• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETERMINAN KINERJA ANGGARAN BELANJA PENDIDIKAN PADA KABUPATEN/KOTA DI ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETERMINAN KINERJA ANGGARAN BELANJA PENDIDIKAN PADA KABUPATEN/KOTA DI ACEH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

149 Jurnal Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi ISSN : 2442 - 9708 (Online) Vol. 19 No. 2 September 2019 :149-166 ISSN : 1411 - 8831 (Print) Doi: http://dx.doi.org/10.25105/mraai.v19i2.3253

DETERMINAN KINERJA ANGGARAN BELANJA PENDIDIKAN PADA KABUPATEN/KOTA DI ACEH Syukriy Abdullah1* Mulia Saputra2 Dara Fazella3 Hasnawati4 Aulia Afridzal5

1,2,3Universitas Syiah Kuala 4STKIP Bina Bangsa Meulaboh 5STKIP Bina Bangsa Getsempena

*syukriyabdullah@unsyiah.ac.id

Abstract

The purpose of this research is to examine the determinants of the Education Budget Performance in Aceh, namely Local Financial Independence, Last Year Budget Balance, Government Size, and Local Revenue Growth using data from districts and cities in Aceh for year 2011-2015. The results of the study show that Local Financial Independence and Last Year Budget Balance has a negative effect on Education Budget Performance, while the other two variables have no effect.

Keywords: Budget Performance; Education Spending Limits; Local Government Budget; Local Government Size; Regulatory Compliance.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah menguji determinan Kinerja Anggaran Pendidikan di Aceh, yakni Kemandirian Keuangan Daerah, Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya, Besaran Pemerintah Daerah, dan Pertumbuhan Pendapatan Daerah dengan menggunakan data kabupaten dan kota di Aceh untuk tahun 2011-2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kemandirian Keuangan Daerah, Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya berpengaruh negatif terhadap Kinerja Anggaran Pendidikan, sedangkan dua variabel lainnya tidak berpengaruh.

Kata Kunci: Alokasi Minimal; APBD; Belanja Pendidikan; Kepatuhan Atas Peraturan Perundangan; Otonomi Daerah.

JEL Classification : H52 H72 H83

Submission date: September 2018 Accepted date: Agustus 2019

(2)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

150

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan tanggung jawab Negara kepada rakyatnya, sehingga untuk memenuhi kewajiban ini Negara mewajibkan adanya alokasi sumber daya dalam anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebesar 20 persen untuk Pendidikan.2Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Pasal 31 Ayat (4) dengan tegas menyatakan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran APBN serta dari APBD3 untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Oleh karena itu, kinerja anggaran untuk Pendidikan penting untuk dianalisis, terutama pada pemerintah daerah.

Proses pengalokasian sumber daya daerah ke dalam belanja pendidikan minimal 20 persen dalam APBD bukanlah persoalan sederhana mengingat adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki daerah (Fahlevi, et al., 2018), terlebih lagi adanya kepentingan politik yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan publik di DPRD (Abdullah, 2012a). Karakteristik daerah yang berbeda menyebabkan prioritas penggunaan anggaran juga berbeda, termasuk adanya daerah yang tidak membutuhkan alokasi mencapai 20 persen tersebut (Indah, et al., 2017). Fatmayanti (2017) menemukan bahwa kepatuhan Pemda dalam pengalokasian belanja pendidikan tidak merata pada seluruh kabupaten dan kota di Aceh.

Pemenuhan atas perintah UUD 1945 dan UU No.20/2003 tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Pemerintah daerah kabupaten/kota dan provinsi tidak dapat menghindar karena sebelum penetapan APBD dengan peraturan daerah (Perda), rancangan Perda tentang APBD terlebih dahulu harus dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri atau pemerintah provinsi. Salah satu yang harus dipastikan adalah kecukupan anggaran untuk belanja Pendidikan. Menurut Fahlevi, et al. (2018), kebijakan ini merupakan suatu bentuk intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan sering tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah.

Investasi pada sektor pendidikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebuah negara (Jalil dan Idrees, 2013). Mukherjee (2007) menyatakan bahwa intervensi terhadap Pendidikan disebabkan oleh tiga alasan, yakni (a) peningkatan pendapatan masyarakat dalam jangka panjang, (b) pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dan (c) penurunan tingkat kemiskinan, serta meningkatkan kualitas SDM (Jabbar dan Selvaratnam, 2017). Hasil studi PECAPP (Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program) pada tahun 2014 menemukan bahwa belanja pendidikan yang tinggi di Aceh tidak berkorelasi dengan kualitas pendidikan. Penurunan dalam kualitas outcome pendidikan di saat belanja pendidikan meningkat berkaitan dengan ambiguitas dalam penentuan determinan outcomes pendidikan (Boateng, 2014) dan adanya penyalahgunaan anggaran (Keefer dan Khemani, 2005).

Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh Kemandirian Daerah (KD), Sisa Anggaran (SA), Besaran Pemda (BP) dan Pertumbuhan Pendapatan Daerah (PPD) terhadap Serapan Anggaran Belanja Pendidikan (SABP) di Aceh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa KD dan SA berpengaruh negatif terhadap SABP, sedangkan

2Pasal 49 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

3Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sering disingkat APBD di Aceh disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) untuk provinsi Aceh atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK) untuk kabupaten dan kota.

(3)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

151 variabel BP dan PPD tidak berpengaruh. Hasil ini merupakan bukti baru bahwa Pemda harus mengalokasikan sumber daya lebih cermat untuk pembiayaan Pendidikan, sehingga kinerja anggaran belanja Pendidikan dapat sejalan dengan capaian output dan outcome yang ditetapkan. Penelitian ini memberikan fondasi awal untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kenerja atau serapan anggaran Pendidikan dari perspektif keagenan.

REVIU LITERATUR DAN HIPOTESIS

Agency Theory dalam Penganggaran Publik

Hubungan keagenan dalam proses penyusunan anggaran di pemerintahan terjadi antara eksekutif (sebagai agent) dan legislatif (sebagai principal) (Moe, 1984; Abdullah, 2012a). Abdullah dan Halim (2006) menjelaskan beberapa bentuk realisasi perilaku oportunistik eksekutif dalam pengusulan belanja, yakni: (1) mengusulkan kegiatan yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas; (2) mengusulkan kegiatan yang memiliki lucrative opportunities yang besar; (3) mengalokasikan komponen belanja yang tidak penting dalam suatu kegiatan; (4) mengusulkan jumlah belanja yang terlalu besar untuk komponen belanja dan anggaran setiap kegiatan; dan (5) memperbesar anggaran untuk kegiatan yang sulit diukur hasilnya.

Fenomena usulan belanja yang digelembungkan juga dilakukan oleh unit kerja (agency) yang menjadi pelaksana atau operasional dari kegiatan di pemerintahan (Abdullah dan Halim, 2006). Niskanen (1971, dalam Blain dan Dion, 1990) menyebut agency ini sebagai budget maximizer. Penggelembungan anggaran dapat terjadi dalam proses penyusunan anggaran murni dan perubahan, karena esensi kedua jenis anggaran ini tidak berbeda (Anessi-Pessina, et al. 2012). Oleh karena itu, besaran varian anggaran belanja pada saat realisasi secara implisit mencerminkan output dari mark-up alokasi anggaran saat penetapannya (Smith dan Berrtozzi, 1998; Abdullah dan Nazry, 2015). Selain itu, budget ratcheting juga terjadi, sebagai cara untuk memudahkan dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran oleh agency (Abdullah dan Junita, 2016).

Anggaran dan Penganggaran Belanja Pendidikan

Anggaran merupakan dokumen terpenting dalam pengelolaan keuangan di pemerintahan, termasuk pemerintah daerah, sedangkan penganggaran adalah proses untuk menyusun anggaran (Abdullah, 2018). Anggaran belanja daerah yang telah ditetapkan menjadi landasan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan publik sekaligus menunjukkan prioritas pemerintah dalam menggunakan dana-dana publik, termasuk dalam bidang pendidikan, untuk satu periode anggaran, yang biasanya satu tahun. Menurut Cuéllar (2014), belanja publik merupakan mekanisme terpenting dalam meningkatkan output dan tingkat pendidikan masyarakat. Namun, terjadi gap sangat besar antara output yang ditetapkan secara ambisius dan kondisi awal kebijakan pendidikan, terutama karena tidak terhubungkannya dengan baik besaran sumber daya yang digunakan dengan hutang di masa lalu, kebutuhan, dan tujuan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Setiawan dan Rizkiah (2017) menyatakan bahwa penganggaran pemerintah sangat terkait dengan siklus politik, yakni periode menjelang, saat, dan pasca pemilihan umum. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya bias dan misalokasi dalam anggaran publik (Larkey dan Smith, 1989; Jones dan Euske, 1991; Abdullah dan Halim, 2006), seperti perilaku oportunis legislator terjadi dalam pembahasan rancangan anggaran pemerintah daerah di DPRD; Abdullah, 2012a).Unit kerja pemerintah (agency)

(4)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

152

sendiri sejak awal diidentifikasi sebagai organisasi yang senantiasa memaksimalkan anggarannya untuk memperoleh benefit tertentu (Blais dan Dion, 1990), sehingga sering terjadi varian anggaran dan kegiatan lanjutan yang menjadi sisa anggaran pada akhir tahun (Abdullah, et al., 2018).

Alokasi anggaran untuk sektor pendidikan merupakan faktor penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemberantasan kemiskinan, dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat (Hanushek dan Wossman, 2007). Namun, tidak selalu penganggaran untuk pendidikan berjalan dengan baik dan sesuai dengan aturan, sehingga bisa efektif dan efisien dalam penyelenggaraannya (Dufrechou, 2016), bahkan suatu alokasi untuk pendidikan sering terkait dengan praktik korupsi (Haquedan Kneller, 2015). Ablo dan Reinikka (1998) menemukan adanya misalokasi dan misrepresentasi dalam anggaran pemerintah, yang dapat mempengaruhi outcomes pendidikan dalam jangka panjang. Menurut mereka, alokasi anggaran pendidikan sering misleading dalam menjelaskan outcomes dan pembuatan kebijakan publik ketika aspek kelembagaannya lemah, terutama di negara-negara Afrika.

Perilaku budget actor dalam pengusulan alokasi sumber daya dalam anggaran cenderung oportunistik (Abdullah dan Halim, 2006; Junita dan Abdullah, 2016; Junita, 2018). Beberapa aspek dalam proses penganggaran membuka ruang untuk hal ini terjadi (Abdullah, 2012), seperti (1) kewenangan legislative (DPRD) untuk mengubah usulan dari eksekutif sebelum penetapan APBD yang tercantum dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara; (2) tidak menggunakan standar biaya yang dapat dikaitan dengan beban kerja; dan (3) evaluasi yang longgar dalam pengusulan dan pelaksanaan kegiatan.

Kinerja Anggaran Pendidikan

Kinerja anggaran dapat diartikan sebagai pencapaian atas target-target anggaran yang telah ditetapkan. Penetapan target kinerja anggaran didasarkan pada perhitungan yang sistematis melalui proses perencanaan dengan pendekatan teknokratik, top down, bottom up, partisipatif, dan politik, serta didasarkan pada kebutuhan dan kondisi daerah pada saat penentuan prioritasnya (Abdullah, 2018). Kinerja anggaran menjadi ukuran keberhasilan pemerintah daerah dan unit kerja di dalamnya dalam menyelenggarakan tugas dan fungsinya terkait dengan pengorbanan atas sumber daya publik untuk pencapaian tersebut.

Menurut Mayper, et al. (1991), budget variance dapat digunakan sebagai indikator dari kinerja anggaran, baik untuk menilai kualitas pelaksanaan maupun perencanaan atau peramalannya. Varians anggaran dapat terjadi untuk semua komponen anggaran pemerintah daerah, yakni pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Varians belanja menunjukkan selisih antara target dengan realisasi anggaran atau antara alokasi sumber daya yang direncanakan dengan sumber daya yang terpakai selama satu periode anggaran.

Varians belanja terjadi karena adanya ketidaksempurnaan dalam memprediksi kebutuhan anggaran. Selain karena kelemahan sumber daya manusia dalam berprediksi dalam kondisi tidak pasti (uncertainty), forecast error atau bias dapat terjadi karena adanya perilaku peramal/penyusun anggaran yang mengharapkan anggaran tidak akurat. Aspek keperilakuan ini sangat penting dalam penganggaran publik, terutama karena memiliki kaitan dengan kepentingan individu dan politik (Jones danEuske, 1991; Abdullah, 2012a).

Kinerja anggaran pendidikan memiliki keterkaitan dengan standar atau pedoman yang mengaturnya. UU dan PP yang mengatur tentang pendidikan nasional telah menetapkan 20% alokasi anggaran belanja dialokasikan untuk pendidikan.

(5)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

153 Pencapaian realisasi atas alokasi minimal ini merupakan capaian kinerja anggaran yang sangat penting untuk dikaitkan dengan capaian atau outcomes dari program/kebijakan pembangunan daerah. Perealisasian atas batas alokasi minimal ini merupakan suatu bentuk kepatuhan pemerintah daerah terhadap amanat UUD 1945 sekaligus merupakan bagian penting dari pengukuran kinerja di pelayanan publik, khususnya sektor pendidikan (Fahlevi, et al., 2017; Fahlevi, 2018).

Pengaruh Kemandirian Daerah terhadap Serapan Anggaran Pendidikan

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia berdasarkan UU No. 33/19994 dan UU No. 17/20035 telah menempatkan pemerintah daerah pada posisi yang lebih mandiri dalam pengambilan keputusan untuk pengelolaan keuangannya. Tindak lanjut dari kedua UU ini adalah PP No. 58/20056 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah (Perda) dan peraturan kepala daerah (Perkada) dalam penganggaran, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan keuangan daerah. Oleh karena itu, kemandirian daerah dalam pengelolaan keuangan merupakan sebuah keniscayaan sebagai akibat dari penerapan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di Indonesia (Junita dan Abdullah, 2016). Wujud dari kemandirian keuangan daerah adalah adanya upaya untuk meningkatkan penerimaan daerah dari pendapatan asli daerah (PAD), terutama dalam bentuk pajak daerah dan retribusi daerah.

Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan Pemda dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan dana yang diperoleh dengan upaya sendiri (Halim, 2002). Secara rata-rata nasional, kemandirian daerah di Indonesia relatif rendah bila diukur dari persentase pendapatan asli daerah (PAD) terhadap total belanja daerah (yang mencerminkan beban anggaran untuk penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan dan pelayanan publik).

Hasil penelitian Haq (2017) menunjukkan bahwa kontribusi PAD terhadap belanja daerah sesudah otonomi daerah secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Sedangkan untuk pertumbuhan PAD sesudah otonomi daerah secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Menurut Haq (2017), penurunan kontribusi PAD terjadi karena setelah otonomi daerah, pemerintah daerah cenderung lebih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) daripada penggunaan PADnya.

Hasil penelitian Fazella (2016) menemukan bahwa kemandirian daerah berpengaruh negatif terhadap kepatuhan Pemda dalam pengalokasian belanja wajib bidang pendidikan, namun tidak menemukan adanya pengaruh sisa anggaran dan ukuran Pemda terhadap kepatuhan Pemda dalam pengalokasian belanja untuk bidang pendidikan. Hipotesis tentang pengaruh kemandirian daerah terhadap serapan anggaran pendidikan dapat dinyatakan seperti berikut:

H1: Kemandirian Daerah berpengaruh terhadap Serapan Anggaran Pendidikan.

Pengaruh Sisa Anggaran terhadap Serapan Anggaran Pendidikan

Sisa anggaran tahun lalu (SiLPA) adalah aliran kas masuk bagi pemerintah daerah pada awal tahun anggaran yang diakui sebagai bagian dari penerimaan dalam anggaran pembiayaan daerah (Abdullah, 2013b). Sisa anggaran adalah dana milik pemda

4 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 5 Tentang Keuangan Negara.

(6)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

154

yang belum terpakai selama satu tahun anggaran atau masih tersisa pada akhir tahun anggaran. SiLPA dapat meliputi dana yang belum ada peruntukkannya pada tahun anggaran berkenaan dan sudah terikat dengan kegiatan lanjutan yang anggarannya sudah ditetapkan pada tahun sebelumnya.

SiLPA berbeda dengan SILPA. Jika SiLPA diartikan sama dengan sisa dana yang bersumber dari APBD, maka SILPA realisasian pada akhir tahun anggaran n akan menjadi anggaran SiLPA pada tahun anggaran berikutnya (n+1). Hal ini bermakna bahwa SiLPA pada akhir tahun merupakan penerimaan pada tahun anggaran berikutnya dan menjadi sumber dana untuk pelaksanaan kegiatan di tahun berikutnya tersebut.7

Dana yang bersumber dari SiLPA dapat digunakan untuk menutup defisit anggaran (terjadi ketika realisasi pendapatan lebih kecil dari realisasi belanja), membiayai pelaksanaan kegiatan lanjutan, dan membayar kewajiban lain yang tidak dapat direalisasikan sampai akhir tahun anggaran sebelumnya.8 SiLPA dapat bersumber dari pelampauan atas target penerimaan PAD, transfer, lain-lain pendapatan daerah yang sah, dan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.9

Penelitian Abdullah, et al. (2018) menunjukkan bahwa SiLPA berpengaruh negatif terhadap serapan anggaran. Hal ini bermakna bahwa semakin besar jumlah sisa anggaran tahun sebelumnya akan menambah beban Pemda untuk merealisasikan anggaran belanja, sehingga semakin besar kemungkinan untuk tidak terserap seluruhnya. Kegiatan yang dibiayai dari SiLPA dalam anggaran murni (initial budget) merupakan kegiatan yang belum selesai di tahun anggaran sebelumnya sehingga dilanjutkan pelaksanaannya di tahun anggaran berjalan untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. Oleh karena kegiatan lanjutan ini sudah tersedia dananya (dari SiLPA) dan telah ditetapkan target kinerjanya pada tahun anggaran sebelumnya, maka pada awal tahun anggaran “dapat dilaksanakan tanpa syarat”. Artinya, kegiatan lanjutan tersebut dapat dilaksanakan tanpa terkait dengan penetapan anggaran tahun berjalan yang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Keberadaan SiLPA akan menambah pagu anggaran belanja tahun berjalan karena penentuan anggaran belanja bersifat incremental atau cenderung mengalami peningkatan dari anggaran tahun sebelumnya. SiLPA membawa beban pekerjaan tahun sebelumnya ke tahun berjalan. Semakin besar SiLPA pemerintah daerah pada suatu tahun anggaran, maka daya serap anggaran pemerintah daerah bersangkutan pada tahun anggaran berjalan akan semakin rendah. Berdasarkan pemahaman ini, maka hipotesis kedua dapat dinyatakan seperti berikut:

H2: Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya berpengaruh terhadap Serapan Anggaran Pendidikan.

Pengaruh Besaran Pemerintah Daerah terhadap Serapan Anggaran Pendidikan

Besaran pemerintah (government size) merupakan faktor penting dalam pembuatan kebijakan pembangunan dan pelayanan publik di pemerintahan, termasuk pemerintahan daerah. Besaran pemerintah daerah menggambarkan seberapa besar beban tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk memberikan pelayakan kepada masyarakat dan menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan. Beberapa penelitian menggunakan total belanja pemerintah sebagai indikator besaran

7Pasal 60 angka 1a Permendagri No.13/2006 dan Pasal 28 angka 2a PP No.58/2005. 8Pasal 137 Permendagri No. 13/2006.

(7)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

155 pemerintah, baik untuk pemerintah pusat/federal, maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Jetter dan Parmeter (2017) menyatakan bahwa urbanisasi memiliki dampak terhadap pembesaran pemerintah. Populasi penduduk mencerminkan besaran beban tanggungjawab yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, sehingga semakin besar jumlah penduduk akan semakin besar belanja pemerintah yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan dan penyediaan fasilitas publik. Pada akhirnya, besaran anggaran terkait dengan defisit anggaran, yang secara empiris berpengaruh penting terhadap belanja pendidikan (Poterba, 1997; Jabbar dan Selvaratnam, 2017). Dollery, et al. (2008) dan Drew, et al. (2014) juga menggunakan populasi sebagai proxy pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah.

Aspek demografi atau jumlah penduduk/populasi merupakan faktor penting dalam pengalokasian sumber daya pada pemerintah daerah (Poterba, 1997; Drew, et al., 2014; Wati dan Fajar, 2017). Selain menjadi faktor penting dalam formula penentuan DAU, aspek kependudukan juga menjadi penentuan belanja sektoral yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik, termasuk alokasi untuk pendidikan (Ablo dan Reinikka, 1999), dan siklus politik anggaran (Setyawan dan Rizkiah, 2017), serta perilaku oportunis anggota parlemen (Abdullah, 2012a).

Hipotesis tentang pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah terhadap Serapan Anggaran Pendidikan dapat dinyatakan sebagai berikut:

H3: Ukuran Pemerintah Daerah berpengaruh terhadap Serapan Anggaran Pendidikan

Pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Daerah terhadap Serapan Anggaran Pendidikan

Pendapatan daerah merupakan sumber utama bagi pembiayaan operasional dan pelayanan publik pemerintah daerah. Kebutuhan masyakarat akan pelayanan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan inflasi yang terjadi terus menerus, serta variasi pelayanan publik yang semakin besar. Perilaku budget actors dalam mengalokasikan anggaran sering menimbulkan flypaper effect (Abdullah dan Halim, 2003; Rahmawati dan Suryono, 2015), yakni perbedaan respon belanja terhadap sumber pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan sendiri dengan yang diberikan oleh pemerintah atasan (grants).

Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia memberi kewenangan besar kepada pemerintah daerah untuk memungut pendapatan yang bersumber dari potensi yang ada di daerah, terutama berupa pajak dan retribusi.10 Pendapatan sendiri ini menjadi sumber penting untuk mendanai kegiatan yang bersifat lokal dan berhubungan langsung dengan pelayanan publik, termasuk untuk pendidikan (Jabbar dan Selvaratnam, 2017).

Pertumbuhan pendapatan dapat dilihat dari kemampuan Pemda dalam mempertahankan atau meningkatkan realisasian pendapatan dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan menggambarkan kemampuan Pemda dalam mempertahankan kapasitas pelayanan publik. Analisis pertumbuhan pendapatan bermanfaat untuk mengetahui kapasitas pembiayaan pemerintah daerah dan jika terjadi penurunan pertumbuhan pendapatan dan harus dicari penyebabnya (Mahmudi, 2010:138).

Ketika pendapatan Pemda bertumbuh, maka ruang untuk mengalokasikan sumber daya ke dalam belanja semakin terbuka. Pertumbuhan pendapatan berkaitan dengan pertumbuhan infrastruktur dan pelayanan publik untuk pendidikan (Faguet dan

(8)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

156

Sanchez, 2008). Besaran alokasi wajib sesuai ketentuan pemerintah juga akan semakin besar, walaupun dengan persentase tetap. Artinya, pertumbuhan pendapatan akan menyebabkan tingkat kepatuhan Pemda akan semakin baik, karena patokan target alokasi untuk tahun berjalan cenderung meniru anggaran atau target tahun sebelumnya (Junita dan Abdullah, 2016) dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintahan pada level yang lebih tinggi (Fahlevi, et al., 2018).

Hipotesis tentang pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Daerah terhadap Serapan Anggaran Pendidikan dapat dinyatakan sebagai berikut:

H3: Pertumbuhan Pendapatan Daerah berpengaruh terhadap Serapan Anggaran Pendidikan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari dokumen anggaran (APBD) dan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) yang telah diaudit BPK RI untuk kabupaten dan kota di provinsi Aceh selama periode 2012-2015. Pemilihan sampel berupa kabupaten dan kota di Aceh didasarkan pada beberapa kriteria, yakni: (1) kabupaten dan kota di Aceh menerima manfaat dari pengalokasian dana otonomi khusus dan TDBH (Tambahan Dana Bagi Hasil) minyak dan gas Aceh yang dapat menggantikan kebutuhan sumber daya dari DAU atau PAD untuk membiayai kegiatan yang nilainya besar; (2) mengakui Zakat sebagai PAD yang ditetapkan dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, sehingga menambah beban anggaran Pemda dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan penerima zakat; dan (3) data tersedia lengkap.

Penelitian ini bersifat kausalitas, yakni untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi serapan anggaran bidang pendidikan pada pemerintah daerah. Oleh karena itu digunakan model regresi linear berganda.

Variabel penelitian adalah sebagai berikut:

Serapan Anggaran Belanja Pendidikan (BABP) adalah kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan melalui perealisasian atas anggaran belanja pendidikan yang diwajibkan minimal 20 persen dari total anggaran belanja. Variabel ini diukur dari besaran persentase realisasi belanja pendidikan terhadap alokasi anggarannya, yang tercantum dalam laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran daerah (Qanun Pertanggungjawaban APBK).

Kemandirian Daerah (KD) menggambarkan kemampuan daerah dalam membiayai kebutuhannya melalui sumber daya yang bersifat bebas dan sangat bergantung pada diskresi Pemda sendiri. Variabel ini diukur dengan menggunakan angka rasio yang merupakan perbandingan antara pendapatan asli daerah (PAD) dengan seluruh penerimaan daerah di luar PAD.

Sisa Anggaran (SA) merupakan varian anggaran tahun sebelumnya, yakni SiLPA (sisa lebih perhitungan anggaran) yang menjadi beban dalam tahun berjalan untuk digunakan dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan, baik yang bersifat lanjutan maupun kegiatan baru. Variabel ini diukur dengan menggunakan rasio yang membandingkan SiLPA dengan total pendapatan daerah.

Besaran Pemerintah Daerah (BP) menggambarkan cakupan wilayah, kewenangan dan masyarakat yang dilayani oleh pemerintah daerah, khususnya

(9)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

157 dalam bidang pendidikan. Semakin besar ukuran Pemda, maka semakin luas cakupan kewenangan dan semakin besar beban yang harus dipertanggungjawabkan oleh Pemda. Variabel ini diukur dengan menggunakan angka jumlah penduduk atau populasi (Jetter dan Parmeter, 2017).

Pertumbuhan Pendapatan Daerah (PPD) mencerminkan keleluasaan Pemda dalam membiayai kebutuhannya yang semakin bertambah. Semakin tinggi pertumbuhan pendapatan maka akan semakin mudah mengalokasikan sumber daya ke dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas pemda. Variabel ini diukur dengan menggunakan angka persentase pertumbuhan pendapatan daerah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Statistik Deskriptif dan Hasil Uji Asumsi Klasik

Hasil statistik deskriptif diperlihatkan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1 Statistik deskriptif

No Nama Variabel Valid

(N) Minimum Maksimum Rata-rata

Simpangan Baku

1. Kemandirian Daerah (KD) 92 0,02 0,25 0,0855 0,05052 2. Sisa Anggaran (SA) 92 0,00 0,15 0,0493 0,03788 3. Besaran Pemda (BP) 92 4,50 5,77 5,2360 0,28870 4. Pertumbuhan Pendapatan

Daerah (PPD)

92 -0,00 0,41 0,1758 0,18196

5. Serapan Anggaran Belanja Pendidikan (SABP)

92 0,03 0,49 0,2772 0,10322

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata untuk variabel KD adalah 0,0855, SA sebesar 0.0493, BP sebesar 5,2360, dan PPD sebesar 0,1758, serta SABP sebesar 0,2772. Simpangan baku masing-masing variabel adalah KD adalah 0,05052, SA sebesar 0,03788, BP sebesar 0,28870, dan PPD sebesar 0,18196, serta SABP sebesar 0,10322.

Hasil uji asumsi klasik menunjukkan bahwa: (1) data berdistribusi normal, karena nilai Asymp. Sig. (2-tailed) > 0,05; (2) Model regresi yang digunakan bebas dari multikolinieritas karena nilai tolerance > 0,10 dan VIF < 10; (3) grafik Scatterplot menunjukkan tidak ada pola yang terbentuk dengan jelas dan titik-titik tersebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y; dan (4) Nilai DW = 2,119 berada di dalam rentang atau tidak terjadi autokorelasi.

Hasil Regresi

Hasil pengujian statistik terkait pengaruh variabel Kemandirian Daerah (KD), Sisa Anggaran (SA), Besaran Pemda (BP) dan Pertumbuhan Pendapatan Daerah (PPD) terhadap Serapan Anggaran Belanja Pendidikan (SABP) di Aceh dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

(10)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

158

Tabel 2

Hasil Regresi Linier Berganda

SABP = 0,029 – 0,603KD – 0,554SA + 0,063BP – 0,017PPD + e t-value 0,131 -2,491 -1,835 1,498 -0,302 Sig. value 0,896 0,015* 0,070** 0,138 0,763 R = 0,407R2 = 0,166 Adj. R2= 0,127 F-value = 0,127Sig. = 0,09643 *Signifikan pada α = 5%. ** Signifikan pada α = 10%.

Secara Bersama-sama, variasi pada semua variabel bebas dapat menjelaskan variasi pada varibel terikat sebesar 16,60% (koefisien determinasi atau R2). Pengaruh ini

secara statistik dinyatakan signifikan pada derajat signifikansi 0,01 atau α=10%. Nilai konstanta sebesar 0,029 bermakna bahwa jika kemandirian daerah, sisa anggaran, ukuran Pemda dan pertumbuhan pendapatan daerah dianggap konstan, maka kinerja anggaran pendidikan Pemda terhadap pengalokasian belanja wajib bidang pendidikan adalah sebesar 0,029 atau 2,90%.

Pembahasan

Pengaruh Kemandirian Daerah terhadap Kinerja Anggaran Pendidikan

Nilai koefisien regresi variabel Kemandirian Daerah adalah -0,603, yang bermakna bahwa setiap kenaikan 100% kemandirian daerah akan menurunkan kinerja Pemda dalam merealisasikan belanja wajib bidang pendidikan sebesar -60,3 %. Hasil ini menunjukkan bahwa kemandirian Pemda berpengaruh negatif terhadap serapan anggaran pendidikan. Nilai signifikansi sebesar 0,015 yang lebih kecil dari 0,05 atau α=5% menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh negatif secara signifikan terhadap serapan anggaran belanja pendidikan.

Kemandirian daerah yang diukur dengan persentase PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan kemampuan pemda dalam mendanai program dan kegiatannya secara independen. Hubungan negatif PAD dengan bermakna bahwa pendanaan pendidikan tidak menggunakan PAD, tetapi sumber lain seperti dana perimbangan (dana alokasi umum, dana bagi hasil, dan dana Otsus).

Pengaruh negatif ini dapat diartikan sebagai bukti adanya kecenderungan pemerintah daerah tidak menggunakan PAD sebagai sumber pendanaan untuk pendidikan. Sejatinya, pajak daerah digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, termasuk dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana pendidikan, yang secara empiris terbukti memiliki keterkaitan positif dengan pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan (Jabbar dan Selvaratnam, 2017). Penggunaan PAD untuk sesuatu yang di luar kepentingan publik tidaklah aneh, sebab kecenderungan pada pemerintah daerah di Indonesia pada saat perencanaan tidak menentukan secara tegas sumber dan penggunaan PAD. Misalnya, tidak ditentukan sejak pembuatan kebijakan umum APBD untuk apa pajak daerah akan dibelanjakan.

Pengaruh Sisa Anggaran terhadap Kinerja Anggaran Pendidikan

Koefisien regresi untuk variabel Sisa Anggaran adalah sebesar -0,554 yang berarti bahwa setiap kenaikan 100% sisa anggaran, akan menurunkan kinerja Pemda

(11)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

159 dalam merealisasikan anggaran belanja pendidikan sebesar -55,4%. Secara statistik, pengaruh ini dinyatakan signifikan pada level signifikansi 10% atau α=10%. Hubungan negatif Sisa Anggaran dengan kinerja anggaran pendidikan menunjukkan bahwa ketika Sisa Anggaran semakin tinggi, maka Kinerja Anggaran Pendidikan akan semakin menururn.

Sisa anggaran tahun sebelumnya akan menambah beban anggaran tahun berjalan (Abdullah dan Rona, 2014, Abdullah, et al., 2018; Junita, et al., 2018) sehingga berdampak pada kemampuan pemerintah daerah/SKPD dalam penyerapan atau pencapaian kinerja anggarannya. Hal ini berkaitan dengan konsep manajemen kinerja menjelaskan bahwa ketika kapasitas organisasi tidak meningkat, sementara beban organisasi bersangkutan semakin berat, maka kinerja organisasi tersebut diprediksi akan menurun. Artinya, bagi sebuah pemerintah daerah/SKPD, anggaran yang besar tidak selalu menguntungkan ketika kapasitas untuk merealisasikan anggaran tersebut tidak cukup. Prediksi Niskanen (1971, dalam Blais dan Dion, 1990) bahwa agency cenderung menjadi budget maximizer tidak selalu hold ketika sumber daya organisasi tidak dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Anggaran pendidikan secara tidak langsung memiliki kaitan dengan politik anggaran, terutama bagi incumbent (Ritonga dan Alam, 2010). Adanya kenaikan alokasi anggaran untuk hibah dan bantuan sosial selama tahun masa kampanye dan pemilihan kepala daerah yang incumbent ikut berkomptesisi untuk masa jabatan berikutnya berimplikasi pada menurunnya alokasi anggaran untuk pendidikan. Ketika pada akhir tahun terdapat sisa anggaran yang bersumber dari penghematan belanja atau pelampauan atas target pendapatan daerah, maka pada awal tahun berikutnya (yang merupakan tahun kampanye dan pemilihan kepala daerah) akan dialokasikan untuk hibah dan bantuan sosial dengan jumlah lebih besar lagi.

Pengaruh Besaran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Anggaran Pendidikan

Koefisien regresi Besaran Pemda adalah sebesar 0,063 yang berarti bahwa setiap kenaikan 100% Besaran Pemda, akan menaikkan kinerja Pemda dalam merealisasikan anggaran belanja pendidikan sebesar 6,3%. Namun, besaran Sig. value 0,138 mengindikasikan bahwa variabel ini tidak memberikan pengaruh signifikan pada level 5%. Artinya, variabel Besaran Pemda tidak berpengaruh terhadap kinerja anggaran pendidikan di Aceh.

Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Liando dan Hermanto (2017) yang menyatakanbahwa semakin besar jumlah penduduk maka akan semakin besar anggaran yang dibutuhkan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas publik. Sebelumnya, Sasana (2011) juga menyebutkan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap belanja daerah.

Teori keuangan publik menyatakan bahwa semakin besar besaran Pemda (baca: jumlah penduduk), maka jumlah rupiah yang akan dialokasikan untuk pendidikan juga akan semakin besar. Hal ini disebabkan oleh permintaan (demand) untuk beragam bentuk dan kualitas pelayanan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah, terutama untuk pendidikan (Poterba, 1997). Di sisi lain, jumlah penduduk memiliki kaitan dengan pendapatan daerah terbesar berupa DAU yang diterima dari pemerintah pusat dalam bentuk transfer, yang merupakan sumber utama untuk membiayai belanja daerah (Blackley, 1986). Besaran DAU berimplikasi pada besaran belanja total, termasuk belanja untuk fungsi pendidikan, yang dapat dibiayai oleh pemerintah daerah.

(12)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

160

Perspektif keagenan (agency theory) menjelaskan fenomena pengusul anggaran yang cenderung memaksimalkan besaran alokasi sumber daya untuk diri dan agensinya karena memiliki self-interest, seperti enjoyment, reputasi, fasilitas, kekuasaan dan keleluasaan untuk membuat diskresi penggunaannya (Abdullah dan Halim, 2006). Disadari atau tidak, mark-up dalam usulan anggaran menyebabkan varian anggaran (budget variance) yang dijadikan ukuran kinerja anggaran (Mayper, et al., 1991; Darma, et al., 2015) tidak sepenuhnya bisa dijadikan sebagai alat ukur yang objektif. Seharusnya, penentuan standar belanja untuk sebuah kegiatan ditetapkan secara dinamis sesuai dengan besaran realisasi pada beberapa tahun sebelumnya, misalnya dengan menggunakan model trend atau regresi.

Pengaruh Pertumbuhan Pendapatan Daerah terhadap Kinerja Anggaran Pendidikan

Nilai koefisien Pertumbuhan Pendapatan Daerah adalah sebesar -0,017 yang berarti bahwa setiap kenaikan 100% pertumbuhan pendapatan daerah, akan menurunkan tingkat kepatuhan Pemda terhadap pengalokasian belanja wajib bidang pendidikan sebesar -1,7%. Namun, secara statistik, nilai Sig. Value sebesar 0,763 menunjukkan variabel ini tidak berpengaruh signifikan.

Pendapatan daerah merupakan sumber utama pendanaan untuk belanja daerah, termasuk belanja pendidikan. Ketika regulasi mewajibkan pemerintah daerah mengalokasikan sumber daya sebesar 20 persen untuk pendidikan, dengan asumsi sumber pendanaan lain konstan, maka pertumbuhan pendapatan daerah akan berpengaruh terhadap besaran anggaran belanja pendidikan. Artinya, pertumbuhan pendapatan daerah memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan dan persentase relatif belanja pendidikan. Namun, hasil penelitian ini tidak menemukan adanya pengaruh signifikan pertumbuhan pendapatan daerah terhadap pertumbuhan belanja pendidikan. Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu, seperti Apriliawati dan Handayani (2016) dan Solikin (2017) yang menemukan bahwa DAU dan PAD berpengaruh positif terhadap belanja daerah.

Ada beberapa penjelasan yang dapat dikemukakan untuk hasil penelitian ini. Pertama, pertumbuhan pendapatan sangat kecil, sehingga tidak cukup berarti untuk mengubah realisasi belanja pendidikan. Kenaikan dari pendapatan berkorelasi kuat dengan kenaikan belanja, namun kenaikan tersebut tidak selalu berkaitan dengan kenaikan realisasi belanja pendidikan, meskipun ada kenaikan dalam anggaran untuk belanja pendidikan. Kenaikan dalam anggaran belanja Pendidikan kemungkinan tidak berkorelasi kuat dengan kenaikan dalam realisasinya karena adanya keterbatasan kapasitas SKPD yang melaksanakan anggaran tersebut (Fahlevi, et al., 2018).

Kedua, adanya bias dalam penganggaran oleh birokrasi dan politik anggaran oleh parlemen (Jones dan Euske, 1991; Abdullah, 2012a). Kenaikan pendapatan dalam anggaran akan mendorong kenaikan dalam jumlah keseluruhan belanja dan alokasi pada sebagian fungsi belanja, namun tidak selalu dengan niat untuk direalisasikan sepenuhnya selama tahun berjalan (Abdullah, et al., 2018). Sisa anggaran akan direalisasikan pada awal tahun anggaran berikutnya atau untuk mendanai kegiatan baru yang tidak dianggarkan dalam APBD murni.

Ketiga, pengukuran yang digunakan kemungkinan tidak tepat. Pertumbuhan pendapatan daerah menggunakan nilai persentase kenaikan pendapatan, bukan persentase pendapatan terhadap belanja, sedangkan pengukuran untuk variabel kinerja anggaran pendidikan tidak menggunakan rasio pertumbuhan, tapi rasio realisasi belanja

(13)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

161 pendidikan terhadap realisasi total belanja. Pertumbuhan pendapatan seharusnya dikaitkan dengan pertumbuhan alokasi atau realisasi belanja pendidikan.

Terakhir, perubahan pendapatan daerah pada kabupaten dan kota di Aceh kemungkinan relatif kecil dampaknya terhadap belanja ketika ada dana otonomi khusus (Otsus) dengan jumlah relatif besar yang output dan outcome-nya diterima oleh Pemda kabupaten/kota. Insentif Pemda kabupaten dan kota di Aceh untuk meningkatkan pendapatan daerahnya, terutama dari PAD, relatif rendah dengan adanya dana Otsus dan tambahan DBH Migas, yang jumlahnya jauh di atas PAD rata-rata Pemda tersebut. Namun, pengaruh dana Otsus ini perlu dianalisis lebih mendalam lagi mengingat adanya kebijakan yang berubah-ubah dalam hal pengelolaannya, sehingga ditengarai ada latar belakang yang tersembunyi dari publik yang menjadi alasan bagi budget actors di Pemerintahan Aceh, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Gubernur Aceh.11

Manajemen belanja daerah untuk pendidikan saat ini mutlak dibutuhkan untuk memastikan ketercapaian target yang telah ditentukan dalam dokumen perencanaan, terutama rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), yang menjadi tolok ukur keberhasilan kepala daerah selama memnagku jabatannya. Analisis tentang kaitan antara prioritas belanja dengan capaian outcome selalu diperlukan untuk mengukur seberapa efektif eksekutif menggunakan kewenangannya (power) dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran Pendidikan (Boateng, 2014).

SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

Simpulan

Tujuan penelitian ini adalah menguji determinan Kinerja Anggaran Pendidikan di Aceh, yakni Kemandirian Keuangan Daerah, Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya, Besaran Pemda, dan Pertumbuhan Pendapatan Daerah dengan menggunakan data kabupaten dan kota di Aceh untuk tahun 2011-2015. Berdasarkan hasil pengolahan data dapat disimpulkan bahwa Kemandirian Keuangan Daerah dan Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya berpengaruh negatif terhadap Kinerja Anggaran Pendidikan, sedangkan variabel Besaran Pemda dan Pertumbuhan Pendapatan Daerah tidak berpengaruh.

Keterbatasan

Beberapa keterbatasan penelitian ini adalah (1) hanya menggunakan data sekunder untuk kabupaten dan kota di Aceh yang berstatus onomi khusus untuk tahun 2012-2015, sehingga tidak dapat digeneralisir untuk daerah yang tidak menerapkan otonomi khusus; (2) besaran nilai koefisien determinasi sebesar 16,60% menunjukkan bahwa masih banyak variabel lain yang belum dimasukkan ke dalam model penelitian ini; dan (3) pemilihan variabel penelitian dan definisi operasionalnya belum bagus karena baru digunakan sekarang, khususnya variabel besaran Pemda dan Pertumbuhan Pendapatan Daerah, sehingga tidak berhasil dibuktikan berpengaruh signifikan terhadap kinerja anggaran pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan penggunaan definisi operasional yang lebih baik ke depannya.

11 Kasus hukum terbaru terkait pengelolaan dana Otsus Aceh adalah ditangkapnya Gubernur Aceh Irwandi Yusuf oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 3 Juli 2018. Web link:

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180704230851-12-311618/kronologi-ott-gubernur-aceh-irwandi-yusuf-terkait-dana-otsus

(14)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

162

Saran Untuk Penelitian Selanjutnya

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah (1) menggunakan tambahan data berupa data primer yang diperoleh melalui kuesioner atau eksperimen, sehingga informasi yang tidak tertangkap dalam data sekunder dapat dilengkapi untuk menjelaskan fenomena kinerja anggaran pendidikan di Aceh; (2) menambah prediktor berupa variabel keuangan dan non keuangan lain, seperti sumber pendapatan daerah, jumlah anggota legislatif, dan jenis pemerintah daerah; dan (3) menambah sampel penelitian untuk pemerintah daerah yang tidak berstatus otonomi khusus, sehingga bisa membandingkan antara Pemda yang tidak berstatus otonomi khusus dengan yang berstatus otonomi khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukriy. 2012a. Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Disertasi (Tidak Dipublikasikan) Yogyakarta: Program Doktor Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.

_____. 2013b. Defisit/Surplus dan SILPA dalam Anggaran Daerah:

ApakahSalingBerhubungan?Tersedia daring di:

https://syukriy.wordpress.com/2013/01/01/defisit-dan-surplus-dalam-anggaran-daerah-apakah-saling-berhubungan/

_____. 2018. Penganggaran Pemerintah Daerah: Teori, Regulasi, dan Praktik. Banda Aceh: Serambi Indonesia Press.

_____ & Abdul Halim. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya. _____ & _____. 2006. Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintah Daerah: Sebuah

Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintahan 2(1) 53-64

_____ & Afrah Junita. 2016. Bukti Empiris tentang Pengaruh Budget Ratcheting terhadap Hubungan antara Pendapatan Sendiri dan Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Aceh. Modus 28 (2): 185-201.

_____ & Ramadhaniatun Nazry. 2015. Analisis Varian Anggaran Pemerintah Daerah Penjelasan Empiris dari Perspektif Keagenan. Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis. 6(2):272-283.

_____& Riza Rona. 2014. Pengaruh Sisa Anggaran, Pendapatan Sendiri dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal. Iqtishadia 7(1): 179-202.

Abdul Jabbar, N., & Selvaratnam, D. P. (2017). Analysis of the determinants of education expenditures in Malaysia. Journal of International Business, Economics and Entrepreneurship (JIBE), 2(1), 1-10.

Ablo, E., & Reinikka, R. (1998). Do budgets really matter? Evidence from public spending on education and health in Uganda. Evidence from Public Spending on Education and Health in Uganda (June 1998).

Ablo, Emmanuel & Ritva Reinikka. 1999. Do Budgets Really Matter? Evidence from Public Spending on Education and Health in Uganda. Policy Research Working Paper 1926. Washington, D.C.: The World Bank.Web link:

(15)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

163 Anessi-Pessina, Eugenio, Mariafrancesca Sicilia, & Ileana Steccolini. 2012. Budgeting & Rebudgeting in Local Governments: Siamese Twins. Public Administration Review 72(6): 875-884.

Apriliawati, Kiki Ninda & Nur Handayani. 2016. Pengaruh PAD dan DAU Terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota Jawa Timur. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi 5(2): 1-16.

Blais, André & Stéphane Dion. 1990. Are Bureaucrats Budget Maximizers? The Niskanen Model & Its Critics. Polity 22(4): 655-674.

Boateng, Nana Adowaa. 2014. Does Public Expenditure Management Matter for Education Outcomes? Development Southern Africa 31(4): 535-552.

Cuéllar, Andrés Felipe Salazar. 2014. The Efficiency of Education Expenditure in LatinAmerica and Lessons for Colombia. Desarro. Soc. No. 74, Segundo Semestre: 19-67

Darma, Romaidon, Hasan Basri, &Syukriy Abdullah. 2015. Pengaruh Waktu Penetapan Anggaran, Sisa Anggaran Tahun Sebelumnya, dan Perubahan Anggaran terhadap Serapan Anggaran pada Pemerintah Daerah Kabuapten/Kota di Aceh. Jurnal Magister Akuntansi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala. 4(2):18-25.

Dollery, Brian, Joel Byrnes, & Lin Crase. 2008. Australian Local Government Amalgamation: A Conceptual Analysis Population Size and Scale Economies in Municipal Service Provision. Australasian Journal of Regional Studies 14(2): 167-175.

Drew, Joseph, Michael A. Kortt, & Brian Dollery. 2014. Economies of Scale and Local Government Expenditure: Evidence from Australia. Administration & Society 46(6) 632-653.

Dufrechou, Paola Azar. 2016. The Efficiency of Public Education Spending in Latin America: A Comparison to High-Income Countries. International Journal of Educational Development 49: 188–203

Faguet, Jean-Paul & Fabio Sanchez. 2008. Decentralization’s Effects on Educational Outcomes in Bolivia And Colombia. World Development 36(7): 1294-1316. Fahlevi, Heru. 2018. Revenue Budget Variance and Capital Expenditure Realization

Emperical Evidence from Indonesian Local Goverments. Jurnal Dinamika Akuntansi 9(1): 1-10.

_____, Syukriy Abdullah, Dewi Rosa Indah, Afrah Junita, & Rahmi Meutia. 2018. Intervention of Central Government in Local Government Budgeting through Financial Regulations: a Case of Indonesia. International Journal of Civil Engineering and Technology (IJCIET) 9(5): 1283-1291. Available online at

http://www.iaeme.com/ijciet/issues.asp?JType=IJCIET&VType=9&IType=5

Fatmayanti, A. (2017). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Suku Cadang Sepeda Motor Bekas Di Kota Banda Aceh (Doctoral dissertation, UIN Ar-Raniry Banda Aceh).

Halim, Abdul. 2002. Analisis varian pendapatan asli daerah dalam laporan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Disertasi (Tidak Dipublikasikan).

Hanushek, Eric A. & Ludger Wößmann. 2007. The Role of Education Quality in Economic Growth. World Bank Policy Research Working Paper 4122. Washington, DC: The World Bank.

(16)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

164

Haque, M. Emranul & Richard Kneller. 2015. Why Does Public Investment Fail to Raise Economic Growth? The Role of Corruption. The Manchester School 83 (6): 623– 651.

Indah, Dewi Rosa, Syukriy Abdullah, Heru Fahlevi, Rahmi Meutia, & Afrah Junita. 2017. Minimal Budget Allocation and Restricted Deficit Regulation: Local Governments’ Compliance Assessment. ICSTMS Universitas Samudra (Unsam). Web: http://jurnal.unsam.ac.id/index.php/icstms/article/view/496

International Journal of Economics and Financial Issues6(4), 1722-1728.

Jabbar, Najumunisha Abdul & Doris Padmini Selvaratnam. 2017. Analysis of the Determinants of Education Expenditures in Malaysia. Journal of International Business, Economics and Entrepreneurship 2(1):1-10.

Jalil, Abdul & Muhammad Idrees. 2013. Modeling the Impact of Education on The Economic Growth: Evidence from Aggregated and Disaggregated Time Series Data of Pakistan. Economic Modelling 31: 383–388

Jetter, Michael & Christopher F. Parmeter. 2017. Does Urbanization Mean Bigger Governments?The Scandinavian Journal of Economics (Accepted Article): 1-35. Jones, L. R. & K. J. Euske. 1991. Strategic Misrepresentation in Budgeting.Journal of

Public Administration Research and Theory: J-PART1(4): 437-460.

Junita, Afrah & Syukriy Abdullah. 2016. Pengaruh Fiscal Stress dan Legislature Size terhadap Expenditure Change pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Jurnal Akuntansi 20(3): 477-478.

Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2005. Democracy, Public Expenditures, and the Poor: Understanding Political Incentives for Providing Public Services. The World Bank Research Observer20(1): 1-27.

Larkey, P.D. & R.A. Smith. 1989. Bias in the Formulation of Local Government Budget Problems. Policy Sciences 22(2): 123-166.

Liando, Ivoni Ike & Suwardi Bambang Hermanto. 2017. Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota Jawa Timur. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi 6(6): 1-22.

Mahmudi. 2010. Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Edisi kedua. UPP STIM YKPN, Yogyakarta.

Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Erlangga.

Mayper, Alan G., Michael Granof & Gary Giroux. 1991. An Analysis of Municipal Budget Variances. Accounting, Auditing & Accountability Journal 4(1): 29-50. Moe, T. M. 1984. The New Economics of Organization. American Journal of Political

Science 28(5): 739-777.

Mukherjee, A. 2007. Public expenditure on education: A review ofselected issues and evidence.Working Paper 1. Financing HumanDevelopment.

Nofrizal, E., Haq, A., & Surono, S. E. (2017). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Jawa Barat Periode 2011-2015. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Akuntansi, 2(2).

PECAPP (Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program). 2014. Aceh Public Expenditure Analysis. Banda Aceh: PECAPP.

Poterba, James M.1997. Demographic Structure and the Political Economy of Public Education. Journal of Policy Analysis and Management 16(1): 48-66.

(17)

Determinan Kinerja Anggaran Belanja Pendidikan Pada Kabupaten/Kota di Aceh

165 Rahmawati, Luluk Atika &Bambang Suryono. 2015. Flypaper EffectDana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Daerah. Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi 4(9): 1-20.

Ritonga, Irwan Taufiq &Mansur Iskandar Alam. 2010. Apakah IncumbentMemanfaatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk Mencalonkan Kembali dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Makalah Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi ke 13di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Sasana, H. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Barat dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE) 18(1): 46-58.

Setiawan, Doddy & Farah Rizkiah. 2017.Political Budget Cycles in Municipalities: Evidence from Indonesia. International Journal of Business and Society 18(3): 533-546.

Smith, Robert W. & Mark Bertozzi. 1998. Principals and Agents: An Explanatory Model for Public Budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting & Financial Management 10(3): 325-353.

Solikin, Ahmad. 2017. Analisis Flypaper Effectpada Pengujian Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan Sisa Lebih Penghitungan Ang-Garan (SILPA) terhadap Belanja Pemerintah Daerah di Indonesia (Studi Tahun 2012-2014). Jurnal Akuntansi dan Bisnis16(1): 11 - 25

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wati, N. W. K. W., & Ratnasari, P. (2017). Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Postpartum Primipara Tentang Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas Di BPM Hj. Syarifah Noor Hasanah, S. ST Loktabat Utara Banjarbaru Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Indonesia, 7(2).

(18)

Media Riset Akuntansi, Auditing & Informasi Vol. 19 No.2 September 2019

Gambar

Tabel 1  Statistik deskriptif

Referensi

Dokumen terkait

Hasil keragaan aktivitas fagositik (PA) dan indeks fagositik (lP) dari benih ikan kerapu lumpur dengan perlakuan imunostimulan bakterin, terlihat bahwa besamya nilai

Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Melawi sudah sepenuhnya sesuai dengan aturan ± aturan yang terdapat dalam Undang - Undang Nomor

60.. Apabila tanggapan-tanggapan seperti di atas berlaku, tidak hairanlah 2 aliran pengajian ini tidak selaras hingga menyebabkan berlaku puak. Masalah ini tidak dapat diatasi

Ngoko Lugu adalah bentuk unggah- ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama,

1) untuk lebih memudahkan masyarakat miskin prosedur dan persyaratan pembiayaan dibuat sesederhana mungkin. Grameen Bank menggunakan strategi jemput bola, mulai dari

1) Tugas Pokok Guru Piket sebagai Petugas Penegak Disiplin adalah sebagai berikut : 1. Memeriksa seragam siswa, kelengkapan seragam siswa, kerapihan, dan keterlambatan

Subrogasi atau subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung, yang telah Subrogasi atau subrogation pada prinsipnya merupakan hak penanggung, yang

Era digital adalah sebuah masa di mana puncak kemajuan tekhnologi komunikasi; yang mempermudah manusia melakukan sesuatu hal yang tak mampu dilakukan zaman dahulu,