STRUKTUR DAN KOMPOSISI SERANGGA AIR DI RAWA LEBAK JUNGKAL KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR
PROVINSI SUMATERA SELATAN Syamsul Rizal1, dan Deptalia2 e-mail: syamsul_rizal_msi@yahoo.com
Dosen Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas PGRI Palembang1 Alumni Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas PGRI Palembang2
ABSTRACT
This study aims to determine the structure and composition of insects in the swamp water of Jungkal Ogan Ilir on South Sumatera province, in June to September 2012. Identification of aquatic insects in the Laboratory of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences University of PGRI Palembang. The results showed the relative density , relative frequency , relative dominance at station 1 ( Kumpai copper ) is Pelocoris femoratus and station 2 ( Lotus ) is Parapoyonx sp. Insects are the most dominant with the highest importance value index station 1 is
Pelocoris femoratus, station 2 Parapoyonx sp . While the insect species diversity
index of water at station 1 of 2.02, at station 2 of 1.25 and index between stations by 46 %.
Key words : Insects water , lebak swamp deling, structure , composition
ABSTRAK
Penelitian tentang struktur dan komposisi serangga air di rawa lebak jungkal di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan, dilakukan pada bulan Juni hingga September 2012. Identifikasi serangga air di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas PGRI Palembang. Hasil penelitian didapatkan kepadatan relatif, frekuensi relatif, dominansi relatif pada stasiun 1 (Kumpai tembaga) adalah Pelocoris femoratus dan stasiun 2 (Teratai) adalah
Parapoyonx sp. Serangga yang paling dominan dengan Indeks Nilai Penting tertinggi
pada stasiun 1 adalah Pelocoris femoratus, pada stasiun 2 Parapoyonx sp. Sedangkan Indeks Keanekaragaman jenis serangga air pada stasiun 1 sebesar 2,02, sedangkan pada stasiun 2 sebesar 1,25 dan Indeks Kesamaan antar stasiun sebesar 46% .
Kata Kunci: Serangga air, rawa lebak, struktur, komposisi PENDAHULUAN
Rawa dibedakan menjadi rawa pasang surut dan rawa non pasang surut. Rawa pasang surut adalah lahan rendah yang badan airnya dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air laut.
Rawa pasang surut berhubungan
langsung dengan sungai sehingga
keasamannya akan berkurang.
Sedangkan rawa non pasang surut atau disebut lebak merupakan lahan rendah yang memiliki kepekaan tergenang air
yang berasal dari curah hujan atau luapan banjir di hulu dengan tingkat keasaman yang tinggi sehingga hanya
organisme yang tahan terhadap
keasaman tinggi saja yang dapat hidup. Rawa non pasang surut atau rawa lebak adalah lahan genangan air secara alamiah terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang
terhambat serta merupakan lahan
rendah dan memiliki kepekaan
terhadap air yang berasal dari curah hujan atau luapan air. Rawa lebak merupakan rawa yang dimanfaatkan
untuk pertanian, perikanan dan
peternakan. Ekosistem rawa lebak berair asam dengan kandungan oksigen yang rendah, hanya dapat didiami oleh
organisme yang tahan terhadap
keasaman tinggi. Rawa lebak
mempunyai lahan genangan air hampir sepanjang tahun, minimal selama tiga
bulan dengan tinggi genangan
mencapai 50 cm.
Keberadaan fauna avertebrata
dipengaruhi oleh ketersediaan
komponen-komponen lain yang ada pada lingkungan rawa. Salah satu komponen yang berperan penting adalah tumbuhan air sebagai sumber makanan, tempat berlindung dan
tempat memijah. Eceng gondok
berperan dalam penyediaan makanan dan perlindungan bagi crustacea,
serangga, ikan, dan amfibi. Bagi
serangga, tumbuhan air yang hidup di tepi air yang mengalir dapat menahan aliran air dan menyediakan kondisi yang sama dengan air yang tidak
mengalir. Akar tumbuhan
menyediakan makanan bagi moluska, serangga dan beberapa jenis ikan dan
sekaligus tempat berlindung
(Djajasasmita et al., 1983 dalam
Monk, 2002).
Menurut Odum (1996),
serangga air adalah salah satu
organisme yang terdapat di perairan
rawa lebak. Serangga air adalah
organisme yang hidupnya mengapung atau berenang di permukaan air serta bertempat pada permukaan perairan. Larva serangga air biasanya menempel pada akar tanaman air diantaranya
adalah jenis rerumputan yang
merupakan habitat dari larva ikan dan
larva serangga air yang
menggantungkan hidupnya dari pakan
alami yang berupa komunitas
plankton.
Perairan rawa lebak jungkal merupakan bagian dari rawa lebak yang terletak pada wilayah pantai timur Pulau Sumatera Selatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera
Selatan. Kawasan ini dikenal
mempunyai potensi perikanan. Perlu
penelitian berkelanjutan untuk
mengetahui biota yang terdapat di suatu ekosistem perairan, dalam hal ini serangga air yang hidup di rawa lebak
jungkal kecamatan Pampangan
kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatera Selatan. BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Juni hingga September
2012 di rawa Lebak Jungkal
Kecamatan Pampangan Kabupaten
Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Identifikasi di Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas PGRI Palembang.
1. Penentuan Plot
Plot yang akan diteliti
ditentukan secara purposive sampling. Plot dibuat dengan menggunakan pipa ukuran 1 m x 1 m (persegi) sebanyak 20 plot. Sepuluh plot digunakan untuk pengambilan sampel serangga air pada
tanaman teratai (Nymphaea) dan 10 plot lagi di tanaman kumpai tembaga dan jarak antar plot adalah 5 meter. Pengambilan sampel serangga air
dilakukan dengan menggunakan
insecting-net, lalu masing-masing
sampel dimasukan kedalam botol sampel.
2.Identifikasi Sampel di Laboratorium
Botol yang berisi sampel
serangga air dibawa ke laboratorium
untuk diamati dan diidentifikasi
dengan menggunakan kaca pembesar
dan mikroskop. Sebagai pedoman
identifikasi digunakan rujukan kunci identifikasi serangga (Borror, 1992) dan (Cafferty, 1983).
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil
Dari hasil penelitian tentang struktur dan komposisi serangga air yang dilakukan di Rawa Lebak Jungkal Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Serangga Air di Perairan Rawa Lebak Jungkal Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan
No Ordo Familia Genus Spesies Daerah Pengamatan
Stasiun 1 Stasiun 2
1 Odonata Aeshnidae Aeshna Aeshna sp √
-2 Coenagrionidae Ischanura Ischanura cervula √ √
3 Hemiptera Naucoridae Pelocoris Pelocoris femoratus √
-4 Nepidae Ranatra Ranatra nigra √
-5 Mesoveliidae Mesovelia Mesovelia mulsanti - √
6 Lepidoptera Pyralidae Parapoyonx Parapoyonx sp √ √
7 Diptera Chironomidae Chironomus Chironomus attenuatus √ √
8 Empididae Chelifera Chelifera sp √
-9 Coleoptera Hydrophilidae Amphimallon Amphimallon ochraceus √
-10 Carabidae Carabus Carabus problematicus √
-Untuk mengetahui Indeks Nilai Penting suatu spesies pada kedua stasiun disajikan pada tabel 2 dan 3.
Tabel 2. Kepadatan (K), Frekuensi (F), dan Dominansi di 2 stasiun penelitian
No Spesies Kepadatan (K) Frekuensi (F) Dominansi (D) (Individu/m2)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 2 Stasiun 2 1 Aeshna sp 0,70 0,00 0,30 0,00 0,03 0,00 2 Ischanura cervula 0,40 0,40 0,30 0,40 0,01 0,04 3 Pelocoris femoratus 0,90 0,00 0,60 0,00 0,05 0,00 4 Ranatra nigra 0,30 0,00 0,30 0,00 0,01 0,00 5 Mesovelia mulsanti 0,00 0,40 0,00 0,40 0,00 0,04 6 Parapoyonx sp 0,30 1,00 0,20 0,60 0,01 0,23 7 Chironomus attenuatus 0,10 0,30 0,10 0,30 0,00 0,02 8 Chelifera sp 0,10 0,00 0,10 0,00 0,00 0,00 9 Amphimallon ochraceus 0,50 0,00 0,40 0,00 0,02 0,00 10 Carabus problematicus 0,60 0,00 0,50 0,00 0,02 0,00 Total 3,9 2,1 2,8 1,7 0,15 0,33
Tabel 3. Nilai Kepadatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) di kedua stasiun
No Spesies KR (%) FR (%) DR( %) INP( %) S.1 S.2 S.1 S.2 S.1 S.2 S.1 S.2 1 Aeshna sp 17,95 0,00 10,71 0,00 20 0,00 48,66 0,00 2 Ischanura cervula 10,26 19,05 10,71 23,53 6,67 12,12 27,64 54,70 3 Pelocoris femoratus 23,08 0,00 21,43 0,00 33,33 0,00 77,81 0,00 4 Ranatra nigra 7,69 0,00 10,71 0,00 6,67 0,00 25,07 0,00 5 Mesovelia mulsanti 0,00 19,05 0,00 23,53 0,00 12,12 0,00 54,70 6 Parapoyonx sp 7,69 47,62 7,14 35,29 6,67 69,70 21,50 152,61 7 Chironomus attenuatus 2,56 14,29 3,57 17,65 0,00 6,06 6,31 38,00 8 Chelifera sp 2,56 0,00 3,57 0,00 0,00 0,00 6,31 0,00 9 Amphimallon ochraceus 12,82 0,00 14,29 0,00 13,33 0,00 40,44 0,00 10 Carabus problematicus 15,38 0,00 17,86 0,00 13,33 0,00 46,57 0,00 Total 100% 100% 100% 100% 100% 100% 300,00 300,00
Untuk mengetahui Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Kesamaan (IS), dan Indeks Ketidaksamaan (ISS) disajikan pada tabel 4.
Tabel 4. Keanekaragaman (H’), Indeks Kesamaan (IS), dan Indeks Ketidaksamaan
(ISS) Serangga Air di Rawa Lebak Jungkal Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir
No Nama Stasiun Indeks
Keanekaragaman Indeks Kesamaan Indeks Ketidaksamaan (H') (IS) (ISS) 1 Stasiun 1 (Kumpai Tembaga) 2,02 (Tinggi) 46% 54%
2 Stasiun 2 (Teratai) 1,25 (Sedang) HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Komposisi Spesies
Berdasarkan hasil identifikasi
yang dilakukan di dua stasiun
pengambilan sampel di perairan Rawa Lebak Jungkal Kecamatan Pampangan
Kabupaten Ogan Komering Ilir
Provinsi Sumatera Selatan, dapat
dilihat pada Tabel 1. Pada stasiun 1 ditemukan 6 spesies yang hanya
terdapat pada tanaman kumpai
tembaga, hal ini dimungkinkan karena jenis tumbuhan rerumputan seperti kumpai tembaga sangat cocok sebagai habitat dan mencari makan dari
masing-masing spesies tersebut.
Sedangkan pada stasiun 2 terdapat 1
spesies yang berbeda yang hanya
terdapat pada tanaman teratai.
Menurut Borror (1992), spesies yang berasal dari Ordo Hemiptera seperti Mesovelia mulsanti ini biasanya sering ditemukan merayap diatas tumbuh-tumbuhan yang mengambang pada tepi-tepi kolam atau genangan air dan pada kayu-kayu yang menonjol dari air.
Tiga spesies yang sama dan
terdapat di kedua stasiun yaitu
Ischanura cervula, Parapoyonx sp, dan Chironomus attenuatus dimana ketiganya berasal dari Ordo yang berbeda yaitu Odonata, Lepidoptera, dan Diptera. Ketiga spesies ini menempati habitat yang sama karena
ketiga spesies ini mengalami masa pradewasa di habitat akuatik dan yang dewasa biasanya terdapat dekat air yang bersifat pemangsa dan pemakan
berbagai serangga kecil akuatik,
tumbuh-tumbuhan yang membusuk dan organisme akuatik yang kecil. Biasanya mereka tinggal menunggu mangsanya serta kebanyakan larva tinggal di dalam air, batu-batuan, dalam tanah, dan tumbuhan atau dalam lumpur diantaranya rerumputan seperti kumpai tembaga yang merupakan habitat yang baik bagi kehidupan masing-masing spesies ini (Monk, 2002).
2 Nilai Penting Spesies
2.1. Kepadatan dan Kepadatan Relatif Berdasarkan tabel 3, kepadatan relatif serangga air tertinggi didapatkan pada stasiun 1 (Kumpai Tembaga) adalah
Pelocoris femoratus dari Ordo Hemiptera. Sedangkan yang memiliki kepadatan relatif paling rendah yaitu
Chironomus attenuatus dan Chelifera
sp, dimana keduanya berasal dari Ordo Diptera.
Pada stasiun 2 (Teratai) spesies
Parapoyonx sp dari Ordo Lepidoptera
merupakan jenis yang paling tinggi kepadatannya relatifnya. Sedangkan kepadatan relatif yang paling rendah yaitu Chironomus attenuatus dari Ordo Diptera.
Spesies Parapoyonx sp lebih
banyak ditemukan pada lokasi
penelitian dikarenakan larva dari
spesies ini kebanyakan pemakan
tumbuh-tumbuhan seperti tanaman teratai. Sedangkan kepadatan relatif terendah terdapat di stasiun 1 (Kumpai
Tembaga) yaitu spesies dari
Chironomus attenuatus dan dan Chelifera sp dibandingkan pada stasiun 2 (Teratai) pada stasiun 1
kepadatan relatifnya rendah
dikarenakan kebanyakan dari mereka
memiliki sumber makanan yang
terbatas dan hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah
atau tempat dimana ketersedian
makanan tertentu yang juga
mencermikan aspek kualitas
lingkungan, komunitas serangga air,
serta mencerminkan tingkatan dan
struktur habitatnya (Tarumingkeng, 2001).
2.2. Frekuensi dan Frekuensi Relatif
Berdasarkan tabel 3 dapat
diketahui bahwa pada stasiun 1 (Kumpai Tembaga) frekuensi tertinggi
ditempati oleh spesies Pelocoris
femoratus dari Ordo Hemiptera dengan. Sedangkan frekuensi relatif terendah ditempati oleh Chironomus
attenuatus dan Chelifera sp kedunya
dari Ordo yang sama yaitu Diptera.
Pada stasiun 2 (Teratai)
frekuensi relatif tertinggi ditempati oleh spesies Parapoyonx sp dari Ordo Lepidoptera. Sedangkan frekuensi dan frekuensi relatif terendah ditempati oleh spesies Chironomus attenuatus dari Ordo Diptera.
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa frekuensi relatif serangga air tertinggi yang terdapat pada tanaman kumpai tembaga (stasiun 1) adalah pelocoris femoratus dimana serangga air ini merupakan serangga
yang termasuk ke dalam Ordo
Hemiptera dan merupakan Familia dari Naucoridae yang menghuni bagian permukaan air. Serangga tersebut biasanya di temukan pada tumbuhan-tumbuhan terbenam dan kebanyakan tempat hidupnya berada pada akar-akar tanaman jenis rerumputan (Graminae). Sedangkan frekuensi relatif terendah ditempati oleh Chironomus attenuatus
dan Chelifera sp yang keduanya termasuk ke dalam Ordo Diptera. Sedangkan frekuensi relatif serangga air tertinggi yang terdapat pada tanaman teratai (stasiun 2) adalah
Parapoyonx sp yang termasuk ke
dalam Ordo Lepidoptera, larva
serangga air ini banyak terdapat di dalam air terutama di dekat
tumbuh-tumbuhan. Hal ini dikarenakan
kebanyakan spesies Parapoyonx sp ini
pemakan dari tumbuh-tumbuhan.
Sedangkan frekuensi relatif terendah ditempati oleh Chironomus attenuatus.
Berdasarkan hasil dari kedua
stasiun penelitian dapat diketahui
bahwa frekuensi relatif tertinggi
ditempati oleh spesies Parapoyonx sp. Hal ini dikarenakan stasiun 2 (Teratai) merupakan habitat yang cocok sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya larva dari serangga air ini dan spesies yang menempati frekuensi relatif terendah adalah Chelifera sp (lalat penari) karena serangga yang termasuk ke dalam Familia Empididae ini biasanya terdapat di tempat-tempat lembab dan ditempat itu banyak
terdapat tumbuh-tumbuhan seperti
tanaman teratai dan lili air, mereka juga bersifat pemangsa pada serangga-serangga yang lebih kecil dan beberapa adalah pemangsa yang penting dari nyamuk.
2.3. Dominansi dan Dominansi
Relatif
Dominansi spesies
mencerminkan aspek kualitas
lingkungan serta komunitas serangga air dan juga mencerminkan tingkatan dan struktur habitatnya. Spesies yang paling dominan pada stasiun 1 dan stasiun 2 adalah Ischanura cervula dan
Parapayonx sp. Hal ini disebabkan
kondisi perairan dan vegetasi dari
tumbuhan-tumbuhan yang terdapat
pada stasiun 1 (Kumpai Tembaga) dan
stasiun 2 (Teratai) sangat
mempengaruhi kehidupan
masing-masing organisme tersebut. Tingkat dominansi suatu spesies tergantung pada kemampuan spesies tersebut dalam bereproduksi serta kemampuan spesies menyesuaikan diri terhadap lingkungan perairan dan faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi
lingkunganya.
Tingginya dominansi pada
spesies ini disebabkan spesies
Parapoyonx sp mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan sumber
makanan yang tersedia disekitar
tanaman teratai dan yang berupa organisme kecil dan serasah dari tumbuhan teratai tersebut. Begitu pula sebaliknya pada tanaman kumpai tembaga spesies Pelocoris femoratus juga lebih mampu beradaptasi dengan
kondisi lingkungan dan sumber
makanan yang tersedia disekitar
tanaman kumpai tembaga. Sedangkan dominansi relatif terendah pada stasiun 1 di tempati oleh 3 spesies yang berasal dari ordo yang berbeda yaitu Ischanura
cervula, Ranatra nigra, dan
Parapoyonx sp. Hal ini disebabkan
kondisi lingkungan dan sumber
makanan serta terjadinya proses makan dan dimakan dalam suatu ekosistem yang akan membentuk rantai makanan (Irwan, 1992). Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan dominansi relatif terendah yang ada di stasiun 2 yang ditempati oleh spesies Chironomus
attenuatus.
2.4. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting tertinggi pada stasiun 1 (Kumpai Tembaga)
ditempati oleh spesies Pelocoris
terendahnya ditempati oleh spesies
Chironomus attenuatus dan Chelifera
sp yang berasal dari Ordo yang sama
yaitu Diptera. Hal ini disebabkan
spesies Pelocoris femoratus yang
berada di stasiun 1 (Kumpai Tembaga) biasanya meletakkan telur-telurnya di dalam tumbuh-tumbuhan dan dicelah-celah tumbuhan seperti rerumputan (Graminae) yang merupakan habitat yang sangat cocok bagi spesies
Pelocoris femoratus ini.
Berbeda dengan spesies
Pelocoris femoratus, spesies
Chironomus attenuatus dan Chelifera
sp yang berasal dari Ordo Diptera. Kedua spesies ini memiliki indeks nilai penting yang sangat rendah dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya yang berasal dari Ordo lainnya. Hal ini disebabkan habitat, kualitas air, dan substrat yang dibutuhkan oleh spesies Chironomus attenuatus dan
Chelifera sp sangat mempengaruhi
komposisi dan kepadatan organisme ini.
Larva Chironomus attenuatus dan Chelifera sp hidup dengan memanfaatkan bahan organik terlarut, alga perifitik, bahkan organisme lain yang lebih kecil ukurannya sebagai bahan makannya. Faktor yang turut
berperan dalam perkembangan
populasi larva Chironomus attenuatus dan Chelifera sp ini adalah substrat tempat menempelnya. Berbagai jenis benda yang tenggelam di dalam air juga dapat menjadi substrat bagi larva serangga air ini, diantaranya batu, sedimen halus, kayu tenggelam, dan tumbuhan air. Bahkan ada yang epizoik atau menempel pada hewan
lain, kebanyakan Chironomus
attenuatus hidup membentuk tabung
pada substrat yang berperan penting sebagai habitat atau rumah dan tempat berlindung dari kondisi lingkungan
yang tidak nyaman bagi spesies
Chironomus attenuatus (Cafferty, 1983).
Pada stasiun 2 (Teratai), indeks nilai penting tertinggi ditempati oleh spesies Parapoyonx sp yang berasal
dari Ordo Lepidotera. Hal ini
dikarenakan larva dari spesies
Parapoyonx sp ini merupakan pemakan tumbuhan yang sangat rakus, pada fase larva inilah Parapoyonx sp atau kupu-kupu ini mengalami proses pertumbuhan. Apabila kulit dari tubuh
Parapoyonx sp mengetat maka kulitnya akan berganti mengikuti pertumbuhan tubuhnya. Spesies dari familia ini dapat terbang dengan cepat, menyukai sinar matahari dan sesuatu yang berbau busuk. Pada daerah perairan, larva dari Parapoyonx sp ini banyak ditemukan disekitar tumbuhan air, selain memakan tumbuhan larva
Parapoyonx sp juga sering memangsa
organisme akuatik kecil lainnya seperti
larva dari Chironomus attenuatus
(Syahputra, 2011).
Indeks nilai penting terendah ditempati oleh spesies Chironomus
attenuatus dibandingkan dengan stasiun 1 (Kumpai Tembaga). Hal ini
dikarenakan larva Chironomus
attenuatus lebih cocok tumbuh dan
berkembang di perairan di sekitar
tumbuhan teratai dibandingan dengan tumbuhan kumpai tembaga. Spesies
Chironomus attenuatus merupakan komponen penting pada ekosistem perairan karena populasinya yang melimpah dan peran sertanya dalam rantai makan pada ekosistem perairan
sebagai makanan bagi makro
avertebrata yang lebih besar dan ikan. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kesemua stasiun di dominansi oleh spesies Parapoyonx sp.
Parapoyonx sp yang berasal dari Ordo
adaptasi yang cukup luas terhadap
faktor lingkungan dan mampu
berkembang biak dengan cepat, suatu jenis spesies mampu beradaptasi dan
cocok pada lingkungan tempat
hidupnya serta mempunyai daerah penyebaran yang luas maka spesies tersebut akan ditemukan dalam jumlah yang banyak dan dominan.
3. Struktur Jenis
3.1. Indeks Keanekaragaman (H’) Berdasarkan hasil penelitian
yang di analisis dengan indeks
Shannon, diperoleh nilai indeks
keanekaragaman jenis stasiun 1
(Kumpai Tembaga) sebesar 2,02 dan stasiun 2 (Teratai) sebesar 1,25. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai
keanekaragaman sebesar 2,02 yang terdapat pada stasiun 1 (Kumpai
Tembaga), tergolong tinggi,
sedangkan pada stasiun 2 (Teratai) nilai keanekaragaman sebesar 1,25, tergolong sedang. Dari hasil penelitian bahwa tanaman kumpai tembaga atau
yang termasuk dalam Familia
Graminae ini banyak menyediakan
sumber makanan dan merupakan
sumber daya hayati yang sangat menentukan kehidupan hewan-hewan air (Irwan, 1992).
3.2. Indeks Kesamaan (IS)
Berdasarkan tabel 5, indeks kesamaan komunitas dari kedua stasiun yaitu kumpai tembaga dan teratai menunjukkan kedua komunitas atau
stasiun memiliki nilai kesamaan
komunitas yang rendah karena bernilai kurang dari 0,74 yaitu sebesar 0,46. Artinya kesamaan antar kedua
komunitas atau stasiun yang
dibandingkan tersebut rendah, karena
dari setiap stasiun pengamatan
ditumbuhi oleh jenis tumbuhan yang berbeda satu sama lain.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Serangga Air yang ditemukan pada
stasiun 1 (Kumpai Tembaga)
sebanyak 9 spesies dan pada stasiun 2 (Teratai) sebanyak 4 spesies.
2. Spesies serangga air yang paling dominan pada kumpai tembaga adalah Pelocoris femoratus yang
terendah Chironomus attenuatus
dan Chelifera sp. Sedangkan pada
tanaman teratai INP tertinggi
ditempai oleh spesies Parapoyonx sp dan yang terendah adalah
Chironomus attenuatus.
3. Indeks Keanekaragaman jenis
serangga air yang hidup di
Ekosistem Perairan Rawa Lebak Jungkal Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir Provinsi Sumatera Selatan berkisar antara 1,25-2,02 yang tergolong sedang dan tinggi.
4. Indeks Kesamaan antar habitat
yaitu sebesar 46% dan indeks ketidaksamaan sebesar 54% yang
menunjukkan bahwa nilai
kesamaanya rendah. DAFTAR PUSTAKA
Borror, D. J, C.A and Triplehorn, N. F.Johnson. 1992. Serangga. Di
terjemahkan: Soetiyono Partosoedjono Serta Kunci Indentifikasi Ordo dan Family.
Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Cafferty, W. Patrick. 1983. Aquatic
Arwin V. Provonsha. The
Fishermen’s and Ecologists.
Illustrated Guide to Insects and Their Relatives. Jones and Bartlett
Publishers. Boston London.
Djajasasmita, M., A. Budiman, dan F. Saber. 1983. Pengamatan Fauna
Akar Eceng Gondok (Euchornia crassipes). Zoo Indonesia
(Masyarakat Zoologi Indonesia). Jakarta: PT. Prenhallindo.
Irwan, Z.D.1992. Prinsip-Prinsip
Ekologi dan Organisasi: Ekosistem, Komunitas, dan Lingkungan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Monk, K.A. 2002. Ekologi Nusa
Tenggara dan Maluku: Buku
Kelima. Prenhallindo. Jakarta. 951
hlm.
Odum, E. HLM. 1996. Dasar-Dasar
Ekologi. Terjemahan oleh Tjahjono Samingan dari buku
Fundamentals of Ecology. Edisi
Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syahputra, M. 2011. Pengelolaan dan
Penangkaran Kupu-Kupu.
Departemen Konservasi Sumber
Daya Hutan dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tarumingkeng, R.C. 2001. Dinamika
Populasi : Kajian Ekologi Kuantitatif. Universitas Kristen Krida Wacana. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.