• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Universitas Sumatera Utara"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

(2)

Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih luas. Jumlah simbol-simbol yang dipertukarkan tentu tidak bisa dihitung dan dikelompokkan secara spesifik kecuali bentuk simbol yang dikirim, verbal dan nonverbal. Memahami komunikasi pun seolah tak ada habisnya. Mengingat komunikasi sebagai suatu proses yang tiada henti melingkupi kehidupan manusia.

Dengan belajar memahami komunikasi antarbudaya berarti memahami realitas budaya yang berpengaruh dan berperan dalam komunikasi. Kita dapat melihat bahwa proses perhatian komunikasi dan kebudayaan yang terletak pada variasi langkah dan cara berkomunikasi yang melintasi komunitas atau kelompok manusia. Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi bagaimana menjajaki makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan teknologi yang melibatkan interaksi manusia (Liliweri, 2004: 10).

Menurut Ting Toomey, budaya sebagai komponen dari usaha manusia untuk bertahan hidup (survive) dan berkembang dalam lingkungan partikular mereka, memiliki beberapa fungsi, yaitu: Identity Meaning Function yaitu budaya memberikan kerangka referensi untuk menjawab pertanyaan paling mendasar dari keberadaan manusia ‘siapa saya’, Group Inclusion Function yaitu budaya menyajikan fungsi inklusi dalam kelompok yang bisa memuaskan kebutuhan seseorang terhadap afiliasi keanggotaan dan rasa ikut memiliki, Intergroup

(3)

Boundary Regulation Function yaitu fungsi budaya sebagai pembentuk sikap seseorang tentang in-group dan out-group berkaitan dengan orang yang secara kultural tidak sama, The Ecological Adaptation Function yaitu fungsi budaya dalam memfasilitasi proses-proses adaptasi di antara diri, komunitas kultural dan lingkungan yang lebih besar, The Cultural Communication Function yaitu koordinasi antara budaya dengan komunikasi, budaya mempengaruhi komunikasi dan komunikasi mempengaruhi budaya. Ringkasnya, budaya diciptakan, dibentuk, ditransmisikan dan dipelajari melalui komunikasi; sebaliknya praktik-praktik komunikasi diciptakan, dibentuk dan ditransmisikan melalui budaya (Rahardjo, 2005: 49-51).

Menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda. Dengan memberikan penekanan baik kepada perbedaan-perbedaan kultural yang sesungguhnya maupun perbedaan-perbedaan kultural yang dipersepsikan antara pihak-pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi antarbudaya menjadi sebuah perluasan bagi studi komunikasi antarpribadi, komunikasi organisasi dan kawasan-kawasan studi komunikasi antarmanusia lainnya. Jadi komunikasi antarbudaya merujuk pada fenomena komunikasi dimana partisipan yang berbeda latar belakang kultural menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan kultural antara pihak-pihak

(4)

yang terlibat maka karakteristik-karakteristik kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi. Titik perhatian dari komunikasi antarbudaya adalah proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok (Rahardjo, 2005: 53-54).

Jadi melalui budaya kita bertukar dan belajar banyak hal, karena pada kenyataannya siapa kita adalah realitas budaya yang kita terima dan pelajari. Untuk itu, saat komunikasi menuntun kita untuk bertemu dan bertukar simbol dengan orang lain, maka kita pun dituntut untuk memahami orang lain yang berbeda budaya dan perbedaan itu tentu menimbulkan bermacam kesukaran dalam kelangsungan komunikasi yang terjalin.

Memahami budaya yang berbeda dengan kita juga bukanlah hal yang mudah, dimana kita dituntut untuk mau mengerti realitas budaya orang lain yang membuat ada istilah ‘mereka’ dan ‘kita’ dalam situasi seperti itulah manusia dituntut untuk mengungkap identitas orang lain. Dalam kegiatan komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi individu, lebih dari itu identitas menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Dari ciri khas itulah nantinya kita dapat mengungkapkan keberadaan individu tersebut.

Dalam artian sederhana, yang dimaksud dengan identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang kita ketahui batas-batasnya tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain (Liliweri, 2003: 72).

Indonesia sebagai negara kepulauan, dikenal luas sebagai bangsa yang terdiri dari sekitar 300 suku bangsa yang memiliki identitas kebudayaan

(5)

masing-masing. Penduduk Indonesia tentunya terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki daerah asal dan kebudayaannya sendiri dan telah berakar sejak berpuluh-puluh tahun yang silam. Keberagaman suku dan budaya yang ada di Indonesia menjadi salah satu ciri khas masyarakat Indonesia. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita tidak terlepas dari adanya benturan-benturan perbedaan kebudayaan antara satu daerah dengan daerah lain, suatu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya, hingga benturan kebudayaan antara masing-masing individu dengan latar belakang adat istiadat, budaya dan nilai-nilai yang berbeda pula.

Masing-masing etnis yang ada di Indonesia tentu memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing, salah satunya adalah etnis Minangkabau. Salah satu hal yang membuatnya unik dalam kajian komunikasi antarbudaya ini adalah budaya merantau. Dimana setiap perantau ketika melakukan interaksi akan mendapati perbedaan-perbedaan budaya mereka dengan budaya di lingkungan perantauannya dan mereka selalu dituntut untuk tetap bisa mempertahankan identitas budaya mereka sebagai bagian dari etnis Minangkabau yang lebih lanjut disebut orang Minang.

Etos merantau orang Minang sangatlah tinggi, bahkan diperkirakan tertinggi di Indonesia. Dari hasil studi yang pernah dilakukan oleh Mochtar Naim yang dikutip dari Wikipedia.org, pada tahun 1961 terdapat sekitar 32 % orang Minang yang berdomisili di luar Sumatera Barat. Kemudian pada tahun 1971 jumlah itu meningkat menjadi 44 %. Berdasarkan sensus tahun 2000, suku Minang yang tinggal di Sumatera Barat berjumlah 3,7 juta jiwa, dengan

(6)

perkiraan hampir sepertiga orang Minang berada di perantauan. Mobilitas migrasi suku Minangkabau dengan proporsi besar terjadi dalam rentang antara tahun 1958 sampai tahun 1978, dimana lebih dari 80 % perantau yang tinggal di kawasan rantau telah meninggalkan kampung halamannya setelah masa kolonial Belanda. Melihat data tersebut, maka terdapat perubahan cukup besar pada etos merantau orang Minangkabau dibanding suku lainnya di Indonesia.

Pada akhir abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menjadi penyokong kuat gerakan Paderi dan menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni di seluruh Minangkabau dan Mandailing. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, Muhammad Jamil Jambek, dan Ahmad Khatib Al-Minangkabawi.

Selain ke Timur Tengah, pelajar Minangkabau juga banyak yang merantau ke Eropa. Mereka antara lain Abdoel Rivai, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Roestam Effendi dan Nazir Pamuntjak. Intelektual lain, Tan Malaka, hidup mengembara di delapan negara Eropa dan Asia, membangun jaringan pergerakan kemerdekaan Asia. Semua pelajar Minang tersebut yang merantau ke Eropa sejak akhir abad ke-19, menjadi pejuang kemerdekaan dan pendiri Republik Indonesia.

Menurut Rudolf Mrazek, sosiolog Belanda, dua tipologi budaya Minang, yakni dinamisme dan anti-parokialisme melahirkan jiwa merdeka, kosmopolitan, egaliter dan berpandangan luas. Hal ini menyebabkan tertanamnya budaya

(7)

merantau pada masyarakat Minangkabau. Semangat untuk merubah nasib dengan mengejar ilmu dan kekayaan, serta pepatah Minang yang mengatakan Karatau madang dahulu, babuah babungo alun, marantau bujang dahulu, di rumah paguno balun (lebih baik pergi merantau karena dikampung belum berguna) memotivasi pemuda Minang untuk pergi merantau sedari muda. (http://id.wikipedia.org). Sehingga pada dasarnya, budaya merantau orang Minang tidak lepas dari komunikasi antarbudaya.

Memasuki dunia baru dimana kita dituntut untuk beradaptasi bukanlah hal yang mudah. Beradaptasi di lingkungan baru, kita dituntut belajar serta memahami budaya baru. Terlebih lagi adaptasi tentu akan semakin sulit, jika lingkungan yang baru adalah lingkungan yang jauh berbeda budayanya dengan lingkungan sebelumnya. Menghadapi perbedaan kebudayaan tersebut tentunya bukanlah perkara mudah, begitu pula pengalaman mahasiswa asal Sumatera Barat yang pada umumnya adalah etnis Minangkabau yang melanjutkan pendidikan di Universitas Sumatera Utara. Para pelajar tersebut tentunya harus menetap di Kota Medan yang memiliki kultur budaya berbeda dengan lingkungan asal mereka.

Dalam konteks penelitian ini, peran identitas budaya dalam komunikasi antarbudaya menjadi penting untuk diperhitungkan. Kita perlu tahu, saat kita berkomunikasi khususnya komunikasi antarbudaya, apakah kita menyadari diri kita sebagai bagian dari satu kelompok etnis lain dan jawaban itu akan menuntun kita pada satu pertanyaan utama ‘Apakah kesadaran akan identitas budaya itu memiliki peran dalam komunikasi yang kita lakukan?’. Sehingga nantinya dapat dilihat apakah komunikasi antarbudaya itu terjalin secara efektif .

(8)

Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian yaitu di Universitas Sumatera Utara dilakukan karena mahasiswa asal Sumatera Barat di Sumatera Utara, paling banyak berada di Universitas ini. Menyadari bahwa status mereka adalah pendatang, maka untuk itu penting juga memahami bagaimana para mahasiswa tersebut memulai culture shock yang pasti terjadi dan bagaimana realitas identitas yang dibangun, baik menyangkut etnisnya sendiri maupun mengenai etnis lain (etnis di lingkungan baru).

Ketertarikan penelitian ini didasari pada kemungkinan adanya rasa untuk mempertahankan identitas budaya di daerah perantauan maupun rasa untuk tidak menonjolkan identitas budaya tersebut, karena adanya tekanan dari lingkungan dan sebagainya. Jadi, nantinya akan bisa ditarik kesimpulan apakah mahasiswa asal Sumatera Barat mampu mempertahankan identitas budaya mereka sebagai bagian masyarakat Minangkabau yang berada di luar lingkungan asalnya atau tidak. Sehingga dari penelitian ini nantinya kita dapat melihat sejauh mana peran identitas budaya dalam komunikasi antarbudaya, apakah akan membantu mahasiswa asal Sumatera barat di Universitas Sumatera Utara dalam menjalin komunikasi yang efektif atau sebaliknya, menghambat komunikasi. Dengan menggunakan analisis studi kasus, maka diharapkan berbagai pertanyaan seputar masalah identitas budaya dan komunikasi antarbudaya di kalangan mahasiswa Minangkabau di Universitas Sumatera Utara dapat terjawab.

Meneliti para mahasiswa Minangkabau terkait masalah komunikasi antarbudaya, maka menyangkut beberapa masalah potensial dalam komunikasi

(9)

antarbudaya yang mereka jalani, yaitu pencarian kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme, culture shock (Samovar, Porter & Mc Daniel, 2007: 316).

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara”.

I. 2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk dari indentitas budaya yang muncul ketika mahasiswa Minangkabau di Universitas Sumatera Utara melakukan interaksi dengan teman mereka yang berbeda etnis?

a. Apakah muncul stereotip?

b. Apakah muncul sikap etnosentrisme?

c. Apakah ada pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, nilai, perilaku)? d. Apakah ada rasa kepemilikan (sense of belonging) pada kelompok

etnis?

e. Apakah ada komitmen dan evaluasi positif terhadap kelompok etnis? 2. Apakah ada perubahan identitas budaya saat mahasiswa Minangkabau di

Universitas Sumatera Utara berinteraksi dengan orang lain yang berbeda etnis?

(10)

b. Apakah terjadi pembauran identitas budaya?

c. Apa saja yang meliputi perubahan/pembauran yang terjadi?

I. 3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas maka perlu dibuat pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus.

2. Subjek penelitian dikhususkan pada mahasiswa dengan etnis Minangkabau di Universitas Sumatera Utara angkatan 2008-2010.

3. Subjek penelitian ini dibatasi lagi pada mahasiswa Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat dan belum pernah menetap di daerah lain di luar Sumatera Barat sebelumnya. Pembatasan ini bermaksud agar penelitian berfokus pada mahasiswa Minangkabau asli yang baru menetap di daerah lain.

I. 4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui identitas budaya yang terbentuk pada mahasiswa etnis Minangkabau asal Sumatera Barat baik dalam

(11)

memaknai serta memahami identitas budaya etnis mereka maupun identitas budaya etnis lain.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan identitas budaya yang mungkin terjadi di kalangan mahasiswa etnis Minangkabau Universitas Sumatera Utara.

3. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran identitas budaya dalam menjalin komunikasi antarbudaya yang efektif antara mahasiswa etnis Minangkabau USU dengan orang lain yang memiliki identitas budaya yang berbeda.

I. 5 Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarbudaya dengan metodologi kualitatif.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian kualitatif dalam bidang ilmu komunikasi.

3. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama dalam memahami konteks komunikasi antarbudaya yang terjadi di sekitar kita.

I. 6 Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun

(12)

kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 1991: 39-40).

Ketika suatu masalah penelitian telah ditemukan, maka peneliti mencoba membahas masalah tersebut dengan teori-teori yang dipilihnya yang dianggap mampu menjawab masalah penelitian (Bungin, 2008: 31).

Teori digunakan peneliti untuk menjustifikasi dan memandu penelitian mereka. Mereka juga membandingkan hasil penelitian berdasarkan teori itu untuk lebih jauh mengembangkan dan menegaskan teori tersebut (Mulyana, 2001: 16).

Dalam penelitian ini, teori-teori yang relevan adalah Komunikasi, Komunikasi Antarbudaya, Identitas Budaya dan teori Interaksi Simbolik.

I.6.1 Komunikasi

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu communicatio, yang bersumber dari kata communis yang artinya ”sama” dan communico, communication, atau communicare yang berarti ”membuat sama” Istilah yang paling sering disebut sebagai asal usul kata komunikasi yang merupakan akar dari kata-kata Latin Communis. Sedangkan Everet M. Rogers mendefinisikan komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka (Effendy, 2003: 30).

Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar

(13)

kaitan antara yang komunikator maksud dengan yang komunikan terima, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilakukan.

Menurut L. Tubbs dan Moss (Rakhmat, 2005: 13) komunikasi efektif menimbulkan:

- Pengertian - Kesenangan

- Mempengaruhi sikap - Hubungan sosial yang baik - Tindakan

Dengan demikian dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan atau tanpa perantara dengan tujuan untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikan.

I.6.2 Komunikasi Antarbudaya

Liliweri (2004: 9-15) mengemukakan bahwa komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya. Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi. 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

(14)

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian. 5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.

Mengutip pendapat Habermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi (apapun bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi di balik para partisipan komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukkan oleh karakteristik antara lain; suasana yang menggambarkan derajat kebebasan, suasana dimana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu memberikan komunikator dan komunikan untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan minat kelompok. Dari sini bisa disimpulkan bahwa iklim komunikasi antarbudaya tergantung pada 3 dimensi, yakni perasaan positif, pengetahuan tentang komunikan dan perilaku komunikator (Liliweri, 2004: 48).

Menurut Samovar dan Porter, untuk mengkaji komunikasi antarbudaya perlu dipahami hubungan antara kebudayaan dengan komunikasi. Melalui pengaruh budayalah manusia belajar komunikasi, dan memandang dunia mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep, dan label-label yang dihasilkan kebudayaan. Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau peristiwa. Cara-cara manusia berkomunikasi, keadaan berkomunikasi, bahkan bahasa dan gaya bahasa yang digunakan, perilaku-perilaku non-verbal merupakan respons terhadap dan fungsi budaya (Liliweri, 2001: 160).

(15)

Dalam komunikasi antarbudaya, juga penting mencapai apa yang komunikator dan komunikan harapkan yaitu komunikasi efektif. Komunikasi yang efektif tergantung pada tingkat kesamaan makna yang didapat partisipan yang saling bertukar pesan. Fisher berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna dalam komunikasi tidak pernah secara total sama untuk semua komunikator, adalah dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak sempurna (Gudykunst dan Kim, 2003: 269-270).

Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima (mereka menginterpretasikan pesan secara sama). Sedangkan komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi karena berbagai alasan ketika kita berkomunikasi dengan orang lain. Kita mungkin tidak mengirim pesan kita dengan cara yang dapat dipahami oleh orang lain atau orang lain mungkin salah menginterpretasikan apa yang kita katakan atau keduanya dapat terjadi secara bersamaan. Masalahnya dapat terjadi karena pengucapan, tata bahasa, kesamaan dengan topik yang sedang didiskusikan atau kesamaan dengan bahasa asli orang lain tersebut, bahkan faktor sosial. Misalnya kita mengerti mereka karena mereka menggunakan bahasa kita tapi kita sendiri tidak mengerti bahasa mereka. Bahkan ketika berkomunikasi dengan orang lain dan mendasarkan interpretasi kita pada sistem kita maka komunikasi yang tidak efektiflah yang terjadi. Kesimpulannya, komunikasi yang efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain kita harus penuh perhatian dan sadar. Sebagai komunikator yang kompeten, berkomunikasi secara

(16)

efektif dan tepat merupakan aspek penting untuk diamati. Kita bisa berkomunikasi secara efektif walaupun kita tidak dilihat sebagai komunikator yang kompeten (Gudykunst dan Kim, 2003:270-271). Dalam komunikasi antarbudaya tentunya perbedaan budaya menjadi tantangan untuk mencapai komunikasi yang efektif dan untuk itu penting bagi partisipan mengetahui identifikasi bersama (homofili). I.6.3 Identitas Budaya

Pembahasan tentang identitas budaya seringkali dikacaukan dengan istilah identitas sosial. Identitas soial terbentuk dari struktur sosial yang terbentuk dalam sebuah masyarakat. Sedangkan identitas budaya terbentuk melalui struktur kebudayaan suatu masyarakat. Struktur budaya adalah pola-pola persepsi, berpikir dan perasaan, sedangkan struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial.

Dalam praktik komunikasi, identitas tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seseorang, tetapi lebih dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatarbelakanginya. Ketika manusia itu hidup dalam masyarakat yang multibudaya, maka di sanalah identitas budaya itu diperlukan.

Identitas budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari sebuah kelompok etnik tertentu. Itu meliputi

Struktur Budaya Pola persepsi, Berpikir, perasaan

Identitas Budaya

Struktur Sosial Pola-pola

perilaku sosial

(17)

pembelajaran tentang dan penerimaan tradisi, sifat bawaan, bahasa, agama, keturunan dari suatu kebudayaan (Liliweri, 2004: 87).

Sedangkan menurut Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel, identitas budaya merupakan adalah karakter khusus dari sistem komunikasi kelompok yang muncul dalam situasi tertentu.

Diverse groups can create a cultural system of symbols used, meanings assigned to the symbols, and ideas of what is considered appropriate and inappropriate. When the groups also have a history and begin to hand down the symbols and norms to new members, then the groups take on a cultural identity. Cultural identity is the particular character of the group communication system that emerges in the particular situation (Samovar, 2006: 56).

Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami ketika suatu kelompok masyarakat telah mewariskan simbol-simbol dan norma-norma secara turun temurun, maka berarti kelompok tersebut telah memiliki identitas budaya. Identitas budaya sangat berpengaruh terhadap kemampuan berkomunikasi antarbudaya. Kemampuan orang berdasarkan kategorisasi, strata sosial, pola kepercayaan, pola pikir dan pola perasaan berdasarkan kebudayaan tertentu akan berbeda satu sama lain.

Menurut Phinney yang dikutip dari smartpsikologi.blogspot.com, ada empat hal yang mungkin dilakukan remaja etnis minoritas dalam upaya hidup bersama kelompok mayoritas:

1. Asimilasi (mencoba mengadopsi norma-norma budaya mayoritas dan standar mereka, namun sementara itu tetap menganggap mayoritas bukan sebagai kelompoknya).

(18)

2. Marginaliti (hidup bersama budaya mayoritas tetapi sebagai orang asing dan tidak diterima).

3. Separasi (memisahkan diri dari budaya ayoritas dan tetap memakai budaya sendiri).

4. Bikulturalisme (mengadopsi nilai-nilai mayoritas dan minoritas secara berbarengan).

Daphne A. Jameson dalam jurnalnya Reconceptualizing Cultural Identity and Its Role in Intercultural Business Communication (2007: 281-285) menyebutkan bahwa identitas budaya memiliki atribut sebagai berikut:

1. Cultural identity is affected by close relationship (identitas budaya dipengaruhi oleh hubungan dekat).

2. Cultural identity changes over time (identitas budaya berubah sesuai dengan waktu).

3. Cultural identity is closely intertwined with power and privilege (idenitas budaya erat kaitannya dengan kekuasaan dan hak istimewa). 4. Cultural identity may evoke emotions (identitas budaya bisa

membangkitkan emosi).

5. Cultural identity can be negotiated through communication (identitas budaya bisa dinegosiasikan melalui komunikasi).

I.6.4 Teori Interaksi Simbolik

Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau

(19)

perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Selanjutnya padangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan atau struktur yang ada di luar dirinya. Oleh karena individu terus berubah maka masyarakat pun berubah melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat. Struktur itu sendiri tercipta dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59-61).

Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan

(20)

bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan aturan-aturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70).

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interkasionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut: pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.

I. 7 Kerangka Konsep

Dari beberapa teori yang telah diuraikan pada kerangka teori maka langkah selanjutnya merumuskan kerangka konsep sebagai hasil dari suatu

(21)

pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai (Nawawi, 1991: 40). Konsep adalah penggambaran fenomena yang hendak diteliti, yakni istilah dari definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995: 33).

Maka komponen penelitian yang akan diteliti adalah: 1. Identitas Budaya

2. Komunikasi Antarbudaya I. 8 Operasionalisasi Konsep

I. Identitas Budaya

A. Komponen Identitas Budaya

Menurut Liliweri (2001: 114-136), ada beberapa komponen yang membentuk identitas budaya, yaitu:

1. Pembelajaran dan penerimaan tradisi:

a. Pandangan hidup, kosmologi dan ontologi, tiga komponen ini selalu terdapat dalam setiap kebudayaan. Pandangan hidup ini dapat dilihat melalui kepercayaan, sikap dan nilai yang diajarkan. b. Norma-norma budaya: menunjukkan aturan atau standar perilaku

yang diharapkan oleh semua orang dalam suatu situasi tertentu atau yang berlaku secara umum.

c. Konsep tentang waktu. Setiap kebudayaan mempunyai konsep tentang masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Mereka yang

(22)

bukan anggota kelompok, pasti mempunyai orientasi konsep waktu dan ruang yang berbeda.

Konsep waktu berhubungan dengan pembagian nama penanggalan waktu dalam satuan periode dan pembagian waktu berdasarkan fungsi tertentu.

d. Konsep tentang jarak/ruang. Setiap kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya tentang orientasi terhadap ruang dan jarak. Ruang berhubungan dengan yang sifatnya lebih pada kepentingan sosial, sedangkan jarak lebih banyak berhubungan dengan jarak fisik ketika bercakap-cakap.

2. Skema Kognitif pada umumnya ditentukan oleh persepsi individu yang dibentuk oleh pengalaman kognisi seseorang dengan kebudayaannya. Skema mempengaruhi keputusan individu untuk menentukan prioritas fungsi objek berdasarkan waktu dan tempat. Setiap kebudayaan mengajarkan skema kognitif yang berbeda-beda. Misalnya, pesan tentang kepentingan makanan, pakaian atau pun rumah yang nampaknya sebagai kebutuhan dasar dari semua kebudayaan belum tentu mendapat prioritas yang sama dalam skema kognitif komunikan.

3. Bahasa dan sistem simbol. Setiap kebudayaan menjadikan bahasa sebagai media untuk menyatakan prinsip-prinsip ajaran, nilai dan norma budaya kepada para pendukungnya. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perkataan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan

(23)

nilai dan norma, menerjemahkan skema kognitif manusia, menerjemahkan persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunianya. Pembahasan tentang bahasa tidak bisa dilepaskan dari masalah simbol dan sign (tanda). Berbicara tentang sign atau tanda artinya kita bicara tentang cara memberi makna terhadap objek. Setiap suku bangsa ataupun etnis telah menetapkan simbol-simbol kebudayaan mereka masing-masing untuk menyatakan kepentingan tertentu.

4. Agama, Mitos dan cara menyampaikannya. Setiap budaya mempunyai gejala dan peristiwa yang tidak dapat dijelaskan secara rasional tapi hanya berdasarkan pengalaman iman saja. Setiap kebudayaan mengajarkan kepada anggota komunitasnya tentang agama, mitos-mitos serta cara-cara menyatakan keberagaman anggota suku bangsa itu.

5. Hubungan sosial dan jaringan komunikasi. Keluarga-keluarga selalu terbentuk dalam komunitas-komunitas kecil menjadi satu agen sosialisasi dalam sebuah kebudayaan. Hubungan dalam komunitas dapat berbentuk komunal dan kerjasama atau persaingan dan juga individualistik, tergantung pada apakah kebudayaan itu merupakan kebudayaan lisan atau kebudayaan membaca. Sebagian besar kebudayaan masyarakat Indonesia menganut kebudayaan lisan yang lebih menekankan pada komunalisme/pemilikan bersama dan kerja sama. Sedangkan kebudayaan baca tulis diasumsikan sebagai

(24)

kebudayaan modern yang bersifat individual, ekslusif, tidak berurusan dengan komunalisme.

B. Atribut Identitas Budaya

Adapun atribut identitas budaya menurut Daphne A. Jameson adalah sebagai berikut:

1. Identitas budaya dipengaruhi oleh hubungan dekat. Hubungan dekat seseorang dengan orang lain misalnya anggota keluarga atau teman. 2. Identitas budaya berubah sesuai dengan waktu. Perubahan-perubahan yang

dialami seseorang dalam hidupnya dapat mengubah identitas budaya yang ia miliki. Misalnya, perubahan status sosial, kelas ekonomi, profesi, status kewarganegaraan ataupun agama.

3. Identitas budaya terkait erat dengan kekuasaan dan hak istimewa (privilege). Komponen biologis budaya-ras, etnis, jenis kelamin, usia, terkadang membuat orang lain merasa terpinggirkan dari hak-haknya. 4. Identitas budaya bisa membangkitkan emosi. Setiap orang mungkin

memiliki perasaan positif, negatif, netral atau ambigu terhadap komponen identitas budaya mereka sendiri. Ketika orang tersebut mendapatkan tanggapan yang negatif dari budaya orang lain, beberapa kemungkinan bisa saja terjadi. Mulai dari mengubah cara pandangnya, merendahkan sikap tersebut, atau bisa juga meninggalkan kelompok yang berhubungan dengan hal tersebut.

5. Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi. Identitas budaya dapat dinegosiasikan melalui komunikasi tetapi hanya

(25)

dalam keadaan tertentu. Orang tersebut harus merasa sadar dengan komponen identitas budaya mereka dan merasa nyaman untuk mendiskusikannya dengan orang lain.

II. Komunikasi Antarbudaya

1. Pertukaran pesan antarbudaya yang mungkin terjadi baik pesan verbal maupun non verbal.

2. Komponen dari kompetensi komunikasi:

a. Motivasi: hasrat kita untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif dengan orang lain.

b. Pengetahuan: kesadaran kita tau pemahaman kita akan apa yang kita butuhkan untuk dilakukan agar komunikasi berjalan secara efektif dan tepat.

c. Kemampuan: kemampuan kita dalam mengolah perilaku yang perlu dalam berkomunikasi secara tepat dan efektif (Gudykunst dan Kim, 2003: 275). 3. Masalah potensial dalam komunikasi antarbudaya:

a. Pencarian kesamaan usaha untuk mencari orang yang memiliki kesamaan budaya, etnis dan lainnya lalu berkumpul dalam satu kelompok.

b. Penarikan diri: penarikan diri dari interaksi tatap muka, atau dari suatu komunitas.

c. Kecemasan: perasaan psikologis yang secara tiba-tiba menghasilkan sebuah situasi baru yang kurang aman/nyaman.

(26)

d. Pengurangan ketidakpastian: usaha untuk mengurangi ketidakpastian atau dengan berusaha memprediksi perilaku apa yang akan dilakukan lawan bicara saat berinteraksi.

e. Stereotip: Penggeneralisasian orang-orang (kelompok etnis lain) berdasarkan sedikit info dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam satu kelompok.

f. Prasangka: keyakinan yang didasarkan pada gagasan yang terlebih dahulu disederhanakan, digeneralisasi atau dilebih-lebihkan pada sekelompok orang.

g. Etnosentrisme: menganggap kelompok budaya/etnisnya yang lebih baik (superior) hingga bisa menimbulkan rasisme yaitu pengkategorisasian individu berdasarkan warna kulit, rambut, dan lainnya.

h. Culture Shock: kecemasan yang dihasilkan dari perasaan kehilangan tanda keluarga dan simbol dari pergaulan sosial, gegar budaya terjadi ketika kita memasuki lingkungan baru yang berbeda budaya.

C. Karakteristik Informan

1. Usia: umur dari informan

2. Jenis kelamin: laki-laki atau perempuan

3. Lama menetap: lama informan menetap di kota Medan

4. Status tempat tinggal: informan menetap bersama keluarga atau tinggal sendiri.

BAB II

(27)

II.1 Komunikasi

Kehadiran komunikasi menurut perjalanan sejarah sama tuanya dengan umur peradaban manusia di permukaan bumi ini. Pada zaman pra sejarah, manusia telah mengenal proses penyampaian pernyataan dengan bahasa isyarat, bahasa lisan, gambar-gambar dan berbagai jenis media lainnya yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan komunikasi. Perkembangan kegiatan komunikasi itu sendiri sejak permulaan sejarah hingga saat ini secara sistematis selalu diiringi dengan kemajuan yang dicapai manusia. Semakin maju peradaban kehidupan manusia itu maka semakin maju pula kegiatan komunikasinya.

Penggunaan bersama merupakan proses yang azasi dalam komunikasi. Pengertian ini lebih tepat untuk melukiskan suatu proses komunikasi daripada kata-kata mengirim atau menerima. Karena penggunaan bersama tidak berarti bahwa seseorang melakukan suatu hal yang dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama, tetapi suatu hal di mana mereka berpartisipasi secara bergabung atau bersama. Berpartisipasi di sini maksudnya adalah berinteraksi dengan pihak-pihak lain dalam pemikiran, perasaan atau kegiatan tertentu (Kincaid & Schramm, 1987: 4).

Menurut lexicographer (ahli kamus bahasa), komunikasi adalah upaya yang bertujuan berbagi untuk mencapai kebersamaan. Jika dua orang berkomunikasi maka pemahaman yang sama terhadap pesan yang saling dipertukarkan adalah tujuan yang diinginkan keduanya. Webster’s New Collegiate Dictionary edisi tahun 1977 antara lain menjelaskan bahwa komunikasi adalah

(28)

suatu proses pertukaran informasi diantara individu melalui sistem lambang-lambang, tanda-tanda atau tingkah laku (http://meiliemma.wordpress.com).

Tidak terbatasnya ruang dan waktu dalam komunikasi yang disebabkan oleh peradaban manusia yang begitu luas, tidak hanya melibatkan manusia berkomunikasi antarsuku, agama, adat-istiadat tetapi juga membawa manusia kepada peradaban yang sudah bersatu secara keseluruhan sehingga menjadi satu peradaban yang global tanpa batas dan dapat dibatasi.

Hingga saat ini, terdapat ratusan definisi komunikasi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Bahkan suatu definisi komunikasi berbeda atau bahkan bertentangan dengan definisi lainnya. Pada tahun 1976, Frank Dance dan Carl Larson telah mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan (Mulyana, 2007: 60). Berikut ini adalah beberapa definisi komunikasi menurut beberapa ahli:

1. Carl I. Hovland dalam karyanya ”Social Communication” menjelaskan Communication is the process by which an individual (the communicator) transmit stimuli (usually verbal symbol) to modified the behavior of other individuals (communican). (Komunikasi adalah proses seseorang menyampaikan rangsangan (biasanya dengan lambang kata/gambar) guna merubah tingkah laku orang lain).

2. Joseph A. Devito dalam bukunya ”Communicology: An Introduction to the study of communication” menjelaskan:

The act, by one or more persons, of sending and receiving messages distorted by noise, within a context, with some effect and some opportunity for feedback. The communication act, then, would

(29)

messages, channels, noise, sending or encoding process, feedback and effect. These elements seem the most essential in any consideration of the communication act. They are what we might call the universals of communication: ...The elements that are present in every communication act, regardless of whether it intrapersonal, interpersonal, small group, public speaking, mass communication or intercultural communication.

(Kegiatan yang dilakukan seseorang atau lebih dari kegiatan menyampaikan dan menerima pesan komunikasi yang terganggu keributan, dalam suatu konteks, bersama dengan beberapa efek yang timbul dan kesempatan arus balik. Kegiatan komunikasi meliputi komponen: konteks, sumber, penerima, pesan, saluran, gangguan, proses penyampaian atau proses decoding, arus balik dan efek. Unsur-unsur tersebut agaknya paling esensial dalam setiap pertimbangan tentang kegiatan komunikasi. Hal ini dapat dikatakan pada setiap kegiatan komunikasi sebagai kesemestaan komunikasi: ... Unsur-unsur yang setiap saat ada dari kegiatan komunikasi adalah komunikasi intra individu, antar individu, kelompok kecil, public speaking, komunikasi massa atau komunikasi antar kebudayaan) (Lubis, 2007: 9-10). 3. Harold D Laswell. Cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi

adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? (Mulyana, 2007: 68). 4. Samovar dan Porter. Communication is defined as two-way on going,

behavior affecting process in which one person (a source) intentionally encodes and transmits a message through a channel to an intented

(30)

audience (receiver) in order to induce a particular attitude or behavior (Purwasito, 2003: 198).

Dari beberapa uraian mengenai definisi komunikasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Komunikasi dapat membuat orang lain mengambil bagian untuk memberi dan mengalihkan informasi sebagai berita maupun gagasan.

2. Komunikasi dapat juga berarti kegiatan untuk menyebarkan informasi. 3. Komunikasi juga dapat berarti mengambil bagian dalam kebersamaan. 4. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber,

pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan efek.

5. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu, kelompok kecil, public speaking, komunikasi massa dan komunikasi antar kebudayaan.

Pendekatan terhadap komunikasi dalam konteks ini berfokus pada pemberian makna kepada perilaku, karena komunikasi berhubungan dengan perilaku manusia dan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan ini terpenuhi melalui pesan yang berfungsi menjembatani hubungan manusia satu dengan lainnya.

Pemberian makna kepada perilaku seseorang pada proses komunikasi didasarkan pada perbendaharaan makna yang kita miliki, hasil dari observasi, pengalaman ataupun refleksi kita tentang orang lain dan lingkungan kita. Berbagai

(31)

makna tersebut juga dipengaruhi oleh budaya yang kita miliki atau hasil dari pengalaman-pengalaman pribadi dalam budaya tersebut.

Komunikasi terjadi dalam konteks fisik dan konteks sosial tertentu. Banyak aspek lingkungan fisik termasuk arti simbolik yang dapat mempengaruhi komunikasi. Sementara itu konteks sosial menentukan hubungan sosial antara komunikator dan komunikan. Bentuk bahasa yang digunakan, rasa hormat kepada seseorang, waktu, suasana hati, siapa berbicara kepada siapa, tingkat kecemasan atau kepercayaan diri yang ditampilkan, merupakan bagian dari aspek-aspek komunikasi yang dipengaruhi oleh konteks sosial. Konteks sosial menjadi penting karena merefleksikan bagaimana manusia hidup dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain. Dengan kata lain, lingkungan sosial adalah budaya, dan bila kita ingin memahami komunikasi, kitapun harus memahami budaya.

II.2 Komunikasi Antarbudaya

Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang sangat erat. Orang berkomunikasi sesuai dengan budaya yang dimilikinya. Kapan, dengan siapa, berapa banyak hal yang dikomunikasikan sangat bergantung pada budaya dari orang-orang yang berinteraksi.

Melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar berkomunikasi. Perilaku mereka dapat mengandung makna, sebab perilaku tersebut dipelajari dan diketahui; dan perilaku itu terikat oleh budaya. Orang-orang memandang dunia

(32)

mereka melalui kategori-kategori, konsep-konsep dan label-label yang dihasilkan budaya mereka (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24).

Kemiripan budaya dalam persepsi memungkinkan pemberian makna yang mirip pula terhadap suatu objek sosial atau suatu peristiwa. Cara-cara kita berkomunikasi, keadaan-keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang kita gunakan dan perilaku-perilaku nonverbal kita, semua itu terutama merupakan respons terhadap dan fungsi budaya kita. Komunikasi itu terikat oleh budaya. Sebagaimana budaya berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, maka praktik dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut akan berbeda pula (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 24-25).

Adapun beberapa definisi komunikasi antarbudaya yang dikutip dari Liliweri (2004: 10-11), antara lain:

1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader-komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.

2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.

3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

4. Guo-Ming Chen dan William J. Stratosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.

Young Yun Kim dalam Rahardjo (2005: 52-53) mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi

(33)

perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kultural. Selanjutnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda.

Komunikasi antarbudaya menelaah elemen-elemen kebudayaan yang sangat mempengaruhi interaksi ketika anggota dari dua kebudayaan yang berbeda berkomunikasi. Komunikasi antarbudaya terjadi ketika pesan yang harus ditangkap dan dipahami, diproduksi oleh anggota dari suatu budaya tertentu diproses dan dikonsumsi oleh anggota dari budaya yang lain. Jadi, komunikasi antarbudaya dapat didefinisikan sebagai komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan (Liliweri, 2004: 9).

Dari pernyataan tersebut, Liliweri (2004: 9) menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai berikut:

1. Komunikasi antarbudaya adalah pernyataan diri antarpribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya.

2. Komunikasi antarbudaya merupakan pertukaran pesan-pesan yang disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar belakang budaya.

3. Komunikasi antar budaya merupakan pembagian pesan yang berbentuk informasi atau hiburan yang disampaikan secara lisan atau tertulis atau metode lainnya yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.

4. Komunikasi antarbudaya adalah pengalihan informasi dari seorang yang berkebudayaan tertentu kepada seorang yang berkebudayaan lain.

5. Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang

(34)

6. Komunikasi antarbudaya adalah proses pengalihan pesan yang dilakukan seorang melalui saluran tertentu kepada orang lain yang keduanya berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan menghasilkan efek tertentu.

7. Komunikasi antarbudaya adalah setiap proses pembagian informasi, gagasan atau perasaan di antara mereka yang berbeda latar belakang budayanya. Proses pembagian informasi itu dilakukan secara lisan dan tertulis, juga melalui bahasa tubuh, gaya atau tampilan pribadi, atau bantuan hal lain di sekitarnya yang memperjelas pesan.

Komunikasi antarbudaya tidak dapat terlepas dari faktor-faktor budaya yang melekat pada diri individu. Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak dan luas. Dalam bahasa Sansekerta kata budaya berasal dari kata buddhayah yang berarti akal budi. Dalam filsafat Hindu, akal budi melibatkan seluruh unsur panca indera, baik dalam kegitan pikiran (kognitif), perasaan (afektif), maupun perilaku (psikomotorik). Sedangkan kata lain yang juga memiliki makna yang sama dengan budaya adalah ’kultur’ yang berasal dari Romawi, cultura, biasanya digunakan untuk menyebut kegiatan manusia mengolah tanah atau bercocok tanam. Kultur adalah hasil penciptaan, perasaan dan prakarsa manusia berupa karya yang bersifat fisik maupun nonfisik (Purwasito, 2003: 95).

Komunikasi antarbudaya dalam konteks ini menunjuk kepada komunikasi antaretnis, dengan sub-sub budayanya. Pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi berasal dari kelompok-kelompok etnis yang berbeda. Sub-sub budaya ini menunjuk kepada kelompok masyarakat atau komunitas sosial, etnis, regional, ekonomis, yang menunjukkan pola-pola tingkah laku dengan ciri khas tertentu dan memadai untuk dapat dibedakan dari kelompok-kelompok masyarakat yang lain dalam satu kesatuan budaya atau masyarakat.

(35)

Sebagai salah satu bidang studi dari ilmu komunikasi, komunikasi antarbudaya mempunyai objek formal, yakni mempelajari komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh seseorang komunikator sebagai produsen pesan dari satu kebudayaan dengan konsumen pesan atau komunikan dari kebudayaan lain. Komunikasi antarbudaya berkaitan dengan hubungan timbal balik antara sifat-sifat yang terkandung dalam komunikasi, kebudayaan pada gilirannya menghasilkan sifat-sifat komunikasi antarbudaya. Untuk memahami hakikat komunikasi antarbudaya dapat kita perhatikan gambar bagan berikut ini (Liliweri, 2001: 26-28).

Gambar 1. Ruang Lingkup Studi Ilmu Komunikasi

COMPARATIVE INTERPERSONAL Comparative Intercultural Communication Developmental Communication Comparative Media Effects Comparative and International relation New World Information Order CROSS CULTURAL COMMUNICATION INTERCULTURAL COMMUNICATION COMPARATIVE MASS COMMUNICATION INTERNATIONAL COMMUNICATION MEDIATED INTERACTIVE II I IV III

(36)

Bagan di atas menggambarkan adanya dua dimensi utama yang membedakan wilayah penelitian budaya dan komunikasi. Dimensi tersebut adalah interactive comparative dan mediated-interpersonal.

Kuadran I, merupakan wilayah penelitian komunikasi antarbudaya (intercultural communication) yang merupakan komunikasi interpersonal antara orang dari sistem budaya yang berbeda anatau komunikasi antara orang-orang yang berbeda subsistem di dalam sistem budaya yang sama.

Kuadran II, adalah wilayah penelitian komunikasi lintas budaya (cross-cultural communication), dimana komunikasi yang berlangsung adalah komunikasi interpersonal seperti pada kuadaran I, tetapi penelitiannya adalah penelitian komparatif yaitu membandingkan satu budaya denga budaya yang lain.

Kuadran III dan IV, fenomena komunikasi yang diteliti adalah komunikasi yang menggunakan media (mediated commnuication). Penelitian di kuadran III memfokuskan perhatian pada komunikasi bermedia dari satu sistem budaya ke sistem budaya yang lain, yang disebut komunikasi internasional (international communication). Kuadran IV, membandingkan sistem-sistem media dari berbagai sistem budaya (comparative mass communication) (Liliweri, 2001: 28).

Berdasarkan bagan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa studi komunikasi antarbudaya menitikberatkan interaksi interpersonal yang terjadi di antara anggota-anggota dari budaya yang berbeda.

Perilaku komunikasi seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa elemen sosio-budaya. Beberapa unsur-unsur sosio-budaya yang terkait dengan

(37)

komunikasi antarbudaya yakni persepsi, proses verbal dan proses nonverbal (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 25).

II.2.1 Persepsi

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dari proses internal itulah nantinya individu dapat membeda-bedakan, merespon dan memberi makna kepada stimuli-stimuli yang ada. Dengan kata lain, persepsi adalah cara kita mengubah energi-energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilaku. Perilaku-perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya yang mereka miliki (Mulyana dan Rakhmat, 1998: 25).

Untuk memahami dunia dan tindakan-tindakan orang lain, kita harus memahami kerangka persepsinya. Kita harus belajar memahami bagaimana mempersepsi dunia. Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi. Persepsi yang sama akan memudahkan partisipan komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan. Persepsi adalah juga inti komunikasi, karena jika persepsi kita tidak akurat, tidak mungkin kita berkomunikasi dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi individu, semakin mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi dan sebagai konsekuensinya semakin

(38)

cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas (http://kuliahkomunikasi.com).

Segala sesuatu yang dikomunikasikan adalah persepsi seseorang tentang dunia dan lingkungannya. Kebiasaan dimana orang-orang suatu budaya merespon sesuatu menunjukkan hubungan-hubungan antara budaya, persepsi dan komunikasi. Terdapat beragam persepsi seperti halnya persepsi tentang usia, ruang dan jarak sosial, etnik, kerja, kekuasaan, perilaku agresif, penyingkapan diri, waktu, persaingan yang keseluruhannya berakar dalam budaya.

DeVito dalam Purwasito (2003: 173) menjelaskan bahwa persepsi berangkat dari diri sendiri ketika berinteraksi dengan orang lain, mempengaruhi indera kita melalui umpan balik kesadaran mengenai perasaan, pemikiran dan perilaku kita sendiri. Dari interaksi tersebut timbul suatu kesadaran tertentu, yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Hal ini adalah pengukuhan positif yang membantu seseorang merasa biasa-biasa atau normal-normal saja hidup dalam lingkungan multikultural.

Persepsi membantu seseorang menemukan dirinya melalui proses perbandingan sosial, seperti perbandingan kemampuan, prestasi, sikap, pendapat, nilai dan kegagalan kita dengan orang lain. Setiap individu secara alami mempunyai persepsi yang berbeda terkait dengan kepribadiannya. Dalam konteks itu, fokus kajian komunikasi antarbudaya diarahkan untuk mengemukakan emosional atau evaluative meaning dan frame of experience para partisipan komunikasi. Salah pengertian dalam tindakan komunikasi antarbudaya juga disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi (Purwasito, 2003: 173-174).

(39)

Keanekaragaman persepsi dan makna yang dibangun dalam persepsi sangat dipengaruhi oleh beberapa unsur sosio-budaya yakni: sistem-sistem kepercayaan (beliefs), nilai (value), sikap (attitude), pandangan dunia (human nature), orientasi tindakan (activity orientation) serta persepsi tentang diri sendiri dan orang lain (perception of self and others).

II.2.2 Proses-Proses Verbal

Proses-proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana orang berbicara dengan sesamanya (bahasa verbal), namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir (pola pikir) dan pengembangan makna bagi kata-kata yang digunakan.

Bahasa adalah suatu sistem lambang terorganisasi yang disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas geografis atau budaya. Oleh karena bahasa merupakan suatu sistem tak pasti untuk menyajikan realitas secara simbolik, maka makna kata yang digunakan bergantung pada berbagai penafsiran.

Bahasa merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk mewariskan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Dalam konteks ini, bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran.

Proses-proses mental, bentuk-bentuk penalaran dan pendekatan-pendekatan terhadap pemecahan masalah yang terdapat dalam suatu komunitas

(40)

merupakan suatu komponen penting budaya. Pola-pola berpikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu-individu dalam budaya itu berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang merespon individu-individu dari suatu budaya lain.

II.2.3 Proses-Proses Nonverbal

Proses-proses verbal merupakan alat utama untuk tukar-menukar pikiran dan gagasan, namun proses-proses ini sering dapat digantikan oleh proses-proses nonverbal yang antara lain meliputi: isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, postur dan gerakan tubuh, sentuhan, pakaian, artefak, diam, ruang, waktu dan suara. Proses nonverbal yang sangat relevan dengan komunikasi antarbudaya adalah bentuk bahasa diam: konsep waktu dan penggunaan serta pengaturan ruang.

Konsep waktu suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa depan dan penting tidaknya waktu. Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep ini antara budaya yang satu dengan budaya lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut mempengaruhi komunikasi.

Cara orang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi antarpribadi disebut proksemik. Proksemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisiknya. Orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Orientasi fisik juga dipengaruhi

(41)

oleh budaya. Orang cenderung menentukan hierarki sosial dengan mengatur ruang. Cara seseorang mengatur ruang merupakan suatu fungsi budaya.

II.2.4 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya

Sebuah aktivitas komunikasi dapat dinilai efektif apabila terdapat persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian juga halnya dengan komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat adanya unsur-unsur kebudayaan yang berbeda di antara pelaku komunikasinya. Oleh karena itulah, usaha untuk menjalin komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah merupakan suatu persoalan yang sederhana. Terdapat masalah-masalah potensial yang sering terjadi seperti kesamaan, penarikan diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan, etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Secara umum, sebenarnya tujuan komunikasi antarbudaya antara lain adalah untuk menyatakan identitas sosial dan menjembatani perbedaan antarbudaya melalui perolehan infomasi baru, pengalaman atas kekeliruan dalam komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan berkomunikasinya, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain.

Menurut Lewis dan Slade yang dikutip dari jurnal.pdii.lipi.go.id, ada tiga kawasan problematik dalam lingkup pertukaran antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural. Kendala bahasa merupakan hambatan yang lebih mudah untuk ditanggulangi, karena dapat

(42)

dipelajari, sedangkan dua kendala lainnya akan terasa lebih sulit untuk ditanggulangi. Perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur berbeda melakukan interaksi, maka perbedaan-perbedaan tersebut akan menghalangi tercapainya kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Kesalahpahaman antarkultural yang dikarenakan perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut.

Apa saja ciri individu yang mampu melakukan efektivitas komunikasi antarbudaya? Menjawab pertanyaan ini, terdapat beberapa orientasi jawaban yang merupakan variabel-variabel dari kriteria pribadi sebagai penentu keberhasilan komunikasi antar budaya yang efektif, yaitu:

1. Kemampuan penyesuaian diri dan kualitas pertumbuhan pribadi pelaku komunikasi itu sendiri.

2. Sikap, pengetahuan tentang budaya lain dan perilaku mitra komunikasi yang dapat teramati.

3. Kualitas komunikasi, pemersepsi dan sistem dyadic yang dibentuk para pelaku komunikasi.

Hasil penelitian Kealey dan Ruben (1983) dalam jurnal.pdii.lipi.go.id tentang efektifitas komunikasi antarbudaya menunjukkan hasil, yaitu terdapatnya variabel-variabel yang menentukan terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif melalui variabel-variabel yang berkaitan dengan keterampilan sosial, yaitu:

(43)

1. Kejujuran, empati, pengungkapan, rasa hormat dan keluwesan dari pelaku komunikasi.

2. Variabel situasional yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja, kondisi hidup, persoalan kesehatan, sasaran-sasaran proyek yang realistis, kesimpangsiuran politik dan kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi.

3. Kekuatan kepribadian, paritisipasi sosial, kemampuan bahasa lokal dan apresiasi adat-istiadat dari pelaku komunikasi.

4. Penyesuaian dan kepuasan pribadi, kepiawaian professional dan hubungan hati ke hati dengan para anggota budaya (tuan rumah).

5. Sifat kepribadian yang terbuka dan tertarik kepada orang lain, percaya diri, luwes dan piawai secara profesional dari pelaku komunikasi.

6. Kemampuan melakukan penyesuaian diri dan mengatasi stress, kontak dengan orang setempat, pemahaman dan keefektifan dalam alih pengetahuan dan teknologi dari pelaku komunikasi.

Kealey dan Ruben (jurnal.pdii.lipi.go.id) juga menyatakan bahwa variabel-variabel pribadi menjadi lebih penting dari pada variabel-variabel situasi di dalam keefektifan komunikasi antarbudaya. Ada beberapa faktor sosio-budaya yang dapat menjadi kendala keefektifan komunikasi antarbudaya yang dilakukan seorang individu, yaitu:

1. Perbedaan Bahasa. Hal terpenting yang dapat menyulitkan komunikasi antarbudaya untuk bisa efektif adalah faktor perbedaan bahasa. Bahasa merupakan suatu medium yang sangat khas budaya. Jika dua orang tidak berkomunikasi dengan bahasa yang sama, maka interaksi mereka menjadi terbatas. Kesulitan dalam perbedaan bahasa, terdiri atas unsure-unsur aspek prosadik bahasa (termasuk bentuk tekanan dan intonasi), aspek pragmaris bahasa (termasuk pemberian jawab dalam percakapan dan gaya komunikasi langsung maupun tak langsung), akan dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman.

2. Mengabaikan perbedaan orang lainn yang secara kultural berbeda. Hambatan yang paling lazim adalah bilamana individu menganggap bahwa dalam proses komunikasi yang ada adalahkesamaan dan bukan perbedaan. Hal ini terutama terjadi dalam hal nilai, sikap dan kepercayaan. Singkatnya, individu dalam berkomunikasi seringkali beranggapan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, anggapan ini tidaklah benar.

3. Mengabaikan perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda. Artinya, dalam setiap kelompok cultural terdapat perbedaan yang besar dan penting. Kita mengasumsikan bahwa semua orang yang menjadi anggota kelompok yang sama adalah sama. Dalam komunikasi antarbudaya harus

(44)

disadari bahwa dalam setiap kutur, terdapat banyak subkultur yang jauh berbeda satu sama lain dan berbeda pula dari kultur mayoritasnya.

4. Mengabaikan perbedaan dalam makna. Dalam proses komunikasi, makna tidak terletak pada kata-kata yang digunakan, melainkan pada orang yang menggunakan kata-kata itu. Oleh karena itu, dalam proses komunikasi antarbudaya yang efektif perlu diperhatikan bahwa meskipun kata yang digunakan sama, makna konotatifnya akan sangat berbeda. Hal ini bergantung pada definisi kultural pemersepsi (komunikator dan komunikan).

5. Melanggar adat kebiasaan kultural. Ini diartikan bahwa setiap kultur mempunyai aturan komunikasi sendiri-sendiri. Aturan ini menetapkan mana yang patut dan tidak patut. Dalam kemyataannya pada proses komunikasi ni seringkali diabaikan dan sering tergantung pada habit atau kebiasaan dari budayanya sendiri.

6. Menilai perbedaan secara negatif. Hal ini diartikan meskipun kita menyadari adanya perbedaan di antara kultur yang berbeda, kita tetap tidak boleh menilai bahwa perbedaan itu sebagai hal yang negatif.

7. Culture Shock (kejutan budaya). Kejutan budaya meruakan reaksi psikologis yang dialami seseorang karena berasa di tengah-tengah suatu kultur yang berbeda dengan kulturnya sendiri. Kejutan budaya itu sendiri adalah normal dimana kebanyakan orang mengalaminya bila memasuki kultur yang baru dan berbeda. Namun demikian, keadaan ini akan menimbulkan ketidaksenangan dan frustasi dikarenakan kejutan budaya ini menimbulkan perasaan terasing. Singkatnya, bila kita kurang mengenal adat-istiadat masyarakat yang baru, maka kita tidak dapat berkomunikasi secara efektif.

Kepiawaian dalam proses komunikasi antar budaya sangat diperlukan untuk mendapatkan kefektifitasan. Semakin baik kita mengenal dan memahami budaya mitra berkomunikasi kita, maka akan semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan. Selain itu, sikap stereotip atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas ragam budaya dan uniknya manusia.

(45)

II.3 Identitas Budaya

II.3.1 Makna Identitas Budaya

Secara etimologis kata identitas berasal dari kata identity, yang berarti: 1. Kondisi atau kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang

mirip satu sama lain.

2. Kondisi atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau dua benda.

3. Kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang (individualitas) atau dua kelompok atau benda.

4. Secara teknis, pengertian etimologi identitas di atas hanya sekedar memahami identitas dengan kata ’identik’, misalnya menyatakan bahwa ’sesuatu’ itu mirip dengan yang lain.

Pada tataran hubungan antarmanusia, pengertian identitas lebih dari sekedar istilah identik. Identitas yang dimaksud adalah:

1. Membuat sesuatu menjadi identik atau sama, misalnya mempertimbangkan sesuatu itu sama artinya dengan melihat peluang (mengidentifikasi satu minat dibandingkan minat yang lain).

2. Mengakui keberadaan sesuatu yang dilihat, diketahui, digambarkan, atau yang kita anggap.

3. Menghubungkan, atau membuat sesuatu menjadi lebih dekat.

4. Kaum psikoanalisis menggunakan istilah identify untuk menerangkan rincian aspek-aspek psikologis yang dimiliki seseorang dan membandingkannya dengan aspek-aspek psikologis pada orang lain.

(46)

5. Meletakkan seseorang ke dalam tempat orang lain, sekurang-kurangnya meletakkan atau mempertukarkan pikiran, perasaan, masalah, dan rasa simpatik atau rasa empati.

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan identitas dalam hubungan antarmanusia adalah memahami sesuatu yang lebih konseptual, yakni tentang bagaimana melakukan komunikasi yang empatik atau sekurang-kurangnya berbagi (to share) pikiran, perasaan, masalah dan rasa simpatik dalam sebuah proses komunikasi antarbudaya (Liliweri, 2003: 68-70).

Identitas budaya mengacu pada pengertian individu yang berasal dari keanggotaan formal atau informal dalam kelompok yang meneruskan dan menanamkan pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, tradisi dan cara hidup. Perhatian identitas budaya adalah mengenai apa yang telah dipelajari seseorang di masa lalu dan bagaimana mereka menggunakannya untuk mempengaruhi masa depan (Jameson, 2007: 207-208).

Identitas memiliki sifat yang dinamis, tidak pernah stabil dan prosesnya pun sering berubah. Setiap orang selalu berubah sepanjang waktu baik secara pasif maupun aktif. Oleh karena itu, dalam komunikasi antarbudaya ini kita akan selalu berusaha untuk mendekati, membentuk dan bahkan menerima transformasi perubahan tersebut (Liliweri, 2003: 81).

II.3.2 Pembentukan Identitas Budaya

Sandstrom dalam Ritzer (2001) menyebutkan bahwa banyak pemikir sosiologi yang melihat konsep diri, muncul, berkembang dan dipertahankan

(47)

melalui proses interaksi sosial. Ia tidak diberikan ketika lahir atau merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari perkembangan biologis seseorang. Tetapi, seorang individu harus belajar mengenal siapa dirinya melalui interaksi dengan orang lain. Melalui interaksinya dengan orang lain, seseorang menjadi percaya bahwa dia memiliki diri yang berbeda dan bermakna (http://dewa-revolter.blogspot.com).

Liliweri (2003: 35-46) menjelaskan bahwa identitas kebudayaan dikembangkan melalui proses yang meliputi beberapa tahap, yaitu:

a) Identitas Budaya yang Tak Disengaja

Pada tahap ini, identitas budaya terbentuk secara tidak disengaja atau tidak disadari. Identitas budaya ini terbentuk karena adanya pengaruh tampilan budaya yang lebih dominan, sehingga orang akan ikut-ikutan untuk membentuk identitas baru. Banyak identitas budaya yang dimiliki oleh suatu suku bangsa diperoleh secara tidak teruji, tidak disengaja bahkan tidak disadari.

Misalnya, meskipun etnis Larantuka di pulau Flores adalah orang Lamalohot, namun mereka sendiri tidak berbahasa Lamalohot. Mereka menuturkan bahaya Melayu Larantuka. Banyak tradisi mereka, selain perkawinan, juga doa dan penghormatan kepada Bunda Maria Berduka Cita yang diupacarakan pada hari Jumat Besar menjelang Paskah-merupakan tradisi bangsa Portugis yang pernah menjajah mereka. Tak banyak yang berminat untuk melacak mangapa hal itu terjadi, tetapi orang Larantuka mengikuti seluruh tradisi itu tanpa sebuah penjelasan lebih jauh. Bahkan beberapa tradisi itu sangat mempengaruhi pembentukan aspek budaya material seperti terlihat dalam bentuk-bentuk rumah

(48)

ibadah, tata cara berpakaian, istilah dan jargon dan perilaku komunitas kecil di sana.

b) Pencarian Identitas Budaya

Pencarian identitas meliputi sebuah proses penjajakan, bertanya dan uji coba atas sebuah identitas lain, orang harus terus mencari dan belajar tentang itu. Pencarian ini bisa dilakukan melalui penelitian lebih mendalam atau bertanya kepada keluarga, teman-teman, atau melacaknya secara ilmiah. Agak berbeda dengan identitas yang diwarisi dan dipelajari oleh generasi berikutnya tanpa sadar, cultural identity search membutuhkan proses pencarian identitas budaya, pelacakan dan pembelajaran budaya.

Misalnya, identitas sebagai militer profesional atau biarawan tidak diperoleh secara kebetulan, tetapi melalui proses pendidikan, pengalaman dan penghayatan terstruktur. Dari generasi yang satu ke generasi berikutnya, sikap dan cara berpikir militer serta biarawati telah terbentuk sehingga akan muncul sebuah korps yang kuat, tangguh dan memelihara semangat kebersamaan dan solidaritas di antara mereka.

c) Identitas Budaya yang Diperoleh

Sebuah bentuk identitas yang dicirikan oleh kejelasan dan keyakinan terhadap penerimaan diri kita melalui sebuah internalisasi kebudayaan yang kemudian membentuk indentitas kita. Misalnya seseorang sebelum diangkat menjadi anggota TNI, POLRI, dokter, dosen atau profesi lainnya ia adalah seorang pribadi dengan status yang lain. Namun setelah diangkat/ dilantik/ disumpah menjadi anggota profesi tertentu, orang tersebut akan memperoleh suatu

Gambar

Gambar 1. Ruang Lingkup Studi Ilmu Komunikasi

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang menunjukan nilai ekonomi air total resapan hutan lindung Gunung Sinabung dan hutan lindung TWA Deleng Lancuk di Desa Kuta Gugung dan Desa Sigarang

informasi tentang jenis dan berbagai motif batik store nusantara, dapat melakukan pemesanan batik secara online dengan mendaftarkan data diri pelanggan dan mengisi form

FAKTJ'-TAS PtrTERNAI'{N UNIVERSITAS

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Bedasarkan faktor-faktor tersebut, maka ketiadaan hubungan paparan debu terhirup dengan kapasitas vital paru pada pekerja penyapu pasar Johar kota Semarang, tidak

Penyerapan tenaga kerja merupakan jumlah tertentu dari tenaga kerja yang digunakan dalam suatu unit usaha tertentu atau dengan kata lain penyerapan tenaga kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata