• Tidak ada hasil yang ditemukan

WILAYAH ADAT PEMANENAN TELUR LABI-LABI MONCONG BABI DAN PEMANFAATAN SUMBER MAKANAN ALAMI OLEH SUKU LOKAL DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WILAYAH ADAT PEMANENAN TELUR LABI-LABI MONCONG BABI DAN PEMANFAATAN SUMBER MAKANAN ALAMI OLEH SUKU LOKAL DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

WILAYAH ADAT PEMANENAN TELUR LABI-LABI MONCONG

BABI DAN PEMANFAATAN SUMBER MAKANAN ALAMI OLEH

SUKU LOKAL DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT,

PAPUA

(Indigenous Territories of Pignosed Turtle Egg Harvesting Area and Use of Natural Resources by local people at Vriendschap River Asmat Regency,

Papua)

Richard Gatot Nugroho Triantoro

Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi, Manokwari, Papua Barat

Email : richard_gnt@yaho.com

Abstrak

Sungai Vriendschap merupakan salah satu lokasi pemanenan telur Labi-labi moncong babi yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun non lokal. Masyarakat lokal keluar dari kampung dan menetap di lokasi selama musim peneluran (3-4 bulan). Seluruh masyarakat lokal berburu telur di wilayah pemanenan dan meningkatkan kebutuhan makanan di lokasi. Sampai saat ini sebaran wilayah adat pemanenan dan sumber pemenuhan makanan oleh masyarakat selama di lokasi pemanenan belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui wilayah adat pemanenan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Sungai

Vriendschap sebagai sumber makanan. Waktu pendataan dilakukan pada 8 – 25 November

2011. Metode yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur dan teknik observasi. Hasil menunjukkan pemanfaatan di Sungai Vriendschap terdiri atas 5 (lima) wilayah adat yaitu Bor (Rawa), Bor (Sungai), Obokain, Indama, dan Sumo. Masing-masing suku mempunyai wilayah pemanfaatan yang berbeda, yaitu wilayah Bor (Rawa) dibawah suku Betkuar, Obokain dibawah suku Diai dan Dini, dan Indama dan Sumo dibawah suku adat Momuna. Masyarakat lokal memanfaatkan sumberdaya alam sebagai sumber makanan utama dan tidak ditemukan penggunaan lahan secara intensif.

Kata Kunci : Masyarakat lokal, Sungai Vriendschap, wilayah adat, makanan, penggunaan lahan

Abstract

Vriendschap river is one of hunting grounds for pig-nosed turtle eggs harvest by local and non-local communities. Local people out of the village and settled at the site during the nesting season (3-4 months). Many local people who hunt eggs raise harvesting area and need improve meals on site. So far the distribution of indigenous territories and source of food needs from the community at the harvesting location is unknown. This study aims to assess indigenous territories and use of natural resources at Vriendschap River as a source of food. Unstructured interview and observation techniques were carried out from 8 to 25 November 2011. The results showed utilization in the Vriendschap River region can be divided into 5 (five) indigenous territories that is Bor (Marsh), Bor (River), Obokain, Indama and Sumo. Custom dedicated that different tribes controlled different areas, i.e. Bor (marsh) area under Betkuar tribe, Obokain area under Diai and Dini tribes, and Indama and Sumo area under Momuna tribe. Extraction of nature is the main source of local communities and intensive land use has not been made.

(2)

Pendahuluan

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan satu-satunya jenis kura-kura dari famili Carettochelyidae yang masih tersisa di dunia. Sebaran populasinya terbatas meliputi Selatan New Guinea dan Australia Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai Daly pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al., 2000; Georges dan Kennett, 1989). Di Indonesia Labi-labi moncong babi hanya ditemui di wilayah Papua bagian Selatan, mulai dari Merauke sampai ke Kaimana. Kelangkaan jenis dan wilayah sebaran yang terbatas menyebabkan status Labi-labi moncong babi di Indonesia dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999, dan dalam perdagangan internasional dimasukkan ke dalam Apendix II CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) (UNEP-WCMC, 2011) dengan status Vulnerable oleh The IUCN Red List of Threatened Species (IUCN, 2015).

Labi-labi moncong babi maupun jenis kura-kura lainnya merupakan sumberdaya protein bagi sebagian besar masyarakat lokal di Papua, terutama yang masih berdiam di wilayah yang sulit dijangkau dengan sumberdaya kura-kura yang cukup banyak. Penangkapan induk untuk di konsumsi dilakukan dalam jumlah yang terbatas (sub sistence). Pada masyarakat Aborigin di Australia, induk dan telur kura-kura leher panjang (Chelodina rugosa) juga secara nyata dimanfaatkan oleh sebagai sumber protein (Fordham et al., 2004), sementara penduduk lokal di PNG mengkonsumsi kura-kura air tawar dan telur-telurnya secara teratur (Georges et al., 2008b). Di Asmat (Papua) pemanfaatan induk dan telur Labi-labi moncong babi awalnya hanya untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagai hantaran mas kawin, namun saat ini pemanfaatan induk sudah menjadi sumber protein utama di saat musim peneluran dan telur sudah menjadi sumber ekonomi dengan menjadikan hasil tetasan telur (tukik) sebagai komoditi perdagangan (illegal).

Kabupaten Asmat di provinsi Papua, merupakan salah satu wilayah yang banyak didapati Labi-labi moncong babi hidup dan berkembangbiak. Beberapa sungai berpotensi sebagai tempat peneluran yang baik. Salah satunya adalah Sungai Vriendschap yang setiap tahun menjadi tempat tujuan perburuan (pemanenan) telur

(3)

mengkonsumsinya, sedangkan induk dimanfaatkan sebagai sumber makanan. Rentang musim peneluran yang cukup lama menyebabkan masyarakat berada di lokasi pemanenan dalam waktu yang lama pula (3-4 bulan), dan hal tersebut berdampak pada kebutuhan bahan makanan yang banyak pula. Kebutuhan bahan makanan yang dibawa dari kampung ke lokasi pemanenan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan makanan dalam rentang lama di musim pemanenan telur.

Saat musim peneluran, sungai Vriendschap dipenuhi oleh masyarakat lokal yang membangun pondok ditepian sungai untuk melakukan perburuan dan pemanenan telur. Pemanenan dilakukan disepanjang sungai Vriendschap oleh masyarakat lokal yang bekerjasama dengan pemburu telur dari masyarakat pendatang (non Lokal). Pada kenyataannya masyarakat lokal yang melakukan perburuan telur disepanjang sungai terdiri dari beberapa suku. Perbedaan suku dan adanya nilai ekonomi dari telur dapat memunculkan persaingan yang berujung pada bentrok antar suku. Sampai sejauh ini diantara suku-suku tersebut belum diketahui 1) suku apa saja yang melakukan pemanenan?, 2) apakah semua suku dapat melakukan pemanenan di keseluruhan panjang sungai?, 3) apakah terjadi pembagian wilayah adat diantara mereka?, dan 4) bagaimana mendapatkan sumber pangan selama di lokasi pemanenan? Mengingat status perlindungan satwa ini dan keberadaan penduduk lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan satwa liar maka penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.

Metodologi Penelitian Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar 1) yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten Yahukimo, Papua. Panjang sungai yang diamati ± 110 km. Penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011. Data yang dikumpulkan meliputi wilayah pemanenan adat, lahan yang dimanfaatkan di sepanjang sungai sebagai pertanian, dan jenis sumberdaya alam yang dimanfaatkan.

(4)

Gambar (Figure) 1. Lokasi penelitian Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap, Papua (Research location of Pig-nosed Turtle at Vriendschap river, Papua)

Bahan dan Peralatan

Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat tulis, GPS (Global Positioning System) Garmin 60 CSx, komputer dengan software ArcView 3.3, peta tutupan lahan.

Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan adalah Forum Group Discussion (FGD) dan teknik observasi. Pendataan pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam dilakukan mengikuti panjang sungai dan difokuskan pada pencari telur (responden) dari kelompok masyarakat lokal yang ditemui di sepanjang sungai. Wawancara dilakukan ketika masyarakat sudah selesai melakukan aktifitas pemanenan dalam bentuk Forum Group Discussion (FGD). Jumlah responden yang dapat di wawancarai sebanyak 12 orang. Sebanyak 11 responden merupakan masyarakat lokal yang berdiam disekitar Sungai Vriendschap dan 1 responden merupakan masyarakat non lokal (pendatang). Pengambilan data wilayah pemanenan dilakukan dengan mengelilingi wilayah pemanenan adat dan mengambil titik-titik koordinat menggunakan GPS.

Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan mengolah data dalam bentuk tabulasi terlebih dahulu. Hasil analisis kemudian disajikan dalam bentuk tabel,

(5)

grafik dan gambar. Wilayah adat pemanenan di olah menggunakan ArcView 3.3 dan disampaikan dalam bentuk peta.

Hasil dan Pembahasan Hasil

Wilayah Adat Pemanfaatan Carettochelys insculpta

Wilayah pemanfaatan di sepanjang Sungai Vriendschap terbagi atas 5 (lima) wilayah adat yaitu wilayah Bor (Rawa), Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo. Sebaran wilayah pemanfaatan telur disajikan pada Gambar 2 dibawah ini yang diwakili oleh wilayah Bor (rawa), Obokain dan Sumo. Wilayah Bor (rawa) tidak tergambarkan dengan lengkap karena kesulitan dalam akses pendataan. Letak wilayah pemanfaatan Bor (Sungai) berada diantara Bor (Rawa) dengan Obokain dan wilayah pemanfaatan Indama berada diantara Obokain dengan Sumo.

Gambar (Figure) 2. Pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi pada wilayah adat Bor (rawa), Obokain dan Sumo di Sungai Vriendschap (Eggs harvesting of Pig-nosed turtle in Bor, Obokain and Sumo indigenous territories at Vriendschap river)

Suku-suku asli Papua yang berburu telur di sungai Vriendschap meliputi Suku Betkuar, Diai, Dini, dan Momuna. Wilayah Bor (rawa dan sungai) secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Betkuar. Selain pencari telur dari suku Betkuar di wilayah ini, juga ditemukan pencari dari Suku Mapi (Papua) dan Ternate. Wilayah Bor rawa jarang didatangi suku Betkuar dan pemanenan lebih sering dilakukan suku Mapi. Pada

(6)

wilayah Obokain secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Diai dan Dini dengan kelompok pencari didalamnya terdapat Suku Jawa, Kei, Madura dan Batak. Sementara pada wilayah pemanfaatan Indama dan Sumo, secara adat berada dibawah wilayah adat Suku Momuna namun tidak didapati pencari dari luar suku. Pencari telur diluar masyarakat adat berasal dari wilayah Jinak, Waganu, Atsy, maupun Agats, dan ijin untuk berburu telur dan lokasi pencarian dapat berubah sejalan dengan ijin yang diberikan oleh suku adat kepada mereka. Suku Betkuar hanya dijumpai di wilayah Bor (Rawa) sedangkan Suku Mapi dijumpai di wilayah Bor (Rawa) dan Bor (Sungai). Suku Diai, Dini dan Madura dijumpai di wilayah Obokain, dan Suku Momuna dijumpai di wilayah Indama dan Sumo.

Pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lahan

Masyarakat lokal menggantungkan bahan dari sumber pakan alami, makanan yang dibawa dari kampung asalnya, dan barter dengan pencari telur dari luar. Beberapa jenis sumberdaya pakan berupa tumbuhan dari alam yang dimanfaatkan masyarakat lokal di Sungai Vriendschap meliputi sagu (Metroxylon sagu) dan pucuk rotan (Calamus sp), sedangkan jenis sumberdaya alam berupa satwa liar meliputi kura-kura (Carettochelys insculpta, Pelochelys bibroni, Emydura subglobosa), buaya (Crocodylus cf novaeguineae), babi hutan (Sus scrofa), kasuari (Casuarius sp), ular karung (Acrocordus arafurae), ikan gurame (Osphronemus goramy) dan ulat sagu (Rhynchophorus ferruginenus).

Pemanfaatan lahan secara intensif oleh masyarakat lokal baik untuk pertanian, perikanan maupun peternakan di sekitar wilayah pemanfaatan telur belum dilakukan, namun pada wilayah perkampungan lahan pertanian sudah diupayakan oleh masyarakat lokal walau bukan berupa pertanian intensif. Beberapa produk pertanian yang pernah dikembangkan maupun dijual oleh masyarakat meliputi kacang panjang (Vigna sinensis), kacang tanah (Arachis hypogaea), jagung (Zea mays), ketimun (Cucumis sativus), gambas (Luffa acutangula), cabe (Capsicum sp.), pisang (Musa sp.), ubi kayu (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), dan keladi (Caladium sp.). Hasil pertanian ada yang sebagian kecil dijual ke Jinak, namun lebih sering digunakan untuk kebutuhan sendiri karena jauhnya akses untuk menjual dengan jumlah yang tidak ekonomis sebagai sumber pendapatan.

(7)

Tingkat pendidikan pencari telur (masyarakat) lokal masih rendah dengan hanya 1 orang yang mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) sedang yang lainnya tidak bersekolah (Gambar 3b). Pekerjaan masyarakat lokal dominan bersifat peramu dengan mengekstraksi sumberdaya alam langsung dari hutan, dan hanya 16,67% yang mengandalkan pertanian (Gambar 3a).

Keterangan : PG : Pencari Gaharu (Agarwood hunter); PB : Pencari Buaya (Crocodiles hunter); Sekdes : Sekretaris Desa (Village secretary); PP : Penebang Pohon (Chainsaw men); P : Pedagang (Trader).

Gambar 3. Pekerjaan (a) dan pendidikan (b) pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap (Job and study of Pig-nosed turtle eggs hunting at Vriendschap river)

Pembahasan

Wilayah Adat Pemanfaatan Carettochelys insculpta

Pemanfaatan telur dan induk Labi-labi moncong babi oleh masyarakat lokal dilakukan selama musim peneluran yaitu pada bulan Agustus – Desember. Pada rentang bulan tersebut masyarakat lokal keluar dari kampungnya dan membuat bivak (pondok) disepanjang sungai untuk memudahkan proses pemanenan karena jarak yang cukup jauh antara lokasi kampung dengan Sungai Vriendschap. Sebaran dan luas wilayah pemanfaatan terjadi di seluruh wilayah sungai mulai dari muara Vriendschap (pertemuan dengan Sungai Catarina) sampai ke hulu Sungai Vriendschap yang bertemu dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng, yang meliputi sungai utama, anak sungai, rawa-rawa dan aliran-aliran air dimana terdapat kumpulan pasir.

Tingginya nilai ekonomi telur menyebabkan persaingan dalam pemanenan telur di lokasi peneluran. Wilayah adat dalam pemanenan telur Labi-labi moncong babi sudah disepakati bersama diantara masyarakat lokal. Persaingan mendapatkan telur-telur umumnya terjadi pada kelompok masyarakat adat di wilayah adatnya sendiri. Pelanggaran wilayah pemanenan tanpa pemberitahuan kepada suku yang mempunyai wilayah adat dapat menimbulkan konflik. Sebaliknya, apabila pemanfaatan dilakukan

(8)

oleh suku lain pada bukan wilayah adatnya dengan pemberitahuan atau ijin terlebih dahulu kepada suku yang mempunyai wilayah adat, dapat diterima dan tidak menimbulkan konflik. Kebijakan mengijinkan suku lain untuk memanen telur pada tempat yang bukan wilayah adatnya disebabkan masih adanya hubungan kekerabatan diantara suku masyarakat adat tersebut.

Pada 5 (lima) wilayah adat pemanfaatan di Sungai Vriendschap, Triantoro (2012) mendapati jejak induk yang ditemukan sebanyak 19 jejak di wilayah Bor (Rawa), 6 jejak di wilayah Bor (Sungai), 379 jejak di wilayah Obokain, 65 jejak di wilayah Indama, dan 80 jejak di wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 7 sarang di wilayah Bor (Rawa), 1 sarang di wilayah Bor (Sungai), 110 sarang di wilayah Obokain, 8 sarang di wilayah Indama, dan 6 sarang di wilayah Sumo. Pencari telur di wilayah adat Obokain mempunyai peluang mendapatkan penghasilan lebih baik dari para pencari telur di 4 (empat) wilayah adat lainnya (Bor rawa, Bor sungai, Indama dan Sumo) disebabkan jumlah sarang cukup banyak terdapat pada wilayah adat Obokain. Hampir setiap tahunnya wilayah adat Obokain mempuyai jumlah sarang terbanyak dari wilayah adat lainnya (personal communication). Jumlah sarang yang tinggi pada wilayah Obokain dapat berkaitan dengan pemilihan tempat peneluran yang disukai Labi-labi moncong babi dan sifat kelompok penyu pada umumnya yaitu kembali ketempat dimana mereka menetas. Penyu umumnya menunjukkan kesetiaan pada satu atau dua tempat bersarang setiap tahunnya (Rowe et al., 2005), dan wilayah Obokain diprediksi sebagai tempat bersarang yang disukai oleh Labi-labi moncong babi. Pergerakan yang dilakukan labi-labi moncong babi ke wilayah Obokain dapat dipengaruhi oleh gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil, seperti migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa (Rowe, 2005; Vitt dan Caldwell, 2009). Sifat tersebut juga diperlihatkan oleh Wood Turtles (Glyptemys insculpta) yang menunjukkan keterkaitan erat dengan tempat kelahirannya, dimana 95% betina kembali pada sarang atau tempat yang sama selama dua tahun berturut-turut (Walde et al., 2007). Walaupun demikian, keberhasilan bersarang labi-labi moncong babi tidak dapat dianggap sama untuk setiap tahunnya di setiap pasir peneluran (Doody et al., 2003).

(9)

Pemanfaatan Sumber Daya Lahan dan Sumber Daya Alam

Eksploitasi sumber daya alam sebagai sumber mata pencaharian dan memenuhi kebutuhan makanan masih umum ditemui pada masyarakat lokal di Papua yang akses masuk dan keluar wilayahnya cukup jauh atau sulit. Pekerjaan mencari gaharu merupakan pekerjaan utama masyarakat lokal di wilayah sungai Vriendschap diluar musim peneluran. Saat musim peneluran, masyarakat lokal mengalihkan profesinya dengan mencari telur dan kembali ke profesi semula saat musim peneluran selesai. Diantara masyarakat lokal yang masih bersifat peramu di bagian Selatan Papua adalah masyarakat Suku Kamoro (Muller, 2005), menggantungkan kebutuhan hidupnya dengan berburu seperti babi, menangkap ikan dan meramu sepanjang tahun, dan memanfaatkan tumbuhan dan satwa liar musiman seperti buah-buahan, sayuran hutan hujan, kura-kura, dan sejumlah jenis burung musim tertentu. Etika kerja masyarakat Papua yang hidup berkelompok di daerah rawa mengandalkan sagu untuk kelangsungan hidupnya (misalnya, masyarakat Asmat, Kamoro, Waropen, Bauzi, dan Inawatan) yang berpusat pada upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan mendesak (misalnya, mengumpulkan cukup makanan untuk kebutuhan sehari) dan tidak melakukan kerja sebagai investasi untuk masa depan (Kartikasari et al., 2012).

Pemanfaatan lahan di sepanjang sungai Vriendschap hanya dilakukan untuk membuat pondok dan tidak ditemui pemanfaatan lahan untuk pertanian intensif. Pembukaan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dapat memberikan efek negatif bagi fungsi hidrologi sungai Vriendschap itu sendiri yang secara tidak langsung memberikan perubahan pada kualitas habitat peneluran. Pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Australia Utara, kegiatan pertanian dan drainase potensi memberikan dampak serius bagi populasi labi-labi moncong babi (Georges et al., 2008a). Konversi hutan menjadi pertanian juga meningkatkan aliran permukaan, erosi tanah, dan fungsi hidrologi DAS (Hidayat et al., 2008) dan membawa konsekuensi degradasi lahan berupa hilangnya kemampuan tanah menahan air hujan (Lipu, 2010). Tidak adanya pengolahan lahan pertanian intensif di wilayah pemanenan telur berdampak pada masih baiknya habitat peneluran. Pasir peneluran masih dalam kondisi baik karena belum tersentuh eksploitasi untuk kebutuhan pembangunan. Perubahan habitat peneluran hanya terjadi akibat meluapnya sungai yang memberi perubahan pada posisi pasir peneluran dan alur sungai.

(10)

Kesimpulan

Wilayah adat dalam pemanenan telur sudah jelas pembagiannya antar suku. Klaim wilayah adat di sepanjang sungai Vriendschap terdiri atas suku Betkuar (wilayah Bor-rawa), Mapi (Bor-sungai), Diai dan Dini (wilayah Obokain), dan Momuna (wilayah Indama dan Sumo). Pemanenan oleh suku lain di wilayah adat suku lainnya dapat dilakukan atas ijin pemilik adat. Pelanggaran pemanenan di wilayah adat suku lain tanpa ijin terlebih dahulu dapat menimbulkan konflik antar suku. Pemanfaatan sumber daya alam tumbuhan untuk kebutuhan makanan penduduk lokal di lokasi pemanenan meliputi sagu dan pucuk rotan, sedangkan pemanfaatan satwa liarnya meliputi kura-kura (labi-labi moncong babi, labi-labi Irian, kura-kura-kura-kura dada merah), buaya, babi hutan, kasuari, ular karung, ikan gurame dan ulat sagu. Tidak adanya pemanfaatan lahan secara intensif menyebabkan kondisi habitat peneluran Labi-labi moncong babi tidak mengalami penurunan kualitas akibat adanya campur tangan manusia.

Pemukiman yang jauh dari pemerintahan dan rendahnya pendidikan pada masyarakat lokal memberikan sedikit alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan. Rendahnya tingkat pendidikan turut memberikan andil bagi minimnya pemahaman tentang keberlanjutan populasi suatu spesies. Walau demikian pendidikan yang rendah tidak selalu menunjukkan intensitas pemanfaatan dari alam juga selalu tinggi, karena tidak ada jaminan dengan pendidikan tinggi dapat mengurangi tingkat intensitas pemanfaatan telur.

Daftar Pustaka

Doody, J. S, A. Georges & J. E..Young, 2000. Monitoring plan for the Pig-nosed turtle in the Daly River, Northern Territory. Applied Ecology Research Group and CRC for Freshwater Ecology [laporan]. University of Canberra.

Doody, J. S., R. A. Sims & A. Georges. 2003. Gregarious behavior of nesting turtles (Carettochelys insculpta) does not reduce nest predation risk. Copeia 4 : 894– 898.

Fordham, D., R. Hall & A. Georges. 2004. Aboriginal harvest of Long-necked turtles in Arhem Land, Australia. Turtles and Tortoise Newsletter.

Georges, A. & R. Kennett. 1989. Dry-season distribution and ecology of Carettochelys insculpta (Chelonia : Carettochelydidae) in Kakadu National Park, Northern Australia. Aust. Wildl. Res. 16 : 323 – 335.

(11)

Georges, A., J. S. Doody, C. Eisemberg, E. A. Alacs & M. Rose. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. In : Rhodin, A. G. J., P. C. H. Pritchard, P. P. Van Dijk, R. A. Saumure, K. A. Buhlmann, J. B. Iverson, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoise : A Compilation project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5, pp. 009.1 – 009.17.

Georges, A., E. Alacs, M. Pauza, F. Kinginapi, A. Ona & C. Eisemberg. 2008b. Freshwater turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with special reference to the Pig-Nosed turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711.

Hidayat, Y., N. Sinukaban, H. Pawitan & S. D. Tarigan. 2008. Dampak perambahan hutan terhadap aliran permukaan dan erosi di DAS Nopu Hulu, Sulawesi Tengah. Jurnal Tanah Tropika 13 (1) : 59 – 65.

The IUCN Red List of Threatened Species. Version 2015-4. <www.iucnredlist.org>. Diakses 4 December 2015.

Kartikasari, S. N., A. J. Marshall & B. M. Beehler. 2012. Ekologi Papua. Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan Conservation International. Jakarta.

Lipu, S. 2010. Analisis pengaruh konversi hutan terhadap larian permukaan dan debit sungai Bulili, Kabupaten Sigi. Media Litbang Sulteng III (1) : 44 – 50.

Muller, K. 2005. Keragaman hayati tanah Papua. Terjemahan oleh Ismoyo F, Kilmaskossu A, Kilmaskossu MSE, Lumatauw S, Nainggolan D, Prabawardani S. 2005. Manokwari : Universitas Negeri Papua.

Rowe, J. W., K. A. Koval & M. R. Dugan. 2005. Nest placement, nest-site fidelity and nesting movements in Midland Painted Turtles (Chrysemys picta marginata) on Beaver Island, Michigan. The American Midland Naturalist 154 : 383 – 397. Triantoro, R. G. N. 2012. Ekologi peneluran dan intensitas pemanfaatan Labi-labi

moncong babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) di sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua. Tesis tidak diterbitkan. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

UNEP-WCMC. 2011. UNEP-WCMC Species Database: CITES-Listed Species. Diakses 27 January 2011.

Vitt, L. J & J. P. Caldwell. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Third Edition. Elsevier Academic Press. Oklahoma. Walde, A. D., J. R. Bider, D. Masse, R. A. Saumure & R. D. Titman. 2007. Nesting

ecology and hatching success of the Wood Turtle, Glyptemys insculpta, in Québec. Herpetological Conservation and Biology 2 : 49 – 60.

(12)

Gambar

grafik  dan  gambar.  Wilayah  adat  pemanenan  di  olah  menggunakan  ArcView  3.3  dan  disampaikan dalam bentuk peta
Gambar  3.  Pekerjaan  (a)  dan  pendidikan  (b)  pencari  telur  Labi-labi  moncong  babi  di  Sungai  Vriendschap  (Job  and  study  of  Pig-nosed  turtle  eggs  hunting  at  Vriendschap river)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini adalah 1 3 akar masalah dari penyebab keterlambatan penimbangan bahan baku glycerin yaitu tidak adanya alat bantu khusus proses penimbangan glycerin

perlengkapan lain untuk fokus pada produksi produk tunggal atau kelompok produk yang berkaitan (batch).. Product-oriented layout: Menentukan personil dan utilisasi peralatan

Elliptic Curve Digital Signature Algorithm (ECDSA) merupakan sebuah algoritma tanda tangan digital (digital signature) yang berfungsi untuk mengecek apakah pesan yang dikirimkan

Daya katalitik nanopartikel magnetit dalam proses oksidasi metilen biru oleh hidrogen peroksida lebih besar daripada maghemit dengan persentase oksidasi

1) Daerah kota dilambangkan dengan benteng Mataram, sebab kota timbul dari benteng dan Pekalongan menurut sejarahnya termasuk wilayah Mataram. 2) Ikan di dalam

Karena luasnya cakupan wilayah pemasaran PEP Jawa Barat dan supaya penelitian lebih terarah dan terfokus pada tujuan penelitian, maka masalah dibatasi oleh perbandingan

Walaupun menunjukkan arah koefisien yang positif seperti penelitian sebelumnya, akan tetapi hasil regresi atas sampel penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku

jati Jawa dan Sulawesi juga menunjukkan keanekaragaman genetika dalam populasi lebih tinggi dari pada keanekaragaman antara populasi dengan perbedaan genetika (G ST )