• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun , Indonesia pernah beberapa kali berganti konstitusi mulai dari UUD RI 1945,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun , Indonesia pernah beberapa kali berganti konstitusi mulai dari UUD RI 1945,"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KEMENTERIAN NEGARA BERDASARKAN KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI

INDONESIA DAN BERDASARKAN KONSTITUSI BEBERAPA NEGARA LAIN

Sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 1999-2002, Indonesia pernah beberapa kali berganti konstitusi mulai dari UUD RI 1945, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara tahun 1950, sampai kembali lagi pada UUD RI 1945 melalui dekrit Presiden tahun 1959. Pergantian konstitusi ini sudah pasti berpengaruh pada sistem ketatanegaraan Indonesia serta berpengaruh pula pada Lembaga Kepresidenan dan Lembaga Kementerian Negara. Dimana masing-masing konstitusi tersebut memiliki ciri khasnya masing-masing-masing-masing.

A. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Sebelum Perubahan

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan mengatur bahwa Indonesia menjalankan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD NRI TAHUN 1945 yang mengatakan bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan pasal tersebut mempunyai makna bahwa Presiden Republik Indonesia adalah satu-satunya orang yang memimpin seluruh pemerintahan.20 Presiden memegang kekuasaan penuh untuk       

20

 Wirjono Prodjodikoro dalam Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia  Sebelum Perubahan UUD NRI TAHUN 1945 dengan Delapan Negara Maju, Kencana, Jakarta,  2009, hlm 77 

(2)

menjalankan roda pemerintahannya. Karena kekuasaan dan kedudukan inilah salah satu kewenangan Presiden adalah mengangkat dan menetapkan pejabat tinggi negara, seperti mengangkat menteri-menteri.

Dalam Bab V tepatnya pada pasal 17 UUD RI 1945 diatur mengenai Kementerian Negara, yang berbunyi :

(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden. (3) Menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan.21

Pasal 17 ayat (1) menegaskan bahwa kedudukan menteri adalah sebagai pembantu Presiden. Para menteri ini bertanggung jawab kepada Presiden bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena statusnya sebagai pembantu presiden. Disinilah terlihat bahwa UUD NRI TAHUN 1945 menganut sistem presidensial, karena kekuasaan dan tangung jawab pemerintahan tetap berada di tangan Presiden.

Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri didasarkan pada Pasal 17 ayat (2) UUD Tahun 1945. Presidenlah yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara karena kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Kekuasaan ini tidak diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan kekuasaan tersebut dalam praktik kenegaraan diserahkan secara mutlak kepada Presiden. Pengangkatan menteri-menteri dilakukan oleh Presiden semenjak ia mendapat mandat dari MPR dalam Sidang Umum MPR sampai dengan masa jabatannya selesai. Pemberhentian menteri-menteri oleh Presiden dapat dilakukan di

tengah-       21

(3)

tengah masa jabatannya tersebut. Seluruh tindakan tersebut dalam praktiknya dapat dilakukan secara tertutup tanpa perlu meminta nasihat, mendapatkan usulan dan pertanggungjawaban dari lembaga negara yang lain, karena ini adalah merupakan hak prerogatif presiden.22 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kedudukan menteri-menteri tidak tergantung pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetapi bergantung pada Presiden.

Meskipun Pasal 17 ayat (3) menyatakan bahwa menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan, tetapi dalam prakteknya terdapat beberapa menteri yang tidak memimpin Departemen Pemerintahan, seperti Menteri Sekretaris Negara dan ada juga diangkat Menteri Koordinator dan Menteri Muda. Secara yuridis hal ini tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945, sebab Menteri Koordinator itu hanya berfungsi untuk mengkoordinir beberapa menteri yang memimpin departemen pemerintahan, sedangkan menteri muda adalah membantu untuk menangani bidang khusus dari seseorang menteri yang memimpin departemen pemerintahan. Jika ditafsirkan dari Pasal 17 pun bahwa menteri adalah pembantu presiden maka tidak ada persoalan sebab Presiden sebagai kepala pemerintahan bisa saja menentukan pembantu yang diberi tugas khusus tanpa harus memimpin departemen, artinya ketentuan pasal 17 ayat (3) bahwa menteri itu memimpin departemen pemerintahan bukanlah suatu keharusan, semuanya tergantung pada Presiden sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi.23        22  Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.cit., hlm 119  23  Moh. Mahfud MD, Dasar… Op.cit., hlm 115‐116 

(4)

Penjelasan UUD NRI TAHUN 1945 menyatakan bahwa “menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa.” Walaupun ketentuan UUD NRI TAHUN 1945 menunjukkan bahwa menteri negara tergantung pada Presiden baik pengangkatan maupun pemberhentiannya, akan tetapi menteri-menteri tersebut bukan pegawai tinggi biasa. Hal ini dikarenakan menteri-menterilah yang menjalankan kekuasaan pemerintahan (pouvoir executive) dalam prakteknya. Sebagai pemimpin departemen, menterilah yang paling mengetahui hal-hal mengenai lingkungan pekerjaannya. Menteri memiliki pengaruh besar terhadap Presiden dalam menentukan politik negara mengenai departemen yang dipimpinnya. Sehingga jelas bahwa menteri-menteri itu berkedudukan sebagai pemerintah atau pemegang kekuasaan sebagai pembantu presiden di tingkat pusat. Untuk menetapkan politik pemerintahan dan koordinasi dalam pemerintahan negara maka para menteri bekerja sama, satu sama lain seerat-eratnya di bawah kepemimpinan seorang presiden.

Untuk menjalankan roda pemerintahan, pada tanggal 2 September 1945 Presiden Soekarno membentuk kabinet pertama berdasarkan usul Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI). Kabinet ini kemudian tercatat dalam sejarah sebagai Kabinet Presidensial pertama. Dalam susunan kabinet presidensial ini, Presiden memegang kekuasaan eksekutif.24

Kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan pada saat itu dapat dikatakan sangat kuat. Hal ini dikarenakan berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dikatakan bahwa Presiden

       24

(5)

memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas karena dalam menjalankan kekuasaannya hanya dibantu oleh sebuah Komite Nasional. Namun, besarnya kekuasaan presiden sebagaimana yang tertulis itu tidak berlangsung lama, yakni hanya sekitar dua bulan. Besarnya kekuasaan yang dimiliki Presiden Soekarno sedikit berkurang dengan dikeluarkannya Maklumat No. X oleh Wakil Presiden Moh. Hatta atas usul dari Komite Nasional Pusat yang ditetapkan pada tanggal 16 Oktober 1945. Inti dari maklumat tersebut adalah penyerahan kekuasaan legislatif kepada Komite Nasional Pusat sebelum DPR dan MPR dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar yang berlaku. Maklumat tersebut juga berisi pembentukan suatu Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat.

Untuk menghindari kesalahpahaman, pada tanggal 20 Oktober 1945, Badan Pekerja Komite Nasional Pusat menjelaskan kedudukan dan fungsinya sesuai dengan Maklumat Wakil Presiden tersebut, yaitu :

1. Turut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Artinya, badan pekerja bersama-sama dengan Presiden menetapkan GBHN. Namun, badan pekerja tidak turut campur dalam kebijaksanaan negara (dagelijks beleid) pemerintah sehari-hari. Kekuasaan untuk itu tetap berada di tangan Presiden. 2. Bersama-sama dengan Presiden menetapkan Undang-Undang. Pelaksana dari

ketentuan Undang-Undang ini tetap pemerintah dalam hal ini presiden dan para menterinya.25

Dalam perkembangannya, Komite Nasional Pusat ini sangat berpengaruh dalam roda pemerintahan Soekarno. Hal ini terlihat dengan disetujuinya usul       

25

(6)

Komite Nasional Pusat oleh pemerintah agar para menteri tidak lagi bertanggung jawab terhadap presiden melainkan kepada Komite Nasional Pusat. Persetujuan tersebut dituangkan dalam sebuah Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, Presiden tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945, melainkan hanya berfungsi sebagai kepala negara atau presiden konstitusional. Untuk kedua kalinya terjadi pengurangan kekuasaan presiden.26

Maklumat ini pada dasarnya juga berisi perubahan sistem pemerintahan, yakni dari sistem pemerintahan presidensial ke sistem parlementer. Hal ini dibuktikan dengan perubahan sistem pertanggungjawaban yakni sistem pertanggungjawaban pemerintahan negara yang terletak ditangan dewan menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri (prime minister). Perlu ditegaskan lagi bahwa perubahan sistem pemerintahan tersebut adalah tidak dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasarnya. Juga perlu diketahui bahwa sebelum dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tentang sistem pemerintahan tanggal 14 November 1945 tersebut, telah keluar pula Maklumat Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 tentang partai-partai politik dan organisasi politik yang pada pokoknya menganjurkan didirikannya partai-partai dan organisasi politik sesuai dengan aliran-aliran yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan juga menjunjung tinggi asas demokrasi serta untuk

       26

(7)

memudahkan dalam mengatur kekuatan perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu.27

Selama masa tahun 1945-1950 terjadi banyak pergantian kabinet, diantaranya adalah sebagai berikut :28

1. Kabinet Presidensiil. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dengan jumlah menteri sebanyak 21 orang. Kabinet ini terbentuk pada tanggal 2 September 1945 dan berakhir pada tanggal 14 November 1945.

2. Kabinet Syahrir Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 17 kementerian . Kabinet ini terbentuk pada tanggal 14 November 1945 dan dipaksa berhenti pada tanggal 12 Maret 1946 oleh oposisi persatuan perjuangan, suatu koalisi partai-partai dan golongan-golongan diluar Badan Pekerja atau Komite Nasional Pusat.

3. Kabinet Syahrir Kedua. Kabinet ini juga dipimpin kembali oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 25 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 12 Maret 1946 dan berakhir pada tanggal 2 Oktober 1946. Pada masa ini kekuasaan pemerintahan diambil alih oleh Presiden Soekarno ketika terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Setelah beliau dibebaskan, Presiden Soekrao menunjukkan beliau sebagai formatur kabinet.

       27  Moh. Mahfud MD, Dasar… Op.Cit, hlm 93‐94  28  Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia, Thafa Media, Yogyakarta,  2012, hlm 20‐23.  http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabinet_Indonesia, diakses pada tanggal  18 April 2013 

(8)

4. Kabinet Syahrir Ketiga. Kabinet ini juga dipimpin oleh Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian 32 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 2 Oktober 1946 dan berakhir pada tanggal 3 Juli 1947.

5. Kabinet Amir Syarifuddin Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 34 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 3 Juli 1947 dan berakhir pada tanggal 11 November 1947, karena diadakannya reshuffle kabinet.

6. Kabinet Amir Syarifuddin Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian termasuk kementerian negara sebanyak 37 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 11 November 1947 dan harus berakhir pada tanggal 23 Januai 1948 dengan dikeluarkannya Maklumat Presiden No. 2 Tahun 1948.

7. Kabinet Presidensial (Kabinet Hatta Pertama). Kabinet ini dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 17 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 23 Januari 1948 dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1949.

8. Kabinet Darurat. Kabinet ini dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara sebagai Ketua/Perdana Menteri. Kabinet ini berkedudukan di Bukit Tinggi Sumatera Barat yang terdiri dari 8 kementerian dan ditambah dengan 4 kementerian di Komisariat PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Kabinet ini dibentuk pada tanggal 19 Desember 1948 dan berakhir pada tanggal 13 Juli 1949.

(9)

9. Kabinet Hatta Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 19 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 4 Agustus 1949 dan berakhir pada tanggal 20 Desember 1949.

B. Kementerian Negara Berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)

Menurut Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS, “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa “Kekuasaan berkedaulatan di dalam negara Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat.”29 Pasal 68 ayat (2) menyatakan bahwa, “Yang dimaksud dengan pemerintah menurut Konstitusi RIS ialah Presiden dengan seorang atau beberapa atau para Menteri, yakni menurut tanggung jawab khusus atau tanggung jawab umum mereka itu.30

Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan sekaligus Kepala Negara, pada Konstitusi RIS Presiden hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara, sedangkan kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kainet yang dikepalai oleh Perdana Menteri. Hal ini dikarenakan dalam Konstitusi RIS, Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer.

Secara formal, Presiden adalah juga merupakan pemerintah. Karena sifatnya cuma formalitas, maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada       

29

 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi… Op.cit., hlm 121  30

(10)

menteri-menteri. Semua keputusan atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri.31

Salah satu kekuasaan administratif yang diberikan Konstitusi RIS kepada Presiden adalah mengangkat perdana menteri, menteri-menteri, ketua senat setelah mendapat anjuran dari senat, serta pejabat-pejabat tinggi lainnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 74 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Presiden sepakat dengan orang-orang yang dikuasakan oleh daerah-daerah bagian sebagai tersebut dalam Pasal 69, menunjuk 3 pembentuk kabinet”. Ketentuan ini menunjukkan sistem quasi-federal yang ditimbulkan oleh Konstusi RIS. Selanjutnya Pasal 74 ayat (2) juga menyatakan bahwa, “Sesuai dengan anjuran ketiga pembentuk kabinet itu, Presiden mengangkat seorang daripadanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-Menteri yang lain”. Presiden juga memiliki kewenangan untuk menetapkan siapa-siapa dari Menteri-Menteri itu diwajibkan memimpin departemen masing-masing. Boleh juga diangkat Menteri-Menteri yang tidak memangku departemen.32

Meskipun dalam Konstitusi RIS telah ditetapkan bahwa ada seorang Perdana Menteri, tetapi mengenai kedudukannya tidak ada ketentuan-ketentuan lebih lanjut, selain daripada apa yang diatur dalam Pasal 76 Konstitusi RIS yang menyebutkan bahwa ia harus mengetuai Dewan Menteri. Meskipun demikian dalam pratek, ia adalah pemimpin kabinet dan namanya dipakai untuk sebutan

       31

 Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.Cit, hlm 82  32

(11)

kabinet. Selanjutnya, jika perlu karena Presiden berhalangan, maka Perdana Menteri menjalankan pekerjaan jaatan Presiden sehari-hari.33

Pada masa pemberlakuan Konstitusi RIS, menteri-menteri adalah bagian dari alat-alat perlengkapan sekaligus bagian dari pemerintah bersama Presiden. Sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan parlementer sehingga segala tindakan pemerintah yang bertanggung jawab adalah menteri-menteri. Presiden tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, segala pemerintahan harus melibatkan menteri-menteri yang terkait. Sementara itu keterlibatan Presiden hanya bersifat formalitas untuk sekedar mengetahui.34

Sistem parlementer dianut dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut konstitusi adalah dalam dua masa/kurun waktu yakni dengan berlakunya konstitusi yang berbeda, yaitu Konstitusi RIS 1949 dam UUDS tahun 1950. Menurut Wilopo, terdapat perbedaan antara sistem parlementer menurut Konstitusi RIS dengan sistem parlementer menurut UUD tahun 1950, yaitu dalam hal kekuatan parlemen unuk menjatuhkan pemerintah. Kalau menurut Konstitusi RIS pemerintah tak dapat dijatuhkan oleh parlemen dan parlemen tak dapat dibubarkan oleh presiden, tapi sebaliknya menurut UUD tahun 1950, pemerintah dapat jatuh oleh karena kebijaksanaannya tidak didukung oleh parlemen, sedangkan presiden tidak berhak membubarkan parlemen.35

Tetapi Joeniarto berpendapat bahwa sebenarnya menurut Konstitusi RIS bukan tidak dapat menjatuhkan pemerintah. Begitu juga Presiden menurut        33  Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hlm 96  34  Naskah Komprehensif Perubahan Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun  1945, Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999‐2002, Sekretaris Jendral dan  Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hlm 39  35  Wilopo dalam Ismail Suny, Pergeseran… Op.cit., hlm 95 

(12)

Konstitusi RIS bukan tidak dapat membubarkan Parlemen, kedua hal yang seperti itu bisa saja terjadi dan dibenarkan menurut Konstitusi RIS, hanya saja selama berlakunya Konstitusi RIS hal itu belum pernah (tidak dapat) dilaksanakan sehubungan dengan DPR yang pada waktu itu bukanlah DPR yang dibentuk berdasarkan Pemilihan Umum sesuai dengan perintah pasal 111, tetapi masih merupakan DPR yang ditunjuk berdasarkan pasal 109 dan 110.36

Oleh karena itu, maka DPR tidak dapat menjatuhkan kabinet karena ada ketentuan pasal 122 yang berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk berdasarkan pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya.” Seandainya dalam kurun waktu berlakunya Konstitusi RIS itu berhasil dibentuk DPR melalui Pemilu sesuai dengan ketentuan isi pasal 111 maka dapat saja DPR itu menjatuhkan kabinet. Dengan demikian sebenarnya tidak ada perbedaan antara sistem kabinet parlementer menurut Konstitusi RIS dengan sistem parlemen menurut UUD tahun 1950.37

Dalam sistem pemerintahan parlementer, dikatakan bahwa apabila kebijakan menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka menteri/para menteri harus mengundurkan diri. Namun pada sistem ini selama berlakunya Konstitusi RIS belum dapat dilaksanakan. Hal ini disebabkan DPR yang ada belum didasarkan kepada pemilihan umum sesuai Pasal 111, tetapi masih DPR yang ditunjuk atas dasar Pasal 109 dan Pasal 110 Konstitusi RIS. Sedangkan Pasal 122 Konstitusi RIS menentukan “Dewan Perwakilan Rakyat

       36

 Joeniarto dalam Ibid, hlm 96  37

(13)

yang ditunjuk menurut pasal 109 dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan jabatannya”.

Kabinet-kabinet yang pernah terbentuk selama masa Pemerintahan Republik Indonesia Serikat adalah sebagai berikut38 :

1. Kabinet Susanto atau Kabinet Peralihan. Kabinet ini dipimpin oleh Susanto Tirtoprodjo sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 13 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 20 Desember 1949 dan harus berakhir pada tanggal 21 Januari 1950.

2. Kabinet Halim. Kabinet ini berkedudukan di Yogyakarta yang dipimpin oleh Dr.Abdul Halim sebagai Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 15 kementerian. Kabinet ini dibentuk pada tanggal 21 Januari 1950 dan harus berakhir pada tanggal 6 September 1950.

C. Kementerian Negara Berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, sistem pemerintahan yang dianut Indonesia adalah sistem pemerintahan parlementer atau pertanggungjawaban Dewan Menteri kepada Parlemen, sedangkan Presiden hanyalah merupakan Kepala Negara, bukan Kepala Pemerintahan (Pasal 45 UUDS tahun 1950).39 Sehingga penanggung jawab atas pemerintahan dipegang oleh menteri-menteri yang dipimpin oleh seorang perdana menteri. Sedangkan

       38  Miftah Thoha, Birokrasi… Op.cit., hlm 22‐23.  http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabinet_Indonesia, diakses pada tanggal 24 April 2013  39 Moh. Mahfud MD, Dasar… Op.cit, hlm 97 

(14)

Presiden sebagai kepala negara tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 83 UUDS tahun 1950 yang berbunyi sebagai berikut : (1) Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.

(2) Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Sebagaimana dalam Konstitusi RIS, kedudukan menteri pada masa pemberlakuan UUD Sementara tahun 1950 lebih tinggi daripada pada saat diberlakukan UUD RI 1945. Pada masa ini menteri-menteri menjadi bagian dari alat-alat perlengkapan negara (pasal 44).40 Dari beberapa ketentuan pasal-pasal dalam UUDS tahun 1950 dapat disimpulkan bahwa menteri-menteri atau pemerintah mempunyai kewenangan yang cukup besar. Selain sebagai bagian dari alat-alat kelengkapan negara, ia juga mempunyai kewenangan dan previllege. Ia terlibat secara langsung dalam proses pembuatan Undang-Undang, proses pembuatan anggaran belanja negara sekaligus pemegang umum anggaran, penerbitan uang, serta dalam kaitan dengan hubungan luar negeri.

UUDS tahun 1950 secara tegas memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk mengangkat menteri-menteri (Pasal 50) dan perdana menteri. Dalam menjalankan kewenangannya ini, UUDS tahun 1950 juga mengatur lebih lanjut bahwa presiden dapat menunjuk pembentuk (formatur) kabinet. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 51 UUDS tahun 1950 yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet.

       40

(15)

(2) Sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet itu, presiden mengangkat seorang dari padanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-Menteri yang lain.

(3) Sesuai dengan anjuran pembentuk itu juga, Presiden menetapkan siapa-siapa dari menteri-menteri itu diwajibkan memimpin kementerian masing-masing. Presiden boleh mengangkat menteri - menteri yang tidak memangku sesuatu kementerian.

(4) Keputusan-keputusan presiden yang memuat pengangkatan yang diterangkan dalam ayat (2) atau (3) asal ini ditandatangani serta oleh pembentuk kabinet.

(5) Pengangkatan atau penghentian antara-waktu menteri-menteri begitu pula penghentian kabinet dilakukan dengan Keputusan Presiden.

UUDS tahun 1950 tidak memperkenanankan adanya rangkap jabatan seorang menteri. Hal ini berlainan dengan ketentuan dalam Konstitusi RIS tahun 1949 yang memperbolehkan seorang menteri untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan mereka menjadi nonaktif sesudah mereka menjadi menteri karena hukum (lipso jure).41 Pasal 61 ayat (2) UUDS tahun 1950 menegaskan bahwa, “Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang merangkap menjadi Menteri tidak boleh mempergunakan hak atau melakukan kewajibannya sebagai anggota badan tersebut selama ia memangku jabatan Menteri.” UUDS tahun 1950 juga menentukan kualifikasi untuk dapat menjabat sebagai seorang menteri yang diatur dalam Pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut: “Yang dapat diangkat menjadi Menteri ialah Warga Negara Indonesia yang telah berusia 25 tahun dan yang bukan orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih atau orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.”

Seperti yang telah diketahui bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer, pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan pemerintahan       

41

(16)

berada pada menteri-menteri baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Pertanggungjawaban menteri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertanggungjawaban politis dan pertanggungjawaban kriminil. Pertanggungjawaban politis itu sendiri dapat dibedakan lagi menjadi dua yaitu pertanggungjawaban bersama-sama sebagai kabinet yakni yang menyangkut segala persoalan yang berkaitan dengan kebijaksanaan umum pemerintah, dan pertanggungjawaban sendiri-sendiri yakni yang menyangkut segala persoalan yang termasuk aktivitasnya secara pribadi sebagai menteri. Pertanggungjawaban politis ini dapat berujung pada kemungkinan diberhentikannya seseorang dari jabatan menteri, dalam hal pertanggungjawaban sendiri-sendiri, atau dibubarkannya suatu kabinet, dalam hal pertanggungjawaban bersama-sama.

Disini jelas bahwa kabinet (dewan menteri) dapat dijatuhkan oleh parlemen, yaitu bilamana parlemen menganggap cukup alasan bahwa satu atau beberapa kebijaksanaan pemerintah tidak dapat diterima atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi sebagai imbangan dari pertanggungjawaban menteri maka apabila dalam perbedaan pendapat itu dewan menteri menganggap DPR sudah tidak representatif dapatlah dewan menteri mengajukan permohonan kepada Presiden agar DPR (parlemen) dibubarkan. Keputusan yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan anggota DPR dalam tempo 30 hari (Pasal 84 UUDS tahun 1950).42

Selain pertanggungjawaban politis, terdapat pula pertanggungjawaban kriminil dari menteri-menteri secara sendiri-sendiri dalam setiap hal. Sebagaimana

       42

(17)

pejabat tinggi lainnya, menteri-menteri juga mendapat keistimewaan di muka peradilan. Ia hanya bisa diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh Mahkamah Agung, baik saat menjabat maupun sesudah tidak menjabat, dalam beberapa perkara kriminil (Pasal 106 ayat (1)), yaitu sebagai berikut :

1. Kejahatan dan pelanggaran jabatan. Yang dikatakan sebagai kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sesuai dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kedua Titel XXVIII (Kejahatan yang dilakukan dalam jabatanan) dan Buku Ketiga Titel VIII (Pelanggaran dilakukan dalam jabatan);

2. Kejahatan dan pelanggaran lain yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya. Yang termasuk dalam kejahatan dan pelanggaran lain yan dilakukan dalam masa pekerjaan adalah sebagai berikut :

a. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati; b. Kejahatan-kejahatan yang termaktub dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana Buku Kedua Titel-titel I, II dan III, yaitu kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan terhadap martabat presiden atau wakil presiden, kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala dan wakil kepala negara sahabat;

c. Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya dalam keadaan yang memberatkan kesalahannya sebagai termaktub dalam pasal 52 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.43

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa menteri-menteri diberikan keistimewaan di muka pengadilan dalam hal mengenai perkara-perkara tertentu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Namun apabila menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya melakukan tindak pidana diluar dari yang telah dijelaskan di atas, mereka harus tetap tunduk pada ketentuan yuridiksi Pengadilan Negeri yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia.

       43  Undang‐Undang Nomor 22 Tahun 1951 Tentang Penetapan Undang‐Undang Darurat Tentang  Penetapan Kejahatan‐Kejahatan dan Pelanggaran‐Pelanggaran yang Dilakukan dalam Masa  Pekerjaan oleh Para Pejabat yang Menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat  dalam Tingkat Pertama dan Tertinggi Diadili oleh Mahkamah Agung Indonesia Menjadi  Undang‐Undang. 

(18)

Kabinet-kabinet yang pernah terbentuk selama masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 adalah sebagai berikut44 :

1. Kabinet Natsir. Kabinet ini dipimpin oleh Mohammad Natsir sebagai Perdana

Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 18 kementerian. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.9 Tahun 1950, tanggal 6 September 1950 dan harus berakhir pada tanggal 27 April 1951 ;

2. Kabinet Sukiman. Kabinet ini dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo sebagai

Perdana Menteri dan Suwirjo sebagai Wakil Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 20 kementerian. Kabinet ini dibentuk berdasarkan mandat dan Keputusan Presiden RI No.80 Tahun 1951, tanggal 27 April 1951 dan harus berakhir pada tanggal 3 April 1952 ;

3. Kabinet Wilopo. Kabinet ini dipimpin oleh Wilopo sebagai Perdana Menteri

dan Prawoto Mangkusasmita sebagai Wakil Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 18 kementerian. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.99 Tahun 1952, tanggal 3 April 1952 dan harus berakhir pada tanggal 30 Juli 1953 ;

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama atau Kabinet Ali- Wongso- Arifin.

Kabinet ini dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri serta Wongsonegoro dan Zainul Arifin sebagai Wakil Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 17 kementerian. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.132 Tahun 1953, tanggal 30 Juli 1953 dan harus berakhir pada tanggal 12 Agustus 1955;

       44

 Miftah Thoha, Birokrasi… Op.cit., hlm 24‐28. 

(19)

5. Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini dipimpin oleh Burhanuddin

Harahap sebagai Perdana Menteri serta R.Djamu Ismadi dan Harsono Tjoktoaminoto sebagai Wakil Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 20 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 12 Agustus 1955 dan harus berakhir pada tanggal 24 Maret 1956;

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Ali

Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri serta Mohammad Rum dan KH Dr. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 25 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 24 Maret 1956 dan harus berakhir pada tanggal 9 April 1957;

7. Kabinet Djuanda atau Kabinet Karya. Kabinet ini dipimpin oleh Djuanda

sebagai Perdana Menteri serta Hardi, KH.Dr.Idham Chalid, dan Dr.J.Leimina sebagai Wakil Perdana Menteri, dengan jumlah kementerian sebanyak 26 kementerian. Kabinet ini dibentuk tanggal 9 April 1957 dan harus berakhir pada tanggal 10 Juli 1959.

D. Kementerian Negara Saat Kembali Pada Undang-Undang Dasar 1945 Kembalinya negara Indonesia setelah berjalan dalam bentuk Federal menjadi negara kesatuan lagi menuntut konsekuensi adanya Undang-Undang Dasar untuk negara kesatuan tersebut. Pada saat itu ditetapkan bahwa Undang-Undang Dasar untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia akan segera dibentuk oleh suatu badan yang disebut Konstituante. Selama masa pembentukan Undang-Undang Dasar oleh Konstituante maka berlakulah Undang-Undang-Undang-Undang Dasar

(20)

Sementara Tahun 1950. Tetapi saat itu, Konstituante tidak berhasil mencapai rumusan tentang Undang-Undang Dasar yang dapat dijadikan pengganti dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Karena kemacetan kerja dan perdebatan yang terus menerus terjadi di dalam Konstituante, maka dengan pertimbangan demi keselamatan negara dan bangsa, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit yang berisi :

1. Pembubaran Konstituante ;

2. Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ; 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)

serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 tersebut, maka Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kembali berlaku di Indonesia. Sehingga terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang sebelumnya adalah sistem parlementer berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, menjadi menganut sistem presidensial yang menempatkan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Secara normatif, tidak ada satu perubahan pasal pun dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasca dekrit. Dekrit hanyalah sebuah instrument yang digunakan oleh Soekarno dalam memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 setelah Konstituante hasil pemilu tahun 1955 tidak berhasil merumuskan suatu Undang-Undang Dasar yang baru.45

Setelah kembali ke Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Presiden mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk mengangkat menteri-menterinya       

45

(21)

secara langsung, tanpa harus menunjuk formatuer. Sesuai dengan Pasal 17, kedudukan menteri–menteri hanyalah sebagai pembantu presiden. Kata-kata Undang-Undang Dasar adalah bahwa “Presiden dibantu oleh menteri-menteri”. Dengan demikian berlakulah sistem presidensial dimana menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden bukan lagi kepada parlemen. Mereka dapat diberhentikan setiap waktu oleh presiden.46

Mulai saat Indonesia kembali menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara hingga sampai perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah terbentuk beberapa kabinet dengan kekhususannya masing-masing, diantaranya47 :

1. Kabinet Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)

a. Kabinet Kerja Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dengan Menteri pertama dijabat oleh Ir. H. Djuanda. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.153 Tahun 1959, tanggal 10 Juli 1959 dan harus berakhir pada tanggal 18 Februari 1960. Dalam kabinet ada sebutan Menteri-Menteri Kabinet Inti (inner cabinet), yang bersama-sama dengan Presiden harus mengkoordinir dan mengawasi berbagai Departemen Pemerintahan. Ada pula Menteri Negara ex-officio bukan anggota kabinet dan hanya mempunyai hak untuk menghadiri dan mempunyai suara dalam sidang-sidang pleno kabinet. Selain kedua jenis menteri tersebut, Kabinet Kerja ini terdiri pula para Menteri Muda yang berada di dalam bidang-bidang keamanan pertahanan, bidang keuangan, bidang distibusi, bidang produksi, bidang pembangunan, bidang kesejahteraan rakyat, dan bidang sosial kultural, yang        46  Ismail Sunny, Pergeseran… Op.cit, hlm 200‐201  47  Miftah Thoha, Birokrasi… Op.cit., hlm 28‐31.  http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabinet_Indonesia, diakses pada tanggal 20 Mei 2013 

(22)

kesemua menteri muda ini berjumlah 20 orang. Kabinet Kerja ini terdiri dari 33 orang;

b. Kabinet Kerja Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 40 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 18 Februari 1960 dan harus berakhir pada tanggal 6 Maret 1962;

c. Kabinet Kerja Ketiga. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 60 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 6 Maret 1962 dan harus berakhir pada tanggal 13 November 1963. Pada Kabinet Kerja Ketiga ini terjadi beberapa perubahan mengenai susunan kementerian. Dalam kabinet ini terdapat jabatan Menteri Pertama dan Wakil Menteri Pertama, jabatan Menteri Koordinator Kompartemen, dan terjadi pula penghapusan jabatan Menteri Muda. Di Kabinet ini juga semua pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara diangkat menjadi menteri. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR), Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Ketua Dewan Perancang Nasional diberikan kedudukan sebagai Wakil Menteri Pertama. Sedangkan para Wakil Ketua MPRS dan DPR-GR diberikan kedudukan sebagai Menteri;

d. Kabinet Kerja Keempat. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 66 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 13 November 1963 dan harus berakhir pada tanggal 27 Agustus 1964. Istilah Menteri pertama yang dipakai pada kabinet sebelumnya tidak digunakan lagi dalam kabinet ini dan diganti dengan istilah Presidium, yang merupakan badan kepemimpinan

(23)

kolektif yang terdiri dari Wakil Perdana Menteri Pertama, Wakil Perdana Menteri Kedua, dan Wakil Perdana Menteri Ketiga. Dalam Kabinet ini kedudukan Ketua MPRS disamakan dengan Wakil Perdana Menteri. Dengan demikian kedudukan Ketua MPRS berada di bawah Presiden.48 Ada pula jabatan yang diperbantukan pada Presidium, ada jabatan Menteri Koordinator (Menko) yang masing-masing memimpin suatu kompartemen. Jabatan Menteri Negara tidak diadakan lagi hanya khusus bagi Menteri Negara yang diperbantukan sebagai Penasehat Presiden. Pimpinan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara diberi jabatan sebagai Menteri Koordinator;

e. Kabinet Dwikora Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 42 Departemen dan 68 Menteri. Kabinet ini dibentuk tanggal 27 Agustus 1964 dan harus berakhir pada tanggal 22 Februari 1966. Kabinet ini juga menempatkan Pimpinan Lembaga Negara Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara sebagai Wakil Perdana Menteri, Menteri Koorinator, maupun sebagai Menteri;

f. Kabinet Dwikora Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 132 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 24 Februari 1966 dan harus berakhir pada tanggal 28 Maret 1966;

g. Kabinet Dwikora Ketiga. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 79 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 28 Maret 1966 dan harus berakhir pada tanggal 25 Juli 1966. Dalam kabinet ini, Ketua Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara kedudukannya

       48

(24)

ditempatkan setingkat Menteri, sedangkan Wakil-Wakil Ketua Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara kedudukannya setingkat Deputi Menteri49;

h. Kabinet Ampera Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Soekarno sebagai Presiden, dan terdiri dari 31 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 25 Juli 1966 dan harus berakhir pada 11 Oktober 1967. Dalam kabinet ini dibentuk suatu Dewan Presiden yang bertugas membantu Presiden menjalankan tugasnya sebagai pimpinan kabinet yang terdiri dari 5 Menteri Utama yang dipimpin oleh Ketua Presidium Letjen Soeharto.50

2. Kabinet Era Pemerintahan Orde Baru (1966-1999)

a. Kabinet Ampera Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Letjen Soeharto sebagai

Penjabat Sementara Presiden, dan terdiri dari 24 orang. Kabinet ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Presiden no 171 tahun 1967 tanggal 11 Oktober 1967 dan harus berakhir pada tanggal 6 Juni 1968. Dalam Kabinet ini dikenal istilah Presidium dan Pimpinan Kabinet. Istilah Menteri Negara kembali digunakan untuk menamakan jabatan Menteri anggota Kabinet;

b. Kabinet Pembangunan Pertama. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 24 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 6 Juli 1968 dan harus berakhir pada tanggal 28 Maret 1973. Pada Kabinet ini istilah Menteri Negara dipergunakan lagi untuk jabatan Menteri yang membantu Presiden di bidang-bidang tertentu. Pada masa pemerintahan ini, penempatan

       49

 Ibid, hlm 93  50

(25)

pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan/atau Lembaga Tinggi Negara sebagai Menteri tidak terjadi lagi51;

c. Kabinet Pembangunan Kedua. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 24 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 28 Maret 1973 dan harus berakhir pada tanggal 29 Maret 1978;

d. Kabinet Pembangunan Ketiga. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 32 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 29 Maret 1978 dan harus berakhir pada tanggal 19 Maret 1983. Pada Kabinet ini istilah kembali digunakan istilah Menteri Muda;

e. Kabinet Pembangunan Keempat. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 42 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 19 Maret 1983 dan harus berakhir pada tanggal 23 Maret 1988;

f. Kabinet Pembangunan Kelima. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 44 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 23 Maret 1988 dan harus berakhir pada tanggal 17 Maret 1993;

g. Kabinet Pembangunan Keenam. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 43 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 17 Maret 1993 dan harus berakhir pada tanggal 14 Maret 1998;

h. Kabinet Pembangunan Ketujuh. Kabinet ini dipimpin oleh Soeharto sebagai

Presiden, dan terdiri dari 38 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 14 Maret 1998 dan harus berakhir pada tanggal 21 Mei 1998;

       51

(26)

i. Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet ini dipimpin oleh B.J. Habibie

sebagai Presiden, dan terdiri dari 37 orang. Kabinet ini dibentuk tanggal 21 Mei 1998 dan harus berakhir pada tanggal 26 Oktober 1999.

E. Kementerian Negara Berdasarkan Konstitusi Beberapa Negara Lain 1. Amerika Serikat

Konstitusi Amerika Serikat secara tegas mengatakan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi (Pasal 2 Ayat 1 Konstitusi Amerika). Sebagai kepala eksekutif atau kepala pemerintahan, Presiden Amerika Serikat memiliki kewenangan untuk mengangkat pejabat-pejabat tinggi, seperti Menteri, hakim Mahkamah Agung, serta duta dan konsul, atas persetujuan dari senat. Dalam menjalankan pemerintahannya, administrasi dan pelaksanaan hukum-hukum federal ada ditangan berbagai departemen yang diciptakan Kongres untuk mengurus hal-hal khusus dalam urusan dalam dan luar negeri. Di Amerika sendiri, menteri-menteri ini memimpin suatu departemen yang mengurusi hal-hal tertentu sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Presiden Amerika Serikat, selaku kepala pemerintahan, berhak mengajukan usulan nama-nama menteri kepada Senat untuk nantinya disetujui oleh Senat dan dibentuklah suatu dewan penasehat presiden yang secara umum disebut sebagai kabinet.

Konstitusi Amerika sendiri tidak memuat secara jelas hal-hal mengenai kabinet presiden. Akan tetapi di dalamnya tertulis bahwa Presiden dapat menanyakan pendapat, dalam bentuk tulisan, dari pejabat penting dari tiap departemen berkenaan dengan area tanggung jawab mereka. Namun,

(27)

Undang-Undang Dasar tidak memuat nama-nama departemen dan deskripsi tugas mereka. Demikian halnya, tidak ada juga kualifikasi-kualifikasi yang diakui secara konstitusional untuk bertugas dalam kabinet.52

Kabinet yang berkembang di luar Undang-Undang Dasar memang ada karena kebutuhan, karena bahkan di zaman George Washington, Presiden pertama Amerika Serikat, sungguh tidak mungkin untuk mendelegasikan tugas-tugasnya tanpa nasihat dan bantuan. Kabinetlah yang membentuk seorang presiden. Beberapa presiden benar-benar mengandalkan kabinetnya untuk mencari nasihat, yang lainnya tidak terlalu peduli, dan ada yang benar-benar mengacuhkan para menterinya. Apakah anggota kabinet benar-benar bertugas sebagai penasihat atau tidak, mereka memegang tanggung jawab untuk mengarahkan kegiatan pemerintahan dalam area-area yang spesifik.53

Menurut Konstitusi Amerika Serikat, para menteri adalah pembantu Presiden. Menteri-menteri ini berasal dari partai politik. Dengan demikian dapat dikatakan partai politik memang merupakan kendaraan yang ditumpangi orang yang mau bepergian menuju ke kabinet atau menjadi pejabat politik. Sehingga dapat dikatakan juga bahwa jabatan menteri di Amerika Serikat merupakan jabatan politis. Beberapa menteri yang dianggap amat penting seperti Menteri Luar Negeri, Pertahanan, Keuangan, dsb sebelum diangkat dimintakan persetujuannya kepada Kongres. Persetujuan Kongres ini amat penting, karena di Kongres para wakil rakyat mempertaruhkan kompetensi menteri tersebut. Dengan demikian diharapkan para menteri yang mewakili partai politik yang ada di        52  Richard C. Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Kantor Program Informasi  Internasional Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, hlm 58  53  Ibid, hlm 58‐59 

(28)

Kongres mempercayainya karena kompetensi dan keahliannya di dalam membantu Presiden menjalankan pemerintahan.54

Setiap departemen memiliki ribuan pegawai, dengan kantor yang tersebar di seluruh negeri, termasuk di Washington. Departemen-departemen ini dibagi dalam berbagai divisi, biro, jabatan dan dinas, masing-masing dengan tugas yang terperinci dan berbeda satu sama lain. Departemen-departemen yang ada di pemerintahan Amerika Serikat meliputi :

a. Departemen Pertanian. Dibentuk pada tahun 1862;

b. Departemen Perdagangan. Dibentuk pada tahun 1903. Departemen Perdagangan dan Tenaga Kerja dipisah menjadi dua departemen yang berbeda pada tahun 1913;

c. Departemen Pertahanan. Disatukan pada tahun 1947. Departemen Pertahanan merupakan gabungan dari Departemen Perang (didirikan pada tahun 1789), Departemen Angkatan Laut (didirikan pada tahun 1798), Departemen Angkatan Udara (didirikan pada tahun 1947). Meski Menteri Pertahanan adalah anggota kabinet, tetapi Menteri Angkatan Darat, Laut dan Udara tidak termasuk di dalamnya;

d. Departemen Pendidikan. Dibentuk pada tahun 1979. Sebelumnya adalah bagian dari Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan;

e. Departemen Energi. Dibentuk pada tahun 1977;

       54

(29)

f. Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan. Dibentuk pada tahun 1979, ketika Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan (dibentuk pada tahun 1953) mulai dipisah-pisahkan;

g. Departemen Perumahan dan Pengembangan Urban. Dibentuk pada tahun 1965;

h. Departemen Dalam Negeri. Dibentuk pada tahun 1849;

i. Departemen Kehakiman. Dibentuk pada tahun 1870. Departemen Kehakiman dipimpin oleh seorang Jaksa Umum. Antara tahun 1789 dan 1870, Jaksa Agung merupakan anggota kabinet, tapi tidak mengepalai sebuah departemen; j. Departeme Tenaga Kerja. Dibentuk pada tahun 1913;

k. Departemen Luar Negeri. Dibentuk pada tahun 1789. Di dalam tradisi politik keamerikaan disebut Secretary of State, yang secara harfiah diartikan sebagai

Sekretaris Negara, tetapi perannya berbeda dengan Sekretaris Negara di

Indonesia. Menteri Luar Negeri adalah Kepala Petugas Eksekutif dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang paling dituakan di antara semua departemen eksekutif federal. Menteri Luar Negeri adalah petugas tertinggi ketiga di dalam cabang eksekutif Pemerintah Federal Amerika Serikat, setelah Presiden dan Wakil Presiden. Menteri Luar Negeri adalah anggota Kabinet Presiden dan sekretaris kabinet berperingkat tertinggi, baik itu di dalam garis pergantian kepresidenan maupun di dalam urutan protokoler;

l. Departemen Transportasi. Dibentuk pada tahun 1966; m. Departemen Keuangan. Dibentuk pada tahun 1789;

(30)

n. Departemen Urusan Veteran. Dibentuk pada tahun 1989, ketika Administrasi Veteran dinaikkan ke tingkat kabinet.

2. Inggris

Kerajaan Inggris merupakan sebuah negara berbentuk monarki dengan sistem pemerintahan parlementer yang menganut paham demokrasi. Pemegang kedalutan, yaitu seorang Ratu, adalah kepala negara yang juga bertindak sebagai kepala dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta panglima tertinggi angkatan bersenjata dan pemimpin Gereja Inggris (Church of England). Dalam praktiknya, kekuasaan membuat hukum dan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui parlemen. Dalam tradisi asli Inggris, pemegang kedaulatan berkuasa tidak berdasar atas sebuah aturan, namun saat ini, Ratu pun tunduk pada hukum, mengatur hanya bila mendapat persetujuan parlemen, dan bertindak atas nasihat para menterinya.55

Pemegang kekuasaan eksekutif di Inggris adalah seorang Perdana Menteri yang dipilih oleh Ratu, yang secara tradisi merupakan ketua dari partai berkuasa dalam parlemen. Dalam menjalankan tugasnya, Perdana Menteri dibantu oleh para menteri yang dipilih dari partai berkuasa dan kebanyakan yang berada dalam the

House of Commons.56

Di Inggris, Perdana Menteri memilih menteri-menteri untuk disusun ke dalam kabinet. Semua menteri di Inggris merupakan anggota dari parlemen. Jika ada seseorang yang diperlukan untuk menduduki jabatan menteri bukan anggota        55 http://argama.files.wordpress.com/2007/08/konstitusikekuasaaneksekutifkekuasaanlegislatifd ankekuasaanyudikatif.pdf, diakses pada tanggal 12 Juli 2013  56  ibid 

(31)

parlemen, maka dia harus disetujui atau memenangkan suara ketika dipilih oleh anggota parlemen. Dengan demikian seorang menteri dalam kabinet di Kerajaan Inggris harus berasal dari partai politik. Selain itu seorang menteri juga harus berbobot, berkompeten, berkualitas, serta memahami fungsi dan tugas departemen yang bakal dipimpinnya.57

Kabinet membentuk kebijakan-kebijakan pemerintah yang akan ditawarkan kepada parlemen sebagai rancangan peraturan. Untuk menjaga stabilitas kabinet, para anggota harus selalu bertindak secara bersama-sama dan mengeluarkan pernyataan atau kebijakan secara kolektif. Jika seorang menteri tidak setuju dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh kabinet, maka menteri tersebut harus mengundurkan diri. Secara kolektif, para menteri ini bertanggung jawab atas semua keputusan yang dibuat kabinet kepada parlemen. Sedangkan secara individu, menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atas kinerja departemen mereka masing-masing.58

Setiap menteri mengepalai sebuah departemen dan bertanggung jawab penuh atas kinerja departemen yang ia pimpin tersebut. Masing-masing menteri dituntut untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh the House of Commons dalam parlemen. Menteri-menteri yang juga duduk dalam the House of Lords memiliki sekretaris dalam parlemen yang bertugas menjawab setiap pertanyaan yang mengemuka dalam the House of Commons. Penerapan mekanisme seperti ini dalam sistem parlementer sekaligus untuk        57  Miftah Thoha, Birokrasi…Op.cit., hlm 45  58 http://argama.files.wordpress.com/2007/08/konstitusikekuasaaneksekutifkekuasaanlegislatifd ankekuasaanyudikatif.pdf, diakses pada tanggal 12 Juli 2013 

(32)

mengontrol pemerintah (departemen-departemen) agar terhindar dari inefisiensi dan tindakan yang tak bertanggung jawab. Terdapat banyak departemen pemerintah dengan ruang lingkup dan kompleksitas yang berbeda-beda.59 Departemen-departemen utama di antaranya adalah:

a) Departemen Keuangan; b) Departemen Pertahanan; c) Departemen Kesehatan; d) Departemen Dalam Negeri; e) Departemen Luar Negeri; dan f) Departemen Pos.

3. Jepang

Menurut Konstitusi Jepang tahun 1945, Kaisar adalah lambang dari negara sekaligus lambang dari persatuan rakyat.60 Kaisar memperoleh jabatannya secara turun-temurun yang diatur oleh Undang-Undang. Jepang menganut sistem negara monarki konstitusional yang sangat membatasi kekuasaan Kaisar Jepang. Segala macam tindakan yang dilakukan oleh Kaisar harus minta saran dan persetujuan dari kabinet. Sehingga,Kaisar tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. Yang bertanggungjawab atas tindakan tersebut adalah kabinet.61

Kaisar tidak mempunyai kewenangan yang berhubungan dengan pemerintahan. Untuk itu, Kaisar mengangkat Perdana Menteri yang telah dipilih

       59  Ibid  60  Pasal 1 Konstitusi Jepang  61  Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.cit., hlm 166  

(33)

oleh Diet.62 Diet merupakan Badan Tertinggi dari kekuasaan negara dan satu-satunya badan pembuat Undang-Undang.63 Para anggota Diet ini memilih perdana menteri dari antara mereka sendiri. Perdana Menteri merupakan Kepala Pemerintahan di Jepang.

Sesuai degan Pasal 65 jo 66 Konstitusi Jepang, kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet yang terdiri dari menteri-menteri dari kalangan sipil dan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Sebagai kepala eksekutif, Perdana menteri mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan para menteri. Meskipun begitu, Perdana Menteri memiliki kewajiban agar mayoritas dari para menteri tersebut berasal dari anggota Diet. Para menteri tersebut bertanggung jawab secara kolektif kepada Diet.64 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Jepang adalah negara yang menjalankan sistem pemerintahan parlementer.        62  Pasal 3 Konstitusi Jepang  63  Pasal 41 Konstitusi Jepang  64  Abdul Ghoffar, Perbandingan… Op.cit, hlm 167‐168 

Referensi

Dokumen terkait

Kontribusi penelitian ini adalah dalam pengembangan modul ekstensi pada qoe-monitor untuk mendukung estimasi nilai QoE layanan video menggunakan standard ITU-T G.1070, dan

Hal ini ditunjukkan bahwa psikologi dan sosiologi pariwisata telah memusatkan perhatian kepada pandangan dan perilaku wisatawan saja (Krippendorf, 1987; Zhang, et al.

Sejarah pendidikan Indonesia tentu saja memuat kurikulum di dalamnya di mana dalam perjalanannya selalu terjadi perubahan, di mulai dari kurikulum 1947, 1968, 1975,

Partai Konservatif memiliki pandangan yang berbeda terhadap Protokol Kyoto, dimana pada Mei 2006, Menteri Lingkungan Hidup Kanada menyampaikan pernyataan di Bonn, bahwa target

Rasa menyesal ini muncul karena mahasiswa menggunakan uangnya untuk membeli produk fashion yang tidak menjadi kebutuhan mendesak, padahal disi lain masih memiliki

Tanaman Sutra Bombay poliploid memiliki jumlah kromosom 2n=4x=36, panjang dan lebar stomata yang lebih tinggi, kerapatan stomata yang lebih rendah, serta morfologi yang lebih besar

Right now, EXIF supports storage of extended camera informa- tion within the image fi le’s header, such as the time and date the image was made, device name, shutter speed,

108/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah (Studi Kasus Di Kampung Coklat Desa Plosorejo Kecamatan Kademangan Kabupaten