• Tidak ada hasil yang ditemukan

mRwaJBCzjN kewenangan pemda dlm pengelolaan perbatasan untan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "mRwaJBCzjN kewenangan pemda dlm pengelolaan perbatasan untan"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

PENELITIAN

(2)

ABSTRAK

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, pengaturan tentang pengembangan kawasan perbatasan secara

hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah daerah. Kewenangan

pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang

meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, keamanan dan

pertahanan (CIQS). Meskipun demikian, pemerintah daerah masih

menghadapi beberapa hambatan dalam mengembangkan aspek

sosial-ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa hambatan tersebut diantaranya,

masih adanya paradigma pembangunan wilayah yang terpusat, sehingga

kawasan perbatasan hanya dianggap sebagai “halaman belakang”,

sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai pengembangan

wilayah perbatasan yang belum sempurna, keterbatasan anggaran, dan

tarik-menarik kepentingan pusat-daerah yang terkait dengan kewenangan.

Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis formal

dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada

pemerintah daerah tersebut, maka penelitian tentang masalah kewenangan

Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi

daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting.

Ada empat hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu: (1)

Untuk mengetahui situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi

masyarakat yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) untuk

mengetahui berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah

yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah

saat ini, dan (3) untuk mengetahui sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah pusat yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan

telah mampu mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, dan (4) untuk

mengetahui apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan

Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di

daerah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Kawasan perbatasan

(3)

Serawak Malaysia masih tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di

Indonesia. Apalagi jika dibandingkan dengan kondisi perbatasan di

sepanjang wilayah negara tetangga, Malaysia, sungguh sangat kontras

perbedaannya; (2) kebijakan pengembangan kawasan perbatasan oleh

pemerintah pusat dan daerah masih relatif lambat. Hal ini dikarenakan belum

adanya payung hukum yang jelas sebagai tindak lanjut (penjabaran teknis)

dari Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 serta belum adanya lembaga

khusus di tingkat pusat yang memiliki otoritas penuh dalam pengembangan

kawasan perbatasan; (3) dukungan regulasi dan peraturan tentang

pengelolaan kawasan perbatasan belum memenuhi aspirasi daerah

sehingga kreativitas dan inisiatif pengembangan kawasan oleh pemerintah

daerah terhambat; dan (4) hingga saat ini, belum ada pembagian

kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi

dan kabupaten dalam pengelolaan kawasan perbatasan.

Untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan di kawasan

perbatasan, maka penelitian ini merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:

(1) Percepatan pembangunan kawasan perbatasan harus segera

dilaksanakan khususnya dalam bidang ekonomi apalagi ketergantungan

masyarakat perbatasan sangat tinggi terhadap produk dari Malaysia

sehingga dikhawatirkan akan makin melunturkan semangat nasionalisme

dan patriotisme penduduk Indonesia di perbatasan; (2) pembentukan

lembaga khusus yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan secara

penuh harus segera dilakukan sehingga koordinasi antar antar departemen

atau instansi pada level pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat dan

daerah berjalan baik dan sinergis; (3) regulasi tentang pengelolaan kawasan

perbatasan harus segera disusun dan diterbitkan khususnya terkait

pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah; dan (4)

kewenangan pemerintah daerah harus diberikan secara jelas dan

proporsional khususnya dalam pembangunan ekonomi yang selama ini

sangat didominasi oleh pemerintah pusat sehingga pemerintah daerah tidak

(4)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

KATA PENGANTAR

Kawasan perbatasan dengan negara tetangga merupakan wilayah yang secara khusus perlu diperhatikan. Pemerintah bermaksud mendorong perbaikan kawasan perbatasan sehingga menjadi “beranda depan” negara, termasuk kawasan perbatasan Kalimantan (Barat dan Timur) dengan Sarawak dan Sabah (KASABA). Dengan spesifikasi dan nilai strategis kawasan perbatasan, Pemerintah Daerah memerlukan kewenangan yang besar untuk dapat mengembangkan kawasan perbatasan menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi baru di era otonomi daerah saat ini. Namun demikian, dalam pelaksanaannya walaupun sudah ada UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Pemerintah Daerah belum memiliki kewenangan yang jelas.

Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis formal dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah tersebut, maka penelitian tentang masalah kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting. Ada empat hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini, yaitu: (1) Untuk mengetahui situasi dan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) Untuk mengetahui berbagai kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi daerah saat ini, dan (3) Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan telah mampu mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, dan (4) Untuk mengetahui apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di daerah.

Penelitian ini merupakan kegiatan kerjasama antara DPD RI dengan Universitas Tanjungpura, yang diharapkan bermanfaat sebagai kerangka dasar perencanaan pembangunan kawasan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat di masa yang akan datang.

Pontianak, Juli 2009

Ketua Peneliti

(5)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

  1.3. Metodologi Penelitian……….. 1.4. Tim Peneliti ………..………. 1.5. Waktu Penelitian ……….. 1.6. Sistematika Penulisan Laporan ………

BAB II GAMBARAN UMUM KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT KAWASAN PERBATASAN ……..….….. 2.1. Gambaran Umum Kawasan Perbatasan ...………... 2.2. Permasalahan Masyarakat Kawasan Perbatasan …...……. 2.3. Harapan Masyarakat Perbatasan ………..

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN ... 3.1. Bidang Ekonomi, Tranportasi, dan Perdagangan ... 3.2. Bidang Ketenagakerjaan, Keimigrasian, dan SDM/

Kependudukan ... 3.3. Bidang Kehutanan …... 3.4. Bidang Energi ………...……… 3.5. Infrastruktur Transportasi ………...…… 3.6 Bidang Ipoleksosbud Hankam ...

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT TENTANG

PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN ... 4.1. Bidang Ekonomi, Tranportasi dan Perdagangan ... 4.2. Bidang Pertambangan dan Energi ... 4.3. Bidang Transportasi dan Infrastruktur ……… 4.4. Bidang Ipoleksosbud ... 4.5. Bidang Hankam ...

BAB V KEWENANGAN, FUNGSI DAN PERAN BADAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN DAN KERJASAMA (BPKPK) PROVINSI KALIMANTAN

(6)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

BAB VI PENUTUP ... 5.1. Kesimpulan ... 5.2. Saran ...

DAFTAR PUSAKA ...

VI-1 VI-1 VI-1

L-1

(7)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulaunya yang

mencapai 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2,

serta panjang garis pantai yang mencapai 81.900 km2. Dua pertiga dari

wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat

dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan

dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand,

Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga

negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis

perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Luasnya wilayah

perbatasan laut dan darat Indonesia tentunya membutuhkan dukungan

sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu

ditingkat pusat maupun daerah. Akan tetapi minimnya infrastruktur di

kawasan perbatasan telah menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki

sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Selama ini, tanggung

jawab pengelolaan wilayah perbatasan hanya bersifat koordinatif antar

lembaga pemerintah departemen dan non departemen, tanpa ada sebuah

lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab melakukan

manajemen perbatasan dari tingkat pusat hingga daerah. Selama beberapa

puluh tahun kebelakang masalah perbatasan masih belum mendapat

perhatian yang cukup dari pemerintah. Hal ini tercermin dari kebijakan

pembangunan yang kurang memperhatikan kawasan perbatasan dan lebih

mengarah kepada wilayah-wilayah yang padat penduduk, aksesnya mudah,

dan potensial, sedangkan kebijakan pembangunan bagi daerah-daerah

terpencil, terisolir dan tertinggal seperti kawasan perbatasan masih belum

(8)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

Luasnya kawasan perbatasan Indonesia seharusnya mencerminkan

adanya sebuah kebijakan pengelolaan perbatasan yang efektif dan

akuntabel baik itu dari aspek sosial-ekonomi dan keamanan. Namun, kondisi

di lapangan menunjukkan bahwa sistem manajemen perbatasan Indonesia

selama ini berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Meningkatnya tindak

kejahatan di perbatasan (border crime) seperti penyelundupan kayu, barang,

dan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia, terorisme, serta penetrasi

ideologi asing telah mengganggu kedaulatan serta stabilitas keamanan di

perbatasan negara. Selama ini, kawasan perbatasan Indonesia hanya

dianggap sebagai garis pertahanan terluar negara, oleh karena itu

pendekatan yang digunakan dalam mengelola perbatasan hanya pada

pendekatan keamanan (security approach). Padahal, di beberapa negara

tetangga, misalnya Malaysia, telah menggunakan pendekatan kesejahteraan

(prosperity) dan keamanan secara berdampingan pada pengembangan

wilayah perbatasannya. Dengan kondisi yang demikian sehingga Pada level

lokal permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat yang ada dikawasan

perbatasan adalah: Keterisolasian, keterbelakangan, kemiskinan, mahalnya

harga barang dan jasa , keterbatasan prasarana dan sarana pelayanan

publik (infrastruktur), rendahnya kualitas SDM pada umumnya, dan

penyebaran penduduk yang tidak merata.

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, pengaturan tentang pengembangan wilayah perbatasan di

kabupaten/kota secara hukum berada dibawah tanggung jawab pemerintah

daerah tersebut. Kewenangan pemerintah pusat hanya ada pada pintu-pintu

perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian,

karantina, keamanan dan pertahanan (CIQS). Meskipun demikian,

pemerintah daerah masih menghadapi beberapa hambatan dalam

mengembangkan aspek sosial-ekonomi kawasan perbatasan. Beberapa

hambatan tersebut diantaranya, masih adanya paradigma pembangunan

wilayah yang terpusat, sehingga kawasan perbatasan hanya dianggap

(9)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

mengenai pengembangan wilayah perbatasan yang belum sempurna,

keterbatasan anggaran, dan tarik-menarik kepentingan pusat-daerah yang

terkait dengan kewenangan.

Secara yuridus formal, dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000

tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) sebenarnya juga

dijelaskan, bahwa program prioritas pengembangan daerah perbatasan

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan masyarakat, serta

memantapkan ketertiban dan keamanan daerah yang berbatasan dengan

negara lain, maka pembangunan perbatasan perlu mendapatkan perhatian

khusus dan menjadi prioritas utama. Program prioritas ini dijabarkan lagi

dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang disusun setiap tahun

dan bertujuan untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) dan menjadikan wilayah perbatasan sebagai beranda

depan negara melalui delimitasi dan demarkasi batas, pengamanan wilayah

perbatasan dan pembangunan sosial ekonomi wilayah sepanjang

perbatasan. Rencana pembangunan tahunan wilayah perbatasan tahun

2004 misalnya dijabarkan dalam 3 (tiga) kelompok kegiatan, yaitu kelompok

kegiatan penetapan garis batas internasional, kelompok kegiatan

pengamanan wilayah perbatasan dan kelompok kegiatan pengembangan

wilayah perbatasan. Kemudian, berdasarkan RPJMN 2004-2009 disebutkan

bahwa pembangunan kawasan perbatasan menjadi beranda depan negara.

Program ini ditujukan untuk: (1) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui

penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh hukum internasional, (2)

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi

ekonomi, sosial dan budaya, serta keuntungan lokasi geografis yang sangat

strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga.

Dari berbagai kebijakan pemerintah tentang pembangunan kawasan

perbatasan tersebut, dalam implementasi pengelolaannya selama ini belum

dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait.

Dan bahkan, elemen di pemerintah daerah terkesan kurang dilibatkan secara

(10)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

dengan alasan bahwa masalah perbatasan merupakan kewenangan

pemerintah pusat. Sampai saat ini, permasalahan beberapa kawasan

perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporer) dan parsial

serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui

beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang

optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang

ada saat ini di kawasan Kalimantan adalah General Border Comitee (GBC)

RI – Malaysia.

Pengelolaan perbatasan negara secara terpadu sangat mendesak

untuk dilakukan, karena tidak hanya menyangkut kesejahteraan masyarakat,

tapi juga terkait dengan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu hal yang turut memberikan kontribusi terhadap belum optimalnya

pengelolaan dan penanganan masalah perbatasan saat ini adalah, belum

adanya suatu lembaga yang secara khusus mengelola keseluruhan aspek

pengelolaan perbatasan, baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara

diharapkan menjadi payung hukum pemerintah pusat dan daerah untuk

betul-betul punya komitmen yang tinggi dalam upaya akselerasi

pembangunan kawasan perbatasan. Di dalam pasal 9 UU tersebut

ditegaskan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur

pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.

Kemudian di pasal 10 (ayat 3) ditegaskan bahwa dalam rangka menjalankan

kewenangannya, Pemerintah dapat menugasi pemerintah daerah untuk

menjalankan kewenangannya dalam rangka tugas pembantuan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan. Dalam implementasinya di dalam

UU ini dalam pasal 14 diamanatkan bahwa untuk mengelola Batas Wilayah

Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah,

Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional

dan Badan Pengelola daerah. Berdasarkan pasal 15 bahwa Badan

Pengelola ini bertugas: (a) menetapkan kebijakan program pembangunan

(11)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

mengoordinasikan pelaksanaan, dan (d) melaksanakan evaluasi dan

pengawasan.

Sebagai salah satu wilayah yang memiliki perbatasan langsung

dengan Malaysia Timur, Provinsi Kalimantan Barat tentunya sangat

berkepentingan untuk membangun dan mengelola kawasan perbatasan

tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa ada lima Kabupaten di Provinsi

Kalimantan Barat yang memiliki perbatasan langsung dengan Malaysia

Timur yaitu Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan

Kapuas Hulu. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan

umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga. Dan

kecendrungan menunjukkan bahwa Kucing (Sarawak, Malaysia) dapat

menjadi daerah growth industri center, sementara daerah perbatasan Kalbar

hanya sebagai hinterland Malaysia yang kurang menguntungkan bagi kita.

Kondisi tersebut menjadikan kawasan ini tidak hanya spesifik, tapi juga

memiliki nilai strategis, karena kegiatan yang berlangsung di kawasan ini

pada dasarnya: (a) Mempunyai potensi sumberdaya yang berdampak

ekonomi dan pemanfaatan ruang wilayah secara signifikan, (b) sebagai

pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di

dalam ataupun di luar wilayah, (c) mempunyai keterkaitan kuat dengan

kegiatan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional

maupun regional dan, (d) mempunyai dampak politis dan fungsi pertahanan

keamanan nasional (ini juga terkait bagaimana membangun

NASIONALISME).

Dengan spesifikasi dan nilai strategis kawasan perbatasan tersebut,

Pemerintah Daerah memerlukan kewenangan yang besar untuk dapat

mengembangkan kawasan perbatasan menjadi kawasan pertumbuhan

ekonomi baru die rah otonomi daerah saat ini. Namun demikian, dalam

pelaksanaannya walaupun sudah ada UU nomor 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan UU nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah

Negara, Pemerintah Daerah belum memiliki kewenangan yang besar. Hal ini

dapat disebabkan beberapa faktor : (1) Belum memadainya kapasitas

(12)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

penangannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas

sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara

hirarkis lebih tinggi; (2) Belum tersosialisasikannya peraturan dan

perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, (3)

Terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; (4) Masih adanya

tarik menarik kewenangan pusat-daerah.

Berangkat dari beberapa persoalan yang terkait dengan aspek yuridis

formal dan political will pemerintah untuk memberikan kewenangan kepada

pemerintah daerah tersebut, maka penelitian tentang masalah kewenangan

Pemerintah Daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan di era otonomi

daerah studi kasus di Kalimantan Barat menjadi sangat penting. Adanya

Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan

pemerintahan daerah Kabupaten/Kota dan UU nomor 43 tahun 2008 seakan

masih belum memberikan harapan yang baik dalam pengelolaan kawasan

perbatasan.

1.1.1 Rumusan Masalah

Untuk membahas masalah Kewenangan Pemerintah Daerah dalam

Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus di

Kalimantan Barat ini, analisis penulisan penelitian ini diarahkan untuk

menjawab beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana situasi dan kondisi kehidupan masyarakat yang ada di

wilayah perbatasan Kalimantan Barat?

2. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam

mengelola kawasan perbatasan di era otonomi daerah saat ini?

3. Sejauh mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat mampu

mengakomodasi harapan masyarakat di daerah dalam hal pengelolaan

kawasan perbatasan?

4. Apa kewenangan, peran, dan fungsi yang dijalankan oleh Badan

Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di

(13)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

1.1.2 Tujuan Penelitian

Mengingat fokus penelitian ini mengangkat masalah kewenangan

pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan, maka

pemahaman yang mendalam atas masalah-masalah yang lebih spesifik

terkait dengan kondisi sosial dan ekonomi serta kewenangan yang dimiliki

oleh daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan menjadi sesuatu

keharusan bagi kita. Masalah ini tidak hanya menyangkut persoalan berbagai

keterbatasan di daerah, akan tetapi juga berkaitan dengan berbagai policy

yang dibuat oleh pemerintah pusat. Ada empat hal mendasar yang ingin

dicapai melalui penelitian ini, yaitu: (1) Untuk mengetahui situasi dan kondisi

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat yang ada di wilayah perbatasan

Kalimantan Barat, (2) Untuk mengetahui berbagai kebijakan pemerintah

pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan kawasan

perbatasan di era otonomi daerah saat ini, dan (3) Untuk mengetahui sejauh

mana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan

pengelolaan kawasan perbatasan telah mampu mengakomodasi harapan

masyarakat di daerah, dan (4) Untuk mengetahui apa kewenangan, peran,

dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan

dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di daerah.

1.2 Kerangka Analitik

1.2.1 Desentralisasi, Otonomi dan Wewenang Dalam Negara Kesatuan

Dalam negara kesatuan, penyelenggaraan desentralisasi dilakukan

oleh Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan mengandung arti penetapan

strategi, kebijaksanaan dan program, termasuk pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dan Daerah Otonom beserta penyerahan

wewenangnya serta pengembangannya. Perwujudan desentralisasi di tingkat

daerah adalah otonomi daerah atau disingkat otonomi, desentralisasi sering

(14)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

pengotonomian, yakni proses memberikan otonomi kepada masyarakat

dalam wilayah tertentu. Kaitan desentralisasi dan otonomi daerah seperti itu

merujuk pada pendapat Maryanov (1958). Menurut pakar ini, desentralisasi

dan otonomi daerah merupakan dua sisi dari satu mata uang:

"Decentralization is the focus of the conflict between those who argue from

the "top-down" in terms of government organization and the needs for

leadership, and those who argue from the "bottom-up" in terms of popular

demand and regional agitation. From the former point of view, the problem is

"decentralization", from the latter it is "regional autonomy".

Desentralisasi dapat mengandung dua pengertian. Pertama,

desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan

wewenang tertentu kepadanya oleh Pemerintah Pusat. Desentralisasi dapat

pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang

telah dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Hal itu terefleksi juga data uraian

Meddick (1966) bahwa pada hakekatnya, desentralisasi merupakan

"pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan yang spesifik

maupun residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan

dekonsentrasi merupakan pendelegasian kewenangan sebagai fungsi-fungsi

khusus dari pemerintah pusat terhadap staf yang ada di bawahnya. Namun

demikian, pembagian kekuasaan atau wewenang itu tidak akan terjadi

sekiranya tidak didahului atau disertai pembentukan daerah otonom selaku

pihak yang akan diserahi wewenang pemerintahan. Karena itu dalam

desentralisasi terkait proses pembentukan daerah otonom dan proses

penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom tersebut. Dengan

demikian, pengertian desentralisasi yang hanya terpusat pada proses

penyerahan wewenang rnerupakan pengertian yang tidak lengkap. Secara

lengkap, pengertian desentralisasi harus mencakup pembentukan daerah

otonom dan atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh

(15)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

Konsep desentralisasi dikenal berrnacam-macam jenis yang diberikan

oleh para pakar dan rumusan menurut UU No.32 Tahun 2004, yaitu ada

desentralisasi politik, fungsional, dan kebudayaan. Ada juga yang membagi

desentralisasi ke dalam dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan.

Desentralisasi ketatanegaraan dibagi dua yaitu; desentralisasi teritorial dan

desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial dikenal dua bentuk yaitu,

"otonom" dan "medebewind" atau "zelfbestuur". Sedangkan yang dimaksud

otonomi daerah atau secara singkat otonomi adalah pemerintahan oleh, dari

dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu negara melalui

lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat.

Otonomi merupakan inti desentralisasi, dalam teori, terdapat tiga

sistem otonomi atau rumah tangga daerah, yaitu sistem otonomi formal,

materil, dan riil atau nyata. Sistem otonomi merupakan tatanan yang

berkaitan dengan cara-cara membagi wewenang, tugas, dan tanggungjawab

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah.

Ketiga sistem otonomi tersebut mempunyai bobot yang berbeda dalam hal

pelaksanaan prinsip permusyawaratan dalam pemerintahan daerah. Para

founding fathers negara kesatuan republik Indonesia sejak awal telah

menentukan pilihan dan prinsip pembagian kekuasaan (desentralisasi) dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara. Pentingnya fungsi pemerintah di

daerah ini, terbuktinya dengan dicantumkannya dalam ketiga

Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia. Pemerintah Daerah bukan

saja sekedar untuk mencapai sistem penyelenggaraan pemerintahan secara

efektif dan efisien, tetapi erat sekali dengan usaha mewujudkan sistem

pemerintahan yang demokratis.

Adanya desentralisasi dapat dilihat sebagai bagian perwujudan

negara hukum, sebab di dalam prinsip ini terkandung maksud pembatasan

kekuasaan terhadap Pemerintah Pusat. Adanya pembatasan itu merupakan

salah satu ciri negara hukum. Suatu kekuasaan yang tidak dipencar

(16)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

merupakan model kekuasaan yang di negara-negara dengan sistem politik

yang absolut atau otoriter. Desentralisasi adalah setiap bentuk atau tindakan

memencarkan kekuasaan atau kewertangan dari suatu organisasi, jabatan,

atau pejabat. Dalam kaitannya dengan pemerintahan otonom, desentralisasi

hanya mencakup pemencaran kekuasaan di bidang otonomi, penyeralian

urusan pemerintah kepada daerah pada dasarnya menjadi kewenangan dan

tanggung jawab daerah sepenuhnya. Daerah yang menentukan

kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut

segalai pembiayaan. Demikian juga perangkat pelaksanaannya adalah

perangkat daerah. Mekanisme penyerahan kewenangan kepada daerah

dilakukan melalui dua cara, yaitu: 1) Penyerahan penuh, artinya baik tentang

asasnya (prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya menjalankan

kewajibannya (pekerjaan) yang diserahkan itu, diserahkan semuanya kepada

daerah (hak otonomi). 2) Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya

mengenai caranya menjalankan saja, sedang prinsip-prinsipnya

(asas-asasnya) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sendiri.

Dalam konsep otonomi daerah dikenal beberapa sistem untuk

menetapkan bidang mana yang menjadi urusan Pemerintah Pusat dan mana

yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Sistem-sistem itu antara

lain:

a. Sistem Residu

Dalam sistem ini, secara umum telah ditentukan lebih dahulu

tugas-tugas yang menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan sisanya

menjadi urusan rumah tangga Daerah. Sistem ini umumnya dianut oleh

negara-negara di daratan Eropa seperti Perancis, Belgia, Belanda dan

sebagainya. Kebaikan sistem ini terutama terletak pada saat timbulnya

keperluan-keperluan baru, Pemerintah Daerah dapat dengan cepat

mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang perlu, tanpa

menunggu perintah dari Pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula

(17)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

berbeda dengan yang lainnya tidak sama dalam pelbagai lapangan atau

bidang. Akibatnya bidang atau tugas yang dirumuskan secara umum ini

dapat menjadi terlalu sempit bagi Daerah yang kapasitasnya besar atau

sebaliknya terlalu luas bagi Daerah yang kemampuannya terbatas.

b. Sistem Material

Dalam sistem ini, tugas Pemerintah Daerah ditetapkan satu persatu

secara limitatif atau terinci. Selain dari tugas yang telah ditentukan,

merupakan urusan Pemerintah Pusat. Sistem ini lebih banyak dianut

oleh negara-negara Anglo Saxon, terutama Inggris dan Amerika

Serikat. Cara ini kurang begitu fleksibel, karena setiap perubahan tugas

dan wewenang Daerah baik yang bersifat pengurangan maupun

penambahan, harus dilakukan melalui prosedur yang lama dan

berbelit-belit. Hal ini tentunya akan menghambat kemajuan bagi Daerah yang

mempunyai inisiatif/prakarsa, karena mereka harus menunggu

penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu

urusan menjadi terbengkalai, tidak diurus oleh Pemerintah Pusat dan

tidak pula oleh Pemerintah Daerah.Sistem ini pernah diatur oleh Negara

Republik Indonesia pada saat berlakunya Undang-Undang no. 22 tahun

1948 dan Staatblad Indonesia Timur no. 44 tahun 1950.

c. Sistem Formal

Dalam sistem ini urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga

Daerah tidak secara apriori ditetapkan dalam atau dengan

Undang-Undang. Daerah boleh mengatur dan mengurus segala sesuatu yang

dianggap penting bagi Daerahnya, asal saja tidak mencakup urusan

yang telah diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah

Daerah yang lebih tinggi tingkatnya. Jadi, urusan yang telah diatur dan

diurus oleh Pemerintah yang lebih tinggi tingkatnya, tidak boleh diatur

(18)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi tingkatnya (hierarchische taakafbakening).

d. Sistem Riil

Dalam sistem ini, penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan

kepada Daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil, sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil dari Daerah maupun

Pemerintah Pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang

terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini

didasarkan pada keadaan yang riil didalam masyarakat maka

kemungkinan yang dapat ditimbulkannya ialah bahwa tugas/urusan

yang selama ini menjadi wewenang Pemerintah Pusat dapat diserahkan

kepada Pemerintah Daerah dengan melihat kepada kemampuan dan

keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri, sebaliknya tugas

bilamana dipandang perlu dapat diserahkan kembali kepada

Pemerintah Pusat atau ditarik kembali dari Daerah. Sistem ini dianut

oleh Negara Republik Indonesia semasa berlakunya Undang-Undang

no. 1 tahun 1957, Penetapan Presiden no. 6 tahun 1956

(disempurnakan) dan penpres no. 5 1960 (disempurnakan), dan

Undang-Undang no. 18 tahun 1965.

Setelah mengetahui berbagai teori tentang penetapan kewenangan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dapat diketahui bahwa dalam konteks

UU No.32 Tahun 2004 model penetapan kewenangan antara Pemerintah

Pusat dan Daerah menggunakan sistem formil. Di lain pihak, dengan adanya

pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang didasarkan pada

UUD 1945 dalam empat asas pokok sebagai patokan hubungan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah, yaitu: Pertama, bentuk hubungan antara

Pusat dan Daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut

serta (secara bebas) dalam penyelenggaraan pemerintaban daerah, sesuai

dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

(19)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

tingkat Pemerintah Daerah. Kedua, bentuk hubungan antara Pusat dan

Daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak (rakyat) daerah untuk berinisiatif

atau berprakarsa mengatur dan mengurus urusan-urusan yang dianggap

punting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah

dapat berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai

dengan keadaan khusus masing-masing daerah. Keempat, bentuk hubungan

antara Pusat dan Daerah adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan

kesejahteraan sosial di daerah.

Untuk menjalankan pola hubungan Pusat dan Daerah yang efektif

diperlukan adanya penerapan asas-asas pemerintahan daerah. Asas-asas

pemerintahan daerah yang, dikenal dalam UU Nomor 32 tahun 2004 adalah

asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan

(medebewind) atau penyelenggaraan kepentingan atau urusan tersebut

sebenarnya oleh Pemerintah Pusat tetapi daerah otonomi diikutsertakan.

Untuk mendekati alur penyerahan kewenangan, dapat menggunakan

ajaran tentang atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan yang diperoleh

secara atribusi bersifat asli yang berasal dari pembentukan Undang-undang

orisinil. Pemberi dan penerima wewenang dapat menciptakan wewenang

baru atau memperluas wewenang yang sudah ada. Tanggung jawab intern

dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada

pada penerima wewenang. Pada konsep delegasi tidak ada penciptaan

wewenang, yang ada hanya penyerahan wewenang dari pejabat yang satu

kepada pejabat yang lainnya, atau dari badan administrasi negara yang satu

kepada badan administrasi negara lainnya. Penyerahan wewenang barus

dilakukan dengan bentuk peraturan hukum tertentu. Pihak yang

menyerahkan wewenang disebut delegans, sedangkan penerima wewenang

disebut delegataris. Setelah delegans menyerahkan wewenangnya kepada

delegataris, maka tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan

(20)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

1.2.2 Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antar Negara

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah

suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam

penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam,

menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara

dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan

internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula

penentuan batas wilayah.

Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan

bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai

nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal

tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :

a. Mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara.

b. Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial

ekonomi masyarakat sekitarnya.

c. Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan

yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah

maupun antar negara.

d. Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik

skala regional maupun nasional.

Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara

sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan

nasional dalam kerangka NKRI. Keamanan wilayah perbatasan mulai

menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan

langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah

perbatasan antar negara telah mendorong para birokrat dan perumus

kebijakan untuk mengembangkan suatu kajian tentang penataan wilayah

perbatasan yang dilengkapi dengan perumusan sistem keamanannya. Hal ini

(21)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

proses nation state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di

suatu negara dan bahkan pula dengan negara lainnya (neighbourhood

countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan

bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu

kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan

keamanan (Sabarno, 2001) .

Pada umumnya daerah pebatasan belum mendapat perhatian secara

proporsional. Kondisi ini terbukti dari kurangnya sarana prasarana

pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan. Hal ini

telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti, perubahan

batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan trans

nasional (transnational crimes). Kondisi umum daerah perbatasan dapat

dilihat dari aspek Pancagatra yaitu:

1. Aspek Ideologi.

Kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan

perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti

paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Pada saat

ini penghayatan dan peng-amalan Pancasila sebagai ideologi negara dan

falsafah hidup bangsa tidak disosialisasikan dengan gencar seperti dulu lagi,

karena tidak seiramanya antara kata dan perbuatan dari penyelenggara

negara. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi

Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang

paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.

2. Aspek Politik.

Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya

dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi

untuk mengundang ke-rawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi

masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama

(22)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun

selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat

menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di

negara tetangga seperti Malaysia (Serawak & Sabah) dan Philipina Selatan

akan turut mempengaruhi situasi keamanan daerah perbatasan.

3. Aspek Ekonomi.

Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang)

disebabkan antara lain; Lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan

tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan

kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa

tertinggal), langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan

masyarakat di daerah perbatasan (blank spot). Kesenjangan sosial ekonomi

masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga

mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak

negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka

tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit

pelaku kejahatan dan teroris.

4. Aspek Sosial Budaya.

Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet,

dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam

kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak

yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan

nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan

nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan

cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan

intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat

tergantung dengan negara tetangga.

5. Aspek Pertahanan dan Keamanan.

Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan

(23)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit

dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau

aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik

akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di

tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak

langsung. Daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok GPK,

penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu

adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam

penanganannya.

Penanganan perbatasan selama ini memang belum dapat dilakukan

secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik

kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun

vertikal. Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat sekitar daerah

perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian dimana penanganan

masalah daerah batas negara menjadi domain pemerintah pusat. Kenyataan

di lapangan ditemukan banyak kebijakan yang tidak saling mendukung

dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi

yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih

lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana

hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi

terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah

daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan

perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub regional, seperti

yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan

Kalimantan.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan,

komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih

tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi

yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi

(24)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

adanya reorientasi ini diharapkan penanganan pembangunan kawasan

perbatasan di Kalimantan Barat dapat berjalan sesuai dengan harapan

masyarakat di perbatasan. Konsepsi pengelolaan perbatasan negara

merupakan “titik temu” dari tiga hal penting yang harus saling bersinergi,

yaitu: Politik Pemerintahan Indonesia, pelaksanaan otonomi daerah, dan

Politik luar negeri yang bebas-aktif. Oleh sebab itu dalam formulasi

kebijakannya harus selalu memperhatikan dan berdasarkan tiga hal tersebut

di atas.

1.3 Metodologi Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan

data primer. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga-lembaga pemerintah

terkait, antara lain: Kantor BPS Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Badan

Pengelola KAPET, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda),

dan Kantor Dinas Perindustrian dan Perdagangan, lima orang Bupati yang

daerahnya memiliki perbatasan langsung dengan Malaysia Timur.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode indepth interview

dengan panduan daftar pertanyaan yang mencakup informasi-informasi

sebagai berikut: (1) Situasi dan kondisi kehidupan masyarakat dan

pembangunan yang ada di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, (2) Terkait

dengan berbagai kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah dalam mengelola kawasan perbatasan di era

otonomi daerah saat ini, (3) Terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah pusat tentang kawasan perbatasn apakah sudah mampu

mengakomodasi harapan masyarakat di daerah, (4) Terkait dengan

kewenangan, peran dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Koordinasi

Pengelolaan Kawasan Perbatasan (BKPKP) yang ada di daerah. Analisis

yang digunakan adalah metode descriptive analysis.

1.4 Tim Peneliti

Penelitian ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Tanjungpura

(25)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

Ketua : Prof. Dr. H. Chairil Effendy, MS

Wakil Ketua : Dr. H. Eddy Suratman, MA

Sekretaris : Nurfitri Nugrahaningsih, S.Ip, M.Si

Anggota : Jumadi, S.Sos, M.Si

Rosyadi, SE, M.Si

Ir. H. M. Iqbal Arsyad, MT

Turiman Fachturahman Nur, SH, M.Hum

Ir. Danial, MT

Dr. H. A. Oramahi, S.TP, MP

Tenaga Pendukung : Richard, ST

Thomas Tony Irawan, SE

Agus Setiadi

1.5 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam waktu 4 (empat) bulan atau 16 (enam

belas) minggu, dengan rincian sebagai berikut:

NO KEGIATAN MINGGU

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

1 Persiapan

2 Penyusunan Drat Poposal

3 Perumusan Kuisioner

4 Pengumpulan Data Sekunder

5 Pengambilan Data Primer

6 Pengolahan Data

7 Pembahasan dan Analisis Data

8 Penyusunan Laporan Akhir

(26)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

1.6 Sistematika Penulisan Laporan

Laporan hasil penelitian ini terdiri dari enam bab, yang secara garis

besar menampilkan temuan penelitian sebagai berikut: Bab kesatu adalah

pendahuluan yang menyajikan latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kerangka analitik dan metodologi penelitian. Bab kedua,

menyajikan gambaran umum kondisi sosial dan ekonomi masyarakat

dikawasan perbatasan. Bab ketiga, menyajikan berbagai kebijakan

pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang terkait dengan pengelolaan

kawasan perbatasan selama kurun waktu 10 tahun penyelenggaraan

otonomi daerah. Bab keempat, menyajikan kebijakan-kebijakan pemerintah

pusat yang mengakomodasi harapan pemerintah daerah dalam pengelolaan

dan pembangunan kawasan perbatasan. Bab kelima, menyajikan

kewenangan, peran dan fungsi yang dijalankan oleh Badan Pengelolaan

Kawasan Perbatasan dan Kerjasama (BPKPK) yang ada di daerah. Terakhir

Bab keenam, yang merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan

(27)
(28)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

BAB II

GAMBARAN UMUM KONDISI SOSIAL DAN EKONOMI MASYARAKAT KAWASAN PERBATASAN

2.1 Gambaran Umum Kawasan Perbatasan

2.1.1. Letak dan Potensi Kawasan

Secara geografis kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan

Sarawak berada pada bagian paling utara wilayah Provinsi Kalimantan Barat,

yang membentang dari barat ke timur sepanjang sekitar 966 km yang

meliputi kabupaten Sambas sampai kabupaten Kapuas Hulu. Kondisi wilayah

perbatasan digambarkan secara topografis relatif bergelombang dan

merupakan hulu dari banyak sungai di Kalimantan Barat maupun Serawak.

Jenis tanah sebagian besar berupa podsolik merah kuning dan sangat peka

erosi.

Potensi sumber daya alam sementara ini yang terdeteksi adalah :

• Tambang : Batubara terdapat di Senaning kabupaten Sintang dan Emas (tanah aluvial-sungai) tersebar hampir di seluruh aliran sungai

di sepanjang kawasan perbatasan.

• Hutan : potensinya cukup besar dan dapat diusahakan seluas 80.000 Ha. Selain itu di kawasan ini terdapat hutan lindung berupa

taman nasional (TN) Gunung Niut, TN Danau Sentarum, dan TN

bentuang karimun. TN-TN ini berpotensi dikembangkan sebagai

obyek wisata alam.

• Perkebunan berupa : coklat, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain yang sebagian besar hasilnya dijual ke Serawak.

(29)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

2.1.2. Wilayah Administrasi

Secara administrasi, kawasan perbatasan meliputi 5 kabupaten, yaitu

kabupaten: Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang, dan Kapuas Hulu (lihat

tabel 2.1). Jika diasumsikan kawasan perbatasan merupakan kawasan yang

berjarak 20 km dari garis batas sepanjang 966 km, terhitung dari tanjung

Dato, kabupaten Sambas yang berada diujung paling barat sampai ke

kabupaten Kapuas Hulu yang berada diujung paling timur, maka luas

kawasan perbatasan meliputi 19.320 Km2, atau 1.932.000 Ha.

Tabel 2.1

Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat - Sarawak, Tahun 2006

NO KABUPATEN KECAMATAN JML DESA Luas (Ha) IBUKOTA

1 SAMBAS Paloh 8 114.884 Liku

Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat

2.1.3. Kependudukan

Jumlah penduduk kawasan perbatasan tahun 2007 sebanyak 185.034

orang dengan kepadatan penduduk rata-rata 15 orang per (lihat tabel

2.2). Sebagian besar penduduknya bersuku Dayak. Secara sosiologis, suku

2

(30)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

dayak perbatasan memiliki keterikatan sangat tinggi dengan suku dayak

yang berada di perbatasan Negara Bagian Serawak (Malaysia).

Tabel 2.2

Perkembangan Penduduk Kawasan Perbatasan Tahun 2004 – 2007

NO KABUPATEN /

KECAMATAN

PENDUDUK (jiwa) LUAS (KM2)

Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat

2.1.4. Perekonomian

Secara makro, ekonomi perbatasan masih didominasi sektor

pertanian (menyumbang sekitar 36% - 47% PDRB kabupaten), khususnya

tanaman pangan dan perkebunan rakyat (lihat tabel 2.3). Kabupaten Sambas

(31)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

peternakan dan perikanan. Kabupaten Sanggau: perkebunan rakyat besar

dan tanaman pangan. Kabupaten Sintang : kehutanan, perikanan, dan

tanaman pangan. Selain sektor pertanian, wilayah kabupaten perbatasan

didorong oleh sektor perdagangan yang memiliki rata-rata diatas 20% kecuali

Kabupaten Sanggau dan Kapuas Hulu, share terhadap PDRB masih cukup

dominan.

Tabel 2.3

Persentasi PDRB Kalimantan Barat Tahun 2004 – 2007 Menurut Kabupaten Perbatasan dan Sektor Atas Dasar Harga Konstan 2000

N O

SEKTOR/ SAMBAS BENGKAYA

NG SANGGAU SINTANG

KAPUAS HULU

SUBSEKTOR 2004 200

7 2004 2007 2004 2007 2004 2007 2004 2007

6 Perdangangan 27,31 27,41 28,33 27,51 15,81 15,86 22,74 23,35 16,08 18,24

7 Pengangkutan/

Sumber : BPS Provinsi Kalimantan Barat

Penduduk setempat hanya dengan menggunakan pas lintas batas

dapat saling mengunjungi untuk keperluan sehari-hari dengan jumlah

pengeluaran belanja maksimum sebesar 600 ringgit per orang per bulan.

Dari lima kabupaten di wilayah perbatasan Kalimantan Barat, hingga tahun

2007 baru terdapat satu pintu perbatasan resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau

(Entikong) dengan fasilitas Custom, Immigration, Quarantine, and Security

(CIQS) yang sudah cukup baik. Sedangkan wilayah perbatasan lainnya

seperti di Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, Sambas, dan Kapuas

(32)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo,

sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara

bertahap di beberapa kawasan, yaitu Nanga Badau (Kapuas Hulu) – Lubuk

antu (Sri Aman) yang disepakati pada tahun 1998, dan Aruk Sambas-Biawak

yang disepakati pada tahun 2005. Sedangkan kawasan lain di Kabupaten

Sintang dan Bengkayang masih terus diusulkan dalam pembahasan forum

Sosek Malindo.

2.1.5. Tingkat Kesejahteraan

Meskipun kawasan perbatasan kaya dengan sumberdaya alam dan

letaknya mempunyai akses ke pasar (serawak), tapi terdapat sekitar 45%

desa miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%.

Perbandingan tingkat kesejahteraan penduduk juga dapat di ukur dengan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dimana indicator tessebut di ukur dari

indek pendapatan, kesehatan dan pendidikan. Bila dilihat dari IPM per

kabupaten hanya Kabupaten Sambas yang memiliki IPM terendah dari 5

kabupaten perbatasan.

Tebel 2.4

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/ Kota

Provinsi Kalimantan Barat, tahun 2005

(33)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

2.1.6. Sarana dan Prasarana

Jenis prasarana transportasi yang tersedia laut, sungai dan darat.

Fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh (kabupaten Sambas)

dengan Lundu (Serawak), untuk fasilitas sungai masih ada namun sudah

tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di Kalimantan Barat berbentuk vertikal

sehingga pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km

dengan rincian : 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan aspal.

Sedangkan menurut fungsinya terdapat 63% jalan kabupaten, 31% jalan

propinsi, dan 6% jalan nasional.

Untuk fasilitas kelistrikan, dari 10 ibu kota kecamatan yang ada

dikawasan perbatasan Kalimantan Barat, sudah hampir 100 % teraliri oleh

listrik hanya operasionalnya hanya 12 jam saja. Hal ini menunjukkan

besarnya perbedaan kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan

Barat dengan masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya

telah mendapatkan pelayanan listrik. Pada saat ini di kawasan perbatasan

Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari bendungan

Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan bendungan Bakun

yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW.

Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang hanya

mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan Kalimantan Barat.

Sedangkan penduduk kawasan perbatasan di Serawak telah terpenuhi 100

persen fasilitas air bersih.

2.2. Permasalahan Masyarakat Kawasan Perbatasan

Sehubungan dengan gambaran umum kawasan perbatasan seperti

diuraikan di atas, pada sub bab ini akan diuraikan beberapa permasalahan

yang dihadapi masyarakat perbatasan. Permasalahan tersebut

sesungguhnya sudah sering diuraikan oleh berbagai pihak sesuai dengan

(34)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

diakui bahwa langkah-langkah penyelesaiannya berjalan relatif lambat.

Secara umum permasalahan kawasan perbatasan adalah sebagai berikut:

1. Kawasan Perbatasan Sebagai Daerah Tertinggal

Kawasan perbatasan antar negara di Provinsi Kalimantan Barat masuk

dalam kategori daerah tertinggal. Ketertinggalan ini terjadi karena

kurangnya perhatian pemerintah, dimana kebijakan pembangunan

selama ini lebih mengarah kepada kawasan yang padat penduduk dan

mudah dijangkau. Sementara kawasan perbatasan cenderung

difungsikan hanya sebagai sabuk keamanan (security Belt).

Kondisi demikian menyebabkan sebagian besar desa di sepanjang

perbatasan sulit dijangkau (terisolir) dan secara umum menikmati

infrastruktur dasar yang sangat terbatas. Akibatnya, investor swasta

tidak tertarik untuk masuk ke kawasan ini, sehingga sumberdaya alam

(35)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

Ketertinggalan Pembangunan di Perbatasan

2. Kendala Geografis

Secara geografis kawasan perbatasan merupakan daerah yang sangat

luas. Di Kalimantan Barat saja panjang garis perbatasan sekitar 966

Km. Apabila diasumsikan lebar perbatasan sejauh 20 Km dari titik

batas, maka luas kawasan perbatasan di Kalimantan Barat sekitar

19.320 Km2 atau sekitar 1,9 juta Ha. Tentu saja dengan luas yang demikian cukup menyulitkan dalam penanganan terutama ditinjau dari

aspek rentang kendali pelayanan, kebutuhan dana, dan kebutuhan

aparatur. Keadaan ini semakin diperparah lagi oleh kondisi infrastruktur

jalan yang vertikal dan relatif sangat terbatas baik kuantitas maupun

kualitasnya. Akibatnya sebagian besar kawasan perbatasan merupakan

(36)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

Perbatasan sulit dijangkau kenderaan

3. Inkonsistensi Antara Perencanaan dengan Pelaksanaan

Selama ini kawasan perbatasan belum mendapat perhatian dari

pemerintah. Meskipun RPJMN 2004-2009 telah mengamanatkan arah

kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu “menjadikan

kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI, dengan tujuan

untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat,

meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, dan

(37)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

pada tataran implementasi ternyata tidak demikian, karena terbukti

selama periode 2004-2009 tidak terjadi peningkatan kegiatan

pembangunan yang berarti di kawasan perbatasan.

Dalam hal ini jelas sekali terlihat adanya inkonsistensi antara arah

pembangunan yang tertuang dalam dokumen perencanaan dengan

kenyataan yang terjadi pada saat pelaksanaan program pembangunan.

Pada saat ini, setelah hampir lima tahun pemerintahan kabinet

Indonesia Bersatu bekerja mengimplementasikan RPJM Nasional

2004-2009, juga belum terlihat kesungguhannya untuk menjadikan kawasan

perbatasan sebagai beranda depan. Hal ini tampak terutama dari status

hukum kawasan yang masih belum jelas serta besaran alokasi

anggaran yang relatif rendah baik dalam APBN maupun APBD. Tentu

saja hal ini berdampak terhadap kepercayaan dan semangat

pemerintah kabupaten dan masyarakat dalam mengelola perbatasan.

Masyarakat perbatasan mulai apatis dan kurang bersemangat

mendengar rencana pengembangan kawasan perbatasan. Ada

semacam keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dalam

melaksanakan pembangunan di kawasan tersebut.

4. Ketidakjelasan Wewenang dan Koordinasi

Penanganan masalah di kawasan perbatasan membutuhkan landasan

hukum yang tegas, komprehensif dan mampu mengikat semua pihak.

Salah satu landasan hukum yang paling mendasar adalah kejelasan

wewenang dan jalur koordinasi dalam pengelolaan kawasan

perbatasan. Hingga saat ini belum ada kejelasan soal siapa yang

memiliki kewenangan mengelola kawasan perbatasan, apakah

pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten.

Desentralisasi dan otonomi daerah sesungguhnya telah memberikan

sejumlah kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah

daerah. Berbagai kewenangan yang selama ini dilakukan pusat telah

(38)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan pusat dan daerah. Namun dalam pembangunan kawasan

perbatasan kewenangan pelaksanaannya masih berada pada

pemerintah pusat, dengan alasan untuk mengintegrasikan berbagai

kegiatan sosial ekonomi yang bersifat lintas administrasi wilayah

pemerintahan sehingga diperlukan koordinasi dari institusi yang secara

hirarkis lebih tinggi. Akan tetapi karena jarak yang begitu jauh dari

Jakarta ke perbatasan, maka kewenangan ini belum dapat dijalankan

oleh pemerintah pusat dengan baik. Kondisi ini makin diperparah oleh

tidak adanya suatu lembaga yang secara khusus ditunjuk oleh pusat

untuk mengelola keseluruhan aspek pembangunan di kawasan

perbatasan.

Dalam konteks ini, tidak jarang masing-masing level pemerintahan

berebut pengaruh di perbatasan ketika ada potensi penerimaan dan

sebaliknya seolah lepas tanggungjawab pada saat timbul masalah.

Akibatnya, perbatasan menjadi kawasan “remang-remang” yang

dinikmati oleh segelintir oknum, berasal dari kedua negara, untuk

menumbuh-suburkan kegiatan ilegal. Sebagian dari oknum tersebut

memiliki status sebagai aparatur pemerintah baik sipil maupun militer.

Mereka ini merupakan kelompok yang sebagian besar justru bukan

berasal dari masyarakat perbatasan serta cenderung tidak

menginginkan adanya kejelasan kewenangan dan jalur kordinasi dalam

penanganan kawasan perbatasan.

5. Kemiskinan

Kemiskinan menjadi topik yang menarik dibahas ketika diskusi tentang

kawasan perbatasan karena penduduk miskin merupakan sesuatu yang

mudah dijumpai ketika berkunjung ke kawasan ini. Saat ini meskipun

kawasan perbatasan kaya dengan sumberdaya alam dan letaknya

(39)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

miskin dengan jumlah penduduk miskin sekitar 35%. Jika dibandingkan

dengan penduduk Malaysia tampak adanya ketimpangan pendapatan

yang luar biasa besarnya (sekitar 1:10). Akibatnya penduduk kita tidak

memiliki posisi tawar yang sebanding dalam kegiatan ekonomi di

perbatasan. Bahkan besaran harga terhadap produksi hasil pertanian

kita-pun ditentukan oleh penduduk Malaysia.

Akibat lain dari kemiskinan masyarakat di kawasan perbatasan

mendorong masyarakat terlibat dalam kegiatan ekonomi illegal guna

memenuhi kebutuhan hidupnya. Kenyataan ini selain melanggar hukum

dan potensial menimbulkan kerawanan dan ketertiban juga sangat

merugikan negara. Kegiatan illegal ini umumnya terorganisir dengan

baik sehingga perlu kordinasi dan kerjasama bilateral untuk

menuntaskannya.

6. Keterbatasan Infrastruktur

Di kawasan perbatasan terdapat Jenis prasarana transportasi laut,

sungai dan darat. Fasilitas transportasi laut menghubungkan Paloh

(kabupaten Sambas) dengan Lundu (Serawak), sedang fasilitas sungai

masih ada namun sudah tidak populer lagi. Jaringan jalan darat di

kawasan perbatasan Kalimantan Barat berbentuk vertikal sehingga

pelayanannya kurang efektif. Panjang jalan darat sekitar 520 km

dengan rincian: 200 km jalan tanah, 30 km jalan batu, 290 km jalan

aspal. Sedangkan menurut fungsinya terdapat 63% jalan kabupaten,

31% jalan propinsi, dan 6% jalan nasional.

Untuk fasilitas kelistrikan, dari 10 ibu kota kecamatan yang ada

dikawasan perbatasan Kalimantan Barat, sudah hampir 100% yang

mendapat pelayanan, namun tidak memcapai maksimum karena hanya

12 jam operasional. Hal ini menunjukkan besarnya perbedaan

kesejahteraan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat dengan

masyarakat perbatasan di Serawak yang hampir seluruhnya telah

(40)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

Serawak telah tersedia pembangkit listrik tenaga air, seperti dari

bendungan Batang Ai di Lubuk Antu dengan kapasitas 108 MW dan

bendungan Bakun yang sedang dibangun dengan kapasitas 2.400 MW.

Kondisi tersebut ternyata terjadi pula pada fasilitas air bersih yang

hanya mampu melayani 50 persen penduduk di kawasan perbatasan

Kalimantan Barat. Sedangkan penduduk kawasan perbatasan di

Serawak 100 persen telah terpenuhi fasilitas air bersih.

Keterbatasan infrastruktur turut menjadi salah satu faktor penyebabkan

rendahnya investasi ke kawasan perbatasan. Hal ini merupakan dilema

tersendiri karena dana yang dimiliki pemerintah bagi penyediaan dan

peningkatan infrastruktur guna mendukung kegiatan investasi di

perbatasan sangat terbatas. Akibatnya kawasan ini menjadi daerah

yang relatif tertinggal, dimana sebagian besar penduduknya hidup

dalam kemiskinan dan keterbelakangan.

Jalan di Perbatasan Malaysia Jalan di Perbatasan Kalimantan Barat

7. Lemahnya Penegakan Hukum

Akibat penegakan hukum yang masih lemah, maka berbagai bentuk

pelanggaran hukum sering terjadi di kawasan perbatasan. Masalah ini

memerlukan penanganan dan antisipasi yang seksama dan

(41)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

prasarana dan sarana telah menyebabkan aktivitas aparat keamanan

dan kepolisian sejauh ini belum dapat dilakukan secara optimal.

Sebagai konsekuensi terbatasnya prasarana, sarana, dan sumberdaya

manusia dibidang pertahanan dan keamanan, telah menyebabkan

lemahnya pengawasan di sepanjang garis perbatasan. Akibatnya

adalah sering terjadi pelanggaran batas negara oleh masyarakat kedua

negara, serta berbagai bentuk pelanggaran hukum seperti aktivitas

pencurian kayu (illegal logging), penyelundupan barang, dan penjualan

manusia (trafficking person).

(42)

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan Di Era Otonomi Daerah Studi Kasus Di Kalimantan Barat

 

8. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Belum Optimal

Potensi sumberdaya alam yang berada di kawasan perbatasan cukup

besar namun sejauh ini upaya pengelolaannya belum dilakukan secara

optimal. Potensi sumberdaya alam sementara ini yang terdeteksi

adalah:

• Tambang : Emas (tanah aluvial-sungai) tersebar hampir di seluruh aliran sungai di sepanjang kawasan perbatasan.

• Hutan : potensinya cukup besar dan dapat diusahakan seluas 80.000 Ha. Selain itu di kawasan ini terdapat hutan lindung berupa taman nasional yang berpotensi dikembangkan sebagai obyek wisata alam.

• Perkebunan berupa : coklat, lada, karet, kelapa sawit dan lain-lain yang sebagian besar hasilnya dijual ke Serawak.

• Potensi perikanan air tawar cukup besar dan memiliki spesies ikan yang relatif lengkap dan hanya terdapat di beberapa negara di dunia.

Mengembangkan potensi sumberdaya alam perbatasan melalui pengembangan produk unggulan, dari sektor-sektor : pertanian, kehutanan,

perkebunan, perikanan, peternakan, pariwisata, pertambangan.

Namun demikian di beberapa kawasan perbatasan sudah lama terjadi

eksploitasi sumberdaya alam secara tidak bijaksana sehingga

mengganggu keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan

Gambar

Tabel 2.1 Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalimantan Barat - Sarawak,
Tabel 2.2 Perkembangan Penduduk Kawasan Perbatasan
Tabel 2.3 Persentasi PDRB Kalimantan Barat Tahun 2004 – 2007 Menurut

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Thomas Ari (2017), konsep green port memiliki tujuan pengelolaan pelabuhan yang lebih baik, berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP), dalam hal ini

Faktor-faktor resiko yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit jantung koroner pada kelompok usia ≤45 tahun (Studi kasus di RSUP Dr.Kariadi dan RS Telogorejo

 Berkonsultasi dengan organisasi yang terlibat / pernah di-libatkan dalam Upaya serupa, atau yang bekerja dengan populasi / di wilayah yang menjadi Sasaran.  Mendapatkan

Zqdot Koefisien Massa Tambahan kg.m/rad Zqq Koefisien Crossflow Drag kg.m/rad 2 Zrp Koefisien Massa Tambahan Cross Terms kg/rad Zuq Koefisien Massa Tambahan Cross Terms

Pada percobaan pertama yang bertujuan untuk mengetahui cara pembuatan gas nitrogen di laboratorium dan mengetahui sifat-sifat gas nitrogen, langkah yang dilakukan

Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah memastikan mutu bahan baku enamel sesuai dengan standarisasi perusahaan sebelum dilakukan proses produksi, dilakukan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai persepsi terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan dengan intensi perilaku seksual pranikah pada

Revisi zonasi Taman Nasional Karimunjawa bertujuan untuk mengubah zonasi Taman Nasional Karimunjawa sehingga mampu mengakomodir berbagai kepentingan seperti ekologi,