• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP POLITIK ISLAM DI INDONESIA. kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP POLITIK ISLAM DI INDONESIA. kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

50

TERHADAP POLITIK ISLAM DI INDONESIA

A. Orientasi Umum Kebijakan Orde Baru

Pada tahun 1966, di Indonesia lahir pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemunculan Orde Baru ini terjadi sebagai reaksi terhadap rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya yang telah digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan krisis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.1

Orde Baru, rezim yang lahir sebagai reaksi terhadap rezim sebelumnya, maka kebijakannya tentu bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan sebelumnya. Kalau pada masa Orde Lama wacana dan gerakan politik begitu dominan dalam percaturan nasional, maka sebaliknya, Orde Baru tampil dengan slogannya politik no, ekonomi yes.2 Oleh karenanya, pemerintahan Orde Baru menciptakan counters ideas (pemikiran-pemikiran tandingan) yang lebih menekankan pada ide-ide

1

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hlm. 102.

2

Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 188.

(2)

pragmatik, deideologisasi, deparpolisasi, program oriented, pembangunan oriented dan sebagainya.3

Namun demikian, Orde Baru dihadapkan oleh tugas berat memperbaiki kembali institusi-institusi politik untuk menegakkan lagi kewibawaan pemerintahan negara setelah negara berada di bawah rezim "kuku besi", yang dipimpin oleh Soekarno yang biasa disebut "Demokrasi Terpimpin" atau Orde Lama (1957-1965) terlibat dalam situasi kacau-balau.

Moeljarto Tjokrowinoto, pakar sains politik terkemuka di Universitas Gajah Mada, mengemukakan keadaan politik di Indonesia menjelang lahirnya Orde Baru yang ditandai oleh enam ciri: kegagalan sistem multi-partai; percaturan politik yang bertumpu pada dasar partai ideologi dalam suasana masyarakat yang belum cukup menghayati aturan permainan politik yang ada; perpecahan birokrasi karena campur tangan partai ke dalam birokrasi dan menjadikan birokrasi sebagai asasnya; partai politik mempergunakan corak partai "totali-tarian"; penyusupan partai Komunis ke dalam ABRI sehingga menimbulkan "disharmoni" hubungan di antara Angkatan dan Kesatuan; dan interaksi politik di desa ditandai oleh nilai-nilai primordial, orientasi "parokhial" dan hubungan "patron-klien" sehingga mengurangi persatuan pedesaan dan menimbulkan konflik "interpersonal" 4

Di dalam konteks yang luas, terutama dalam hubungannya dengan ekonomi, gambaran keadaan bangsa Indonesia ketika itu tercermin dalam

3

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Rekonstruksi Pemikiran Orde Baru, Bandung: Mizan, 1984, hlm. 95.

4

Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm. 104.

(3)

sembilan masalah seperti yang dikemukakan oleh Profesor Donald W. Wilson sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berikut ini: pembentukan suasana stabilitas politik dan sosial (keamanan bangsa) yang memungkinkan terjadinya perubahan; menciptakan satu bangsa yang terhindar dari perpecahan umat dan banyaknya bahasa dan dialek yang bisa menggoncangkan ("staggering"); membawa rakyat untuk berada bersama-sama di dalam pemerintahan, yaitu mereka yang bukan menjadi orang penurut atau "asal bapak senang", mempunyai kemampuan dan kepakaran khusus guna menangani masalah bangsa secara cerdik dan arif; menghapuskan kelembapan dan "buck passing" yang melumpuhkan pemerintahan sampai begitu lama; membentuk satu semangat kerjasama di dalam pemerintahan yang bisa membangkitkan kecemburuan kecil di atas dan perbedaan-perbedaan yang bersifat kedaerahan; menjauhkan kepentingan pribadi dan sakit hati mereka yang sangat menginginkan untuk kembali kepada era Soekarno; menangani masalah-masalah ekonomi dan pembangunan ekonomi serta menghindari keruntuhan atau bencana ekonomi dan keuangan; membangun keberdikarian pertanian untuk memenuhi keperluan makanan; meraih lebih banyak lagi pengadilan yang adil.5

Luasnya aktivitas pembangunan di atas seiring dengan kemunduran dalam bidang ekonomi, lemahnya institusi politik, korupsi yang bersifat "endemik", bahaya militerisme yang merayap, kelebihan penduduk di Jawa, meluasnya pengangguran, dan hancurnya infrastruktur yang dialami oleh

5

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999, hlm. 118.

(4)

bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan bantuan dari masyarakat penderma/penyumbang.6

Untuk menghadapi tantangan tersebut, maka sasaran pembangunan Orde Baru bertumpu pada aspek ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik yang bisa mendukung pembangunan ekonomi. Salah satu kebijakan Orde Baru dalam hal politik adalah melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.7

Bahkan ada pula pakar yang berpendapat bahwa cita-cita utama Orde Baru adalah menegakkan negara Pancasila, mengamankan/menyelamatkan kehidupan politik agar tidak mengganggu pembangunan ekonomi, serta menjamin peran tentara dalam mengarahkan kehidupan masyarakat.8

Dari sini Orde Baru pernah berjanji atau memberikan jaminan untuk menyelamatkan stabilitas politik dan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melaksanakan pemilihan umum, melaksanakan landasan luar negeri yang bebas dan aktif, dan meneruskan perjuangan melawan imperialisme. Janji seperti disebutkan di atas sesuai dengan keadaan mendesak masyarakat ketika itu, seperti terlihat dalam program yang dibuat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) sebagai satu teras kekuatan inti yang menumbangkan rezim Orde Lama tentang konsolidasi dan pembangunan Orde

6

Selo Soemardjan, Akibat-Akibat Sosiologis Dari Inflasi Moneter, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 84.

7

Taufiq Nugroho, Pasang Surut Hubungan Islam Dan Negara Pancasila, Yogyakarta: Padma, 2003, hlm. 89.

8

(5)

Baru, yaitu memajukan struktur politik baru, pembangunan masyarakat desa, program pendidikan dan kebudayaan, dan program hubungan antar bangsa.

Sasaran pembangunan ekonomi yang sangat berhubungan dengan stabilitas politik bisa dipahami asalkan disejajarkan pula dengan pemberian kebebasan politik, karena pertumbuhan ekonomi hanya mungkin dicapai jika ada stabilitas politik. Pengalaman negara-negara di Asia dan Afrika telah membuktikannya. Hanya di kawasan Amerika Latin saja pertumbuhan ekonomi bisa terjadi pada saat adanya ketidakstabilan politik.9

Rezim ini mengambil sikap pragmatik, dan ekonominya sangat bergantung pada bantuan Barat,10 dan Jepang sehingga corak pembangunan yang dipilih oleh Soeharto adalah pembangunan kapitalis,11 terjadilah "westernisasi", terutama di kota-kota besar.

Adanya unsur "westernisasi" merupakan satu aspek yang tidak mungkin dihindarkan di dalam modernisasi, sebagai langkah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh Komunisme. Di samping itu, seiring pula dengan tujuan pembangunan Indonesia pada fase awal Orde Baru. Meminjam pendapat Profesor M. Dawam Rahardjo, Indonesia melakukan pemodernan melalui lima aspek: pendidikan di negara-negara Barat, bantuan pemberian saham dan teknik, penanaman modal asing dan pemberian saham, pengaruh media massa, dan pemindahan struktur lembaga dan ekonomi.12

9

Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam Dalam Lintasan Sejarah, Bandung: Pustaka Setia, 2004, hlm.55.

10

Faisal Ismail, op. cit., hlm. 76.

11

Ibid.

12

M. Dawam Rahardjo, Intelektual Inteligensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993, hlm. 375.

(6)

Dengan demikian, tugas yang dibebankan kepada Orde Baru adalah berat sekali. Oleh karena itu memerlukan perencanaan yang matang dengan akurat, hati-hati, konsepsi yang tepat, strategi yang cocok, institusi yang kokoh dan kepemimpinan yang didukung oleh "semua" pihak agar tidak mengulangi kegagalan yang telah dialami oleh Orde Lama, serta memperoleh bantuan keuangan dari negara-negara Barat. Ini juga berarti bahwa munculnya Orde Baru merupakan satu peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia yang akan menentukan corak dan keberadaannya di masa mendatang.

Apalagi, sebagai bangsa yang lama mengalami penjajahan dan berpenduduk banyak dengan susunan masyarakat yang terdiri dari beragam etnis, maka pemilihan corak sistem politik dan kebijakan yang tepat merupakan satu hal yang penting. Jenis sistem politik juga ditentukan oleh faktor historis, dan primordialistik.

Ciri nasionalisme dan kedaulatan rakyat ini mempunyai dua implikasi, pertama, rakyat dari waktu ke waktu akan mengurangi ketergantungannya atau hubungannya dengan pertalian kekeluargaan yang bersifat tradisional. Kedua, seiring dengan asas kedaulatan rakyat maka rakyat mempunyai kekuatan untuk menuntut hak-hak mereka agar diikut-sertakan dalam segala proses politik dan dalam pembuatan keputusan politik. Di sini bisa timbul masalah, yaitu konflik kepentingan di antara pemegang kekuasaan tradisional sebagai pemimpin informal yang selama ini memainkan peran penting di dalam

(7)

masyarakat dengan kelompok baru sebagai elite yang memegang kepemimpinan formal.

Di dalam kasus Indonesia, elite baru ini terletak pada tiga kelompok: yaitu pakar ekonomi yang membuat kebijakan; ABRI yang menstabilkan, dan "birokrat" sebagai pelaksananya. Yang tergolong ke dalam pakar ekonomi bisa juga disebut kelompok intelektual/inteligensia atau "teknokrat" yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan ekonomi.13

Pada masa awal Orde Baru ketiga kelompok ini memainkan peran yang sangat penting. Ini merupakan sesuatu yang wajar. ABRI dan birokrasi merupakan kekuatan yang selalu wujud (inherent) di dalam sejarah politik Indonesia setelah Perang Dunia Kedua. Begitu pula kelompok intelektual telah berperan sejak zaman pergerakan awal abad ke-20. Meminjam pendapat M. Rusli Karim bahwa di dalam pergerakan nasionalis masyarakat kelompok intelektual selalu berfungsi sebagai penggeraknya, sehingga pergerakan nasional pun tiada lain adalah pergerakan kelompok intelektual itu sendiri.14

Menurutnya, yang menjadi persoalan adalah kecenderungan ketiga kelompok di atas untuk "meminggirkan" ("marginalized") elite tradisional. Modernisasi dan pembangunan ekonomi tampaknya tidak terlalu memerlukan khidmat dari kelompok elit tradisional. Dengan perkataan lain, salah satu kesan negatif dari modernisasi dan pembangunan ekonomi adalah peminggiran elite tradisional. 15

13

Faisal Ismail, op. cit., hlm. 108.

14

M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 58.

15

(8)

Perkara seperti ini adalah wajar, bahwa kesan lain dari proses modernisasi bisa menimbulkan sentralisasi, birokratisasi dan meningkatnya kekuasaan negara. Negara menjadi begitu kuat, yang bermakna: pertama, memperlemah kekuatan-kekuatan lawan yang bisa menentang atau mempengaruhi arah kebijakan negara; kedua memperketatkan pengawasan terhadap pembuatan keputusan; dan ketiga membangun kemampuan manajerial negara. Kecenderungan politik dan ekonomi diarahkan untuk memperkukuhkan pemerintah pusat, dan kuatnya pemerintah pusat ini belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.16

Kuatnya kedudukan negara ini diakui oleh mantan Sekretaris Jenderal Golongan Karya (Golkar) Sarwono Kusumaatmadja,17 bahwa selama era Orde Baru pemerintah merupakan satu-satunya institusi politik yang berpengaruh. Di dalam perkembangan berikutnya diharapkan secara perlahan-lahan akan muncul institusi-institusi lainnya seiring dengan peran, fungsi dan mutunya masing-masing.

Dengan makin dominannya ABRI dan teknokrat maka kemungkinan makin terancamnya kedudukan politik umat Islam tidak bisa dielakkan, karena ABRI sendiri mempunyai persepsi yang sangat negatif terhadap Islam.

Menurut Yahya Muhaimin kelompok "inteligensia" dan "teknokrat" ini pulalah yang akan mengatasi kelemahan-kelemahan tentara yang cenderung melakukan tindakan-tindakan merugikan dalam melaksanakan

16

Akhmad Setiawan, Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. ke-1, 1998, hlm. 108-110.

17

Sarwono Kusumaatmadja, Sketsa Politik Orde Baru, Bandung: Alumni, 1988, hlm. 38-39.

(9)

pembangunan.18 Di antara mereka ini ada yang telah bekerja dalam merancang pembangunan ekonomi sejak era Orde Lama atau Demokrasi Terpimpin, dan ada pula yang baru diangkat pada era Orde Baru.19

Bahkan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo adalah bekas pemimpin kanan Partai Sosialis Indonesia yang selama era Orde Lama mengungsi ke Malaysia karena dimusuhi oleh Soekarno karena keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI juga diberi kedudukan penting sebagai Menteri Perdagangan. Pikiran mereka sesuai dengan garis Amerika. Kelompok "inteligensia" dan "teknokrat sekular" ini juga biasa disebut "Mafia Berkeley",20 karena kebanyakannya adalah lulusan dari University of California Berkeley.

Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa kelompok intelektual bertanggungjawab atas terbentuknya sistem sosial dan politik yang autoritarian. Perencanaan ("engineering") politik Orde Baru ditempuh dengan cara institusionalisasi ("institutionalize") dengan pembentukan partai-partai politik, mengekalkan atau membiarkan rakyat mengambang ("floating.mass"),21 dan mengawasi setiap jenis perwakilan politik, termasuk kelompok intelektual pemuda, mahasiswa dan media massa. Dalam konteks ini, langkah memasukkan Angkatan Darat ("army", untuk selanjutnya disebut ABRI), kelompok-kelompok profesional, dan pelaku bukan partai adalah jelas

18

A. Yahya Muhiamin, Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 122.

19

M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 59.

20

A. Yahya Muhaimin, op. cit., hlm. 122.

21

(10)

dimaksudkan untuk menentang baik kelompok muslim ataupun kelompok nasionalis.

Soeharto sendiri, seperti halnya Soekarno tidak mempunyai "akar umbi" kepartaian. Ia menduduki tingkat ke-10 dalam barisan kepemimpinan ABRI. Meminjam pendapat Nishihara tampaknya Orde Baru telah mempunyai strategi yang tepat untuk melemahkan partai politik dengan cara memojokkan, menjinakkan dan akhirnya ditinggalkan orang, yaitu dengan cara menekankan pembangunan ekonomi secara besar-besaran sambil "mendepolitisasikan” suasana politik yang tegang. 22

Dengan begitu partai-partai politik tidak dapat melakukan perbincangan ideologis melainkan ditarik ke dalam kerangka yang diciptakan oleh pemerintah yang menekankan pada kebijakan ("policy"). Kalaupun ada ideologi, hanya berasaskan pada "developmentalisme". Maka apa yang dialami oleh umat Islam di zaman Orde baru ini adalah mengulang pengalaman pahit masa lalu. Yang berbeda barangkali adalah caranya.

Oleh karena itu, di samping berbagai langkah seperti telah diuraikan terdahulu, ada empat tindakan yang dilakukan Orde Baru untuk menciptakan keamanan internal: manipulasi-manipulasi politik, pengawasan penduduk, menyapu bersih lawan yang memberontak, dan ketakutan yang direkayasa ("calculated terror").23

Dari uraian singkat di atas telah diperoleh gambaran umum tentang sasaran yang menjadi tujuan Orde Baru, terutama dalam hubungannya dengan

22

M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 60.

23

(11)

usaha membangun ekonomi dan mewujudkan kestabilan politik. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pandangan para pakar dalam menggambarkan proses terbentuknya Orde Baru dan kebijakan yang digariskannya untuk mencapai tujuan politiknya.

B. Ciri-Ciri Utama Kebijakan Orde Baru

Menurut Hikam, dengan mempergunakan pendekatan-pendekatan dependensi dan strukturalis berpendapat bahwa pembentukan negara Orde Baru adalah disesuaikan dengan proses pembentukan "kapital" yang tidak bisa dipisahkan dari proses "transnasionalisasi". Di sini negara terutama dipandang sebagai kekuatan yang memainkan peran sebagai "alat" dari kelompok elite yang terdiri dari kelas borjuis, tentara dan para "teknokrat" sekuler.24

Dalam usahanya untuk memperkokoh dan menstabilkan kekuasaan politik serta mencapai sasaran-sasaran politiknya, rezim Orde Baru menetapkan empat (4) metode ; pertama memberi peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosial politik (dwifungsi) dalam politik Indonesia, kedua, memperlakukan golkar sebagai anak emas, ketiga meluncurkan kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik dan keempat mengisi Badan

24

M. AS. Hikam, “Khittah dan Penguatan Civil Society di Indonesia: Sebuah kajian Historis Struktural Asas NU sejak 1984”, dalam Dharwis, Gus Dur dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, hlm. 99.

(12)

Perwakilan negara dalam dua cara, dengan menunjukkan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum. 25

Dari perspektif yang agak berbeda, Liddle sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim berpendapat bahwa ada tiga ciri menonjol Orde Baru yang membuat orang bersikap optimistik terhadap kemungkinan berhasilnya rezim ini.

Pertama, menonjolnya golongan teknokrat, yaitu pakar ekonomi profesional berpendidikan Barat. Kedua, dominasi ABRI pada politik tingkat tinggi dan tiadanya oposisi sehingga stabilitas politik bisa terjamin. Ketiga, birokrasi yang kompak.26

Ciri khusus bentuk ideologis rezim ini mengandung tiga unsur: developmentalis, teknokratik nasionalis dan militeristik. Di samping itu, bagi rezim ini respon politik diikuti dengan ekspansi ekonomi, baik sebagai sebab ("cause") ataupun sebagai akibat ("effect").

Menurut Munir Mulkhan, Ciri pokok pemerintahan Orde Baru, adalah pengembangan politik Pancasila, dan perencanaan perubahan masyarakat secara bertahap yang tertuang di dalam konsepsi Pembangunan Nasional.27

Abdul Aziz Thaba menggambarkan pengawasan politik yang dilakukan oleh Soeharto dan kawan-kawannya mencakup empat langkah, pertama militer sebagai kekuatan poltik dominan, kedua pembangunan

25

Faisal Ismail, op. cit., hlm. 112.

26

Lihat M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 62.

27

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Ummat Islam 1965-1987, Jakarta: Rajawali, Cet. ke-1, 1989, hlm. 85.

(13)

ekonomi sebagai prioritas, ketiga stabilitas poltik, keempat terbentuknya hegemoni sistem partai. 28

Menurut Profesor Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim mengemukakan strategi yang lebih kentara yang dilakukan oleh tentara untuk memperkuat kedudukannya dengan dasar penggabungan yang dilindungi ("patronage incorporation"), yaitu didasarkan pada kemampuannya mempertahankan pengawasan terhadap langkah pemusatan mobilisasi dan penggalian sumber dengan cara meng"kooptasikan" kepada, atau mengeluarkan dari akses kepada pusat dan sumber-sumber dasar-dasar penggalian dan kedudukan-kedudukan birokratik, untuk memperoleh kepatuhan dari, terkecuali, atau mengeluarkan kelompok-kelompok di dalam dan di luar lingkungan yang berkuasa dalain masa yang cepat.29

Dan dengan perlindungan tersebut menurutnya maka kekuasaan tentara dalam pemerintah Orde Baru didukung bukan saja oleh jaringan kekuasaan yang kuat tetapi juga oleh jaringan ekonomi yang kuat pula.

Arief Budiman mengajukan aspek yang lain, terutama dari proses tersingkirnya kelompok di luar pendukung pemerintah, Menurutnya, pemerintah Orde Baru didirikan atas dukungan gabungan dari kekuatan-kekuatan masyarakat yang anti-komunis, yaitu kelompok tentara, kelompok Islam dan kelompok borjuis yang tersingkir pada masa Soekarno. Lama kelamaan kelompok tentara ini bertambah kuat dan akhirnya muncul sebagai

28

Abdul Azis Thaba, op .cit., hlm 189-206.

29

(14)

pemimpin, dan kelompok lainnya berhasil disingkirkan. Tentara tidak lagi menginginkan gabungan dengan kelompok lain, termasuk Islam.30

Sedangkan menurut Afan Gaffar ada empat tahapan yang dilakukan rezim Orde Baru untuk mewujudkan hegemoni politik: (1) tahap unifikasi sederhana; (2) tahap pembangunan industri; (3) tahap pencapaian kemakmuran yang merata; (4) tahap otomatisasi.31 Dengan demikian untuk menghegemoni partai politik terhadap keberadaan politik Islam (Islam ideologi) akan tersingkir dengan sendirinya karena yang diprioritaskan bukan partai politik akan tetapi stabilitas politik dan ekonomi guna tercapainya stabilitas pembangunan negara.

Ciri utamanya adalah sering mempergunakan "kooptasi" dan "koersi". Partai politik dan kelompok kepentingan pada umumnya hanya memainkan peran "kedua" ("secondary") dan tidak lagi mempunyai kekuatan. Pemusatan kekuasaan di tangan pemerintah tersebut menurut Franz Magnis-Suseno bersumber dari tujuh faktor: nasionalisme Indonesia, pengalaman sejarah masa lalu, birokratisasi kehidupan masyarakat, pembangunan dari atas, pendekatan keamanan, dampak kebudayaan Jawa, dan sentralisasi dan pamrih. Pemusatan kekuasaan ini merupakan satu aspek yang negatif dari budaya politik Jawa yang menjadi pegangan Orde Baru, yang salah satu cirinya adalah "pemimpin yang baik" dan "rakyat yang patuh". 32

30

Arif Budiman, Negara dan Pembangunan: Study tentang Indonesia dan Korea Selatan, Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas, 1991, hlm. 50.

31

Afan Gaffar, Beberapa Aspek Pembangunan Politik, Jakarta: Rajawali, Cet. ke-2, 1989, hlm. 59.

32

F. M. Suseno, Filsafat Kebudayaan Politik: butir-butir Pemikiran Kritis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 172-173.

(15)

Hal yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Eep Saefulloh, menurutnya kepemimpinan politik Orde Baru tidak terlepas dari karakter kepemimpinan politik budaya jawa yaitu: hierarki serta pengaturan posisi dan peran para pembantu; kontrol dan partisipasi politik; dan pengendalian dalam proses pengambilan keputusan. Dari ketiga corak tersebut, yang tampak adalah bahwa kepemimpinan presiden Orde Baru memiliki kekuasaan yang konkret luas dan cenderung memusat.33

Untuk itu diciptakan pula pendekatan pembangunan, yang bergaya "top – down" dan birokratik dengan kekuasaan yang terpusat sepenuhnya pada pemerintah serta menghilangkan sama sekali pengaruh partai politik. Di dalam praktiknya kekuasaan di Indonesia partai politik dan rakyat ("public") mempunyai peran yang relatif kecil yang berbeda dengan sistem yang lebih bersifat perwakilan.

Mekanisme politik demikian ternyata berhasil dipraktekkan oleh Soeharto, selama tiga dasawarsa perjalanannya negara Orde Baru, yang menurut R. William Liddle menyerupai sebuah piramida yang dipuncaknya dia bertengger, sementara institusi-institusi kenegaraan yang lain - Golkar, Militer dan Birokrasi – diposisikan sebagai kaki-kaki penyangga piramida Orde Baru, penyelenggaraan pemerintahan hampir sepenuhnya berada dibawah kontrol Presiden.34

33

Eep Saefulloh Fatah, Penghianatan Demokrasi ala Orde Baru (masalah dan masa depan demokrasi terpimpin), Bandung: Rosda Karya, Cet. ke-2, hlm. 43-52.

34

R. William Liddle, Leadership and Culture in Indonesian Politics, dalam Akhmad Arif Junaidi, “Kompilasi Hukum Islam dan Lintas Sejarah Pergulatan Politik”, Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan hukum Islam “Al Ahkam”, Volume XV, Edisi ke-1, April, 2004., hlm. 12-13.

(16)

Selain itu, Soeharto dikelilingi oleh sekelompok pejabat tinggi tentara (perwira) yang patuh kepadanya, yaitu mereka yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengannya, dan dari kelompok abangan seperti Ali Moertopo, Ibnu Sutowo, Sudjono Humardani dan Sudharmono. Jumlah "perwira" dari Jawa telah meningkat dari 50 person menjadi 70 persen. Semua Jenderal ini patuh mengikuti garis yang telah digariskan oleh Soeharto.35

Sejak itu pula kekuasaan negara secara perlahan-lahan makin terpusat di tangan Soeharto. Tindakan yang diambil Soeharto untuk melumpuhkan kekuatan massa dan terutama partai politik melebihi dari apa yang berlaku pada masa Orde Lama. Pada masa tersebut, Soekarno masih memerlukan partai politik dan massa untuk menghadapi perluasan pengaruh ABRI, sehingga partai-partai politik, perhimpunan dan pergerakan yang bersendikan masyarakat sipil bisa melakukan kegiatan dan mempunyai pengaruh di dalam masyarakat.

Dengan perkataan lain, sampai akhir 1960-an sistem politik benar-benar merupakan struktur autoritarian dan "monolitik". Pengaturan politik pada masa ini mempunyai dua tujuan sekaligus; memperkuat negara dan memperlemah partai-partai politik, dengan langkah-langkah "departy-ization" dan "Golkarization" oleh karena ABRI sendiri tidak menginginkan setiap peran yang dimainkan oleh partai berdasarkan pada pengalaman pahitnya pada masa lalu.

35

(17)

Partai dianggap sebagai pencetus kerusuhan yang tidak bertanggungjawab dan juga sebagai kelompok pencari kekuasanan yang "oportunis" serta menimbulkan keributan ekonomi dan ketidakstabilan politik. Sikap anti-partai ini juga menimpa kelompok sipil, termasuk intelektual, profesional dan mahasiswa. Bahkan kelompok intelektual ber-pandangan bahwa pembangunan ekonomi akan gagal jika rezim ini beraliansi dengan partai politik. Inilah yang menurut Abdul Azis Thaba disebutnya sebagai hubungan antagonis. 36

C. Kebijakan Pemerintah Orde Baru Terhadap Politik Islam 1. Pengebirian Partai Politik Islam

Dengan naiknya pemerintahan Orde Baru banyak kalangan pemimpin dan aktivis politik Islam berharap besar. Harapan itu terutama tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Karena merasa menjadi bagian penting dari kekuatan-kekuatan koalisi (seperti militer, kelompok fungsional, kesatuan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya) yang telah berhasil menghancurkan PKI dan menjatuhkan rezim Soekarno, mereka sudah memperkirakan kembalinya Islam dalam panggung diskursus politik nasional.37

36

Abdul Azis Thaba, op. cit., hlm. 240.

37

Al-Chaidar, Reformasi Prematur Jawaban Islam terhadap Reformasi Total, Jakarta: Darul falah, Cet. ke-4, 1999, hlm. 32.

(18)

Tindakan rezim Orde Baru untuk membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan oleh Soekarno makin memperbesar harapan mereka bahwa rehabilitasi Masyumi berlangsung tidak lama lagi. Oleh karena itu, sebuah panitia yang diberi nama Badan Koordinasi Amal Muslimin didirikan untuk merealisasikan harapan itu.38

Rupanya harapan itu tinggal harapan, pemerintah Orde Baru keberatan atas kembalinya pemimpin-pemimpin Masyumi ke arena politik dan menolak rehabilitasi Masyumi dengan didasarkan ketakutan-ketakutan bahwa jika Masyumi direhabilitasi, maka sejarah politik Indonesia akan mengulang pengalaman masa lalu, dimana Masyumi merupakan oposisi abadi dan penentang ideologi Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini tidaklah mengherankan karena ABRI (pendukung utama pemerintahan Orde baru)39 pada tanggal 21 Desember 1966 mengeluarkan pernyataan yang menyamakan Masyumi (ekstrim kanan) dengan PKI (ekstrim kiri) karena telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 dan ABRI akan menindak tegas individu atau kelompok yang menyimpang dari dokumen-dokumen tersebut.40

Sebagai gantinya, pemerintah Orde Baru mengesahkan pendirian Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), sebagai wadah aspirasi politik

38

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, hlm. 37.

39

Adeng Muchtar Ghazali, op. cit., hlm.126.

40

(19)

umat Islam yang belum tertampung dalam NU, PSII, Perti dan Golkar, tetapi dengan kontrol yang sangat ketat oleh pemerintah dan ABRI.41

Yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, bahkan dilarang sama sekali duduk dalam kepengurusan Parmusi. Untuk membatasi gerak politik bekas para pemimpin Masyumi, pemerintah melalui presiden Soeharto merekomendasikan Djarnawi H. dan Lukman Harun (dua aktivis Muhammadiyah) sebagai pemimpin Parmusi.42

Di dalam perkembangan selanjutnya ternyata campurtangan pemerintah menjadi satu ciri khas partai ini, ketika kongresnya yang pertama di Malang memilih Mohammad Roem sebagai ketua partai ini yang akhirnya tidak disetuhui oleh rezim. Rezim bisa mengganti pimpinannya kapan saja, sesuai dengan keperluannya guna memperlemah partai ini. Sejak itu muncul banyak kelompok “oportunis”, bahkan “penjilat” di dalam tubuh Islam.43

Kelahiran Parmusi bukan sepenuhnya berdasarkan kelompok Islam, menurut Utrecht sebagaimana dikutip oleh Karim berpendapat bahwa untuk mengekang pengaruh politik NU, Angkatan Darat membantu bekas pendukung, orang yang bersimpati atau anggota masyumi untuk membentuk partai baru, Parmusi.44

41

Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 132.

42

Al-Chaidar, loc. cit

43

M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 111.

44

(20)

Dalam perjalanannya, pemerintah bagaimanapun membaca bahwa dukungan besar diberikan ummat Islam terutama yang tergabung dalam keluarga Bulan Bintang terhadap Parmusi. Didorong oleh kekhawatiran Parmusi dapat berkembang menjadi kekuatan alternatif yang ditandai dengan munculnya cabang-cabang Parmusi di seluruh Indonesia secara serempak, pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri mendukung manuver politik J. Naro S.H. bersama Imran Kadir untuk melakukan pembajakan partai yaitu dengan menuduh Parmusi bersikap menentang ABRI. Akibatnya timbul kemelut, dan pemerintah menunjuk HM. Mintareja sebagai Ketua Umum baru.45 Tindakan Naro selanjutnya berusaha menyingkirkan orang-orang Bulan Bintang sekaligus menarik massa umat pendukungnya.46

Dalam pemilu 1971, partai-partai Islam mengalami tekanan berat dari rezim Orde Baru, rezim dengan kendaraan politik Golkar dan di back-up oleh ABRI menerapkan empat metode: 1) memberi peran dan posisi khusus pada ABRI tidak hanya sebagai kekuatan keamanan tetapi juga kekuatan sosio-politik; 2) memperlakukan Golkar sebagai anak emas; 3) meluncurkan kebijakan sistematis depolitisasi semua kekuatan sosial-politik; dan 4) mengisi Badan Perwakilan negara dalam dua cara, dengan penunjukan wakil-wakilnya dari atas dan dengan memilih mereka melalui pemilihan umum.47

45

Akhmad Setiawan, op. cit., hlm. 110.

46

Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 133.

47

(21)

Usaha-usaha pemerintah Orde Baru untuk memenangkan Golkar dalam Pemilu 1971 antara lain dengan mengharuskan semua pegawai negeri sipil untuk memilih Golkar, kebijaksanaannya umumnya ditentukan oleh militer dan pemerintah. Semua pegawai negeri sipil tanpa kecuali diharuskan menjadi anggota Sekber Golkar.48 Usaha lainnya adalah melalui militer dengan menggunakan langkah-langkah koersif dan kooptatif untuk mempengaruhi hasil pemilihan umum.49

Hasilnya adalah Golkar menang mutlak dalam Pemilu ini dengan mengantongi 62,80 % suara, karena relatif tidak terkena intervensi luar NU berada diperingkat kedua dengan 18,67 % suara, Parmusi 5,36 % suara, PSII 2,39 % suara dan Perti 0,70 % suara.50

Kemenangan luar biasa Golkar dalam pemilu pertama memang telah membuka peluang kepada partai ini untuk melakukan perancangan politik sesuai dengan yang diinginkannya51 karena Golkar bersama Golkar ABRI dan Golkar non ABRI menguasai mayoritas kursi di DPR dengan mencapai angka 73,04 %.52

Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu dengan mendesak sembilan partai politik pada Pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai

48

Albert Widjaja, op. cit., hlm. 96.

49

Al-Chaidar, op. cit., hlm. 23.

50

Ibid., hlm. 35.

51

M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 100.

52

(22)

Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; dan Golkar sendiri sebagai transformasi dari Sekber Golkar. Sejak saat itu J. Naro S.H. yang cacat bagi Ummat Islam, tampil sebagai salah seorang ketua PPP bersama Mintareja dan Idham Cholid53

Dengan adanya penggabungan partai ini, semakin mempermudah pemerintah Orde baru untuk mengontrol dan menekan aktifitas politik PPP, apalagi dalam perjalanannya PPP tidak terlepas dari konflik internal yang “mengundang” campur tangan pemerintah sebagai “penengah”, antara NU dengan Muslimin Indonesia (MI) dua pendukung utama PPP yang berujung dengan keluarnya NU dari PPP (1984)54

Dengan berbagai usaha keras, pada pemilu 1977, PPP memperoleh 29,9 % suara, perkembangan PPP yang demikian tampaknya dipandang tidak menguntungkan pihak pemerintah. J. Naro55 dengan berbagai usaha kemudian dapat menduduki jabatan ketua partai. Usahanya itu berhasil, dengan resiko yang harus ditanggung PPP. Dua kali Pemilu 1982 dan 1987, pendukung PPP menyusut tajam khususnya pada tahun 1987.56

Menurut Liddle sebagaimana dikutip oleh Rusli Karim, bahwa kebijakan Pemerintah dengan penggabungan partai ini dikarenakan : a. Partai-partai lebih berorientasi ideologi daripada program

53

Fusi partai-partai ini dilakukan pada tahun 1973 yaitu PPP (5 Januari 1973) dan PDI (10 Januari 1973) lihat Faisal Ismail, op. cit., hlm. 126., yang kemudian diterbitkan UU No. 3 1973 sebagai landasan hukum penyederhanaan partai, lihat Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 134.

54

M. Rusli Karim, op. cit., hlm. 152-158.

55

Munculnya J. Naro, baik selama memimpin Parmusi maupun PPP bukanlah karena kehebatan, pengalaman dan dukungan massa, melainkan karena didukung oleh pemerintah terutama melaui Ali Murtopo, May B., The Indonesian Tragedy, dalam M. Rusli Karim, ibid., hlm. 154.

56

(23)

b. Partai-partai memperuncing perselisihan ideologi di kalangan rakyat baik pada tingkat elit ataupun massa

c. Partai-partai menciptakan berbagai ketegangan organisasi di dalam masyarakat

d. Para pemimpin partai pada dasarnya adalah orang-orang yang mencari kesempatan untuk dirinya sendiri

e. Pemimpin-pemimpin partai terasing dari para pemilih yang seharusnya mereka wakili

f. Kerusakan yang timbul karena sistem partai tidak terjadi pada organisasi partai saja tetapi juga pada institusi-institusi lainnya

g. Sistem banyak partai dianggap sebagai sebab utama ketidakstabilan pemerintah berparlemen.57

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa langkah-langkah pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan deparpolisasi antara lain: dengan melaksanakan kebijakan floating mass, restrukturisasi partai-partai politik, memecah belah para pimpinan partai-partai melalui operasi-operasi inteligen, melemahkan peran partai di tingkat bawah (grass root) dengan membatasi aktivitas politik hanya sampai tingkat kabupaten.

2. Deideologi Politik Islam

Salah satu kebijakan umum Orde Baru dalam hal politik adalah melemahkan ideologi komunal sehingga ideologi negara tidak akan terganggu lagi oleh ideologi komunal tersebut. Target lain adalah ideologi

57

(24)

komunal surut dan lemah sehingga masa depan Indonesia akan berjalan dengan baik tanpa pertentangan ideologi lagi.58

Kebijakan ini diambil berdasarkan asumsi bahwa pluralisme ideologi merupakan sumber konflik yang berkepanjangan.59 Demikian pula kebijakan Orde Baru terhadap Islam, yaitu melemahkan Islam sebagai ideologi yang menentang Pancasila sebagai falsafah negara atau Islam sebagai altematif terhadap negara Pancasila. Dengan demikian program ini tidak efektif untuk menggalang massa.60

Sebagai akhir dari penyelesaian konflik ideologi, disamping juga untuk melemahkan keberadaan politik Islam, pemerintah berusaha mencari landasan yang kuat secara hukum. Hukum merupakan pelembagaan pandangan dan konsep serta kebijaksanaan politik pemerintah. DPR dan MPR yang dikuasai pemerintah sepenuhnya bersama ABRI dan Golkar, kemudian menyusun dan menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi sosial-politik melalui Ketetapan MPR no. II/1983. Lebih lanjut secara operasional ketetapan MPR tersebut kemudian diundangkan dalam UU no. 3 dan 8 tahun 1985 yang mengatur penempatan asas Pancasila bagi organisasi sosial-politik tersebut.61

58

Taufiq Nugroho, op. cit., hlm. 89.

59

Al-Chaidar, op. cit., hlm. 37.

60

Taufiq Nugroho, loc. cit.

61

(25)

Dengan diundangkannya UU no. 3 dan 8 Tahun 1985 tersebut, berarti barakhir sudah kelangsungan politik Islam melalui jalur politik praktis (struktural).

Orde Baru menganggap bahwa pergerakan Islam struktural ini sebagai gerakan Islam yang menakutkan orang banyak dan berbahaya bagi negara. Orde Baru menilai Islam struktural ini berbahaya karena perjuangan struktural ini tujuan akhirnya adalah menguasai parlemen dan ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara.62

Indikator-indikator tersebut diatas tampak jelas sejak awal Orde Baru mulai memegang kendali kekuasaan Indonesia. Ketika umat Islam mengadakan kongres umat Islam di Malang tahun 1968, dimana salah satu keputusannya adalah mendirikan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI). Namun demikian Orde Baru menolak Muhammad Roem sebagai pimpinan partai tersebut denga alasan bahwa dia adalah bekas Partai Masyumi.63 Akhirnya, setelah melalui perjalanan panjang, maka ditunjuklah HMS Mintareja sebagai pimpinan PARMUSI.64 Pemerintah Orde Baru juga menolak untuk merehab Partai Masyumi. Jenderal Soeharto dalam suratnya mengatakan bahwa alasan-alasan yuridis, ketatanegaraan, dan psikologis telah membawa ABRI pada suatu pendirian bahwa ABRI tidak mau merehabilitasi bekas partai politik Masyumi.65

62

Abdul Aziz Thaba, op. cit., hlm. 246-249.

63 Ibid. 64 Ibid. 65 Ibid

(26)

Dan melalui UU No. 3 tahun 1985, PPP sebagai satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam diwajibkan menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dengan diterimanya asas tunggal tersebut, maka PPP harus mengganti dengan asas Pancasila dan lambang Ka’bah diganti dengan lambang bintang. Pada tahun 1985, Orde Baru mengesahkan Undang Undang Organisasi Politik dan Organisasi Masyarakat. Undang-undang tersebut secara ringkas mewajibkan pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi Organisasi Politik dan Organisasi Masyarakat, dengan diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas, maka hilang sudah kekhawatiran lahirnya ideologi Islam sebagai ideologi tandingan.

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang sama juga dapat ditemukan pada kebersyukuran, yang dapat dibuktikan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Wood, dkk (2010) yang menyatakan bahwa

Sesuai dari hasil dari penelitian dan pembahasan peneliti menyimpulkan tingkat kecemasan atlet yang didapat hasil dari kuesioner atau angket milik Nyak Amir yang telah

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana model pembelajaraan kooperatif J-Trow terintegrasi penilaian peer assessment dapat meningkatkan hasil belajar dan

3. Untuk mengetahui model pembelajaran yang lebih efektif antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dengan model.. pembelajaran Problem Based Learning

Berdasarkan uji antibakteri yang telah dilakukan, formula optimum sabun cair ekstrak etanol rimpang jahe merah mempunyai aktivitas

This current research examined the effect of different amount of coastal sediment on nutrient availability and maize production on Entisols, West Kalimantan.. The

pengajaran secara perlahan dan bertahap, b) kesiapan tenaga pendidik tergantung pada kemampuan masing-masing guru dan juga kemauan guru untuk belajar

Penelitian tersebut sesuai dan didukung oleh penelitian ini karena telah terbukti bahwa bahwa ada pengaruh yang positif dan signifikan antara pengaruh kompetensi