DARI BURUH MENJADI PENGUSAHA INDUSTRI KREATIF BATIK
September 2015Solichul H.A.BAKRI Koperasi Batik BATARI, Surakarta
A. Latar Belakang
Suka atau tidak, kerajinan Batik itu identik dengan budaya Indonesia, hal ini sudah tak terbantahkan dan kenyataan ini diperkuat dengan ketetapan formal UNESCO yang memperkuat hal tersebut.
Kerajinan batik bagi masyarakat daerah Jawa Tengah khususnya daerah Solo dan sekitar, bukanlah sesuatu yang asing, untuk itulah diberbagai kalangan masyarakat merasa mampu membuat batik dan berkreasi dengan produk batik. Padahal menjadi UMKM/pengusaha batik ternyata tidak semudah bayangan kebanyakan masyarakat tersebut.
Kondisi UMKM di Jawa Tengah berdasarkan data Dinas Koperasi dan UMKM provinsi Jawa Tengah, jumlah UMKM sebanyak 70.222 yang terdiri dari dari: produksi/non pertanian 23.374 unit, pertanian 10.097 unit, perdagangan 28.362 unit, jasa 8.389 unit, penyerapan tenaga kerja 293.362 orang, asset 5.266 milyar, omzet 14.476 milyar. Perkembangan yang nyata pada UMKM pada tahun 2011-2012 jumlah UMKM meningkat 14.75%, produksi/non pertanian 11,97%, pertanian 31.15%, pedagangan 13.02%, jasa 8.66%, penyerapan tenaga kerja 17.81%, asset 29.43% dan omzet 31.06%.
Salahsatu masalah di sejumlah UMKM di kota-kota besar, yaitu tenaga kerja. UMKM terancam tidak dapat mengembangkan usahanya, karena UMKM kesulitan dalam upaya untuk merekrut tenaga kerja untuk mendukung kegiatan produksi (Suara Merdeka, 2013, pada tanggal 30 April 2013).
malah ada beberapa pengusaha batik sukses yang memulai usahanya sebagai buruh/pekerja batik.
Untuk itulah kajian perihal pertumbuhan pengusaha industri batik dan kisah suksesnya menarik untuk dilakukan.
B. Permasalahan Umum yang akan Dikaji
Pada awal pertumbuhan sentra industri batik di pulau Jawa, peran wilayah sekitar sebagai pemasok tenaga kerja/buruh terampil sangat menonjol. Pola hubungan juragan/pengusaha dengan pekerja/buruh telah terbentuk bukan hanya sebatas hubungan ekonomi, tetapi sudah tumbuh dan berkembang sebagai pola tatanan sosial. Status ‘Mbokmase-Masnganten’ daerah Laweyan-Solo dengan buruh sanggan asal Kliwonan, Butuh, di Sragen. ‘Denmas Kaji’ daerah Kauman Solo, dengan buruh sanggan asal Giribangun, Karanganyar. Juga pola hubungan ‘Juragan Pak Kajine’ Pekalongan dengan buruh asal Kedungwuni, Wonopringgo, dan Batang. ‘Wak Haji/Majikan/boss’ di kampung batik Trusmi, Cirebon dengan para buruhnya. ‘Engkong Tauke’ Lasem, Jawa Tengah dengan buruh dari daerah sekitarnya.
C. Landasan Teori
Menurut Porter (dalam: Sony FMA, 2015), ada 5 kekuatan dalam industri yang mempengaruhi daya saing, yaitu:
1. Pendatang baru
2. Kekuatan pembeli
3. Ancaman produk pengganti
4. Kekuatan pemasok