• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Nommensen dengan HKBP Kini (Suatu Perbandingan Antara Pemahaman dan Praktek Misi Nommensen dengan HKBP Kini) T1 712005032 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Nommensen dengan HKBP Kini (Suatu Perbandingan Antara Pemahaman dan Praktek Misi Nommensen dengan HKBP Kini) T1 712005032 BAB II"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERGESERAN PARADIGMA MISI SEPANJANG SEJARAH GEREJA

Misi Kristen mula-mula adalah melibatkan pribadi Yesus sendiri, namun kita tidak dapat

membatasi pribadi Yesus dengan rumusan apapun juga. Misi dari masa Gereja awal dapat dilihat

lebih jelas dalam pemikiran dan praktek misi yang terkandung dalam Matius. Arti misi dalam

Matius adalah memberitakan Kristus sebagai Tuhan. Dalam Matius dikatakan bahwa

berdasarkan pelayanan Yesus di dunia, kematian dan kebangkitanNya membuka jalan misi

kepada orang-orang bukan Yahudi. Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 selalu

menjadi inspirasi yang kuat dan memainkan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan

pekerjaan pekabaran injil yang dilakukan misi-misi Kristen selama berabad-abad.1

Misi adalah sebuah pelayanan berwajah banyak, sehubungan dengan kesaksian, pelayanan,

keadilan penyembuhan, perujukan, pembebasan, perdamaian, penginjilan, persekutuan,

penanaman gereja, kontekstualisasi dan lebih banyak lagi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan

misi adalah sesuatu yang baru. Gereja Kristen mula-mula tidak melakukan hal itu. Dan pada

dekade-dekade terakhir, telah terjadi peningkatan dalam penggunaan istilah ‘misi’.

Matius 28:18-20, yang sering disebut Amanat Agung, berisikan perintah kepada orang Kristen untuk menjadikan murid, membaptis dan mengajar orang-orang di seluruh dunia.

Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 ini ‘memberikan tugas’ kepada orang Kristen

untuk melakukan kristenisasi atau orang Kristen mempunyai tanggung jawab dalam proses

pertambahan jumlah orang Kristen di bumi. Misi yang seutuhnya ini menuruti karya Yesus,

sebab misi Yesus senantiasa berlangsung dengan seutuhnya. Yesus memberitakan Injil dan

(2)

menyembuhkan orang. Oleh karena itu konsultasi United in Mission 1998 sudah merumuskan

dengan sangat tepat: “Kita tidak berhak untuk membuat Injil impian sorgawi saja. Yesus

menyenangkan orang lapar dan membasuh kaki yang kotor. Yesus menyembuhkan orang sakit

dan menghiburkan orang yang berdukacita. Yesus memanggil orang kaya dan berkuasa untuk

bertobat. Oleh karenanya adalah merupakan suatu tugas menyebutkan nama Yesus yang melebihi

segala nama di bawah kolong langit ini (kisah Para Rasul 4 : 12) dan berjuang untuk keadilan di

sisi orang yang tertindas dan terasing.”2

Pada awal kemunculannya, misi dan pekabaran Injil dipahami sebagai dua sisi mata uang,

hal yang tak bisa dipisahkan. Pandangan tersebut menjadi usang tatkala, keduanya dianggap

memiliki fungsinya masing-masing. Adalah John Stott, yang mempelopori perubahan paradigma

di kalangan Injili tentang pengertian misi. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup

penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi.3 Murid-murid diutus untuk melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia

tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial. Dalam pergerakan

misi, hal yang perlu diperhatikan adalah usaha untuk dapat mensejahterakan para penerima misi

tersebut. Sama halnya pergerakan misi yang terjadi di bumi Indonesia, bangsa barat (Eropa)

datang ke Indonesia untuk melakukan ‘ekspansi’. Namun selain melakukan ekspansi tentu ingin

memperkenalkan suatu kebudayaan baru bagi bangsa Indonesia pada awalnya.

Bosch merumuskan penginjilan sebagai dimensi dan aktivitas misi Gereja, dengan kata,

perbuatan, dan dalam terang situasi serta konteks tertentu, yang menawarkan kepada setiap

2 Beyer, Ulrich. Dr; “United Evangelical Mission, Bersekutu untuk Misi Bersama-sama” (Menggapai Gereja Inklusif); Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004, hal: 226

(3)

orang dan komunitas di segala tempat suatu kemungkinan yang sah untuk secara langsung

ditantang memasuki suatu reorientasi radikal atau hidup mereka yang meliputi pembebasan dari

perbudakan dunia dan kekuatan-kekuatannya serta menyambut Kristus sebagai Juru Selamat dan

Tuhan, menjadi anggota yang hidup dari komunitas Gereja, terlibat dalam pelayanan rekonsiliasi,

perdamaian, dan keadilan di dunia, serta memiliki komitmen sesuai dengan tujuan Allah yang

menempatkan segala hal di bawah Kristus.4

Gereja melaksanakan Pekabaran Injil karena adanya pengutusan, dan Pekabaran Injil

yang dilakukan oleh gereja merupakan penggenapan Misi di dunia. Di sini berarti bahwa gereja

melaksanakan Pekabaran Injil atas perintah Allah Tritunggal. Seperti Allah Bapa mengutus Putra

dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiga-Nya mengutus gereja ke tengah-tengah dunia.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa misi gereja di dunia ini adalah menciptakan kerajaan

ALLAH dan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya serta menjadikan bumi ini

untuk layak didiami.

Mayoritas lembaga-lembaga penginjilan yang bertugas di Indonesia diprakarsai oleh

kebangkitan Pietisme dan Revival di Eropa. Sehingga, dalam perjalanan misinya, gerakan ini

bergaya Pietisme yang menekankan pertobatan perorangan dan bersikap kritis terhadap ilmu

duniawi. Kemudian juga, gerakan ini menekankan adanya penyatuan dan tidak boleh membawa

paham dari gereja-gereja tertentu darimana mereka berasal.5 Gaya Pietisme ini bahkan dianut

4 David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen : Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Transforming Mission Paradigm Shifts Teology of Mission), Maryknoll, New York : Orbis Books, 1991, 644.

(4)

hingga utusan-utusan zending yang datang ke Indonesia pada abad 19. Dan dalam tahun

1800-1900, pekabaran Injil dengan realitas penjajahan (kolonialisme) semakin menonjol.6

Sejarah PI adalah bagian dari sejarah gereja. Ditinjau dari sudut tertentu dan menentukan,

Prof. J.H. Bavink membedakan sejarah PI menurut motif atau dorongan melakukan PI.7 1. Masa sesudah para rasul.

Pada masa ini, belum ada motif atau dorongan yang pasti untuk melakukan PI, semua

dilakukan dengan spontan. Namun ada catatan penting pada masa ini, bahwa PI kurang

berminat terhadap hal-hal yang berbau politik dan juga tidak berminat pada kebudayaan.

Penginjilan pada masa awal-awal kekristenan ini dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga

penginjilan yang terorganisir dengan baik, tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara

penginjilan secara perorangan dan spontan.

2. Agama Negara, sekitar tahun 350 – 1700.

Pada masa ini, motif melakukan PI adalah gerejani, politik dan pertapaan. Sehingga PI

mulai meluas hingga ke dalam dunia kebudayaan dan politik. Catatan penting masa ini

adalah Kristen dipakai sebagai agama negara dan PI berarti perluasan Negara Kristen.

3. Pietisme, Methodisme, sekitar abad ke-17.

Masa ini, PI tidak lagi mencampuri dunia politik dan melepaskan diri dari gereja

(negara). Pada masa ini, kesalehan perorangan sangat diutamakan, PI dilakukan dengan

memberi kritik kepada kebudayaan dan pelaksanaan PI dengan memberikan penekanan

pada dimensi eskhatologia.

4. Abad ke-19.

6 Prof. B.F. Drewes, M.Th. dan Pdt. Julianus Mojau, M.Th, Apa itu Teologi? (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2003, 55.

(5)

Masa ini ditandai dengan memberikan reaksi terhadap Pietisme. Badan-badan PI sudah

terlepas sepenuhnya dari unsur pemerintah, meskipun masih sering mengikuti jejak-jejak

kolonialisme. Pada masa ini, teologia yang mulai dipakai adalah teologi yang mengarah

kepada teologi liberal dengan penekanan kepada sudut-sudut sosial dan peradaban. PI

sangat giat dilakukan, namun mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Ada beberapa

motif yang dipakai untuk melaksanakan PI pada masa ini, yaitu kasih dan ketaatan.

5. Masa baru, sejak 1914.

Pada masa ini, badan-badan PI pada umumnya sudah mulai digerejanikan, gereja-gereja

‘muda’ mulai didewasakan. PI mulai berkembang ke arah oikumene, perhatian kepada

kaum awam ditingkatkan, namun penekanan PI masih pada dimensi eskhatologia. Masa

ini juga ditandai dengan adanya penghalang pelaksanaan PI yaitu nasionalisme barat dan

timur.

Pembagian sejarah PI yang dituliskan oleh Bavink di atas, sebenarnya hanya merupakan

salah satu bentuk pembagian sejarah PI yang dibuat oleh para ahli. Namun setidaknya pembagian

ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang bagaimana sejarah PI itu

berlangsung dari waktu ke waktu.

2.1. Konsep-Konsep Misi dalam Pemikiran Para Reformator

Secara langsung meskipun tidak ada pembahasan para reformator tentang penginjilan, namun

dengan belajar dasar-dasar teologis secara Apriori( Fakta yang dibela itu tetap merupakan

sesuatu yang tidak dapat dimengerti, namun ia adalah fakta yang tidak dapat disangkal) dari

(6)

dalam konteksnya tentang misi Pekabaran Injil. Sebut saja Calvin dari uraiannya tentang jabatan

gerejawi yang didasarkan pada Matius 28:19 yang adalah tugas gereja masa kini dari IV

Institutio, latar belakang pemikirannya adalah polemik terhadap gereja Katolik Roma yang akhirnya seolah-olah memindahkan perhatian dari visi pekabaran Injil yang begitu jelas dalam

pasal sebelumnya(Inst.IV,4) kepada jabatan secara polemis (Inst. IV,5-6). Menurut Luther dalam

tafsirannya, Abraham menjadi berkat yang jauh lebih besar dari materi, ini tidak datang dari

pribadi Abraham melainkan asalnya dari Allah Sendiri. Kemudian menurutnya cerita mengenai

Sara di Mesir dalam tafsirannya Ia memberitakan dan mengajarkan firman Allah kepada

pembesar-pembesar Mesir, di sini Luther melihat pemberitaan firman Allah/Injil Sebagai sesuatu

yang melekat kepada Setiap orang Percaya. Secara singkat titik tolak teologi Luther adalah

misoner, tetapi tidak terwujud dalam praktek. Dinamika misionernya tidak dapat bertahan dalam

Lutheranisme. Baru Tahun 1984 ia ditemukan kembali hal ini berdasarkan kesimpulan Kirche

aus Allen Volkern. Martinus Burcer disebut sebagai “pietis” di kalangan reformator” ia dimunculkan oleh Afred Erichson dari Strassburg. 1885, ia dikenal sebagai seorang misioner

(zendingsman), karena seruan untuk pelaksanaan Pekabaran Injil di tahun 1538. Secara ringkas

menurut A.M. Brouwer 1930. Motif-motif yang luhur dalam Pekabaran Injil sampai ke ujung

bumi tersebar dalam karya-karyanya yang penting. Burcer Bertolak dari janji yang diberikan

sesudah Kejatuhan manusia (Kj. 3:15), namun dosa makin menguasai manusia. 8

(7)

Secara Alkitabiah pemikiran, dan pemahaman iman yang juga secara langsung maupun tidak

langsung semacam ini sangat mempengaruhi konsep berpikir gereja-gereja yang lahir dari

reformasi termasuk injili, dan ekumenis, yang nampak dalam pemahaman imannya maupun

misinya yang berkembang hingga saat ini. Maka banyak teolog yang terpengaruh oleh cara

berpikir dan praktek misi yang diwariskan dari para Bapa gereja untuk menggumuli misi kristen

dalam denominasinya, dan perkembangan misi secara lebih luas.

2.2. Pengertian Penginjilan

Penginjilan adalah membagi atau memberitakan kabar baik kepada orang lain. Penginjilan

merupakan pemberitaan tentang Yesus yang hidup, mati dan bangkit sehingga otoritasNya atas

manusia sebagai Tuhan dan Raja yang sekarang ini duduk disebelah kanan Allah Bapa. Dalam

hal ini penginjil tidak boleh terjebak dalam pengertian teologis, dimana tujuannya menjadi faktor

untuk mengukur suatu penginjilan yang diperkenankan Tuhan.

Penginjilan dalam pengertian deontologis menurut Stott: Penginjilan tidak boleh

didefenisikan dalam pengertian penerima-penerima Injil, tidak boleh didefinisikan dalam

(8)

pengertian hasil, inti penginjilan adalah pemberitaan injil. Pemberitaan tersebut bukan tugas

dunia, bukan tugas orang tidak percaya, pemberitaan adalah tugas esensial dari gereja. Misi

termasuk penginjilan adalah mandat Yesus Kristus kepada gereja sebagaimana Ia berkata:

”pergilah keseluruh dunia dan beritakanlah kabar baik kepada segala mahkluk” (Mrk. 16:15-20).

Jadi baik penginjilan maupun persoalan sosial manusia merupakan hal yang penting untuk

perwujudan kerajaan Allah dalam arti yang luas. Namun dalam hal yang paling utama

penginjilan merupakan hal yang utama. Karena penginjilan adalah perhatian utama Injil, dimana

semua orang mendapat kesempatan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan

Juruselamat mereka. Karena gereja adalah agen penginjilan, yaitu alat untuk menyebarluaskan

injil keseluruh dunia. Penyebarluasan injil ini diikuti oleh pengaruh injil itu sendiri yang

membawa pembaharuan manusia di semua sektor kehidupan sosial.9

Maka pemikiran semacam ini telah diakui dan ditegaskan bahwa tugas penginjilan dan

kehidupan sosial gereja, keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena

itu bagian dari misi gereja yang juga penting. Namun paling utama yang harus diutamakan

adalah pemberitaan injil atau penginjilan karena gereja merupakan agen misi, maka lingkup

sosialpun akan berjalan didalam terang injil.

2.3. Misi Gereja yang Berakar pada Misi Allah

Pemikiran misi ini dilandasi atas amanat agung, kemudian secara nyata dihubungkan dengan

hakekat gereja bagi sebuah misi kristen dan, gereja itu sendiri merupakan ekspresi misi Allah.

(9)

Oleh sebab itu gereja harus kembali kepada Alkitab sebagai dasar dan sumber misi gereja. Yesus

berkata: Damai sejahtera bagimu! Seperti Bapa telah mengutus Aku demikian Aku mengutus

kamu.” Dan Ia menghembusi mereka dan berkata: terimalah Roh Kudus” (Yoh. 20:21-22).

Ayat-ayat ini menyampaikan kepada kita tiga hal yakni pertama bahwa misi Allah Bapa juga

merupakan misi Allah Anak. Kedua, Allah Tritunggallah yang mengutus gereja kedalam dunia

ini dengan otoritas Allah Sendiri. Ketiga bahwa misi Allah adalah misi Allah Bapa, Allah Anak

dan Allah Roh Kudus.10

Selain itu Alkitab jugalah yang memberikan fondasi misi kristen. Dalam perjanjian lama

Abraham yang diutus kepada bangsa-bangsa dan kita sebagai keturunnya diutus untuk

melanjutkan misi Allah tersebut. Karena, jika dengan iman kita jadi milik Kristus, maka kita

adalah anak-anak rohani Abraham dan memikul tanggungjawab untuk semua umat manusia. Para

nabi perjanjian lama juga telah mengatakan bagaimana Allah akan menjadikan Sang Kristus ahli

waris dan terang untuk bangsa-bangsa.

Dalam perjanjian baru, Yesus juga bernubuat bahwa dari timur barat dan dari utara selatan”

dan akan” duduk makan bersama Abraham, Ishak dan Yakub di dalam kerajaan Surga (Mat

8:11;Luk13:29). Setelah klaim maha hebat bahwa” segala kuasa di surga, dan di bumi” telah

diberikanNya kepadaNya (Mat.28:18). Dalam konsekuensi universalnya itulah Ia memerintahkan

para pengikutNya untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptis mereka ke dalam umat

baru-Nya, dan mengajarkan kepada mereka semua dan demikian pula hal ini terjadi pada jemaat

atau orang kristen perdana.11 Hal ini menjadi faktor yang paling penting dalam memperkokoh

10 Ibid.,129-131.

(10)

dasar berpikir tentang tugas setiap orang percaya yang diambil dari Matius 28:18-20.12 Inilah ciri khas utama dalam paradigma misi injili yang sangat menonjol.

2.4. Kontekstualisasi Penginjilan

A. Teologi Kontekstualisasi13

Pemikiran ini mengganggap bahwa Alkitab perlu ditekankan sebagaimana kita melihat teks

dan konteks teks. Bahkan juga melihat situasi konkrit yang terjadi sebagai proses penginjilan

secara kontekstual dapat dilakukan secara dinamis. Prinsip kerja konsep kontekstualisasi

berhubungan erat dengan sifat teologi situasional. Maksudnya ialah kontekstualisasi

berhubungan erat dengan refleksi teologi yang mengaitkan teks (Alkitab) dengan konteks (situasi

kehidupan). Hubungan ini adalah suatu interaksi dinamis yang daripadanya muncullah ‘suatu

teologi kontekstualisasi” sifat teologi kontekstualisasi yang berhubungan dengan refleksi adalah

sebagai berikut:

1. Refleksi teologi bersifat kritis dan propertikal.

Penekanan yang pertama menekankan tentang refleksi teologi harus memahami teks

Alkitab dalam situasi aslinya dan berusaha untuk menerapkannya dalam situasi dan

12 E.B Surbakti. Benarkah Injil Kabar Baik ?(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) 29.

(11)

kondisi masa kini, dalam terang firman itu orang kristen pada setiap tempat menganalisa,

menafsirkan dan menghakimi sejarah.

2. Refleksi teologi secara kondisional dibungkus oleh kenyataan sejarah dan budaya dari setiap konteks sejarah.

Di sini, dalam suatu masyarakat dari sekelompok orang kristen cara berpikir, konsep, dan

lambang merupakan alat bagi ekspresi iman tersebut.

3. Refleksi teologi kontekstualisasi berdasarkan sikap “self determination” yaitu sikap menetapkan sendiri pandangan teologi tanpa dipengaruhi oleh refleksi teologi atau budaya asing.

Pengutamaannya terletak pada kebenaran firman Allah harus diterjemahkan dalam situasi

budaya secara keseluruhan, sehingga firman itu dapat diterima dan dipastikan menjadi milik

budaya tersebut. Refleksi teologi kontekstualisasi menuntut perlibatan diri melalui tindakan

refleksi dalam berteologi. Ajaran Alkitab harus diterapkan dalam struktur pikir dan kehidupan

budaya, sehingga Kristus menjadi Tuhan atas dan dalam setiap budaya tersebut.

B. Dimensi Penginjilan dalam Konsep Kontekstualisasi14

1. Teologi kontekstualisasi yang sah mempertahankan keunggulan supremasi Alkitab sebagai norma iman dan perbuatan dalam setiap budaya.

2. Teologi kontekstualisasi harus menekankan kesadaran akan lingkungan sekitar sebagai hasil karya ciptaan Allah.

(12)

3. Teologi Kontekstualisasi yang sah harus peka atau tanggap dengan keadaan lingkungan atupun budaya, serta harus bisa membela setiap orang yang tertindas dan melakukan pembebasn

dengan penuh kebenaran.

2.5. Paradigma Misi Ekumenis

2.5.1. Akar Oikumene

Sebelum berbicara mengenai gerakan ekumenis maka perlu diketahui terlebih dahulu kata

ekumenis/Oikumene. Kata ini berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja Oikeo yang berarti

tinggal, berdiam atau mendiami. Oleh sebab itu secara harafiah berarti tinggal atau mendiami’.

Tetapi participum ini telah memiliki arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah

geografis: Dunia yang didiami (Luk.4:5,Rom. 10:18,Ibr. 1:6 dan lain-lain). Dari sana kata ini

juga dapat berarti: Seluruh umat manusia (Kis. 17:31,19:27, Why.12:9), kemudian istilah ini

mendapat arti politik dari kekaisaran Romawi (Kis.24:5 sedangkan dari bidang politik istilah

oikumene dan oikumenis mulai dipakai oleh gereja. Oikumene seluruh dunia yang didiami dan yang di kuasai oleh kekaisaran Romawi menjadi tempat gereja menjalani misinya.15 Pemahaman yang modern baru muncul pertengahan abad lalu mula- mula diartikan sebagai rela untuk

melampaui dan mengatasi batas-batas konfensional yang memisahkan orang-orang kristen.

Singkat kata arti modern tidak lagi menunjuk kepada kenyataan seperti dulu tetapi kepada suatu

(13)

tujuan usaha dan pergumulan, yaitu gereja yang satu (esa) untuk itu harus diwujudkan secara

nyata. Inilah perkembangan sejarah gereja mula mula khususnya mengenai akar-akar oikumene.

2.5.2. Kemunculan Gerakan Ekumenis

Paradigma misi ekumenis yang sangat kental dipengaruhi oleh sejarah masa lalu, didasarkan

pada gejolak-gejolak dalam masyarakat terutama konflik dan keprihatinan-keprihatinan

ekonomi, sosial yang lebih luas. Secara singkat masalah-masalah ini yang kemudian

menghasilkan prinsip keesaan gereja, keutuhan ciptaan, dan konteks-konteks konkrit lainnya

menjadi hal utama dalam paradigma misi ekumenis.

Kesadaran ini pada awal puncaknya dimulai dari diadakannya pertemuan di Edinburgh 1910,

sebagai puncak dari seluruh rangkaian pertemuan yang pernah diadakan untuk membahas

tentang kesatuan gereja dan umat kristen melalui pemikiran maupun praktek misi kristen yang

luas.16 Sebagai akibatnya para teolog humanis baik dari khatolik maupun protestan, menjadi pelopor dalam gerakan perkembangan paradigma misi ekumnis yang dikemudian hari

mempunyai ciri khas yang paling menonjol yaitu misi kemanusian dalam arti yang luas

berdasarkan konteks.

2.6. Hakekat Misioner

(14)

David J. Bosch berpendapat bahwa;17 Unsur yang paling penting untuk memahami hakekat missioner adalah (a) kegiatan missioner bukanlah terutama karya gereja melainkan sebagai

gereja yang berkarya ini adalah tugas yang berkaitan dengan seluruh gereja karena Allah adalah

Allah yang missioner dan umat Allah adalah umat yang missioner. (b) Gereja dan misi saling

terkait sejak semula, sebuah gereja tanpa misi atau sebuah misi tanpa gereja sama-sama adalah

kontradiksi. (c) Dimensi missioner dari kehidupan sebuah gereja lokal menampakan diri, antara

lain bila ia sungguh-sungguh merupakan suatu komunitas yang beribadah; ia mampu menyambut

orang luar dan membuat mereka merasa betah; ini adalah gereja yang mana sang pendeta tidak

memegang monopoli dan anggota-anggotanya bukan sekedar objek dari pemeliharaan pastoral;

anggota-anggotanya dilengkapi untuk melaksanakan panggilan mereka dalam masyarakat;

secara struktur ia lentur dan inovatif; dan tidak membela hak-hak kelompok khusus. Dimensi

missioner gereja semacam ini membangkitkan intensional yakni keterlibatan langsung-nya

didalam masyarakat; ia sesungguhnya bergerak melampaui tembok-tembok gereja dan terlibat

dalam titik-titik konsentrasi” missioner seperti penginjilan karya keadilan dan perdamaian.

2.6.1. Misi Sebagai Misio Dei

Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran misi yang luas. Misi

yang dimaksudkan ada di dalam terang Allah sendiri.18 Misio Dei bukanlah secara sempit sebagai perluasan gereja, atau misi keselamatan dalam sejarah gereja. Namun misi ini adalah misi Allah. 17 David J Bosch. Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)

571-572.

(15)

Allah adalah Allah yang missioner. Bukan gereja yang mempunyai misi keselamatan yang harus

digenapi didalam dunia. Ini adalah misi Sang Anak dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikut

sertakan dunia” dengan begitu, misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia

dan gereja dipandang sebagai sebuah Alat, tanda dan sakramen.,19 untuk misi Allah tersebut. Gereja ada karena ada misi bukan sebaliknya. Ikut serta dalam misi berarti ikut serta di

dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber dari kasih yang

mengutus. Allah adalah sumber kasih yang mengutus diriNya sendiri dan misi ada karena Allah

mengasihi manusia.

2.6.2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan

Misi ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk yang ada dalam konteks perjanjian lama,

yaitu nabi-nabi mengkritik pemerintahan raja-raja karena ketidakadilan yang terjadi dalam

bangsa Israel lebih daripada itu konteks gereja mula-mula banyak pula ketidakadilan yang terjadi

dalam gereja di zaman Romawi yang merupakan sumber ketidakdilan yang besar dalam sejarah

perjalanan kekristenan. Untuk itu, sifat dari keadilan dalam injil inilah yang kini penting untuk

diperhatikan dan dicermati dalam upaya sebuah misi yang relevan meskipun hal ini sering kontra

dengan pemahaman kasih namun ini merupakan sosok dari injil yang bersifat memanusiakan

manusia karena inilah intisari yang penting untuk melihatnya dalam terang misi kekristenan

sambil mempertimbangan aspek etis yang mengaturnya yaitu bagaimana keadilan itu seharusnya

di tegakan dalam terang injil yang konkrit dan benar.20

19 Ibid.,571-576.

(16)

2.6.3. Misi Sebagai Kontekstualisasi

Dalam menguraikan misi sebagai kontekstualisasi maka terdapat beberapa pikiran utama

yang menjadi pertimbangan misi dilihat sebagai kontekstualisasi;21

1. Misi sebagai kontekstualisasi adalah pemahaman tentang Allah telah berpaling kepada dunia.

Situasi dunia yang historis bukanlah semata-mata suatu kondisi luar bagi misi gereja; sebaliknya

ia harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke dalam pemahaman kita tentang misi,

tujuan dan organisasinya. Sikap seperti itu sepenuhnya sesuai dengan pemahaman Yesus tentang

misi-Nya seperti yang dicerminkan dalam injil-injil kita; Ia tidak membumbung tinggi ke langit

melainkan menenggelamkan diriNya ke dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang

orang miskin mereka yang tertawan, yang buta, dan tertindas. Masa kinipun, Kristus berada di

antara yang lapar sakit, yang dihisap disisihkan. Kuasa kebangkitanNya mendorong sejarah umat

manusia menuju akhir, di bawah panji-panji” lihatlah Aku menjadikan semuanya baru (Why

21:5). Seperti Tuhannya, gereja di dalam misi harus memihak, demi kehidupan dan menentang

maut, demi keadilan dan menentang penindasan.

2. Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal. Dalam

defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus dipribumikan.

Kontekstualisasi mengusulkan sifat yang eksperimental dan sementara dari semua

teologi. Selain itu untuk mengantisipasi sifat relativisme yang muncul dari teologi

kontekstual perlunya juga dimensi universal dan transenden dari teologi karena ada

tradisi-tradisi kristen yang universal yang dapat diterima secara universal.

(17)

perspektif yang semata-mata sementara perlu diimbangi oleh suatu penekanan pada

perspektif-perspektif meta-teologis. Karena hal ini untuk pembahasan tentang

keterkaitan dari perspektif-perspektif ini dalam teologi dan budaya. Oleh sebab itu,

teologi kontekstual kini menjadi penting di pendidikan teologi dunia pertama.

3. Perlunya juga mempertimbangkan bukan hanya bahaya relativisme dalam teologi

kontekstual tetapi sikap absolutisme karena secara singkat ini terjadi di barat dan juga

tidak kebal terhadap negara dunia ketiga.

4. Kita harus memandang pada seluruh masalah ini dari sudut pandang yang lain lagi yakni”

membaca tanda tanda zaman” memang ada kemungkinan untuk kita melihat ke belakang dan masa kini namun penekanan yang paling utama adalah dengan memakai

terang injil sebagai norma dan ketika kita berjuang demi keadilan, kebebasan komunitas,

perujukan kesatuan dan kebenaran dalam semangat kasih dan sikap tidak mementingkan

diri sendiri kita boleh diberanikan untuk melihat Allah bekerja. Keyakinan ini

memampukan kita untuk bersikap berani dan mengambil keputusan-keputusan meskipun

relatif sifatnya karena penilaian kita tidak sama persis dengan penghakiman akhir.

5. Jadi meskipun tak dapat disangkal pentingnya sifat dan peran konteks, hal itu tidak boleh

ditanggapi sebagai kewibawaan satu-satunya yang paling mendasar untuk refleksi

teologis dan untuk ini konteks secara sederhana juga memerlukan peran penting teori

secara kritis.

6. Kita juga membutuhkan dimensi penciptaan atau representasi imaginatif dari gambaran

gambaran yang evokatif- membangkitkan kesadaran. Orang tidak hanya perlu melihat

(18)

simbol-simbol yang kaya, kesalehan, ibadah, kasih, ketakjuban dan misteri. Terlalu sering dalam

tarik-menarik antara prioritas kebenaran dan prioritas keadilan, dimensi ini hilang.

2.6.4. Misi Sebagai Pembebasan

Pemikiran ini terkait kepada sebuah pendalaman tentang teologi kontekstual karena menurut

Bosch Teologi Pembebasan Adalah sebuah gejala yang berwajah banyak, yang menampakan

dirinya sebagai teologi hitam teologi hispanik, teologi Amerika latin dan sebagainya yang secara

langsung membangun pemikiran dan praktek misi yang memperjuangkan pembebasan dalam

kerangka berteologi misi.22

Kemudian lebih dari itu misi ini dalam dunia ketiga khususnya berbicara tentang inkulturasi

budaya yang mana telah diketahui bahwa ragam budaya dunia pertama kedua dan khususnya

ketiga berbeda dan untuk itulah membentuk cara berteologi yang berbeda berdasarkan budaya

masing-masing dan hal ini berdasarkan tidak terdapat misi pembebasan dari kaum misionaris

barat dan lebih penting lagi misi pembebasan ini terkait langsung dengan struktural dunia secara

global antara dunia pertama, kedua dan ketiga yang dilanda kemiskinan dalam arti yang luas

yaitu korban masyarakat baik yang dimarjinalkan dan tidak mendapat kesempatan partisipasi

aktif dimasyarakat di mana hal ini merupakan persoalan misi yang penting antara persoalan injil

juga dibantu dengan unsur etika sosial orang-orang yang mengetahuinya yang turut terlibat

(19)

dalam penindasan ini, ditobatkan dan disadarkan untuk memahami dan tidak menyangkali

realitas yang ada.

2.6.5. Misi Sebagai Inkulturasi23

Paradigma misi ini dimulai dengan kesadaran pluralisme budaya, yang juga pada zaman

sebelumnya dihancurkan oleh dunia barat terhadap dunia ketiga. Padahal dengan adanya

keragaman budaya maka terdapat pula keragaman teologi. Perkembangan inkulturasi ini dimulai

dari dalam teolog-teolog dunia ketiga dan bukan lagi teolog barat atau misionaris.

Perbedaan yang kedua adalah tekanannya ada pada situasi lokal di mana baik bahasa sosial

politik ekonomi keagamaan bahkan pendidikan tergabung menjadi bagian-bagian yang utuh

dalam inkulturasi. Sambil perlu diperdebatkan secara regional perbedaan kebudayaan ini apakah

ia diterima ataukah tidak. Inkulturasi juga secara sadar mengikuti model inkarnasi dalam hal ini

masalah pokok utama dari paradigma ini adalah gereja yang dilahirkan kembali dari konteksnya.

Berikutnya bahwa model inkulturasi ini harus ditata dalam bentuk Kristologis meskipun dalam

model lainnya memperlihatkan adanya interaksi kebudayaan dan injil.

Karena dengan demikian inkulturasi memberikan kesan sebuah gerakan ganda: pada saat

bersamaan ada inkulturasi terhadap kekristenan dan Kristenisasi’ terhadap kebudayaan.

Kemudian terakhir injil harus terus melakukan perjumpaan dengan budaya secara inklusif. Maka

pengalaman ini akan menjadi satu kekuatan yang menghidupkan dan memperbaharui

kebudayaan dari dalam.

Dari kepelbagaian inkulturasi yang dikemukakan inkulturasi kemudian tetap memiliki

batasannya yaitu secara sederhana pada tingkat injil yang tetap memiliki dimensi yang berbeda

(20)

dengan kebudayaan dan yang kedua adalah penerimaan firman yang pada hakekatnya injil dapat

menjadi peringatan bagi kebudayaan tetapi injilpun dapat berjalan bersama-sama kebudayaan.

Dalam hakekat ini yang paling penting dari budaya dan injil adalah menciptakan suatu

kehidupan baru yang ditransformasikan secara tajam melalui proses yang saling mendukung,

ataupun bertolak belakang pada sisi atau bagian-bagian tertentu. Tetapi bahkan lebih daripada itu

kita membutuhkan interkulturasi yaitu suatu pertukaran teologi yang juga sangat penting dalam

konteks saling belajar hal-hal yang mungkin baru pada konteks yang berbeda-beda dalam tataran

lokal dengan cara berpikir yang global karena pekerjaan Allah melibatkan partisipasi seluruh

umat manusia terkhususnya gereja dimanpun berada untuk itu perlu melihat dunia lokal dengan

pikiran global.

2.6.6. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain

Pada dasarnya misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat

keberagaman agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana

menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi, yang penting untuk diperhatikan dalam

konteks berteologi misi dengan memperhatikan perbedaan yang bukan hanya dari dalam tetapi

yang lebih besar lagi yaitu dari luar agama tersebut yang berhadapan dengan agama lain,

terutama yang dikatakan Bosch tentang teologi agama agama.24

2.6.7. Misi Sebagai Teologi

Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan misi

gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai ladang misi,

(21)

dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang keilmuan tentunya misi

yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah tidak hanya terbatas pada

pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa melainkan misiologi adalah upaya

berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah bidang ilmu yang melihat dunia sebagai lahan

berteologi dengan memperhatikan kenyataan kenyataan disekitarnya.

2.7. Tanah Batak sebagai tujuan misi Kristen

Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan suku. Salah satu dari suku yang banyak itu

ialah suku Batak yang menurut sejarah pada mulanya berdiam di pinggiran Danau Toba,

Sumatera Utara, Indonesia. Suku Batak dalam konteks Indonesia Raya adalah bagian dari bangsa

Indonesia. Suku ini dikenal memiliki sejumlah kebudayaan yang sejajar dengan kebudayaan

suku bangsa lain.25 Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah Batak, yang memiliki beberapa sub-suku, di antaranya Batak Toba.

2.7.1. Antropologis Suku Batak

Pertama-tama, menurut penelitian antropologis yang pernah dilakukan, orang (atau suku)

Batak biasanya digolongkan ke dalam beberapa sub-suku (Toba, Angkola, Mandailing,

Simalungun, Pakpak-Dairi, Karo, dsb) yang termasuk apa yang disebut Melayu Kuno

(Proto-Malays) yang secara bergelombang datang dari Cina Selatan menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui semenanjung Melayu pada akhir zaman es pertama. Mereka mendesak sisa-sisa suku

bangsa penduduk asli ke daerah pegunungan di pedalaman. Ribuan tahun kemudian gelombang

(22)

berikut yang terdiri atas suku-suku bangsa yang disebut Deutro-Malays (Melayu Muda)

mendesak Melayu Kuno ke daerah pegunungan.26

2.7.2. Pembagian Wilayah Batak Toba

Suku Batak Toba merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Sumatera utara.

Masyarakat batak toba umumnya mendiami wilayah kabupaten Toba Samosir, yang meliputi

Balige, Laguboti, Parsoburan dan sekitarnya. Dahulu kala, ketika kerajaan Batak masih jaya

berdiri, pemerintahan nya dipusatkan di wilayah Bakara. Ketika kekuasaan dipegang oleh dinasti

Sisingamangaraja, kerajaan dibagi menjadi empat daerah yang disebut sebagai Raja Maropat,

yang terdiri atas Raja Maropat Silindung, Raja Maropat Samosir, Raja Maropat Humbang, dan

Raja Maropat Toba. Bisa ditebak, daerah Batak Toba masuk ke dalam otoritas Raja Maropat

Toba yang meliputi kabupaten Toba Samosir kini hingga pantai timur dan berbatasan dengan

kerajaan Johor Malaysia.

2.7.3. Kehidupan Suku Batak Toba

Dalam kehidupan masyarakat batak toba sehari-hari, mereka memegang prinsip-prinsip adat

maupun umum, di antaranya adalah kekerabatan (baik darah maupun suku), religi (agama

tradisional maupun modern), konsep hagabeon (doa banyak keturunan dan panjang umur).

Selain itu masih ada prinsip nilai hasangapon(kemuliaan, kewibawaan, kharisma) nilai

(23)

hamoraon (mencari rezeki yang banyak) nilai hamajuon (merantau dan menuntut ilmu), nilai hukum (menegakkan kebenaran dan mencari keadilan), pengayoman, dan mengatasi konflik

kekerabatan dengan sesama suku batak ritual-ritual adat juga tidak lepas dari suku Batak Toba.

Gambaran tentang masyarakat Batak yang diberikan orang luar biasanya kurang lengkap dan

mengandung bias, kecuali tentunya hasil peneliatian ilmiah yang dikerjakan oleh para pakar

setelah tanah Batak terbuka. Namun dapat diduga, masyarakat Batak sebelum perjumpaannya

dengan zaman modern tidaklah “semiskin” dan “seliar” yang diperkirakan orang. Masyarakat

Batak, walaupun belum memiliki teknologi yang tinggi dan pranata sosial yang lengkap telah

dapat mengatur dan mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Pertanian mereka sudah menggunakan

irigasi. Mereka mempunyai perangkat hukum (adat) yang diharapkan dapat menjamin ketertiban

masyarakat. Mereka memiliki aturan-aturan berinteraksi (yang dikenal dengan dalihan na tolu)

yang mempunyai sanksi. Mereka mempunyai lembaga-lembaga yang merupakan ciptaan mereka

sendiri. Mereka mempunyai kesenian sendiri, lengkap dengan seni sastra (terutama sastra lisan),

musik, tari, ukir, tenun, dan sebagainya, sebagai ungkapan rasa keindahan mereka dan sarana

untuk memuja dewa-dewa dan roh leluhur mereka. Mereka mempunyai tulisan sendiri.

Semuanya merupakan unsur-unsur budaya yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kehidupan

bermasyarakat yang memenuhi kebutuhan mereka pada zaman itu. Secara kultural, mereka juga

sama sekali tidak terisolasi dari budaya-budaya lain. Tulisan Batak, misalnya, merupakan

turunan tulisan yang berasal dari India Selatan, konsep-konsep keagamaan pra-Kristen Batak

juga dipengaruhi oleh konsep-konsep agama Hindu dan Budha.27

(24)

Agama batak berpusat pada Debata Mulajadi Na Bolon, sebagaimana yang telah

diamanatkannya: “jika penghuni Banua Tonga (manusia) dapat bertemu dengan penghuni Banua

Atas, haruslah dengan sesaji sebagai alas tangan, di mana sesaji itu haruslah bersih dan suci”, maka kepercayaan Siraja Batak disebut Parmalim atau Parbaringin, yang selanjutnya disebut

Agama Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan pengabdian yang sunguh-sungguh,

sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti

nama Parmalim. Parmalim berasal dari kata “Par” sebagai awalan, dan “Malim” yang artinya

dalam segala kesucian badan dan rohani.28

Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Sang Khalik Besar),

dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah keluarga Raja Sisingamangaraja,29 sebab hanya Raja Sisingamangaraja dipandang sebagai perantara orang batak dengan Debata

Mulajadi Na Bolon.30 Perkembangan selanjutnya, setelah kematian Raja Sisingamangaraja XII, pemimpinnya adalah datu (dukun) yang dipercayai mampunyai wibawa untuk meneruskan

agama parmalim, sehingga walaupun agama ini berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon,

tetapi peranan datu (dukun), sangat besar dalam acara-acara keagamaan. Datu sangat dihormati

oleh semua anggotanya, karena ia yang melangsungkan acara-acara kerohanian.31 Datu yang mempunyai hak untuk melakukan upacara-upacara pengorbanan dan pemujaan di tempat

masing-masing, seperti pada saat sebelum dan sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada

28 T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74

29 Raja Sisingamangaraja disebut Datu Bolon yaitu dukun yang mempunyai kekuasaan yang melebihi seluruh orang batak

30 B. Sijabat. Ahu Sisingamangaraja, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 157

(25)

hari penetapan jodoh, pesta perkawinan dan pada upacara kematian. Dan mereka jugalah yang

menentukan hari dan tanggal baik berdasarkan perhitungan almanak parhalaan (almanak khusus

para datu).32 Artinya selain yang bersifat kerohanian, datu juga yang memimpin upacara-upacara dalam adat-istiadat.

Pada masa lalu, mereka kerap mengadakan pesta persembahan kurban (pesta bius) yang

dilakukan sebagai permohonan kepada para dewa untuk menghilangkan musim kemarau yang

berkepanjangan. Suku Batak Toba dahulu masih percaya kepada dewa-dewa, dan roh-roh orang

yang sudah mati. Paganisme orang Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan keagamaan

kepada dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh orang yang sudah meninggal, dan

dinamisme. Di dalam banyak tata cara dan adat istiadat, ketiga bentuk pemikiran religius ini

masih bercampur baur tak terpisah satu sama lain. Dalam penerapannya, batas-batas ketiga unsur

itu tidak tampak dengan jelas, baik ia berlangsung dalam kalangan orang biasa, di lingkungan

para pemimpin yang sudah mantap ataupun dalam praktik religius-magis.33

Didalam keseharian masyarakat Batak Toba dahulu tidak terlepas akan peran serta

dewa-dewa ataupun roh-roh nenek moyang. Dalam setiap kesempatan selalu dihubungkan dengan

dewa atupun roh (begu), oleh karena itu juga untuk memulai ataupun mengakhiri suatu pekerjaan

selalu diadakan pesta. Pesta yang dimaksudkan adalah pesta pemujaan kepada dewa ataupun

roh-roh, pesta ini sebagai cara untuk meminta berkat dari roh-roh nenek moyang ataupun para dewa,

sebagi contoh adalah pesta untuk memulai musim tanam. Pesta ini diselenggarakan setiap tahun

untuk menghindari paceklik, wabah penyakit dan kelaparan. Suku Batak Toba juga meyakini

32Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 19

(26)

bahwa roh leluhur masih berperan dalam kehidupan mereka, karena roh leluhur selalu memantau

kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, mereka juga menggelar ritual hahomion

(rahasia) supaya roh leluhur senantiasa memberikan kemakmuran dan ketentraman bagi

keturunannya.34

2.7.4. Masuknya Injil di Tanah Batak

Masuknya injil di tanah Batak tidak terlepas dari adanya penjajahan. Bangsa barat datang

untuk melakukakan ekspansi. Mereka datang selain untuk mengambil hasil-hasil perkebunan,

melakukan perluasan wilayah, dan mengenalkan suatu kebudayaan baru. Bangsa barat datang

untuk mengenalkan kebudayaan baru tersebut, bisa dikatakan sebagai ungkapan balas jasa karena

mereka telah memperoleh hasil bumi dari tanah Batak. Mereka juga merasa kasihan dengan

kebudayaan bangsa Batak dahulu yang masih terbelakang, dan belum mengenal Tuhan. Oleh

karena itu para misionaris bisa dikatakan datang bersama penjajah.

Beberapa Misi yang dilakukan oleh Gereja Kristen Barat salah satunya adalah Pekabaran

Injil di Sumatera Utara dimulai pada tahun 1824, penginjil yang pertama yakni Richard Burton

dan Nathaniel Ward utusan zending Baptist Mission Society of England sebuah lembaga

pekabaran Injil dari Inggris, mereka mencoba untuk melakukan pekabaran Injil di tanah Batak.35

Melalui dari daerah pesisir Sumatera mereka berhasil menerobos sampai ke wilayah orang Batak

Toba di daerah Silindung, akan tetapi mereka terpaksa mundur dari tempat itu karena pemerintah

Belanda menolak untuk memberi izin bekerja di daerah itu.36 Kemudian pada tahun 1834 Pdt.

34 http://www.anneahira.com/batak-toba.htm. 28/09/2011. 11.04

35 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975), 45-46.

(27)

Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman utusan Amerika Board of Commisioners for Foreign

Missions sebuah kongsi zending Amerika (Boston) datang ke tanah Batak untuk melakukan

pekabaran Injil. Pada 23 Juni 1834 mereka meninggalkan Sibolga mengikuti jejak Burton dan

Ward ke Lembah Silindung, akan tetapi mereka berdua tewas terbunuh di Lobu Pining dalam

perjalanan menuju daerah Silindung.37 Maka Pada tahun 1840-1842 F. Junghuhn, seorang

ilmuwan antropolog Jerman datang ke tanah Batak untuk melakukan ekspedisi penelitian di

pedalaman Sumatera. Kemudian dia menerbitkan karangannya dan melalui karangannya orang

Eropa dapat mengenal orang Batak. Karangan itu sampai ke tangan tokoh-tokoh lembaga Alkitab

di Belanda, lalu pada tahun 1849 mereka mengutus H. Neubronner van der Tuuk ke Sumatera.

Van der Tuuk seorang utusan Kongsi Bible Netherland (NZG) yang merupakan perintis jalan

untuk pelayanan zending kepada suku Batak. Beliau menerjemahkan sebagian isi Alkitab

Perjanjian Lama ke dalam bahasa Batak, menulis tata bahasa Batak dan membuat kamus bahasa

Batak – Belanda. Dengan adanya misi pekabaran Injil yang dilakukan bangsa-bangsa barat, maka

dengan segera Badan Zending Rheinshe (RMG) mengalihkan konsentrasinya dalam

menyebarkan Injil ke daerah Batak dengan mengutus Pdt. D.R. Fabri ke sana.

Tanah Batak dan masyarakat Batak sebelum kekristenan sering digambarkan sebagai daerah

yang terisolasi dan “liar” serta menakutkan, suatu daerah hutan belantara yang dihuni

binatang-binatang buas dan orang-orang yang masih mempraktekkan kanibalisme. Informasi tentang

keadaan tanah Batak yang sebenarnya sulit diperoleh. Pengetahuan dunia luar tentang tanah

Batak terutama terdiri atas laporan-laporan perjalanan (ekspedisi) yang secara sporadis dan

terutama terdiri atas laporan lisan, baik yang dilakukan oleh orang luar dan orang Batak sendiri.

(28)

Menurut penelitaian Parkin (1978), orang Batak dapat lebih mudah menerima agama Kristen

karena mereka sudah terlebih dahulu mendapat pengaruh agama Hindu (“Hindu thought”) yang

memperlihatkan adanya unsur-unsur yang mereka kenal dalam agama Hindu dan telah

mempengaruhi agama mereka sebelumnya, memiliki kemiripan dengan agama Kristen. Dengan

kata lain, pengaruh Hindu itu semacam “preparation evangelium” (Parkin, 1978).38

Dengan masuknya para penjajah ke tanah Batak seakan membuka kehidupan baru bagi

bangsa Batak. Bangsa Batak yang dahulu masih di dalam “kegelapan”, kini telah sedikit berubah

dan siap menuju era modernisasi. Meskipun penjajahan sangatlah dikecam, namun tidak dapat

dipungkiri bahwa dengan adanya penjajahan akan memberikan dampak baik secara moril

maupun materil. Penjajahan di tanah batak sangatlah membantu para misionar, untuk bisa

mengabarkan injil keselamatan bagi bangsa Batak yang masih hidup di dalam kegelapan.

Para misionaris yang datang ke tanah Batak, berhasil membawa keluar bangsa batak menuju

terang. Perubahan pun banyak terjadi mulai dari kekerabatan, hukum serta agama juga

mengalami perubahan. Bangsa Batak yang dahulu hidup dalam masa kegelapan, yang masih

percaya kepada dukun dan dewa-dewa, kini berubah mereka telah mau masuk Kristen dan

memilih Yesus sebagai Juruselamatnya. Di dalam kehidupan sehari-hari juga bangsa Batak

banyak mengalami perubahan, yang dahulu masih tertutup akan keberadaan orang baru kini

menjadi terbuka. Dan sistem perbudakan juga telah hilang, bangsa Batak telah menyadai bahwa

setiap manusia itu adalah sama, yaitu merupakan mahkluk ciptaan Tuhan. Kehidupan beragama

juga berubah, bangsa Batak sudah mau untuk beribadah di hari minggu, dan mengadakan

pertemuan-pertemuan ibadah di hari lainnya. Meskipun perubahan itu tidaklah drastis langsung

(29)

berubah dalam segi kehidupan bangsa batak, namun perubahan itu telah membuat bangsa batak

hidup dalam menuju kebaikan, dan telah siap untuk berubah kepada yang lebih baik lagi.

2.8. Kesimpulan Bab II

Perkembangan paradigma misi yang terus berkembang dan mengalami berbagai pergeseran

baik pada pemahaman dan praktek dalam sejarah, sampai pada pasca modern memberikan arti

dan peran yang mendalam bahwa misi itu pada hakekatnya adalah misi Allah, dan gereja hanya

sebagai alat. Karena penggenapan misi itu ada di dalam terang kerjasama Allah dan manusia.

Dengan demikian misi adalah bagaimana gereja menjawab tanggungjawabnya. Melalui

panggilannya di manapun gereja berada untuk melakukan sebuah transformasi jemaat dan

masyarakat secara luas tanpa menjatuhkan dan mengganggu siapapun dengan bahasa kasih yang

diterjemahkan dalam praktek hidup sehari-hari sebagai wujud partisipasi dalam keselamatan dan

tanggungjawab menghadirkan kerajaan Allah ditengah dunia.

Pada pemahaman-pemahaman yang telah dikemukakan baik itu misi penginjilan, yang selalu

mengingatkan dan menekankan pemberitaan firman dalam konteks, maupun komunitas kristen

yang cenderung sangat tekstual dalam kitab suci, untuk pekabaran injil, maupun dengan aksi

sosial sebagai pendukungnya yang bentuk konkritnya masih terus dalam pergumulan terutama

dalam kehidupan orang percaya. Dalam konteks dan mengkontekstualisasikan berdasarkan

Alkitab merupakan kelemahan yang konkrit dari paradigma misi Penginjilan. Karena jika semua

orang berhasil menjadi kristen, perlu dipertanyakan kualitas kekristenannya yang merupakan

proses belajar seumur hidup.

Pemahaman dan praktek misi yang telah berkembang hingga menjangkau tanah Batak

(30)

yang datang ke tanah Batak, boleh dikatakan sangat berhasil. Hal ini dikarenakan, bangsa barat

yang belum mengenal sama sekali tanah Batak, namun berani datang dan merubah kehidupan

bangsa Batak. Masyarakat Batak yang pada awalnya belum “terjamah” akan perubahan kini

dapat berubah. Dalam segi kehidupan masyarakat Batak pada zaman dahulu tentu misi yang

dikerjakan oleh bangsa barat sangatlah berat. Namun dengan kegigihan bangsa barat, maka

masyarakat batak dapat merasakan misi yang dari Allah.

Berbagai pemahaman dan praktek misi dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat Batak,

yaitu;

1. Misi Sebagai Misio Dei

Dalam hal ini Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran

misi yang luas. Tanah Batak sebagai ladang misi tentu mendapatkan Terang Ilahi dari

para Pekerja misi. Allah sebagi sumber misi, tentu telah menetapkan ataupun

menggambarkan bangsa Batak harus mendapatkan pencerahan dan hidup dari Terang

Allah.

2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan

Pada misi para misionaris yang datang ke tanah Batak tentu saja harus berhadapan

pada tetua-tetua adat (raja) yang ada di tanah batak. Mereka datang kepada raja-raja

tersebut untuk minta izin agar bisa menetap di tanah Batak, namun seiring perjalan

waktu para misionaris tentu melihat banyaknya kejanggalan-kejanggalan yang terjadi

dalam kehidupan masyrakat batak tersebut. Dan tentu saja para raja tersebut mendapat

kritik dan ajaran hidup yang benar, yang sesuai dengan Firman Allah. Maka dalam

(31)

dengan lancar, karena para misionaris melakukan perubahan hidup didalam kehidupan

bermasyakat orang Batak.

3. Misi Sebagai Kontekstualisasi

Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal.

Dalam defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus

dipribumikan. Pemahaman orang Batak tentang Debata Mulajadi Na Bolon, masih

seperti pada agama suku, akibatnya pemahaman orang Batak tentang Injil tidak

mendasar karena pengaruh agama suku dan adat Batak.39 Pertentangan batiniah pada orang Batak oleh karena mereka dengan jelas menyadari adanya suatu Tuhan yang

Mahatinggi yang menciptakan dunia, sehingga kekristenan orang Batak menurut

Lothar Schreiner, masih turun-temurun dari orangtua kepada anak,40 akibatnya banyak orang Batak Kristen bukan Kristen Batak, yang hubungan orang meninggal dengan orang hidup tidak pernah terputus. Karena orang Batak pada zaman dahulu masih

sering memuja orang yang sudah mati.

Persoalan selanjutnya, apakah suku Batak dulu hanya menerima Injil hanya sebatas

pergantian nama, tanpa mengerti akan makna dan isi daripada ajaran keristenan

tersebut? Pertanyaan ini sampai saat ini masih terus dilontarkan, sebab pada prinsipnya

orang Batak masih mengutamakan budayanya daripada agamanya, artinya kebudayaan

39 Krisis HKBP, Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila (Pearaja: Tarutung, 1995), 22

(32)

atau adat-istiadat lebih dijunjung tinggi dari pada agama. Pendapat ini tentu

mempunyai alasan yang sangat kuat, sebab sebelum keKristenan sampai ke tanah

Batak, orang Batak telah hidup dalam adat yang kuat, sehingga kehadiran para

missionar Pendeta Burton dan Pendeta Ward dari gereja Babtis Inggris, pada tahun

1824 tidak mendapat tempat, karena orang Batak mencurigai kehadiran mereka untuk

merusak tatanan adat telah baik dan baku.41 Namun pada sisi lain, harus diakui bahwa Injil banyak membawa perubahan, pada suku Batak, di mana yang sebelumnya suku

batak tertutup pada dunia luar, tetapi dengan hadirnya Injil, suku Batak kini mengenal

dunia luar melalui pendidikan.

4. Misi Sebagai Pembebasan

Pembebasan orang Batak dari hidup kegelapan tentu merupakan langkah awal bagi

kehidupan orang batak selanjutnya. Para misionaris berhasil membebaskan orang

batak dari kuasa kegelapan, dari kehidupan perbudakan menjadi manusia bebas, dan

berhasil memperkenalkan kehidupan baru, kehidupan yang bersifat modern.

5. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain.

Misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat keberagaman

agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana

(33)

menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi. Masyarakat Batak yang

sebelumnya beragama suku, yaitu Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan

pengabdian yang sunguh-sungguh, sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh

untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti nama Parmalim. Parmalim berasal dari

kata “Par” sebagai awalan, dan “Malim” yang artinya dalam segala kesucian badan

dan rohani.42 Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Sang Khalik Besar), dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah

keluarga Raja Sisingamangaraja.43 6. Misi Sebagai Teologi

Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan

misi gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai

ladang misi, dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang

keilmuan tentunya misi yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah

tidak hanya terbatas pada pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa

melainkan misiologi adalah upaya berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah

bidang ilmu yang melihat tanah batak sebagai lahan berteologi dengan memperhatikan

keadaan lingkungan disekitarnya.

42T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74

Referensi

Dokumen terkait

keberagaman tersebut, gereja ada dalam upaya untuk membekali dan membina warga gereja.. dengan berbagai doktrin-doktrin untuk dapat mengarahkan warga gereja dalam

yang hangat dalam komunikasi antara perawat dengan pasien.. akan menunjukan rasa penerimaan perawat terhadap

2 Dengan kata lain, model pembelajaran adalah suatu acuan atau rencana yang digunakan dalam proses belajar mengajar yang.. melibatkan anak

diterapkan oleh GPIB dan GSJA termasuk dalam pendekatan yang berpusat pada anak 13. Anak menjadi titik tolak diadakannya kebaktian SM dengan kata lain anak

prinsip-prinsip strict liability dalam sistem hukum lingkungan hidup di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Di Indonesia, konsep strict liability ini dalam hukum positif (Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dikenal dengan

Petani merupakan salah satu aset yang sangat besar dalam meningkatkan perkembangan ekonomi Negara Indonesia. Para petani tentu tidak bekerja sendiri, melainkan bekerjasama

Memberikan kesimpulan bahwa dalam pengujian speed test yang penulisan lakukan memberikan hasil bahwa lebih cepat dari Linux ke Windows atau ambil dari Windows