• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perubahan hukum baru. Perkembangan teknologi informasi yang pada awalnya hanya terbatas pada alat penghitung kemudian berevolusi dari waktu ke waktu dengan adanya penemuan dan penciptaan telepon oleh Alexander Graham Bell yang menjadi sarana telekomunikasi pertama yang tidak memerlukan keahlian khusus untuk menggunakannya, namun dengan kabel-kabel dan satelit-satelit telepon menjadi sarana telekomunikasi yang murah dan berhasil digunakan di seluruh dunia sehingga diyakini akan menjadi alternatif utama bagi penyenggaraan seluruh aspek kehidupan manusia, dan cara baru ini dipilih karena teknologi informatika yang berkarakteristik lintas-batas ditingkat nasional maupun global (borders world) akan dapat meningkat efesiensi dan kecepatan penyenggaraan kehidupan manusia.

Penemuan dan penciptaan telepon tidak berhenti sampai pada telepon yang menggunakan kabel, dimana pada jaman yang mutakhir ini dengan pekembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sangatlah pesat, alat komunikasipun

(2)

menjadi semakin canggih yakni dengan ditemukannya telepon tanpa kabel yang lazim diesebut dengan telepon genggam atau hand phone (HP). Hand phone merupakan suatu terobosan baru yang merupakan suatu menjadi bukti dari para ahli di bidang teknologi informasi sebagai sebuah penemuan dan penciptaan terbesar pada abad ini. Dengan teknologi ini, telah tercipta sebuah alat komunikasi yang murah namun berkemampuan tinggi dengan berbagai sistem yang semula dianggap mustahil dapat diwujudkan seperti bentuk telepon yang tidak menggunakan kabel dan dalam penggunaanya dapat dipindahkan dan digunakan dari satu tempat ke tempat lain selama ada sinyal yang mendukung di tempat tersebut. Tidak ketinggalan juga seiring dengan perkembangan internet dan komputerisasi, telepon seluler atau sering juga disebut sebagai telepon mobil nirkabel, ponsel, wairres HP lahir dengan berbagai jenis yang terus berkembang dengan pesat sehingga menambah income bagi dunia bisnis yang bergerak dibidang telekomunikasi. (http://www.one.indoskripsi.com. 3 : 2010)

Globalisasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan pembentukan pengaturan mengenai pengelolahan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional, sehingga membentuk atau membangun teknologi informasi dapat di lakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Teknologi ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan konstribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana yang efektif untuk melakukan pelanggaran hukum.

(3)

Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.Istilah lain yang digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law).

Pemanfaatan Teknologi bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat saja, tetapi juga sangat membantu aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang sedang terjadi.Biasanya apara penegak hukum tersebut menggunakan sistem penyadapan, Misalnya kasus korupsi yang kita sering dengar adalah penyadapan yang dilakukan oleh Jaksa Agung untuk mencari bukti - bukti bahwa si pelaku kejahatan melakukan kontak dengan orang-orang yang berhubungan dengan kasus tersebut.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hukum Pidana.Oleh karena itu pemerintah perlu mendukung perkembangan Teknologi melalui inprastruktur hukum dan pengaturannya, sehingga pemanfaatan teknologi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan norma-norma di masyarakat indonesia pada khususnya.

Penyadapan menjadi sarana yang efektif untuk mencari bukti- bukti bahwa seseorang melakukan suatu kejahatan, dan mulai di lakukan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana.Penyadapan hanya dapat di lakukan oleh aparat penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Wewenang

(4)

melakukan penyadapan oleh KPK di atur dalam Pasal 12 Ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi berisi : Pasal 12 Ayat (1) :

(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Penyidik berhak membuka akses, memeriksa dan membuat salinan data elektronik, jika data tersebut berhubungan atau diduga berkaitan dengan perkara pidana yang sedang diselidiki dan harus di sesuaikan dengan KUHAP. Penyidik membuka akses, memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam file computer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya jika data tersebut di duga keras mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

Penggunaan alat bukti berupa alat penyadap dan rekaman video sebenarnya telah diterapkan di dalam kasus Bom Bali I, 2002 lalu. Dalam menggunakan alat bukti ini penyidik merujuk pada Pasal 27 Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang menentukan Bahwa :

Pasal 27

Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :

(5)

b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atauyang serupa dengan itu; dan

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

1) tulisan, suara, atau gambar;

2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

(http://www.file.Alat.%20Bukti%20Elektronik%20Kian%20Mendapat%20Tempat% 20%C2%AB.htm. Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat, Juli 11, 2006). Alat-alat bukti yang berupa penyadapan dan video ini, para penyidik menggunakan Pasal 27 Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum di atur tentang penindakan Terhadap kejahatan jenis kedua (Penyadapan).

Salah satu teknik sederhana untuk melacak dan menelusuri harta kekayaan organisasi kejahatan serta persiapan aktivitas kejahatan mereka adalah dengan menyusup ke dalam organisasi kejahatan atau menggunakan teknik pengintaian (surveillance) dan teknik penyadapan (wiretapping). Kedua teknik tersebut terbukti merupakan teknik yang andal dalam membongkar tuntas organisasi kejahatan sebelum mereka dapat berbuat jahat sehingga potensi jatuhnya korban dapat dicegah lebih awal dan para pelakunya dapat diungkap dan ditangkap.

(6)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 21 berisi ”setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi obyek penelitian tanpa persetujuannya itu. Menjadi obyek penelitian adalah kegiatan menepatkan seseorang sebagai yang di mintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data- data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya.

Sebenarnya aktifitas sadap menyadap adalah suatu tindakan ilegal yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Penyadapan hanya boleh dilakukan setelah mendapatkan izin oleh jaksa atau polisi dengan tembusan ke Menteri Komunikasi. ( http://yuhendra blog. Wordpress.com/ 2008 : 07 ).

Kewenangan untuk menentukan apakah informasi yang dikelola oleh negara merupakan informasi rahasia atau tidak juga tidak diatur secara tegas sehingga kewenangan tersebut menjadi sepenuhnya ditentukan oleh pejabat publik yang bersangkutan. Tiadanya definisi dan parameter yang jelas mengenai infomasi yang dirahasiakan berdampak pada suatu kondisi dimana pejabat publik atau setiap orang dengan mudahnya memberikan klasifikasi rahasia negara terhadap berbagai informasi yang berada dalam kekuasaannya. Kondisi ini bertambah parah ketika orang tersebut menetapkan suatu informasi menjadi rahasia tanpa parameter yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pengaturan kerahasian informasi, khususnya yang dikelola oleh negara merupakan ancaman bagi hak publik untuk mendapatkan informasi namun secara lebih jauh dan

(7)

merupakan ancaman bagi Hak Asasi Manusia. Dengan dalih rahasia, tidak jarang informasi tersebut disalah gunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. dikhawatirkan akan menggangu keyamanan Pribadi, sehingga dapat menjerat siapa saja yang ingin mendapatkan informasi di lingkungan kekuasaan negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif. Berdasarkan ketertarikan penulis terhadap uraian di atas, maka penulis mengangkatnya guna penyusunan skripsi yang di beri judul “Penyadapan Telepon Dalam Penyelidikan Tindak Pidana Di Tinjau Dari Hak Asasi Manusia ( HAM )”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Apa sajakah dasar hukum dalam melakukan Penyadapan Telepon ?

b. Apakah Penyadapan Telepon Dalam Penyelidikan Tindak Pidana melanggar HAM ?

c. Apakah ada batasan-batasan dalam melakukan Penyadapan Telepon dalam Penyelidikan Tindak Pidana ?

2. Ruang Lingkup

Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari pokok masalah yang seharusnya dibahas, maka Penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang berkaitan dengan

(8)

Penyadapan Telepon, dan di batasi pada penelitian hukum mengenai Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Dasar hukum dalam melakukan Penyadapan Telepon untuk keperluan Penyelidikan Tindak Pidana.

b. Penyadapan telepon untuk keperluan penyelidikan tindak pidana itu melangar Hak Asasi Manusia (HAM) atau tidak.

c. Batasan - batasan dalam melakukan Penyadapan Telepon.

2. Kegunaan a. Secara teoritis

Penulisan skripsi ini digunakan untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum yang diharapkan memberi manfaat bagi perkembangan ilmu hukum Pidana. b. Secara praktis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran pada ilmu hukum Pidana dan penegakan hukum, khususnya berkaitan dengan Penyadapan Telepon dan Hak Asasi Manusia, serta menjadi masukan sebagai bahan pemikiran bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi dan sumbangan pemikiran dalam rangka penegakan hukum pidana.

(9)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abtraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang ada pada dasarnya untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1984 : 123).

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto, 1986 : 125).

Asas legalitas pada dasarnya menghendaki perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 KUHP berikut ini :

1. Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

2. Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi. 3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi

berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.

4. Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

(10)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP) hanya mengatur macam-macam tindakan penyidikan antara lain penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat (Bab V HAP). Tindakan penyadapan telepon baru muncul di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai salah satu cara penyidikan atau penyelidikan tindak pidana korupsi (Tipikor). Dalam hal ini nilai HAM yang harus kita hormati, yang tidak bersalah tidak harus jadi korban penyadapan telepon, karena penyadapan telepon sama saja memasuki kehidupan pribadi seseorang.

2. Konseptual

Kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah (Soerjono Soekanto, 1986 : 32).

Dalam konseptual ini penulis menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini.

Uraian ini ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman yaitu :

a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang di atur menurut undang-undang.

(11)

b. Tindak Pidana adalah Setiap perbuatan yang dapat dipidana yang diatur dalam ketentuan menurut undang- undang. (Undang-Undang Nomor 1 KUHP)

c. Penyadapan atau intersepsi adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/ atau mencatat transmisi informasi elektronik dan atau Dokumen elektronik yang bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti elektromagnetis atau Radio (Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).

d. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik , termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data iterchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah di olah yang memilik arti atau daoat di pahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008). e. Telepon adalah perangkat yang di gunakan oleh manusia sebagai alat atau

penghubung, pegirim dan penerima suara atau komunikasi dari jarak jauh.Alat telekomunikasi yang di temukan oleh Alexander Graham bell tahun 1870 yang berupa setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk yang suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, Radio atau sistem elektromagnetik lainya (Gauzali Saydam, 1993: 9).

f. Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik di sengaja maupun tidak di sengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau

(12)

kelompok orang yang di jamin oleh undang – undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhwatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum

yang adil dan yang benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 Ayat 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999).

g. Menjadi objek penelitian dalam Undang-undang Penjelasan Pasal 21 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah kegitan menepatkan seseorang sebagai di mintai komentar, pendapat yang menyangkut kehidupan pribadi dan data-data pribadinya serta di rekam gambar dan suaranya.

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang akan menguraikan mengenai latar belakang perkembangan, serta penggunaan penyadapan alat telekomunikasi di tinjau dari Hak Asasi Manusia (HAM), ruang lingkup penelitian, tujuan, kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tinjauan pustaka yang merupakan pengantar dalam pemahaman dan pengertian umum tentang pokok bahasan tentang pengertian Informasi elektronik dan

(13)

telepon, Hak asasi manusia, dan peraturan tentang penyadapan telepon yang sah, serta yang di harap dapat mempermudah menjawab permasalahan- permasalahan yang ada.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber data, jenis data, populasi, sampel, cara pengumpulan data, dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasan penyadapan telepon dalam penyelidikan tindak pidana ditinjau dari hak asasi manusia. karena pada bab ini memberi jawaban apa dasar hukum dan sahkah Penyadapan itu bila di gunakan untuk kepentigan pembuktian Perkara Pidana.

V. PENUTUP

Bab ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil pembahasan dan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikkan.

(14)

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penyadapan dan Telepon

1. Pengertian penyadapan

Penyadapan atau intersepsi adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi informasi elektronik dan atau Dokumen elektronik yang bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti elektromagnetis atau Radio (Penjelasan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).

Pengertian penyadapan juga di atur dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi yaitu kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang di miliki oleh seseorang adalah hak

pribadi yang harus di lindungi sehingga penyadapan harus di larang (Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999,)

Instansi-instasi pemerintah yang di beriwewenang melakukan penyadapan, dan di atur dalam Pasal 31 Ayat (3), yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, dan/instansi penegak hukum lainya yang di atur dalam undang-undang, yaitu KPK.

(15)

Penyadapan dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :

a) Penyadapan oleh perusahaan telekomunikasi.

Aktivitas penyadapan ini hanya dapat dilakukan oleh tim penyelidik untuk kasus tindakan pidana tertentu, yang tuntutannya 5 tahun lebih, seumur hidup atau tuntutan mati.

b) Penyadapan Telepon Rumah Analog.

Cara yang paling mudah yaitu menggunakan spliter, alat sederhana yang biasa dipakai untuk memparalel telepon rumah. Kabel cabang spliter yang dipasang pada telepon target, disambungkan penyadap ke tape recorder, komputer ataupun perangkat sejenis untuk merekam pembicaraan.

c) Penyadapan Telepon Rumah Digital.

Penyadapan biasanya mempergunakan alat kecil yang disebut bug. Bug mengirimkan data menggunakan frekuensi radio ke receiver penyadap. Bug memiliki dua kaki yang dipasang pada gagang telepon

d) Software Pengintai.

Aktivitas ini dilakukan dengan cara menanamkan aplikasi penyadap pada handphone target. Cara kerjanya saat ada kegiatan menelpon ataupun terima telepon, software akan otomatis Auto Forward kepenyadap. Teknologi ini dapat dipergunakan terhadap call dan sms.

(16)

e) Handphone Pengintai.

Pihak penyadap dapat melakukan panggilan secara diam-diam kehandphone target, tanpa terlihat tanda apapun pada layar handphone. Penyadap dapat mendengarkan pembicaraan dan suara yang terjadi disekeliling target. Kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh nomor telpon penyadap.

( http://yuhendra blog. Wordpress.com/ 2008 : 07 )

2. Pengertian Telepon

Telekomunikasi merupakan salah satu hasil teknologi, yang pada awalnya melakukan komunikasi dengan cara verbal dengan yaitu dengan cara berteriak.Penemuan teknolgi di mulai dari satu abad yang lalu.Teknologi berkembang dari riset ilmiah yang dilakukan banyak ilmuan.Dewasa ini, penemuan Teknologi banyak di lakukan oleh tim riset dari beberapa organisasi bisnis, universitas-universitas dan organisasi nirlabe. Setiap teknologi baru biasanya menggantikan teknologi yang sudah tua. Penemuan di bidang teknologi dapat memberikan kemudahan - kemudahan bagi kita. Kondisi ini lalu mendorong di kembangkanya teknolgi komunikasi yakni telepon.

Pesawat telepon dikenal sebagai salah satu sarana telekomunikasi yang sangat berguna dan merupakan alat komunikasi pertama dalam sejarah perkembangan telekomunikasi.

Telepon adalah perangkat yang di gunakan oleh manusia sebagai alat atau penghubung pegirim dan penerima suara atau komunikasi dari jarak jauh.

(17)

Alat telekomunikasi yang di temukan oleh Alexader Graham Bell tahun 1870 yang berupa setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya.Di samping itu, David B, Huges menciptakan mikropon dan thomas alfa edison menemukan kumparan induksinya, dengan ketiga penemuan tersebut, maka komunikasi percakapan melalui kawat antara dua tempat yang berjauhan berhasil dapat di lakukan ( Gauzali saydam, 1993 : 19 ).

B. Pengertian Penyelidikan dan Tindak Pidana

1. Pengertian Penyelidikan

Penyelidikan adalah setiap pejabat polisi Republik Indonesia ( KUHAP Bab IV Pasal 4 ) yang mempunyai wewenang mencari barang bukti dan

keterangan, serta atas perintah Penyidik dapat melakukan pemeriksaan, penyitaan, penggeledahan, mengambil sidik jari, membawa seseorang menghadap penyidik, serta menyampaikan hasil penyelidikan.

2. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.

(18)

C. Pengaturan Penyadapan Telepon Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Dalam mencapai penegakan hukum yang baik, maka beberapa peraturan perundang-undangan yang di gunakan sebagai landasan penegakan hukum adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ).

3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

8. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

D. Asas Legalitas

Asas legalitas pada dasarnya menghendaki :

(i) Perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan,

(ii) Peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yang dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 Rancangan KUHP berikut ini:

(19)

(1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan.

(4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

(5) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

Sebagian ahli hukum pidana menganggap bahwa pengaturan tersebut merupakan perluasan dari asas legalitas, tetapi sebagian lagi menganggap pengaturan tersebut sebagai kemunduran, terutama bunyi Pasal 1 ayat (3). Akibatnya, timbul perdebatan di antara para yuris Indonesia, bahkan yuris Belanda. Perdebatan ini seolah mengulang perdebatan lama ketika Kerajaan Belanda akan memberlakukan KUHP di Hindia Belanda, yaitu apakah akan diberlakukan bagi seluruh lapisan masyarakat di Hindia Belanda atau tidak. Namun, Van Vollenhoven menentang keras jika KUHP diberlakukan juga kepada pribumi.

Pasal 1 Ayat (3) Rancangan KUHP kontradiktif dengan Pasal 1 Ayat (2) yang melarang penggunaan analogi, padahal Pasal 1 Ayat (3), menurut Andi Hamzah, merupakan analogi yang bersifat gesetz analogi, yaitu analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam hukum pidana. Selanjutnya, menurut Andi Hamzah.

(20)

RKUHP tidak memberikan batasan yang jelas hukum yang mana yang diterapkan mengingat bahwa setiap komunitas mempunyai hukum yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Apabila dalam hukum yang hidup dalam masyarakat itu tercakup juga hukum adat, RKUHP tidak menentukan dengan jelas siapa yang dimaksud ndengan masyarakat adat, tidak ada batasan-batasan yang pasti dan rinci. Hal ini menjadikan setiap orang bisa saja menganggap dirinya sebagai masyarakat adat sehingga ia dapat menolak atau mengubah ketentuan hukum yang seharusnya berlaku baginya. RKUHP juga belum memberikan lingkup keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat ini, misalnya wilayah geografis. Dalam Pasal 1 Ayat (4) disebutkan bahwa : Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsi hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pada dasarnya pasal ini hendak membatasi pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diterapkan kecuali:

(i) sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

(ii) sesuai dengan prinsip-prinsip yang diakui oleh masyarakat bangsa bangsa. Tetapi, batasan yang diberikan pasal ini tidak cukup untuk melindungi pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat secara semena-mena, karena batasan yang diberikan masih bersifat multi interpretasi ( Fajrimei A. Gofar 3 : 2005 ).

(21)

Lex temporis delictie atau Asas legalitas : “yang berarti tiada suatu perbuatan dapat di pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.

Pasal 1 (1) KUHP bermakna :

1. Lex Certa, harus ada peraturan sebelum ada perbuatan 2. Non retroaktif, undang-undang tidak berlaku surut

3. Undang-undang dalam hukum pidana tidak boleh di analogikan

Pengecualiannya ada pada Pasal 1 (2) KUHP : “bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”.

Adanya perubahan perundang-undangan, disini terdapat 3 teori ;

a. Teori perubahan formal, dimana perubahan undang-undang yang dimaksud baru terjadi bilamana redaksi undang-undang pidana yang diubah.

b. Teori perubahan materil, dimana perubahan undang-undang yang dimaksud harus diartikan sebagai perubahan keyakinan hukum pembuat undang-undang. c. Teori materil tak terbatas, dimana perubahan undang-undang meliputi semua macam perubahan baik perubahan perasaan maupun perubahan keadaan karena waktu hukum pembuat undang-undang.

(http://cyberwhite.wordpress.com/2008/09/04/asas-legalitas-kepastian-hukum/ September 4, 2008.).

(22)

E. Pengertian HAM

HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahnya yang wajib di hormati, di junjung tinggi dan di lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap

orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999).Oleh karena Hak Asasi

Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus di lindungi, di hormati,

dipertahankan, dan tidak boleh di abaikan, di kurangi, atau di rampas oleh siapapun. (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 huruf b), dan dalam ketentuan umum pada

Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 huruf d, mengatakan indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-bangsa mengembang tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang di tetapkan oleh peserikatan bangsa-bangsa, serta bebagai instrumen internasional lainya mengenai Hak Asasi Manusia yang telah di terima oleh negara Republik Indonesia.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik di sengaja maupun tidak di sengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang di jamin oleh undang – undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhwatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan yang benar, berdasarkan

(23)

mekanisme hukum yang berlaku. (Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999).

Hak Asasi Manusia merupakan kebebasan dasar manusia pribadi, tidak boleh di paksakan oleh orang lain dan bila di langgar akan di kenakan sanks pidana, perdata maupun administrasi yang di sesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan “ setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya” yang maksudnya dimintai keterangan atau pendapat, menyangkut kehidupan pribadi dan data pribadinya serta di rekam gambar dan suaranya.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang telekomunikas sebenarnya juga melarang perbuatan penyadapan jaringan telepon tersebut.Yaitu :

(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dalam suatu komputer dan atau sistem Elektronik tertentu milik orang lain.

Dalam undang-undang Telekomunikasi, Penyadapan adalah perbuatan pidana. Secara eksplisit ketentuan Pasal 40 undang-undang a quo menyatakan, Setiap orang dilarang melakukan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan

(24)

telekomunikasi dalam bentuk apa pun. Pasal 56 menegaskan, Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Sebagai perbuatan pidana, penyadapan dapat dipahami mengingat ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mendapat informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (Pasal 28F UUD 1945). Demikian pula Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, tiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang ada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi Manusia, oleh karena itu, dalam mengungkap suatu tindak pidana pada dasarnya tidak dibenarkan melakukan penyadapan.

F. Pengaturan tentang larangan melakukan penyadapan dalam Undang-undang.

Peraturan-peraturan di dalam undang-undang mengenai larangan melakukan penyadapan telepon antara lain :

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

1. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menyatakan: setiap orang berhak atas keutuhan pribadi, baik rohani maupun jasmani, dan karena itu

(25)

tidak boleh menjadi objek penelitian tanpa persetujuan darinya. Yang dimaksud dengan ”menjadi obyek penelitian” adalah kegiatan menepatkan seseorang sebagai yang di mintai komentar, pendapat atau keterangan yang menyangkut kehidupan pribadi dan data- data pribadinya serta direkam gambar dan suaranya.

2. Pasal 32 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (Hak Asasi Manusia) menyatakan: “Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat menyurat, termasuk hubungan komunikasi melalui sarana elektronik, tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 menegaskan,“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apa pun.”Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga memberi jaminan lebih khusus.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik Tahun 2008 melarang setiap orang yang bersengaja tetapi tanpa hak, atau melawan hukum, melakukan intersepsi/penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik.

(26)

Ayat (2) melarang setiap orang yang bersengaja tetapi tanpa hak, atau melawan hukum, melakukan intersepsi dan atau transmisi informasi elektronik,dan atau dokumen elektronik, yang tidak bersifat publik. Berarti informasi dan transmisi informasi yang bersifat publik dikategorikan publicly admissible and observable.

Pengecualian Penyadapan atas suatu proses komunikasi oleh pihak di luar alur merupakan tindakan yang secara sosial tercela karena melanggar hak-hak privasi (infringement of privacy rights) yang dilindungi secara konstitusional.

Pengecualian terhadap perlindungan hak pribadi itu dapat dibenarkan karena bukan nonderogable rights yang dijamin oleh Pasal 28I Ayat 1 UUD 1945.

Pasal 28J Ayat 2 UUD 1945 menuntut alasan objektif-rasional, sehingga penyadapan terhadap komunikasi itu memiliki legitimasi kuat, misalnya untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain dan harus diatur dengan undang. Sejumlah undang-undang membolehkan penerobosan terhadap hak pribadi untuk berkomunikasi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK membolehkan penyadapan dan perekaman komunikasi guna mengungkap dugaan tipikor senilai Rp1 miliar. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi membolehkan penyadapan jika caranya sah (Mohammad Fajrul Falaakh).

Penyadapan dibolehkan atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), atau atas permintaan instansi penegak hukum (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

(27)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pada penelitian ini penulis melakukan Pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang penulis lakukan dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat Asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang-undang yang menunjang terutama yang berhubungan dengan Penyadapan dan Hak Asasi Manusia.Penelitian normatif dilakukan terhadap bahan-bahan bacaan, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Penggunaan pendekatan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, guna penulisan skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data kepustakaan dan Undang-Undang. jenis data di gunakan Penulis adalah data sekunder.

(28)

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1984 : 52), terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, antara lain :

(1) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

(4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

(5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ( HAM )

(6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

(8) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, undang-undang, literatur-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan hukum tersier, seperti kamus-kamus yang memberikan penjelasan

(29)

C. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Studi Keperpustakaan

Untuk memperoleh data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari Buku-buku dan perundang-undangan yang berlaku.

2. Metode Pengolahan Data

Setelah data yang dikehendaki terkumpul, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Editing

Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah menyangkup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan yang dibahas.

b. Sistematisasi data

Penyusunan data dimaksudkan untuk mendapatkan data dalam susunan yang sistematis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir. Dalam tiap tahap ini data dapat dimasukkan ke dalam tabel apabila diperlukan.

(30)

E. Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis. Pada penelitian ini data dianalisis secara deskriftif. Cara analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkannya dengan kalimat-kalimat, kemudian disusun suatu simpulan secara deduktif terhadap gejala dan kenyataan yang ditemukan.

(31)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum dalam Melakukan Penyadapan Telepon untuk Keperluan Penyelidikan.

Dasar hukum yang memperbolehkan aparat penegak hukum melakukan penyadapan telepon untuk keperluan penyelidikan antara lain :

1. Pasal 55 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menentukan bahwa Polisi Negara Republik Indonesia dapat :

b. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan ;

c. menyadap pembicaraan melalui telepon dan atau alat telekomunikasi elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Undang-undang ini menentukan bahwa Polisi Negara Republik Indonesia boleh melakukan penyadapan telepon terkait tindak pidana yang masih dalam penyidikan saja, dan mempunyai batasan- batasan yaitu hanya perkara yang terkait dengan tindak pidana Pisikotropika, dan mempunyai batas waktu maksimal 30 hari terhitung dari mulainya proses penyadapan tersebut berlangsung. Menurut penulis dalam hal

(32)

kerahasiaan informasi, tidak di jelaskan dalam Pasal ini hal ini sama saja merupakan pelanggaran hak atas privasi sesorang.

2. Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menentukan bahwa, Pejabat Polisi Negara RI yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap melalui telepon atau alat telekomunikasi lain, pembicaraan yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika

Dalam Pasal ini menentukan bahwa Polisi Negara Republik Indonesia boleh melakukan penyadapan telepon yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika saja, selain dari narkotika tidak di perkenankan, termasuk untuk keperluan pribadi. Dalam hal kerahasiaan informasi serta kerahasiaan permasalahan yang bersifat pribadi, tidak di jelaskan dalam Pasal ini. Menurut penulis hal tersebut membuat anggapan bahwa Kepolisi Negara Republik Indonesia, tidak bertanggung jawab atas kerahasiaan informasi yang di dapatkan.

3. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa, Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Aktivitas tersebut dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

(33)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berisi:

(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

c. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

Pasal ini menentukan bahhwa Penyidik boleh melakukan penyadapan yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan harus atas izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan apabila tidak dapat izin dari ketua pengadilan negeri tersebut penyadapan telepon tidak bisa dilakukan.

4. Pasal 43 Ayat (1), (2), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasnsaksi Elektronik yang isinya adalah :

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik di beri wewenang khusus sebagai penyidik sebagai mana di maksud dalam undang-undang tentang Hukum Acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

(2) Penyelidik di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagai mana di maksud pada ayat (1) di lakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau ke utauhan data sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku. Semua perbuatan yang dilarang ditentukan dalam

(34)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasnsaksi Elektronik Bab VII Pasal 27 sampai dengan Pasal 37, tetapi yang terkait dengan Penyadapan telepon yang dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum ditentukan dalam Pasal 31 Ayat (1) sampai Ayat (4) :

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan atau penghentian Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(35)

5. Pasal 42 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menentukan bahwa, untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.

b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 diundangkan tanggal 08 September 1999, dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 8 September 2000.

Undang-undang ini menetukan proses perekaman telepon dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi di perbolehkan atas permintaan tertulis aparat penegak hukum untuk keperluan proses peradilan pidana.

6. Pasal 26 a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menentukan bahwa, alat bukti dalam hubungannya dengan Pasal 188 Ayat (2) KUHAP :

(2) petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi b. surat

(36)

khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : Pasal 26 a

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Undang-undang ini menetukan bahwa alat bukti berupa informasi diperbolehkan di jadikan alat bukti. Menurut penulis, sebenarnya di dalam KUHAP Penyadapan telepon sebagai alat bukti belum di atur, sehingga ke sahhanya masih di pertanyakan.

7. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang anti terorisme, memperkenankan penyidik untuk melakukan penyadapan. Isinya adalah : berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berhak menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

Penyidik berhak melakukan penyadapan telepon harus berdasarkan bukti-bukti yang jelas sehingga apabila bukti-bukti tersebut dinyatakan tidak sah, maka penyadapan tidak boleh di lakukan. Menurut penulis Pasal ini tidak memberikan penjelasan

(37)

mengenai kerahasiaan pembicaraan seseorang yang bersifat pribadi, apakah di rahasiakan atau tidaknya.

8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengatur tentang penyadapan telepon oleh seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.

Undang-undang ini menetukan bahwa KPK hanya boleh melakukan penyadapan telepon dalam kasus tindak pidana korupsi saja, diluar korupsi penyadapan telepon tidak boleh di lakukan, sehingga terlihat jelas bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyadapan telepon apabila di luar tindak pidana korupsi.

Penyadapan telepon yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, tata caranya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ini berarti bahwa sebelum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur, maka peraturan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penyadapan dimungkinkan dalam penyelidikan, namun kewenangan seharusnya diberikan kepada penyidik, bukan lembaga KPK. Jika tidak maka bertentangan dengan due process of law (proses pengadilan). Penyadapan berhubungan dengan privacy seseorang sehingga dalam undang-undang semestinya diberi batasan sampai mana penyadapan dapat dilakukan. Hal ini yang terjadi di undang-undang KPK,

(38)

kewenangan diberikan kepada lembaga yaitu KPK, dan aturan itu tidak dirinci lebih lanjut. Contohnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Narkotika, di sana ada aturan tentang penyadapan.

(http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/10/tgl/11/time/13 3354/idnews/693405/idkanal/10).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai satu mekanisme penyelidikan atau penyidikan yang sangat istimewa yakni penyadapan. Cara ini sebenarnya sudah lama dipakai dunia hukum dalam usaha mendapatkan bukti yang cukup dengan cara mencari tahu pembicaraan seseorang, Hanya saja mekanisme penyadapan tidak mendapatkan pengaturan yang cukup jelas dalam produk perundang-undangan di Indonesia.

Pada penggeledahan atau cara penyidikan lainnya, petugas akan sangat dipersulit dengan teknis prosedural yang harus dilewati sebelum melakukan tugasnya. Misalnya, untuk penggeledahan diperlukan surat dan disaksikan oleh beberapa saksi (Pasal 33 Hukum Acara Pidana (HAP). Hal ini sering menjadi kelemahan sehingga menyebabkan tindak pidana sudah tidak dapat terdeteksi lagi, sedangkan penyadapan lebih dapat dilakukan dengan kewenangan yang penuh dan dilakukan secara bertanggung jawab. Sifat kerahasiaan informasi menjadikan tindakan ini begitu efektif. Alasan penggunaan tindakan ini sebenarnya dikarenakan kesulitan pembuktian dari penyidik atau penuntut untuk mencari barang bukti dan membuktikannya di sidang pengadilan. Penyidik akan sulit untuk menangkap pelaku karena belum ada bukti yang didapatkan. Penuntut umum juga akan mengalami

(39)

kesulitan dalam proses pembuktian dikarenakan barang bukti yang tidak cukup mendukung ditambah dengan kemungkinan mudah berkelitnya tersangka.

Sejak awal reformasi, agenda besar nasional mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga diperlukan instrumen hukum untuk menjaganya. Pada kasus korupsi, tersangkanya adalah pejabat negara yang memiliki kekuasaan besar. Untuk menangkap para pejabat yang terkait korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kepada KPK suatu kewenangan monitoring (Pasal 6 huruf e) dan melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ke pengadilan Tipikor.

KPK merupakan suatu lembaga yang di bentuk untuk mewakili tugas pemerintah dalam menanggulangi dan menindak kejahatan korupsi. KPK berfungsi sebagai pengawas, penyelidik, penyidik sekaligus penuntut tindak pidana korupsi mewakili negara. Artinya, KPK tidak berada dibawah pejabat kepolisian (Pasal 38 Ayat 1). Sebagai wakil negara dalam menegakkan hukum, KPK mempunyai wewenang melakukan segala upaya untuk menangkap pejabat yang diduga melakukan korupsi.

Tindakan penyadapan pun merupakan satu tindakan yang sah manakala dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan dan menemukan bukti kuat adanya tindakan korupsi. Tindakan penyadapan yang dilakukan tidak melanggar HAM, karena hanya sesorang tertentu yang di curigai atau diduga melakukan tindak pidana.

Setiap tindakan yang dibuat oleh penyidik harus memiliki dasar hukum dan pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan. Tindakan penyadapan,

(40)

mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan.

Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walau pun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggung jawabkan sebelum melakukan penyadapan. Di dalam undang-undang KPK, hanya KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu, Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat lebih cenderung melanggar hak asasi manusia. Di satu sisi lain penyadapan telepon tersebut dapat disalah gunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal :

(41)

1. Penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus melapor kepada ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.

2. harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi. ( http://cubby.ngeblogs.com/category/uncategorized/) 3 : 2010

Menurut Iskandar Sonhaji pakar praktisi hukum, mekanisme penyadapan harus diatur dalam sebuah undang-undang, bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Hal itu jelas disebutkan dalam Putusan MK pada 2009 soal permohonan Uji Materiil Undang-undang KPK. Artinya, pemerintah tidak boleh membuat suatu regulasi yang bertentangan dengan putusan MK sebagai salah satu lembaga kekusaaan kehakiman. Jika pemerintah menyatakan bahwa RPP Penyadapan tidak mempersempit kewenangan KPK, pemerintah dapat dinilai telah melakukan kebohongan publik. Karena faktanya RPP membatasi atau mempersempit ruang KPK dalam melakukan penyadapan misalnya hanya pada saat proses penyidikan.

Menurut Erry Riyana mantan Pimpinan KPK memaparkan mekanisme penyadapan di KPK sangat ketat dan memiliki internal check yang juga ketat, bahkan lebih dari 50 persen keberhasilan penangangan kasus korupsi oleh KPK berasal dari proses penyadapan. Menurut dia, pemerintah nampaknya tidak paham bahwa KPK berwenangan melakukan penyadapan dari proses penyelidikan. Alasan menghindari saling sadap antar institusi bukan alasan yang tepat, bukan suatu masalah jika antar

(42)

aparat penegak hukum saling menyadap, Koridornya harus jelas yaitu penegakan hukum (http://www.radarlampung.co.id/web/opini/2537-penyadapan-kemajuan-atau-kemunduran.html) 3: 2010.

Menurut Audy Murfi, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM RI : bahwa penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut adalah berdasarkan hukum dan sah untuk dilakukan karena perbuatan korupsi adalah dikategorikan sebagai hal yang luar biasa (extraordinary crime). Oleh karena itu, sesuai dengan komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut dapat dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun pengaturan tentang penyadapan hendaknya diatur melalui suatu undang-undang karena berkaitan dengan pembatasan terhadap hak kebebasan seseorang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 32 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

(http://www.balitbangham.go.id/index/index.option=com_content&view=article&id= 79:penyadapan-pemberantasan-korupsi-dan-hak-asasi manusia&catid=3:newsflash) 3: 2010

Menurut penulis, Sejauh ini hanya undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik saja yang mengatur tentang penyadapan, sedangkan dalam KUHAP penyadapan belum di atur. Penyadapan, sebenarnya dapat mengganggu hak asasi seseorang, khususnya terkait kebebasan pribadi. Namun, di sisi lain, penyadapan dalam rangka penegakan hukum juga terkait dengan hak asasi orang dalam arti

(43)

umum, mengingat penyadapan umumnya dilakukan terkait proses hukum pidana. Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain sebenarnya dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan telepon. Penyadapan telepon yang dilakukan, bukanlah terhadap semua orang yang berkomunikasi, tetapi hanya beberapa orang yang dicurigai atau di duga melakukan perbuatan melanggar hukum seperti terorisme, korupsi dan Tindak pidana lainnya yang sulit di ungkapkan apabila tidak di lakukan penyadapan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP) hanya mengatur macam-macam tindakan penyidikan antara lain penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat (Bab V Hukum Acara Pidana). Tindakan penyadapan baru muncul di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai salah satu cara penyidikan atau penyelidikan tindak pidana korupsi (Tipikor).

B. Analisis Penyadapan Telepon dalam Penyelidikan Tindak Pidana di Tinjau dari Hak Asasi Manusia

Intersepsi atau Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio (penjelasan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).

(44)

Pengertian penyadapan juga di atur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. yang di maksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang di miliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus di lindungi sehingga penyadapan harus di larang (Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999).

Penyadapan Telepon atau alat Telekomunikasi sebetulnya dilarang karena melanggar hak privasi seseorang dan merupakan pelanggaran HAM, kecuali Aparat penegak hukum yang melakukan penyadapan, yang dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan telepon.

Penyadapan telepon yang di lakukan aparat penegak hukum bukanlah terhadap semua orang yang berkomunikasi, tetapi hanya beberapa orang saja yang dicurigai atau di duga melakukan perbuatan melanggar hukum. Teknik itu juga sangat bersentuhan dengan hak-hak asasi seorang tersangka yang seharusnya diperlakukan layaknya seorang yang tidak bersalah sebelum diputus oleh pengadilan, termasuk ke dalam perkara hak asasi yang bersentuhan dengan kedua teknik tersebut adalah hak-hak pribadi seperti hak-hak memiliki kerahasiaan-baik mengenai pekerjaan, keluarga, atau harta kekayaan. Hal ini sangat diperlukan ketika kedua teknik tersebut akan digunakan tapi pihak berwajib belum memiliki alat bukti cukup, bahwa yang bersangkutan diduga kuat telah atau sedang berencana melakukan suatu kejahatan.

(45)

Kedua teknik di atas lazimnya hanya ditujukan terhadap mereka yang telah memiliki track record yang buruk di kepolisian.Terhadap mereka yang masih bersih dari arsip kepolisian, sudah tentu penggunaan kedua teknik itu wajib dipertanggung jawabkan di muka sidang pengadilan. Berangkat dari masalah ini dan menguatnya perjuangan hak asasi manusia, maka penerapan kedua teknik tersebut dihadapkan kepada prinsip due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.

Pihak-pihak yang tidak setuju menyimpulkan terjadinya pelanggaran atas hak mereka sebagai warga negara untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ( Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ) dan memperoleh perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945). Di lain pihak mereka lupa bahwa masih ada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

(46)

Peraturan Pemeritah belum ada yang mengatur tentang penyadapan telepon sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) , maka penyadapan telepon tetap dapat dilakukan berdasarkan peraturan yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap orang juga berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia".

Tindakan penyadapan merupakan satu tindakan yang sah manakala dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan dan menemukan bukti kuat adanya tindakan korupsi. Tindakan penyadapan telepon yang dilakukan tidak melanggar HAM, karena hanya kepada sesorang tertentu yang di curigai atau diduga melakukan tindak pidana. Setiap tindakan yang dibuat oleh penyelidik harus memiliki dasar hukum dan pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan.

(47)

Berdasarkan pemaparan di atas Menurut penulis bahwa Penyadapan telepon lebih dapat di lakukan dengan kewenangan yang penuh dan di lakukan secara bertanggung jawab. Karena sifat kerahasiaan informasi akan menjadikan tindakan ini begitu efektif untuk mengungkapkan kasus tindak pidana yang memerlukan bukti yang kuat. Penggunaan hasil Intersepsi atau penyadapan ini bersifat rahasia oleh Aparat Penegak Hukum dilakukan secara profesional, sesuai dengan kepentingan pembuktian. Penyadapan telepon di lakukan sebenarnya di karenakan kesulitan pembuktian dari Penyelidik untuk mencari barang bukti dan membuktikannya di sidang pengadilan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan jaminan pada kemerdekaan dan kerahasia dalam hubungan komunikasi melalui sarana apapun (Pasal 32). Ketentuan hukum ini juga memberikan batasan yang harus diperhatikan, yaitu jika atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga penyadapan telepon yang di lakukan aparat penegak hukum adalah sah dan tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) selama untuk kepentingan penyelidikan yang memerlukan bukti-bukti adanya dugaan seseorang melakukan tindak pidana. Pengurangan hak tersebut dibolehkan sepanjang diatur oleh hukum, dilakukan demi kepentingan penyelidikan, serta dilakukan dengan produk yang sah, oleh karena itu pencabutan hak atau pembatasan yang dilakukan untuk melanggar atau menyimpang hak untuk dicampuri urusan pribadi seseorang haruslah diatur dalam suatu aturan yang sederajat dengan jaminan hak tersebut. Hak bagi setiap orang Harus dilindungi dari campur

(48)

tangan yang secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dalam masalah pribadi, keluarga, serta kehormatan dan nama baiknya.

C. Batasan-batasan dalam Melakukan Penyadapan Telepon dalam Penyelidikan Tindak Pidana

Batasan-batasan bagi aparat penegak hukum yang melakukan penyadapan telepon antara lain :

1. Dalam menagani kasus Psikotropika (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997), batasan-batasan Penyelidik melakukan penyadapan telepon, jangka waktunya berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari.

2. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Anti Terorisme, memperkenankan penyidik untuk melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan hanya atas izin ketua pengadilan negeri dan dibatasi dalam jangka waktu satu tahun.

3. Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) juga di beri batasan yaitu hanya boleh melakukan penyadapan telepon yang berkaitan dengan tindak pidana Korupsi ke pada orang – orang yang di curigai atau di duga melakukan tindak pidana korupsi, tetapi dalam batas waktu untuk melakukan penyadapan oleh KPK belum ada peraturan yang mengatur tentang batasan tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

javanicus dapat dilakukan dengan kepadatan 40 ekor/L selama 6 jam yang menghasilkan sintasan saat pengangkutan yaitu 100%, sintasan selama pemeliharaan

Masalah pokok tersebut selanjutnya dibuatkan sub masalah yang dijadikan sebagai rumusan masalah yakni, Bagaimana Penggunaan Media Pembelajaran Mahasiswa PPL mata

Keinginan untuk menambah uang jajan atau bahkan untuk keperluan yang lebih mahal seperti alat elektronik dan aksesoris lain nya seperti yang dikatakan ketiga informan yang

1.Lomba panjat pinang adalah permainan sekaligus olahraga tradisional yang dilakukan secara ..... a.perorangan

Hasil kategorisasi dalam perusahaan yang menunjukkan job insecurity berada pada kategori insecure dan intensi turnover berada pada kategori rendah menunjukkan bahwa

Inflasi terjadi karena adanya peningkatan harga yang ditunjukkan oleh naiknya indeks pada lima kelompok pengeluaran yaitu kelompok kesehatan sebesar 0,68 persen; kelompok

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS SISWA SEKOLAH DASAR!. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Perlakuan ketiga penambahan dedak padi sebesar 16,72% dan SKN sebesar 2,89% meningkatkan nilai DBK dan DBO sebesar 18,39 dan 16,96% dibandingkan perlakuan kedua dan