• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Dan Sikap Masyarakat Terhadap Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Persepsi Dan Sikap Masyarakat Terhadap Penanggalan Jawa Dalam Penentuan Waktu Pernikahan (Studi Kasus Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 2013)"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PENANGGALAN JAWA DALAM PENENTUAN WAKTU PERNIKAHAN (STUDI KASUS DESA JONGGRANG KECAMATAN

BARAT KABUPATEN MAGETAN TAHUN 2013) Rohmaul Listyana & Yudi Hartono*

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi dan sikap masyarakat terhadap peanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan tahun 2013. Selain itu peneliti juga ingin mengetahui bagaimana sebuah tradisi bisa bertahan sampai saat ini. persepsi dan sikap masyarakat Desa Jonggrang terhadap penanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan memeliki perbedaan. Masyarakat yang masih menggunakan tradisi penentuan waktu pernikahan adalah masyarkat Jawa yang masih memegang nilai budaya. Tradisi yang menjadi warisan turun temurun dari sesepuh menjadi sebuah pitutur yang harus dilestariakn oleh masyarakat. Dari sebuah pitutur tersebut terkandung sebuah makna untuk menjalani kehidupan terutama dalm sebuah pernikahn yang membutuhkan waktu yang baik. Persepsi masyarakat akan muncul ketika melihat sebuah fenomena yang ada di lingkunagn dan persepsi akan mempengaruhi sebuah sikap masyarakat. Jika persepsi dari masyarakat positif maka sikap masyarakat akan menerima dan jika persepsi masyarakat negatif maka sikap yang ditunjjukan adalah menolak.

Kata kunci: Persepsi, Sikap, Penggalan Jawa, Pernikahan

Pendahuluan

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan, dari setiap daerah memilki kebudayaan yang berbeda dengan daerah lainya. Perbedaan dan ciri khas tersebut di pengaruhi oleh beberapa hal antara lain letak geografis, sistem keagaaman, sistem sosial dan masih banyak lagi yang dapat memunculkan sebuah kebudayaan yang baru, serta tidak lepas dari pola pikir masyarakat dimana mereka tinggal. Keanekaragaman budaya tersebut tentu menjadi aset yang berharga bagi bangsa Indonesia.

Kebudayaan yang ada di seluruh wilayah Indonesia tidak lepas dari tradisiturun-temurun yang diyakini dan

diwarisi oleh nenek moyang sesepuh. Dalam kehidupan saat ini masyarakat masih memegang nilai-nilai dari kebudayan untuk melangsungkan hidupnya. E.B Taylor (dalam Abraham Nurcahyodkk,2011:6) berpendapat kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiaasan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan menggambarkan tanggapan dan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup yang harus memenuhi kebutuhannya.

Kemampuan manusia untuk berpikir, belajar, berkomunikasi dan memahami obyek-obyek sekitarnya akan memberikan perkembangan sebuah

* Rohmaul Listyana adalah alumni Pendidikan Sejarah IKIP PGRI MADIUN * Yudi Hartono adalah Dosen Pendidikan Sejarah IKIP PGRI MADIUN

(2)

kebudayaan. Manusia memelihara kebudayaan untuk menghadapi masalah dan persoalan yang mereka hadapi. Dalam kehidupanya, manusia memilki banyak kebutuhan. Kebutuhan mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhanya (Abraham Nurcahyo dkk, 2011:7).

Berawal dari pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kebudayaan bukan hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan manusia, melainkan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dimilki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Kebudayaan erat kaitannya dengan sebuah tradisi atau adat istiadat di suatu kalangan masyarakat, nilai-nilai yang ada dalam tradisi atau adat istiadat tentu sama halnya dengan nilai yang terkandung dalam kebudayaan, yang mana menjadi sebuah pedoman dalam masyarakat yang diabstrakkan dalam kehidupanya.

Salah satu bentuk tradisi yang masih ada di Indonesia yaitu mengenai sistem penanggalan tradisional. Dikalangan masyarakat Jawa dan Bali sistem penanggalan tradisional berupa Wariga dan Pakuwon, dan pada masa Islam dikenal pula dalam berbagai jenis Primbon. Pengetahuan mengenai sistem pertanggalan tradisional ini sering pula diterapkan dalam penentuan hari baik dan buruk yang dikaitkan dengan peramalan atau rujum untuk berbagai tujuan dan kegiatan ( Muhammad Iskandar dkk, 2009:32-34). Dalam masyarakat Jawa

sistem penangalan ini masih sering digunakan dalam menentukkan hari baik, misalnya untuk penentuan waktu mendirikan rumah dan waktu pernikahan atau perkawinan. Kepercayaan masyarakat Jawa yang mayoritas masih mempercayai dan meyakini hal ini membuat keberadaan tradisi ini masih ada dikalangan masyarakat. Pada umumnya semua kegiatan masyarakat Jawa masih berpegang pada suatu hukum adat. Hal ini juga yang mengakibatkan sebuah tradisi mengenai pertanggalan Jawa masih digunakan oleh masayarakat. Salah satunya adalah dalam acara pernikahan atau perkawinan pada masyarakat Jawa.

Di kehidupan keluarga Jawa, perkawinan merupakan sebuah institusi yang sangat penting karena perkawinan merupakan pertanda terbentuknya keluarga baru yang mandiri dan terlepas dari orang tua. (Hilderd Geertz dalam Sartono Kartodirjo dkk, 2013:92). Perkawinan atau pernikahan adalah hal yang sakral bagi masyarakat Jawa, jadi dalam pelaksanaannya harus menggunakan waktu yang dianggap baik. Kegiatan pernikahan dalam masayarakat Jawa tentu menggunakan perhitungan penanggalan Jawa sebagai waktu yang cocok. Dalam penentuan waktu baik dalam masyarakat Jawa harus menggunakan berbagai perhitungan yang matang. Dilihat dari perhitungan penentuan waktu baik yang begitu rumit jlimet maka tidak semua

(3)

masyarakat Jawa dapat menentukan waktunya. Untuk itu, orang Jawa yang ingin menentukan waktu atau hari baik biasanya akan meminta pertolongan kepada orang yang dianggap ahli dalam hal ini, yang biasanya disebut wong tuwo. Pada umumnya masyarakat Jawa akan mempercayai apa yang dikatakan atau apa yang ditunjukkan oleh orang tua wong tuwo. Hal ini sebagai rasa hormat dan patuh terhadap orang yang lebih tua. Semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang di bidang perhitungan Jawa, semakin banyak orang yang mempercayainya. Hal inilah yang terjadi di Desa Jonggrang sebuah desa kecil yang terletak di Kecamatan Barat Kabupaten Magetan.

Masyarakat Desa Jonggrang yang hingga saai ini masih memegang teguh nilai budaya Jawa dan tradisi yang masih kental membuat tradisi yang diwariskan dari nenek moyang masih berjalan. Karena dalam petunjuk orang tua memiliki makna yang dapat diambil dalam kehidupan masyarakat. Jika hal itu ditinggalkan akan menemui kesulitan. Menurut kepercayaan orang Jawa, yang disebut gangguan (aral melintang) atau potensi yang akan merusak keselamatan hidup datangnya dari mana saja. Dalam ungkapan sehari-hari sering disebut sangkan-paran (Imam Budhi Santosa, 2012:7).

Sifat manusia yang dinamis akhirnya akan mempengaruhi perilaku dan tradisi yang mereka percayai. Seiring dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju, secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi bentuk-bentuk kehidupan masyarakat dan pada akhirnya akan mengalami perubahan-perubahan terutama nampak pada tradisi dan pola pikir tradisional menjadi rasional. Pada masyarakat desa Jonggrang masih dapat dijumpai tradisi penentuan waktu pernikahan dengan menggunakan penanggalan Jawa. Kepercayaan dan tradisi inilah yang mengkibatkan masyarakat desa Jonggrang menjalani tradisi ini. Masyarakat yang ingin mencari hari baik biasanya datang ke rumah wong tuwo dengan membawa syarat yang ditentukan (wawancara dengan tokoh masyarakat, 22 Februari 2014).

Sampai saat ini keberadaan tradisi menentukan waktu yang tepat untuk pernikahan menjadi tradisi yang masih banyak digunakan masyarakat desa Jonggrang. Fenomena ini terjadi karena ada masyarakat yang masih mempercayai tradisi ini dan wajib dilakukan. Berdasarkan persepsi yang ada dalam masyarakat desa Jonggrang yang pada awalnya menganggap penentuan waktu pernikahan adalah hal yang penting dilakukan, akan tetapi seiring dengan perubahan zaman dan pandangan masyarakat hal tersebut mengalami pergeseran.

Salah satu contoh yang dapat diambil tentang kasus di atas adalah hasil

(4)

penelitian Wulandari Mahanggi (2013: 5) yang menyoroti tentang Pergeseran Perkawinan Secara Adat Di Desa Huluduotamo, Perkembangan teknologi saat ini juga membawa pengaruh kurang baik atau negatif dalam kehidupan manusia. Kehadiran teknologi yang begitu canggih membuat masyarakat umum begitu banyak pilihan untuk memilih apa yang di kehendakinya, perkembangan teknologi ini juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pergeseran terhadap pelaksanaan adat pernikahan Gorontalo yang ada di Desa Huluduotamo.

Dari contoh ilmiah diatas dapat menjadi salah satu contoh bentuk pergeseran tradisi pernikahan, dimana pergeseran tersebut juga terjadi di Adat Pernikahan di Jawa yaitu pergeseran penetapan penanggalan pernikahan yang tentu menarik untuk dikaji lebih mendalam mengenai persepsi dan sikap masyarakat dalam penentuan waktu pernikahan di Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan terutama di peridode tahun 2013.

Dari latar belakang masalah dan batasan masalah tersebut diatas, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap penanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan di Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan tahun 2013?

2. Bagaimana sikap masyarakat terhadap penanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan di Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan tahun 2013?

Tinjauan Pustaka

A. Persepsi Masyarakat 1. Pengertian Persepsi

Sarlito W. Sarwono (2009:24) berpendapat persepsi secara umum merupakan proses perolehan, penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi. Persepsi berlangsung pada saat seseorang meniram stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ bantunya yang kemudian masuk ke dalam otak.Persepsi merupakan proses pencarian informasi untuk dipahami yang menggunakan alat pengindraan (Salito W. Sarwono 2002:94).

Di dalam persepsi mengandung suatu proses dalam diri untuk mengetahui dan mengevaluasi sejauh mana kita mengetahui orang lain. Pada proses ini kepekaan dalam diri seseorang terhadap lingkungan sekitar mulai terlihat. Cara pandang akan menentukan kesan yang dihasilkan dari proses persepsi.

Proses interaksi tidak dapat dilepaskan dari cara pandang atau persepsi satu individu terhadap individu yang lain, sehingga memunculkan apa yang dinamakan persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat akan menghasilkan suatu

(5)

penilain terhadap sikap. Perilaku dan tindakan seseorang di dalam kehidupan bermasyrakat.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Sarlito W. Sarwono(2010:103-106) faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu :

a. Perhatian, biasanya tidak menagkap seluruh rangsang yang ada disekitar kita sekaligus, tetapi memfokuskan perhatian pada satu atau dua objek saja. Perbedaan fokus perhatian antara satu dengan orang lain akan menyebabkan perbedaan persepsi.

b. Kesiapan mental seseorang terhadap rangsangan yang akan timbul.

c. Kebutuhan merupakan kebutuhan sesaat maupun menetap pada diri individu akan mempengaruhi persepsi orang tersebut. Kebutuhan yang berbeda akn menyebabkan persepsi bagi tiap individu.

d. Sistem nilai, yaitu sistem nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat juga berpengaruh pula terhadap persepsi. e. Tipe kepribadian, yaitu dimana pola

kepribadian yang dimiliki oleh individu akan menghasilkan persepsi yang berbeda. Sehubungan dengan itu maka proses terbebtuknya persepsi dipengaruhi oleh diri seseorang persepsi antara satu orang dengan yang lain itu berbeda atau juga antara satu kelompok dengan kelompok lain.

Menurut Robbin (dalam Fatah Hanurawan, 2010: 37-40) mengemukakan bahwa beberapa faktor utama yang memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi sosial seseorang dan faktor-faktor itu adalah faktor penerima (the perceiver), situasi (the situation), dan objek sasaran (the taget).

3. Teori Persepsi Masyarakat

Di dalam persepsi dikenal beberapa teori. Secara lebih jelas dapat dilihat pada uraian berikut :

a. Teori Atribusi

Teori atribusi yang sering dikenal adalah teori atribusi Kelly. Dasar teori atribusi adalah suatu proses mempersepsikan sifat-sifat dalam menghadapi situasi-situasi di lingkungan sekitar (Slamet Santoso, 2010:254). Teori atribusi merupakan bidang psikologi yang mengkaji tentang kapan dan bagaimana orang akan mengajukan pertanyaan “mengapa” atau prinsip menentukan bagaimana atribusi kausal dibuat dan apa efeknya. Atribusi kausal pada intinya yaitu menjelaskan antara sebab akibat terhadap dua peristiwa.

b. Teori Inferensi Koresponden

Teori inferensi koresponden Jones dan Davis adalah sebuah teori yang menjelaskan bagaimana kita menyimpulkan apakah perilaku seseorang itu berasal dari karakteristik personal ataukah dari pengaruh situasional (Taylor, Shelly dan David, terjemahan Tri Wibowo, 2009:57).

(6)

c. Teori Kovariasi

Kelley menyatakan bahwa orang yang berusaha melihat suatu efek partikular dan penyebab partikular beriringan dalam situasi yang berbeda-beda (dalam Taylor et al terjemahan Tri Wibowo, 2009:59), misalnya ketika memandang di masyarakat yang terdapat beberapa orang dengan keyakinannya menjalankan semua nilai adat istiadat, sebagian masyarakat akan beranggapan apakah orang tersebut menjalankan nilai adat istiadat karena ingin mewarisi budaya dari leluhur, apakah karena lingkungan diman mereka tinggal ataukah juga karena orang tersebut hanya ikut-ikutan.

B. Sikap Masyarakat

Sikap adalah suatu kecenderungan berbuat ke arah orang dan objek sebagai seseuatu pelaksanaan seperti menunjukkan seseorang penghargaan, mempersilahkan dan sebagainya (dalam Thedore M. Newcomb terjemahan Slamet Santoso, 2010:40). Sedangkan menurut (Taylor, Shelly dan David terjemahan Tri Wibowo,2009:165) Sikap adalah evaluasi terhadap objek, isu, atau orang. Sikap didasarkan pada informasi afektif, behavioral dan kognitif.

Pendapat lain mengenai sikap di kemukakan oleh S. Sttanfeld (dalam Slamet Santoso, 2010:41). Sikap adalah kecenderungan berbuat atau bereaksi secara senang atau tidak senang terhadap orang-orang, objek atau situasi. Sikap

mempunyai hubungan yang erat dengan kepentingan atau nilai yang dimilki individu dan sifatnya lebih laten dibanding dengan trait. Oleh karena itu, sikap berhubungan erat dengan bagaimana individu akan bertingkah laku sesuai dengan situasinya. C. Penanggalan Jawa

Penanggalan Jawa adalah penanggalan tradisional yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam. Menurut Mohammad Iskandar dkk (2009:32) di Kerajaan Mataram sistem pertanggalan ini sudah mulai digunakan pertama kali oleh Sultan Agung.

Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai petunjuk hari tanggal dan hari libur atau hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada hubunganya dengan apa yang disebut Petangan Jawi (Purwadi dan Siti Maziyah, 2009:14). Sedangkan Petangan Jawi memiliki makna yaitu perhitungan baik buruk yang di lukiskan dalam lambang watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, Pranta Mangsa, wuku dan lain-lainnya. Menurut Suwardi (2010:102) petung atau perhitungan merupakan pertimbangan memet (sungguh-sungguh), memanfaatkan nalar jelas disertai laku tertentu…petung didasarkan atas peredaraan matahari, bulan, bintang, dan planet lain untuk meramal nasib manusia.

Pada masa pemerintahan Islam kalender Jawa disebut juga sebagai kalender Sultan Agung yang mengikuti sistem lunair (Komariyah) yaitu perjalanan bulan

(7)

mengitari bumi seperti kalender Hijriyah. Nama-nama kalender Jawa sebagai berikut : 1. Sura 7. Rejeb 2. Sapar 8. Ruwah 3. Mulud 9. Pasa 4. Bakdamulud 10. Sawal 5. Jumadilawal 11. Dulkangidah 6. Jumadilakhir 12. Besat

Petangan Jawi merupakan catatan dari leluhur berdasarakan pengalaman baik buruk yang dicatat dan dihimpun dalam Primbon. Kata primbon berasal dari kata ; rimbu, berarti simpan atau menyimpan, maka Primbon memuat bermacam-macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi penerusnya (Purwadi dan Siti Maziyah,2009:14). Menurut Kamajaya dalam Purwadi dkk primbon hendaklah tidak diremehkan,meskipun diketahui tidak mengandung kebenaran mutlak.

Hari dalam petungan Jawa berjumlah tujuh yang disebut dina pitu dan pasaran yang disebut dina lima, atau sering disingkat dina lima dina pitu. Keduanya akan menentukan jumlah neptune dina (hidupnya hari dan pasaran). Pasaran yang dimaksud meliputi Legi, Pahing, Pon, Wage dan Kliwon sedangkan harinya adalah seperti hari biasa yaitu Senin hingga Sabtu. Dengan menentukan perhitungan hari dan pasaran kemudian akan mendapatkan jawaban atau ramalan sesuai hal yang diinginkan (Suwardi,2010:103).

Daftar jumlah hari dan pasaran dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Daftar Hari dan Pasaran Hari Neptu Pasaran Neptu

1 2 3 4 Minggu 5 Kliwon 8 Senin 4 Legi 5 Selasa 3 Pahing 9 Rabu 7 Pon 7 Kamis 8 Wage 4 Jumat 6 Sabtu 9

(Sumber Kitab Primbon Betaljemur Andamakna, 2000:89)

Dalam menentukan waktu pernikahan masyarakat Jawa masih menggunakan petungan sebagai pedoman untuk mencari waktu yang baik. Hal ini dilakukan karena untuk mendapatkan keluarga yang selamat dan banyak rejeki. Dalam menentukan perhitungan orang akan berumah tangga kuncinya berada pada hari akad nikah karena hari akad nikah harus bisa mengatasi semua petung-petung yang jelek (Djanudji, 1999:52). Berikut adalah langkah-langkah untuk mencari hari pernikahan :

1. Mencari Naas dari kedua mempelai beserta kedua orang tuanya

Hari naas adalah hari dimana hari tersebut merupakan hari yang tidak baik atau apes.Untuk mencari hari naas manusia ada tiga macam seperti yang diulas berikut :

(8)

a. Hari ketiga dari hari kelahiranya.

b. Jumlah naptu hari dan pasaran kelahiran. c. Hari meninggalnya kedua orang tua. Setelah mengetahui hari naas dari calon kedua mempelai beserta kedua orang tuanya, maka hari-hari tersebut harus dihindaridalam menentukan hari akad nikahnya (Djanudji,1999:54).

2. Menentukan Bulan untuk Akad Nikah. Dalam menentukan bulan yang akan dipakai untuk melakukan pernikahan hendaknya dicari yang cocok wataknya khusus untuk pernikahan, walaupun semua bulan itu baik untuk pernikahan, tetapi kalu dalam bulan tidak ada hari Selasa Kliwon dan biasanya disebut bulan Sunya, yang artinya suwung atau kosong seta disebut juga bulan yang tidak ada Anggara Kasihnya, wataknya menjadi jelek dan perlu dihindari (Djanudji,1999:54-55). Daftar watak bulan untuk ijab pengantin dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Daftar Watak Bulan untuk Ijab Pengantin

Bulan Watak

Sura Bertengkar, kesusahan Sapar Kekurangan, banyak hutang Rabiulawal Meninggal salah satu Rabiulakhir Selalu digunjing

Jumadilawal Sering kehilangan, ditipu, dan banyak musuh Jumadilakir Sugih mas salaka

Rejeb Kaya anak dan selamat Ruwah Baik segalanya

Puasa Celaka besar

Sawal Kekurangan,banyak hutang Dulkaidah /

Sela

Sakit-sakitan, sering bertengkar dengan teman Besar Sugih nemu sukaharja

( Sumber Djanudji, 1999:55) 3. Menentukan Saat Akad Nikah

Menurut Djanudjidalam menentukan saat atau jam akad nikah dan keperluan lainnya banyak sekali antara lain saat Nabi, saat awal, dan akhir manusia. Pedoman dalam menentukan saat nikah hanyalah hari, tanpa melihat pasarannya. Daftar saat awal dan akhir manusia dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.2 Daftar Tabel Saat Awal dan Akhir Manusia

Hari Waktu Pelaksanaan Akad Nikah Ahad 6, 7, 11, 1, 5 Senin 8, 10, 1, 3, 5 Selasa 7, 10, 12, 2, 5 Rabu 7, 9, 11, 2, 4 Kamis 8, 11, 1, 3, 4, Jumat 8, 10, 12, 3, 4 Sabtu 7, 9, 12, 2, 4 (Sumber Djanudji, 1999:62)

(9)

Misalnya, akad nikah pada hari Sabtu Legi (yang menjadi pedoman adalah hari Sabtu sebaiknya dilaksanakan pada pukul 7 dan 9 pagi, pukul 12 dan 2 siang, serta pukul 4 sore ( bisa dipilih salah satu).

D. Pernikahan

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan atau pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Ageng Suryomentaram berpendapat bahwa perkawinan adalah hubungan antara seorang pria dan wanita, untuk bersama-sama mencukupi kebutuhan bersuami isteri, berkeluaraga dan berkawan.Pendapat lain mengenai definisi perkawinan yaitu, perkawinan adalah ikatan antara seorang pria dan wanita menurut hukum adat yang bertujuan untuk hidup berkeluarga (Kamus Istilah Sosiologi, 1984:128).

Metode Penelitian

A. Tempat Dan Waktu Penelitian

Lokasi atau tempat penelitian ini dilaksanakan di Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan. Waktu yang digunakan dalam penelitian ini sekitar enam bulan. Adapun pengaturan jadwal penelitian dimulai dari tahap persiapan sebelum ke lapangan, penelitian lapangan, pengumpulan dan analisis data serta

penyusunan laporan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juli tahun 2014.

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penalaran induktif dan sangat percaya bahwa banyak terdapat perspektif, penelitian ini terfokus pada fenomena sosial dan pada pemberian suara juga adanya perasaan dan persepsi.

Penelitian pendekatan kualitatif lebih pada penekanan analisis pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta analisis terhadap dinamika, hubungan antara yang diamati dengan menggunakan ilmiah (Saifudin Anwar,2004:5). Sedangkan menurut Nana Syaodih Sukmadinata (2007:94) penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif, dimana penelitian ini akan menggambarkan dalam bentuk cerita tentang persepsi dan sikap masyarakat terhadap penanggalan Jawa dalam penentuan waktu pernikahan. Penelitian deskriftip ditujukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada (Nana Syaodih Sukmadinata, 2007:73).

C. Sumber Data

Menurut Suharsimi Arikunto, (2010:172) Sumber data adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Di dalam penelitian ini ada beberapa sumber data

(10)

yang digunakan untuk mengumpulkan data. Jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat baik yang dilakukan melalui wawancara, observasi dan alat lainnya (Joko Subagyo, 2004: 87).Sumber data primer yaitu data-data yang dikumpulkan dengan tekhnik observasi atau wawancara yang diperoleh dari pihak pertama atau narasumber (Husaini Usman, 2000:73). Dalam penelitian ini menggunakan informan dari kalangan-kalangan sebagai berikut: masyarakat biasa atau masyarakat umum, perangkat desa atau aparat desa dan sesepuh atau pujangga.

2. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dapat diperoleh melaui bahan-bahan sebagai pelengkap juga file-file yang tersedia, juga adanya kepustakaan (Joko Subagyo, 2004:88). Sumber data sekunder berasal dari foto-foto dan profil desa yang diperoleh dari pemerintah Desa Jonggrang. Foto yang diambil dipergunakan sebagai salah satu bukti rill di lapangan

D. Teknik Analisa Data

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara pengorganisasian data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,

melakukan sintesa, menyusun dalam pola, memillih mana yang paling penting untuk dipelajari, dan membuat kesimpulan agar semua bisa faham (Sugiyono,2013:335).

Analisis data dapat digunakan untuk menarik kesimpulan dari data yang dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dokumentasi. Kegiatan analisis data dilakukan secara interaktif dan terus menerus dan berkesinambungan. Menurut Sugiyono (2010:338-3455) model analisis data meliputi tiga komponen diantaranya: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi.

Bagan 3.2: Komponen dalam analisis data interavtive model

(Sugiyono, 2010:338) Hasil Penelitian

A. Sejarah Singkat Asal-Usul Terbentuknya Desa Jonggrang

Sejarah terbentuknya Desa Jonggrang tidak lepas dari legenda Candi Prambanan yang menceritakan kisah cinta antara Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang. Pada saat itu Roro Jonggrang mau dinikahi oleh Bandung Bondowoso dengan syarat dibuatkan candi yang berjumlah 1000 buah dalam waktu satu

(11)

malam. Karena Roro Jonggrang tidak suka dengan Bandung Bondowoso beraneka cara dilakukan agar syarat yang diajukan tidak dapat dipenuhi. Karena Bandung Bondowoso merasa di curangi akhirnya beliau marah dan mengejar Roro Jonggrang yang akan dijadikan candi yang ke-1000 untuk menggenapi jumlah candi yang sudah dibangun sebanyak 999 buah candi.

Menurut cerita dari sesepuh desa Jonggrang yaitu Mbah Madi, terbentuknya desa Jonggrang berawal dari pelarian Roro Jonggrang dari kejaran Bandung Bondowoso. Pada waktu itu wilayah desa Jonggrang adalah hutan belantara yang masih banyak pohon-pohon besar. Babad alas dilakukan oleh seorang yang bernama Eyang Panji Jekitut. Pelarian Roro Jonggrang sampai lah di tempat Eyang Panji Jekitut. Tidak begitu jelas berapa lama pelarian Roro Jonggrang dari kejaran Bandung Bondowoso. Eyang Panji Jekitut mersa kasihan melihat seorang perempuan yang berlari dengan penuh kecapekan dan akhirnya beliau menolong perempuan itu dengan memberikan air kelapa.

Setelah dibelah menjadi dua, tempurung kelapa tersebut yang satu dibuang di utara dan yang satu dibuang di sebelah selatan. Tempurung kelapa atau batok kelapa yang dibuang tadi kemudian menjadi sebuah sendang kiduldan sendang lor. Pelarian Roro Jonggrang berakhir di sendang kidul, pada saat itu Bandung Bondowoso berhasil menemukannya. Di

tempat itulah Roro Jonggrang di kutuk menjadi patung untuk menggenapi candi yang hanya kurang satu. Eyang Panji Jekitut yang mengetahui hal tersebut kemudian meletakkan patung Roro Jonggrang di dekat pohon randu besar yang di huni ribuan kalong.

Pada zaman pemerintahan Lurah Keprok pohon randu besar yang berada di sendang kidul di tebang. Beliau memerintahkan anak buahnya untuk menebang pohon randu yang besar itu. Setelah ditebang di dalam pohon randu tersebut ditemukan patung atau arca dari Roro Jonggrang. Secara tidak sengaja dalam menebang pohon tersebut wajah dari patung Roro Jonggrang tersebut terkena pecokyang mengakibatkan wajah dari patung tersebut hancur separo. Lurah Keprok yang memerintah desa pada saat itu jatuh sakit dengan terdapat luka di wajah dan akhirnya meninggal dunia yang di ikuti oleh pamong desa lainnya.Berawal dari pelarian Roro Jonggrang ke daerah inilah akhirnya nama Jonggrang dipakai menjadi nama desa. Namun patung dari Roro Jonggrang yang ada di dalam pohon randu saat ini suda tidak ada lagi di desa Jonggrang. Patung tersebut sudah di bawa ke candi Prambanan untuk melengkapi jumlah candi yang kurang satu

B. Penggunaan Penanggalan Jawa dalam Penentuan Waktu Pernikahan

Dalam kehidupan sehari hari masyarakat Jawa pada umumnya tidak lepas

(12)

dari sebuah tradisi dan adat istiadat, salah satunya adalah mengenai penanggalan Jawa. Kegiatan masyarakat Jawa yang dianggap penting dan sakral harus menggunakan perhitungan penaggalan Jawa sebagai pedoman untuk menentukkan hari yang baik, tetapi tidak jarang masyarakat juga menggunakan tanggalan umum sebagai pedomannya.

Kalender jawa adalah Suatu kalender yang digunakan masyarakat Jawa untuk kebutuhan pernikahan, pindah rumah dan membangun rumah. Penanggalan yang biasa digunakan masyarakat Jawa ada dua macam yaitu penaggalan Asopon dan penanggalan Aboge. Dari dua macam system penanggalan tersebut memilki perbedaan perhitungan. Penanggalan Aboge lebih sehari dari tanggalan Asopon dan pergantian waktu dalam tanggalan Jawa yaitu pada saat jam 5-6 sore.

Penaggalan Jawa digunakan untuk mencari hari baik saat pernikahan. Pernikahan dalam masyarakat Jawa adalah jalan untuk menghadapi dan menjalani kehidupan bersama dengan pasangan. Oleh karena itu untuk menentukkan laku tersebut harus menggunakan sebuah perhitungan yang njlimet dan setiap hasil dari hitungan tersebut memiliki makna sendiri dalam kehidupan berumah tangga Perhitungan untuk menentukkan hari pernikahan dimulai dengan mempersiapkan nama lengkap kedua pasangan pengantin, weton kedua pasangan

pengantin dan hari geblake ( hari meninggale kedua orang tua pengantin dan kakek nenek jika masih hidup tidak perlu).Ada dua macam cara yang biasa digunakan masyarakat desa Jonggrang : 1. Menggunakan nama kedua pasangan

pengantin.

Dalam menentukkan hari pernikahan dengan cara ini yang digunakan pedoman adalah nama dari kedua calon pengantin.Nama calon pengantin diambil huruf depan dan belakang kemudian di hitung sesuai dengan aksara Jawa.

Contoh nama pengantin :

Heri Basuki Suparti

Ha= 1 Ka=5 Sa = 8 Ta = 7 Jumlah 6 Jumlah 15 Jumlah keduanya adalah 21

Perhitungan jumlah nama dari kedua calon pasangan pengantin harus memliki puluhan atau ekor anagka 6, contohnya 6, 16, 26, 36 dan seterusnya. Karena ekor atau buntut dari setiap perhitungan memiliki makna dan arti sendiri bagi calon penagntin saat berumah tangga kelak. Adapun makna dan arti dari ekor tersebut adalah sebagai berikut : 0 → Kebo Gerang Berat

1 → Banyu Mili 2 → Mantri Susah 3 → Mantri Kelangan 4 → Songgo Bumi

5 → Kebo Gerang Ringan 6 → Lakune Sumber

Ekor atau buntut dari setiap perhitungan harus enam karena dari ekor nol sampai enam yang memilki makna dan

(13)

arti yang paling bagus adalah ekor enam. Perhitungan untuk pengantin diatas tidak memiliki ekor enam sehingga cara mengatasinya dengan cara mengganti nama salah satu pasangan pengantin agar memilki ekor enam. Penggantian nama ini hanya untuk ijab khobul saja bukan untuk nama seterusnya

Contoh nama pengantin yang sudah diganti : Heri Basuki Jarwati

Ha = 1 Ka = 5 Ja = 13 Ta = 7 Jumlah 6 Jumlah 20

Jumlah keduanya adalah 26

Selanjutnya yaitu menentukkan hari pernikahan yang baik, yaitu dengan mengambil hruf depan dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan kemudian hasilnya dibagi dengan angka tiga. Berdasarkan nama pasangan pengantin diatas yaitu Ha = 1 dan Ja = 13, jadi penghitungannya memilki sisa 2.Dalam mengganti namacalon pasangan juga harus memperhatikan jumlahnya karena hasil pembagiannya harus memilki sisa 2.

Seperti makna sebelumnya, 2 memilki makna Sri Temanten. Dari perhitungan diatas maka hari yang digunakan dalam ijab khobul adalah hari yang memiliki sisa 2. Dengan rumus hari pasaran dibagi dengan tiga. Jika ditemukan penghitungan yang memilki sisa kurang dari dua maka cara penyelesainya sebagai berikut :

1. Jika hasil penghitungan memilki sisa 0 maka harus dicarikan hari pasaran yang memiliki perhitungan dengan sisa 2. 2. Jika hasil penghitungan memilki sisa 1

maka harus dicarikan hari pasaran yang memiliki perhitungan dengan sisa 1. 3. Jika hasil penghitungan memilki sisa 2

maka harus dicarikan hari pasaran yang memiliki perhitungan dengan sisa 0. Namun dalam kenyatanya perhitungan seperti diatas berbeda di setiap daerah maupun desa. Ada yang menggunakannya tapi ada pula yang tidak menggunaknya 2. Menggunakkan hari pasaran kedua

pasangan pengantin (weton)

Penggunaan weton dalam menentukkan hari pernikahan sudah umum digunakan masyarakat Jawa. Weton atau hari kelahiran pasangan pengantin merupakan syarat utama yang digunakan dalam perhitungan ini.Berikut adalah cara penghitungan menggunakan weton :

 Heri Basuki memiliki weton Sabtu Pahing  Suparti alias Jarwati memilki weton

Senin Kliwon

Heri Basuki Suparti alias Jarwati Sabtu =

9 Pahing = 9 Senin = 4 Kliwon = 8 Jumlah 18 Jumlah 12

Jumlah keduanya adalah 30

Setelah mengetahui jumlah weton dari kedua pasangan selanjutnya cara penghitunganya yaitu menjumlah weton keduanya kemudian dibagi dengan tiga. Sebagai perhitungan untuk pengantin diatas adalah sebagai berikut : . Dalam

(14)

perhitungan ini sisa yang harus didapatkan adalah dua juga. Karena seperti penjelasan sebelumnya dua memilki makna Sri Temanten. Dari perhitungan diatas hasilnya belum mendapat nilai dua, cara untuk mengatasinya adalah menambahkan hasil penjumlahan dengan hari yang bisa mendapatkan hasil pembagian dua.

Contoh : memiliki sisa 2. Hari yang memiliki sisa 2 adalah hari Senin Pon, Jum’at Legi dan Selasa Kliwon. untuk perhitungan diatas bisa di atasi jika ada kekurangan dan masalah. Namun jika dari calon kedua pasangan terdapat hal-hal seperti berikut sulit untuk di syarati :

1. Anak ragil lanang gak oleh karo anak mbarep wadon.

2. Anak mbarep gak oleh karo anak mbarep. 3. Arah kanggo golek bojo gak oleh

Ngalor-ngulon lan Ngidul- Ngetan.

Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai berikut :

1. Anak bungsu (terakhir) laki-laki tidak boleh dengan anak sulung (pertama) perempuan.

2. Anak sulung (pertama) tidak boleh dengan anak sulung(pertama).

3. Arah untuk mencari suami istri tidak boleh Utara-Barat dan Selatan-Timur C. Persepsi Masyarakat Terhadap

Penanggalan Jawa dalam Menentukkan Waktu Pernikahan

Masyarakat desa Jonggrang adalah tipe masyarakat yang masih memegang nilai

adat istiadat dan tradisi yang masih kuat hal ini ditunjukkan dengan masih adanya kegiatan yang bersifat tradisi seperti minta bantuan kepada sesepuh saat akan menentukkan waktu yang baik untuk pernikahan. Masyarakat yang menjujung tinggi nilai tradisi disebabkan keyakianan yang begitu kuat terhadap dampak jika tidak melakukan hal tersebut. Penentuan waktu pernikahan atau mencari hari yang baik dalam pernikahan adalah salah satu tradisi turun temurun yang masih ada di Desa Jonggrang.

Penanggalan Jawa adalah sebuah warisan dari leluhur atau sesepuh yang perlu dilestarikan, berkaitan dengan penentuan waktu pernikahan berdasarkan penanggalan Jawa sebagai masyarakat Jawa wajib mempercayainya karena pernikahan adalah sebuah ikatan yang sakral dimana seseorang menjalaninya dalam hidup hanya satu kali dan harus disesukaian dengan hari yang baik agar semua berjalan lancar baik rejeki, pekerjaan, anak. Sebuah tradisi atau kebudayaan yang perlu dilestariakan dan kultur dari nenek moyang untuk perhitungan mencari hari baik adalah sebuah nasihat dari sesepuh karena setiap hitungan memilki makna dan arti yang berbeda oleh sebab itu harus digunakan dalam kehidupan sehari-hari tetapi tetap berpatokan ajaran agama dan tidak menyimpang pula

Petungan Jawa adalah sebuah tradisi masyarakat Jawa namun percaya atau tidak

(15)

tergantung dari diri sendiri. Masyarakat miliki persepsi yang berbeda-beda mengenai penanggalan Jawa. Hal ini ditunjukkan karena masyarakat memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda. Persepsi dan pandangan akan muncul berbeda dari masyarakat tergantung dari latar belakang pendidikan , agama dan pekerjaannya.

Perbedaan pandangan terhadap suatu fenomena menunjukkan bahwa kepekaan masyarakat terhadap fenomena yang muncul dan ada di masyarakat. Persepsi masyarakat Desa Jonggrang yang memandang petungan Jawa sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan dan dilakukan karena petungan Jawa memiliki makna yang tersirat. Sesepuh memberikan nasihat melalui petungan Jawa sebagai pedoman dan dasar untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

D. Sikap Masyarakat Terhadap Penanggalan Jawa dalam Menentukkan Waktu Pernikahan.

Sikap masyarakat memilki kecenderungan yang sama dengan masyarakat yang lainnya yang masih tinggal dalam satu wilayah. Sikap merupakan perwujudan atau bentuk tingkah laku terhadap sebuah objek atau fenomena yang terjadi. Masyarakat yang memilki heterogenitas rendah biasanaya akan memilki sikap yang sama dalam memandang sebuah objek. Masyarakat beranggapan bahwa petungan Jawa dalah

sebuah hal yang perlu dilakukan, hal ini nampak saat seseorang masyarakat akan menikahkan anaknya mereka datang ke pujangga untuk menanyakan waktu yang baik.

Sikap Masyarakat Desa Jonggrang terhadap penanggalan Jawa kebanyakan masih melakukanya untuk menentukkan hari baik untuk pernikahan. Sikap erat kaitannya dengan pandangan atau persepsi dari seseorang atau individu. Sebuah persepsi akan mempengaruhi sikap masyarakat dalam sebuah kasus atau fenomena yang ada. Persepsi yang baik atau positif pada petungan Jawa tentu akan memunculkan sikap yang mendukung atau melakukanya namun sebaliknya jika persepsi kurang baik atau negatif sikap yang ditunjukkan adalah menolak atau tidak melaukannya.

Alasan yang menjadi pedoman menerima petungan jawa adalah karena merupakan sebuah perwujudan dari bentuk menghormati leluhur dan melestarikan sebuah tradisi yang sudah ada. Selain itu masyarakat yang menerima beranggapan bahwa petungan Jawa adalah nasihat dari sesepuh yang wajib dilakukan karena memilki makna untuk kehidupan sehari-hari.

Namun juga ada sebagian masyarakat memiliki pandangan yang kurang baik atu negatif, tentu persepsi tersebut akan mempengaruhi sikap mereka yaitu dengan menolak atau tidak

(16)

mendukung. Hal ini terjadi karena agama merupakan pedoman untuk menentukkan hari baik dalam pernikahan.

Pembahasan

A. Persepsi Masyarakat Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Terhadap Penanggalan Jawa dalam Menentukkan Waktu Pernikahan

Masyarakat Indonesia khususnya di Jawa mempunyai kebudayan yang beranekaragam. E. B Taylor ( dalam Abraham Nurcahyo dkk, 2011:6) berpendapat kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan yang ada tidak lepas dari tradisi turun-temurun yang diyakini dan diwarisi oleh nenek moyang. Salah satu bentuk tradisi yang menjadi warisan nenek moyang adalah penanggalan tradisional.

Dalam masyarakat Jawa sistem penanggalan tradisional masih sering digunakan dalam menentukkan hari baik, misalnya untuk penentuan waktu mendirikan rumah dan waktu pernikahan. Kepercayaan masyarkat Jawa yang mayoritas masih mempercayai dan meyakini hal ini membuat keberadaan tradisi ini masih ada di kalangan masyarkat. Pada umumnya semua kegiatan masyarakat Jawa masih berpegang pada suatu hukum adat. Masyarakat desa Jonggrang adalah tipe masyarkaat yang

masih memegang nilai adat istiadat dan tradisi yang masih kuat hal ini ditunjukkan dengan masih adanya kegiatan atau kebudayan yang bersifat tradisi seperti bersih desa, metil saat akan panen padi dan tradisi menentukkan waktu yang baik untuk pernikahan. Masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai tradisi disebabkan keyakinan yang begitu kuat terhadap dampak jika tidak melakukan tradisi tersebut.

Tradisi yang sampai saat ini masih ada dan masih melekat di masyarakat desa Jonggrang yaitu penentuan waktu pernikahan dengan berpedoman pada penanggalan Jawa. Perkawinan atau pernikahan adalh hal yang sakral bagi masyarakat Jawa, jadi dalam pelaksanaanya harus menggunakan waktu yang dianggap baik. Masyarakat yang akan menentukkan hari baik untuk pernikahan biasanya minta bantuan pada seorang yang mampu menguasai petungan Jawa atau sering disebut dengan pujangga.Dengan membawa persyaratan tertentu seorang pujanggaakan membantu menentukkan hari baik.

Perhitungan untuk menentukkan hari pernikahan dimulai dengan mempersipkan nama lengkap kedua pasangan pengantin, wetom kedua pasangan pengantin dan hari geblake (hari meninggalnya kedua orang tua pengantin dan kakek nenek jika masih hidup tidak perlu). Ada dua macam cara yang bisa

(17)

digunakan masyarakat desa Jonggrang dalam mentukan waktu pernikahan :

1. Menggunakan nama kedua calon pasngan pengantin.

Dalam menentukkan hari pernikhan dengan cara ini yang digunkan pedoman adalah nama dari kedua calon pengantin. Nama calon pengantin diambil huruf depan dan belakang kemudian di hitung sesuai dengan Aksara Jawa.

2. Menggunakan hari pasaran kedua calon pengantin (weton).

Penggunaan weton dalam menentukkan hari pernikhan sudah umum digunakan masyarakat Jawa. Weton atau hari kelahiran pasangan pengantin merupakan syarat utama yang digunakan dalam perhitungan ini.

Dalam setiap hasil perhitungan akan memendapatkan nilai dan dari nilai tersebut akan memilki makna yang bisa menjadi pedoman dalam menentukkan hari yang cocok dan baik dalam melakukan pernikahan. Namun dalam kenyatannya dalam perhitungan diatas memiliki hasil yang tidak sesuai harapan. Jalan keluar dari permasalahan ini adalah dengan cara mengganti nama dari salah asatu calon pengantin, tetapi nama yang diganti tidak untuk selamanya melainkan digunakn saat pada waktu ijab khobul.

Dari perhitungan diatas bisa diatsi jika ada kekurngan dan masalah. Namun jika dari calon kedua pasangan terdapat hal-hal seperti berikut sulit untuk di syarati dan

hal-hal ini adalah pantangan dari orang Jawa untuk mencari jodoh, karena dipercaya akan ada masalah dikemudian hari. Hal-hal tersebut antara lain :

1. Anak bungsu (terakhir) laki-laki tidak boleh dengan anak sulung(pertama) perempuan.

2. Anak sulung (pertama) tidak boleh dengan anak sulung(pertama).

3. Arah untuk mencari suami istri tidak boleh Utara-Barat dan Selatan-Timur.

Masyarkat desa Jonggrang yang sebagian besar adalah masyarakat Jawa yang masih memegang teguh warisan budaya dan tradisi adat meyakini bahwa mencari hari baik dalam pernikahan adalah sebuah tradisi yang harus dijlankan, karena tardisi tersebut merupakan warisan nenek moyang yang memiliki makna. Mereka juga meyakini jika tidak menjalankan tradsisi ini akan mengalami sebuah kesulitn nantinya di suatu hari.

Masyarakat desa Jonggrang memilki anggapan bahwa tradisi ini bukan merupakan bentuk musrik, dalam kenyataanya mereka juga percaya dengan kekuasaan Tuhan. Petungan Jawa adalah sebuah tradisi atau kebudayan yang perlu dilestarikan dari nenek moyang untuk perhitungan mencari hari baik adalah sebuah nasihat dari sesepuh karena setiap hitungan memiliki makna dan arti yang berbeda oleh sebab itu harus digunakan dalm kehidupan sehari-hari tetapi tetap berpatokan dengan ajaran agama dan tidak menyimpang pula.

(18)

Penanggalan Jawa adalah sebuah warisan dari leluhur atau sesepu yang perlu dilestarikan, berkaitan dengan penentuan waktu pernikahan berdasarkan penanggalan Jawa sebagai masyarakat Jawa perlu untuk mempercayainya karena pernikahan adalah sebuah ikatan yang sakral dimana seseorang menjalaninya dalam hidup hanya satu kali dan harus disesukaian dengan hari yang baik agar semua berjalan lancar baik rejeki, pekerjaan, anak dan lain-lain.

Menurut Robbin (dalam Fatah Hanurawan, 2010: 37-40) mengemukakan bahwa beberapa faktor utama yang memberi pengaruh terhadap pembentukan persepsi sosial seseorang dan faktor-faktor itu adalah faktor penerima (the perceiver), situasi (the situation), dan objek sasaran (the taget). Perbedaan dalam memandang sebuah tradisi menunjukkan kepekaan masyarakat terhadap sebuah fenomena yang ada. Persepsi dan pandangan akan muncul berbeda dari masyarakat tergantung dari latar belakang pendidikan, agama dan pekerjaannya.

Persepsi masayarakat desa Jonggrang yang memandang petungan Jawa sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan dan dilakukan karena petungan Jawa memiliki makna tersirat. Sesepuh memberikan nasihat melalui petungan Jawa sebagi pedoaman dan dasar untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

B. SikapMasyarakat Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Terhadap Penanggalan Jawa dalam Menentukkan Waktu Pernikahan

Sikap masyarakat memiliki kecenderungan yang sama dengan masyarakat yang lainnya yang masih tinggal dalam satu wilayah. Sikap merupakan perwujudan atau bentuk tingkah laku terhadap sebuah objek atau fenomena yang terjadi. Masyarakat yang memilki heterogenitas rendah biasanaya akan memilki sikap yang sama dalam memandang sebuah objek.

Sikap adalah suatu kecenderungan berbuat ke arah orang dan objek sebagai seseuatu pelaksanaan seperti menunjukkan seseorang penghargaan, mempersilahkan dan sebagainya (dalam Thedore M. Newcomb terjemahan Slamet Santoso, 2010:40).Sikap adalah wujud dari sebuah persepsi atau pandangan, persepsi akan mempengaruhi sikap masyarakat dalam memaknai sebuah fenomena atau kejadian. Sebuah persepsi tentu juga akn mempengaruhi pola pikir masayarakat.

Hasil dari temuan di lapangan menunjukkan ada masyarakat yang menerima dan mendukung petungan Jawa . Alasan yang menjadi pedoman menerima petungan jawa adalah karena merupakan sebuah perwujudan dari bentuk menghormati leluhur dan melestarikan sebuah tradisi yang sudah ada. Selain itu masyarakat yang menerima beranggapan

(19)

bahwa petungan Jawa adalah nasihat dari sesepuh yang wajib dilakukan karena memilki makna untuk kehidupan sehari-hari.

Namun juga ada sebagian masyarakat memilki pandangan yang kurang baik atu negatif, tentu persepsi tersebut akan mempengaruhi sikap mereka yaitu dengan menolak atau tidak mendukung.Menurut masyarakat yang menolak mengatakan bahwa agama merupakan pedoman untuk menentukkan hari baik dalam pernikahan.

Simpulan

Penanggalan Jawa adalah sebuah tradisi turuntemurun yang di wariskan sesepuh pada zaman dahulu. Dari tradisi ini terkandung sebuah makna dimana masyarakat menghormati pitutur yang disampkaikan melalui pengggalan Jawa. Agar masyarakat Desa Jonggrang mendapatkan keselamtan dan kebahagian dalam urusan rumah tangga, maka pengggalan Jawa dipakai saat menentukkan waktu pernikahan. Penggunaan penggalan Jawa sebagai pedoman hari pernikahan menjadi sebuah bukti bahwa sebuah kebudayan Jawa masih melekat di masayarkat Desa Jonggrang.

Sebuah persepsi akan muncul ketika masyarakat peka dengan keadaan lingkungan atau peka terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Persepsi dan pandangan akan muncul berbeda dari masyarakat tergantung dari latar belakang

pendidikan, agama dan pekerjaannya. Persepsi masyarakat desa Jonggrang terhadap tradisi menentukkan waktu yang baik untuk pernikahan ialah menerima dan memiliki persepsi positif karena masyarakat beranggapan bahwa tradisi adalah sebuah warisan yang memiliki pesan dari sesepuh yang harus dilakukan. Persepsi masayarakat desa Jonggrang yang memandang petungan Jawa sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan dan dilakukan karena petungan Jawa memiliki makna tersirat. Sesepuh memberikan nasihat melalui petungan Jawa sebagi pedoaman dan dasar untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Sedangkan sikap akan terbentuk ketika persepsi masyarakat terbangun, sebuah persepsi akan mempengaruhi sikap masyarakat. Sikap dari masyarakat desa Jonggrang adalah melakukan kegiatan tersebut hal itu di buktikan ketika masyarakat ingin mencari hari baik datang keseseorang yang dianggap mampu dalam urusan penanggalan Jawa yaitu pujangga .Sikap masyarkat yang mempercayai tradisi akan menjadi positif tetapi jika tidak mempercayainya akan bersifat negatife yaitu tidak melakukan tradisi tersebut Saran

1. Bagi Masyarkat Desa Jonggrang

Hendaknya tumbuh kesadaran pada individu masyarakat untuk menghormati sebuah tradisi dan kebudayan. Walaupun memilki pandangan yang berbeda namun keberadaan sebuah

(20)

tradisi sebaiknya menjadi perhatian masyarakat untuk melestarikannya. Sebuah tradisi akan tetap berjalan di masyarkat jika masyarkat menjaga tradisi tersebut dengan menjalankan dan melakukan secara baik. 2. Bagi Pemerintah Desa Jonggrang

Mengadakan sebuah sarasehan bagi masyarkat desa Jonggrang untuk mengenal lebih dalam mengenai sejarah lokal desa Jonggrang mulai dari sejarah terbentuknya desa Jonggrang dan tradisi-tadisi yang ada di desa Jonggrang agar masyarakat bisa mengerti dan memahami sebuah tradisi yang ada di desa. Karena tidak sedikit masyarakat yang mengerti dan paham tentang sejarah lokal yang ada di daerahnya masing-masing.

3. Bagi Pemerintah Daerah

Khususnya instansi terkait yaitu dinas kebudayaan agar bisa mendata semua tradisi dan kebudayaan yang ada di lingkup Kabupaten Magetan, hal ini untuk memunculkan kembali dan menjadikan sejarah lokal sebagai pembelajaran bagi siswa. Selain itu sejarah lokal juga menjadi sebuah aset yang penting bagi sebuah daerah sebagai promosi mengenai kekayaan budaya yang terkandung di daerah tersebut. Daftar Pustaka

Abdul Rahman Saleh. 2009. Psikologi Suatu Pengantar dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana

Abraham Nurcahyo dkk. 2011. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Magetan: LE Swastika Pres

Anidal Hasyir, dkk.1984.Kamus Istilah Sosiologi. Jakarta:Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Bimo Walgito. 2008. Psikologi Kelompok . Yogyakarta: Andi Offset

Burhan Bungin. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo

Djanudji. 1999. Primbon: Empat Macam Petung. Surabaya : PT. Trubus Agrisarana

Emzir. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Analisis Data. Jakarta: Grafindo Fattah Hanurawan. 2010. Psikologi Sosial

:Suatu Pengantar . Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Gerungan.2010.Psikologi Sosial . Bandung: PT Refika Aditama

H B Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Universitas Sebelas Maret

Hadari Nawawi. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Husaini Usman. 2000. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi Aksara Imam Budhi Santoso. 2012. Spiritualisme

Jawa : Sejarah, Laku, dan Intisari Ajaran. Yogyakarta: Memayu Publhising

Joko Subagyo. 2004. Metode Penelitian (Dalam Teori dan Praktek). Jakarta: Rineka Cipta

Kangjeng Pangeran Harya Cakraningrat._. Kitab Primbon Betaljemur Andamakna :Bahasa Indonesia. Ngayogyakarta: CV. Buana Karya Ki Ageng Suryomentaram. 2003. Falsafah

Hidup Bahagia. Jakarta : PT. Grasindo

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Asdi Mahasatya

Lexy J Meoleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Pemaja Rosdakarya

Muhammad Iskandar dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem Pengetahuan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada

(21)

Nana Syaodih Sukmadinata. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Poerwadarminto. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka

Purwadi dan Siti Maziyah. 2009. Kitab Primbon Ramalan Jawa. Yogyakarta: Mitra Sejati

Saifuddin Anwar. 2002. Metodologi Penelitan. Surakarta: Pustaka Belajar Sarlito W Sarwono . 2010. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: Rajawali Pers

Sartono Kartodirjdo dkk. 2013. Sejarah Sosial:Konseptualisai, Model dan Tantanganya. Yoyakarta: Penerbit Ombak

Slamet Santoso. 2010. Psikologi Sosial . Bandung: PT Refika Aditama

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan ( Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D). Bandung : Alfabeta

Suharsimi Arikunto.2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta Suwardi Endraswara. 2010. Falsafah Hidup

Jawa .Yogyakarta : Cakrawala

Taylor, Shelley, E. dkk 2009. Psikologi Sosial . Jakarta: PT. Kencana

Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1994.Jakarta: Politea

Wulandari Mahanggi. 2013. Pergeseran Perkawinan Secara Adat di Desa Huluduotomo (Suatu Penelitian di Desa Huluodotomo Kecamatan Suwana Induk Kabupaten Bone-Bolango . Jurnal Mahasiswa. (Di akses Senin, 4 Maret 2014)

DOKUMEN

Badan Pusat Statistik. Pendataan Potensi Desa/ Kelurahan Tahun 2014

Profil Desa Jonggrang Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Ttahun 2013 Risalah dan Monografi Desa Jonggrang

Kecamatan Barat Kabupaten Magetan Tahun 1984

Gambar

Tabel 2.2 Daftar Tabel Saat Awal dan Akhir  Manusia

Referensi

Dokumen terkait

Karena pertumbuhan BRICs yang rata-rata sebesar 5% pada awal tahun 2000, peneliti memprediksi bahwa pada tahun 2050, perekonomian negara anggota BRICs akan lebih

adalah sebuah ruang terbuka yang bersifat egalitarian—seperti sebuah agora atau ruang publik (public space) di dalam budaya politik Yunani, yang di dalamnya setiap

Uji dan Analisis Kekuatan Double Profil Baja Ringan dengan Model Komposisi Toe To Toe dan Back To Back; Wahyu Adhie Martha, 071910301079; 51 halaman; Jurusan Teknik Sipil

"Selaku guru, saya telah berupaya semaksimal mungkin mengimplementasikan pengajaran kepada para peserta didik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang ada, hal

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat, serta karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “ Pengaruh

Ke- padatan relatif tikus yang tinggi meskipun tidak ditemukan tikus positif Leptospira sp dari sampel yang diperiksa dan kondisi bangunan yang tidak rat proff

rasa dari makanan tersebut tidak sesuai dengan seleranya, tidak mau rugi dengan jumlah uang yang dikeluarkan sehingga tidak mau mengurangi porsinya, dan seringnya mereka ke