IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Lokasi
Lokasi peneluran burung maleo di Desa Tambun merupakan hutan kecil
yang ditumbuhi oleh tumbuhan pepohonan, herba dan alang-alang. Lokasinya sangat strategis karena dekat dengan jalan utama yang menghubungkan Desa Tambun dan
Desa Transmigrasi Kembang Merta. Sehingga untuk melihat burung-burung maleo
yang akan bertelur dapat dilihat dari jalan tersebut. Tanah di lokasi tersebut
bercampur batu-batuan dan juga terdapat sumber air panas dan sungai kecil yang
mengalirkan air tersebut.
Dalarn lokasi terdapat 3 buah bak penetasan yang dibuat oleh Kantor Taman
Nasional dan sebuah rumah tempat tinggal bagi petugas juga sebuah bangunan yang
menurut informasi petugas merupakan tempt pemeliharaan anak burung tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Disekitar lokasi terdapat daerah pertanian sehingga
terlihat rutinitas kegiatan pertanian bagi masyarakat. Burung maleo tidak tinggal tetap dilokasi ini, karena selesai bertelur mereka terbang ke gunung yang berada
disekitar lokasi dan bagi anak burung hanya tinggal sementara sampai mereka sudah cukup kuat untuk terbang.
Burung maleo bertelur pada pagi hari mulai jam 06.00 sampai jam 10.00 pagi. Jika ada gangguan burung ini akan bertelur pada sore hari mulai jam 16.00 -
17.30. Oleh karena itu untuk mendapat telur-telur burung maleo dilakukan pencarian
di lubang-lubang peneluruan mulai jam 10.30. Burung maleo dalam meletakkan
predator yang memangsa telwnya. Di atas timbunan lubang yang ada telur sering ditandiu dengan ranting atau daun.
Untuk membedakan telur yang baru dengan telur yang sudah lama ditelurkan dimana telur baru terasa hangat dan kering sedangkan telur yang sudah lama kerabangnya berembun. Telur yang diperoleh dibungkus dengan daun palm dan bagian tumpul tetap menghadap keatas. Untuk menghidari goncangan-goncangan, telur dimasukkan secara hati hati ke &lam ember plastik. Jarak lokasi peneluran burung maleo dengan tempat melakukan inkubasi kurang lebih 5 km.
4.2. Deskripsi Telur
Telur burung maleo A4 macrocephalon memiliki morfometri yang khas karena berat, panjang, lebar dan bentuknya berbeda dengan hewan unggas dan aves lainnya. Telur maleo yang ditemukan di tempat peneluran Desa Tambun terdiri dan dua bentuk yaitu bentuk normal-oval dan bentuk panjang-oval-elips dengan ratio panjang dan lebar 1,78:1. Bentuk telur dapat dilihat pada Gambar 5.
Panjang 202,4 cm
Menurut Gunawan (1995) telur burung maleo memiliki empat tipe yaitu tipe
biconical, elliptical, oval dan normal oval. Menurut Hoogerwerf (1949) dalam
Mardiastuti (1991) secara umum bentuk telur burung memiliki dua bentuk dengan 6
tipe yaitu bentuk asimetris terdiri dari tipe normal-oval, panjang oval, lebar oval dan
bentuk simetris terdiri dari tipe lebar-oval hampir bulat, panjang-oval-elips dan
normal oval. Telur burung maleo yang barn dikeluarkan oleh induknya benvarna
merah muda (dadu), kerabang tidak licin, tidak mengkilap dan dilapisi oleh kapur.
Wama telur dalam lubang dan inkubator lama kelamaan akan berubah
menjadi wama putih pucat. Lack (1958) dalam Welty (1982) mengatakan bahwa
wama telur &lam taksonomi bukan ha1 yang penting tetapi warm ini menunjukkan
hubungan dengan tipe pemilihan tempat bersarang (nesting site). Hasil pengukuran
terhadap bobot, panjang dan lebar telur burung maleo diperlihatkan pada Tabel 2.
Hasil pengukuran dari Wiriosoepartho (1979), bobotnya antara 223,95 -
253,20 gram, panjangnya antara 10,5 -1 1,2 cm dan lebarnya antara 6,30 - 6,56 cm,
Dekker (1990), dengan bobotnya antara 178 -267 gram, panjangnya antara 92,l -
112,6 mm, lebamya antara 57,6-65,5 mm; dan Gunawan (1995) bobotnya antara 198
- 270 gram, panjangnya antara 9,5 - 11 cm, lebarnya antara 5,8 - 6,5 cm.
Tabel 2. Ukuran telur bunlng rnaleo (n=53) Morfometri telur Bobot (g) pmjmg (m) Lebar (cm) Indeks telur Kisaran ukurahutir 110 - 250 9,7 - 10,7 5,7 - 6,2 55,O -61,O Rata-rata 202,4 35,43 10,2 5 0,25 6,O
+
0,14 59,4 5 2,04Dari data pengukuran bobot, panjang dan lebar telur mulai tahun 1979 - 1995 kemudian dibandingkan dengan data penelitian ini ada kecenderungan dimensi ukuranya semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kondisi habitat dan makanan. Pengamatan terhadap habitat burung maleo di Desa Tambun kondisinya semakin terancam dengan meluasnya k e ~ a t a n pertanian sehingga ketersediaan makanan semakin berkurang. Pengukuran terhadap bobot telur diperlihatkan pada Gambar 6
110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 220 230 235 240 250
(Bobot telur /gram)
Gambar 6. Histogram bobot telur burung maleo d~ Desa Tambun ( n=53) Dari Gambar 6 dapat dikatakan bahwa 65,9 % bobot telur burung maleo di Desa Tambun berkisar antara 180 - 230 gram. Melihat persentase dan kisaran telur-
telur dapat dikatakan telur burung maleo tergolong berat bila dibandingkan dengan telur ayam dan telur burung lainnya. Menurut Gunawan (1995) telur burung maleo memiliki bobot kurang lebih 3 kali bobot telur itik, 5 kali bobot telur ayam kampung dan 4 kali bobot telur ayam ras dan 12 kali bobot telur burung merpati serta 16 kali bobot telur burung puyuh. Ukuran terhadap panjang telur ditunjukan pada Gambar 7.
09.6 09.7 09.8 09.9 10.0 10.1 10.2 10.3 10.4 10.5 10.6 10.7
Panjang Telur (cm)
Gambar 7. Histogram panjang telur burung maleo di Desa Tambun (n=53)
Dari sebaran data pada Gambar 7 dapat dikatakan bahwa 79,2% panjangnya antara 10,O - 10,5 cm, dengan demikian dapat dikatakan bahwa umumnya telur-telur
burung maleo di Desa Tambun berukuran cukup panjang. Sedangkan untuk lebar telur diperoleh 83 % telur berukuran antara 5,8 - 6,l cm. Dari data ini dapat
dikatakan bahwa lebar telur burung maleo di Desa Tambun tergolong besar. Ukuran lebar telur ditunjukkan p d a Gambar 8.
5,6 5,7 5,8 5,9 6,O 6 , l 6,2 6.3
Lebar telur (cm)
Gambar 8. Histogram lebar telur b m g maleo di Desa Tambun (n=53) Jurnlah tertinggi persentase bobot, panjang dan lebar dari 53 butir telur maleo yang diperoleh di tempt peneluran Desa Tambun adalah sebagai berikut bobot 200
gram 18,9%, panjang 10,6 cm 22,6 % dan lebar 10,3 cm 18,9 % (Lampiran 1 dan 2).
Persentase antara bobot telur terhadap bobot badan burung dewasa adalah 12,6%
sedangkan untuk bobot telur dengan anak burung (DOC) adalah 62,3%.
Telur yang disimpan sampai 2 bulan temyata masih tetap segar untuk
dlkonsumsi asalkan dlbungkus dengan dam palm, bagian tumpul menghadap ke atas
dan telur hams dalam keadaan bersih. Pengukuran terhadap morfometri telur dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran dari Dekker (1990),
Wiriosoepartho (1979) dan Gunawan (1999). Walaupun demikian terdapat 1 butir
telur yang ukuran bobotnya kecil yaitu 110 gram (Lampiran 3), ha1 ini kemungkinan
dihasilkan oleh burung yang masih muda dan baru pertama kali bertelur.
Menurut Dhamayanti (1997) perbedaan ukuran telur biasanya tampak pada
telur-telur yang dihasilkan oleh induk yang umurnya berbeda. Dikatakamya juga
bahwa induk yang masih muda biasanya baru belajar bertelur akan menghasilkan
telur yang lebih kecil dibandingkan dengan induk yang sudah dewasa dan tua yang
sudah sering bertelur. Pikula (1971) dalam van Tyne dan Berger (1976) mengatakan
bahwa ukuran telur pertama biasanya lebih kecil dari ukuran telur berikutnya. Tetapi hasil penelitian Gultom (1996) pada burung walet sarang putih tidak ada perbedaan
ukuran
antara telur pertama dan telur kedua.Pada telur burung maleo sulit untuk membedakan antara telur pertama dm
kedua karena dalam satu lubang hanya ditemukan 1 butir telur, selain itu juga telur
yang ditemukan mungkin tidak berasal dari induk yang sama. Menurut Welty (1982)
atau faktor hereditas. Dikatakannya juga bahwa untuk burung yang termasuk spesies
altricial umumnya menelurkan telur yang lebih kecil dari pa& telur yang berasal dari
spesies presocial. Burung maleo termas.uk tipe presocial karena menghasilkan telur
yang cukup besar.
4.3. Perkembangan Embrio
Embrio terbentuk setelah tejadi pertemuan antara sel telur dan sel sperma
dari 2 individu. Embrio merupakan suatu pertumbuhan awal dari bakal calon organisme dan mampu beradaptasi secara memadai terhadap kebutuhan dan
lingkungan pada tiap perkembangannya. Perkembangan merupakan suatu proses
perubahan yang tejadi secara perlahan-lahan menuju kepada tingkat kesempumaan
terhadap struktur dan fungsi suatu organisme.
Pada organisme yang bertelur termasuk aves dan unggas terdapat perbedaan
dalam kecepatan dan lamanya pertumbuhan embrio. Pada jenis unggas yaitu ayam
pertumbuhan embrio sampai menetas rata-rata 21 hari. Pada jenis aves lebih
b e ~ a r i a s i lagi seperti halnya pada jenis burung maleo yang telurnya lebih besar.
Waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui ada tidaknya perkembangan embrio yaitu
berkisar 10 sampai 12 hari. Pada ayam dibutuhkan
waktu
3 sampai 4 hari (North, 1978).Selama masa inkubasi embrio merupakan bagian yang menonjol dan
transparan. Setiap embrio yang berkembang membutuhkan perlindungan untuk
perkembangannya, dimana embrio dibantu oleh kantung kuning telur, amnion dan
Kuning telur sebagai makanan embrio yang dicema dan diserap oleh selaput kantung
kuning telur yang menempel diusus, dan sebelum menetas selaput ini ditarik ke
dalam rongga tubuh sebagai persediaan makanan sampai beberapa hari setelah
menetas. Allantoin sebagai alat untuk pemafasan dan pengeluaran bagi embrio.
Heij (1997) mengatakan bahwa kuning telur yang besar rata-rata 62,3% pada burung Eulipoa wallacei menandakan bahwa suatu perkembangan embrio burung
yang lama dan suatu masa puasa selama hari-hari pertama setelah menetas. Hasil
pengamatan embrio burung maleo sampai menetas secara deskripsi ditunjukkan pada
embrio (Hari) 10 17 24 31 38 45 Tabel 3. Tahi
r
an perkembangan embrio maleo selama inkubasi buatan DeskripsiEmbrio sudah kelihatan, jantung mulai berdenyut, tampak tampak bintik gelap yang terletak disebelah kanan. Jantung, bakal anggota badan sudah mulai terbentuk dimana ekor dan kepala embrio sudah berdekatan sehingga tampak seperti huruf C. dari pengamatan ini juga kelihatan dengan jelas jaringan pembuluh darah serta kuning telur yang terpencar keseluruh permukaan (Gambar 9a).
Organ-organ tubuh sudah terbentuk dengan jelas seperti kaki, jari kaki, sayap, ekor dan paruh serta mata yang besar (Gambar 9b)
P a d , jari kaki, mulai mengeras, bulu buntut dan bulu dorsopelvic bagian punggung sudah mulai tumbuh tapi belum begitu jelas (Gambar 9c)
Jari-jari kaki sudah mulai terpisah dan ekor sudah terbentuk sepenuhnya. Bulu dorsopelvic pada bagian punggung serta bulu pada bagian buntut sudah tumbuh dengan jelas. Tonjolan pada bagian kepala sudah mulai hilang (Gambar 9d)
Hampir seluruh bagian tubuh sudah mulai dltutupi oleh bulu. Bagian paruh atas dan bawah sudah dapat dibedakan, bentuk mata sudah jelas dan kepala mulai berbentuk bulat (Gambar 9e)
Semua organ tubuh telah terbentuk sepenuhnya. Bulu pada semua bagian tubuh sudah turnbuh dengan baik sehingga seluruh tubuh telah ditutupi oleh bulu. Punggungnya melingkuk atau melengkung, kaki, jari kaki dan cakar sudah mengeras dan kepala sudah terbentuk
Garnbar 9. Tahapan perkembangan embrio burung maleo
(al) Embno umur 10 hari, @I) umur 17 hari, (cl) umur 24 h a t (dl) umur 31 hari, (el) umur 38 hari, (fl) urnur 45 hari
( a2-f2 sketsa embrio umur 10 - 45 hari)
4.4. Proses Penetasan Telur
Masa inkubasi selama 56 hari merupakan masa yang kristis untuk menentukan kelahiran seekor anak hurung. Embrio dalam telur tumbuh secara luar biasa setiap harinya sampai akhirnya menghadapi tantangan pertamanya yaitu keluar dari telur dengan mendorong kerabang telur melalui kedua kakinya. Pada waktu anak burung berupaya untuk keluar dari telur, maka kerabang telur terlihat retak. Kaki dan cakamya yang kuat menendang kerabang agar terbuka. Anak burung maleo yang
baru menetas bersifat semi artifial dimana matanya sudah terbuka, tubuhnya &lam keadaan basah oleh karena itu dibiarkan &lam inkubator selama
+
10 menit untuk mengeringkan tubuhnya. Proses terjadinya penetasan telur ditunjukkan secara berurutan dalam Gambar 10.Gambar 10. Tahapan proses penetasan telur burung maleo
(al) telur mulai retak, (bl) kaki dan cakar menendang kerabang (cl) kerabang terbuk (dl) kerabang terangkat
(el) selaput kerabang terangkat (fl) anak burung terlepas (a2-a) sketsa proses penetasan
Paimin (1992) mengatakan beberapa ha1 yang hams diperhatikan selama
penetasan berlangsung yaitu pengaturan temperatur dan kelembaban Selanjutnya
dikatakan bahwa selama penetasan, tejadi 2 kali periode kntis. Pertarna tejadi tiga
hari sejak telw dimasukkan dalam mesin tetas, karena pada periode ini tejadi
perkembangan embrio yang sangat tajam, perubahan-perubahan zat kimia dalam telur
dan penimbunan asam laktat yang cukup tinggi. Kemudian periode kritis yang kedua
terjadi tiga hari terakhir dari perkiraan penetasan karena tejadi perubahan morfologis embrio telah sempurna menjelang penetasan. Periode ini berbeda untuk tiap jenis
unggas.
Dari pemyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa 4 butir telw yang tidak
menetas tejadi gangguan pada periode kritis, seperti padamnya aliran listrik
menyebabkan temperatur dalam inkubator turun, dimana pada saat-saat telur akan
menetas temperatur hams tetap stabil. Oleh karena itu faktor yang sangat penting
dalam penetasan telur dengan menggunakan mesin tetas adalah menjaga kestabilan
temperatw.
Menurut Hafes (1978) ada dua faktor yang berpengaruh terhadap proses
embriogenesis dan penetasan yaitu faktor biologis dan faktor lingkungan. Faktor
biologis adalah embrio yang cacat disebabkan spematozoa yang tertinggal dalam
oviduck untuk waktu yang lama karena kapasitas sperma yang rendah fertilitasnya.
4.5. Lama Inkubasi
Pengamatan terhadap lamanya inkubasi telur burung maleo yang ditetaskan melalui mesin tetas adalah sebagai berikut telur mulai menetas pada hari ke 54 sampai hari ke 63. Persentase lamanya penetasan telur burung maleo dengan mesin tetas yaitu 57 hari 33,3% jumlah telur 8 butir, 56 hari 35 % dengan jumlah telur 6 butir dan 58 hari 20,8 % jumlah telur 5 butir. Lamanya inkubasi buatan dan jumlah telur yang menetas dapat dilihat pada Gambar 1 I .
Gambar 1 1. Histogram jumtah dan lama inkubasi telur burung maleo
Dari Gambar 1 1 dapat dijelaskan bahwa 79,l % telur yang menetas dengan kisaran waktu antara 56 - 58 hari dari 24 butir yang menetas pada suhu 34°C.
Menurut MacKinnon (1981) dan Dekker (1988) lamanya inkubasi telur burung maleo di alam berkisar antara 62 - 85 hari. Dari perbandingan data lama inkubasi maka
dapat dikatakan penetasan dengan mesin tetas lebih cepat dibandingkan dengan penetasan secara alami.
Inkubasi merupakan proses pemberian panas pada telur (van Tyne dan Berger, 1976). Menurut Beer (1964) &lam Farner dan King (1975) bahwa inkubasi
(pengeraman) merupakan suatu proses dimana panas yang dibutuhkan untuk
pembentukan embrio. Menurut Welty (1982) induk menyehakan makanan, panas
dan perlindungan untuk perkembangan embrio dalam telur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses inkubasi adalah waktu perkembangan embrio dari telur yang ditetaskan.
Penetasan buatan merupakan suatu teknik meniru sifat-sifat alami dari burung
atau ayam saat melakukan inkubasi sesuai dengan kemajuan teknologi. Terdapat
variasi lama inkubasi dari hasil yang diperoleh ha1 ini karena telur yang diperoleh
tidak bersarnaan hari dan kemungkinan juga ada telur yang ditelurkan pada hari yang berbeda sehngga mempengaruhi lama periode inkubasi. Jika dibandingkan dengan
hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, waktu inkubasinya lebih singkat, ha1 ini karena suhu dipertahankan tetap konstan pada 34°C dan kelembaban 70%. Lamanya
penetasan telur di dam mungkin disebabkan karena tejadi fluktuasi suhu, karena
pada musim hujan suhu akan turun di bawah batas normal maka telur sebagian tidak
menetas dan menjadi busuk. Hasil pengukuran suhu di lokasi peneluran telur burung maleo di Desa Tambun yaitu 28 - 34°C pada kedalaman 30 - 70 cm. Pada
kedalaman
+
30 cm berada disekitar sumber air panas sedangkan pada kedalaman +70 lokasinya agak jauh dari sumber air panas (hasil pengukuran sendiri selama -Dekker (1990) mengatakan bahwa kisaran suhu bagi penetesan telur burung
maleo secara alami yaitu 32 -35OC. Dikatakannya juga bahwa keberhasilan penetasan buatan untuk telur maleo bewariasi yaitu suhu 34°C 80 % dan 44% suhu 36OC, 38 %
pada suhu 38°C dan 22 % pada suhu 32°C. Hasil analisis regresi terhadap hubungan
berat telur ( x ) dengan waktu penetasan (Y) telur diperoleh koefisien korelasi (r)
0,028 dan persamaan regresi Y = 224,5
+
0,377X,dan
ditampilkan dalam Gambar 12.52 54 56 58 60 62 64 Waktu inkubasi (hari)
Gambar 12. Graiik hubungan antara bobot telur dan waktu inkubasi
Dari Gambar 12 terlihat bahwa bobot telur dan lama inkubasi tidak
menunjukkan pola hubungan yang nyata artinya bobot telw tidak mempengarth
waktu pengeraman. Dengan kata lain bahwa besar kecilnya telur tidak mempengaruhi lamanya inkubasi.
4.6. Daya Tetas
Daya tetas dapat dilihat setelah telur yang ditetaskan menetas. Daya tetas
adalah persentase jumlah telur yang menetas dan sejumlah telur yang ditetaskan. Dari 30 butir telur yang ditetaskan d a l m inkubator diperoleh 24 butir berhasil
menetas, sedang 6 butir l a i ~ y a gaga1 menetas dimana 2 butir sudah terbentuk
embrio yang diperkirakan benunur 12 hari dan 2 butir berumur 40 hari, 1 butir retak
dan 1 butir busuk (tidak fertil) sehingga didapatkan 80% daya tetas. Untuk
mengetahui fertil atau infertilnya telur burung maleo yang akan ditetaskan sangat
sulit dan belum diketahui metode yang tepat. S e l m a ini cara yang digunakan adalah
memasukkan telur kedalam mesin tetas untuk beberapa hari kemudian dilihat ada
tidaknya perkembangan embrio pada telur.
Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat dikatakan bahwa suhu dan
kelembaban inkubator mempengaruhi daya tetas. Card (1962) mengemukakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah temperatur, kelembaban dan
kebersihan dari telur yang akan ditetaskan. Telur ayam &pat menetas dengan baik
apabila kantung udara tidak pecah, kulit tidak retak dan tidak kotor (Titik et al. 2000;
Sudaryani, 2000; Riyanto et al. 2001). Menurut Winter (1956) bahwa kelembaban
dibawah 40% dan diatas 80% akan menurunkan daya tetas. Kelembaban
mempengaruhi hilangnya air dari telur selama inkubasi. Kehilangan air yang banyak akan menyebabkan mengeringnya kompleks chorio allantois
untuk
kemudianBerdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa bersih atau kotornya telur
burung maleo tidak mempengaruhi daya tetas telur. Karena dari 30 butir telur yang
ditetaskan 90 % adalah kerabang telurnya kotor. Selain itu juga transportasi
mempengaruhi daya tetas telur dimana telur yang dibawa dari suatu tempt ke tempat
yang lain dengan jarak tempuh yang cukup jauh dengan membutuhkan waktu diatas 6
jam akan mempengaruhi daya tetas telur. Sebab telur yang dibawah dari tempat
peneluran (Desa Tambun) ke Tomohon (tempat kami tinggal) dengan jarak 300 km
dengan waktu perjalanan 2 6 jam, telur tidak terbentuk embrio. Menurut Nugroho (1993) daya tetas burung walet dapat dipertahankan bila transportasinya dari suatu
tempat ke tempat yang lain dengan waktu sekitar 4 jam.
4.7. Morfometri Anak Burung
4.7.1. Bobot Lahir Anak Burung
Hasil pengukuran bobot lahir terhadap 10 ekor anak burung maleo berkisar antara 80 - 160 gram, rata-rata 126,5
5
30,9 g. Analisis regresi terhadap hubunganantara bobot telur (Y) dan bobot lahir an& burung (X) menunjukkan pola garis lurus
dengan kemiringan positif. Hal ini diperkuat dengan besaran nilai koefisien korelasi
0,922 dimana Y = 111,83
+
0,737X. Berdasarkan model tersebut dapat dikatakanbahwa pertambahan bobot telur akan diikuti juga dengan bobot lahn anak burung. Perbandingan antara DOC dan bobot telur adalah 62,6 %. Pola hubungan antara bobot
Gambar 13. Grafik hubungan antara bobot telur dan bobot lahir anak burung
Penins (1996) dalam Jumilawaty (2002) rnengatakan bahwa anakan yang baru menetas biasanya berhubungan erat dengan bobot telur. Anakan yang menetas dari telur yang lebih besar memiliki keuntungan hidup lebih besar dari anakan yang berasal dari telur yang kecil. Selanjutnya menurut Willey (1950) anak ayam yang ditetaskan dari telur-telur yang besar memiliki bobot badan lebih besar dibandingkan dengan anak ayam yang ditetaskan dari telur yang kecil.
300 - 250 - 200 -
-
al . aL$
-
150 --
0 nm"
100 - 50 - 0-.
4.7.2. Ukuran TubuhHasil pengukuran secara individual terhadap bagian-bagian tubuh pada 10 ekor anak burung diperoleh adanya variasi ukuran untuk setiap bagian tubuh yang diukur. Rerataan, simpangan baku dan kisaran ukuran bagian-bagian tubuh diperlihatkan pada Tabel 4.
46 /*
•
0 50 100 150 200
Tabel 4. Ukuran bagian-bagian tubuh anak bumng selama 8 minggu pertama (,=I n l
,..
.",
Panjang ekor (mm) 18,2 26,O 34,4 45,6 49,7 58,5 62,9 68,7 Panjang SaYaP (mm) 101,3 126,2 128,6 133,8 137,l 244,7 150,3 154,6 Panjang Panjang Tarsus (mm) JKT (mm) 28.3I
19.1 Panjang cakar0
3,l 3,l 3 2 4,4 4,5 5,2 6,3 6 4 Panjang Parnh0
10,2 10,2 11,l 12,3 12,3 13,5 14,6 15,2 I I I I I I-
*
Nilai dinyatakan dalam rerataan dan simpangan bakuDari Tabel diatas terlihat bahwa ukuran dari bagian-bagian tubuh terjadi pertambahan sesuai dengan pertambahan umur dari anak burung maleo. Pertambahan ukuran bagian-bagian tubuh pada setiap minggu ditunjukkan pada Gambar 14.
1 2 3 4 5 6 7 8
Umur (minggu)
t Ekor -+-Sayap
*
Tarsus+Jan kak~ tengah +Cakar - 0 - P a ~ h
Gambar 14. Ukuran bagian-bagian tubuh an& b u n g maleo selama 8 minggu pertama (n=10)
4.7.3. Laju Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan suatu manifestasi terhadap perkembangan organ- organ tubuh dari setiap individu, ha1 ini dinyatakan dengan pertambahan nilai-nilai ukuran terhadap variabel yang diamati. Pengukuran terhadap berat badan anak burung maleo selama 8 minggu pertama ditunjukkan pada Tabel 5.
Laju pertumbuhan anak burung maleo selama 8 minggu pertama ditunjukkan pada rabel5. Bobot badan anak burung maleo selama 8 minggu pertama (n=10)
Gambar 15 Waktu (minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8
Gambar 15. Grafik pertumbuhan anak burung rnaleo selama 8 minggu pertama Garis vettikal adalah simpangan baku (standar deviasi) (n=10)
Bobot anak burung maleo
(g) - 126
+
30,9 108,5_+13,9 123,5+10,5 133,5214,3 148,5_+20,1 150,5215,6 174,021 1,6 165,0+15,3 190,0+13,4Dari Gambar 15 terlihat bahwa pertumbuhan anak burung maleo meningkat seiring dengan pertambahan umur walaupun pertumbuhannya agak lambat. Hal ini kemungkinan pengaruh lingkungan dimana burung tersebut dimasukkan dalam kandang sehingga mengalami stres lingkungan karena burung maleo termasuk hewan liar yang sukar untuk ditangkarkan. Menurut Bunce (2001) pertumbuhan anak burung cukup lambat pada hari-hari pertama setelah menetas.
Menurut Card (1962) kecepatan pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan bobot badan setiap minggu. Kemudian menurut Jull (1951) pertumbuhan bukan hanya sekedar pertambahan besar, tetapi merupakan proses yang sangat kompleks karena dalam pertumbuhan yang sempuma hams ada koordinasi yang lengkap antara bagian-bagian tubuh. Pengukuran terakhir yaitu pada minggu ke 8 rata-rata berat badan 190 gram n=10 dengan kisaran antara 175 - 210 gram Hasil
perhitungan kecepatan tumbuh relatif (KTR) terhadap pertambahan bobot badan ditampilkan pada Gambar 16.
0 l I
1 2 3 4 5 6 7 8
Umur (minggu)
Gambar 16. Grafik pertambahan relrdifbobot badan anak burung maleo selama 8 minggu pertama. Garis vertikal adalah simpangan baku (standar deviasi) n= 10
Dari Gambar 16 menunjukkan bahwa berat badan anak burung maleo
bertambah namun pertambahannya b e ~ a r i a s i untuk setiap burung. Beberapa faktor
yang mempengaruhi laju pertumbuhan antara lain adalah lingkungan dan makanan.
Selma penelitian ini berlangsung makanan yang diberikan agak berbeda dengan
makanan aslinya yang umumnya biji-bijian dari tumbuhan a l m i dan serangga tetapi
dalam penelitian dberikan makanan yang dimodifikasi yaitu berupa jagung giling,
kacang merah, pepaya, siput dan cacing.
Pengamatan terhadap kesukaan makan anak burung maleo dari beberapa jenis
makanan biji - bijian seperti kacang tanah, belinjo, jagung dan pepaya ternyata
paling disukai adalah kacang tanah, jagung, pepaya kemudian belinjo sedangkan
Menurut Lubis (1984) makanan sangat berpengaruh dalam pembesaran
ukuran sel, sehingga akan memberikan pembahan bobot badan hewan. Titus (1949)
mengemukakan bahwa kecepatan pertumbuhan seekor hewan dipengamhi oleh
banyak faktor antara lain, jenis kelamin, umur, spesies hewan dan kualitas makanan
yang diberikan. Selanjutnya Ju11 (1951) mengatakan bahwa kecepatan pertumbuhan
dipengaruhi oleh kondisi dirnana mereka dipelihara terutama temperatur.
Kemudian Card (1952) menyatakan pertumbuhan tergantung pada pemberian
makanan dan faktor lingkungan seperti suhu dan keadaan pertukaran udara. Piliang
(1992) mengantakan bahwa temperatur lingkungan mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kebutuhan makanan, dimana setiap perubahan temperatur 1°C akan menurunkan sekitar 1,5 % konsumsi ransum.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan anak burung dalam
kandang lebih lambat dan memiliki tingkat daya tahan lebih rendah walaupun belum
ada data pertumbuhan anak burung maleo yang berada di lingkungan luar. Hasil
penelitian dari Bunce (2001) pa& burung Australasian gannet yang ditempatkan
dalam kandang bobot anak burungnya lebih rendah dibandingkan dengan anak
b m g di luar kandang. Pertumbuhan dan perubahan morfologis anak burung maleo
Tabel 6. Pertumbuhan dan perubahan morfologis anak burung maleo mulai umur 1 hari hingga 16 bulan
1 bulan 4 Bulan 6 Bulan 8 Bulan 12 Bulan 16 Bulan
Perhunbuhan dan perkembangan anak b u n g maleo
2
Anak b m g yang baru menetas sudah cukup kuat, reaksinya mondar
mandir dalam kandang seperti ketakutan dan menghindar. Mata sudah terbuka
Seluruh tubuh sudah ditumbuhi bulu namun bulunya masih kelihatan kusam
Bulu bagian dada benvama kuning pucat. Bulu bagian kepala benvama hitam
Paruh benvama kuning
Bila istirahat, duduknya berhmpu pada tubuh belakang dan tarsus
Bulu dada berubah menjadi wama kuning terang Mulai bertengger
Bulu ekor mulai tumbuh
I
Bulu dada kuning campur merah muda Bulu dada putih campur merah mudaBulu dada menjadi putih, bulu kepala hitam campur putih
Bulu bagian dada berubah menjadi merah jambu
Paruh benvama orange, disekitar bola mata benvama kuning,
Bulu bagian kepala mulai routok
Bulu dada merah jambu , bulu kepala rontok semuanya sehingga kepala menjadi licin
Umur 6 bulan
Umur 1 hari
Gambar 17. Pertumbuhan dan pembahan morfologis anak burung maleo umur 1 hari hingga 16 bulan
Umur 1 bulan - 16 bulan (sumber Danyl et al. 1995) Umur 1 hari (hasil Penelitian sendiri)
4.8. Gambaran Darah Anak Burung Maleo
Sampai saat ini pengamatan gambaran darah burung maleo baik anak burung maupun burung dewasa belum pernah dilakukan, karena itu pengamatan gambaran darah pada anak burung dalam penelitian ini merupakan data awal untuk jenis burung maleo tersebut. Pengamatan tentang gambaran darah anak burung maleo berfluktuasi pada setiap pengukuran. Beberapa faktor yang menyebabkan ha1 ini antara lain
perubahan kondisi lingkungan, makanan dan mungkin juga perlakuan pada saat pengambilan sampel darah. Walaupun berfluktuasi setiap pengukuran tetapi keadaan gambaran darah selalu bertambah sesuai umur.
Burung-burung yang akan diambil darahnya selalu ketakutan sehingga menunjukkan aktivitas menghindar terbang ke sana ke mari &lam kandang. Menurut Brown (1989) dalam Lubis (1993) aktivitas fisiologis yang tinggi dan kondisi dalam keadaan stres akan memberikan gambaran darah yang berbeda. Pengukuran gambaran darah anak burung maleo berumur 2 bulan ditunjukkan pada Tabel 7.
4.8.1. EritrositJButir Darah Merah (BDM)
Pengukuran sel darah merah atau eritrosit pada anak burung maleo benunur 2 bulan berkisar antara 1,03 - 2,17 (x106 seI/mm3). Jumlah normal eritrosit pada
beberapa jenis burung dewasa seperti puyuh 4,00 -5,15, kalkun 1,74-3,70, merpati 2,13 - 4,20 dan ayam 1,25 - 4,20 (x 10~1mm~) (Mitruka clan Rawnsley, 1981) dan
Bila melihat data perbandingan terhadap beberapa jeNs burung dengan anak burung maleo maka dapat dikatakan jumlah eritrositnya berbeda walapunun masih dalam lasaran normal untuk semua jenis burung. Bewariasinya jumlah eritrosit dari semua jeNs hewan di atas disebabkan adanya perbedaan umur, jenis dan spesies hewan dan kemungkinan juga dipengaruhi lingkungan dan sifat fisiologis yang berbeda. Sturkie (1976) mengatakan bahwa umumnya jumlah eritrosit dalarn sirkulasi darah dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, hormon keadaan hipoksia dan berbagai faktor lainnya. Menurut Brown (1975) individu yang tinggal pada daerah dataran tinggi volume eritrositnya lebih banyak dibandingkan dengan individu yang tinggal di dataran rendah, karena pada daerah dataran tinggi tekanan oksigen udara lebih rendah sehingga produksi eritrosit lebih banyak untuk mengangkut kebutuhan oksigen ke jaringan.
4.8.2. LeukositlButir Darah Putih (BDP)
Pengukuran jumlah sel leukosit pada anak burung maleo berumur 2 bulan
berkisar antara 7,2 - 13,l (x lo3 sel/mm3). Sedangkan jumlah leukosit normal pada beberapa jenis burung dewasa dimana pada puyuh 12,5 - 24,6, kalkun 16,O - 25,5
dan merpati 10,O - 30,O (x10'/mm3) (Mitruka dan Rawnsley, 1981). Sedangkan pada
burung gelatik 2,35
+
0,86 (x103 sehnm3) (Surata, 2000). Kisaran jumlah leukosit pada anak burung maleo lebih rendah dari pada kisaran leuksoit pada burung puyuh, kalkun dan merpati tetapi masih lebih tinggi dibandingkan dengan burung gelatik.Bewariasinya kisaran jumlah leuksoit pada burung-burung tersebut diatas
Brown (1989) dalam Lubis (1993) mengatakan bahwa leukosit yang berfimgsi
sebagai unit mobil dari sistem pertahanan tubuh, umumnya dipengaruhi oleh umur,
jenis kelamin dan pengaruh berbagai keadaan seperti stress, aktivitas tisiologis yang
tinggi serta ketersediaan gizi.
Selanjutnya Guyton (1968) menyatakan jumlah eritrosit akan bertambah
sesuai dengan pertambahan umur ha1 ini karena kebutuhan oksigen &lam tubuh akan
diperlukan dalam proses metabolisme untuk pembentukan energi yang akan
diperlukan untuk pertumbuhan, sebaliknya jumlah leukosit tinggi pada umur muda
dan akan menurun pada umur dewasa. Tetapi bila ada benda asing dalam tubuh
jumlah differensial leukosit akan meningkat terutama produksi limfosit karena
limfosit ini akan menfagositosis benda sing tersebut.
Olson (1937) dulum Sturkie (1976) menyatakan burung yang berkembang
didalam ruangan jumlah leukosit dan eristrositnya lebih rendah dibandingkan burung
yang berada diluar. Selain lingkungan diduga juga makanan ikut mendukung
adanya perbedaan jumlah eritrosit dan leukosit pada maleo karena selama penelitian
diberikan makanan yang di modifikasi yaitu jagung, kacang merah, pepaya, siput,
serta cacing sedangkan makanan alaminya berupa biji-bijian yang ada di hutan, serangga dan cacing. Walaupun &lam penelitian ini makanan tidak menjadi variabel penelitian. Tujuan pemberian modifikasi makanan adalah usaha untuk menuju pada
proses penangkaran burung tersebut.
Bunce (2001) mengatakan bahwa pengaruh manipulasi perwbaan dalam hal
memberikan ukuran tidak langsung dari ketersediaan makanan. Sehingga akan memberikan suatu bentuk ketahanan tubuh dari burung-burung tersebut. Bentuk sel darah anak burung maleo ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar 18. Bentuk sel darah anak burung maleo a. Sel Leukosit (BDP)
b. Sel Eriltoait (BDM)
4.8.3. Diferensial Leukosit
Hasil perhitungan diferensial leukosit diperoleh persentase limfosit pada anak burung maleo berumur 2 bulan berkisar antara 10,6 - 18,4 % rata-rata 13,57 2 3,04
%. Dan jumlah kisaran normal pada burung dewasa seperti puyuh 50 - 70%, burung
kalkun 35 - 48 % dan merpati 25 - 70%, ayam 29 - 84% (Mitruka dan Rawnsley,
1981) pada burung gelatik 3442% (Kaler, 2000). Dari data ini terlihat bahwa jumlah limfosit bewariasi untuk berbagai jenis burung ha1 ini disebabkan oleh fisiologis yang berbeda.
Perhitungan monosit pada anak burung maleo umur 2 bulan berkisar antara 3,O - 7,8 % rata-rata 5,7+1,34%. Dan lusaran monosit burung kalkun antara 3,00 -
10.00 % dan ayam 0,05 - 7,00 %, merpati 1,00 - 3,00% dan puyuh 0,50 - 3,80%.
(Mitmka dan Rawnsley, 1981) pada burung Gelatik 1-16% (Kaler, 2000).
Eosinofil burung maleo berkisar antara 4,6 - 8,0 % rata-rata 6,4+1,41 bila dibandingkan dengan jumlah normal pada burung puyuh 0,00 - 15.00 % pada burung
kalkun 0.00 - 5.00 % dan pada ayam 0,00 - 5,25 % (Mitruka clan Rawnsley, 1981)
pada gelatik 1- 4% (Kaler, 2000). Jumlah kisaran eosinofil pada maleo tidak jauh berbeda dengan kisaran eosinofil pada kalkun, ayam dan puyuh. Tetapi masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan kisaran eosinofil pada burung merpati 0.00 - 1,50 dan gelatik.
Selanjutnya hasil perhitungan jumlah basofil pada burung maleo berkisar antara 2,s - 6,s % rata-rata 5,17+ 1,49%. Menurut Mitruka dan Rawnsley (1981)
jumlah normal basofil untuk beberapa jenis burung, seperti burung puyuh berkisar antara 0,00 - 1,50 %; burung merpati 0,00 - 1,00 % dan burung kalkun 1,00 - 9,00
% dan pada burung gelatik 51% (Kaler, 2000). Dari data ini terlihat bahwa kisaran basofil pada maleo lebih tinggi dari kisaran basofil pada beberapa jenis burung ha1 ini kemungkinan karena sifat fisiologis antara burung maleo dengan beberapa jenis burung lain berbeda apalagi dilihat dari segi umurnya.
Kemudian pengukuran jumlah heterofil pada burung maleo berkisar antara 3,4 4 , 8 % rata-rata 5,30 +1,28%. Keadaan normal heterofil burung kalkun 3,00 -
11,OO %, merpati 1,00 - 3,00 % dan puyuh 0,50 - 3,80 %. ayam 15,l - 50,OO %
(Mitruka dan Rawnsley, 1981). Jumlah kisaran heterofil pada maleo tidak berbeda jauh dengan kisaran pada merpati, puyuh dan merpati, namun sangat berbeda dengan
heterofil pada ayam dimana kisaran heterofil pada maleo lebih rendah dari pada ayam.
Hal ini dapat dikatakan bahwa setiap jenis burung akan memberikan gambaran darah yang berbeda atau bewariasinya gambaran darah pada beberapa jenis burung kemungkinan dipengaruhi oleh sifat fisiologis dan umur dan jenis-jenis burung tersebut selain itu banyak atau sedikitnya komponen sel darah dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan dimana burung itu hidup. Menurut Brown (1989) dalam Lubis (1993) aktivitas fisiologis yang tinggi clan kondisi shes akan memberikan gambaran darah yang berbeda pula.
4.8.4. Hematokrit
Nilai hematokirt merupakan persentase volume sel darah dalam darah. Hasil pengukuran hematokrit anak burung maleo berumur 2 bulan berkisar antara 40,2 -
50,6% rata-rata 46,4
+
4,01 %. Mitruka dan Rawnsley (1981) mengatakan bahwa hematokrit pada puyuh 30 - 45%, kalkun 30,4 - 45,6 %, merpati 39,3 - 59,4% danayam 23 - 55 %, itik 32,6
-
47%. Pada beo berkisar antara 32 -51% (Burhanudin, 2001).Melihat nilai kisaran hematokrit yang diperoleh pada anak burung maleo dan dibandingkan dengan nilai lasaran hematokrit berbagai jenis burung di atas dapat dikatakan nilai kisaran hematokrit burung maleo tidak jauh berbeda dengan nilai kisaran hematokrit pada beberapa jenis burung lainnya.
4.8.5. Hemoglobin
Hemoglobin merupakan pigmen respirasi yang terkandung di dalam eritrosit dan dibentuk saat proses pematangan eritorit. Pengukuran nilai hemoglobin pada anak burung maleo umur 2 bulan berkisar antara 9,24 - 12,5 (g/dl) rata-rata 10,8
t
1,13. Nilai hemoglobin normal untuk beberapa jenis burung dewasa seperti burung puyuh 10.70 -14.30 &/dl), burung kalkun 8,80 -13,40 (g/dl) dan merpati 10,7 -
14,90 (gldl) (Mitruka dan Rawnsley, 1981)
Dari perbandingan data pada beberapa jenis burung terlihat bahwa nilai hematoknt pada anak burung maleo dapat dikatakan normal. Adanya sedikit variasi kisaran nilai hematokrit ini diduga karena perbedaan sifat fisiologinya.
4.9. Implikasi Terhadap Konsewasi
Saat ini burung maleo cukup langka di Sulawesi Utara. Masalah yang dihadapi dalam usaha pelestarian terhadap burung malw adalah populasi satwa ini terus menurun dengan tajam di hampir semua habitatnya. Ancaman utama bagi burung ini adalah pengamhilan terhadap telurnya, perburuan dan hilangnya habitat. Dengan demikian dapat diketahui bahwa masalah bagi kelestraian burung maleo memerlukan pemecahan yang serius. Tidak hanya dengan tindakan pengamanan, pemecahan melalui perlindungan pemerintah dengan undang-undang saja, akan tetapi diperlukan juga suatu upaya tindakan yang mampu meningkatkan kelimpahan populasi burung maleo.
Selama pengamatan di lapangan peneliti sering bertemu dengan orang- orang/masyarakat alam lokasi peneluruan untuk mengambil telur, berburu dan
penebangan kayu. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut yang dilakukan oleh manusia maka sering waktu bertelur burung maleo terganggu karena perasaan takut atau cemas dimana waktu bertelur yang dilakukan pada pagi hari akhimya tertunda pada siang atau sore hari bahkan sampai besoknya bam burung-burung melakukan kegiatan bertelur. Sering juga ditemukan telur yang dibenamkan terlalu dangkal
t
20 cm karena mungkin sudah terlalu mendesak sehingga tidak dapat menggali lubang yang lebih dalam lagi karena dengan kehadiran orang atau pemangsa. Telur-telur yang diletakkan terlalu dangkal dengan sangat mudah diambil orang, hewan predator ataupun telur-telur tersebut busuk karena suhu yang tidak cocok untuk proses pengeraman.Pengambilan telur burung maleo secara terns-menerus yang dilakukan di hampir semua habitat peneluran ha1 ini mencenninkan ketidak pedulian masyarakat yang mengambil telur dan membum burung maleo dengan alasan untuk dikonsumsi sebagai lauk pauk, dijadikan sebagai obat-obatan dan di jual. Biasanya menjelang Natal, Tahun Bam dan Lebaran permintaan telur burung maleo meningkat.
Segala usaha konse~asi yang telah dilakukan oleh pihak pemerintah antara lain pembuatan bak-bak penetasan di lokasi peneluruan, tetapi tetap saja dirusak oleh pencuri telur. Peneliti juga sempat menggunakan bak-bak penetasan tersebut dengan membenamkan 30 butir telur tetapi mendekati waktu menetasnya telur, ternyata telur-telur sudah dibongkar atau dirusak. Lokasi peneluruan burung maleo di Desa Tambun sangat dekat dengan jalan raya sehingga para masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam memburu burung maleo dan mengarnbil telurnya.
Berbagai usaha konservasi sudah dilakukan oleh pihak pemerintah dan LSM namun belum mencapai hasil yang lebih baik, maka dengan melihat hasil penelitian ini altematif konservasi yang dapat dilakukan yaitu melakukan konse~asi secara ex situ lewat penetasan dengan mesin tetas, dengan usaha mencakup pengumpulan telur, penetasan, pemeliharaan
dan
pelepasan kembali ke alamnya, karena denganpenetasan lewat mesin tetas maka; (1) Telur yang sering dicuri orang serta kematian anak burung yang dimangsa oleh hewan predator dapat terhindar, (2) Perkembangan embrio sangat ditentukan oleh perlakuan terhadap suhu dan kelembaban sehingga mengurangi kematian embrio, (3) Makanan yang diberikan walaupun sudah dimodifikasi namun anak burung tetap memakannya sehingga pertumbuhan bobot badan normalnya dapat tercapai, (4) Suatu satwa sakit dapat dilihat dari penyimpangan komposisi darah yang berfluktuasi dari batas-batas normalnya