LlMBAH CAIR YANG MENGANDUNG MELANOIDIN
Oleh
RIPTO WIDARGO F 28.1340
1996
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Ripto Widargo. F 28.1340. Kajian Kemampuan Bentonit untuk Ockoiorisasl Limbah Cair yang mcngandung Melanoidin. Oibawah bimbingan Muhammad Romli dan Muslich.
RINGKASAN
Melanoidin merupakan penyebab warna coklat kehitaman pada molases yang dihasilkan dari industri pembuatan gula dan ektraksi etanol dengan destilasi. Bila limbah cair molases yang mengandung melanoidin dibuang di perairan bebas. akan menyebabkan BOD dan COO meningkat dan menimbulkan warna coklat. Oalam penelitian ini benton it digunakan sebagai adsorben untuk menghilangkan warn a melanoidin secara adsorpsi.
Penelitian dilakukan terdiri dari dua tahap. yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan untuk menentukan waktu kontak optimal dan isoterm Freundlich adsorpsi masing-masing adsorben bentonit terhadap
melanoidin sintetis. Melanoidin sintetis yang digunakan terbuat dari eampuran antara Glukosa ; Glisin ; Na2CO] (6 : 2.2 : 1.8) dengan perbandingan konsentrasi masing-masing l: l: 0.5 molar. sedangkan penelitian utama dilakukan pada sebuah kolom adsorpsi berukuran diameter 2.5 em dan bed adsorben setinggi 2 em. Ukuran mesh hed adsorben pada kolom adsorpsi untuk Koleang dan Kebon Awi adalah 8 mesh.
Tonsil dan arang aktif masing-masing sebesar 200 dan 300 mesh. Debit influen melanoidin sintetis (60 gil) untuk Koleang dan Kebon Awi masing-masing sebesar 1.23 mllmenit. Tonsil dan arang aktif masing-masing sebesar 0.15 dan 0.13 mllmenit.
Hasil penelitian utama menunjukkan bahwa sistem kolom adsorpsi Koleang. Kebon Awi. Tonsil dan arang aktif mampu menghasilkan persen dekolorisasi hingga
hreakthrough time masing-masing sebesar 84. 85. 91 dan 86 persen. Estimasi terhadap dimensi kolom adsorpsi meliputi diameter kolom (D) dan tinggi bed
adsorben dilakukan pada skala debit influen melanoidin sintetis I m] Imenit dengan konsentrasi 60 gil dengan mengasumsikan bahwa waktu. volume efluen dan konsentrasi hreakthrough konstan serta tanpa tahap regenerasi .. Untuk sistem kolom
adsorpsi Koleang dan Kebon Awi keduanya masing-masing adalah 0~2.33 m : h= 1.87 m. untuk sistem kolom adsorpsi Tonsil dan arang aktif masing-masing adalah 0=4.71 m ; h~3.76 m dan 0=4.94 m ; h=3,95 m. Estimasi terhadap biaya per satuan volume untuk sistem kolom adsorpsi Koleang. Kebon Awi. Tonsil dan arang aktif masing-masing adalah 23.000, 28.650. 26.050 dan 9.600 Rupiah per meter kubik melanoidin sintetis dengan konsentrasi intluen 60 gil. Untuk estimasi terhadap kebutuhan adsorbcn Koleang. Kebon Awi. Tonsil dan arang aktif pada skala debit intluen I m3/mcnit masing-masing adalah 8.83. 3.4. 128.26 dan 7.973 ton (tanpa regenerasi adsorben).
FAKUL TAS TEKNOLOGI PERTANIAN
KAJIAN KEMAMPUAN
BENTON IT
UNTUK
DEKOLORISASI LlMBAH CAIR YANG MENGANDUNG
MELANOIDIN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
RIPTO WIDARGO F 28.1340
Dilahirkan pada Tanggal19 Desember 1972 diBogor Disetujui, Bogor, Oktober 1996
0'
...
o·!
- " \'"" (J) ,Ir. Muslich .,'.< .. ~ ~ '.Ir. Muhammad Romli, MSc
Dosen Pembimbing
1)'''<> , ,
.' ..
Dosen Pembimbing I '. \ «"-t .... ~~~,\,'~\l.,~"'":::----KAT A PENGANT AR
I'uji syukur dipanjatkan kepada Allah S.W.T. atas segal a Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penuIis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi. Skripsi ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di laboratorium Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor selama tujuh bulan (Januari sid Juli 1996).
Penyusunan skripsi ini tidak teriepas dari batuan semua pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
I. Ayah dan Ibu serta saudara-saudaraku yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil.
2. Dr. Ir. Muhammad Romli, MSc. sebagai dosen pembimbing I yang telah membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.
3. Ir. Muslich sebagai dosen pembimbing II yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti sebagai dosen penguJI yang telah banyak memberikan masukan untuk penulisan skripsi ini.
5. Ir. Tika Kartika yang selalu memberikan perhatian. nasehat. semangat dan dorongan. 6. Ir. Arief, Iwan Ramos, Ir. Sujudi, Ir. Eki, Ir. Rio. Ir. Ozi. Ir. Aldo, Sulis, Iskandar dan
rckan-rekan di YYZ.
7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu seeara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini.
Kritik dan saran yang konstruktif diperlukan untuk penyempurnaan penyusunan skripsi ini. karella penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Scmoga skripsi ini berguna bagi penulis dan bagi semua yang memeriukanllya.
KATA PENGANTAR .. OAFTAR GAMBAR .. DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN II III IV PENDAHULUAN .. A LATAR BELAKANG .. B. TUJUAN ... . TINJAUAN PUSTAKA A BENTONIT. B. MELANOIDIN
c.
KONSEP ADSORPSI ... . D. PENANGANAN LlMBAH CAIR .. BAHAN DAN METODE ..A BAHAN DAN ALA T ... 1. Bahan ...
2. Alat.. . ... .
B. METODE PENELITIAN ....
1. Penelitian Pendahuluan
a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Melanoidin .. b. Penetapan Kurva Standar Konsentrasi Melanoidin ..
c Penentuan waktu kontak .. d Penentuan nilai K,dan 1/n ...
2. Penelitian Utama .. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
A PENELITIAN PENDAHULUAN ... . 1. Penentuan Waktu Kontak Optimal .. 2. Penentuan Nilai K, dan 1/n ..
B. PENELITIAN UTAMA. 1. Kondisi Operas; .. 2. Waktu Kontak ...
3. Volume dan Konsentrasi pad a saat Breakpoint ..
II Halaman IV V VI 2 3 3 5 7 11 13 13 13 13 13 13 13 14 14 14 15 17 17 17 21 24 24 25 30
4. Estlmasl Blaya Operasi dan Kebutuhan Bentonlt Minimum pada Sistem Kolom Adsorpsi dengan Debit 1 m3/meniL ..
v
KESIMPULAN DAN SARAN .. A KESIMPULAN. B. SARAN .. DAFTAR PUSTAKA .... LAMPIRAN 111 35 37 37 38 39Halaman Gambar 1. Skema reaksi browning non enzimatik dalam pembentukan
melanoid in .. 6
Gambar 2. Kurva hubungan antara waktu kontak dan konsentrasi
akhir yang dicapai . 8
Gambar 3. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi Fixed Bed ... 11 Gambar 4. Kurva adsorpsi bentonitjenis Tonsil terhadap melanoidin .. 19 Gambar 5 Kurva adsorpsi bentonit jenis Koleang terhadap melanoidin .... 19 Gambar 6. Kurva adsorpsi bentonit jenis Kebon Awi terhadap melanoidin 20 Gambar 7. Kurva adsorpsi Arang aktif terhadap melanoidin . 20 Gambar 8. Kurva Isoterm Freundlich untuk berbagai adsorben. 23 Gambar 9. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Koleang
sebagai hubungan antara waktu kontak dan rasio Ce/Ci ... 27 Gambar 10 Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Kebon Awi
sebagai hubungan antara waktu kontak dan rasio Ce/Ci .. 27 Gambar 11 Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Tonsil
sebagai hubungan antara waktu kontak dan rasio Ce/Ci.. 29 Gambar 12. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi arang aktif
sebagai hubungan antara waktu kontak dan rasio Ce/Ci 29 Gambar 13. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Koleang
sebagai hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci . 33 Gambar 14. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi benton it Kebon Awi
sebagai hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci ... 33 Gambar 15. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Tonsil
sebagai hubungan antara volume efiuen dan rasio Ce/Ci 34 Gambar 16. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi arang aktif
sebagai hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci. 35
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Komposisi kimiawi dan komponen mineral benton it Koleang dan
~~n~i ... 3
Tabel 2. Pendekatan formula empirik melanoid in . 7 Tabel 3. Nilai K, dan 1/n berbagai adsorben ... 22 Tabel 4 Kondisi operasi sistem kolom adsorpsi berbagai bed adsorben .... 25 Tabel 5. Kemampuan adsorpsi maksimum dan breakpoint waktu.. 26 Tabel 6. Nilai Vb dan Cb berbagai adsorben pada sistem kolom adsorpsi.. 31
Tabel 7. Estimasi kebutuhan adsorben, biaya dan dimensi kolom adsorpsi pad a konsentrasi awal 60 g/l dan debit 1 m3/menit
(1440 m3/hari) tanpa regenerasi adsorben. 36
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9.
Penentuan panjang gelombang (i.) berdasarkan persen transmiten dan adsorbansi bagi Melanoidin ..
Kurva standar konsentrasi melanoidin.
Evaluasi waktu kontak berdasarkan persen dekolorisasi ... . Uji statistik terhadap evaluasi waktu kontak .... .
Data penentuan Isoterm Freundlich .. ... .
Data hasil pengukuran kolom adsorpsi berbagai adsorben ..
Halaman 41 42 43 44 46 47
Estimasi dimensi kolom, kebutuhan adsorben dan biaya pad a debit 1
m'/meniL 49
Metoda penelitian pendahuluan untuk penentuan waktu kontak
~imum ... 55
Desain kolom adsorpsi yang dlgunakan untuk memucatkan
melanoidin... 56
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Molases merupakan produk sampingan dari proses pembuatan gula. rum dan ekstraksi alkohol dengan destilasi. Warna coklat kehitaman pada molases merupakan komponen melanoidin. Melanoidin merupakan komponen yang terbentuk dari reaksi non-enzymatic Maillard antara gula dan asam amino. Apabila molases dibuang ke perairan bebas akan menyebabkan tingginya nilai COD dan BOD perairan tersebut. Pembuangan molases ke permran Juga menyebabkan penampakan fisik warna air yang tidak dikehendaki.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menghilangkan warna meianoidin melaiui degradasi biologis. Penanganan iimbah cair secara biologis hanya mampu l11enurunkan warna limbah cair molases hingga 18 persen (Nugraha. 1995). Dalam proses pemucatan terhadap komponen warna tertentu. biasanya digunakan arang aktiC namun bentonit diketahui memiliki sifat menyerap terutama jcnis yang tidak l11engembang dalam air (non swelling). Dalam penelitian ini bentonit jenis Koieang. Kebon Awi dan Tonsil digunakan untuk menghilangkan kOl11ponen warna melanoidin l11elalui mekanisl11e adsorpsi.
Penelitian dilakukan untuk menilai kcmampuan bcntonit. terutama Jellls Koleang. Kebon Awi dan Tonsil dalam mengadsorpsi warna pad a melanoidin. Untuk keperiuan anal isis. digunakan melanoidin sintetis yang terbuat dari campuran antara I molar glukosa.
perbandingan 6 : 2.2 : 1.8 dalam
molar glisin dan 0.5 molar Na2CO, dengan liter larutan. Call1puran terse but kel11udian diotoklaf selama 3 jam dan didialisis selama empat hari dengan air bebas Ion. Dialisis diperlukan untuk menghasilkan melanoidin yang tidak lagi tcrdialisis.
B. TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kemampuan bentonit jenis Koleang, Kebon Awi dan Tonsil untuk mengadsorpsi warna pada limbah cair yang mengandung melanoidin dan melakukan estimasi terhadap biaya preparasi (pengadaan) bentonit pada skala yang lebih besar.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BENTON IT
Bentonit adalah nama perdagangan untuk sejenis lempung yang mengandung lebih dari 85 persen mineral monmorilonit (Grim, 1968). Rumus kimia penyusun monmorillonite adalah AI203.4Si02.5H20.
Bentonit adalah sejenis tanah pemucat yang mempunyai sifat daya serap yang aktif baik dalam bentuk alami maupun setelah proses pengaktifan. Berdasarkan teori Davis dan Messer, keaktifan suatu tanah pemucat tergantung dari rasio Si02 dengan A1203. Bila rasio itu cukup besar maka daya serapnya semakin besar. Selain itu tanah pemucat yang baik adalah tanah yang tidak mengandung garam-garaman yang lamt dalam air serta mempunyai derajat keasaman sekitar pH 6.5 - 7.5. Komposisi kimia dan komposisi mineral bentonit Koleang dan Kebon Awi disajikan pada Tabel 1.
Tabel I. Komposisi kimiawi dan komponen mineral bentonit Koleang dan Kebon Awi *.
Jenis Bentonit Komposisi kimiawi -(persen) Komponen mineral Si02 AI203
Koleang 58.55 20.30 Montmoril1onite, Kuarsa
Kebon Awi 52.7 25.15 Montmoril1onite. Kuarsa. Mika dan Kristoballite
*Wldlastutl, (1995).
Komposisi monmorilonit berbeda dari bentonit yang satu dengan yang lainnya, kandungan elemennya tergantung pada proses terbentuknya di alam. Sifat-sifat bentonit dapat digambarkan sebagai berikut :
I. Berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan tergantung dari j enis dan fragmen mineral yang dikandungnya.
2. Bersifat sangat lunak, ringan, mudah pecah terasa seperti sabun, mudah menyerap air dan dapat dipakai sebagai penukar ion (ion exchange).
3. Beratjenis bentonit berkisar antara 2.4 - 2.8 g/cm3 (Anonim, 1987).
Menurut Anwar et aI., (1983), bentonit pada umumnya dapat digolongkan dalam dua jenis :
I. lenis yang volumenya tidak mengembang di dalam air, atau disebut Ca-Mg bentonit. Bentonit ini digunakan sebagai pengisap dan zat pembawa dan zat pemisah dalam penghilangan minyak bumi, zat pemutih (penghilang warna). 2. lenis yang volumenya dapat mengembang di dalam air, atau disebut sebagai
Na-bentonit yang digunakan sebagai lumpur pembilas dalam pengeboran. Jenis kalsium-magnesium bentonit mengandung relatif lebih banyak IOn Mg dan Ca dibanding ion Na, sifatnya dapat menyerap air (tidak membentuk suspensi) dan pH-nya adalah sekitar 4 - 7. Natrium bentonit mengandung relatif lebih banyak ion Na dibandingkan ion Mg dan Ca. Suspensi dari bentonit ini didalam air mempunyai kisaran pH antara 8.5 - 9.8 (Anonim, 1987).
Aktivasi dilakukan terhadap bentonit untuk mengurangi kadar air, sehingga diharapkan daya serap bentonit optimal. Kondisi suhu aktivasi dengan pemanasan yang optimal untuk bentonit dari jenis Koleang adalah 50°C selama 4 jam, sedangkan untuk jenis yang berasal dari Kebon Awi pada suhu 200°C selama 6 jam. Proses aktivasi meningkatkan kandungan silika bentonit Koleang dari 58.55 persen menjadi 60.50 persen, dan bentonit Kebon Awi dari 52.70 persen menjadi 55.95 persen (Widiastuti, 1995).
Bahan yang dapat dipakai sebagai adsorben dalam khromatografi cairan-padatan tidak banyak dan yang paling dikenal adalah silika gel (.')i02) dan
alumina (AllO~. Daya adsorpsi dari bahan tergantung dari sifat kimia permukaannya, luas relatif permukaannya, dan perlakuan pendahuluannya.
5 Aktivitas alumina dapat diatur dengan mengubah kandungan airnya. Adsorben ini dapat dikeringkan selama 5 jam pada suhu 3600
C dan membiarkan bahan kering ini menyerap sejumlah tertentu air (Nur dan Adijuwana, 1989).
B. MELANOIDIN
Melanoidin adalah suatu senyawa organik yang terbentuk dari reaksi
non-enzymatic Maillard antara gula dan asam amino. Melanoidin sintetis dibuat dengan melarutkan I molar glukosa, I molar glisin dan 0.5 molar Na2CO] dengan perbandingan 6: 2.2 : 1.8 dalam I liter air bebas ion dan diotoklaf selama 3 jam. Melanoidin adalah senyawa turunan dari asam amino yang memiliki sifat asam yang disebabkan oleh keberadaan gugus hidroksil enolie dan gugus karboksil (Davidek et aI., 1990).
Pembentukan pigmen coklat dan melanoidin pertama kali ditemukan oleh ahli kimia Prancis Louis Maillard pada tahun 1912 dengan memanaskan larutan yang mengandung glukosa dan asam amino lisin. Reaksi tersebut melibatkan gugus amino dan gugus karbonil yang biasa terdapat pada bahan pangan. Secara umum reaksi pembentukan melanodin dapat dilihat pada Gambar I. (Eskin, 1990).
Struktur kimia dan karakteristik melanoidin secara lengkap dan pasti belum diketahui, untuk kebutuhan anal isis digunakan melanoidin sintetis yang telah diketahui bermuatan negatif, memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air, non volatil dan memiliki adsorpsi maksimum pada panjang gelombang 297 nm. Rumus empirik melanoidin tergantung dari komponen pembentuknya dapat tampak pada Tabel2. (Migo et aI., 1993b).
Sifat secara kimiawi dan fisiologi, melanoidin merupakan senyawa yang relatif Iembam dan bersifat antioksidan dalam sistem larutan. Warna yang timbul
AldosaJ
N-Substitutedl glycosylamin".J -H 0 Amadori + senyawa a~ino 2 rearrangement 1-amino-1-I
deoxy-2-ketos~/ H , o
1
-2H,o
I
Schiffs base ofl
HMF atau furfura!J reduktones
fission products (acetol, diacetyl, pyruvaldehyde, etc) . - senyawa amino + H20 +2 H -2 H gula
I
Ic-HccM-cF=-a-ta-u-L~ ! furfural...J I ,I
dehydroreductonesI
I I/
+ senyawa amino\
aldols dan polimer bebas N i + senyawa amino + senyawa amino L.. _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ strecker degradation a5am alfa-amin - CO, aldehida + senyaw amino + senyawa amino!
melanoid ins I: brown nitogenous polymers dan copolymers ;
L ______________ . ________ _
7
merupakan hasil dari reaksi antara gula dengan gugus karbonil yang mengandung asam amino melalui ikatan nitrogen (Davidek et aI., 1990).
Tabel 2. Pendekatan formula empiris melanoidin.
Struktur kimia empiris Sumber melanoidin
C6H6402N(CH2)(C02H)05 GIukosa : Glisin
=
I : 10(CnHI3sN057lJO.6 I M Glukosa : I M Glisin : 0.2 M Natrium bikarbonat (6 : 3 : 1)
C I7_IS H26_2701ON Dialisis molases tebu
C. KONSEP ADSORPSI
Adsorpsi secara umum didefinisikan sebagai suatu proses pengumpulan bahan tedarut dalam suatu sistem larutan pada bagian interface (antar-muka) yang bersesuaian. Antar muka tersebut dapat berupa antara cairan dan gas, padatan atau cairan lainnya. Tahapan proses adsorpsi terdiri dari 3 tahapan ; makrotransport, mikrotransport dan sorpsi. Makrotransport melibatkan gerakan bahan organik ke lapisan antar permukaan padatan-Iarutan melalui difusi. Mikrotransport melibatkan mekanisme difusi bahan organik melewati sistem makropori ke bidang adsorpsi pada permukaan granula adsorben. Tahapan terakhir adalah sorpsi, apabila laju sorpsi sama dengan laju desorpsi maka kesetimbangan adsorpsi telah dicapai (Metcalf dan Eddy, 1991).
Adsorpsi secara umum dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu secara fisik, kimiawi dan adsorpsi pertukaran ion (exchange adsorpsion). Adsorpsi secara fisik disebabkan oleh gaya tarik yang lemah atau gaya Van der Walls antara kedua molekul. Molekul yang diadsorpsi bebas bergerak di sekitar permukaan adsorben. Adsorpsi secara fisik umumnya bersifat reversibel, Adsorpsi secara kimiawi dihasilkan oleh gaya yang cukup kuat, dalam keadaan
normal senyawa yang diadsorpsi membentuk lapisan di atas permukaan adsorben pada ketebalan tertentu. Sifat molekul yang diadsorpsi tidak dapat bergerak bebas dari sisi yang satu ke sisi yang lain dari permukaan adsorben, bila permukaan adsorben diselubungi oleh lapisan molekul sejenis (monomoleculer), maka kapasitas adsorben telah mencapai jenuh. Adsorpsi kimiawi seperti ini jarang bersifat reversibel. Exchange adsorpsion merupakan mekanisme adsorpsi yang disebabkan oleh gaya tarik listrik antara adsorbat dan adsorben. proses penukaran ion merupakan salah satu bentuk Exchange adsorpsion. Ion dari substansi adsorbat mengumpul pada permukaan melalui gaya elektrostatik terhadap muatan listrik yang berbeda. Ion dengan muatan yang lebih besar seperti halnya ion trivalen akan memiliki gaya tarik listrik yang lebih besar bi la dibanding ion yang muatannya lebih kecil terhadap muatan yang berbeda (Sawyer and McCarty, 1978).
Waktu kontak untuk mencapai kesetimbangan adsorpsi pertama kali harus dievaluasi. Evaluasi awal dengan menguji waktu kontak 24 jam. apabila nilai kesetimbangan setelah 2 jam waktu kontak lebih besar 90 persen dari nilai waktu kontak 24 jam, maka waktu kontak 2 jam dapat digunakan sebagai acuan lamanya kontak. Hubungan antara waktu kontak dan konsentrasi akhir adsorbat yang dicapai dapat dilihat pada Gambar 2. (Eckenfelder, 1989).
Konsentrasi akhir adsorbat (persen)
o
'---t----i'---t-I t -Waktu kontakGambar 2. Kurva hubungan antara waktu kontak dan konsentrasi akhir yang dicapai.
9
lumlah adsorbat yang diserap oleh adsorben merupakan fungsi dari konsentrasi adsorbat dan suhu. Umumnya jumlah bahan yang diserap dihitung sebagai fungsi dari konsentrasi pada temperatur tetap. Secara matematik oleh Freundlich telah dikembangkan dan dapat dinyatakan sebagai berikut :
(x/m) = Kf . el/n
dim ana :
x
=
jumlah zat yang diadsorpsi (gram) m=
jumlah adsorben (gram)e
= konsentrasi zat yang terlarut sisa setelah proses adsorpsi pada keadaan setimbang (gram/liter)Kf (l/gram) dan lin adalah konstanta empiris
(Metcalf dan Eddy, 1991).
N ilai Kr berhubungan dengan kapasi tas adsorpsi, dan lin merupakan indikator dari intensitas adsorpsi. Menurut Eckenfelder (1981) kegunaan isoterm
Freundlich adalah memberikan informasi cukup penting, antara lain:
I. memberikan gambaran mengenai adsorbilitas atau afinitas relatif suatu komponen adsorben tertentu
2. jumlah adsorben yang dibutuhkan pada pencapaian kesetimbangan adsorpsi 3. untuk mengetahui derajat penyerapan adsorben pada saat pencapaian
kesetimbangan adsorpsi.
Selanjutnya dikatakan bahwa isoterm Langmuir lebih teoritis bila digunakan dalam adsorpsi pada fasa gas. kadang-kadang dipergunakan dalam aplikasi terhadap penanganan limbah. Rumusan yang paling umum digunakan untuk adsorpsi adalah isoterm Freundlich.
Kapasitas adsorpsi pada saat tepat akan jenuh (x/m)b pada skala penuh dari sistem kolom adsorpsi tunggal dapat diasumsikan mendekati 25 sampai 50 persen dari kapasitas teoritis adsorpsi (x/m)". Bila kapasitas adsorpsi pada keadaan
jenuh diketahui, maka waktu breakthrough (tb) dapat dihitung dengan asumsi konsentrasi influen tetap dan kenaikan konsentrasi efluen linier sampai pada konsentrasi breakthrough (Cb) sebagai berikut :
(Xlm)bM tb=
-Q[(Ci - Cb I 2)]
dimana:
(Xlm)b isoterm Freundlich bagi adsorben (gIg)
Q
=
laju alir influen yang masuk ke kolom (ml/menit) tb=
waktu proses yang diperlukan sampai adsorbentepat saat akanjenuh (menit)
Ci
=
konsentrasi influen yang masuk ke kolom (gIl) Cb konsentrasi efluen yang keluar dari kolom pada saattepat akan jenuh (gIl)
M
=
massa dari adsorben yang digunakan (gram) (Metcalf dan Eddy, 1991).Breakpoint didifinisikan sebagai titik volume atau waktu dimana cairan yang dilewatkan pada kolom adsorpsi tepat saat konsentrasi efluen akan mencapal maksimum. bila zone adsorpsi bergerak ke bagian bawah hed adsorben, konsentrasi efluen meningkat secara linier hingga breakpoint dan akhirnya konsentrasi efluen sarna dengan konsentrasi influen seperti yang disajikan pada Gambar 3. Titik kejenuhan akan semakin cepat dicapai apabila ketinggian bed diperkecil, ukuran partikel adsorben. laju alir influen dan konsentrasi limbah cair ditingkatkan (Eckenfelder. 1989).
II
Ce/Ci 1.0
0.5
Breakpoint
o
Waktu atau VolumeGambar 3. Kurva kejenuhan kolom adsorpsifixed bed (Eckenfelder, 1981).
D. PENANGANAN LlMBAH CAlR
Penanganan limbah cair secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu penanganan primer, sekunder dan tersier. Pada penanganan primer limbah cair dipersiapkan untuk memasuki penanganan biologis, terdiri dari tahap penyaringan (screening) untuk memisahkan padatan yang berukuran besar dan pasir, tahap equalisasi untuk menyeragamkan variasi konsentrasi dan laju alir, tahap netralisasi diperlukan setelah proses equalisasi untuk mencapai pH yang dikehendaki. tahap flotasi bertujuan untuk memisahkan bahan minyak dan lemak serta padatan tersuspensi, dan terakhir adalah tahap sedimentasi dan filtrasi. Penanganan sekunder adalah proses degradasi biologis melalui proses lumpur aktif. Setelah melalui proses degradasi ini mikroorganisme dan padatan yang terbawa dalam lumpur diendapkan, sebagian lumpur dikembalikan pada proses tertentu, tetapi akan dibuang pada akhir proses (Eckenfelder, \989).
Selanjutnya, penanganan secara tersier diperlukan setelah penanganan biologis agar menghilangkan tipe-tipe residu tertentu, seperti logam-logam be rat dan bahan- organik yang tak terdegradasi. Sistem penanganan tersier masih
dirasa cukup mahal, diantara rangkaian penanganan tersier adalah adsorpsi dan oksidasi kimiawi.
Adsorpsi merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menghilangkan bahan-bahan organik yang masih tertinggal setelah melewati tahap penanganan sekunder. Adsorpsi adalah proses akumulasi materi terlarut pada antar permukaan zat dan juga merupakan proses transfer massa dimana massa yang ditransfer berasal dari fasa cairan ke permukaan fasa padatan melalui ikatan kimia atau gaya fisik (Davis and Cornwell, 1991).
Limbah cair industri kebanyakan mengandung bahan organik yang sulit dihilangkan dengan penanganan biologis konvensional. Adsorpsi dengan menggunakan karbon aktif merupakan adsorben paling umum digunakan (Eckenfelder, 1989). Dosis karbon aktif yang digunakan umumnya berkisar pada 200 - 50.000 mg/l untuk mengadsorpsi limbah cair yang belum diketahui. sedangkan volume larutan adsorbat yang digunakan untuk penentuan isoterm Freundlich berkisar antara 100 - 500 ml (Eckenfelder, 1981).
III. BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALA T 1. Bahan
Bahan baku yang dipergunakan adalah tiga jenis produk bentonit yaitu. Koleang 8 dan 60 mesh, Kebon Awi 8 dan 60 mesh (nama bentonit berdasarkan daerah asalnya, yaitu dari kawasan Ciampea, Bogor), Tonsil 200 mesh (imporl dan arang aktif 300 mesh.
2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian lDl antara lain spektrofotometer Spectronic-20, magnetic stirrer, timbangan, sentrifuse, tanur, erlenmeyer, pipet, kertas saring dan kolom adsorpsi dengan diameter 2.5 em dan panjang 35 em.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan terdiri dua tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.
1. Penelitian Pendahuluan
a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Melanoidin
Dilakukan pengukuran adsorbansi dengan spektrofotometer terhadap melanoidin (10 gil) pada berbagai panjang gelombang. Panjang gelombang
yang memiliki nilai adsorbansi maksimum dipilih sebagai panJang gelombang maksimum yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
b. Penetapan Kurva Standar Konsentrasi Melanoidin
Dilakukan pengukuran adsorbansi pada konsentrasi melanoidin 10, 12, 14, 16, 18 dan 20 gil pada spektrofotometer. Kurva standar diperoleh melalui regresi linier terhadap plot antara konsentrasi dan adsorbansi.
C. Penentuan waktu kontak
Sebanyak 2 gram bentonit ditempatkan pada erlenmeyer yang telah berisi 100 ml melanoidin dengan konsentrasi 100 gil (telah ditentukan absorbansinya). Untuk arang aktif (300 mesh) ditimbang sebanyak 0.3 gram, kemudian dicampurkan dengan melanoidin 100 ml (100 gil). Tahap selanjutnya adalah pengadukan campuran. kemudian waktu pengadukan dievaluasi dengan menggunakan 10 taraf selang waktu yang ditetapkan dari
o
sampai 24 jam. Evaluasi waktu kontak dilakukan terhadap ketiga jenis bentonit yang diteliti, begitu pula terhadap arang aktif. Waktu kontak yang dipilih adalah waktu kontak yang menghasilkan dekolorisasi maksimum. Secara umum metode penentuan waktu kontak dapat dilihat pada Lampiran 8.d. Penentuan nilai K,dan 11n
Sebanyak 0.3, 0.7, 1.0, 1.3, 1.7 dan 2 gram bentonit ditempatkan dalam masing-masing erlenmeyer (dalam 6 erlenmeyer 500 mIl. Ditambahkan 100 mililiter melanoidin pada setiap erlenmeyer dengan konsentrasi 60 gil. Campuran tersebut diaduk selama waktu kontak yang telah ditentukan sebelumnya agar dicapai kesetimbangan. Untuk semua
15 bentonit diaduk selama waktu yang telah ditetapkan pada penelitian pendahuluan. Campuran tersebut disaring setelah pengadukan selesai. Adsorbansi filtrat tersebut diukur sebagai adsorbansi akhir.
Konsentrasi melanoidin (gil) dapat ditentukan dengan menggunakan kurva standar konsentrasi melanoidin. Nilai (x/m) dan nilai C dapat ditentukan sebagai berikut :
x = berat melanoidin awal - berat melanoidin akhir (gram) C = konsentrasi akhir pada saat kesetimbangan adsorpsi (gil) m = massa adsorben yang digunakan (gram)
Langkah selanjutnya adalah membuat plot antara log(xlm) dan log{Cc) untuk menentukan Kr dan lin (lin sebagai gradien kurva dan log (Kr) dari intersep kurva). Penentuan ini dilakukan terhadap semua jenis bentonit yang diteliti. Dilakukan pula pengukuran terhadap arang aktif tetapi dengan berat 0.05, 0.1, 0.15, 0.2, 0.25 dan 0.3 gram yang ditempatkan pada 6 erlenmeyer 500 mililiter dan kemudian dilakukan langkah seperti diatas.
2. Penelitian Utama
Penelitian utama bertujuan untuk mengukur breakthrough time (tb )
dengan mengasumsikan bahwa konsentrasi influen tetap dan konsentrasi etluen naik seeara linier sampai pada breakpoint. Sistem kolom adsorpsi yang digunakan dengan tinggi bed adsorben 2 em, panjang kolom adsorpsi 35 em, dengan diameter sebesar 2.5 em. Laju alir influen melanoidin (Q) ditetapkan berdasarkan kemampuan filtrasi bed adsorben.
Kinerja kolom adsorpsi dapat diketahui dengan melewatkan sejumlah 2 liter melanoidin sintetis dengan konsentrasi awal 60 gil (sebagai Ci ) seeara
kontinyu pada kolom adsorpsi. Sampling dilakukan setiap kenaikan volume 50 mililiter sekaligus dihitung waktu kontak untuk setiap kenaikan 50 mililiter. Pada setiap kenaikan 50 mililiter sam pel efluen, dilakukan pengukuran
adsorbansi dengan spektrofotometer. Nilai adsorbansi dikonversi ke dalam satuan konsentrasi (sebagai konsentrasi efluen, Ce) melalui kurva standar konsentrasi melanoidin. Kurva kejenuhan didapatkan dengan memplotkan titik CelCi terhadap kenaikan volume sample efluen.
Breakthrough time dicapai pada saat konsentrasi efluen melanoidin (Ce)
!epat saat akan jenuh. Skema peralatan kolom adsorpsi dapat dilihat pada Lampiran 9.
Prosedur pengamatan :
Sebanyak 5 ml sampel efluen ditempatkan pada kuvet yang diambil pada setiap kenaikan volume efluen 50 mililiter sekali. Adsorbansi sampel tersebut diukur dengan menggunakan alat Spectronic-20, pengukuran sampel dengan menggunakan panjang gelombang yang telah ditentukan sebelumnya. Langkah berikutnya nilai adsorbansi dikonversi ke dalam satuan konsentrasi (gil) melanoidin dengan kurva standar konsentrasi yang telah ditentukan sebelumnya. Dekolorisasi pada breakthrough time dihitung dengan rum us sebagai berikut :
Dekolorisasi (%) = [(Ci - Cb)/Cil x 100
Rasio antara konsentrasi efluen dan influen (Ce/Ci) digunakan untuk
plotting pada kurva kejenuhan. Konsentrasi, waktu dan volume pada
breakpoint dapa! ditentukan dari kurva hubungan volume efluen dengan C/Ci
atau kurva hubungan waktu kontak dengan rasio CiCio Breakpoint merupakan titik dimana rasio Ce/Ci mulai meningkat tajam.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PENELITIAN PENDAHULUAN
1. Penentuan Waktu Kontak Optimal
Pencapaian kesetimbangan dalam sistem adsorpsi (steady state) melanoidin tergantung dari lamanya kontak (contact-time) antara adsorbat dan adsorben bentonit, ukuran partikel adsorben bentonit dan banyaknya adsorben yang digunakan. Bentonit yang digunakan terdiri dari tiga jenis, yaitu dari daerah Koleang, Kebon Awi berukuran 60 mesh dan Tonsil (impor) yang berukuran 200 mesh serta arang aktif berukuran 300 mesh. Bentonit jenis Koleang dan jenis Kebon awi terlebih dahulu diaktivasi dengan pemanasan masing-masing pada suhu 50 DC selama 4 jam dan pada suhu 200 DC selama 6 jam. Waktu kontak untuk pencapaian kesetimbangan perlu dievaluasi dalam interval waktu antara 0 sampai 24 jam dengan sistem pengadukan. Untuk pengujian awal dilakukan pengadukan selama 24 jam waktu kontak, dan dibandingkan dengan pengadukan dengan waktu kontak 2 jam.
Evaluasi dilakukan untuk mendapatkan waktu kontak yang optimal dari masing-masing bentonit yang diteliti. Kesetimbangan dicapai pada saat kapasitas adsorpsi bentonit menurun, semakin lama kontak antara adsorbat dengan adsorben maka semakin sempurna untuk mencapai keadaan setimbang.
Melanoidin sintetis digunakan sebagai bahan (adsorbat) yang diadsorbsi oleh bentonit. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa panjang gelombang bagi melanoidin yang memberikan adsorbansi maksimum adalah pada Ie = 335 nm (Lampiran I), sedangkan kurva standar bagi konsentrasi melanoidin dapat dilihat pada Lampiran 2, sebanyak 100 ml limbah cair yang melanoidin dengan konsentrasi 100 gil ditambahkan bentonit sebanyak 2 persen dari be rat limbah
cair keseluruhan, kemudian dilakukan pengadukan pada taraf waktu dari 0 sampai 24 jam. Taraf waktu kontak 2 jam (120 menit) digunakan sebagai pembanding terhadap tarafwaktu kontak 24 jam.
Waktu kontak yang optimal digunakan sebagai acuan lamanya pengadukan untuk penentuan lsoterm Freundlich dari masing-masing benton it. Penentuan waktu kontak yang optimal didasarkan pada pengukuran efesiensi dekolorisasi (penghilangan warna) yang tertinggi diantara perlakuan taraf-taraf waktu kontak, seperti yang disajikan pada Lampiran 3. Pengujian statistika pada hasil evaluasi waktu pengadukan menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda nyata terhadap konsentrasi akhir maksimum yang dicapai.
Kurva adsorpsi bentonit Tonsil terhadap melanoidin dapat dilihat pada Gambar 4. Waktu kontak yang optimum bagi pengadukan bentonit Tonsil dan melanoidin adalah 2 jam. Konsentrasi akhir maksimum yang dapat dicapai pada waktu kontak 6 jam adalah sebesar 55.23 persen. Konsentrasi akhir yang dicapai berfluktuasi untuk setiap selang waktu karena daya adsorpsi oleh permukaan partikel bentonit telah berkurang pada saat melewati titik jenuh, sehingga terjadi desorpsi.
Kurva adsorpsi benton it jenis Koleang pada Gambar 5. menunjukkan gejala fluktuasi yang serupa, sehingga dipilih waktu kontak 2 jam untuk pengadukan melanoidin dengan bentonit jenis Koleang. Persentase dekolorisasi maksimum dicapai pada waktu kontak 6 jam yaitu sebesar 23.23 persen atau mencapai konsentrasi akhir sebesar 76.78 persen.
Konsentrasl meianoidin athlr ipersen) 19 120,---100 80 60 40 20
'Wa~lu kcntak cpijmum '" 120 menit Kcnsentriui a~lIif maksimum '" 5922 %
o
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30Waktu kontak (jam)
Gambar 4. Kurva adsorpsi bentonit jenis Tonsil terhadap melanoidin
Konsentrasi
,e) anoi di n ath i r i perm)
1 2 0 , - - - , Waktu kCl\ta~ optimum'" 120 menit
Kcnsenhsi akllir maksimum • 78.89 'it 100-'-- /
80-~~~
__ - 60+-40 I- 20-1-O~rH.++,~~++r,H4++~4+++H4++~HK"T++~~+t~·~,+++rH4++~o
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30Waktu kontak (jam)
Konlentrali me! anoi di n athir (persen) 120.---. 100 80 60 40 20
Waklu konlak optimum' 10 menil
Konsen~asi athir maksimum ' 86.85 ,
o
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30Waktu kentak (jam)
Gambar 6. Kurva adsorpsi bentonit jenis Kebon Awi terhadap melanoidin Konsentrasi me! ano; di n akhir (persen! 120,---, 100+ 80 -60 40+ 20+
\
Waktu kontak optimum. 120 menitkonsenlnsi akhir maksimum ,. 51."'6 %
o
O~~~~d~"~~.+r'~H+~~+r~~'.J+H'~'~.+r'~H+.~'+.~'~
2 4 6 8 1 0 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Waktu Kentak (jam)
21 Perilaku kurva adsorpsi bentonit jenis Kebon awi secara umum memiliki kapasitas adsorpsi yang kecil bila dibandingkan dengan bentonit jenis Tonsil danjenis Koleang. Pada Gambar 6. terlihat bahwa konsentrasi akhir maksimum yang bisa dicapai adalah 83.34 persen pada waktu kontak 2 jam, namun uji statistika menunjukkan bahwa waktu kontak 10 menit sangat tidak berbeda nyata dengan waktu kontak 30 dan 60 menit dan demikian pula dengan waktu kontak 2, 6 dan 24 jam. Waktu kontak yang optimal untuk pengadukan melanoidin dengan bentonit jenis Kebon Awi adalah 10 menit.
Kurva adsorpsi arang aktif menunj ukkan nilai penurunan warna yang lebih baik. Berdasarkan uji statistika, waktu kontak yang optimum adalah pada 2 jam. Kurva adsorpsi karbon aktif terhadap melanoidin dapat dilihat pada Dambar 7. Konsentrasi akhir maksimum sebesar 51.46 persen dicapai pada waktu kontak 2 jam dengan dekolorisasi sebesar 48.54 persen. Waktu kontak untuk pengadukan melanoidin dengan arang aktif adalah 2 jam.
Efesiensi dekolorisasi tertinggi dicapai oleh arang aktif, walaupun jumlah adsorben arang aktif yang ditambahkan lebih keciL Disusul kemudian oleh bentonitjenis Tonsil, Koleang dan Kebon Awi. Efesiensi dekolorisasi terhadap melanoidin pada waktu kontak optimum untuk bentonit Tonsil adalah 40.78 persen, Koleang 2UI persen dan Kebon Awi 13.15 persen. Arang aktif mampu menurunkan warna hingga 48.54 persen pada pengadukan 0.3 gram arang aktif dengan 100 mililiter melanoidin (lOOg/I).
2. Penentuan nilai K, dan 1/n
Harga Kr dan lin betonit berbeda-beda tergantung dari jenis bentonit yang digunakan dan sifat dari adsorbat melanoidin yang diadsorpsi. Perbedaan ini disebabkan oleh keaktifan masing-masing bentonit berbeda-beda. Hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan waktu kontak diperoleh efesiensi dekolorisasi tertinggi dicapai oleh arang aktif yang disusul oleh bentonit jenis
TonsiL Kecendrungan sifat adsorpsi arang aktif dan bentonit Tonsil dapat dilihat dari kurva isolerm Freundlich pada Gambar 8. Kedudukan kurva isoterm arang aktif berada diatas semua kurva isoterm bentonit. F enomena tersebut menunjukkan bahwa kapasitas dan intensitas adsorpsi berbeda-beda menurut jenis adsorben. Kapasitas adsorpsi adalah jumlah gram bahan yang diadsorpsi per gram adsorben pada keadaan setimbang dengan konsentrasi awal larutan.
Persamaan isolerm Freundlich yang didapat dari percobaan digunakan
sebagai acuan untuk menentukan berat minimum adsorben pada kolom adsorpsi pada saat adsorben mencapai titik tepat saat akan jenuh (breakthrough lime).
Konstanta Kr dan lin yang diperoleh dari regresi kurva merupakan nilai
empiris, sedangkan yang dipakai sebagai acuan untuk penentuan berat adsorben minimum pada kolom adsorpsi adalah antara 25 sampai 50 persen dari hasil pengukuran empiris. Gradien kurva yang didapat merupakan nilai konstanta lin, sedangkan instersep merupakan Log Kr. Nilai Kr bersifat unik, tergantung dari jenis adsorben bentonit dan adsorbat yang diserap. Nilai Kr dan lin dari masing-masing bentonit disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Kr dan lin untuk berbagai adsorben
Jenis adsorben Kr (I1g) lin
Koleang 0.048 0.838
Kebon awi 0.050 0.785
Tonsil 0.046 0.866
Arang aktif 0.251 1.329
Gradien kurva isoterm yang curam menunjukkan besarnya fraksi melanoidin yang diserap per gram adsorben yang diberikan. Fenomena terse but juga dapat menjelaskan bahwa bila ditarik garis vertikal yang tegak lurus dengan sumbu Log Ce, akan didapatkan nilai Log (x/m) arang aktif lebih besar
23 disusul oleh Tonsil kemudian oleh jenis bentonit Koleang dan Kebon awi. Pola kedudukan kurva yang lebih tinggi menunjukkan bahwa Log (x/mlcarbon aktirLog (xlmhonsil>Log (x/m)Koleang>Log (xlm)Kebon Awi, sehingga dapat dijelaskan pula bahwa untuk mencapai kedudukan konsentrasi akhir Ce yang sarna, dengan berat adsorben yang digunakan sarna jumlahnya, maka urutan besarnya gram melanoidin yang diserap per gram bentonit adalab Xkarbon akti!" >
Xtonsil> Xkoleang> XKebon Awi"
log (x/m)
5~---~ Karbon aktif 4 3Tonsil
21
Koleang/
Kebon Awi
04---~---~~---~ -1 -2 -H-H--H-++++++H--I-H-H-+-+++++J-+..f+-I++++++++++1o
0.5 1.5 2 2.5 3 3.5 4log (Ge)
Nilai Kr bersifat unik, tergantung dari Jems adsorben bentonit dan adsorbat yang diserap. Pengukuran adsorpsi melanoidin dalam penentuan persamaan isoterm Freundlich masing-masing adsorben pada suhu kamar (2Soq.
Kapasitas adsorpsi masing-masing adsorben dapat ditentukan dengan menarik garis vertikal pada sumbu Log Ce dari titik konsentrasi awal 60 gil,
kemudian ditarik garis horisontal ke arah sumbu Log (x/m) hingga didapatkan jumlah melanoidin yang diserap per satuan berat berat adsorben pada keadaan setimbang dengan konsentrasi awal. Pada kurva isoterm Freundlich didapatkan kapasitas adsorpsi dari yang tertinggi ke yang terendah untuk arang aktif adalah 57.92, Tonsil 1.59, Koleang 1.48 dan Kebon Awi 1.24 (dalam unit gram adsorbat per gram adsorben).
B. PENELITIAN UTAMA
1. Kondisi Operasi
Penelitian utama dilakukan dengan menempatkan adsorben bentonit pada kolom adsorpsi. Bentonit dalam hal ini bertindak sebagai adsorben. Kondisi Operasi kolom dari berbagai adsorben yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 4. Sifat aliran limbah cair melanoid in kedalam kolom adalah down flow, yaitu aliran kebawah dengan sistem gravitasi. Debit influen disesuaikan dengan kemampuan filtrasi limbah cair melanoidin ke dalam butiran bed yang digunakan pada kolom. sehingga diharapkan tidak terjadi akumulasi cairan pada kolom.
25 Tabel 4. Kondisi operasi sistem kolom adsorpsi berbagai bed adsorben
Melanoidin Adsorben
.
Jenis bed
Konsentra Debit Tinggi Diameter Sistem adsorben
si influen, influen,
Q
bed kolom aliran C.(gll) (mllmenit) (cm) (cm) influenKoleang 60 1.23 2 2.5 downJlow
Kebon Awi 60 1.23 2 2.5 downJlow
Tonsil 60 0.15 2 2.5 downJlow
Arang aktif 60 0.13 2 2.5 downJlow
2. Waktu Kontak
Penetapan waktu kontak didasarkan pada Empty Bed Contact Time (EBCT), yaitu berdasarkan debit influen dibagi dengan volume bed adsorben pada kolom dalam keadaan kosong. Waktu kontak untuk sistem kolom bentonit Koleang dan Kebon Awi adalah 7.98 menit. Sedangkan untuk Tonsil dan arang aktifmasing-masing adalah 65.47 menit dan 75.54 menit.
Pengamatan terhadap waktu kontak yang dihitung dari setiap kenaikan volume efluen 50 mililiter menunjukkan kecendrungan semakin melebarnya waktu kontak. Hal ini merupakan pengaruh dari mengecilnya ruang filtrasi bagi cairan melanoidin sebagai akibat hancurnya butiran bentonit yang kemudian menutupijalan bagi filtrasi melanoidin, disamping itu kemampuan adsorpsi dari bentonit dan arang aktif semakin menurun dengan meningkatnya waktu pengoperasian kolom adsorpsi.
Kurva hubungan antara raslo konsentrasi efluen dan influen (Ce/Ci) versus waktu kontak dapat digunakan untuk pendugaan breakthrough time
preferensi meningkatnya konsentrasi efluen pada setiap waktu. Hal 1111 menunjukkan pola menuju pada keadaan jenuh sempurna, titik breakthrough diperoleh dari titik dimana konsentrasi efluen atau Ce/Ci mulai meningkat tajam. Dalam jangka waktu yang lama akan mencapai kejenuhan sempurna dimana Ce/Ci akan mendekati nilai 1.0.
Tabel5. Kemampuan adsorpsi maksimum dan breakthrough time
JeDis bed Dekolorisasi (perseD) Breakthrough time, tb (jam) adsorbeD
Koleang 84 2.08
KeboD Awi 85 0.66
Tonsil 91 32.83
Arang aktif 86 69.25
Karakteristik kurva kejenuhan sebagai hubungan antara rasio Ce/Ci dan waktu kontak sistem kolom dengan adsorben jenis Koleang dapat dilihat pada Gambar 9. Kekeruhan efluen mulai terjadi pada volume 10 mililiter. sedangkan sebelumnya penampakan efluen adalah jernih, sehiDgga pengukuran adsorbansi dimulai pada volume tersebut saat 0.14 jam operasi. Titik waktu tepat saat akan jenuh (tb) untuk sistem kolom adsorpsi bentonit Koleang adalah pada 2.08 jam operasi. Pada kedudukan titik ini rasio Ce/Ci adalah sebesar 0.16, dan tingkat dekolorisasi pada saat itu sebesar 84 persen, tetapi dapat mencapai efesiensi dekolorisasi 88 persen pada jam ke 0.68 operasi. Informasi yang didapat dari kurva Gambar 9 terse but adalah bahwa pada jam ke 2.08 waktu operasi, adalah merupakan titik penggantian adsorben yang baru, mengingat kemampuan adsorpsi yang semakin menurun. Kemampuan adsorpsi maksimum yang didasarkan pada persentase melanoidin yang diserap hingga tepat saat akan jcnuh dan breakthrough time dapat dilihat pada Tabel 5.
Ce/Ci 0.5,---, 0.4 0.3 0.2 Breakpoint
Waktu breakthrough = 2.08 jam 0.1
o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu kontak Gam)
Gambar 9. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Koleang sebagai hubungan an tara waktu kontak dan rasio Ce/Ci
Ce/Ci 0.6,---, 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1
o
2 4 BreakpointWaktu breakthrough =- 0.66 jam
6 8 1 0 1 2 14 1 6 1 8 20 22 24
Waktu kontak (jam)
27
Gambar lO. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Kebon Awi sebagai hubungan antat'a waktu kontak dan rasio Ce/Ci
Karakteristik kurva kejenuhan sistem kolom bentonit Kebon Awi dapat dilihat pada Gambar 10. Kecendrungan melebarnya waktu kontak per kenaikan volume efluen 50 militerdialami juga oleh sistem kolom tersebut. Titik waktu tepat saat akan jenuh adalah pad a 0.66 jam. Rasio Ce/Ci pada saat itu adalah sebesar 0.15, ini berarti pada saat tersebut kemampuan adsorpsi terhadap mdanoidin mencapai 85 persen, tetapi bisa mencapai 86 persen pada saat 0.26 jam operasi. Rasio Ce/Ci meningkat dari 0.15 menjadi 0.39 dan seterusnya hingga mendekati kejenuhan. Pengukuran adsorbansi dilakukan pada saat mulai terjadi kekeruhan yaitu pada volume efluen 10 mililiter pada 0.13 jam operasi. Kondisi operasi sistem kolom adsorpsi Koleang dan Kebon Awi seperti ukuran butiran dan debit influen adalah sarna, tetapi lama pencapaian
breakthrough lebih panjang pada sistem kolom adsorpsi bentonit Koleang.
Karakteristik kurva kejenuhan sistem kolom bentonit Tonsil menunjukkan
breakthrough time yang cukup panjang. bila dibandingkan dengan sistem
kolom adsorpsi bentonit Koleang dan Kebon Awi, hal ini berkaitan dengan kapasitas adsorpsi dari bentonit Tonsil yang lebih besar dibandingkan bentonit Koleang dan Kebon Awi, selain itu ukuran butiran bentonit Tonsil lebih kecil yang menyebabkan pencapaian breakthrough semakin panjang.
Kurva pada Gambar II. menunjukkan titik waktu tepat saat akan jenuh bentonit Tonsil adalah pada 32.83 jam. Setelah pada jam tersebut terjadi kenaikan konsentrasi efluen dimana Ce/Ci meningkat tajan1 dari 0.09 menjadi 0.45 dan seterusnya. Waktu breakthrough pada sistem kolom adsorpsi bentonit
Tonsil lebih panjang bila dibandingkan dengan Koleang dan Kebon Awi, hal ini ini sangat berhubungan sekali dengan besarnya debit influen yang diberlakukan. semakin kecil debit influen maka akan semakin lebar pula waktu mencapai
breakthrough, semakin kecil ukuran but iran adsorben maka semakin lama
untuk mencapai breakthrough. Efesiensi dekolorisasi pada breakpoint adalah
Ce/Ci
1~---~=====---~
O.B -f-0.6 ,0.4 0.2 -BreakpointJ .... '---
Waktu breakthrough = 32.83 jam04H~~~~~~~~~~~~**~~~~~~
o
50 100 150 200 250 300 350 400Waktu kontak Gam)
Gambar II. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi bentonit Tonsil sebagai hubungan antara waktu kontak dan rasio Ce/Ci
Ce/Ci 1.2~---, O.B 0.6 0.4 0.2 Breakpoint
Waktu breakthrough = 69.25 jam
o
100 200 300 400 500 600 700Waktu kontak (jam)
Gambar 12. Kurva kejenuhan kolom adsorpsi arang aktif sebagai hubungan antara waktu kontak dan rasio Ce/Ci
Awi. Pada keadaan tertentu yaitu pada jam operasi ke 23.33, efesiensi dekolorisasi dapat mencapai 97 persen.
Sistem kolom adsorpsi arang aktif memiliki waktu kontak yang lebih lama sebanding dengan besarnya debit influen yang diterapkan. Breakthrough
time yang dicapai adalah pada 69.25 jam dengan rasio Ce/Ci sebesar 0.14. Pada keadaan breakpoint efesiensi dekolorisasi mencapai 86 persen. Posisi
breakpoint dapat dilihat pada Gambar 12, yaitu pada Ce/Ci dari 0.14 menjadi 0.24 dan seterusnya. Penampakan efluen dari jam ke nol sanlpai pada jam operasi ke 55.77 secara fisik jernih, dan mulai terjadi kekeruhan pada volume efluen 350 mililiter padajam operasi ke 69.25.
Zona adsorpsi pada sistem kolom yang dioperasikan selama dalam penelitian tidak teramati, batas antara zona adsorpsi dengan bagian bed adsorben yang belum jenuh tidak terlihat nyata. Dalam percobaan ini pengoperasian sistem kolom hanya terdiri satu tahap, yaitu tahap adsorpsi, sedangkan tahap pencucian dan regenerasi tidak dilakukan. Keadaan ukuran fisik dari butiran bentonit dalam kolom menjadi kecil setelah kontak dengan limbah cair melanoidin.
3. Volume dan Konsentrasi pada sa at Breakpoint
Volume dan konsentrasi pada saat breakpoint ditentukan pada saat tepat akan terjadi kenaikan konsentrasi efluen yang tajam, yang merupakan indikasi mulai menurunnya kapasitas adsorpsi dari adsorben. Volume breakthrough (V b) adalah jumlah influen yang dapat ditangani hingga pada saat tepat akan jenuh, dan konsentrasi pada saat Vb yang dicapai merupakan konsentrasi
31 Tabel6. Nilai Vb dan Cb berbagai adsorben pada sistem kolom adsorpsi
Jenis bed Konsentrasi Volume Rasio Ce/Ci
adsorben breakpoint, Cb breakpoint, Vb
(gil) (ml)
Koleang 9.60 150 0.16
Kebon Awi 9.00 50 0.15
Tonsil 5.40 200 0.09
Arang aktif 8.4 350 0.14
Nilai Vb dan Cb setelah pengoperasian kolom adsorpsi berbagai adsorben dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai Vb dan Cb yang bervariasi disebabkan oleh kondisi operasi kolom adsorpsi masing-masing kolom tidak sama (kecuali Koleang dan Kebon Awi). Ukuran Mesh adsorben Tonsil dan arang aktif yang digunakan disesuaikan dengan ketersediaan adsorben tersebut di pasaran.
Kurva hubungan volume efluen dan rasio Ce/Ci untuk sistem kolom adsorpsi bentonit Koleang menunjukkan kecenderungan kenaikan rasio Ce/Ci dengan meningkatnya volume efluen. Konsentrasi efluen pada keadaan tepat saat akan jenuh adalah sebesar 9.6 gil pada nilai Ce/Ci sebesar 0.16, sedangkan kedudukan volume breakthrough adalah sebesar 150 mil iter. Pada saat titik
volume dan konsentrasi terse but merupakan titik penggantian adsorben benton it koleang. Kurva hubungan volume dan rasio Ce/Ci dapat dilihat pada Gambar 13.
Karakteristik kurva kejenuhan sistem kolom adsorpsi Kebon Awi. memiliki kecenderungan yang sama dengan Koleang. Kedudukan volume dan konsentrasi pada saat tepat akan jenuh masing-masing adalah 50 ml dan 9.00 gil dengan nilai rasio Ce/Ci sebesar 0.15. Rasio Ce/Ci meningkat dari 0.15 menjadi 0.39, volume limbah cair yang mampu ditangani oleh sistem kolom adsorpsi bentonit Kebon Awi hingga dicapainya breakpoint lebih kecil bila
dibandingkan denganjumlah volume yang mampu ditangani oleh sistem kolom adsorpsi bentonit Koleang. Hal ini disebabkan kapasitas adsorpsi bentonit Kebon Awi (dari penelitian pendahuluan) lebih kecil daripada bentonit Koleang, sehingga kemampuan untuk mcnangani sejumlah volume tertentu melanoidin sangat tergantung dari besarnya kapasitas adsorpsi.
Volume influen yang mampu diadsorpsi oleh sistem kolom adsorpsi bentonit Tonsil lebih banyak bila dibandingkan volume yang ditangani oleh sistem kolom adsorpsi bentonit Koleang dan Kebon Awi. Pada rasio Ce/Ci
sarna dengan 0.09 sistem kolom adsorpsi bentonit Tonsil mampu menangani lim bah cair melanoidin sampai pada volume 200 mililiter, setelah melewati nilai 0.09 terjadi kenaikan konsentrasi efluen yang tajam, dengan demikian konsentrasi pada saat tepat akan jenuh sarna dengan 5.4 gil. Kurva kejenuhan sistem kolom adsorpsi bentonit Tonsil dapat dilihat pada Gambar 15. Efluen dari sistem kolom tersebut mulai terlihat keruh pada 14.46 jam operasi, sehingga pengukuran adsorbansi dilakukan pada saat sampel efluen mencapai 100 mililiter.
Kemampuan sistem kolom adsorpsi arang aktif dalam menangani volume influen melanoidin hingga 350 mililiter pada rasio Ce/Ci sebesar 0.14 dengan
konsentrasi breakthrough 8.4 gil. Penampakan fisik efluen hingga pada volume efluen 300 mililiter masih jernih, sehingga pengukuran terhadap adsorbansi dilakukan pada volume efluen 350 mililiter yang penampakannya secara fisik telah keruh. Kurva karakteristik kejenuhan sistem kolom adsorpsi arang aktif dapa! dilihat pada Gambar 16. Debit influen yang diterapkan lebih kecil yaitu 0.13 mililiter/menit yang disesuaikan dengan kemampuan filtrasi lim bah cair melanoidin dengan ukuran mesh arang aktif sebesar 300.
Titik konsentrasi dan volume pada keadaan breakpoint dapa! digunakan sebagai acuan untuk pengoperasian sistem adsorpsi kolol11 pada skala yang lebih besar.
CerCi .2~---~ 1 0.8 0.6 0.4 0.2
o
100Volume efluen breakthrough = 150 ml Konsentrasi breakthrough = 9.61 gn
~"I--- Breakpoint
200 300 400 500 600
Volume efluen (ml)
700 800
Gamba!" 13. Kurva kejenuhan sistem kolom adsorpsi bentonit Koleang hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci
Ce/Ci 0.6,---0.5 0.4 0.3 0.2 0.1
o
20 40 60Volume efluen breakthrough = 50 ml
Konsentrasi breakthrough = 9.00 gil Breakpoint
80 100 120 140 160 180 200
Volume efluen (ml)
Gambar 14. Kurva kejenuhan sistem kolom adsorpsi bentonit Kebon Awi hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci
Parameter debit influen, ketinggian bed adsorben, konsentrasi influen, waktu dan volume pada keadaan breakpoint hasil percobaan dapat menunjang kearah tersebut. Dalam hal ini parameter-parameter operasi yang didapatkan dari hasil percobaan seperti konsentrasi influen, breakthrough time, rasio antara tinggi
bed adsorben dan diameter kolom adsorpsi diasumsikan tetap.
Sistem kolom adsorpsi dengan adsorben bentonit secara operasional kurang efektif. Debit efluen sistem kolom tersebut semakin menurun pada setiap kenaikan volume efluen 50 mililiter, sehingga terjadi akumulasi cairan
(over load) pada kolom adsorpsi sebagai akibat tak langsung mengecilnya ruang filtrasi pada bed adsorben. Tetapi secara umum cukup efesien menghilangkan warna melanoidin hingga pada batas volume, waktu dan konsentrasi breakpoint.
CelCi
0.8
0.6
0.2
o
100Volume efluen breakthrough = 200 ml Konsentrasi breakthrough = 5.4 gil
4 - - - Breakpoinl
200 300 400 500 600 700 800
Volume efluen (mil
Gambar 15. Kurva kejenuhan sistem kolom adsorpsi benton it Tonsil hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci.
Ce/Ci 12~---' 1 0.8 0.6 0.4 0.2
Volume efluen breakthrough = 350 ml Konsentrasi breakthrough = 8.4 gil
Breakpoint
o
100 200 300 400 500 600 700 800 900 1,000Volume efluen (ml)
Gambar 16. Kurva kejenuhan sistem kolom adsorpsi arang aktif hubungan antara volume efluen dan rasio Ce/Ci.
4, Estimasi Biaya Operasi dan Kebutuhan Bentonit Minimum pada Sistem Kolom Adsorpsi dengan debit 1 m3/menit
35
Kebutuhan bentonit minimum pada kolom (M) dalam percobaan telah didapatkan dari nilai parameter debit influen (Q), konsentrasi influen (Co).
ketinggian bed adsorben, breakpoint lime (tb) dan konsentrasi breakpoint (C b) serta persamaan isoterm Freundlich (x/m) masing-masing adsorben. Hubungan antara Q dan M, berat bentonit dalam kolom (kg) dapat dilihat pada Lampiran 7. Estimasi kebutuhan adsorben, tinggi bed adsorben, diameter serta biaya operasi pada kolom unluk berbagai jenis adsorben dapal disajikan pada Tabel 7. Penentuan dimensi operasional instrumen kolom adsorpsi untuk skala besar ditentukan dari rasio antal·a tinggi bed (h) adsorben dan diamater kolol11 (D). Rasio hiD skala laboratorium kolol11 adsorpsi yang digunakan dalam pcrcobaan adalah sebesar 0.8.
Tabel7. Estimasi kebutuhan adsorben, biaya dan dimensi kolom adsorpsi pada konsentrasi awal 60 gil dan debit I mJ/menit (1440 nl/hari) tanpa regenerasi adsorben
Jenis Berat Tinggi bed Diameter Biaya pengolahan per adsorben adsorben adsorbeD kolom (m) satuan volume
(tOD) (m) (Rp 1m3 limbah cair)
Koleang 8,832 1,87 2,33 23.000
Kebon Awi 3,489 1,87 2,33 28.650
Tonsil 128,261 3,76 4,71 26.050
Arang aktif 7,973 2,12 2,65 9600
..
Keterangan : estlmaSI dlhltung sam pal pada breakthrough tlme
Estimasi terhadap dimensi kolom, meliputi tinggi bed adsorben dan diameter kolom. Estimasi pada debit influen 1 mJ/menit menghasilkan nilai yang bervariasi, kecuali pada sistem kolom Koleang dan Kebon Awi. Hal ini tergantung dari debit influen, rasio antara tinggi dan diameter kolom pada saat penelitian utama, dan volume kerja pada estimasi debit I mJ Imenit.
Estimasi terhadap biaya penanganan limbah cair melanoidin per meter kubik nya didasarkan pada kapasitas penanganan terhadap sejumlah volume tertentu melanoidin hingga mendekati jenuh (konstan) untuk debit influen I mJ Imenit, kemudian dibagi dengan biaya operasi sampai pada waktu mendekati jenuh (Lampiran 7.). Pemilihan sistem kolom adsorpsi yang terbaik dari berbagai bed adsorben untuk aplikasi debit influen I mJ Imenit tidak dapat dilakukan, mengingat kondisi operasi tiap sistem kolom adsorpsi berbeda-beda pacta saat penelitian dilakukan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Sistem kolom adsorpsi dengan bed adsoben bentonit Koleang dan ukuran butiran 8 mesh, debit influen 1,23 ml/menit didapatkan waktu, volume dan konsentrasi breakthrough masing-masing adalah 2,08 jam, 150 mililiter dan 9,6
gil, sedangkan untuk bed adsorben Kebon Awi dengan ukuran butiran dan debit influen yang sarna menghasilkan waktu, volume dan konsentrasi breakthrough masing-masing 0,66 jam, 50 mililiter dan 9,0 gil. Debit influen 0,15 ml/menit pada sistem kolom adsorpsi bentonit Tonsil dengan ukuran butiran 200 mesh menghasilkan waktu, volume dan konsentrasi breakthrough masing-masing 32,83 jam. 200 mililiter dan 5,4 gil, sedangkan sistem kolom adsorpsi arang aktif dengan debit influen melanoidin sebesar 0,13 ml/menit dan ukuran butiran 300 mesh menghasilkan waktu, volume dan konsentrasi breakthrough masing-masing sebesar 69,25 jam, 350 mililiter dan 8,4 gil. Efesiensi dekolorisasi melanoidin pada breakthrough time untuk sistem kolom adsorpsi Koleang, Kebon Awi dan Tonsil serta arang aktif masing-masing 84, 85, 91 dan 86 persen.
Parameter waktu, volume, konsentrasi influen dan konsentrasi breakthrough digunakan sebagai acuan untuk estimasi biaya, kebutuhan adsorben dan dimensi kolom adsorpsi pada skala debit influen yang lebih besar, dengan menganggap parameter tersebut konstan. Sebagai gam baran, pada debit influen melanoidin I mJ Imenit atau 1440 mJ Ihari didapatkan estimasi biaya penanganan secara kasar untuk sistem kolom adsorpsi benton it Koleang, Kebon Awi, Tonsil dan Arang aktif tanpa regenerasi adsorben (sampai pada breakthrough time) adalah berturut-turut Rp. 23.000, Rp. 28.650, Rp. 26.050, Rp. 9.600 per meter kubik limbab cair melanoidin. Estimasi kebutuhan adsorben untuk sistem kolom adsorpsi Koleang,
Kebon Awi, Tonsil dan arang aktif masing-masing adalah 8,832, 3,489, 128,261 dan 7,973 ton sampai pada breakthrough dan tanpa regenerasi.
Estimasi terhadap dimensi kolom adsorpsi untuk sistem kolom adsorpsi meliputi diameter (D) dan tinggi bed adsorben (h) dengan rasio hID sebesar 0,8 untuk Koleang dan Kebon Awi D= 2,33 meter; h= 1,87 meter, Tonsil D= 4,71 meter; h= 3,76 meter dan arang aktif D= 4,94 meter; h= 3,95 meter.
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka perlu adanya kajian yang lebih khusus meliputi :
I. Kaj ian mengenai regenerasi adsorben untuk mendapatkan pemamfaatan adsor-ben secara optimal terhadap penanganan limbah cair melanoidin.
2. Kajian untuk aplikasi sistem kolom adsorpsi terhadap melanoidin alami.
3. Kajian terhadap kelayakan finansial operasi penanganan limbah cair melanoidin dengan sistem kolom adsorpsi.
39 DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1987. Bahan Galian Industri : Bentonit. Departemen Pertambangan dan Energi, Pusat Pengembangan Teknologi Mineral, Jakarta.
Anwar, K. P., Y. Nugraha dan Y. Sadikin. 1983. Prospek Pemanfaatan Bentonit Nanggulan untuk Penjernih Minyak Kelapa Sawit. Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jenderal Pertambangan Umum, Pusat Pengembangan Teknolgi Mineral, Bandung.
Davidek, 1., 1. Velisek dan 1. Pokorny. 1990. Chemical Changes during Food Processing. Avicenum, Czechoslovak Medical Press, Phara.
Davis M. L. and D. A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering. McGraw Hill series in Water Resources and Environtmental Engineering, New York.
Eckenfelder, W. W. 1989. Industrial Water Pollution Control. McGraw Hill series in Water Resources and Environtmental Engineering, New York.
Eckenfelder, W. W. 1981. Application of Adsorption for Waste Water Treatment, Enviro Press Inc., Tennessee.
Eskin, N. A. M. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. Academic Press, Canada.
Grim, R. E. 1968. Clay Mineralogy. Mc Graw Hill Book Co., New York.
Metcalf and Edy. 1991. Waste water Engineering Treatment: Disposal and Reuse. McGraw Hill, New York.
Migo, V.P., M. Matsumura, E.1.D. Rosario dan H. Katakoa. 1993. The Effect of pH and Calcium Ions on the Destabilization of Melanoidin. 1. Ferm. Bioeng. 76(1): 29 - 32.
Nugraha, B. A. 1995. Kajian Awal Kemampuan Sludge untuk mendegradasi melanoidin secara Anaerobik. Skripsi Sarjana. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Nur M.A. dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat lendral Pendidikan Tinggi, PAU Ilmu Hayat-!PB, Bogor.
Sawyer, C. N. and P. L. McCarty. 1978. Chemistry for Environmental Engineering. McGraw Hill Series in Water Resource and Environmental Engineering, Kogakusha, Ltd, Tokyo.
Sittig, M. 1974. Pollution Control in the Organic Chemical Industry. Noyes Data Corp., New Jersey.
Widiastuti, C. E. 1995. Kajian Teknologi Aktivasi Bentonit dan Aplikasinya untuk Pemurnian Minyak Kelapa Sawit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
L
A
M
P
I
R
A
N
Lampiran 1. I'cncntuan pllnjang gclombang (Ie) bcrdasarkan "crscn transmitcl1 dan adsorhansi bagi Mclanoidin
Panjang gclombang Pcrscn tranSIl1 iten Persen transm iten Adsorbansi
(A, nm) (%1) rata-rata (A)
111angan I 2 325 48 48 48 0.319 330 47 46 46.5" 0.333' 340 48 47 47.5 0.323 380 59 59 59 0.229 420 69 69 69 0.161 460 77 78 77.5 0.116 500 83 83 83 0.081 540 88 88 88 0.056 580 91 92 91.5 0.039
keterangan: - penentuan I. dldasarkan pada sampel yang palmg encer (10 gIl yang diencerkan sampai 5 kali).
- (*) evaluasi panjang gelombang didasarkan pada nilai adsorbansi yang paling tinggi atau dengan nilai %T yang minimum.
Evaluasi lanjutan pcngukuran tcrhadap Ie
Panjang gelombang Persen transmiten Persen transmiten Adsorbansi ()" nm) (%T) rata-rata (A) ulangan 1 2 325 48 49 48.5 0.314 330 47 47 47 0.328 335* 46 46 46 0.337 340 47 47 47 0.328
keterangan : -(*) panJang gelombang yang dlpakal dalam penenruan konsentrasl Melanoidin (A).
Lampiran 2. KlII'va standar kOllscntrasi melanoidill Konsentras; 25 -,---, melanoidin ( g I l ) 20
c
41. 3223*A 4.7231 15 10 5 Oi---~~---~ o 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0.55 0.6 Adsorbansi 42Lalllpiran 3. Evalnasi waktu kontak berdasarkan (lcrsen dekolo.-isasi Waktu kontak (men it) 10 20 30 60 90 120 360 720 1080 1440 keterangan : Persen dekolorisasi Koleang KebonAwi rata-rata rata-rata 17.81 13.15 17.81 17.81 13.15 13.15 15.52 13.15 15.52 15.52 10.71 11.93 17.81 13.15 15.52 16.67 13.15 13.15 10.71 15.52 10.71 10.71 13.15 14.34 10.71 13.15 10.71 10.71 10.71 11.93 22.18 17.81 20.03 21.11 15.52 16.67 22.18 15.52 24.27 23.23 15.52 15.52 20.03 5.52 17.81 18.92 5.52 5.52 1781 10.71 17.81 17.81 10.71 10.71 2218 1315 22.18 22.18 13.15 13.15
Volume melanoidin: 100 mililiter (100 gil) Berat bentonit 2 gram + melanoid in Berat arang aktif 0.3 gram + melanoidin Pengukuran pada suhu ruang (280
C) Tonsil rata-rata 10.71 8.17 9.44 8.17 5.55 6.86 8.17 5.55 6.88 5.55 2.83 4.2 5.55 5.55 5.55 40.78 40.78 40.78 43.99 45.54 44.77 33.9 30.2 32.05 424 43.99 43.2 3912 39.12 39.12 Arang aktif rata-rata 24.27 24.27 24.27 39.12 37.42 38.27 37.42 37.42 37.42 39.12 39.12 39.12 45.54 45.54 45.54 48.54 48.54 48.54 42.4 42.4 42.4 42.39 42.39 42.39 39.12 39.12 39.12 43.99 45.54 44.77