• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PEMUTUSAN PERJANJIAN SECARA SEPIHAK SEBAGAI AKIBAT

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN

I Made Milan Diasta, Suharnoko, Abdul Salam

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424

E-mail: diastamilan@gmail.com

ABSTRAK

Skripsi ini membahas mengenai pemutusan perjanjian pemborongan secara sepihak oleh bouwheer sebagai akibat dari tindakan wanprestasi yang dilakukan pemborong. Pemutusan perjanjian pemborongan secara sepihak berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengharuskan adanya permohonan kepada pengadilan. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa masalah pemutusan perjanjian sepihak dilakukan tanpa adanya permohonan pembatalan kepada hakim. Namun, dalam putusan Mahkamah Agung, tindakan tersebut telah disahkan. Penelitian ini dilakukan dengan perolehan data melalui data sekunder berupa studi dokumen atau bahan kepustakaan. Dalam pengolahan data, metode yang digunakan adalah deskriptif analitis.

THE TERMINATION OF THE AGREEMENT UNILATERALLY AS A RESULT OF TORT IN CHARTERING AGREEMENT (ANALYSIS OF THE VERDICT NO. 267

K/PDT/2012) ABSTRACT

This thesis deals with the termination of the chartering agreement unilaterally by bouwheer as a result of tort actions conducted by a Jobber. The unilateral termination of chartering agreement under the provisions of Article 1266 of the Civil Code requires application to the judge. This research explained that the unilateral termination of chartering agreement was carried out without any cancellation request to the judge. However, in a ruling of the Supreme Court, the action has been enacted. This research was conducted with the acquisition of data through secondary data in the form of documents or literature studies. In data processing, the method used is descriptive analytic.

Keywords: Chartering Agreement; Termination of Agreement; Tort.

(2)

Pada dasarnya pemutusan perjanjian sepihak merupakan salah satu cara untuk membatalkan perjanjian yang diakibatkan dari wanprestasi yang dilakukan oleh debitur. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yang mengatur, bahwa terhadap pihak yang perikatannya tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai

penggantian biaya kerugian dan bunga.1 Pembatalan perjanjian berbeda dengan pembatalan

akibat adanya syarat yang membatalkan. Pembatalan diatur dalam Pasal 1446 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa suatu perikatan adalah dapat dibatalkan (voidable), apabila

syarat-syarat subyektif yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak dipenuhi, dimana pembatalannya dimintakan kepada hakim. Sedangkan syarat yang membatalkan, adalah ketentuan isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, dimana apabila syarat tersebut

dipenuhi mengakibatkan perikatan menjadi batal (void), sehingga perikatan menjadi lenyap.2

Perihal pembatalan perjanjian yang bertimbal balik tersebut diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata. Menurut ketentuan ini wanprestasi dari debitur tidak menyebabkan perjanjian batal demi hukum, namun pembatalan perjanjian harus diajukan kepada hakim. Menurut Prof. R. Subekti, S.H., soal pembatalan dalam Pasal 1266 tersebut dapat dikaitkan dengan perikatan bersyarat. Hal ini disebabkan adanya pandangan undang-undang, bahwa kelalaian debitur merupakan suatu syarat batal. Adapun sesungguhnya kelalaian debitur bukanlah merupakan syarat batal. Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis menyebabkan batal atau membatalkan suatu perjanjian seperti halnya dengan suatu syarat batal dalam suatu perikatan bersyarat. Sebab dalam lanjutan Pasal 1266 tersebut terdapat keharusan untuk meminta pembatalan perjanjian kepada Hakim. Sehingga dapat dipahami bahwa kelalaian debitur bukanlah merupakan suatu syarat batal, melainkan putusan hakim yang membatalkan

perjanjian.3 Putusan hakim bersifat “constitutive”, yaitu secara aktif membatalkan perjanjian.

Bahkan hakim memiliki kekuasaan “discretionair”, artinya hakim berwenang menilai

wanprestasi debitur. Apabila hakim menganggap kelalaian yang dilakukan debitur adalah

                                                                                                                         

1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti, (Jakarta:

Pradnya Paramita, 2004), Ps. 1266.

2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, cet. 3, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992),hlm. 61. 3 Subekti, HukumPerjanjian, cet. 21, (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 50.

(3)

terlalu sepele, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang besar bagi

debitur, maka ia dapat menolak permohonan pembatalan perjanjian.4

Pemutusan perjanjian berdasarkan Pasal 1266 tersebut menjadi permasalahan hukum, apabila dilakukan terhadap suatu perjanjian pemborongan, sebab dalam praktiknya menurut Munir Fuady pelaksanakan pembatalan melalui pengadilan harus ditempuh lewat prosedur gugatan biasa yang sangat panjang, berbelit dan melelahkan karena tidak adanya prosedur khusus untuk pembatalan suatu kontrak oleh Pengadilan. Akibatnya ketentuan ini dalam

praktiknya malah merugikan semua pihak.5 Selain itu berdasarkan Pasal 1611 KUHPerdata

bagi pihak yang memborongkan dalam perjanjian pemborongan diberikan hak untuk memutus kontrak ditengah jalan kendatipun hal tersebut tidak ditentukan dalam perjanjiannya. Namun untuk itu pihak yang memborongkan harus memberikan penggantian kerugian terhadap pemborong, meliputi biaya yang telah dikeluarkan dan keuntungan yang hilang dari pekerjaan tersebut. Dalam hal ini Pasal 1611 memberikan hak untuk dapat memutuskan kontrak secara

sepihak hanya kepada Bouwheer, dengan pertimbangan atau dikarenakan pihak bouwheer

akan mengalami masalah yang lebih besar, apabila suatu pekerjaan konstruksi menjadi

terbengkalai.6 Dengan demikian masalah pemutusan secara sepihak dalam perjanjian

pemborongan timbul karena adanya kebutuhan dari pihak-pihak didalamnya, khususnya pihak yang memborongkan untuk dapat memutuskan perjanjian tanpa melalui prosedur yang lama atau berbelit-belit, sebab semakin lama suatu proyek pemborongan dibiarkan bermasalah akan semakin besar kerugian yang diderita pihak yang memborongkan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut muncul anggapan perlunya diadakan pengenyampingan terhadap keberlakuan Pasal 1266 dalam kontrak konstruksi yang menganut hukum Indonesia. Tujuannya agar ketentuan tersebut tidak menyusahkan para pihak jika ingin memutuskan kontraknya. Dengan diadakannya penyimpangan terhadap ketentuan tersebut memberi arti bahwa kontrak tersebut dapat diputuskan sendiri oleh salah satu pihak tanpa adanya campur

tangan dari pengadilan.7

                                                                                                                         

4Ibid., hlm. 51.

5 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), cet. 2, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001),hlm. 96.

6 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, cet. 2, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.

29.

(4)

Dewasa ini dalam praktiknya seringkali suatu perjanjian pemborongan mengatur secara

tegas mengenai penyimpangan terhadap pemutusan kontrak secara sepihak tersebut.8

Misalnya pada kasus pemborongan yang melibatkan PT Telkomsel dan pekerjanya yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam putusan No. 655 K/Pdt.Sus/2012, dimana dalam perjanjian pemborongannya kedua belah pihak tersebut bersepakat mengesampingkan keberlakuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Adapun dalam skripsi ini, penulis mengangkat kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam register perkara No. 267 K/Pdt/2012 tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan tuntutan dari pihak yang memoborongkan proyek sengketa agar pemutusan sepihak yang dilakukannya terhadap pemborong dinyatakan sah menurut hukum. Adapun tindakan pemutusan sepihak tersebut menurut yang memborongkan dilakukan sebagai akibat dari wanprestasi yang dilakukan pemborong. Namun, dalam dalilnya pemborong menyatakan, bahwa pemutusan sepihak tersebut tidak dilakukan menurut prosedur dan ketentuan yang berlaku, bahkan dalam hal ini pihak yang memborongkan telah melanggar ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata dengan tidak terlebih dahulu mengajukan pembatalan perjanjian kepada hakim.

Lebih lanjut, putusan tersebut didasarkan tindakan wanprestasi pemborong, yang dalam hal ini juga telah dinyatakan terbukti oleh Mahmakah Agung, yang disebabkan keterlambatan pemborong dalam melaksanakan dan menyerahkan proyek sengketa tersebut dalam waktu

yang telah ditentukan. Pemborong dalam hal ini telah melanggar verval termijn atau batas

waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian sebagai batas akhir, sehingga dengan lewatnya

waktu tersebut saja sudah menjadikan debitur wanprestasi, dan tidak diperlukan lagi suatu somasi dengan lewatnya waktu tersebut. Dengan demikian wanprestasi tersebut selanjutnya menjadi dasar dari pemutusan sepihak yang dilakukan oleh yang memborongkan, dan timbulnya kewajiban bagi penggugat untuk membayar ganti kerugian kepada Tergugat.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, dalam skripsi ini penulis secara khusus membahas mengenai dasar dari hakim dalam mengesahkan tindakan pemutusan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh pihak yang memborongkan terhadap pemborong, yang dalam hal ini dikatakan menyimpang dari ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata. Padahal dalam perjanjian pemborongan pada kasus ini para pihak telah mengatur perihal penyimpangan atas ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata tersebut. Sehingga penulisan ini menjadi sangat penting

                                                                                                                         

8 Sri Soesilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata (Suatu Pengantar),

(5)

artinya sebagai upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang pemutusan perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUHPerdata.

Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah permasalahan penafsiran mengenai pembayaran uang muka dan uang termin dalam perkara No. 267 K/Pdt/2012 merupakan suatu tindakan wanprestasi?; 2) Bagaimanakah tinjauan hukum terkait persoalan pemutusan kontrak secara sepihak sebagai akibat dari tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pemborong dalam perkara No. 267 K/Pdt/2012?; 3) Apakah putusan pengadilan terkait persoalan ganti kerugian sebagai akibat dari tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pemborong dalam perkara No. 267 K/Pdt/2012 sudah tepat?

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tindakan pemutusan kontrak

pemborongan secara sepihak yang dilakukan oleh bouwheer sebagai akibat dari tindakan

wanprestasi yang dilakukan oleh pemborong. Adapun analisis dalam penulisan ini dikaitkan dengan kasus yang telah diputus oleh Mahkamah Agung dan telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, agar dapat diketahui dasar penerapan ketentuan hukum untuk melindungi hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjian pemborongan/penyediaan jasa. Sedangkan secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui apakah permasalahan mengenai pembayaran uang muka dan uang termin dalam perkara No. 267 K/Pdt/2012 merupakan suatu tindakan wanprestasi?; 2) Untuk mengetahui bagaimanakah tinjauan hukum terkait persoalan pemutusan kontrak secara sepihak sebagai akibat dari tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pemborong dalam perkara No. 267 K/Pdt/2012? 3) Untuk mengetahui apakah putusan pengadilan terkait persoalan ganti kerugian sebagai akibat dari tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pemborong dalam perkara No. 267 K/Pdt/2012?

Tinjauan Teoritis

Beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kontrak Kerja Konstruksi, adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum

antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstuksi.9

                                                                                                                         

9 Indonesia, Undang-Undang Jasa Konstuksi, UU No. 18 Tahun 1999, LN No. 54 Tahun 1999, TLN No.

(6)

2. Pengadaan barang/jasa pemerintah, adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh penyedia

barang/jasa.10

3. Pengguna barang/jasa adalah kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemimpin

bagian proyek/pengguna anggaran Daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam

lingkungan unit kerja/proyek tertentu.11

4. Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang kegiatan

usahanya menyediakan barang/layanan jasa.12

5. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang

bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.13

6. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut kontrak adalah perjanjian

tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.14

7. Surat Jaminan yang selanjutnya disebut jaminan, adalah jaminan tertulis yang bersifat

mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional), yang dikeluarkan oleh Bank

Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Asuransi yang diserahkan oleh Penyedia Barang/Jasa kepada PPK/ULP untuk menjamin terpenuhinya kewajiban Penyedia

Barang/Jasa.15

Metode Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah yuridis-normatif.

Penelitian dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis.16 Penelitian

                                                                                                                         

10 Indonesia, Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

Keppres No. 80 Tahun 2003, LN No. 120 Tahun 2003, TLN No. 4330, Ps. 1 angka 1. 11Ibid., Ps. 1 angka 2.

12Ibid., Ps. 1 angka 3

13 Indonesia, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 54 Tahun 2010, Ps. 1 angka 7.

14Ibid., Ps. 1 angka 22.

15Ibid., Ps. 1 angka 35.

16 Sri Mamudji, et.al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 10.

(7)

yuridis-normatif mengacu pada norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat, atau yang menyangkut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Penelitian ini akan dibahas dengan mengaitkannya pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, khususnya dalam bidang hukum perjanjian, dengan juga memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam bidang perjanjian pemborongan yang menerapkan kontrak sebagai dasar perikatannya.

Menurut tipologinya, penelitian ini dari sudut sifatnya merupakan penelitian

eksplanatoris, yang bertujuan menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu gejala.17

Dari sudut bentuknya, penelitian ini menggunakan pendekatan preskriptif, yang tujuannya

memberikan jalan keluar atau saran untuk mengatasi permasalahan.18 Dari sudut tujuannya,

penelitian ini merupakan penelitian problem solution, yang bertujuan memberikan jalan

keluar atau saran pemecahan permasalahan.19 Penelitian ini akan membahas secara mendalam

dan rinci tentang pelaksanaan pemutusan kontrak konstruksi secara sepihak berdasarkan perspektif hukum perikatan perdata, agar dapat diberikan saran untuk mendapatkan pemecahan atas permasalahan tersebut.

Menurut jenis data penelitian ini, menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer,20 terdiri dari bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan

mengikat kepada masyarakat, yang terdiri dari norma atau kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari zaman penjajahan. Khusus untuk penelitian ini, bahan hukum primer yang akan digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, serta peraturan lainnya yang terkait dengan hukum pemborongan dan konstruksi.

2. Bahan hukum sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal

yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya,21 misalnya

rancangan undang-undang, laporan penelitian, artikel ilmiah, buku, skripsi. Dalam                                                                                                                           17Ibid., hlm. 4. 18Ibid. 19 Ibid., hlm. 5. 20Ibid., hlm. 30. 21Ibid., hlm. 31.

(8)

penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang membahas materi mengenai hukum perjanjian pemborongan pekerjaan dan kontrak konstruksi.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder,22 seperti kamus, ensiklopedia,

dan sebagainya. Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan adalah

Black Law Dictionary dan beberapa literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan studi dokumen atau

bahan kepustakaan. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif karena data yang digunakan adalah data sekunder. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptis analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran

penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.23 Pendekatan ini

diterapkan demi mendapatkan data yang akurat terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

Hasil Penelitian

Pemutusan kontrak adalah akibat hukum yang timbul dari pelanggaran terhadap perjanjian/wanprestasi. Wanprestasi terjadi apabila si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikannya, atau apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. Sedangkan perjanjian pemborongan diatur secara khusus dalam Pasal 1604-Pasal 1617

KUHPerdata. Namun, apabila bouwheer dalam perjanjian pemborongan adalah pihak

pemerintah, maka sebagaimana yang juga terjadi pada kasus ini, berlaku pula peraturan-peraturan khusus yang dibuat pemerintah. Sebab dalam kasus ini dana untuk pelaksanaan proyek sengketa tersebut adalah berasal dari pemerintah.

Konsekuensi yang timbul dari suatu perjanjian yang telah sah, adalah timbulnya kewajiban untuk melaksanakan perikatan berdasarkan hubungan hukum yang lahir antara para pihak. Pernyataan ini adalah sesuai dengan pandapat dari Van dunne yang menyatakan,

bahwa suatu kontrak harus pula dikaji dalam tahap post contractual yakni terkait dengan

pelaksanaan perjanjiannya.24 Perikatan yang lahir dari perjanjian, menciptakan kewajiban

                                                                                                                         

22Ibid.

23Ibid., hlm.67.

24 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. 5, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),

(9)

pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian yang disebut dengan istilah prestasi. Dalam suatu perjanjan debitur memiliki kewajiban memenuhi prestasi, namun apabila prestasi tidak dilaksanakan bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap telah melakukan ingkar

janji.25 Wanprestasi dalam kasus ini menurut dalil penggugat adalah terkait masalah

keterlambatan pembayaran uang muka, keterlambatan pembayaran uang termin I dan tidak dibayarkannya uang termin II. Namun, berdasarkan analisis yang dilakukan penulis, dalil tersebut adalah tidak tepat dan merupakan buah dari penafsiran yang salah dari penggugat/pemborong sendiri.

Terkait keterlambatan pembayaran uang termin I, sesungguhnya dalam perjanjian pada kasus ini, selain menetapkan ketentuan pembayaran uang muka sebesar 20% dari harga borongan, yang diberikan oleh Tergugat kepada Pemborong. Pemborong juga diberikan

kewajiban untuk memberikan jaminan uang muka, yang dikenal dengan istilah Advance

Payment Bond. Hal ini guna menjamin pembayaran kembali oleh pemborong dari nilai uang

muka yang telah diterimanya kepada bouwheer.26 Maksud dari jaminan Advance Payment

Bond tersebut, adalah agar tercipta suatu kepastian terhadap penggunaan dari uang muka yang

telah diterima kontraktor. Dengan adanya penetapan syarat tersebut dalam perjanjian ini menunjukkan perjanjiannya bersifat timbal balik, yakni menimbulkan kewajiban pada kedua belah pihak. Pembayaran uang muka tersebut dilakukan setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak dan setelah pihak pemborong menyerahkan jaminan uang muka yang nilainya sekurang-kurangnya sama dengan besarnya uang muka. Dengan demikian, dalam hal ini dalil pemborong yang menyatakan adanya keterlambatan pembayaran uang muka oleh Tergugat adalah tidak tepat.

Terkait masalah Keterlambatan Pembayaran Uang Termin I, sesungguhnya dalam surat perjanjian selain menetapkan mengenai pembayaran uang berdasarkan termin, perjanjian juga kembali menetapkan syarat agar pembayaran uang termin I dapat diberikan oleh Tergugat. Sehingga, perikatan mengenai uang termin tersebut merupakan suatu bentuk dari perikatan bersyarat, dimana lahirnya kewajiban membayar uang termin ditangguhkan hingga adanya permohonan pembayaran uang termin I yang dilakukan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan oleh Tergugat III. Namun, dalam dalil gugatannya Pemborong menyatakan Tergugat terlambat dalam melakukan pembayaran uang termin I. Padahal dalam dalil gugatan pihak Pemborong lainnya dapat diketahui, bahwa pihak pemborong baru mengajukan                                                                                                                          

25 R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, cet.5, (Bandung: Binacipta, 1994), hlm. 17. 26 F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, cet. 3, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm.50.

(10)

permohonan pembayaran uang termin I pada tanggal 12 Februari 2007, dan langsung disetujui oleh Tergugat III yang terbukti dengan surat Tergugat III kepada Tergugat II tanggal 12 Februari 2007 No. B/121/II/2007. Untuk itu, dalil pemborong yang menyatakan adanya keterlambatan pembayaran uang Termin I tersebut adalah tidak tepat.

Selain itu di Indonesia dalam praktiknya berlaku suatu keadaan, dimana jika pemberi tugas dalam perjanjian pemborongan bangunan adalah pemerintah, maka lazimnya perjanjiannya menggunakan bentuk perjanjian standar yang mengandung syarat-syarat perjanjian yang ditentukan oleh penguasa berdasarkan syarat umum yang berlaku dalam

perjanjian pemborongan bangunan.27 TNI dalam kasus ini memiliki kewajiban sebagai

pengelola dana pemerintah agar menggunakan dana tersebut secara bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, dimana pengadaan

barang/jasa wajib menerapkan prinsip efisien, efektif, transparan dan akuntabel.28 Lebih

lanjut, sebagai pengguna barang/jasa, maka Tergugat dalam hal ini juga wajib melaporkan

pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada pimpinan instansinya.29 Dengan

demikian, Pengguna barang/jasa bertanggung jawab tidak hanya dari segi administrasi, fisik, dan fungsional namun juga dari segi keuangan atas pengadaan barang/jasa yang

dilaksanakannya.30

Mengenai masalah tidak dibayarkannya Termin II oleh Tergugat, dalam surat pernyataan perihal Permohonan perpanjangan waktu yang kedua sampai dengan tanggal 30 November 2007, pemborong berjanji mengajukan pembayaran termin sesuai dengan progress yang diharapkan dengan mengacu kepada kontrak, yaitu sesuai target progress perbulan sebesar 20%. Dengan demikian, dalam hal ini perjanjian menetapkan syarat agar pembayaran uang termin II dapat diberikan oleh Tergugat, dimana lahirnya kewajiban membayar uang termin kedua dalam perikatan ini ditangguhkan hingga terjadinya peristiwa yang disyaratkan, yakni setelah adanya pelaksanaan pekerjaan yang memenuhi target untuk mengajukan termin II tersebut. Namun, pemborong sampai dengan diputuskannya kontrak tanggal 05 Desember 2007 baru mengerjakan proyek dengan progress riil di lapangan sebesar 35,815% dengan kata lain tidak dapat menyelesaikan pekerjaan berdasarkan target.

                                                                                                                         

27 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan: Perjanjian Pemborongan Bangunan, cet. 2, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 53-54.

28 Keppres No. 80 Tahun 2003, Ps. 3.

29Ibid., Ps. 9 ayat (3) huruf h.

(11)

Berdasarkan pembahasan di atas, maka pemborong telah terbukti melakukan tindakan wanprestasi yang disebabkan adanya keterlambatan dalam pelaksanaan proyek sengketa. Lebih lanjut, keterlambatan pemborong tersebut berakibat pada tidak selesainya pekerjaan. Sebab berakibat pada dilakukannya pemutusan kontrak sepihak yang dilaksanakan oleh Bouwheer terhadap pemborong. Namun, penggugat dalam dalilnya menyatakan, bahwa pemutusan secara sepihak oleh Tergugat telah melanggar prosedur baku dalam perjanjian, yang meliputi masalah pemberitahuan (somasi), penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan pengenyampingan terhadap Pasal 1266 KUHPerdata.

Terkait pemberitahuan (somasi), telah ditetapkan dalam surat perjanjian Nomor: SP/13/VI/2006, yang mengatur kewajiban pemberitahuan rencana pemutusan kontrak secara tertulis sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) hari sebelum adanya pemutusan sepihak. Terhadap pemborong yang lalai dalam melaksanakan prestasi, atas kelalaiannya tersebut memerlukan suatu penetapan lalai atau somasi. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi setelah diberikan somasi minimal sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi tidak diindahkan, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan

pengadilan akan memutuskan apakah debitur wanprestasi atau tidak.31 Namun, dalam surat

perjanjian juga telah ditetapkan perihal verval termijn. Berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata,

kewajiban memberikan somasi dapat dikecualikan pada perikatan dengan ketetapan waktu apabila di dalam perjanjiannya telah ditetapkan suatu batas waktu, yang dimaksudkan sebagai

batas akhir (verval termijn), dimana dengan lewatnya waktu tersebut saja sudah menjadikan

debitur wanprestasi. Untuk menafsirkan adanya maksud untuk menganggap ketentuan waktu sebagai batas akhir, dapat dilihat dari adanya janji denda untuk setiap hari keterlambatan prestasi, dihitung sejak waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Sehingga dalam kasus ini Tergugat tidak perlu lagi memberikan suatu somasi.

Terkait penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, dalam surat perjanjian Nomor: SP/13/VI/2006, telah ditetapkan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dimana berdasarkan Pasal 28, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan “dapat” dilakukan dengan jalan Mediasi, Konsolidasi dan Arbitrase. Ketentuan ini sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003, dimana apabila terjadi perselisihan antara pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa maka kedua belah pihak menyelesaikan perselisihan di Indonesia dengan cara musyawarah, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau melalui pengadilan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kontrak menurut hukum                                                                                                                          

(12)

yang berlaku di Indonesia.32 Para pihak dalam hal ini dibebaskan untuk melakukan pilihan

penyelesaian sengketa dengan mekanisme di luar pengadilan. Adapun berdasarkan teorinya,

pemutusan kontrak disebut sebagai “the Last Resort” karena biasanya dilakukan pada saat

sudah terdesak.33 Untuk itu, sebaiknya pemutusan kontrak dilaksanakan sebagai upaya

terakhir dalam menyelesaikan sengketa.

Terkait dengan hal tersebut maka dalil penggugat yang menyatakan adanya keharusan untuk menggunakan mekanisme di luar pengadilan berdasarkan Pasal 28 dengan cara Mediasi dan Konsiliasi adalah tidak tepat. Tidak ada keharusan bagi pihak Tergugat untuk terlebih dahulu menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebelum melakukan pemutusan sepihak. Hal ini disebabkan Pasal 28 surat perjanjian dan Pasal 38 ayat (1) Keppres No. 80 Tahun 2003, tidak menyatakan suatu keharusan bagi para pihak untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sebab pasal tersebut hanya memberikan pilihan apakah penyelesaian sengketa akan dilakukan di luar mekanisme pengadilan ataupun di dalam pengadilan.

Berdasarkan pembahasan tersebut, maka penyelesaian sengketa yang telah dipilih dan disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah yang harus dilaksanakan. Adapun, dalam hal ini para pihak telah menentukan bahwa penyelesaian sengketa “dapat” dilakukan dengan jalan Mediasi, Konsolidasi dan Arbitrase. Pernyataan tersebut adalah terkait dengan adanya asas kebebasan berkontrak yang dinyatakan oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan, bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”34

Terkait pengenyampingan syarat mengajukan permohonan pembatalan kepada hakim, dalam dalil penggugat/pemborong disebabkan adanya tindakan Tergugat yang melaksanakan pemutusan kontrak secara sepihak dengan mengenyampingkan Pasal 1266 KUHPerdata, yakni dalam hal adanya kewajiban memohon pembatalan perjanjian kepada hakim. Terkait dengan masalah ini, menurut Prof. R. Subekti ketentuan tersebut dapat disimpangi oleh para pihak yang berkontrak dengan memperjanjikan agar pembatalan ini tidak usah diucapkan oleh hakim, sehingga perjanjian dengan sendirinya akan hapus apabila salah satu pihak tidak

memenuhi kewajibannya.35 Penyimpangan ini dimungkinkan karena hukum perjanjian

                                                                                                                         

32 Keppres No. 80 Tahun 2003, Ps. 38 ayat (1).

33 Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Op. Cit., hlm. 202-203. 34 Kitab undang-Undang Hukum Perdata, Ps. 1338 ayat (1).

(13)

menganut sistim terbuka yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Berdasarkan ketentuan tersebut masyarakat dapat mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak pada prinsipnya akan mengikat

pihak-pihak yang membuatnya seperti undang-undang.36

Terkait dengan hal tersebut, apabila ditinjau terhadap isi Pasal 19 surat perjanjian ternyata juga telah diatur, bahwa Tergugat berhak membatalkan surat perjanjian secara sepihak. Sebab,

dalam perjanjian pada kasus ini, telah ditetapkan suatu verval termijn bagi pelaksaaan proyek

oleh kontraktor yang akhirnya dilanggar dan menjadi dasar bagi Tergugat untuk melakukan pemutusan secara sepihak tanpa melalui prosedur pengadilan. Selanjutnya, dalam surat perjanjian juga telah mengatur mengenai suatu syarat batal yang terbukti telah dilanggar oleh pemborong. Adapun syarat batal yang dimaksud dapat disimpulkan dari adanya surat pernyataan dari pemborong yang intinya menyatakan sanggup menyelesaikan pembangunan tersebut paling lambat tanggal 20 Desember 2006 dan jika terjadi keterlambatan Tergugat Rekonvensi bersedia menerima pemutusan kontrak. Serta surat Pernyataan Tergugat Rekonvensi Nomor 30/DAT/VII/2007 tanggal 25 Juli 2007 tentang Permohonan perpanjangan waktu sampai dengan tanggal 30 November 2007 dan Surat Pernyataan Tergugat Rekonvensi tanggal 27 Juli 2007, yang pada intinya Tergugat Rekonvensi berjanji bersedia dikenakan denda keterlambatan dan pemutusan kontrak apabila tidak berhasil melaksanakan kontrak. Syarat batal tersebut selanjutnya menjadi dasar dari Tergugat memutuskan perjanjian pemborongannya dengan pihak pemborong secara sepihak.

Selain daripada itu, dikarenakan pada kasus ini pihak yang memborongkan adalah pihak pemerintah, maka dalam pemutusan perjanjiannya juga ditentukan oleh peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat pemerintah, dalam hal ini khususnya adalah Keppres No. 80 Tahun 2003, yang telah diatur dalam surat perjanjian yang disepakati para pihak. Berdasarkan Pasal

19 Surat Perjanjian, terdapat dua alasan yang menimbulkan hak bagi bouwheer untuk

membatalkan Perjanjian secara sepihak, yaitu “Secara langsung atau tidak langsung dengan sengaja memperlambat penyelesaian pekerjaan’’ dan dalam waktu satu bulan berturut-turut tidak melanjutkan pekerjaan, apabila pekerjaan tersebut mengalami kemacetan. Sedangkan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 dinyatakan, bahwa penghentian/pemutusan kontrak terjadi                                                                                                                          

(14)

apabila:37 1) Para pihak cidera janji dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung

jawabnya sebagaimana diatur di dalam kontrak; 2) Adanya kesalahan/kelalaian penyedia barang/jasa; 3) Pemutusan kontrak secara sepihak dapat dilakukan pengguna barang/jasa apabila denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia barang/jasa sudah melampaui besarnya jaminan pelaksanaan.

Pemborong telah terbukti wanprestasi yang diakibatkan oleh keterlambatannya dalam menyelesaikan proyek sengketa tersebut. Bahkan, dalam dalilnya Tergugat menyatakan, bahwa telah terjadi kemacetan total seluruh kegiatan di lokasi Proyek tersebut sejak bulan Maret sampai dengan akhir Juni 2007, atau telah empat bulan terhenti secara berturut-turut. Adapun setelah itu memang telah diadakan perpanjangan waktu yang kedua, hingga tanggal 30 November 2007, namun pada akhirnya pemborong tetap terlambat dalam melaksanakan

prestasinya. Akibat kelalaian atau wanprestasi dari pemborong tersebut, bouwheer akhirnya

melakukan tindakan pemutusan kontrak secara sepihak terhadap pemborong sehingga pemborong tidak dapat lagi diminta untuk memenuhi kewajibannya dalam kontrak. Sehingga dalil Tergugat dalam hal ini yang menyatakan pemborong/penggugat telah melanggar ketentuan pasal 19 tersebut adalah telah tepat, dan sekaligus membuktikan, bahwa tindakan

pemutusan secara sepihak yang dilakukan oleh bouwheer adalah telah sah menurut ketentuan

hukum yang berlaku dan syarat yang ditentukan dalam surat perjanjian.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa selain mengatur syarat batal dalam surat perjanjian tersebut, para pihak surat dalam perjanjian telah pula mengadakan penyimpangan terhadap Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata. Hal ini terbukti dari putusan hakim yang telah mengesahkan tindakan pemutusan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan syarat batal yang diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata.

Dengan demikian, pemutusan secara sepihak yang dilakukan oleh tergugat yang disebabkan adanya tindakan wanprestasi dari penggugat, adalah sah menurut ketentuan hukum. Sehingga, dengan sahnya pemutusan kontrak, maka timbul hak bagi Tergugat untuk mengajukan ganti rugi atas kerugian-kerugian yang dialaminya sebagai akibat tindakan wanprestasi dari kontraktor. Dalam pasal 18 huruf b surat perjanjian beserta perjanjian perpanjangan waktu pengerjaan proyek sengketa, telah ditetapkan ketentuan yang memberikan sanksi-sanksi sebagai akibat dari pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian pihak kontraktor, yang sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 yang mengatur, bahwa dalam hal pemutusan Kontrak disebabkan olah kelalaian Penyedia Barang/Jasa, maka                                                                                                                          

(15)

timbul akibat berupa sanksi yang meliputi:38 a) jaminan pelaksanaan menjadi milik Negara; b)

sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa; c) membayar denda dan ganti rugi kepada negara; d) pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu.

Penetapan sanksi terhadap pihak yang berutang sebagai jaminan pelaksanaan perikatannya menunjukkan, bahwa perikatannya termasuk dalam perikatan dengan ancaman hukuman. Penetapan hukuman ini merupakan ganti dari penggantian kerugian yang diderita oleh oleh pihak yang memiliki piutang dalam hal ini Tergugat, karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Adapun dalam putusannya Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung telah mengabulkan tuntutan ganti kerugian dari pihak Tergugat atas uang jaminan pelaksanaan pekerjaan sebesar Rp. 351.800.000,- (tiga ratus lima puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah) dan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan sebesar Rp. 35.180.000,- (tiga puluh lima juta seratus delapan puluh ribu rupiah).

Mengenai denda keterlambatan, Mahkamah Agung mengabulkan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan sebesar Rp. 35.180.000,- (tiga puluh lima juta seratus delapan puluh

ribu rupiah). Jumlah ini dihitung sejak berakhirnya batas waktu akhir (verval termijn)

penyerahan hasil pekerjaan oleh pemborong setelah diadakan perpanjangan kontrak yang kedua kalinya. Dengan disepakatinya perpanjangan waktu yang kedua, maka batas akhir bagi pemborong untuk menyerahkan pekerjaannya adalah menjadi tanggal 30 November 2007. Sedangkan karena setelah lewatnya tanggal tersebut penggugat tidak dapat menyerahkan prestasinya, akhirnya pada tanggal 5 Desember 2007 Tergugat melaksanakan pemutusan kontrak secara sepihak. Dengan kata lain keterlambatan pemborong berdasarkan fakta tersebut adalah selama 5 hari. Sehingga, Mahkamah Agung dalam putusannya telah tepat dengan mengabulkan denda keterlambatan Rp. 35.180.000,- (tiga puluh lima juta seratus delapan puluh ribu rupiah). Perhitungan ini didasarkan pada Pasal 37 ayat (1), Keppres No. 80 Tahun 2003, dimana terhadap Penyedia Barang/Jasa yang akibat kelalaiannya terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak, dapat dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1/1000 (satu perseribu) dari nilai

Kontrak atau bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan.39 Sehingga, total denda yang

wajib dibayar oleh Penggugat adalah senilai: 5 hari X 1/1000 X Rp. 7.036.000.000,- = Rp. 35.180.000,- (tiga puluh lima juta seratus delapan puluh ribu rupiah).

                                                                                                                         

38 Keppres No. 80 Tahun 2003, Ps. 35 ayat (3). 39Ibid., Ps. 37 ayat (1).

(16)

Mengenai jaminan pelaksanaan, dalam hal ini merupakan suatu perikatan tanggung menanggung, yang melibatkan pihak Bank Sumut sebagai penanggung yang akan menjamin pembayaran sejumlah uang tertentu kepada Tergugat sebagai penerima jaminan, apabila setelah dinyatakan menang dalam pelelangan, pemborong yang dijamin oleh Bank tidak memenuhi kewajibannya. Jaminan pelaksanaan menjamin pelaksanaan pekerjaan dan berlaku sampai dengan berakhirnya pelaksanaan perjanjian tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 70 ayat (5), Perpres No. 54 Tahun 2010, yang menyatakan bahwa keberlakuan dari Jaminan Pelaksanaan adalah sejak tanggal Kontrak sampai dengan dilakukannya serah terima

Barang/Jasa Lainnya atau serah terima pertama Pekerjaan Konstruksi.40 Selain itu surat

perjanjian Nomor telah menetapkan mengenai Jaminan Pelaksanaan, yang sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003, dimana para pihak menandatangani kontrak selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkannya surat keputusan penetapan penyedia barang/jasa dan setelah penyedia barang/jasa menyerahkan surat jaminan pelaksanaan sebesar 5% (lima persen) dari nilai kontrak kepada pengguna barang/jasa, yaitu dalam hal ini sebesar

Rp. 7.036.000.000,- (tujuh milyar tiga puluh enam juta rupiah).41

Sedangkan Pengembalian terhadap Jaminan Pelaksanaan dilakukan kepada pemborong setelah pelaksanaan pekerjaan/penyerahan barang selesai sesuai dengan surat

perjanjian/kontrak.42 Permasalahan terkait jaminan pelaksanaan berdasarkan dalil Tergugat

timbul karena penggugat telah mencairkan uang pelaksanaan pekerjaan tanpa memberitahu kepada tergugat III, sebagai pihak yang dijamin atas pelaksanaan pekerjaan dari penggugat selaku pemborong. Akibatnya menurut Tergugat, perjanjian antara Tergugat dengan Pemborong tidak akan berlangsung. Dalam hal ini dapat dipahami, bahwa Jaminan merupakan suatu perikatan bersyarat, sebab dengan berakhirnya jaminan maka berakhir pula suatu perikatan yang telah lahir, akibat peristiwa yang dimaksud terjadi. Pada akhirnya dalam putusannya Mahkamah Agung, mengabulkan tuntutan Tergugat agar Pemborong membayar uang jaminan pelaksanaan pekerjaan sebesar Rp. 351.800.000,- (tiga ratus lima puluh satu juta delapan ratus ribu rupiah) kepada Tergugat. Putusan tersebut adalah tepat sebab pemborong telah mencairkan jaminan pelaksanaan tersebut dengan menyalahi prosedur yang berlaku yaitu mencairkan jaminan sebelum adanya penyerahan atas hasil pekerjaan. Tindakan                                                                                                                          

40 Keppres No. 54 Tahun 2010, Ps. 70 ayat (5). 41 Keppres No. 80 Tahun 2003, Ps. 31 ayat (1).

(17)

pemborong yang tidak melaksanakan pekerjaan/menyerahkan barang dalam waktu yang

ditetapkan, menyebabkan jaminan pelaksanaan tersebut dapat menjadi milik Negara.43 Sebab

hal tersebut berarti, bahwa pemborong telah wanprestasi. Sedangkan pemutusan kontrak yang disebabkan olah kelalaian Penyedia Barang/Jasa, dapat menimbul akibat berupa sanksi yang

salah satunya adalah jaminan pelaksanaan menjadi milik Negara.44

Simpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dalam hal ini dapat disimpulkan:

1. Dalil yang dikemukakan penggugat/kontraktor dalam gugatannya mengenai permasalahan dalam pembayaran uang muka dan uang termin dalam kasus ini yang merupakan suatu tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh Tergugat adalah tidak tepat. Sebab adanya kesalahan penafsiran dari penggugat terhadap isi dari perjanjian pemborongan yang telah disepakati para pihak, dimana perikatan-perikatan untuk mengadakan pembayaran terhadap uang muka dan uang termin oleh Tergugat kepada penggugat merupakan suatu bentuk dari perikatan bersyarat. Sehingga Tergugat dalam kasus ini tidak melakukan wanpestasi, sebaliknya wanprestasi dilakukan oleh penggugat, sebab sampai dengan berakhirnya batas waktu yang ditentukan dalam kontrak, kontraktor tetap terlambat dalam menyelesaikan prestasinya. Dengan demikian, putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung dalam hal ini adalah tepat.

2. Adanya keterlambatan pemborong melaksanakan pekerjaan sampai dengan batas akhir

atau verval termijn yang telah ditentukan dalam perjanjian berakhir, pihak yang

memborongkan tidak lagi wajib untuk memberikan suatu penetapan lalai (somasi) terhadap pemborong.

Berdasarkan surat perjanjian, Tergugat tidak wajib membawa permasalahan melalui mekanisme di luar pengadilan. Sebab Pasal 28 surat perjanjian, menyatakan penyelesaian di luar pengadilan tersebut “dapat” dan bukan harus atau wajib untuk dilakukan. Sehingga penafsiran secara sepihak yang dilakukan oleh pemborong dalam dalil gugatannya adalah tidak tepat.

                                                                                                                         

43 Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, loc. cit. 44 Keppres No. 80 Tahun 2003, Ps. 35 ayat (3).

(18)

Selain itu putusan Mahkamah Agung yang mengesahkan pemutusan perjanjian secara sepihak oleh Tergugat adalah tepat. Sebabnya pemborong telah memenuhi syarat batal yang ditentukan dalam surat perjanjian dan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dan para pihak telah menyimpangi Pasal 1266 KUHPerdata. Penyimpangan ini didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Dengan demikian dalam surat perjanjian, selain mengatur syarat batal, para pihak telah pula mengadakan penyimpangan terhadap Pasal 1266 ayat (2) KUHPerdata. Hal ini terbukti dari putusan hakim yang telah mengesahkan tindakan pemutusan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan syarat batal yang diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata.

3. Putusan pengadilan mengenai tuntutan permohonan ganti rugi berupa denda keterlambatan dan jaminan pelaksanaan sebagai akibat dari tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh pemborong adalah tepat berdasarkan Keppres No. 80 Tahun 2003. Sebab pemborong terbukti telah terlambat dalam melaksanakan prestasinya, dan pemborong juga terbukti telah mencairkan jaminan pelaksanaan dari perjanjian pemborongan antara kedua pihak dengan menyalahi prosedur yang berlaku yaitu dengan mencairkan jaminan sebelum adanya penyerahan atas hasil pekerjaan.

Saran

Menanggapi kesimpulan yang telah dibuat dan dalam rangka mencoba untuk memperbaiki hal-hal yang dirasa kurang, maka menurut penulis hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah:

1. Terkait dengan tahap sebelum dilaksanakannya suatu kontrak. pengaturan terhadap hak

dan kewajiban dari para pihak perlu ditentukan secara tegas dalam perjanjian pemborongannya, khususnya mengenai pengenyampingan Pasal 1266 KUHPerdata. Sehingga dalam pelaksanaan perjanjian tidak lagi terdapat celah-celah bagi pihak manapun untuk melakukan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud diadakannya kontrak tersebut serta melanggar ketentuan perundang-undangan.

2. Masyarakat khususnya terhadap masyarakat jasa konstruksi, perlu diberikan sosialisasi

terhadap keberlakuan dari peraturan-peraturan mengenai pemborongan atau penyediaan jasa, agar mereka dapat memahami dengan baik isi dari ketentuan yang ada dari peraturan-peraturan tersebut.

(19)

3. Keppres No. 80 Tahun 2003 telah beberapa kali mengalami perubahan, sehingga ketentuan yang berlaku terkadang membingungkan masyarakat, khususnya masyarakat jasa kontruksi. Untuk itu, maka sebaiknya pemerintah lebih memikirkan kepentingan banyak pihak dalam melakukan perubahan atas Keputusan Presiden tersebut.

Daftar Referensi Buku

Djumialdji, F.X. Perjanjian Pemborongan. Cet. 3. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.

Djumialdji, F.X. Hukum Bangunan. Cet. 1. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Cet. 2. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2001.

Fuady, Munir. Kontrak Pemborongan Mega Proyek. Cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,

2002.

H.S., Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cet. 5. Jakarta: Sinar

Grafika, 2008.

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian fdan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan, cet. 3. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.

Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Cet. 5. Bandung: Binacipta, 1994.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchun. Hukum Bangunan: Perjanjian Pemborongan Bangunan, cet.

2. Yogyakarta: Liberty, 2003.

Subekti. Pokok-Pokok hukum Perdata. Cet. 31. Jakarta: Intermasa, 2003.

(20)

Peraturan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004.

Indonesia. Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, Keppres No. 80 Tahun 2003, LN No. 120 Tahun 2003, TLN No. 4330.

Indonesia. Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Perpres No. 54

Tahun 2010.

Indonesia. Undang-Undang Jasa Konstuksi, UU No. 18 Tahun 1999, LN No. 54 Tahun 1999,

Referensi

Dokumen terkait

Dubalctl, O.H ., HuSan

Pengaruh Ekstrak Kunyit pada Perendaman Ikan Bandeng Terhadap Jumlah Bakteri.. Unnes Journal of

Negeri 4 Bandung kelas VIII-G, peneliti ingin melakukan suatu penelitian tindakan kelas dengan judul “ Peningkatan Pemahaman Materi Peserta Didik dalam

Setelah selesai dilakukan pe- nyusunan LKS berbasis pendekatan saintifik, kemudian LKS tersebut di- validasi oleh validator ahli. Validasi dilakukan untuk menilai

Menetapkan ikan Pari Manta yang terdiri dari Manta birostris dan Manta alfredi sebagai jenis ikan yang dilindungi dengan status perlindungan penuh pada seluruh siklus

Universitas Negeri

Sekolah bekerja sama dengan tenaga kesehatan untuk lebih meningkatkan edukasi tentang asupan zat besi, sehingga dapat meningkatkan motivasi remaja putri

Kesuksesan sebuah usaha sangat dipengaruhi oleh kualitas produk yang dihasilkan. Kualitas yang perlu di jaga dari produk kipas lipek ini ialah bentuk dan