• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUMASIK perkembangan Islam di Singapura

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TUMASIK perkembangan Islam di Singapura"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

0

TUMASIK:

SEJARAH ISLAM AWAL DI SINGAPURA (1200-1511 M)

Makalah Seminar Hasil Penelitian Sejarah Islam di Asia Tenggara

Pada Kegiatan “Penelusuran Sejarah Islam di Nusantara”

Oleh:

Asep Saefullah

Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan

Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

(2)

1 Makalah Seminar Hasil Penelitian Sejarah Islam di Asia Tenggara

Tumasik:

Sejarah Awal Islam di Singapura (1200-1511 M)

Oleh: Asep Saefullah, M.Ag.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Agama, Bahrul Hayat, menyampaikan harapannya untuk “membangun peradaban dan Islam Nusantara” dalam Senior Official

Meeting (SOM) MABIMS ke-36 di Mataram-Lombok, NTB, pada 3-6 Oktober 2011.

“Membangun Peradaban dan Islam Nusantara” diangkat menjadi tema SOM MABIMS tersebut. Menurutnya, “Pada masa lalu, Islam tumbuh dan berkembang secara dinamis. Islam Nusantara merupakan rangkaian sejarah panjang peradaban Islam Asia Tenggara, baik secara sosial, intelektual maupun sejarah kebudayaan... Kami, sangat antusias dan menganggap penting setiap penyelenggaraan SOM (Senior Official Meeting). Di pertemuan ini, kita dapat menggali dan berbagi pengalaman tentang solusi-solusi kreatif, agar ke depan, Islam mampu menjadi sumber informasi dan inspirasi. Untuk itu, pada kesempatan SOM kali ini kami sengaja mengusung tema: Membangun Peradaban dan Islam Nusantara.” 1

Sejalan dengan pernyataan Sekjen tersebut, penelusuran dan penulisan kembali sejarah Islam di Nusantara menjadi penting dilakukan. Di antara manfaatnya adalah agar mata rantai sejarah peradaban Islam di kawasan ini dapat dirajut kembali, dan lebih dari itu, generasi muda dan generasi yang akan datang tidak akan kehilangan akar sejarahnya, baik secara sosial, kultural, maupun intelektual.

Salah satu wilayah yang patut mendapatkan perhatian dalam konteks sejarah Islam di kawasan Asia Tenggara adalah Singapura. Selain karena kaum Musliminnya sebagai minoritas, persoalan sejarah awal Islam di negara ini tergolong kurang mendapat perhatian. Padahal, Singapura pernah menjadi salah satu pusat produksi (pencetakan) kitab-kitab keagamaan sekitar abad ke-19 M sampai awal abad ke-20 M. Menurut Sugihara Yumi, dosen “Sejarah Islam di Indonesia” di Osaka University, Jepang, “Singapore became a vital center of Islamic publications between 1860 and 1900, because it was a meeting point of the political and economic networks cenderning the West and the East, and it was the main port for the outwart-bound journey to Mecca...”.2

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mencoba menelusuri dan mengungkap kembali keberadaan Islam di Singapura dari masa awal (ancient Singapore) sampai penaklukan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 M. Pada masa lalu, Singapura dikenal sebagai Tumasik dan terkadang disebut juga Temasek. Sumber historiografi

1 “Studi Islam Asia Tenggara”, dalam http://emka.web.id/ke-nu-an/2011/studi-islam-asia-tenggara/. NU Online.

Upload 6 October 2011, diakses 4 Oktober 2012.

2 Sugahara Yumi, “Publications of Kitabs and Development of Using Jawi and Pegon Scripts”, dalam

(3)

2 tradisional, seperti dalam Sejarah Melayu (Malay Annals)3 dan Tuhfah al-Nafis4 dilafalkan jadi “Temasek”, sedangkan dalam Pararaton,5 dan Negarakertagama,6 dilafalkan “Tumasik”.7 Dalam Southeast Asia, A Historical Encyclopedia, from Angkor

Wat to East Timor, dan sumber lain seperti Ensiclopedia Britanica disebut “Temasek”

atau kadang dalam tanda kurung “(Tumasik)”.8 Oleh karena itu, problem pertama yang

dikaji adalah masalah sumber sejarah tentang “Tumasik”.9 Problem kedua adalah tentang

keberadaan awal Islam di daerah ini.

Posisi Singapura yang berada di ujung Semenanjung Malaya sebelah tenggara Malaysia menjadikannya sebagai tempat yang paling strategis dalam jalur perdagangan dan lalu lintas jalur laut. Karena posisinya yang strategis itulah, Singapura menjadi tempat yang penting di wilayah Asia Tenggara sejak dahulu kala. Karena itu pula, Singapura selalu disinggahi para pedagang dan juga menjadi rebutan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan di sekitarnya, dan kemudian oleh kaum penjajah.

Dalam konteks persebaran Islam di sekitar Selat Malaka, beberapa kesultanan pernah menguasai daerah ini, seperti Kesultanan Malaka (1398-1511), Kesultanan Johor (1511-1699), dan Kesultanan Johor-Riau (1699-1818) atau dari akhir abad ke-14 sampai awal abad ke-17 M. Sebelumnya, sebagai masa kuno Singapura sekitar 1200-1398, dua kerajaan Hindu Buddha di Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Majapahit juga pernah menguasainya. 10

Sebelum membahas dua persoalan pokok di atas, terlebih dahulu akan dibahas beberapa persoalan terkait studi tentang Islam di Asia Tenggara.11 Pembahasan tersebut

perlu dilakukan sebagai pra kondisi sebelum masuk pada pembahasan utama. Sebab, dalam konteks kajian sejarah Islam di Singapura secara lebih spesifik, data dan informasi tentang sejarah Islam di Singapura termasuk minim, apalagi tentang sejarah awalnya.

B. Beberapa Persoalan Kajian Sejarah Islam di Asia Tenggara

Kajian tentang Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan sesuatu yang menarik perhatian banyak kalangan, dari agamawan, sejarawan, antropolog, sosiolog, filolog,

3 Abdul Rahman Haji Ismail, “Sejarah Melayu (Malay Annals)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia,A

Historical Encyclopedia,from Angkor Wat to East Timor, (California: ABC-CLIO, Inc., 2004), h. 1182-1183.

4 Ooi Keat Gin, Tuhfat al-Nafis (The Precious Gift), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia,A Historical

Encyclopedia..., h. 1355-1356.

5 Edi Sedyawati, Pararaton (Book of Kings), dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical

Encyclopedia..., h. 1021.

6 Tentang Negarakretagama, dijelaskan dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical

Encyclopedia..., pada entry “Gajah Mada (t. 1331–1364)”, h. 533-534; “Hayâm Wuruk (Râjasanagara)” (r. 1350– 1389), h. 567-568; dan “Majapahit (1293–ca. 1520s) , h. 822-824, yang ditulis oleh Edi Sedyawati.

7 Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, A Thesis submitted for the Degree of

Master of Arts, Department of History, National University of Singapore, 2012, h. 6. Lihat juga Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 158. Lihat juga The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979). The Gale Group, Inc., 2010 edisi online dalam http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tumasik, entry “Tumasik”. Diakses 11 Oktober 2012.

8 John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.), Southeast Asia, A Historical

Encyclopedia..., h. 1311.

9 Penjelasan mengenai sumber primer (primary sources) tentang “Tumasik” atau “Temasik”, lihat Lim Tse

Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, h. 4-20. Tinjauannya atas Sejarah Melayu, lihat h. 34-39.

10 Jean Abshire, The History of Singapore, Singapore: ABC-CLIO, 2011. Untuk periode klasik (Ancient

Singapore) lihat h. 18-23, dan untuk periode kesultanan Islam (Malaka, Johor, dan Johor-Riau), lihat h. 23. Bahkan sampai saat ini, Singapura merupakan salah satu negara Persemakmuran Inggris (Commonwealth) alias salah satu anggota dari negara-negara Persemakmuran Inggris.

11 Pembahasan mengenai beberapa persoalan terkait dengan kajian tentang Islam di Asia tenggara diambil dan

(4)

3 arkeolog, ahli efigrafi, ahli numistik, budayawan, sastrawan, seniman, dan lain-lain. Dari segi masanya juga demikian, dari masa-masa yang paling awal, konon abad ke-7 M/1 H ketika Islam di Jazirah Arab belum lama lahir sampai masa sekarang ini. Deri segi tema pun sangat beragama, baik pemikiran, pendidikan, hukum, politik, sosial, budaya, sejarah, filologi, arekeologi, dan aspek-aspek ajaran Islam itu sendiri, seperti fikih atau syariah, tasawuf, ilmu kalam, akidah, akhlak, dan lain-lain. Begitu beragam dan kompleksnya persoalan Islam di Asia Tenggara menyebabkan kajian Islam di kawasan ini selalu menarik untuk dilakukan.

Salah satu tema kajian yang sampai saat ini masih menarik untuk diperbincangkan adalah tentang sejarah awal Islam di Asia Tenggara. Tema ini masih menyimpan berbagai kepenasaran, bukan saja karena kelangkaan sumber yang sezaman, tetapi juga karena adanya tarik menarik kepentingan yang sangat kuat antara “bangsa-bangsa di Asia Tenggara” di satu pihak dengan “kaum kolonial” di pihak lain. Demikian juga dengan anggapan sebagian kalangan yang menyebut Islam di kawasan ini sebagai periferi, tidak murni, lapisan tipis luarnya saja, dan tidak menjadi bagian dari Dunia Islam yang besar atau dari “tradisi besar Islam”.12 Sementara itu, sudah banyak ditemukan bukti mengenai

intensitas hubungan Islam di kawasan ini dengan Islam di tempat kelahirannya, Timur Tengah, seperti terlihat dalam jaringan ulama Nusantara dengan Haramain.13

Sejarah perkembangan Islam di masa modern di kawasan ini juga sanga menarik antara lain karena munculnya beragam “wajah Islam” di sini, misalnya ”Islam garis keras” atau “radikalisme”, “fundamentalisme”, “terorisme” yang tidak jarang dituduhkan pada Islam dan umanya, “gerakan Islam liberal” atau “liberalisme”, “pluralisme”, “gender”, dan lain-lain. Meskipun kajian tentang tema-tema tersebut telah banyak dilakukan, tetapi karena watak sejarah itu terus “bergerak” dan “mengalami perubahan” sehingga tema-tema itu, khususnya dari perspektif sejarah, tetap saja menjadi aktual dan peting untuk dikaji. Apalagi jika terkait dengan “radikalisme” tidak jarang Islam selalu menjadi yang tertuduh.14

Terkait sejarah masuknya Islam dan perkembangannya di Nusantara atau di kawasan yang sekarang menjadi Asia Tenggara merupakan salah satu tema kajian yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Persoalan sejarah awal masuknya Islam di kawasan ini pun hingga sekarang dapat dikatakan belum menemukan kesepakatan terutama mengenai kapan masuknya, siapa pembawanya, wilayah mana yang pertama kali diisalamkan, dan bagaimana proses pengislamannya. Sedangkan terkait dengan perkembangannya, banyak tema yang masih menyisakan berbagai pertanyaan. Misalanya, dari aspek politik, kapan komunitas Islam di wilayah ini mencapai kekuasaan politik dan menjadi sebuah “negara”, wilayah mana saja yang mencapai kekuasaan politik tersebut dan dalam bentuk apa kekuasaan tersebut; bagaimana kekuasaan itu diperoleh dan bagaimana pula hubungannya di atara berbagai wilayah yang memiliki kekuasaan politik tersebut. Sebut saja misalnya kesultanan-kesultanan Islam yang pernah

12 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2000), h. 56-57.

13 Lihat anra lain Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan

XVIII, (Bandung : Mizan, 1994, dan Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, 40(2), Edisi Juni 2009, h. 221–265.

14 Lihat misalnya John L. Esposito, Masa Depan Islam: Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan

(5)

4 ada, mulai dari Samudera Pasai di Aceh, Malaka di Semenanjung Malaya, Tumasik di Singapura sekarang, Demak, Cirebon, Banten, Aceh Darussalam, Palembang, Riau, Goa-Tallo, Ternate-Tidore, Banjar, Sumbawa, Bima, dan lain-lain di Indonesia sekarang. Demikian juga di kawasan Asia Tenggara yang dulunya menggunakan bahaya Melayu sebagai lingua franka, seperti Pattani di Thailand, Mindanao dan Sulu di Filipina, serta seluruh wilayah yang sekarang menjadi Malaysia dan Brunei Darussalam. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang menarik untuk menelusuri kembali jejak-jejak Islam di wilayah ini.15

Sejauh ini, kajian Islam di Asia Tenggara harus diakui belum mendapatkan perhatian memuaskan dari para sarjana Muslim kawasan ini. Azyumardi Azra menyebutkan empat alasan mengapa kajian Islam di Asia Tenggara minim peminat, yaitu:

Pertama, orang perlu menghabiskan waktu untuk menguasai ilmu lain, semacam bahasa Belanda. Kedua, ia harus siap “berbungkus lumus” mengumpulkan bahan-bahan atau arsip yang terpencar di mana-mana. Ketiga, ia harus siap untuk menambah tebal kaca matanya, karena matanya “rusak” mebaca arsip dan naskah tulisan tangan yang tidak mudah dibaca dan dipahami. Keempat—ini tak kurang pentingnya—ia harus bias “berada” (sic.; “berbeda” [?]) dengan apa yang pernah ditulis orang lain (khususnya sarjana asing) jika ia berharap studinya punya arti penting.16

Dalam melihat proses Islamisasi di Asia Tenggara dapat digunakan konsep pembentukan tradisi. Konsep ini dapat melihat berbagai data dan fakta terkait dengan sejarah awal dan perkembangan Islam di wilayah tertentu dengan memerhatikan kondisi masyarakat setempat serta pandangan hidup mereka dalam melihat masa lalu. Dengan mengutip E. Shils dari bukunya Traditions, Taufik Abdullah menjelaskan bahwa:

Sebagai sesuatu yang diturunkan dari masa lampau, tradisi tidak hanya berkaitan dengan landasan legitimasi tetapi juga dengan sistem otoritas dan kewenangan. Sebagai suatu konsep sejarah, tradisi dapat dipahami sebagai suatu paradigma kultural untuk melihat dan memberikan makna terhadap kenyataan. Karena proses pembentukan tradisi sesungguhnya merupakan suatu proses seleksi – ketika cita-cita harus senantiasa berhadapan dengan kenyataan dan di saat kebebasan harus menemukan modus vivendi dengan keharusan-keharusan struktural—maka tradisi dapat pula dilihat sebagai seperangkat nilai dan sistem pengetahuan yang menentukan sifat dan corak komunitas kognitif. Tradisilah yang memberi kesadaran identitas serta rasa keterkaitan dengan sesuatu yang dianggap lebih awal.17

Sementara itu, banyak hasil kajian Islam dari kalangan sarjana Barat yang cenderung menafikan peran Islam di kawasan ini. Pengkerdilan peran Islam di Asia Tenggara hampir dilakukan secara sistematis dengan membangun argumen yang terkesan “ilmiah” dan “akademis”, seperti dilakukan antara lain oleh London (1949), Van Leur (1955), Winstedt (1951), Geertz, atau Snouck Hurgronje. Berbagai kritik telah disampaikan bukan saja dari sarjana kawasan Nusantara tetapi juga dari kalangan sarjana Barat sendiri. Sebut misalnya Edward Said, A.H. John dan Marshall G. Hudgson. Edward Said juga mengkritik secara tajam pandangan para sarjana Barat terhadap Dunia Timur (Oriental) secara umum, juga terhadap Islam dan Dunia Muslim secara khusus.18

Azra kemudian menjelaskan:

15 Dari paragraf ini sampai dengan paragraf sebelum bagian “B. Rumusan Masalah”, diambil dan diolah dari

Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah Islam di Nusantara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.

16 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 3.

17 Taufik Abdullah, “Islam dan Pembentukan Tradisi di Asia Tenggara: Sebuah Perspektif Perbandingan”,

dalam Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique (Eds.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 61 dan 84.

(6)

5

Persepsi orientalis terhadap Islam di Asia Tenggara, tak kurang cacatnya. Dibandingkan dengan studi-studi tentang Islam dan masyarakat-masyarakat Muslim di Timur Tengah yang begitu banyak, Islam di Asia Tenggara masih merupakan lahan yang tak terlalu banyak disentuh kaum orientalis. Dalam skala perbandingan ini, meskipun studi tentang Islam di Asia Tenggara masih relatif sedikit, orientalis tak urung berhasil menciptakan dan membentuk potret yang tak selalu akurat tentang Islam di kawasan ini.

Kemunculan dan pengokohan kolonialisme Inggris dan Belanda di Asia Tenggara juga bertanggung jawab atas terciptanya pandangan yang keliru tentang Islam di Nusantara. Seperti dikemukakan Ellen..., kedua kekuatan kolonial ini menciptakan distorsi-distorsi terhadap Islam sejak pertama kali mereka mencoba secara “sistematis” menggambarkan Islam dan mengungkapkan Islam di Dunia Melayu. Sayangnya, mispersepsi dan distorsi yang mereka ciptakan malah dijadikan kerangka kerja (framework) bagi kesarjanaan dan keilmuan tentang Islam di Asia Tenggara pada masa-masa berikutnya… .19

Pandangan yang kurang berimbang juga terjadi dalam hal penggunaan sumber-sumber lokal tentang Islam di Asia Tenggara. Azra menyebutkan sebagai berikut,

Untuk konteks Asia Tenggara, bahan-bahan—khususnya tentang sejarah awal Islam—bukan tidak ada sama sekali. Terdapat bahan-bahan tertulis selain bukti arkeologi dan epigrafi, baik lokal maupun asing. Bahan-bahan lokal, semacam hikayat, babad, sejarah, tambo, atau historiografi klasik lain memberi informasi tentang konversi penduduk lokal kepada Islam dan perkembangan awal agama ini di tempat tertentu di Nusantara. Tetapi banyak sarjana Barat, seperti dikritik Johns, memandang historiografi lokal ini secara negatif, karena genre literatur tersebut tidak sesuai dengan kategori-kategori Barat tentang sejarah dan historiografi. Bahkan sarjana Barat, seperti de Graaf, bersikeras bahwa historiografi awal Islam di Nusantara tidak terlalu bisa dipercaya. “Terdapat keseragaman bunyi di antara mereka, yang tidak menunjukkan kebenaran.”20

Terlepas dari karakteristiknya yang khas yang berbeda dengan historiografi Barat, sarjana yang serius, jujur, dan objektif tidak bisa mengabaikan historiografi klasik Islam di Nusantara. Karena, bagaimanapun, historiografi klasik memberikan sejumlah informasi tentang watak dan perkembangan Islam; bahkan memberikan semacam pola umum bagaimana Islam diperkenalkan dan berkembang di kawasan Asia Tenggara. Lebih dari itu, historiografi klasik ini memberikan dan mengimbangi informasi dan gambaran tentang Islam dan masyarakat Muslim Nusantara seperti diberikan sumber-sumber asing: Barat, Cina, dan Arab”.21

Sejarah tidak semata-mata mengejar kepastian sejarah mengenai 5 W dan 1 H, yaitu apa, siapa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Akan tetapi, dengan memerhatikan kondisi masyarakat dan pandangan hidup mereka yang terekam dalam berbagai media, baik benda-benda arkeologis maupun manuskrip-manuskrip atau cerita yang berkembang di masyarakat, maka dapat ditangkap watak zaman di saat suatu peristiwa itu terjadi. Catatan-catatan mengenai pandangan hidup masyarakat terhadap masa lalu di Nusantara khususnya terekam dalam warisan masyarakat itulah historiografi klasik, atau seperti disebut Taufik Abdullah sebagai historiografi tradisional. 22

Pada umumnya, kajian Islam yang dilakukan sarjana asing cenderung bias dan tidak lepas dari maksud-maksud tertentu di luar masalah akademis. Kecenderungan ini

19 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 4.

20 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9, dari A.H. Johns, “The Turningg Image: Myth and

Reality in Malay Perception of the Past”, dalam Anthony Reid dan David Marr (Eds.), Perception of the Past in Southeast Asia, (Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books, 1979), h. 43 dan H.J. de Graaf, “South-East Asian Islam to the Eig1hteenth Century”, dalam P.M. Holt et. Al. (Eds.), The Cambridge History of Islam, Vol. II, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), h. 123.

21 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9-10.

(7)

6 telah berlangsung lama sehingga “jelas terdapat keengganan di kalangan orientalis untuk mengakui eksistensi Islam, sebagaimana adanya di Asia Tenggara.” Bahkan, untuk kajian Islam di Timur Tengah pun yang memiliki bahan yang melimpah ruah, tokoh-tokoh sarjana seperti Goldziher, Schacht, Juynboll, dan Crone, menolak reliabilitas sunah historis dan tradisi sahabat. Sikap seperti ini menunjukkan adanya maksud-masud yang bersifat ideologi dan bertujuan “mengobrak-abrik” basis historis dan sekaligus doktrinal Islam awal.23

Kecenderungan meminggirkan peranan Islam di kawasan Asia Tenggara antara lain karena jauhnya wilayah ini dari pusat perkembangan Islam di Timur Tengah. Tidak jarang pembahasan mengenai peradaban Islam mengabaikan Islam di kawasan Asia Tenggara. Sebenarnya, perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari Timur Tengah. Bukti-bukti mengenai adanya hubungan yang kuat antara Asia Tenggara dan Timur Tengah tidak bisa diragukan lagi. Teoritisasi mengenai kedatangan Islam di kawasan ini—yang hingga saat ini masih diperdebatkan—tidak berangkat dari perspektif yang sama. Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi perbedaan pendapat, apakah Islam yang masuk ke Indonesia itu berasal dari Arab, India, Gurajat, Persia, atau Cina. Semuanya bisa jadi benar jika diyakini perkembangan Islam di berbagai kawasan di Asia Tenggara terjadi secara simultan. Ketika Islam masuk ke Aceh, misalnya, bisa jadi pada saat yang sama, Islam juga datang di tanah Jawa. Ketika para pedagang Arab berniaga dengan penguasa Sriwijaya di Sumatera, bisa jadi ada ekspedisi lain berlabuh di Celebes (Sulawesi), dan seterusnya. Apalagi jika dilihat bahwa hubungan Asia Tenggara dan Timur Tengah sudah terjadi sejak sebelum Islam lahir di Jazirah Arab.24

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana asal-usul Singapura dalam konteks sejarah Islam di Asia Tenggara?

2. Bagaimana proses masuknya Islam ke Singapura, dan bagaimana perkembangannya sampai dengan awal abad ke-16 M?

3. Kesultanan atau kekuasaan politik apa saja yang pernah berkuasa di Singapura sebelum abad ke-16 M?

D. Tujuan Penelitian

1. Mengungkap dan mengetahui asal-usul Singapura dalam konteks sejarah Islam di Asia Tenggara.

2. Mendeskripsikan dan menganalis proses masuknya Islam ke Singapura dan perkembangannya sampai dengan awal abad ke-16 M.

3. Mendata dan menguraikan kesultanan atau kekuasaan politik yang pernah berkuasa di Singapura sebelum abad ke-16 M.

E. Manfaat Penelitian

Dengan mengungkapkan sejarah awal masuknya Islam di kawasan Nusantara, dan mendata serta menguraikan kesultanan atau kerajaan bercorak keislaman yang pernah ada dapat dilihat keterkitan berbagai lokasi awal kedatangan dan hubungan di antara berbagai kesultanan tersebut. Hal ini tidak saja bermanfaat sebagai pengetahuan sejarah, tetapi juga sangat berguna bagi penguatan jati diri dan karakter peradaban bangsa-bangsa

23 Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 9.

24 Sampai dengan bagian ini merupakan hasil olahan dari Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah Islam

(8)

7 di kawasan ini, yang pada gilirannya pula dapat semakin mempererat persatuan dan kesatuan serta kerjasama antarnegara di Asia Tenggara yang memiliki akar sejarah yang hampir sama.

Secara kelembangaan, hasil kegiatan ini bermanfaat bagi penyediaan data dan informasi keagamaan, khususnya terkait literatur yang membahas sejarah awal Islam dan perkembangannya berdasarkan sumber-sumber lokal yang berupa historiografi tradisional dan peninggalan arkeologis. Manfaat lain adalah pelestarian khazanah keagamaan, khususnya informasi dalam manuskrip-masnuskrip dan peninggalan-peningalan arekologis tentang sejarah awal Islam dan perkembangannya di Nusantara. Dalam konteks nasional, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber bagi penyempurnaan buku Sejarah Nasional Indonesia jilid III, khususnya, yang membasan tentang Islam dan Perkembangannya di Indonesia.25

F. Ruang Lingkup

1. Dari segi lokasi dan waktu, penelitian difokuskan pada “Sejarah Islam Awal di Singapura” dengan mengambil kasus tentang “Tumasik”.

2. Dari segi objek, penelitian ini akan menyasar jenis-jenis historiografi tradisional atau sumber sejarah tentang “Islam awal di Singapura” dan tentang “Tumasik” atau “Temasek”. Kesultanan atau kekuasaan politik di Singapura pada masa awal sampai dengan Portugis menaklukan Malaka pada 1511 M termasuk dalam objek penelitian ini.

3. Adapun dari segi waktunya, berdasarkan penelusuran awal, masa awal Singapura yang dikenal sebagai Tumasik setidaknya dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu pra kekuasaan Kesultanan Malaka (1200-1398) dan pada masa Kesultanan Malaka (1398-1511).

G. Metodologi Penelitian 1. Sifat dan Pendekatan

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yakni dengan mengkaji data yang diperoleh dari historiografi tradisional dan peninggalan-peninggalan masa lalu. Maka, dalam uraian hasilnya akan digunakan pendekatan sejarah sebagai pendekatan utama. Sampai batas tertentu akan digunakan pula pendekatan filologi dalam melihat manuskrip dan pendekatan arkeologi dalam mengamati peninggalan-peninggalan masa lalu. 26

2. Langkah-Langkah Penelitian

Penelusuran Sejarah Islam di Nusantara termasuk dalam lingkup penelitian sejarah. Dalam hal metodologi, penelitian sejarah merupakan kajian atas berbagai sumber sejarah, baik primer maupun sekunder. Langkah-langkah dalam penelitian sejarah terdiri atas empat tahap, yaitu: heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

a. Heuristik

Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti

25 Penjelasan “Manfaat Penelitian” diambil dari Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah Islam di

Nusantara”, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, 2012.

26 Pembahasan mengenai “Metodologi Penelitian” diolah dari Desain Operasional (DO) “Penelusuran Sejarah

(9)

8 mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber. Berdasarkan bentuk penyajiannya, sumber-sumber sejarah terdiri atas manuskrip, arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar, benda-benda arkeologis material seperti prasasti, bangunan bersejarah, makam, dan sejenisnya, maupun nonmaterial seperti cerita rakyat atau adat istiadat.

b. Kritik Sumber

Berdasarkan sifatnya, sumber sejarah terdiri atas sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang waktu pembuatannya tidak jauh dari waktu peristiwa terjadi. Sumber primer adalah dokumen, atau sumber informasi lain yang dibuat pada saat atau dekat waktunya dengan peristiwa yang sedang dikaji, oleh sumber terpercaya, biasanya seseorang yang mengetahui langsung kejadian-kejadian yang sedang diuraikan. Dalam pengertian ini, primer tidak berarti superior (lebih unggul). Hal ini merujuk pada informasi yang disampaikan oleh pelaku-pelaku langsung, dan berbeda dengan sumber sekunder, yang dalam keilmuan sejarah adalah sebuah karya, seperti buku atau artikel ilmiah, yang disusun berdasarkan sumber-sumber primer. 27

Adapun sumber sekunder adalah adalah dokumen atau rekaman yang berhubungan atau membahas informasi terkait subjek yang dikaji yang pada dasarnya berasal dari mana saja. Sumber sekunder berbeda dengan sumber primer, yang merupakan sumber

original (asli) dari informasi yang sedang dibahas. Sumber sekunder mencakup

generalisasi, analisis, sintesis, interpretasi, atau penilaian terhadap informasi asli. Primer dan sekunder merupakan istilah-istilah yang relatif, dan sebagian sumber dapat diklasifikasikan sebagai primer maupun sekunder bergantung pada bagaimana ia digunakan. 28

Terkait dengan sumber untuk penulisan sejarah ilmiah, sumber-sumber tersebut terlebih dahulu harus dinilai melalui kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern menilai, apakah sumber itu benar-benar sumber yang diperlukan? Apakah sumber itu asli, turunan, atau palsu? Dengan kata lain, kritik ekstern menilai keakuratan sumber. Kritik intern menilai kredibilitas data dalam sumber.

Tujuan utama kritik sumber adalah untuk menyeleksi data, sehingga diperoleh fakta. Setiap data sebaiknya dicatat dalam lembaran lepas (sistem kartu), agar memudahkan pengklasifikasiannya berdasarkan kerangka tulisan. 29

c. Interpretasi

Dalam metode sejarah, interpretasi atau penafsiran terhadap fakta sejarah yang diperoleh dari arsip, internet, buku-buku yang relevan dengan masalah yang diangkat, maupun hasil wawancara langsung dengan para tokoh yang pernah terlibat langsung dengan peristiwa yang diteliti atau saksi sejarah dan tokoh lainnya yang memiliki pengetahuan tentang masalah yang diteliti. Pada tahap interpretasi juga dihubungkan antara satu fakta dengan fakta lain. Penafsiran atas fakta harus dilandasi oleh sikap obyektif. Kalaupun dalam hal tertentu bersikap subyektif, harus subyektif rasional, jangan subyektif emosional. Rekonstruksi peristiwa sejarah harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Pada tahap ini dilakukan pula analisis dengan menggunakan kerangka teori yang disesuaikan dengan tujuan penelitian.

(10)

9

d. Historiografi

Tahap terakhir dari langkah-langkah dalam penelitian sejarah adalah historiografi, yaitu merangkaikan fakta berikut maknanya secara kronologis/diakronis dan sistematis, menjadi karya sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Historiografi merupakan puncak dari metode penelitian sejarah, yang dalam penelitian ini merupakan laporan hasil penelitian. Penulisan laporan hasil penelitian pada tahap ini mencoba menangkap dan memahami realita sejarah. Dalam konteks ini penyajian hasil temuan lapangan tidak hanya menjawab pertanyaan ´apa´, ´siapa´, ´kapan´, dan ´bagaimana´ tetapi melakukan suatu eksplanasi secara kritis tentang ´bagaimana´, dan ´mengapa´.

H. Sistematika Penulisan

Makalah ini dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) Pendahuluan; 2) Tumasik, Nama Arkaik Singapura, yang membahas dua hal, yakni: a) Gambaran Umum Singapura, dan b) Asal-Usul Singapura; 3) Tumasik sebagai Singapura Islam Tempo Dulu, yang juga membahas dua pokok permasalahan: a) Kedatangan Islam di Singapura, dan b) Tumasik Islam, yang tidak lain adalah Singapura Tempo Dulu; dan 4) Penutup, yang terdiri atasesimpulan dan saran-Saran.

II. TUMASIK, NAMA ARKAIK SINGAPURA

A. Gambaran Umum Singapura

Negara-negara di Asia Tenggara ditinjau dari segi sosiokultural dan perkembangan Islam, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu negara-negara yang penduduk muslimnya sedikit, seperti Thailand, Kamboja, Burma, dan Filipina; negara-negera yang mayoritas warga negaranya beragama Islam dan memerhatikan masalah agama, seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam; dan negara yang pertumbuhan ekonominya cukup lumayan tetapi negara kurang begitu memerhatikan masalah agama, yaitu Singapura.30 Sesuai dengan sasaran penelitian ini, berikut

gambaran sekilas mengenai negara yang menjadi sasaran penelitian, yaitu Singapura. Singapura merupakan sebuah negara imigran karena sebagian penduduknya adalah pendatang. Zaman modern Singapura, yang dulunya disebut Tumasik, seing dihubungkan dan dimulai sejak Thomas Stamford Raffles dari Inggris mulai menancapkan kekuasaan perusahaan negaranya, East India Company (EIC) di Singapura pada tahun 1819. C. M.Turnbull menjelaskan demikian:

Attracted by Singapore’s historical associations as the probable site of the port of Temasek (Tumasik), which was destroyed in the late fourteenth century, on 30 January 1819 Raffles signed a preliminary agreement with the local chieftain permitting the EIC to set up a trading post. Since the sultanate was disputed by two half brothers, with the Dutch supporting the younger claimant, Raffles recognized the elder as sultan and signed a treaty with him on 6 February 1819. Raffles immediately left to negotiate the Aceh treaty, returning briefly in May 1819 with settlers from Penang. In face of vigorous Dutch protests, the British occupation was not recognized until 1824.31

30 Shamsul A.B., “Convergence of Interest and Sharing a Future: Deepening the Understanding of Islam in

Asia and Europe”, ASIEN 100 (Juli 2006), h. 63. Lihat juga Anonim, “Perkembangan Islam di Asia Tenggara”, http://irmasgirljpr.blogspot.com/2011/08/ perkembangan-islam-di-asia-tenggara.html, Jumat, 12 Agustus 2011. Diakses 3 Mei 2012.

31 C. M.Turnbull, “Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (1781–1826)”, dalam Ooi Keat Gin (Ed.),

(11)

10 Selanjutnya, pada tahun 1824, seluruh pulau Singapura berada di bawah kekuasaan Inggris melalui perjanjian lebih lanjut dimana Sultan dan Temanggong menyerahkannya kepada British East India Company. Pada 1826, Singapura menjadi bagian dari British Straits Settlements (Negeri-Negeri Selat di bawah kekuasaan Inggris), kemudian menjadi ibukotanya pada 1836. Sebelum Raffles tiba, terdapat sekitar 1.000 orang yang tinggal di Singapura, sebagian besar mereka adalah etnis Melayu, dan beberapa lusin etnis Cina. Menjelang 1869, karena ada migrasi dari Malaysia dan tempat-tempat lain di Asia, penduduk Singapura mencapai 100.000 orang. Imigran Cina dan India datang ke Singapura untuk bekerja, dan keturunan merekalah yang kemudian menambah jumlah populasi penduduk Singapura.32

Gambar Tenda-Tenda Orang Laut Tanjong Rhu

(Sumber: Karl Hack, The Singapore Malay Community, h. 4.)

Sebelum tahun 1819, sungai-sungai di Singapura telah dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat yang hidup di atas perahu. Mereka disebut Orang Laut. Orang Laut terutama ditemukan di Sungai Singapura, Sungai Kallang, dan sungai-sungai lain di Singapura. Di samping itu, ada juga komunitas Orang Laut hidden yang hidup di sekitar Telok Blangah (sekarang dekat World Trade Centre). Pada tahun 1830-an, Orang Laut di wilayah ini dikenal sebagai perompak yang sering mengganggu kapal-kapal dagang di tegah-tengah pertumbuhan pelabuhan yang semakin cepat. Seteah menemukan Singapura, Orang Laut di sekitar Sungai Singapura menetap di rumah-rumah perahu mereka. Orang Laut Sungai Singapura akhirnya diusir antara tahun 1842-1843, dan direlokasi di Tanjong Rhu, Telok Blangah, Selat Sinkeh, Pasir Panjang dan di pulah-pulau sebelah utara seperti Pulau Brani.33

Gambar Keluarga Orang Laut

(Sumber: Karl Hack, The Singapore Malay Community, h. 4.)

32 C. M.Turnbull, “Raffles, Sir (Thomas) Stamford Bingley (1781–1826)”, h. 1122.

33 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, versi pdf, Open University,

(12)

11 Singapura mencapai kemerdekaannya dan menjadi Republik Singapura pada 9 Agustus 1965. Sebelumnya pada 31 Agustus 1963, Singapura pernah mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris, dan bergabung dengan Malaya, Sabah, dan Serawak untuk membentuk Ferderasi Malaysia sebagai hasil dari Referendum Penyatuan (Merger

Referendum) pada tahun 1962.34 Para pemimpin Singapura memiliki beberapa alasan

untuk bergabung dalam federasi baru ini, antara lain sebagai berikut:

Firstly, as a small country, they did not believe that the British would find it viable for Singapore to become independent by itself.

Secondly, they also did not believe that Singapore could survive on its own, due to scarcity of land, water, markets and natural resources.

And lastly, the Singapore government wanted the help of the Malaysian government to flush out the Communists. 35

Selama dua tahun Singapura menjadi bagian dari Malaysia selalu terjadi pertentangan. Bangsa Malaysia sangat pro pada masyarakat Melayu sehingga mereka mendapatkan hak-hak istimewa sebagai Bumiputra. Sementara orang-orang Singapura menginginkan hak yang sama tanpa membedakan etnisnya. Sebagai bagian dari Malaysia, ekonomi Singapura juga mengalami kemunduran karena pemblokiran beberapa macam pembiayaannya. Akibatnya, muncul kerusuhan dan konflik ideologi di antara dua pemerintahan tersebut. Pada tahun 1965, Parlemen Malaysia akhirnya memutusnya melalui pemungutan suara untuk mengeluarkan Singapura dari Malaysia. Hasil pemungutan suara mencapai 100%, yakni 126 lawan 0, menyetujui pemisahan tersebut. Akhirnya Singapura memperoleh kemerdekaannya menjai Republik Singapura, tetapi tetap sebagai anggota Commonwealth pada 9 August 1965, dengan Yusof bin Ishak sebagai Presidennya dan Lee Kuan Yew sebagai Perdana Menterinya.36

Pertambahan jumlah penduduk dilihat dari persentase etnis, penduduk Singapura relatif stabil sejak pertengahan abad ke-19. Pernah terjadi perubahan demografik yang cukup signifikan pada awal abad ke-19, yaitu ketika penduduk Cina mulai mengambil alih komposisi persentase jumlah penduduk sehingga menjadi penduduk mayoritas yang menonjol dibanding etnis Melayu. Pada tahun 1891, jumlah penduduk Cina di Singapura lebih dari 50 %, yaitu 67.1%, kemudian Melayu 19.7%, India 8.8% dan yang lain-lain. Etnis dari Eropa dan Arab berjumlah 4.3%. Komposisi penduduk ini berubah signifikan sensus dilakukan pada tahun 1990. Penduduk Singapura yang berjumlah 2.7 juta orang terdiri atas mayoritas etnis Cina dengan jumlah 77.7%, etnis Melayu 14.1%, etnis India 7.1 %, dan warga lainnya 1.1%. Pada sensus tahun yang sama, dilihat dari komposisi keagamaannya, persentasenya sebagai berikut: Penganut Buddha 31.1%; Taoisme 22.4%; Islam 15.3%; Kristen 12.5%; Hindu 3.7% dan agama lain 0.6% . Sebagaimana di Indonesia dan Malaysia, etnis Melayu rata-rata memeluk Islam, etnis Melayu identik dengan Islam, seperti di Jawa Barat, Sunda identik dengan Islam, dan di Singapura, identitas kemelayuan dapat dikatakan sebagai identitas keislaman. 37

Pada tahun 2006, jumlah penduduk Singapura mencapai 4.131.200 jiwa, dengan komposisi etnis China sebanyak 79.7%, Melayu 13.9%, India 7.9%, dan etnis lain sekitar 1.5%. Melihat komposisi tersebut, etnis China adalah etnis mayoritas, disusul Melayu

34 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4. 35 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4. 36 Karl Hack, The Singapore Malay Community Enclaves and Cultural Domains, h. 4.

37 Anonim,Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura”, http://www.segenggam-harapan.com/

(13)

12 dan India. Etnis Melayu sebagian besar berasal dari imigran Sumatera, Sulawesi, Bawean, dan lain-lain.

Pada tahun 2008, penduduk Singapura mencapai 4.839.000 jiwa, sekitar 15 % dari jumlah itu adalah Muslim. Mayoritas kelompok etnik Melayu di Singapura memeluk Islam. Selain itu, pemeluk Islam meliputi kelompok etnik India dan Pakistan, juga sejumlah kecil kelompok etnik Cina, Arab, dan Eurasia. Sekitar 17 % dari jumlah Muslimin Singapura berasal dari kelompok etnik India. Paham keagamaan kaum muslim di Singapura pada umumnya merupakan muslim Sunni yang mengikuti mazhab Syafi’i. Ada sebagian dari mereka yang mengikuti mazhab Hanafi, dan ada juga kelompok muslim yang mengikuti mazhab Syiah. Sedangkan menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Singapura telah mencapai 5.183.700 jiwa, dan 3.257.000 jiwa adalah kelahiran Singapura. 38

Pada dasarnya Singapura adalah negara yang bersikap netral terhadap agama. Negara ini sebenarnya tidak terlalu memerhatikan agama rakyatnya. Akan tetapi, perkembangan Islam di negara ini tergolong maju dan tidak dapat dikatakan mundur, jika dibandingkan denan negara-negara tetangganya, seperti Malaysia dan Indonesia.

Hal ini dapat terlihat pada sekolah Agama swastanya yang berjumlah dari TK sampai dengan SMA-nya sebanyak 21 buah. Suraunya berjumlah 76 buah dan mesjid 40 buah. Beberapa tahun yang lalu, 23 buah mesjid-mesjid telah dirubuhkan karena terdesak dengn pemodenan kota. Namun 23 mesjid yang menampung 5.830 jamaah yang digusur itu telah berganti dengan 10 buah mesjid baru yang berdaya tamping 26.000 jamaah, kemudian dibangun lagi 5 buah mesjid sekitar tahun 1988 yang dapat menampung 15.000 jamaah.

Selain rumah ibadah untuk umat Islam, Masjid, di Singapura juga terdapat rumah ibadah untuk pemeluk agama yang lain. Kuil Cina (Kelenteng) ada 700 kuil, Pura, rumah ibadahnpenganut agama Hindu ada 27, dan Gereja Kristen ada 19. Terkait dengan pembangunan Masjid, cukup menarik untuk disebutkan bahwa hampir seluruh dananya adalah sumbangan masyarakat yang dikumpulkan oleh The Administation of Muslim Law Act (AMLA). Wujud organisasi ini diakui oleh Parlemen Singapura sejak tahun 1966, yang sekaligus berarti memberikan kedudukan hukum terhadap adanya institusi yang sah dalam rangka melaksanakan hukum dan ajaran Islam bagi pemeluknya. Lembaga ini baru efektif tahun 1968, dengan kewenagannya utamanya menyangkut tiga lembaga keagamaan Islam, yaitu: 1) Majelis Ugama Islam Singapura (the Islamic

Religious Council of Singapore), 2) Peradilan Syariah (the Syariah Court), dan 3)

Pendaftaran Pernikah Orang-Orang Islam (the Registry of Muslim Marriages). 39

Pengakuan negara atas peran umat Islam tidak terbatas pada kehidupan individu tetapi juga untuk negara, yaitu melalui lembaga yang menghimpul para ulama Singapura yang bernama Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS), semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Republik Indonesia. Status legal lembaga ini terdapat dalam konsituti, yakni Article 153, yang menyatakan:

“The Legislature shall by law make provision for regulating Muslim religious affairs and for constituting a Council to advise the President in matters relating to the

Muslim religion.”40

(14)

13 Berdasarkan Article 153 ini, MUIS mempunyai otoritas untuk memberikan nasihat kepada Presiden Singapura dalam masalah-masalah Islam dan umatnya.

Fenomena menarik lainnya adalah pertumbuhan organisasi-organisasi Islam di negara yang dianggap sekular ini. Dengan semakian bertambah organisasi-organisasi Islam, kegiatan keagamaan Islam semakin terorganisir, misalnya dakwah yang dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, khususna teknologi informasi, baik melalui media audio-visual maupun media cetak, dan sarana lainnya seperti internet. Di antara organisasi-organisasi keagamaan Islam di Singapura adalah sebagai berikut:

1. Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS)

2. Majelis Pendidikan Anak-Anak Islam (MENDAKI) 3. Lembaga Beasiswa Kenangan Maulid (LBKM) 4. Persatuan Seruan Islam Singapura (IAMIYAY) 5. Persatuan Guru-Guru Agama Singapura (PERGAS) 6. Persatuan Muhammadiyah

7. Persatuan Pelajar-Pelajar Agama Dewasa Singapura (PERDAUS) 8. Persatuan Taman Pengajian Islam Singapura (PERTAPIS)

9. Darul Arqam

10. Himpunan Belia Islam (HBI)

11. Persatuan Pemudi Islam Singapura (PPIS) 12. Persatuan Muslim Singapura (PERMUSI ) 13. Tamil Muslim Jemaah Singapura.41

Sejarah Singapura, yang nama awalnya Tumasik, terus mengalami pergantian penguasa atas daerah ini, mulai Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan Johor, sampai dengan beberapa kesultanan di Nusantara saat ini. Klaim terhadap wilayah Tumasik di Nusantara antara lain muncul dari tiga kerajaan, yaitu Kerajaan Samu-Samu di Maluku, Kerajaan Luwuk di Sulawesi Selatan, dan Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Menurut mereka, Singapura merupakan bagian dari wilayah Nusantara berdasarkan dokumen yang terkait dengan wilayah tersebut. Dokumen itu masih tersimpan rapi di Banten. Raja Samu-Samu VI dari Maluku mengatakan, "Dokumen tentang Singapura itu masih ada di Banten", seperti disampaikannya dalam acara “Dialog Budaya Nusantara” di Jakarta pada Kamis, 12 Januari 2012. Ia mewakili tujuh kerajaan di Nusantara, yang hadir dalam acara tersebut yang mengusung tema "Menghidupkan Kembali Nilai-nilai Luhur Budaya Bangsa Menuju Nusantara Jaya".42

Sejarah panjang Singapura yang selalu berganti penguasa, hingga sekarang secara

de facto, dan bahkan de jure, merupakan bagi dari kekuasaan yang lebih besar,

Commonwealth, negara-negara persemakmuran Inggris, antara lain bersama Malaysia

dan Australia.

B. Asal-Usul Singapura

Singapura (Singapore) merupakan nama modern yang digunakan sekarang untuk menyebut negara yang terletak di selat Malaka. Penyebutan “Singapura” sering dihubungkan dengan kekuasaan Thomas Stanford Raffles yang menggagas proyek

singapore” pada tahun 1818 karena kekecewaannya terhadap Belanda yang merebut

kembali tanah Jawa dari Inggris. Kemudian, Raffles menandatangani perjanjian dengan

41 “Islam in Singapore”, http://en.wikipedia.org/wiki/Islam_in_Singapore.

42 Feril Nawali, “Tujuh Kerajaan di Indonesia Klaim Singapura Masuk Wilayah Nusantara”,

(15)

14 Temanggong Sri Maharaja untuk menguasai Pulau Singapura pada 19 Januari 1819.43

Maka, tahun 1819 dipandang sebagai awal penggunaan nama “Singapura” untuk menyebut daerah tersebut. Akan tetapi, asal-usul dan kemunculan istilah “Singapura” untuk pertama kalinya tetapi belum dapat dipastikan.

Menurut salah satu sumber Melayu Lama disebutkan bahwa,

salah seorang keturunan Sang Superba dari Palembang pergi dan tinggal di pulau Bintan, dari sana ia melihat pantai putih di pulau lain. Ketika ia menanyakan tempat itu, ia mengetahui bahwa pulau itu adalah pulau Tumasik, dan ia minta untuk mengunjungi pulau tersebut. Tetapi ketika baru saja berlayar menuju pulau itu, tiba-tiba datang angin topan menerpa kapal mereka. Angin topan begitu dahsyatnya, sampai kemudian mahkota sang pangeran jatuh ke dalam air. Tanpa diduga angin topan itupun tiba-tiba berhenti dan air lautpun kembali tenang. Atas kejadian itu, mereka meyakini bahwa jatuhnya mahkota sang pangeran ke dalam air yang kemudian disertai terhentinya angin topan dan tenangnya kembali air laut, merupakan pertanda diperbolehkannya sang pangeran beserta pengikutnya untuk memasuki pulau tersebut. Ketika memasuki pulau itu, mereka melihat seekor binatang, yang anggun gerakannya, tangkas dan berani, dengan bulu bagian kepalanya yang hitam, putih di bagian lehernya dan coklat di bagian badannya. Mereka terkesan dengan binatang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kemudian seorang tua memberitahukan kepada sang pangeran, bahwa nama binatang itu adalah “Singa”. Kemudian ia memutuskan untuk tinggal di sana dan memberi nama tempat itu dengan Singa-pura, kota-Singa. Dari cerita tersebut kemudian lahir nama Singapura. 44

Penjelasan lain diberikan berdasarkan riwayat yang dikisahkan dalam Sejarah

Melayu (the Malay Annals), bahwa suatu ketika seorang Tamil yang merupakan putera

raja, yakni Sang Nila Utama dan istrinya yang bernama Wan Sri Bini[?] (puteri Banten [?]) berangkat ke Banten bersama para pengikutnya, kemudian berlabuh terlebih dahulu di sebuah pulau di selatan Semenanjung Malaya. Ketika mereka naik ke daratan, “Sang Nila Utama melihat seekor binatang buas melintasi jalan yang akan mereka lalui; binatang itu lebih besar dari kambing, badan binatang itu berwarna cokelat, lehernya berwarna hitam, dan dadanya berwarna putih, binatang itu ternyata singa. Sang Nila Utama menganggap peristiwa itu merupakan pertanda baik. Maka kemudian ia memberi nama wilayah yang dimasukinya itu dengan Singapura, artinya kota singa...”45

Dalam buku Islam Melayu VS Islam Jawa, Maharsi Resi meringkaskan kisah tentang “Singapura” yang merupakan “cerita ketiga” dari Sejarah Melayu, sebagai berikut:

Sang Nila Utama yang beristrikan Wan Sri Beni bertempat tinggal di Bintang [?]. Pada suatu hari Nila Utama mohon diri kepada permaisuri Iskandar Syah pergi ke Tanjung Bemban untuk berburu binatang. Ketika Sang Nila Utama naik ke pegunungan daerah itu, ia melihat sebuah pantai putih yang sangat indah. Dengan mengendarai perahu, Nila Utama dan rombongan pergi ke pantai itu yang kemudian dinamakan Kuala Tumasik. Di tempat itu mereka melihat seekor binatang menyerupai singa, maka tempat itu dinamakan Singapura. Nila Utama berhasil mendirikan Kerajaan Singapura sebagai kerajaan dagang yang besar dan sangat ramai. Di Kerajaan Singapura, Nila Utama menjadi raja besar bergelar Sri Teribuana.46

43 Thomas Stanford Raffles, The History of Java (Edisi Indonesia), (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), h.

vi-viii.

44 Ajat Sudrajat, “Perkembangan Islam di Singapura”, Kertas Kerja Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY,

Yogyakarta. h. 8-9.

45 Muhammad Yusuf, Islam di Singapura: Studi Pembaharuan Pemikiran Islam, IAIN Raden Intan Bandar

Lampung, 2004, h. 18, dari Hsu Yun-ts’iao, “Notes on the Historical Position of Singapore,” dalam Malayan History, Singapore, 1962, h. 226. “Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura”, http://www.segenggam-harapan.com/2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html. Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, h. 158. Lihat juga Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 376-377.

46 Maharsi Resi, Islam Melayu vs Islam Jawa, Menelusuri Jejak Karya Sastra Sejarah Nusantara, (Yogyakarta:

(16)

15 Sementara itu, sama-sama bersumber dari Sejarah Melayu (The Malay Annals), juga disebutkan bahwa Singapura pada masa lalu bernama “Temasik” yang merupakan kota perdagangan pertama yang cukup besar di Semenanjung Malaya. Daerah ini selalu berpindah dari penguasaan satu kerajaan ke kerajaan lain. Kerajaan-kerajaan yang tercatat pernah menguasai “Temasik” adalah Sriwijaya, Majapahit dan Melaka. Pada maka kekuasaan Malaka, sultan yang berkuasa saat itu adalah Sultan Iskandar Syah, yang dikonfirmasi juga oleh sumber berita dari Cina, Sejarah Dinasti Ming atau the Ming

Annals. Berdasarkan kalkulasi masa waktu antara Sejarah Melayu dan Sejarah Ming,

diperkirakan bahwa Sultan Iskandar Syah menguasai Temasik pada tahu 1395 M, sedangkan titi mangsa pendirian Kerajaan Temasik ini adadah pada 1299 M.47

John N. Miksic menjelaskan “Temasik”, dalam Southeast Asia, A Historical

Encyclopedia from Angkor Wat to East Timor, sebagai berikut:

The place-name Temasik appears in several sources of the fourteenth century. It can be localized in the area of the south coast of the island of Singapore. Closely associated with it was the name Long Yamen, “Dragon’s Tooth Strait,” whence a mission was sent to Yuan dynasty China around 1320. Later fourteenth-century sources concerning this chiefdom include a reference in the Desawarnana (Nâgarakertâgama), a Majapahit court poem written in 1365 C.E., that lists Temasik as one of the Javanese kingdom’s vassals.48

Nama lain untuk “Temasik” disebutkan pula dalam beberapa sumber dari abad ke-14 M. Daerah yang terletak di ujung Semenanjung Malaya ini disebut juga "Pulau Ujung" (Pu-Lo-Chung), "Salahit" -Selat, dan juga “Temasek”, “Tumasik” (Jawa), serta "Tam-ma-sik" (China). Ia juga disebut Lion City (Kota Singa). Sumber lain menyebutkan bahwa daerah ini merupakan menjadi tempat persinggahan para pedagang Majapahit pada abad ke-14 sehingga ia dinamakan “Singapura” yang bararti “kota” (Pura) “singgah” (Singgah). 49 Sementara itu dalam kitab Tuhfah al-Nafis, nama Singapura pada

masa awal adalah Temasik, Tumasek (Jawa), atau Ta-ma-sek (Cina). Pada awal abad ke-19, sekitar tahun 18ke-19, Tumasik di bawah kekuasaan Sultan Husein Syah. 50

Menurut Rose Liang, sumber lain menyebutkan bahwa Wang Dayuan,51 seorang

pengembara dari Cina, yang berkunjung pada 1330, ke sebuah tempat yang disebut Pancur (berarti “Spring”), sebuah perkampungan Melayu dengan beberapa orang Cina. Demikian juga, Nagarakretagama, sebuah puisi epik Jawa menyebut Singapura sebagai Temasek (“Sea Town”/Kota Laut). Jejak-jejak arkeologis menunjukkan bahwa pada abad keempatbelas, Temasek, sebutan bagi Singapura pada masa lalu, digunakan sebagai kota pelabuhan dan pusat perdangan serta komersial untuk berbagai kepentingan. Sejarah

Melayu (Malay Annals), sebuah kronik Melayu abad ketujuh belas mecatat bahwa pada

1299, seorang pangeran dari Sriwijaya, Sri Tri Buana, ketika melihat berpikir untuk memberi nama pulau yang dikunjunginya, ia melihat seekor singa, maka ia memberi

47 John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, h. 1311. Lihat juga “Singapore”, http://www.britannica.com/

EBchecked/topic/545725/Singapore/ 214573/History,

48John N. Miksic, “Temasek (Tumasik)”, h. 1311.

49 Menurut Wheatley (1961), lokasi ini disebut “Pancur”, Wolters (1982) menyebutnya “Temasek”, dan

Gibson-Hill (1954) menyebut “Longyamen” ("Dragon's Tooth Strait"). Geoff Wade dan Joyce Zaide (Eds.),

Provenance Research on 14th-Century, Greenwares Found in Singapore, (Singapore : The Nalanda-Sriwijaya Centre, Institute of Southeast Asian Studies, 2009), h. 15. Lihat Anonim, “Sejarah dan Perkembangan Islam di Siangapura” http://www.segenggam-harapan.com/2012/07/sejarah-dan-perkembangan-islam-di.html.

50 Agus Hairi, “Islam di Singapura”, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, Minggu,

26 September 2010. Dikases 4 Oktober 2012. Agus Hairi merujuk buku-buku berikut Abd. Ghofur, Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru, 2008; Asmal May dan M. Arifuddin, Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekabaru, 2006; dan Helmiati, Sejarah Islam Asia Tenggara. IAIN Pekanbaru, 2002.

(17)

16 nama Singapura (Lion City/Kota Singa) untuk pulau tersebut, dan menjadikannya sebagai pos perdagangan untuk Kerajaan Sriwijaya. 52

Rose Liang juga menjelaskan bahwa selama abad ke-14, Singapura mengalami beberapa kali serangan dari Kerajaan Jawa, Majapahit, yang meluaskan kekuasaannya dari selatan dan perluasan kekuasaan Kerajaan Thai, Ayutthaya ke utara. Sejarah Melayu juga menyebutkan bahwa menjelang akhir abad keempat belas, Parameswara, seorang Pangeran dari Palembang yang pada 1388 melarikan diri dari serangan Kerajaan Jawa, Majapahit, ia mencari perlindungan di Singapura, kemudian ia membunuh dan mengganti penguasanya, yang bisa jadi menjadi vassal Kerajaan Siam. Kerajaan Siam (Thai) melancarkan serangan balasan dan menghancurkan Singapura sehingga daerah ini tidak dihuni lebih dari 400 tahun. Parameswara melarikan diri ke Malaka, kemudian memeluk Islam dan berusaha mengembangkan Kesultanan Malaka, yang pengaruh kekuasaannya meliputi Singapura yang merupakan bagian dari Kesultanan Johor. 53

Gambar Peta Singapura saat ini yang menunjukkan lokasi situ-situs arkeologi, petunjuk-petunjuk, dan batas-batas wilayah pra-kolonial yang dapat diketahui.

Sumber: Lim Tse Siang, “14th Century Singapore: The Temasek Paradigm”, 2012, h. 2

Menurut asal katanya, “Singapura” berasal dari bahasa Sansakerta. Nama ini terdiri atas dua dua kata, yaitu “singa”, nama binatang buas, dan “pura” yang berarti “kota”. Dengan demikian, “Singapura” juga berarti “Kota Singa”. Sebelum Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor menguasai daerah ini, diceritakan bahwa di sana pernah berdiri “Kesultanan Tumasik”. Adapun sultan-sultan yang memerintah Tumasik sebelum dikuasai oleh Kesultanan Malaka adalah :

1. Raja I Sri Tri Buana (1299-1347); 2. Raja II Seri Pikrama Wira (1347-1362); 3. Raja III Sri Rana Wikema (1362-1375); 4. Raja IV Sri Maharaja (1375- 1388).

52 Rose Liang, “Change and Continuity in the Culture of Singapore’s Primary School Teachers from 1959 to

2006”, A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Philosophy, Department of Sociology, National University of Singapore, 2007, h. 66.

53 Rose Liang, “Change and Continuity in the Culture...”, h. 66-67. Bandingkan dengan Edi Sedyawati

(18)

17 5. Raja IV Sri Sultan Iskandar Syah, memerintah selama lima tahun di Singapura

(1388-1391), kemudian di Malaka (1393-1397).54

Sampai di sini, asal usul Singapura masih simpang siur, terlebih masa-masa sebelum kedatangan Portugis pada tahun 1510 di Nusantara, yang setahun kemudian, 1511, menaklukan Malaka. Sebagian penutup subbagian ini, cukup kiranya dikutipkan penjelasan ringkas dalam situs Wikipedia, the free encyclopedia, setidaknya dapat merangkum berbagai keterangan di atas, yakni sebagai berikut ini:

Temasek ('Sea Town' in Old Javanese, spelt Tumasik) was the name of an early city on the site of modern Singapore. From the 14th century, the island has also been known as Singapura, which is derived from Sanskrit and means "Lion City". Legend has it that the name was given by Sang Nila Utama when he visited the island in 1299 and saw an unknown creature, which he mistook as a lion.

While the early history of Singapore is obscured by myth and legend, some conclusions can be drawn from archaeological evidence and from written references by travellers. Archaeology points to an urbanised settlement on the site by the 14th century. Allusions by travellers give some evidence that there may have been a city or town present as early as the 2nd century. At its height, the city boasted a large earthen city wall and moat; many of the buildings were built with stone and brick foundations. Remains of old pottery, coins, jewellery and other artifacts have been found, with many of these artifacts believed to be imported from various parts of China, India, Sri Lanka, and Indonesia. These are sometimes seen as evidence of the city's status as a regional trade centre. An aquatic route which is part of the larger Silk route, passes through Temasek.

From the 7th to the 13th centuries, the island of Singapore was controlled by the Srivijaya empire based in Sumatra. By the emergence of Temasek as a fortified city and trading centre in the 14th century, the Srivijaya empire was in a long period of decline. The city was conquered by the Majapahit empire in 1401 and changed hands several times before coming under the influence of the Sultanate of Malacca in the 15th century. After the fall of Malacca to the Portuguese in 1511, the island came under the control of the Malay Sultanate of Johor.55

III. TUMASIK: SINGAPURA ISLAM TEMPO DULU

A. Kedatangan Islam di Singapura

Masuknya Islam ke Singapura terkait dengan proses kedatangan Islam di Asia Tenggara. Tentang proses kedatangan Islam di Asia Tenggara, para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai kapan dan dari mana datangnya. Kajian mengenai teori kedatangan Islam di Asia Tenggara telah banyak dilakukan, baik teori-teorinya mapun tinjauan kritis atas teori-teori tersebut. Oleh karena itu, penjelasan mengenai hal ini disajikan secara ringkas berdasarkan salah satu tinjauan yang pernah ada.56 Berikut ini teori Islamisasi di

Asia Tenggara.

54 Linehan, W. “The Kings of 14th Century Singapore”, dalam T.S.D.M Sheppard (Ed.), Singapore 150 Years,

(Singapore: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, (1982), h. 60. Lihat juga Agus Hairi, “Islam di Singapura”, http://agushairi.blogspot.com/2010/09/islam-di-singapura.html, upload Minggu, 26 September 2010. Akses 4 Oktober 2012. Lihat juga The Great Soviet Encyclopedia, 3rd Edition (1970-1979), http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/ Tumasik, diakses 11 Oktober 2012.

55 “Temasek”, http://en.wikipedia.org/wiki/Temasek. Bandingkan dengan Nicholas Tarling (Ed.), The

Cambridge History Of Southeast Asia, Volume One, From Early Times to c.1800, (Cambridge: Cambridge University Press 1992; Edisi Singapura, 1994), tentang “The Early Kingdoms”, h. 175-176. Lihat juga “Sang Nila Utama”, http://en.wikipedia.org/wiki/Sang_Nila_Utama.

56 Penjelasan mengenai teori kedatangan Islam di Asia Tenggara sepenuhnya diolah dari, termasuk sumbernya,

yang dirujuk pada catatan dalam, Boharudin, “Kedatangan Islam dan Islamisasi di Asia Tenggara“ http://boharudin.blogspot.com/2011/04/kedatangan-islam-dan-islamisasi-di-asia.html, Kamis, 21 April 2011, diakses 3 Mei 2012. Akan tetapi teori-teori yang dikemukakannya dikonfirmasi lagi dengan merujuk kepada Azyumardi Azra,

(19)

18 1. Teori pertama, “Teori Arab”, menyebutkan bahwa Islam datang ke Asia Tenggara langsung dari Arab, tepatnya dari Hadramaut. Menurut teori ini, Islam masuk ke Asia Tenggara sejak masa abad pertama Hijriah atau abad ke-7 dan abad ke-8 Masehi. Proses masuknya Islam pada masa ini, ditandai dengan dominasi pedagang Arab dalam perdagangan Barat-Timur. Teori ini didukung dengan fakta dari sumber-sumber Cina yang menyebutkan bahwa menjelang abad ke-7 M, ada seorang pedagang Arab yang menjadi pemimpin pada sebuah pemukiman muslim Arab di pesisir pantai Sumatera. 57

Crawfurd mendukung teori ini, meskipun ia tetap mempertimbangkan adanya peranan kaum Muslimin yang berasal dari pantai timur India, orang-orang “Mohammedan” di India Timur. Sementara Kaijzer berpendapat bahwa Islam di Asia Tenggara memang berasal dari Timur Tengah, tetapi lebih tepatnya berasal dari Mesir, karena Muslim di Asia Tenggara khususnya di Nusantara mayoritas bermazhab Syafi’i yang sama dengan Mesir. Niemann dan de Hollander sedikit merevisi pandagan Keijzer tersebut, dengan menyatakan bahwa sumber Islam di Nusantara berasal dari Hadramaut. Sedangkan Veth hanya menyebut “orang-orang Arab”, tanpa mengungkapkan lebih dalam apakah dari Hadramaut, Mesir, atau India.

Teori ini juga dipegang kuat oleh Hamka, yang mengatakan bahwa meskipun terdapat peran Persia maupun India, tetapi Islam pertama kali masuk di Asia Tenggara dibawa langsung oleh Muslim Arab. Begitu juga dengan Al-Attas yang menegaskan bahwa Islam masuk Asia Tenggara dibawa langsung oleh Muslim Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan apa yang disebutnya sebagai “Teori umum tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan pada sejarah literatur Islam Melayu-Indonesia dan sejarah Pandangan-Dunia Melayu sebagaimana yang terlihat pada perubahan konsep dan istilah kunci dalam literatur Melayu-Indonesia pada abad ke-10 sampai ke-11 M. Menurutnya, setelah Islam datang, telah terjadi pergesaran Pandangan Dunia-Melayu. Begitu pula sebelum abad ke-17 M, seluruh literatur Islam yang relevan tentang keagamaan di Asia Tenggara, justru berasal dari nama-nama Arab, bukan dari Muslim India. Bahkan nama-nama dan gelar-gelar yang dibawa oleh para pembawa Islam ke Asia Tenggara adalah Muslim Arab-Persia.

2. Teori kedua, “Teori India” yang dikemukakan oleh beberapa ahli dari Belanda, di antaranya Pijnappel (1872), yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara datang dari India, tepatnya Gujarat, sehingga teori ini lebih dikenal dengan “Teori Gujarat”. Menurutnya, asal mula Islam menjalin kontak dengan Asia Tenggara berangkat dari wilayah Gujarat dan Malabar. Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo, dan Ibnu Batuta, ia menyatakan bahwa orang-orang Arab yang bermahzab Syafi’i, setelah berimigrasi dan menetap di wilayah Gujarat dan Malabar di India, kemudian membawa Islam ke Nusantara. Dalam pandangan Pijnappel, kontak paling awal tersebut adalah melalui kontak perdagangan. Ia meyakini bahwa melalui perdagangan sangat dimungkinkan terjadinya hubungan antara Islam dan Asia Tenggara, bahkan menurutnya istilah-istilah Persia dari India digunakan dalam bahasa masyarakat di kota-kota pelabuhan.58

Teori ini dipertegas oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa ketika komunitas Muslim Arab sudah mapan di beberapa kota di pelabuhan Anak Benua

57 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 6 (Catatan No. 4 dalam Baharudin, “Kedatangan

Islam...”). Lihat juga Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 31.

(20)

19 India, maka mereka masuk ke wilayah Melayu-Nusantara sebagai penyebar agama Islam pertama. Ia menyebut kota pelabuhan Dakka di India Selatan sebagai pembawa Islam ke Nusantara. Setelah itu barulah orang-orang Arab, terutama yang menisbahkan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhammad, yaitu dengan memakai gelar Sayyid dan Syarif, yang menjalankan dan menyelesaikan proses dakwah Islam, baik sebagai ustaz maupun sebagai Sultan. Morrison, pada 1951, memastikan India sebagai tempat asal Islam di Nusantara. Pantai Koromandel disebutnya sebagai tempat bertolaknya para pedagang Muslim menuju Nusantara. 59

3. Teori ketiga, adalah “Teori Bengal”, disampaikan oleh Q. Qadarullah Fatimi yang memberikan kesimpulan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara atau Nusantara melalui Bengal (Banglades). Menurutnya, Islam datang pertama kali di sekitar abad ke-8 H (ke-14 M). Kesimpulan ini ia ambil berdasarkan keterangan Tome Pires yang menyatakan bahwa mayoritas orang terkemuka di Pasai adalah orang Bengali atau keturunan mereka. Islam muncul pertama kali pada abad ke-11 di Semenajung Malaya adalah dari arah pantai timur, bukan barat (Malaka), yaitu melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Selain itu, beberapa prasati yang ditemukan di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ada di Leran Jawa Timur.60

4. Teori keempat, “Teori Persia” menyatakan bahwa para pedagang Persialah yang membawa Islam ke Asia Tenggara. Teori ini didukung oleh data yang kuat mengenai pelayaran orang-orang Persia ke India dan melalui wilayah Asia Tenggara menuju Cina. Menurut berita Cina, Yuan-Tchao yang menulis

Tcheng-yuan-sin-ting-che-kiao-mou-lou pada abad ke-99, mencatat bahwa sekitar 35 kapal dari Persia telah berlabuh

di Palembang pada tahun 99 H (717 M).61

5. Teori kelima mengatakan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara didorong oleh “pertarungan” antara Islam dan Kristen untuk mendapat pengikut atau penganut masing-masing agama. Teori ini dikemukakan oleh Schrieke. Ia berpandangan bahwa, pada kenyataannya, ekspansi yang dilakukan oleh bangsa Portugis, yang kemudian menjadi upaya kolonialisasi, merupakan sebuah kelanjutan dari mata rantai Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, petualangan dan pelayaran yang dilakukan oleh bangsa Portugis ke Asia merupakan ambisi dan keinginannya untuk mencapai sebuah kehormatan yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan. Setelah mereka mampu mengusir kaum Moors (Muslim) dari Semenanjung Iberia, lalu menaklukan beberapa wilayah di sepanjang pesisir barat Afrika hingga sampai mengelilingi Tanjung Harapan, Afrika Selatan, maka kemudian mereka merenuskan kolonialisasi di Asia Tenggara. 62

Pendapat Schrieke diperkuat oleh Reid yang mengatakan bahwa pada paruh abad ke-15 dan ke-17 telah terjadi peningkatan dan penguatan polarisasi serta eksklusivisme agama, terutama agama Islam dan Kristen. Namun teori ini mendapat kritik dari Naquib Al-Attas yang cukup keras. Menurutnnya, Kristen sebagai Agama,

59 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah..., h. 3 (Catatan No. 3 dalam Boharudin, “Kedatangan

Islam...”). Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.

60 Lihat Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32.

61 Syamsuddin Arif, “Islam di Nusantara: Historiografi dan Metodologi”, h. 17. Lihat juga Azyumardi Azra,

Renaisans Islam Asia Tenggara..., h. 32, yang menyebutkan pandangan Pijnappel bahwa masyarakat di kota-kota pelabuhan di Nusantara telah umum menggunakan istilah-istilah Persia, walaupun telah melalui India terlebih dahulu.

62 Dari Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah...,h. 13 (Catatan No. 5 dalam Baharudin,

Gambar

Gambar Tenda-Tenda Orang Laut Tanjong Rhu (Sumber: Karl Hack,  The Singapore Malay Community, h
Gambar Peta Singapura saat ini yang menunjukkan lokasi situ-situs arkeologi, petunjuk-petunjuk,   dan batas-batas wilayah pra-kolonial yang dapat diketahui

Referensi

Dokumen terkait

STUDI PENGGUNAAN ANTIEMETIK PADA PASIEN DEMAM TIFOID RAWAT INAP DI RSUD KABUPATEN SIDOARJO dapat terselesaikan Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perbedaan hasil belajar desain web antara siswa yang diajar menggunakan media video tutorial dan siswa yang diajar dengan media

Terdapat empat proses utama yang digambarkan oleh DFD Level 0 ini yakni proses daftar, pemeriksaan, pengembalian, dan peminjaman dengan masing-masing alur data dari dan ke

Penelitian dengan metode kualitatif ini menemukan bahwa: (1) politik ekonomi air sangat dinamis melibatkan beragam aktor lokal, nasional, global dengan kepentingan dan ideologi

2.000.000,- (dua juta rupiah), jika tidak dipenuhi maka apabila kapal Saksi-I melewati Pos Atsy Koramil 1707 - 08 / Agats tempat Terdakwa bertugas akan dibakar oleh

yang diukur dengan frekuensi perdagangan saham Setelah peristiwa stock split yang membuat harga saham menjadi lebih rendah, ternyata perusahaan yang mengalami kenaikan

PENGARUH KOMPENSASI DAN MOTIVASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN REMBANG DENGAN KEPUASAN KERJA SEBAGAI VARIABEL INTERVENING..

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al- Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah