BAB II
KETENTUAN PIDANA YANG MENGATUR TENTANG KELALAIAN BERLALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG
LAIN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK
A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan
Ketentuan pidana dalam UU LLAJ merupakan dasar hukum penjatuhan
sanksi pidana bagi pengemudi dalam kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
orang lain meninggal dunia. Ketentuan pidana ini perlu diuraikan terlebih dahulu
untuk mengetahui dasar hukum dapat dipidananya seseorang dalam hal ini
pengemudi yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia yakni Pasal 310,
Pasal 311, dan Pasal 312 UU LLAJ. Pasal-pasal tersebut yang dapat digunakan
untuk menjerat pengemudi yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia
dalam kecelakaan lalu lintas.
Pasal 310
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(4) Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan
Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ antara lain:
1. Setiap orang;
Kata setiap orang yang dimaksud di sini adalah siapa saja yang menjadi
subjek hukum, yakni sebagai pembawa hak dan kewajiban. Dalam doktrin ilmu
hukum pidana “setiap orang” dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
a. manusia (nature person);
b. korporasi, yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (legal person)
“Setiap orang” dalam Pasal ini mengacu pada pelaku dari perbuatan tindak
pidana kejahatan lalu lintas serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana baik
berupa alasan pemaaf maupun alasan pembenar sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 44 sampai dengan Pasal 51 KUHP dan pelaku tersebut dipandang cakap
sebagai subjek hukum.
2. Mengemudikan kendaraan bermotor;
Pelaku dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang dapat dipidana adalah
setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor. Artinya setiap orang yang
mengemudikan kendaraan tidak bermotor maka ia tidak dapat dipidana. Redaksi
pasal ini setelah dicermati ternyata didapati bahwa pengemudi kendaraan tidak
bermotor tidak dijadikan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas terkait dengan
mengemudikan kendaraan tidak bermotor menggunakan kekuatan fisik dan bukan
dengan kekuatan mesin seperti pada kendaraan bermotor, sehingga disini dituntut
unsur kehati-hatian yang tinggi pada diri pengemudi kendaraan bermotor.
Berhubungan dengan ini dapat diketahui dengan melihat pada redaksi Pasal 1
angka 8 dan angka 9 UU LLAJ sebagai berikut :
a. Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain kendaraan yang berjalan di atas rel.
b. Kendaraan tidak bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan.
3. Karena lalai; dan
Unsur ini pada umumnya yang memerlukan waktu lebih lama dalam hal
pembuktiannya. Kesalahan pelaku dalam kecelakaan lalu lintas berupa kelalaian
yang ada pada dirinya saat itu harus dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya
yakni faktor apa yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut. Demikian
pula harus diukur sejauh mana pengemudi telah benar-benar waspada dan
hati-hati dalam mengemudikan kendaraannya. Dalam hal ini yang membedakan antara
kelalaian dengan kesengajaan pada pokoknya adalah bahwa pengemudi tentu
tidak akan berbuat, seandainya ia mengetahui akibat yang akan timbul akibat
perbuatannya. Di sini pengemudi tidak sadar akan resiko dari perbuatannya
tersebut yang menyebabkan ia lalai. Kesalahan berbentuk kealpaan/kelalaian
dengan kata lain merupakan tindakan tercela dan pelaku tidak menyadari tindakan
yang dilakukan tersebut.
Kelalaian tersebut merupakan rumusan delik maka juga harus dibuktikan.
Melalui penyidikan dan dengan mengungkapkan fakta-fakta dalam persidangan
maka unsur kelalaian akan dapat dibuktikan atau tidak.
4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Unsur mengkibatkan orang lain meninggal dunia pada umumnya
dibuktikan berdasarkan Visum Et Repertum dari rumah sakit yang menerangkan penyebab dan cara kematian korban dengan memeriksa tubuh korban baik dengan
pemeriksaan luar maupun dengan pemeriksaan dalam. Defenisi umum Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah jabatan dokter tentang hal yang dilihat dan ditemukan pada benda yang
diperiksa serta memberikan pendapat mengenai apa yang ditemukannya
tersebut.45
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Visum Et Repertum ini merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan
Pasal 184 KUHAP. Selain dengan melakukan Visum Et Repertum pada korban, pembuktian mengenai adanya korban meninggal dunia pada pasal ini juga dapat
dibuktikan dengan melampirkan surat kematian yang dikeluarkan dokter ataupun
lurah pada tempat tinggal korban.
Pasal 311
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan
45
dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp. 8.000.000,00 (delapan juta rupiah).
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Unsur-unsur pidana yang terkandung dan harus terpenuhi dalam aturan Pasal 311
ayat (5) UU LLAJ antara lain:
1. Setiap orang;
2. Mengemudikan kendaraan bermotor;
3. Dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau
keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang
4. Mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Ketentuan Pasal 311 sebenarnya serupa dengan Pasal 310. Apa yang
membedakan Pasal 311 ini adalah adanya unsur kesengajaan orang yang
mengemudikan kendaraan dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi
nyawa atau barang. Perbuatan tersebut yang menyebabkan ancaman sanksi pidana
dalam pasal 311 lebih berat jika dibandingkan dengan Pasal 310 yaitu ancaman
hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Sama halnya dengan membuktikan unsur kelalaian pada Pasal 310,
pembuktian unsur kesengajaan inilah yang paling sulit diantara unsur-unsur pasal
berupa kesengajaan yang ada pada dirinya saat kejadian kecelakaan lalu lintas
juga harus dilihat dari faktor kejadian yang sebenarnya yakni faktor apa yang
menyebabkan kecelakaan lalu lintas tersebut, hal ini dapat diungkapkan pula dari
kronologis kejadian dan kesaksian-kesaksian.
Penjelasan mengenai cara mengemudikan kendaraan yang membahayakan
atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dalam Pasal 311 ini
tidak ditemui dalam penjelasan pasal UU LLAJ. Lebih lanjut, apabila dikaitkan
dengan penjelasan Pasal 106 mengenai yang dimaksud dengan ”penuh
konsentrasi” akan didapati penalaran mengenai kesengajaan mengemudikan
kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa
atau barang. Bentuk kesengajaan ini terwujud dalam tindakan meminum
minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi
kemampuan dalam mengemudikan kendaraan. Mengingat betapa berbahayanya
meminum minuman alkohol dan obat-obatan yang mana pengetahuan ini sudah
barang tentu diketahui secara umum, maka tindakan tersebut dapat menjadi alas
pemidanaan seseorang melakukan kesengajaan, hal ini sebagaimana terjadi pada
kasus Afriyani.
Unsur dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara
atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang ini dipahami sebagai
adanya pelanggaran-pelanggaran lalu lintas yang dilakukan pengemudi terlebih
dahulu yang disadarinya sehingga mengakibatkan kecelakaan. Misalnya seorang
pengemudi sepeda motor menerobos lampu merah dengan melewati batas
namun tiba-tiba ada seorang penyeberang pejalan kaki yang hendak menyeberang
dan terjadilah kecelakaan mengakibatkan penyeberang tadi luka berat. Pengemudi
ini patut dipersalahkan atas Pasal 311 dengan pembuktian unsur dengan sengaja
membahayakan nyawa berupa menerobos lampu merah (Pasal 287 ayat 1),
melanggar batas kecepatan (Pasal 287 ayat 5), dan tidak mengutamakan
keselamatan pejalan kaki (Pasal 284). Ketiga pelanggaran tersebut akan menjadi
alasan yang memberatkan pidananya.46
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada kepolisian negara republik indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling Unsur “kesengajaan” dalam pasal ini barangkali berdasar pada sikap batin
pengemudi dan pandangan masyarakat bahwa perbuatan itu telah diketahui dan
dapat diperhitungkan akan mengakibatkan kecelakaan. Meskipun demikian, kian
rumit untuk menemukan unsur kesengajaan dalam kasus kecelakaan lalu lintas.
Perilaku pengemudi yang sudah melampaui batas sehingga dapat membahayakan
nyawa orang lain menjadikan penerapan sanksi pidana lebih berat (pidana penjara
maksimal 12 tahun). Tentunya pemikiran ini kembali lagi pada penafsiran majelis
hakim dalam mengenakan pasal ini pada persidangan mengenai kecelakaan lalu
lintas. Untuk itu, aparat penegak hukum, meliputi polisi, jaksa, dan hakim dalam
hal ini hendaklah harus membuktikan adanya unsur kesengajaan tersebut dengan
lebih teliti.
Pasal 312
46
lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 312 tersebut diatas terkait dengan kewajiban dan tanggung jawab
pengemudi dalam Pasal 231 ayat (1). Pasal ini jika dicermati bukan merupakan
tindakan yang mengakibatkan orang lain meninggal sebagaimana terdapat pada
kedua pasal sebelumnya yakni Pasal 310 dan Pasal 311. Akan tetapi pasal ini
dimasukkan dalam pasal yang tergolong pada suatu tindak pidana kejahatan
sebagaimana tertera pada Pasal 316 ayat 2.
Berkaitan dengan pasal 312 ini, sering pula ditemui dalam beberapa kasus
kecelakaan lalu lintas yaitu tabrak lari. Tabrak lari pada umumnya merupakan
istilah dengan pengertian bahwa pelaku dalam hal ini pengemudi meninggalkan
korban kecelakaan lalu lintas dan tidak menghentikan kendaraan yang
dikemudikannya. Perbuatan tersebut merupakan tindakan pengemudi yang tidak
bertanggung jawab atas perbuatannya. Apabila melihat pada sikap batin dari
pengemudi yang menghindari tanggung jawabnya ini, dapat ia dikatakan
melakukan suatu tindakan pembiaran dengan mengacuhkan korban yang telah
dicelakainya. Apabila dicermati dari teropong norma kesusilaan dapatlah kita
sadari perbuatan ini patut disebut sebagai suatu kejahatan. Begitu juga halnya
dengan pengemudi yang tidak menolong korban yakni tidak melakukan upaya
untuk membantu meringankan beban penderitaan korban, antara lain tidak
memberikan pertolongan pertama di tempat kejadian dan tidak membawa korban
ke rumah sakit, bisa menjadi penyebab korban meninggal dunia. Selanjutnya,
perbuatan pengemudi yang tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada
Pasal-pasal mengenai kejahatan lalu lintas dimana pengemudi
mengakibatkan orang lain meninggal dunia yakni Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal
312 UU LLAJ telah diuraikan. Berikut beberapa pasal yang tidak boleh luput dari
perhatian manakala terjadi kecelakaan lalu lintas. Bahwa selain ancaman pidana
yang tercantum dalam Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312, dapat pula disertai
dengan penjatuhan pidana tambahan sebagaimana terurai dalam Pasal 314 berikut:
Pasal 314
Selain pidana penjara, kurungan, atau denda, pelaku tindak pidana lalu lintas dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan surat izin mengemudi atau ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas.
Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh majelis hakim dalam
putusannya mengenai perkara pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa
pencabutan surat izin mengemudi atau ganti kerugian. Pidana tambahan berupa
pencabutan SIM (larangan mengemudi) adalah agar pelaku dalam hal ini
pengemudi menjadi jera dan lebih hati-hati dalam mengendarai kendaraannya di
kemudian hari. Pidana tambahan menjadi penghukuman agar pelaku tidak dapat
mengulangi perbuatannya sebab ia berada dalam kondisi tidak diperkenankan
mengemudi hingga berakhir larangan mengemudi tersebut.
Mencermati adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian disini, hal ini
diputuskan majelis hakim apabila belum ada kesepakatan antara pelaku
kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan dengan korban mengenai
besar nominal ganti kerugian yang diderita korban. Apabila telah ada sebelumnya
upaya perdamaian dengan adanya ganti kerugian maka tidak perlu lagi majelis
diingat, ganti kerugian tersebut tidak menjadikan pelaku tersebut luput dari
tuntutan pidana.
Kontroversi penerapan hukum pidana dalam kasus kecelakaan lalu lintas
juga harus diluruskan. Perdamaian dalam tindak pidana kecelakaan lalu lintas
sering terjadi dan diterapkan oleh masyarakat selama ini. Perdamaian kerap kali
terjadi di antara pihak pengemudi yang menabrak dengan pihak korban dengan
cara pembayaran sejumlah uang atau santunan oleh pihak penabrak kepada korban
sebagai penggantian biaya pengobatan di rumah sakit atau biaya santunan bagi
korban yang telah meninggal dunia. Biasanya pihak korban telah merasa adil
sementara pihak pelaku sendiri dengan tulus ikhlas membayarkan sejumlah uang
tersebut.47
(1) Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan. Pasal 234 ayat 1
Pengemudi bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
Pasal 236
(2) Kewajiban mengganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2) dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat.
Apabila mencermati ketentuan Pasal 234 di atas, kerugian yang diderita
dalam hal ini akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas menjadi tanggung jawab
pengemudi. Lalu terkait dengan itu, pada Pasal 236 ayat 2 memberikan
penerangan bahwa dalam kecelakaan lalu lintas dapat terjadi upaya damai yakni
dalam hal kesepakatan mengenai jumlah besaran kerugian yang diderita.
Penerapan hukum pidana yang berlaku menurut UU LLAJ adalah bahwa
kasus kecelakaan yang diperbuat pengemudi tetaplah harus diajukan ke sidang
pengadilan untuk diproses secara hukum karena secara aturan hukum tidak ada
ketentuan pengecualian walaupun sudah terjadi perdamaian di antara pengemudi
dengan korban. Artinya semua kasus tindak pidana dalam kecelakaan lalu lintas
harus diselesaikan lewat proses peradilan, tidak memerdulikan apakah pengemudi
tersebut telah membayar sejumlah uang atau memberikan santunan kepada korban
atau tidak, hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang
berbunyi:
Pasal 235 ayat (1)
Jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (1) huruf c, pengemudi wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.
Jika dikaitkan dengan golongan kecelakaan lalu lintas sebagaimana
tersebut dalam Pasal 229, baik kecelakaan lalu lintas ringan, sedang maupun berat
adalah termasuk tindak pidana, hal ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal
230 UU LLAJ yang berbunyi:
Pasal 230
Perkara kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kecelakaan lalu lintas yang terjadi, sebenarnya dapat dihindari bila di antara
pengguna jalan mematuhi peraturan yang diatur dalam bagian keempat Bab IX
tentang ketertiban dan keselamatan dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
khususnya ketentuan Pasal 105 dan Pasal 106. UU Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Ketentuan Pasal 105 menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang menggunakan
Jalan wajib:
a. Berperilaku tertib; dan/atau
b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan Jalan.”
Pasal 106 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menentukan pula, sebagai berikut: 1. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib
mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi.
2. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengutamakan keselamatan Pejalan Kaki dan pesepeda.
3. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan layak jalan.
4. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mematuhi ketentuan:
a. Rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka Jalan;
c. Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas; d. Gerakan Lalu Lintas;
e. Berhenti dan Parkir;
f. Peringatan dengan bunyi dan sinar;
g. Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau
h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.
Dengan adanya suatu peraturan yang tersebut di atas dan apabila
masyarakatnya mau menerapkan aturan tersebut dalam berkendara, kemungkinan
besar bisa menekan jumlah kecelakaan yang sering terjadi di jalan raya. Banyak
kelalaian yang disebabkan kurang berhati-hatinya seseorang yang kerap
menimbulkan kecelakaan dan dengan kelalaian tersebut menimbulkan kerugian
Sedangkan untuk ketentuan pidananya mengenai kasus kecelakaan diatur
di dalam UU Lalu lintas dan angkutan jalan khusunya di Pasal 310 yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
2. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya yang mngakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
3. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
4. Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara palig lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).48
B.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Menurut uraian UU Lalu lintas dan angkutan jalan pada Pasal 310 dapat
disimpulkan bahwa apabila kealpaan atau kelalaian pengemudi itu mengakibatkan
orang lain terluka atau meninggal dunia ancaman pidananya sebagaimana yang
diatur dalam Pasal tersebut di atas.
Setiap kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi di jalan raya, tentunya
menimbulkan konsekuensi hukum bagi pengemudi tersebut. Ketentuan hukum
mengenai kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia
secara umum diatur dalam Pasal 359 dan 360 KUHP dan secara khusus diatur
48
dalam UU LLAJ. Atas kedua aturan tersebut, apabila terjadi kasus kecelakaan lalu
lintas yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia maka ketentuan hukum
yang harus dikenakan bagi pengemudi kendaraan tersebut adalah sanksi pidana
yang diatur dalam UU LLAJ, hal ini mengacu pada Pasal 63 ayat (2) KUHP
berikut:
Pasal 63 ayat (2)
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Penerapan Pasal 63 ayat (2) KUHP tersebut mengamanatkan kepada
penuntut umum dalam membuat surat dakwaannya dan Majelis Hakim dalam
mengadili pengemudi yang dalam kecelakaan lalu lintas mengakibatkan orang lain
meninggal dunia, agar menerapkan ketentuan yang tertera dalam ketentuan pidana
di dalam UU LLAJ dan bukan Pasal 359 KUHP.
C.Ketentuan Pidana Anak Pelaku Kejahatan Lalu Lintas Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak
UU LLAJ menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
orang lain meninggal dunia termasuk kepada golongan kejahatan, hal tersebut
sebagaimana tersebut dalam Pasal 316 ayat 2.
Pasal 316 ayat 2:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275 ayat (2), Pasal 277, Pasal 310, Pasal 311, dan Pasal 312 adalah kejahatan”.
Secara khusus ketentuan yang mengatur masalah hukum pidana anak,
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Dibentuknya Undang-Undang tentang Pengadilan Anak, antara lain karena
dapat meresahkan masyarakat, namun hal tersebut diakui sebagai suatu gejala
umum yang harus diterima sebagai suatu fakta sosial. Oleh karena itu, perlakuan
terhadap anak nakal seyogyanya berbeda dengan perlakuan terhadap orang
dewasa. Anak yang melakukan kenakalan berdasarkan perkembangan fisik,
mental maupun sosial mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan
orang dewasa, sehingga perlu ditangani secara khusus. Anak nakal perlu
dilindungi dari tindakan-tindakan yang dapat menghambat perkembangannya,
sehingga dalam penanganannya perlu dibuat hukum pidana anak secara khusus,
baik menyangkut hukum pidana materiil, hukum pidana formal, maupun hukum
pelaksanaan pidananya.49
Khusus mengenai sanksi terhadap anak dalam undang-undang ini
ditentukan berdasarkan perbedaan umur anak, yaitu anak yang masih berumur 8
sampai 12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan terhadap anak yang telah
mencapai umur 12 sampai 18 tahun dijatuhkan pidana. Pembedaan perlakuan
tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial
anak.50
Hal yang berbeda dengan jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHP
adalah selain menyangkut masalah jenis pidana pokok dan pidana tambahan,
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 diatur pula tentang jenis ancaman
sanksi yang berupa “tindakan”. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
antara lain ditegaskan bahwa: “Terhadap Anak Nakal hanya dapat pidana atau
49
Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia. (Graha Ilmu. Yogyakarta.2010) Hlm. 82.
50
tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”. Selanjutnya Pasal 23
ditegaskan pula bahwa Pidana Pokok, terdiri atas:51
a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; a. pidana penjara;
b. pidana kurungan;
c. pidana denda; atau
d. pidana pengawasan.
Sedangkan Pidana Tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang; dan atau
b. pembayaran ganti rugi.
Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menegaskan
bahwa ketika menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada
anak, hakim herus memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan
yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan dan juga wajib memperhatikan
keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh,
hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula,
Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.
Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal berdasarkan Pasal 24
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997meliputi:
b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja.
51
Tindakan di atas dapat pula disertai dengan teguran maupun syarat
tambahan lainnya berdasarkan Pasal 24 ayat (2).
Bagi anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2a,52 hakim
menjatuhkan sanksi pidana maupun tindakan. Sedangkan bagi anak nakal
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 huruf b,53
a. Untuk penjara, kurungan, denda dikurangi ½ dari ancaman untuk orang
dewasa;
hakim menjatuhkan tindakan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24, yang merupakan privat offence sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (1) dan (2).
Untuk anak yang melakukan tindak pidana (criminal offence) diancam dengan sanksi pidana dan tindakan. Mengenai lamanya pidana diatur dalam Pasal
26, 27, 28, yaitu:
b. Maksimum 10 (sepuluh) tahun penjara apabila delik ancaman pidana mati
atau seumur hidup;
c. Pidana pengganti denda berupa wajib latihan kerja dengan ketentuan:
1) Paling lama selama 90 (Sembilan puluh) hari;
2) Lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari;
3) Tidak dilakukan pada malam hari.
Namun demikian, bagi anak yang belum berumur 12 tahun hanya dapat
dikenakan tindakan berupa:
52
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 huruf a, anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana.
53
a. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja jika melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau seumur hidup (Pasal 26 ayat (3);
b. Salah satu tindakan dari ketiga jenis tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal
23, jika melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak
diancam pidana seumur hidup (Pasal 26 ayat (4).
Pasal 29 mengatur tentang pidana Bersyarat/pidana percobaan. Pidana
bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2
(dua) tahun. Untuk menjatuhkan pidana bersyarat ini ditentukan baik syarat
umum54 maupun syarat khusus.55
1. Telah menjalani pidana penjara selama 2/3 (dua pertiga) dari pidana yang
dijatuhkan, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik
(Pasal 62 ayat 1);
Masa waktu pidana bersyarat ini paling lama
selama tiga tahun.
Pidana pengawasan berdasarkan Pasal 30 menerangkan bahwa lamanya
pidana ini adalah paling singkat selama (3) tiga bulan dan paling lama selama (2)
dua tahun. Sedangkan dalam hal pembebasan bersyarat, Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 menentukan, apabila:
2. Masa percobaan, sama dengan sisa pidana yang harus dijalankannya (Pasal 62
ayat 3).
54
Syarat umum ialah bahwa anak nakal tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana bersyarat
55
Dibandingkan dengan apa yang diatur dalam KUHP, masa percobaan
untuk anak waktunya jauh lebih singkat yaitu selama sisa pidana yang harus
dijalankan. Sedangkan dalam KUHP selain selama sisa pidana yang harus
dijalankan, ditambah selama satu tahun.
Kelemahan UU ini adalah tidak mengatur tentang diversi untuk
mengalihkan perkara anak di luar jalur peradilan formal sehingga anak
mendapatkan stigmatisasi. UU ini belum mengakomodasi model keadilan
restoratif. Sehingga paradigma filosofi UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak dapat dikatakan menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan
penghukuman (retributive). Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu
memberikan kerangka kerja yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan
anak.
Tidak adanya pengaturan secara jelas alternatif penyelesaian masalah anak
yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi. Dalam upaya diversi ini
Lembaga Kepolisian dapat menggunakan kewenangan diskresioner yang
dimilikinya. Antara lain tidak menahan anak, tetapi menetapkan suatu tindakan
berupa mengembalikan anak kepada orang tuanya atau menyerahkannya kepada
negara. Pada tingkat penuntutan, upaya diversi tidak dapat dilakukan karena
lembaga penuntutan tidak memiliki kewenangan diskresioner. Sedangkan pada
tingkatan pengadilan diversi terbatas pada tindakan pengadilan untuk tidak
menjatuhkan pidana penjara atau kurungan. Untuk itu perlu adanya pengaturan
tentang upaya diversi secara jelas baik pada tingkat kepolisian, kejaksaan maupun
sistem peradilan pidana anak. Sehingga aparat kepolisian tidak menggunakannya
kewenangannya itu sekehendak hatinya, tetapi berlandaskan ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku. Kemudian dalam pelaksanaan proses peradilan UU No 3
tahun 1997 belum mengutamakan pendekatan hukum dengan keadilan Restoratif
sama halnya dengan pendekatan yang dimuat dalam UU No 11 tahun 2012 yang
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif56
D. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
.
Diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak yang mengarah kepada pendekatan keadilan restoratif yang lebih
mengutamakan kepentingan anak sebagai pelaku dalam perbaikan masa depan dan
diri anak, penghukuman sebagai jalan terakhir dan dalam pidana tambahan juga
dalam undang-undang ini terdapat pemenuhan kewajiban adat, artinya
Undang-undang ini mengakui adanya keberlakuan aturan adat.57
Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.58
Sedangkan
Anak, diakses tanggal 21 Maret 2014, pukul 22.50 WIB.
57
Ibid. 58
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari pross peradilan pidana
ke proses di luar peradilan pidana.59
Sementara azas yang dianut dalam Sistem Peradilan Anak di antaranya
adalah: kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak;
kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Aanak; pembinaan dan pembimbingan
anak; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
penghindaran pembalasan.
Dalam UU yang terdiri atas 108 pasal itu, ditegaskan bahwa yang disebut
Anak dalam kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
60
a. Diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
Pasal 3 UU tersebut menyatakan, setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak di antaranya:
b. Dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoeh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. Melakukan kegiatan rekreasional;
e. Bebas dari penyiksaan, penghukum an atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; dan
g. Tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat.
Sistem Peradilan Anak pun wajib mengutamakan pendekatan Keadilan
Restoratif, serta wajib diupayakan diversi dengan tujuan mencapai perdamaian
59
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
60
antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarikan anak dari
perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.61
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. Ini dilakukan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja social professional berdasarkan pendekatan keadilan
restoratif dengan wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Sementara Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan
Diversi harus mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
61
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.
Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk perdamaian dengan atau tanpa
ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga)
bulan, atau pelayanan masyarakat. Hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam
bentuk kesepakatan Diversi dan disampaikan oleh atasan langsung pejabat yang
bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai
dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan
dicapai untuk memperoleh penetapan. Dan penetapan tersebut dilakukan dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.
Kemudian disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut
Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.
Setelah itu, Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan atau
Proses peradilan pidana anak akan dilanjutkan kembali apabila proses
diversi tidak menghasilkan suatu kesepakatan atau keadaan dimana kesepakatan
diversi tidak dilaksanakan. Ketentuan beracara dalam Hukum Acara Pidana secara
umum berlaku juga dalam peradilan pidana anak sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini
Setiap identitas baik Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib
dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik. Identitas
sebagaimana dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak
Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati
diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi.
Tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang belum genap berumur 18
(delapan belas) tahun yang diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang
bersangkutan melampaui batas umur 18 tahun, tetapi belum mencapai umur 21
tahun, maka Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 20 UU tersebut. Tetapi, dalam hal Anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial dapat mengambil keputusan
untuk:
a. Menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau
b. Mengikursertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial (LPKS) di instansi yang menangani bidang
Disebutkan juga, dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Wajib diberikan
bantuan hukum dan didampingi oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau
pendamping lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, wajib didampingi
oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Korban dan/atau Anak
Saksi, atau pekerja sosial. Namun ketentuan didampingi orang tua ini tidak
berlaku dalam hal orang tua sebagai tersangka atau terdakwa perkara yang
diiperiksa.
Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling
lama 24 (dua puluh empat) jam. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam
ruang pelayanan khusus Anak. Sementara terkait penahanan, Anak tidak boleh
ditahan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau
lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan barang
bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh)
tahun atau lebih.62
Akan tetapi Undang-Undang No 11 Tahun 2012 ini baru berlaku efektif
pada tanggal 30 Juli 2014 sesuai amanat yang tertera dalam Pasal 108.