• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kenakalan Remaja - Kenakalan Remaja di Perkotaan (Studi Kasus Munculnya Fenomena Geng Motor di Kalangan Pelajar di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Kenakalan Remaja - Kenakalan Remaja di Perkotaan (Studi Kasus Munculnya Fenomena Geng Motor di Kalangan Pelajar di Kota Medan)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Kenakalan Remaja

Masa Remaja adalah masa transisi yaitu antara masa anak – anak ke masa dewasa.Menurut Calon bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.Menurut Sri Rumini & Siti Sundari masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk memasuki masa dewasa7.Lebih lanjut Dr. Kartini Kartono mengatakan bahwa Remaja adalah suatu tingkatan umur, dimana seorang anak tidak lagi bersikap seperti anak-anak, tetapi belum dapat juga dipandang sebagai orang dewasa8

Kenakalan Remaja merupakan tindakan melanggar peraturan atau hukum yang dilakukan oleh anak yang berada pada masa remaja.Perilaku yang ditampilkan dapat bermacam-macam, mulai dari kenakalan ringan seperti membolos sekolah, melanggar peraturan-peraturan sekolah, .Jadi seorang anak atau remaja adalah batasan umur yang menjembatani antara umur anak-anak dengan dewasa.Masa remaja merupakan masa yang sangat rentan terhadap perilaku – perilaku negatif, karena pada masa ini merupakan tahapan bagi seorang remaja menuju kedewasaan yang seringkali menuntut seorang remaja untuk menemukan karakter dan jati dirinya dan sayangnya seringkali seorang remaja dalam mencari jati dirinya sering terjerumus dalam pola hidup dan perilaku yang salah karena pengaruh negatif lingkungan sosial dan kurang pengawasan dari beberapa pihak seperti orangtua dan sekolah, hal – hal seperti inilah yang akhirnya menyebabkan remaja tersebut terjerumus pada kenakalan remaja dan bahkan kejahatan.

7

http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/, Diakses pada tanggal 21 Desember 2011 8

(2)

melanggar jam malam yang ditetapkan orangtua, hingga kenakalan berat seperti vandalisme, perkelahian antar geng, penggunaan obat-obat terlarang, dan sebagainya.

Dalam batasan hukum, menurut Philip Rice dan Gale Dolgin, penulis buku The Adolescence, terdapat dua kategori pelanggaran yang dilakukan remaja, yaitu:

1. Pelanggaran indeks, yaitu munculnya tindak kriminal yang dilakukan oleh anak remaja. Perilaku yang termasuk di antaranya adalah pencurian, penyerangan, perkosaan, dan pembunuhan.

2. Pelanggaran status, di antaranya adalah kabur dari rumah, membolos sekolah, minum minuman beralkohol di bawah umur, perilaku seksual, dan perilaku yang tidak mengikuti peraturan sekolah atau orang tua.

Tindakan kenakalan remaja yang tidak terkontrol akan menjerumuskan seorang remaja pada perilaku kejahatan remaja (Juvenile Deliquency) yang merupakan salah satu penyakit sosial. Penyakit Sosial atau Penyakit Masyarakat adalah segala bentuk tingkah laku yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma – norma umum, adat istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum. Disebut juga sebagai penyakit masyarakat karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi penyakit (Kartono, 2010:4).

Kejahatan/Kenakalan Remaja (Juvenile Deliquency) ialah perilaku jahat (Dursila), atau kejahatan/kenakalan anak – anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak – anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.Anak – anak muda yang deliquen

(3)

Juvenile berasal dari bahasa latin“juvenilis” yang berarti anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat – sifat khas pada periode remaja.

Deliquent berasal dari bahasa Latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat rebut, pengacau, peneror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain – lain (Kartono, 2010:6).

Pengertian secara etimologis telah beberapa kali mengalami pergeseran, akan tetapi hanya menyangkut aktifitasnya, yakni istilah kejahatan menjadi kenakalan. Dalam perkembangan selanjutnya pengertian subjek atau pelaku pun mengalami pergeseran.Psikolog Bimo Waljito merumuskan arti selengkapnya dari juvenile deliquency, yaitu tiap perbuatan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya remaja.Sedangkan Fuad Hasan merumuskan juvenile deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja bilamana dilakukan oleh orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan (Sudarsono, 1991:11).

Purnianti mendefinisikan kenakalan remaja berdasarkan perspektif sosiologis, dalam tiga kategori, yaitu:

a. Definisi hukum, menekankan pada tindakan/perlakuan yang bertentangan dengan norma yang diklasifikasikan secara hukum,

b. Definisi peranan, dalam hal ini penekanannya pada pelaku, remaja yang peranannya diidentifikasikan sebagai kenakalan,

(4)

Pada intinya kenakalan remaja ini dipicu oleh beberapa sebab yang secara luas dihasilkan oleh lingkungan sosial yang salah dan menyebabkan seorang remaja tidak dapat mengendalikan kontrol dirinya sehingga sering berperilaku sesuai dengan keinginannya yang seringkali mengesampingkan dan meremehkan orang lain, lalu bertindak dengan motif – motif serta landasan – landasan yang bersifat subjektif. Pada umumnya, remaja sering bertindak hanya mengedepankan egonya dan sering menyalahgunakan serta melebih-lebihkan harga dirinya.

2.1.1 Klasifikasi dan Tipe Kenakalan Remaja

Mengenai klasifikasi dan tipe kenakalan remaja, pada umumnya digolongkan secara historis, instinktual, dan mental.Semuanya dapat terjalin secara kolaboratif dan kombinatif.Secara historis, kenakalan remaja dapat terjadi secara kebetulan, kadang – kadang, dan habitual. Lalu secara mental, remaja memiliki kepribadian yang dibagi antara lain: Pribadi normal, Pribadi Abnormal, Pribadi Psikopatik, Psikoneurosa, Psikosis. Kemudian secara insinktual, kenakalan remaja didorong oleh keserakahan, dorongan seksual, agresifitas, parental, dan dorongan berkumpul.

Secara umum, munculnya kenakalan remaja bersumber pada 3 hal tersebut sehingga membuat mereka pribadi yang deliquen, Dimana tipe deliquen menurut struktur kepribadian ini dibagi atas:

1. Delikuensi Terisolir

(5)

a. Kejahatan mereka tidak didorong oleh motivasi kecemasan dan konflik batin yang tidak dapat diselesaikan, dan motif yang mendalam, akan tetapi lebih banyak dirangsang oleh keinginan meniru, ingin konform dengan norma gengnya. Biasanya semua kegiatan mereka lakukan secara bersama – sama dalam bentuk kegiatan kelompok.

b. Mereka kebanyakan berasal dari daerah – daerah kota yang transisional sifatnya yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil anak melihat adanya geng –geng kriminal, sampai pada suatu saat dia ikut menjadi anggota salah satu geng tersebut. Didalam geng ini anak merasa diterima, mendapatkan kedudukan “terhormat”, pengakuan, status sosial, dan prestise tertentu. Semua nilai, norma dan kebiasaan kelompoknya dengan subkultur kriminal itu, diopernya dengan serta-merta. Jadi ada proses pengondisian dan proses differential association.

c. Pada umumnya mereka berasal dari keluarga yang berantakan, tidak harmonis, tidak konsekuen, dan mengalami banyak frustasi. Kondisi keluarga dipenuhi oleh konflik sehingga anak merasa ditolak oleh keluarga khususnya orang tua, disia-siakan, harga dirinya diinjak, dan anak tidak merasakan iklim kehangatan emosional. Sehingga anak mencari jalan keluarnya di lingkungan sosial lain seperti lingkungan anak – anak kriminal, dan anak merasakan adanya alternatif hidup yang menyenangkan, dan di gengnya ini dia merasa mendapatkan kedudukan, menonjol, dan berarti.

(6)

Ringkasnya delikuensi terisolir itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial.Mereka mencari panutan dan sekuritas dari kelompok gengnya (Kartono, 2010:51).Kebanyakan dari mereka yang tergolong pada tipe ini pada akhirnya akan meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perbuatannya pada usia 21-23 tahun (Mc Cord dkk.1959). Kelihatannya perilaku mereka merupakan cara untuk melangkah menuju kedewasaan diri, dimana melalui perilaku – perilaku delikuen tersebut mereka akhirnya memasuki fase hidup baru dan memiliki peranan sosial baru yaitu proses menjadi lebih dewasa. Pada usia menjelang dewasa tersebut, pada akhirnya mereka akan menyadari bahwa mereka harus meninggalkan orangtuanya dan lingkungannya sendiri, mereka menyadari adanya sebuah tanggung jawab yang akan mereka hadapi, dan menyadari bahwa mereka harus memainkan peranan sosial baru yang lebih “terhormat”. Jadi pada intinya, pada waktunya nanti mereka akan menjembatani diri mereka dari “manusia jahat” menuju “manusia baik” setelah menyadari bahwa perilaku juvenile delinquency sangat tidak cocok diterapkan ketika mereka harus memainkan peranan sosial mereka ketika mereka memasuki kedewasaan.

2. Delikuensi Neurotik

Pada umumnya anak – anak delikuen tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa: kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa terancam, tersudut dan terpojok, merasa bersalah atau berdosa, dan lain- lain. Ciri – ciri tingkah laku mereka itu antara lain adalah:

(7)

b. Tingkah laku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang belum terselesaikan. Karena itu tindak kejahatan mereka merupakan alat pelepas bagi rasa ketakutan, kecemasan, dan kebingungan batinnya yang jelas tidak terpikulkan oleh egonya.

c. Biasanya anak remaja deliquen tipe ini melakukan kejahatan seorang diri dan mempraktekkan jenis kejahatan tertentu.

d. Anak delikuen neurotik ini banyak yang berasal dari kelas menengah, yaitu dari lingkungan konvensional yang cukup baik kondisi sosial ekonominya. Namun pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik dan psikotik.

e. Anak delikuen neurotik ini memiliki ego yang lemah, danada kecenderungan untuk mengisolir diri dari lingkungan orang dewasa atau anak – anak remaja lainnya.

f. Motivasi kejahatan mereka berbeda – beda. Misalnya, para penyundut api (pyromania, suka membakar) didorong oleh nafsu ekshibisionistis, anak – anak yang suka membongkar melakukan pembongkaran didorong oleh keinginan melepaskan nafsu seks, dan lain – lain. g. Perilakunya memperlihatkan kualitas kompulsif (paksaan). Kualitas sedemikian ini tidak

terdapat pada tipe delikuen terisolir, anak – anak dan orang muda tukang bakar, para peledak dinamit dan bom waktu, penjahat seks, dan pecandu narkotik dimaksukkan dalam kelompok tipe neurotik ini (Kartono, 2010:52-53).

(8)

3. Delikuensi Psikopatik

Delikuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka ialah:

a. Hampir seluruh anak delikuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisiten, dan selalu menyiakan anak – anaknya. Tak sedikit dari mereka berasal dari rumah yatim piatu. Dalam lingkungan demikian mereka tidak pernah merasakan kehangatan, kasih sayang, dan relasi personal yang akrab dengan orang lain. Sehingga akibatnya mereka tidak mempunyai kapasitas untuk menumbuhkan afeksi, sedang kehidupan perasaannya pada umumnya menjadi tumpul atau mati. Akibatnya mereka tidak mampu menjalin relasi emosional yang akrab dengan orang lain.

b. Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan pelanggaran, karena itu sering meledak tidak terkendali.

c. Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang kacau tidak dapat diduga-duga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan impulsif. Biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk penjara, dan sulit sekali diperbaiki.

d. Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan norma – norma sosial yang umum berlaku, juga tidak perduli terhadap norma subkultur gengnya sendiri.

e. Acapkali mereka juga menderita gangguan neurologis sehingga mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri (Kartono, 2010:53-54).

(9)

moral, dia selalu konflik dengan norma sosial dan hukum. Biasanya juga immoral.Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu a-sosial, eksentrik kegila-gilaan, dan jelas tidak memiliki kesadaran sosial serta intelegensi sosial. Mereka sangat egoistis, fanatik, dan selalu menentang apa dan siapa pun juga. Sikapnya aneh, sangat kasar, kurang ajar, ganas buas terhadap siapa pun tanpa sebab sesuatu pun juga. Kata-katanya selalu menyakiti hati orang lain, perbuatannya sering ganas sadis, suka menyakiti jasmani orang lain tanpa motif apapun juga. Karena itu remaja delikuen yang psikopatik ini digolongkan ke dalam bentuk penjahat yang paling berbahaya (Kartono, 2010:54).

4. Delikuensi Defek Moral

Defek (defect, defectus) artinya: rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delikuensi defek moral mempunyai ciri: selalu melakukan tindak a-sosial atau anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan dan gangguan kognitif, namun ada disfungsi pada intelegensinya.

(10)

meledak.Mereka juga selalu bersikap bermusuhan terhadap siapapun juga, karena itu mereka selalu melakukan perbuatan kejahatan.

Anak muda yang defek moralnya itu biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki.Mereka adalah para residivis yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan kebiasaan primitive (Kartono, 2010:55).

Pengaruh lingkungan adalah relatif kecil (hanya kurang lebih 20%) dalam membentuk seseorang menjadi defek moralnya.Sebaliknya konstitusi dan disposisi psikis yang abnormal (kurang lebih 80%) menyebabkan pertumbuhan anak muda menjadi defek moralnya.Selanjutnya apabila kejahatan anak muda dan remaja yang defek moralnya itu sangat mencolok ekstrim, biasanya mereka digolongkan kedalam tipe deliquen psikopatik.

2.2 Teori Kelompok Sosial

2.2.1 Pengertian Kelompok Sosial

(11)

Berdasarkan keterangan dan pendapat dari para ahli sosiologi, terdapat beberapa konsep serta pengertian mengenai kelompok.Salah satunya adalah Robert Bierstedt yang menggunakan tiga kriteria untuk membedakan jenis kelompok, yaitu ada tidaknya (a) organisasi, (b) hubungan sosial diantara anggota kelompok, dan (c) kesadaran jenis. Berdasarkan ketiga kriteria tersebut

Bierstedt kemudian membedakan empat jenis kelompok, kelompok statistik (statistical group),

kelompok kemasyarakatan (societal group), kelompok sosial (social group), dan kelompok asosiasi (associational group)(Sunarto, 2004:126).

Menurut Bierstedt, kelompok sosial merupakan kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lain tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Contohnya adalah kelompok teman, kerabat, dan sebagainya (Sunarto, 2004:126).

Selain itu, Robert K Merton berpendapat bahwa kelompok merupakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan, sedangkan kolektiva merupakan orang yang mempunyai rasa solidaritas karena nilai bersama dan yang telah memiliki rasa kewajiban moral untuk menjalankan harapan peran (Sunarto, 2004:137).

(12)

2.2.2 Kelompok Formal dan Informal

Kelompok formal adalah suatu kelompok yang keberadaannya ditandai dengan munculnya aturan – aturan yang baku di dalam kelompok tersebut. Dimulai dengan adanya Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) ataupun aturan konstitusional lainnya yang bersifat mengikat, memiliki keanggotaan yang terdaftar secara resmi, dan memiliki struktur organisasi yang jelas. Sedangkan kelompok informal adalah kelompok yang tumbuh dari proses interaksi, daya tarik, dan kebutuhan-kebutuhan seseorang.Keanggotaan kelompok biasanya tidak teratur dan keanggotaan ditentukan oleh daya tarik bersama dari individu dan kelompok Kelompok ini terjadi pembagian tugas yang jelas tapi bersifat informal dan hanya berdasarkan kekeluargaan, perkawanan dan simpati.

Suatu gejala yang menarik perhatian banyak ilmuwan sosial ialah adanya keterkaitan antara kelompok formal dan kelompok informal. Segera setelah seseorang menjadi anggota organisasi formal seperti sekolah, universitas, perusahaan atau kantor, ia sering mulai menjalin hubungan persahabatan dengan anggota lain dalam organisasi formal tersebut sehingga dalam organisasi formal akan terbentuk berbagai kelompok informal, seperti kelompok teman sebaya, kelompok yang tempat tinggalnya berdekatan, kelompok yang bertugas dalam satu bagian kantor yang sama, kelompok yang lulus dari perguruan tinggi yang sama, kelompok yang lulus sekolah seangkatan dan sebagainya (Sunarto, 2004:135-136).

(13)

sebagainya), dalam melakukan perilaku kolektif (misalnya merusak fasilitas umum, ugal-ugalan di jalanan, tawuran, dan lain sebagainya).

Sistem nilai yang dianut siswa dapat bertentangan dengan sistem nilai sekolah. Sekolah biasanya cenderung memberi nilai tinggi pada prestasi belajar, sedangkan siswa mungkin banyak yang tidak mementingkan prestasi belajar karena kelompok sebaya mereka memberi bobot lebih tinggi pada kriteria lain seperti kekayaan, kepopuleran di bidang kesenian atau olahraga, keberanian dan sebagainya. Sebagai akibatnya, siswa yang menduduki peringkat tertinggi dalam prestasi belajar di sekolah sering berbeda dengan siswa yang menduduki peringkat tertinggi dalam sistem status di kalangan siswa (Sunarto, 2004:136).

2.3 Pengertian Geng dan Geng Motor

2.3.1 Pengertian Geng

Istilah geng umumnya dipakai untuk kelompok yang lebih besar dan terbatas pada kelompok yang kecil.Defenisi tentang geng sangat jelas identik dengan kehidupan berkelompok.Hanya saja geng memang memiliki makna yang sedemikian negatif.Geng bukan sekedar kumpulan remaja yang bersifat informal.Geng dalam bahasa Inggris adalah sebuah kelompok penjahat yang terorganisasi secara rapi.Dalam sebuah konsep yang moderat, geng merupakan sebuah kelompok kaum muda yang pergi secara bersama-sama dan sering kali menyebabkan keributan.9

9

(14)

Dalam hal kenakalan remaja yang terbentuk dalam suatu geng-geng atau gerombolan-gerombolan anak muda, fokusnya bukan lagi pelanggaran individual tetapi sudah terhadap kelompok sebagai keseluruhan dalam arti bahwa kolektifitas itu dipandang sebagai suatu kesatuan yang mengandung kualitas-kualitas di luar jumlah individu anggota semata-mata.

Menurut Albert K. Cohen dan James F. Short dua orang ahli kriminologi, pada tingkat kolektif/geng, kenakalan dibagi ke dalam beberapa bentuk atas dasar type-type berbeda dari sub kebudayaan yang terdiri dari sebagai berikut :

a. Yang mewujudkan dirinya dalam kelompok-kelompok kecil atau klik dengan bentuk-bentuk kenakalan yang tanpa tujuan, bersifat jahil, tidak tetap, dan bercirikan pengejaran kesenangan sesaat serta otonomi kelompok.

b. Yang merupakan jenis perkembangan lebih tinggi dalam kenakalan kolektif, dipertunjukkan dalam bentuk geng-geng yang besar, keanggotaannya mungkin berkisar ratusan orang, mereka diketemukan mempunyai organisasi yang rapi dengan adanya peranan-peranan pimpinan, nama, hasrat yang kuat untuk menegakkan identitas geng, serta mempunyai kepribadian umum dalam dunia geng.

c. Dalam tipe ini para remaja mengelompokkan diri dalam suatu sub kebudayaan obat bius, tindakannya pada umumnya tidak menggunakan kekerasan dan kerapkali disertai usaha-usaha yang bisa menghasilkan uang untuk memelihara keberlangsungan kebiasaan mereka menghhisap narkotika yang tersedia hanya lewat cara-cara gelap serta memakan biaya yang besar.

(15)

e. Tipe sub kebudayaan lain adalah remaja yang mengekspresikan kenakalan khas kelas menengah.

f. Tipe sub kebudayaan pemuda. Menurut Chohen dan Short pengelompokan dan status pemuda terutama menyangkut status pemuda terutama menyangkut “status dari laki-laki terhadap siapa ia mengidentifikasikan dirinya”. Sebagai kecuali, misalnya, pemuda-pemuda yang mengorganisir diri dalam geng-geng dalam rangka aktifitas seksual atau narkotika (Kusuman, 1981:100).

2.3.2 Karakteristik Geng

Geng delikuen banyak tumbuh dan berkembang di kota – kota besar, dan bertanggung jawab atas banyaknya kejahatan dalam bentuk: pencurian, perusakan milik orang lain, dengan sengaja melanggar dan menentang otoritas orang dewasa serta moralitas yang konvensional, melakukan tindak kekerasan meneror lingkungan, dan lain - lain. Pada umumnya anak – anak remaja ini sangat agresif sifatnya, suka berbaku hantam dengan siapa pun juga tanpa satu sebab yang jelas, dengan tujuan sekedar untuk mengukur kekuatan kelompok sendiri, serta membuat onar di tengah lingkungan.

(16)

segala kekurangannya. Di sana mereka merasa diberi peranan yang berarti, bahkan bisa menemukan nilai diri dan kehormatan karena diangkat dan disanjung oleh anggota – anggota geng yang lain. Dengan begitu geng tersebut merupakan “kesatuan” atau unit temporer yang berarti bagi pribadi para remaja yang merasa kesepian dan tenggelam di tengah arus masyarakat.

Beberapa ciri geng tadi dapat disebutkan di bawah ini:

1. Jumlah anggotanya berkisar antara 3-40 anak remaja. Jarang beranggotakan lebih dari 50 anak remaja, akan tetapi dalam kasus geng motor jumlah mereka bisa melebihi 50 anak remaja.

2. Anggota geng lebih banyak terdiri dari anak laki – laki ketimbang anak perempuan, walaupun ada juga anak perempuan yang ikut didalamnya. Di dalam geng tersebut umum terjadi relasi heteroseksual bebas antara anak laki – laki dan anak perempuan (yang merasa dirinya “maju dan modern”). Sering pula berlangsung perkawinan di antara mereka, sungguhpun pada umumnya anak laki – laki lebih suka kawin dengan perempuan luar, dan bahkan bukan dengan anggota gengnya sendiri.

3. Kepemimpinan ada di tangan seorang anak muda yang dianggap paling banyak berprestasi, dan memiliki lebih banyak keunggulan atau kelebihan daripada anak – anak remaja lainnya. 4. Relasi di antara para anggota mulai dari ketertarikan yang longgar sampai pada hubungan

intim.

5. Sifat geng sangat dinamis dan mobil (sering berpindah – pindah tempat).

(17)

biasanya para anggota inti dan tokoh pemimpinnya yang berusaha menjadi unsur inti dalam kelompoknya.

7. Kebanyakan geng delikuen itu terlibat dalam bermacam tingkah laku melanggar hukum yang berlaku di tengah masyarakatnya.

8. Usia geng bervariasi, dari beberapa bulan dan beberapa tahun, sampai belasan tahun atau lebih.

9. Umur anggotanya berkisar 7-25 tahun. Pada galibnya semua anggota berusia sebaya, berupa

peer-groupe atau kawan – kawan sebaya, yang memiliki semangat dan ambisi yang kurang lebih sama.

10.Dalam waktu yang relative pendek, anak – anak itu berganti – ganti peranan, disesuaikan dengan tuntutan dan kebutuhan kondisi-situasi sosial, bentuk kepemimpinan baru, dan sasaran – sasaran yang ingin mereka capai.

11.Anggota geng biasanya bersikap konvensional bahkan sering fanatik dalam mematuhi nilai – nilai dan norma geng sendiri. Pada umumnya mereka sangat setia dan loyal terhadap sesama. 12.Di dalam geng sendiri anak – anak itu mendapatkan status sosial dan peranan tertentu sebagai imbalan partisipasinya. Mereka harus mampu menjunjung tinggi nama kelompok sendiri. Semakin kasar, kejam, sadistis dan berandalan tingkah laku mereka, semakin tenarlah nama gengnya, dan semakin banggalah hati mereka. Nama pribadi dan gengnya menjadi mencuat dan banyak ditiru oleh kelompok berandalan remaja lainnya (Kartono, 2010:15-17).

2.3.3 Pengertian Geng Motor dan Sejarah Perkembangannya

(18)

Sedangkan club motor biasanya mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan perangkat organisasi formal, seperti HDC (harley davidson club), scooter (kelompok pecinta vespa), kelompok honda, kelompok suzuki, tiger, mio, dan lain sebagainya. Ada juga brotherhood, yaitu kelompok pecinta motor besar tua.10

Geng motor bukanlah hal yang baru di negara Indonesia, sebenarnya geng motor sudah ada dari tahun 1978 yang namanya melegenda saat itu adalah geng motor “M2R” atau Moonraker.Kelahiran geng motor, rata-rata diawali dari kumpulan remaja yang doyan balapan liar dan aksi-aksi menantang bahaya pada malam menjelang dini hari di jalan raya. Setelah terbentuk kelompok, bukan hanya hubungan emosi para remaja saja yang menguat, dorongan untuk unjuk gigi sebagai komunitas bikers juga ikut meradang. Mereka ingin tampil beda dan dikenal luas. Caranya yaitu dengan membuat aksi-aksi yang sensasional.Mulai dari kebut-kebutan, tawuran antar geng, tindakan kriminal tanpa pandang bulu, hingga perlawanan terhadap aparat keamanan11

Di Medan sendiri, keberadaan gang motor mencuat baru – baru ini setelah mereka melakukan tindakan – tindakan membuat onar di beberapa tempat di kota Medan, seperti yang

.

Di Indonesia, geng motor muncul pertama kali di kota Bandung. Beberapa nama geng motor yang muncul dan besar di bandung antara lain Moonraker, XTC (Exalt to Coitus), Brigez (Brigade Seven), GBR (Grab on Road), dll. Kebanyakan dari mereka adalah para pelajar SMP dan SMA.Keempat geng itu sama- sama eksis dan memiliki anggota di atas 1000 orang. Kini mereka mulai menjalar ke daerah- daerah pinggiran Jawa Barat, seperti Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Ciamis, Cirebon dan Subang.

10 http;//mulyanihasan.wordpres.com/2007/04/27/geng-motor-do-kota-bandung/, Diakses pada tanggal 23

Oktober 2011, hal 9 11

(19)

terjadi di daerah jalan Pattimura, di Pendopo Universitas Sumatera Utara, Klinik Kesehatan Hayam Wuruk Center, dll. Selain itu juga mereka sering melakukan balap – balapan liar di beberapa kawasan di Kota Medan.

Pada umumnya geng – geng motor khususnya di Indonesia memiliki ciri – ciri yang sama dan sangat berbeda sekali jika dibandingkan dengan klub motor resmi ataupun komunitas merk – merk motor. Ciri – ciri itu antara lain:

1. Kebanyakan anggota geng motor tidak memakai perangkat seperti helm, sepatu dan jaket. 2. Membawa senjata tajam yang dibuat sendiri atau hasil produksi dari pabrik seperti samurai, badik hingga bom Molotov.

3. Biasanya hanya muncul malam hari dan tidak menggunakan lampu penerang serta berisik. 4. Jauh dari kegiatan sosial.

5. Anggotanya lebih banyak kepada kaum lelaki yang sangar, tukang mabok, penjudi dan hobi membunuh, sekalipun tidak menutup kemungkinan ada kaum hawa yang ikut geng motor biasanya hanya dijadikan budak nafsu.

6. Motor yang mereka gunakan tidak lengkap, tidak ada spion, sein, hingga lampu utama, yang penting buat mereka adalah kencang dan mampu melibas orang yang lewat.

7. Visi dan misi mereka jelas, hanya membuat kekacauan dan ingin menjadi geng terseram diantara geng motor lainnya hingga sering terjadi tawuran di atas motor.

8. Tidak terdaftar di kepolisian atau masyarakat setempat.

(20)

10. Kalau pelantikan anak baru biasanya bermain fisik, disuruh berkelahi dan menenggak minuman keras sampai ‘jackpot’(muntah-muntah)12

Secara sosiologis, geng motor ini juga merupakan salah satu penyakit sosial karena gejala sosialnya yang terjadi di tengah masyarakat itu meletus menjadi “penyakit”. Dapat pula disebut sebagai struktur sosial yang terganggu fungsinya, disebabkan oleh faktor – faktor sosial, disebut juga sebagai disorganisasi sosial, karena gejalanya berkembang menjadi ekses sosial yang menganggu keutuhan dan kelancaran berfungsinya organisasi sosial dan disebut juga sebagai disintegrasi sosial karena menyebabkan bagian satu struktur sosial tersebut berkembang tidak seimbang dengan bagian – bagian lain sehingga prosesnya bisa mengganggu, menghambat, dan bahkan merugikan bagian – bagian lain, karena tidak dapat diintegrasikan menjadi satu totalitas

.

2.4Kerangka Pemikiran

Permasalahan mengenai kenakalan remaja khususnya geng motor merupakan salah satu masalah sosial yang akhir – akhir ini sangat meresahkan masyarakat, khususnya orang tua, sekolah, dan masyarakat umum lainnya. Banyak dampak negatif dari berkembangnya geng motor ini, selain dampak secara fisik, yaitu meluasnya kekerasan, ketidakamanan, dan kegelisahan masyarakat.Dari segi sosiologis geng motor ini merupakan salah satu bentuk penyimpangan sosial yang berujung pada meluasnya pengaruh geng motor ini terhadap generasi – generasi bangsa selanjutnya dan tentu saja berkembangnya geng motor harus ditanggulangi dan membutuhkan metode – metode penanganan yang efektif, tepat, dan sesuai dengan realitas yang terjadi secara up to date.

12

(21)

yang utuh (Kartono, 2010:4-5). Maka akan sangat menganggu secara sosiologis sekali apabila permasalahan geng motor ini tidak diselesaikan secara cepat dan tepat.

Tidak hanya penanganan secara sosiologis, penanganan secara psikologis dan hukum juga dibutuhkan dalam menangani permasalahan geng motor ini, dan tentu saja harus melibatkansemua pihak yang terkait dengan persoalan geng motor ini, misalnya orangtua, guru dan kepolisian. Menangani permasalahan ini tidak seperti halnya menangani tindakan kriminal yang sama dengan kejahatan kriminal yang dilakukan oleh orang dewasa, para pelaku Juvenile Deliquency ini merupakan anak – anak remaja yang secara umur dan psikis masih labil dan secara hukum seharusnya mendapatkan perlindungan dan arahan. Yang perlu untuk ditelusuri oleh pihak – pihak yang terkait dalam penanganan permasalahan geng motor ini adalah apa – apa saja pemicu munculnya geng motor ini dan bagaimana geng motor ini mampu eksis dan mempengaruhi para pelajar menjadi begitu brutal dan ganas di dalam lingkungan masyarakat. Perhatian yang serius justru harus diawali dengan cara pencarian fakta mengenai faktor – faktor berkembangnya geng motor di kalangan remaja yang saat ini tumbuh subur di perkotaan, seperti apa karakteristik geng motor yang berkembang di Kota Medan pada saat ini, yangmana kita ketahui bahwa Kota Medan merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang sedang berkembang menjadi kota metropolitan dan adakah pengaruhnya, dan seperti apa wujud – wujud perilaku geng motor dan apa yang menjadi motif mereka sehingga mau melakukan tindakan tersebut.

(22)

Bagan Alir Pikir

Latar Belakang Munculnya Fenomena Geng Motor di Kalangan Pelajar di Kota Medan

Pendekatan Yang Dipakai: 1. Sosiologis; Perilaku

Menyimpang, Patologi Sosial. 2. Psikologis; Juvenile Deliquency 3. Hukum

Faktor Internal (Keluarga)

Faktor Eksternal (Lingkungan Sosial)

1. Kondisi Keluarga 2. Status Sosial Keluarga

1. Lingkungan Sekolah 2. Lingkungan Pergaulan

Pihak yang Terkait: 1. Orangtua dan Keluarga 2. Kawan Sebaya

(23)

2.5 Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akandikaji (Siagian, 2011:136). Defenisi konsep bertujuan untuk merumuskan istilah yang digunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti serta menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan tujuan penelitian.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam kerangka teori maka rumusan konsep yang akan menjadi batasan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Kenakalan Remajadi Perkotaanmerupakan tindakan atau perilaku melanggar peraturan atau hukum yang dilakukan oleh anak yang berada pada masa remaja yang pada konteksnya kali ini adalah remaja yang berstatus sebagai pelajar di tingkatan SMA, yangmana perilaku tersebut tumbuh dan berkembang di perkotaan. Perilaku yang akan menjadi fokus dalam penelitian kali ini adalah berkembangnya kelompok – kelompok remaja dalam bentuk geng motor yang melibatkan beberapa pelajar SMA di Kota Medan.

2. Studi Kasus adalah kumpulan dari semua bahan – bahan (informasi-informasi) yang berguna dari seseorang yang ditulis sedemikian rupa sehingga memberikan suatu gambaran yang jelas tentang latar belakang dan keadaan seseorang pada waktu ini yang merupakan dasar untuk penyelidikan selanjutnya terhadap kasus tersebut (Hariwoerjanto, 1987:106).

3. Fenomena adalah gejala – gejala yang muncul akibat adanya suatu peristiwa atau kejadian tertentu.

4. Geng Motor di Kalangan Pelajar merupakan kumpulan orang-orang pecinta motor yang

(24)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikoriza indigenous dan non indigenous tidak berpengaruh terhadap masa inkubasi dan persentase tanaman terserang penyakit blas pada varietas padi

Ada tiga bahaya besar jika otak anak mengalami Downshiftting akibat ancaman atau tekanan kognitif yang berlebihan, yaitu anak akan mengalami kejenuhan dalam

sistem reservasi parkir mobil berbasis IoT ini menggunakan mikrokontroler NodeMcu sebagai pengolah data yang berhubungan dengan beberapa jenis sensor yang

Berapa taraf terbaik suplementasi VCO sebagai pereduksi emisi metan dengan jenis DFM tertentu pada pelepah sawit amoniasi terhadap kecernaan, produksi gas metan

Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah jenis kejahatan kekerasan terhadap wanita di kota Padang dalam kurun waktu 2002 -2003 antara lain ;

Data skunder adalah sumber data yang diperoleh dari informasi- informasi dari orang lain. Dapat pula diartiakan sebagai data yang terkait langsung dengan

PANE SMAN 3 RANTAU UTARA Lab... H SMP NEGERI 11

a Timbang contoh 10 g sampai dengan 20 g W dengan teliti ke dalam Erlenmeyer 250 mL, tambahkan 30 mL HNO3 pekat dan biarkan 15 menit; b panaskan perlahan selama 15 menit di dalam