang yang diberikan kepada udang secara berlebihan mampu menimbulkan masalah terhadap lingkungan perairan tambak. Senyawa organik yang terkandung di dalam pakan udang akan terkumpul di dalam perairan tambak dan mempengaruhi pertumbuhan udang. Salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap pencemaran pakan udang yaitu kandungan oksigen di dalam air (Dissolved Oxygen/ DO). Kandungan DO dalam perairan tambak sangat berpengaruh terhadap fisiologi udang. Kadar oksigen merupakan faktor lingkungan yang terpenting pada tambak udang. Apabila terjadi penurunan kandungan oksigen terlarut (DO) dalam air (merupakan variabel kualitas air pembatas utama dalam budidaya), akan mengakibatkan mudah terserang penyakit dan memiliki pertumbuhan yang lambat, laju konsumsi pakan dan kelulusan kehidupan yang rendah (Boyd, 1982). Dalam perairan berkadar oksigen 1,0 mg/l udang akan berhenti makan, tidak menunjukkan perbedaan laju konsumsi pakan pada konsentrasi 1,5 mg/l, tidak tumbuh pada 1,0 -1,4 mg/l, memiliki pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l dan normal pada konsentrasi di atas 5,9 mg/l. Dengan demikian DO harus dipertahankan di atas 2,0 mg/l (Yang, 1990 dan Law, 1988).
Pada tambak semi-intensif dan tambak intensif sejalan dengan masa pemeliharaan jumlah bahan organik yang berasal dari kotoran sisa pakan dan